Anda di halaman 1dari 19

Makalah Perekonomian Indonesia

PERTANIAN

Dosen pengampu:

Achma Hendra Setiawan, S.E., M.SI.

Oleh: Kelompok 3

Rizqy Dwi Kusuma Siregar (12010117120038)

Tika Triana (12010117130094)

Nanda Adninda Ufia (12010117130105)

Kelas D

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Diponegoro

2020

PENDAHULUAN
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan
pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan
manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang
lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim. Usaha
pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Suatu usaha pertanian dapat
melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan
keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi
sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian. Semua usaha pertanian pada
dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama
akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan hasil,
distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan pemasaran.

Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk
mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming).
Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan
kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai
intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering
kali disamakan. Sisi yang berseberangan dengan pertanian industrial adalah pertanian
berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan
sebagian komponen dari kedua kutub "ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain
keduanya, dikenal pula bentuk pertanian ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam
bentuk paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan
tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.
Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam
volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi.

PEMBAHASAN
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan
makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam
arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang lahan untuk
membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.

Tahap-tahap Pembangunan Pertanian

1. Tradisional

Karakteristik pertanian tradisional antara lain:

· Produksi dan produktivitas rendah karena hanya menggunakan peralatan sederhana

· Penggunaan modal sangat sedikit

· Tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi yang dominan

· Produksi pertanian dan konsumsi sama banyaknya dan hanya satu atau dua macam
tanaman saja

Dalam keadaan yang demikian, kekuatan motivasi utama dalam kehidupan para petani
bukanlah meningkatkan penghasilan tetapi hanya berusaha untuk bisa mempertahankan
kehidupan keluarganya.

2. Peralihan

Tahap ini merupakan tahap dimana mulai muncul penganekaragaman (diversifikasi) produk
pertanian dimana tanaman makanan pokok tidak lagi mendominasi produk pertanian.
Diversifikasi produk pertanian dapat memperkecil dampak kegagalan panen tanaman pokok
dan memberikan jaminan kepatian pendapatan yang sebelumnya belum pernah ada.

Keberhasilan atau kegagalan usaha-usaha untuk mentransformasikan pertanian


tradisional ke pertanian modern tidak hanya tergantung pada keterampilan dan kemampuan
para petani dalam meningkatkan produktivitasnya, namun juga tergantung pada kondisi
sosial, komersial, dan kelembagaan.

3. Modern/ Spesialisasi

Tahap ini menggambarkan tingkat pertanian spesialisasi menggambarkan tingkat


pertanian yang paling maju. Pertanian ini berembang sebagai respon terhadap
pembangunan yang menyeluruh di bidang-bidang pembangunan yang lain.

Dalam pertanian modern, pengadaan pangan untuk kebutuhan sendiri dan jumlah surplus
yang bisa dijual bukan lagi merupakan tujuan pokok.

Tujuan kegiatan pertanian adalah hasil maksimum per hektar dari fungsi produksi (tanah,
bibit unggu, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan lain-lain), sedangkan keuntungan (profit)
komersial murni merupakan ukuran keberhasilan pertanian.

Pembangunan Pertanian di Indonesia: Revolusi Hijau

Meskipun pembangunan pertanian di berbagai negara polanya berbeda-beda, namun pada


umumnya,selalu ada persamaan, yakni keseuamnya selalu diawali atau diirngi dengan reformasi
agraris dan penataan penguasaan tanah (land reform). Tetapi tidak dengan Indonesia.
Pembangunan pertanian di Indonesia tidak didahului oleh reformasi agraris, melainkan dengan
Revolusi Hijau (Green Revolution) yang digulirkan pada akhir tahun 1960-an.

Tujuan utama Revolusi Hijau adalah menghasilkan bahan pangan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya terus meningkat. Revolusi Hijau ditandai
dengan pengenalan varietas unggul padi (padi hibrida) yang responsif terhadap pemupukan dan
irigasi.

Peningkatan produksi subsektor tanaman pangan ditingkatkan melalui pendekatan atau


argumentasi tekno-agronomis, yakni perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan
produktivitas (intensifikasi). Revolusi hijau dikatakan berhasil karena terbukti mampu
meingkatkan produksi pangan nasional hingga mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Namun, keberhasilan Revolusi Hijau juga membawa dampak yang merugikan bagi
pembangunan pertanian di Indonesia.

· Inovasi teknologi muatan dari Revolusi Hijau berpotensi merusak atau menganggu
lingkungan, sehingga muncul permasalahan lingkungan sebagai akibat dari kesalahan
aplikasi pupun dan pestisida kimia.

· Revolusi Hijau berlangsung di tengah-tengah fragmentasi tanah, dimana luas lahan


usahatani dari waktu ke waktu semakin menciut.

Revolusi Hijau juga mendorong terjadinya degradasi lahan yang diakibatkan oleh kesalahan
dalam pengelolaan dan penggunaan lahan. Degradasi lahan ditandai oleh penurunan atau
hilangnya produktivitas lahan, baik secara fisik, kimia, biologi, dan ekonomi.

Kesalahan dalam pengelolaan dan penggunaan lahan akan menimbulkan:

● · Polusi
● · Erosi
● · Kehilagan unsur hara
● · Pengasaman, penggaraman
● · Sodifikasi dan alkalinasi
● · Pemadatan
● · Hilangnya bahan organik
● · Penurunan permukaan
● · Kerusakan struktur tanah
● · Penggurunan
● · Serta hilangnya vegetasi alami dalam jangka panjang

Modernisasi Pertanian

Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang biasanya terarah dan didasarkan pada
perencanaan. Pertanian modern adalah pertanian yang sangat dinamis dan fleksibel serta terus
mengalami peningkatan produktivitasnya.
Untuk menciptakan pertanian modern, dibutuhkan syarat-syarat berikut:

· Teknologi dan efisiensi usahatani terus-menerus diperbaiki

· Hasil produksi terus berubah sesuai perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya
produksi yang disebabkan oleh adanya perubahan teknologi

· Perbandingan antara penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usahatani harus terus
berubah sesuai perubahan penduduk, alternatif kesempatan kerja dan teknologi usahatani.

Teknologi pertanian sering dipahami sebagai penggunaan mesin-mesin (mekanisasi) pada


proses produksi pertanian. Pengenalan teknologi di bidang pertanian diawali dengan gerakan
mekanisasi pertanian untuk memacu produksi pangan dengan penggunaan traktor, sehingga sring
dipandang sebagai traktoriisasi. Secara umum, mekanisasi pertanian diartikan sebagai penerapan
ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan opperasi dalam
produksi pertanian.

Mekanisasi pertanian dalam arti luas bertujuan untuk:

· Meningkatkan produktivitas tenaga kerja

· Meningkatkan produktivitas lahan

· Menurunkan biaya produksi.

Penggunaan alat dan mesin dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas,


produktivitas, kualitas hasil, dan mengurangi beban kerja petani. Yang menjadi masalah adalah
mekanisasi pertanian tidak bisa diterapkan secara efektif pada lahan sawah bepetak kecil di
bawah 0,5 hektar. Padahal, kebanyakan petani Indonesia hanya memiliki lahan antara 0,05 dan
0,30 hektar.

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan membentuk suatu perusahaan pertanian


dengan sistem Corporate Farming (CF).. Perusahaan pertanian (CF) merupakan sistem
konsolidasi lahan yang menata hamparan sawah yang terdiri atas banyak petak berukuran kecil
lalu dibuat menjadi suatu hamparan luas dan utuh sehingga pengolahan tanahnya bisa dikerjakan
dengan mekanisasi secara penuh. Kegiatan mulai dari pengolahan tanah, penanaman,
pemeliharaan, penanganan pascapanen, hingga pemasaran hasil, merupakan mata rantai yang
memerlukan mekanisasi pertanian yang tepat guna dan manajemen usahatani yang baik.

Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia

Setidaknya ada tiga program pokok pembangunan pertanian di Indonesia, yaitu:

1. Peningkatan ketahanan pangan

2. Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian

3. Peningkatan kesejahteraan petani

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman (UU No. 7 Tahun
1996).

Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dan
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunyam aman, merata, dan terjangkau
(UU No. 68 Tahun 2002).

Masalah bahan pangan adalah keadaan kelebihan, kekeringan, dan atau ketidakmampuan rumah
tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan, misalnya kurang gizi, gizi buruk, dan kurang darah.

Paradoks kelaparan adalah suatu fenomena mantapnya ketahanan pangan nasional, yang
dicerminkan dari keteresiaan kalori dan protein di atas angka kebutuhan gizi, namun di sisi lain
kelaparan atau kekurangan gizi masih terjadi di mana-mana.

Kebijakan Padi/Beras

Seperti diketahui Bersama bahwa beras merupakan makanan pokok bagi masyarakat di
Indonesia. Oleh karena itu, padi/beras banyak mendapat perhatian khusus, mengingat (Hal Hill,
2002):

1. Beras merupakan bahan makanan utama


2. Padi merupakan tanaman utama yang diusahakan petani sebagai mayoritas penduduk

3. Beras merupakan salah satu komoditas pengendali inflasi

4. Dalam hal-hal tertentu, beras menjadi barometer kesuksesan rezim baru

Bentuk- bentuk kebijakan padi/beras di Indonesia antara lain sebagai berikut :

1. Pemberian subsidi atas harga sarana produksi

2. Penyediaan kredit bagi petani

3. Penetapan harga dasar gabah

4. Mekanisme kelembagaan (manajemen BULOG)

Badan Urusan Logistik (BULOG) dibentuk pada tanggal 10 mei 1967 berdasarkan keputusan
Presidium Kabinet No. 114/Kep/1967. Sejak tahun 2003 BULOG menjadi BUMN berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) BULOG.
BULOG adalah Lembaga pemerintah nondepartemen yang berkedudukan dibawah dan
bertanggung jawab langsung kepada presiden, yang dalam pelaksanaan tugas operasionalnya
dikoordinasikan oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri.

Tugas utama BULOG adalah sebagai berikut:

1. Menjaga harga dasar pembelian pemerintah untuk gabah (HPP)

2. Stabilisasi harga khususnya pangan pokok bila diperlukan

3. Menyalurkan beras untuk kelompok masyarakat tertentu

4. Mengelola cadangan/stok pangan nasional

Kegiatan utama BULOG antara lain sebagai berikut

Tabel 6.1

Tugas BULOG Antar waktu

Sebelum PP No.7/2003 Sesudah PP No.7/2003


· Mengendalikan harga produsen dan · Menentukan harga dasar untuk
menjaga stabilitas harga konsumen melindungi petani masih tetap menjadi
secara seimbang prioritas utama tetapi menjaga stabilitas
harga konsumen mulai berkurang

· Menyediakan stok beras untuk · Mengelola stok, distribusi dan


keperluan penyaluran rutin dan pengendalian harga beras, serta jasa
cadangan pemerintah untuk keperluan logistik
darurat

· Tidak hanya terbatas pada


beras, selanjutnya juga · Kembali hanya menangani beras
menangani gula pasir, tepung (dualism peran: melakukan fungsi
pengadaan (inventory) dan sekaligus
terigu, kedelai,minyak gorek, mencari keuntungan (profits)
telur dan pakan ternak

· Belum banyak berperan untuk · Peran untuk membantu kelompok


membantu kelompok miskin miskin semakin menonjol (raskin)

1. Pengadaan Cadangan beras pemerintah

2. Pengadaan gabah dan beras dalam negeri

3. Distribusi beras pada masyarakat miskin (raskin).

Dengan Inpres No.13 Tahun 2005 pemerintah merencanakan pengadaan gabah dan beras
pada Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Jumlah pengadaan gabah dan beras oleh Perum
BULOG berkisar antara 1,5-2,1 juta ton sekitar 87-91 persen yang masuk dari petani).
Berdasarkan metode yang diperkenalkan oleh Stock to Utilization Ratio (SUR) dari FAO (2003),
maka besarnya cadangan beras pemerintah adalah 3-5 % dari total konsumsi penduduk yaitu
antara 0,75-1,25 juta ton. Jumlah cadangan beras pemerintah untuk kebutuhan darurat dan
stabilisaSi harga yang tersedia adalah 0,5 juta ton.
Good Agricultural Practices (GAP)

Dunia pertanian abad ini sedang menghadapi tiga macam tantangan utama. Organisasi
Pangan Dunia (FAO) yang bernaung dibawah PBB dalam pertemuan pangan dunia menyatakan
tiga tantangan utama pertanian dunia saat ini, yakni: (1) peningkatan ketahanan pangan, mata
pencaharian dan pendapatan penduduk pedesaan, (2) memenuhi peningkatan kebutuhan akan
berbagai macam produk pangan yang aman, (3) pelestarian sumber daya alam dan lingkungan
(FAO, 2003)

Untuk menghadapi tantangan tersebut, secara nasional pemerintah telah menyusun


Program Revitalisasi Pertanian, perikanan dan Kehutanan (PRPPK). PRPPK difokuskan pada
pengembangan produk dan bisnis pertanian, perikanan, dan kehutanan yang mencakup lingkup
kategori produk yang berfungsi dalam hal :

1. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek
pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.

2. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif di pasar internasional.

3. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan peluang
pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestic.

4. Pengembangan produk-produk yang terkait dengan berbagai isu global dan


kecenderungan pasar global

Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan PRPPK sendiri adalah
pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan
hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah
dan kemandirian dilakukan antara lain dengan “praktek usaha pertanian yang baik” (Good
Agricultural Practices, GAP).

GAP adalah sekumpulan prinsip-prinsip yang diterapkan pada produksi usahatani dan proses
pasca produksi, agar dapat menghasilkan produk-produk makanan dan non makanan yang sehat
dan aman, dengan mempertimbangkan perhitungan ekonomis, sosial, dan kelestarian lingkungan
(FAO, 2003). GAP mungkin diterapkan pada sistem pertanian dengan jangkauan yang luas dan
pada skala yang berbeda. GAP diterapkan dengan metode pertanian yang berkelanjutan
(sustainable agricultural methods), seperti pengendalian hama terpadu (integrated pest
management), penggunaan pupuk terpadu (integrated fertilizer management) dan pertanian
konversi (conservation agriculture).

GAP didasarkan pada 4 prinsip sebagai berikut:

1. Terpenuhinya produk-produk pertanian secara efisien dan ekonomis atau disebut prinsip
ketahanan pangan (food security), aman (food safety), makan bergizi (nutriclous food).

2. Mendukung dan mempertinggi peningkatan sumber daya alam (sustainable and enhance
natural resources)

3. Menjaga perusahaan pertanian yang aktif dan memberikan sumbangan bagi mata
pencaharian penduduk secara berkelanjutan (maintain viable farming enterprise and
contribute to sustainable livelihoods)

4. Memenuhi permintaan masyarakat akan budaya dan sosial (meet cultural and social
demands of society).

Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah mendorong pemberlakuan praktik-


praktik pertanian yang baik dan ramah lingkungan. Prinsip-prinsip dalam GAP di Indonesia
kemudian diselaraskan dengan program pengendalian hama terpadu (integrated pest
management) dan pengelolaan tanaman terpadu (integrated crop management). Pendekatan
pengelolaan ini penting untuk perbaikan dan pengelolaan pertanian dalam jangka Panjang. Fitur
kuncinya adalah penggunaan yang hati-hati terhadap produk agrokimia termasuk pestisida,
pupuk kimia, dan zat pengatur tumbuh. Karena itu,GAP memanfaatkan pengendalian hama,
penyakit dan gulma sampai taraf aman yang dikehendaki, yaitu pada batas biaya ekonomis bagi
petani dan bahaya yang minimal bagi operator, orang lain di sekitarnya dan lingkungan hidup.

Semua ini didukung dengan jejak audit yang jelas, dengan penyelenggaraan dokumentasi
yang komprehensif untuk seluruh tahapan budidaya, pemrosesan, penyimpan hasil, atau bahan
baku industri sehingga dapat dirunut kembali. Secara praktis, hal ini dilakukan melalui
penyusunan protokol, pencatatan dan pendataan tahapan-tahapan kegiatan GAP termasuk
penggunaan pestisida, pupuk kimia dan zat pengatur tumbuh. Hal ini juga akan menjamin
konsumen bahwa mereka mendapatkan output bahan pangan yang terjamin dan memenuhi
standar kualitas yang tinggi.

Salah satu penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk menerapkanya, menurut Woods dan Suzanne (2005), biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan GAP dalam budidaya tanaman strawberry di sembilan negara
bagian di AS mencapai sekitar US$ 28 per hektar per musim tanam, biaya tersebut antara lain
untuk penyediaan toilet dan tempat cuci tangan di sekitar lahan bagi pemetik strawberry baik
untuk pekerja maupun pengunjung, pelatihan hygiene, pengepakan dan sanitasi pendingin,
penggunaan baki sekali pakai apabila diperlukan, monitoring penggunaan air untuk irigasi dan
pengembangan rencana penanganan manajemen krisis bagi usaha apabila terjadi keracunan yang
ditemukan dalam makanan.

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh
para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dalam masalah kemiskinan dan lemah
dalam SDM terutama dilihat dari tingkat Pendidikan para petani di Indonesia. Untuk menerapkan
GAP di Indonesia saat ini hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala
besar dan berorientasi ekspor. Adapun dasar hukum pelaksanaan GAP di Indonesia baru pada
tanaman budidaya buah-buahan yakni dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian
Nomor: 61/Permentan/OT.160/11/2006 tanggal 28 November 2006. Pemerintah sendiri telah
membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP khusus pada setiap komoditas pertanian yang
hendak diusahakan, namun bar terbatas pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah
memberikan penghargaan kepada berbagai penghargaan kepada berbagai kebun buah yang telah
menerapkan standar GAP melalui penghargaan 3 kategori Prima 3, Prima 2, dan Prima 1 untuk
merangsang penerapan GAP bagi kebun hortikultura buah.

Pertanian Organik
Konsep pertanian ini tidak lagi hanya menitikberatkan pada produksi yang tinggi dalam waktu
yang singkat, tetapi lebih berorientasi pada peningkatan produksi secara berkesinambungan
dengan tetap mempertahankan kualitas lahan dan kelestarian lingkungan (sedapat mungkin
meningkatkan kualitas lahan dan kualitas lingkungan) yang dikenal dengan pertanian organik.
Pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang mengusahakan keseimbangan lingkungan,
yakni dengan memelihara kesuburan tanah dengan prinsip daur-ulang hara secara hayati,
mengurangi atau meniadakan pupuk buatan dan pestisida kimia, serta melakukan pengendalian
hama penyakit melalui perbaikan alam sekitar sehingga memberikan hasil yang optimal.
Pertanian organik adalah praktik bertani alternatif secara alami. Dalam konsep ini, upaya untuk
meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan lebih menitikberatkan pada pemanfaatan
teknologi pupuk organik (kompos, pupuk kandang, pendaurulangan limbah pertanian), serta
pengendalian hama penyakit terpadu (PHT) dan hayati.

Prinsip-prinsip Pertanian Organik


Prinsip-prinsip pertanian organik merupakan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan
pertanian organik. Prinsip-prinsip ini berisi tentang sumbangan yang dapat diberikan pertanian
organik bagi dunia dan merupakan sebuah visi untuk meningkatkan seluruh aspek pertanian
secara global. Setiap prinsip dinyatakan melalui pernyataan yang disertai penjelasan dimana
prinsip-prinsip ini harus digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis
yang mengilhami tindakan. Prinsip-prinsip pertanian organik sebagai berikut :
1. Prinsip Kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman,
hewan, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
2. Prinsip Ekologi
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan serta
bekerja, meniru, dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan.
3. Prinsip Keadilan
Pertaanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait
lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
4. Prinsip Perlindungan
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk
melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta
lingungan hidup.
Prinsip-prinsip tersebut mengilhami gerakan pertanian organik dengan segala keberagamannya.
Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi pengembangan posisi, program, dan standar
International Federation Organic Agriculture Movement (IFOAM) yang bermarkas di Bonn,
Jerman (www.ifoam.org).

Nagrak Organic SRI Center (NOSC)


NOSC adalah pusat pelatihan pertanian System of Rice Intensification (SRI) Organik di Nagrak,
Sukabumi, Jawa Barat. Didirikan pada tahun 2007 atas dasar pemikiran sumber daya alam saat
ini diantaranya sumber air mulai terasa berkurang, hilangnya keragaman hayati di agro-
ekosistem yang semestinya menjadi daya dukung dalam usaha tani, sebagian besar tanah
pertanian di Indonesia telah mengalami degradasi kesuburan (fisika, kimia, dan biologi) akibat
pengelolaan lahan dan air yang kurang tepat, serta penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang
terus-menerus. Di sisi lain, pendapatan petani padi konvensional semakin rendah akibat biaya
usaha tani yang semakin tinggi dan harga gabah kering panen / gabah kering giling (GKP/GKG)
di saat panen raya rendah, petani akan terus tergantung pada pihak luar.
Visi NOSC adalah mengembangkan usaha tani padi sawah organik metode SRI dalam upaya
peningkatan produksi padi dalam negeri yang sehat, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, serta
meningkatkan kesejahteraan petani. Misi NOSC adalah menyelenggarakan penelitian,
menyediakan jasa konsultasi agribisnis, pelatihan, dan pendampingan dalam pengembangan
usaha tani padi organik metode SRI sehingga tercipta petani mandiri dan perluasan areal usaha
tani padi organik metode SRI untuk penyediaan pangan yang cukup dan menyehatkan. Paket
Pelatihan SRI Organik terdiri dari :
1. Pelatihan dasar
2. Pelathihan Training of Trainer (TOT)
3. Pendampingan produksi selama satu musim tanam
4. Konsultasi Agribisnis
5. Lokakarya
Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen yang mayoritas penduduknya bermata
pencaharian di sektor pertanian (sekitar 90,55% dari total penduduknya) adalah desa yang telah
menerapkan usaha tani padi organik. Desa Sukerojo dapat memproduksi padi kurang lebih
sebanyak 3.759 ton per tahun. Sesuai dengan Renstra Kabupaten Sragen tahun 2002 – 2007
pengembangan pertanian padi organik telah diperluas menjadi 10.000 hektar.
Akan tetapi, surplus beras sejak tahun 2001 belum menjadikan pendapatan petani di Desa
Sukeroje meningkat, hal tersebut disebabkan oleh harga sarana produksi terutama pupuk
anorganik dan pestisida kimia pabrik menekan usaha tani, dan menjaga kesehatan akibat residu
bahan kimia pupuk dan pestisida, maka dalam jangka panjang Kabupaten Sragen diusahakan
menjadi pusat penghasil tanaman padi organik.

Indikator Kesejahteraan Petani : Nilai Tukar Petani


Nilai tujar petani (farmer term of trade) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani
terhadap indeks harga yang dibayar petani (Tulus Tambunan, 2006).
Kegunaan Nilai Tukar Petani (NTP) dalah sebagai berikut :
1. NTP menunjukkan perbedaan antara harga output pertanian dengan harga input
pertanian. Input pertanian terdiri dari bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan luas
lahan. Sedangkan output pertanian adalah padi, palawija, dan hoktikultura.
2. NTP menunjukkan daya tukar (term of trade) dari peoduk pertanian dengan barang
dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.
3. NTP dapat digunakan sebagai salah satu indikator (proxy) tingkat kesejateraan petani.
Semakin tinggi NTP maka secara realtif semakin sejahtera tingkat kehidupan petani.

Rumus NTP adalah sebagai berikut :


NTP = IT / IB x 100
Keterangan :
NTP : Nilai Tukar Petani
IT : Indeks harga yang diterima petani
IB : Indeks harga yang dubayar petani
100 : Tahun dasar
Indek harga yang diterima petani (IT) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Tanaman Bahan Makanan yang terdiri dari padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-
buahan
2. Tanaman Perkebunan Rakyat
Indeks harga yang dibayar petani (IB) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Konsumsi rumah tangga yang tediri dari makanan, perumahan, pakaian, dan aneka
barang dan jasa.
2. Biaya produksi dan penambahan barang modal yang terdiri dari bibit, pupuk, sewa
tenaga, upah, lainnya, serta penambahan barang modal.

Jika NTP < 100 maka IT < IB, artinya petani mengalami kerugian (losses)
Jika NTP = 100 maka IT = IB, artinya petani mengalami titik impas (BEP)
Jika NTP > 100 maka IT > IB, artinya petani mendapat keuntungan (profits)

Tabel 6.2
Peringkat Nilai Tukar Petani di Indonesia

Juli 2017 Agustus 2017


Provinsi Perubahan
NTP Peringkat NTP Peringkat

Kalimantan Barat 174,14 1 172,34 1 -1,03

Sulawesi Tenggara 151,68 2 149,41 2 -1,50

Sumaterqa Selatan 148,29 3 145,49 3 -1,89

Bali 148,85 4 145,37 4 -0,33

Sulawesi Utara 136,09 5 136,85 5 0,56

Nusa Tenggara Timur 132,80 6 132,64 6 0,12

D.I Yogyakarta 126,12 7 123,73 7 -1,89

Jambi 119,20 11 120,57 8 1,15

Jawa Barat 113,01 9 114,31 9 1,15


Sulawesi Selatan 114,46 10 113,74 10 -0,63

Bengkulu 111,12 8 106,23 11 -4,40

Lampung 105,42 12 105,18 12 -0,23

Nangroe Aceh Darusalam 103,57 13 102,08 13 -1,44

Jawa Timur 102,45 14 101,50 14 -0,93

Jawa Tengah 100,64 15 99,92 15 -0,72

Kalimantan Selatan 93,19 16 93,80 16 0,65

Sumatera Utara 92,81 17 92,96 17 0,17

Sulawesi Tengah 91,22 18 91,82 18 0,66

Riau 87,00 19 86,45 19 -0,64

Kalimantan Timur 78,48 20 77,35 20 -1,43

Kalimantan Tengah 79,56 21 77,26 21 -2,89

Sumatera Barat 66,87 22 68,53 22 2,49

Nysa Tenggara Barat 52,01 23 52,31 23 0,57

Nasional 106,27 105,95 -0,30

Perbedaan NTP :
Menurut Tulus Tambunan (2006), NTP berbeda-beda berdasarkan wilayah provinsi di Indonesia
disebabkan oleh :
1. Perbedaan inflasi atau laju Indeks Harga Konsumen (IHK)
2. Sistem distribusi pupuk dan input pertanian lainnya
3. Perbedaan titik ekuilibrium pasar untuk komoditas pertanian.
Ekuilibrium sangat dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di masing-masing
wilayah. Dari sisi penawaran, faktor penentu utamanya adalah volume atau kapasitas produksi di
sektor pertanian. Selanjutnya dari permintaan, utamanya ditentukan oleh jumlah penduduk dan
komposisinya menurut umur dan jenis kelamin serta tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata
per kapita.
Pada pusat produksi beras seperti di Karawang, Jawa Barat pada saat musim panen pasar beras di
wilayah tersebut cenderung mengalami kelebihan penawaran / stok beras (over supply) sehingga
harga beras di pasar lokal cenderung menurun. Hal sebaliknya terjadi di wilayah yang bukan
pusat produksi beras seperti di Kalimantan yang cenderung mengalami kelebihan permintaan
(over demand) sehingga harga beras di pasar setempat cenderung naik. Akan tetapi, hal tersebut
bukan berarti bahwa NTP di Karawang selalu harus lebih rendah daripada Kalimantan. Tinggi
rendahnya NTP juga ditentukan oleh laju inflasi (IHK) dan harga input pertanian.

PENUTUP

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah petani.
Jadi pertanian merupakan sektor yang menyumbang setengah dari perekonomian Indonesia
melalui sumbangan devisa dalam orientasi pasar ekspor produk karet, kopi, kakao, teh dan
minyak sawit. Perkebunan merupakan penyedia lapangan pekerjaan di pedesaan dan daerah
terpencil, dan merupakan penyerap tenaga kerja yang cukup signifikan. Demikian juga peran
agroindustri dalam memoles hasil pertanian melalui teknologi tertentu menjadi barang yang
sangat bermanfaat dan bernilai tinggi, baik untuk konsumsi lokal maupun manca negara. Namun
pengolahan hasil industri pertanian tersebut menghadapi hambatan mana kala teknologi yang
digunakan tidak tepat guna, dan akhirnya akan menurunkan nilai produk tersebut yang akhirnya
memangkas keuntungan yang seharusnya didapat. Hal ini perlu dicermati sehingga dilakukan
antisipasi dan upaya lain yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, Achma Henda. 2012. Perekonomian Indonesia. Semarang: Badan Penerbitan


Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai