Anda di halaman 1dari 6

Kelompok 8

1. Ida Ayu Putu Inten Anjani


2. Kadek Dinda Damayanti
3. Kadek Sannya Dianavani Jelantik
4. Ni Nyoman Sariasih
Ayah

Bagi sebagian anak perempuan, Ayah adalah cinta pertama mereka. Begitupun Gista, Ayah
adalah cinta pertamanya. Ayah adalah orang pertama yang suaranya Gista dengar saat pertama kali Gista
terlahir ke Dunia.
Oh iya, kalian belum tahu siapa itu Gista kan? Agista Putri Galendra adalah seorang gadis cantik
yang berusia 18 tahun. Selain cantik, Gista juga pintar. Nilai sekolahnya selalu bagus dan mendapat
peringkat satu dari sejak SD hingga SMA. Jadi, jika nanti menempuh Pendidikan di Jurusan Kedokteran
tidak terlalu sulit baginya. Namun, tetap saja bidang tersebut bukanlah keinginannya. Ya begitulah, sejak
kecil Gista tidak pernah mendapat apa yang ia inginkan, semua hal yang Gista jalani selalu diatur oleh
sang Ayah. Awalnya Gista tak masalah dengan semua itu, tapi saat ia beranjak remaja dan semua yang
Ayah perintahkan padanya bertentangan dengan apa yang ingin ia inginkan, membuatnya merasa
terkekang.
Saat ini pun, Gista sedang duduk di meja makan bersama sang Ayah. Gista melahap roti dengan
selai coklat tanpa memerdulikan ocehan ayahnya. Seperti biasa, setiap pagi Ayah akan memberikan Gista
wejangan yang menurut Gista sangat amat membosankan. Apalagi jika Ayahnya membahas tentang
“Fakultas Kedokteran” Gista hanpir muak dengan dua kata itu. Ya mau bagaimana lagi, Gista terpaksa
pura-pura setuju dengan memberikan anggukan kecil.
“Ayah sudah belikan buku yang berisi soal-soal untuk ujian kamu nanti, kamu ambil di tas itu ya,
nak” ucap sang Ayah sambal menunjuk tas berwarna coklat di atas meja. Gista hanya menjawabnya
dengan anggukan. Lagi dan lagi, ayahnya membelikannya buku yang berisi jutaan soal untuk persiapan
ujian, buku yang sebelumnya saja belum selesai Gista pelajari sekarang sudah ditambah lagi. Ada banyak
sekali tumpukan buku di rak belajar Gista.
Kini Gista sudah berada di sekolah, seragam putih abu-abu sangat cocok dengan kulitnya yang
putih. Tidak heran jika Gista merupakan salah satu siswi cantik di sekolah ini. Dari koridor Gista sudah
bisa melihat perempuan cantik sedang berdiri di depan kelasnya. Siapa lagi kalau bukan Feli, sahabatnya.
Feli kenal Gista sejak kecil, ibu Gista dulu bersahabat dengan ibunya Feli. Bahkan, saat ibu Gista
meninggal, ibu Feli terkadang memberikan perhatian layaknya seorang ibu kepada Gista. Eits.. tapi yang
terpenting bukan itu, Feli adalah satu-satunya orang yang Ayah Gista percaya. Jadi, Gista sering kali
menggunakan nama Feli jika hal tersebut dilarang oleh Ayahnya. Seperti minggu lalu, Gista ingin pergi
ke pameran fotografi, yang sudah pasti Ayahnya tidak akan setuju, buang-buang waktu menurutnya. Kata
Ayah “lebih baik kamu pelajari soal-soal untuk ujian nanti” Nah, saat itu Gista mengatakan pada Ayah
bahwa ia akan membeli buku dengan Feli. Gista tahu bahwa berbohong itu dosa, tapi untuk kebaikan
tidak masalah kan?
Feli tersenyum saat Gista berjalan mendekat ke arahnya, “Pagi Agista,” sapanya.
“Pagi Felicia, kamu terlihat senang hari ini,” balas Gista dengan tatapan curiga. Karena biasanya
Feli tidak pernah bersemangat untuk pergi ke sekolah.
Feli semakin melebarkan senyumnya sembari merangkul sahabatnya itu. “Tidak, Gis. Entah
kenapa suasana hatiku pagi ini sangat bagus. Kamu bisa lihat, langit pagi ini sangat cerah, aku tidak mau
kalah dengan langit, jika dia cerah aku harus lebih lebih cerah, bukan?”
Gista kemudian menatap langit, benar-benar cerah.
Lamunan Gista tersadarkan saat saku roknya bergetar, handphonenya berbunyi pertanda ada
panggilan masuk. Gista merogoh saku roknya itu. Kemudian segera menekan tombol hijau, “halo?”
“Sudah, Ayah.” Jawab Gista sedikit cemberut. Ya, itu ayahnya. Setiap Gista sekolah, Ayahnya akan
menanyakan apakah Gista sampai di sekolah dengan selamat atau tidak. Bagi sebagaian orang memang
itu adalah salah satu bentuk perhatian seorang ayah kepada putrinya, tetapi tidak bagi Gista. Ia merasa
bahwa Ayahnya terlalu posesif, terlalu berlebihan, terlalu memanjakan Gista. Menurutnya, “aku ini sudah
dewasa,” padahal dimata ayahnya Gista masih anak umur 9 tahun.

***

Keadaan kelas XII IPA 7 sedang sangat tegang, karena sedang diadakan ulangan fisika
mendadak. Untuk sebagian orang, ulangan fisika dikasi tahu aja masih remidi, gimana kalau dadakan?
Tapi pernyataan itu tidak berlaku bagi Gista. Hanya ia yang terlihat santai mengerjakan ulangan,
sedangkan semua teman-temannya sudah linglung tidak tahu harus bagaimana.
Pak Gavin, guru fisika tengah duduk seraya menatap satu persatu para siswa dengan tatapan
menakutkan. Ya, menakutkan sekali. Apalagi tatapan paling menakutkan diberikan kepada meja Feli dan
Gista. Itu karena Feli sering menyalin 100% jawaban Gista. Sebenarnya Gista tidak masalah, tapi menurut
Pak Gavin Feli tidak akan mau belajar jika hanya mengandalkan Gista.
Feli berdecak kesal ditempatnya. Ia melirik Gista, cewek itu tetap serius mengerjakan ulangan.
Gista makan apa ya? batinnya.
Feli melirik Safa, Vero dan teman-temannya yang lain. Semuanya terlihat frustasi kecuali Gista.
Gista tidak pelit jawaban, tapi masalahnya adalah Pak Gavin, Matanya tak pernah lepas dari meja Feli.
Feli rasa ia tidak bisa secerah langit hari ini, fisika membuat suasana hatinya memburuk.
Pada saat seperti ini terkadng Gista merasa bersyukur telah dibelikan buku-buku latihan soal dan dipaksa
belajar oleh ayahnya, semua terasa mudah baginya. Tapi tetap saja ini bukan hobi Gista.

***

Duduk di meja makan, ditemani segelas susu vanilla dan beberapa potongan kue, Gista sibuk
dengan laptopnya, dengan kacamata yang bertengger di hidungnya, gadis itu tengah menonton
pertunjukan Resital Piano. Menurut Gista, piano itu sangat menakjubkan, alunan nada yang lembut dan
melodi-melodi yang indah. Wah.. membayangkan saja Gista sudah sangat girang, apalagi jika ia benar-
benar bisa menyentuh piano, mungkin dirinya akan speechless. Bermain piano adalah salah satu hal yang
sangat Gista inginkan, bahkan cita-citanya dahulu menjadi pianis seperti Mozart, Bubby Chen, Indra
Lesmana, Yovie Widianto dan masih banyak lagi. Gista hafal hampir semua lagu-lagu mereka. Selama ini
Gista tidak pernah bermain piano, waktu kecil sang ibu pernah mengajaknya menonton konser piano,
sejak saat itulah Gista merasa bahwa menjadi pianis itu adalah hal yang keren. Piano bukan hanya sebagai
alat untuk menciptakan lagu dan mengiringi sebuah lagu, piano lebih daripada itu. Bagi Gista, piano bisa
menyembuhkan luka yang ada jauh di dalam lubuk hatinya, piano bisa menghilangkan stres dengan
melodi dan nadanya yang sangat lembut.
Tapi tunggu, menurut kalian apakah Ayahnya setuju jika dirinya nanti menjadi pianis? Haha tentu
saja tidak. Mari ingat Kembali, Ayah sudah menyiapkan Gista untuk masuk fakultas kedokteran.
Gista menekan tombol jeda pada laptopnya, dan berpikir sejenak. Sebenarnya hari ini Gista
berniat membicarakan tentang ingin menolak menjadi dokter pada Ayahnya, meskipun dia tahu bahwa
Ayahnya akan marah dan menentang pendapat Gista. Hal ini sudah ia biacarakan berkali-kali, namun
hasilnya sama saja.
“Oke, kita coba sekali lagi,” ucapnya berusaha meyakini diri sendiri.
Suara derap langkah kaki terdengar dari tangga, pertanda bahwa Ayahnya sudah datang. Entah
mengapa tiba-tiba detak jantung Gista berdetak tak beraturan. Selalu saja begini setiap kali dirinya
membicarakan hal yang sudah jelas pasti ditentang oleh Ayahnya. Tapi tak apa, Gista akan mencobanya.
Gista menekan tombol play pada laptopnya, terdengar jelas suara music piano. Ayahnya
kemudian menghampiri Gista, “nonton apa?” tanya Ayah saat berada dibelakang putrinya itu. Padahal
kan sudah jelas itu suara music piano.
“Resital piano. Gista sudah lama tidak menonton ini, keren sekali kan, yah?”
Dahi Ayah Gista berkerut, lalu menghela nafas pelan, seakan mengerti jika putrinya akan
membahas hal itu lagi. “Sudah berapa kali Ayah bilang, menjadi pianis itu hanya buang-buang waktu.
Tidak ada yang bisa dibanggakan.”
Gista kemudian mematikan laptopnya dan mempersilahkan ayahnya untuk duduk disampingnya.
Gadis ini menatap Ayahnya, “Ayah, dahulu Ibu sangat menyukai music piano begitu juga dengan Gista
sekarang. Jika ibu tidak bisa menjadi seorang pianis karena penyakitnya, kini Gista yag akan melanjutkan
cita-cita ibu,” ucap Gista dengan nada pelan, berharap Ayahnya akan mengerti.
“Ibu tidak pernah meminta kamu untuk melanjutkan cita-citanya,” balas Ayah dengan nada
sedikit marah.
“Tapi, Ayah-“ ucapan Gista terpotong karena Ayahnya segera bangkit dari tempat duduk dan
beranjak pergi
“Ayah,” panggilnya, membuat sang Ayah berhenti melangkah. Tetapi tetap mebelakangi Gista.
Gista berdiri dan berjalan mendekat ke Ayahnya, ia tak mau begini, ia tak mau diatur dan tidak
bisa menyuarakan keinginannya. Air mata gadis itu sudah berada di pelupuk matanya, jika ia berkedip, air
mat aitu akan jatuh membasahi pipinya.
“Kenapa, Ayah? Gista lelah jika Ayah terus-terusan mengatur hidup Gista. Gista tidak ingin
menjadi dokter, menjadi dokter itu tidak menyenangkan. Kenapa Ayah selalu menentang Gista untuk
menjadi pianis? Kenapa, Ayah?” tanya Gista pada Ayahnya yang mematung tak berkutik. Gista sudah
menangis, ya bisa dikatakan Gista cengeng jika berhadapan dengan Ayahnya, padahal tadinya ia udah
berusaha menahan air matanyaa.
“Terserah Ayah, Gista benci Ayah,” ucap Gista lalu pergi ke kamarnya.

***

Denpasar. Kota yang sangat indah hari ini. Langit sudah berwarna hitam pekat. Untungnya, bulan
dan bintang memberikan sepercik sinar untuk ikut menghiasi cakrawala.
Gadis dengan kaos putih dibalut dengan cardigan berwarna coklat berjalan santai di taman kota
Denpasar. Menatap orang-orang yang tampaknya bahagia malam ini. Ada yang sedang duduk bersama
pasangannya di bangku taman. Ada juga yang sedang berjalan bersama keluarganya sambil membawa
jagung bakar serta anak kecil berlari-larian mengejar bola bersama sang ayah. Dan masih banyak lagi.
Semua tampak tertawa dan ceria. Tapi kita tidak pernah tahu tawa itu memang nyata atau hanya sekedar
sandiwara.
Setelah berdebat dengan ayahnya tadi, Gista memilih untuk pergi keluar mencari udara segar.
Tentu saja tanpa sepengetahuan ayahnya, ini sudah malam, tidak mungkin sang ayah memberikan ijin
pada Gista untuk keluar rumah jam segini.
Gadis itu mengeratkan pegangan pada tas selempangnya. Dalam jarak sekitar 20 meter, kedua iris
mata hitamnya tertuju pada sebuah tempat yang dipenuhi kerumunan. Gista berjalan mendekat ke arah
dimana kerumunan itu berada.
Setelah sampai disana, ia dapat mendengar nyanyian lagu favoritnya yaitu Pilu Membiru milik
Kunto Aji, Gista semakin penasaran setelah mendengar lagu itu dinyanyikan dengan sangat lembut.
"Permisi." ucapnya agar orang-orang memberikan sedikit jalan untuknya.
Tak ada yang seindah matamu, hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu hanya lautan
Tak tergantikan, oh walau kita tak lagi saling menyapa
Bait itu dinyanyikan dengan lembut membuat para penonton terhanyut dalam setiap lirik yang
dinyanyikan. Gista mematung, ia seketika teringat akan Ibunya. Mendiang Ibu Gista memiliki mata yang
sangat indah, sikapnya yang lemah lembut membuatnya penuh dengan kebaikan. Menurut Gista, tidak
ada yang bisa menggantikan Ibunya, siapapun itu.
Tanpa sadar air mata Gista menetes, sudah hampir 4 tahun ia hidup tanpa seorang Ibu. Sosok
terdekat manusia pada setiap sisi cinta dan kasih sayang yang selalu tulus diberikan. Gista tahu, setiap
orang pernah merasakan yang namanya kehilangan. Beberapa orang melewatinya dengan penuh
perjuangan. Tapi bagi Gista, sulit sekali melalui itu, apalagi jika sikap sang Ayah kadang tidak sesuai
keinginannya membuat ia ingin Ibunya hadir Kembali di hidupnya. Meskipun hal itu sangat mustahil.
Gista mengusap air matanya ketika lagu itu berakhir. Gista ingin sekali berterima kasih pada
penyanyi itu, karena lewat lagu ini Gista berhasil membayangkan sosok Ibunya.
“Ibu, Gista rindu,” ucapnya pelan tanpa didengar seorang pun kecuali dirinya dan tuhan.
Handphone Gista berdering, panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Gista mengabaikannya, rasanya
saat ini dia tidak mau diganggu siapapun. Kemudian notifikasi pesan handphonenya berbunyi, Gista
menatap layar handphonenya.
Gista ini Tante Dewi, ayah kamu masuk rumah sakit.
Dengan pandangan yang sudah berkunang-kunang, Gista masih berusaha untuk membaca secara
jelas pesan itu. Pesan yang mengagetkannya, pesan yang menyakitinya. Sekujur tubuh Gista menegang
seketika, sensasi dingin, panik, dan debaran jantungnya yang tidak stabil mulai menguasainya. Bak
seperti kabut yang tiba-tiba menghadangnya. Bak seperti ada tiang yang sedang roboh bersamaan pesan
itu. Gista menggeleng kepalanya, berusaha tidak percaya.

***

Beberapa lorong rumah sakit ini terlihat sepi, mengerikan sekali di mata Gista pada saat itu. Suhu
ruangan menusuknya, memperkenalkan dinginnya tempat ini dengan rasa sedih. Mencari ruangan
Ayahnya dengan sangat panik, Gista akhirnya menuju sebuah ruangan yang diberi tahu oleh Tante Dewi
tadi.
Seketika kejadian tadi berdebat dengan Ayah kembali berputar di kepalanya. Jika saja tahu hal ini
akan terjadi, Gista tidak akan melawan ucapan Ayahnya tadi.
Tuhan, aku punya ikhlas, tapi bukan untuk ayah.
Detak jantung Gista tidak stabil, otaknya membuka segala cuplike dengan sang Ayah sejak kecil
hingga hari ini.
Pintu ruangan itu tertarik, lalu kemudian muncul Ayahnya yang sedang terbaring dengan alat-alat
homodialisis mengerumungi tempat itu. Tempat yang Gista tahu, bahwa disini, orang-orang berbondong-
bondong datang untuk berusaha agar terus bisa melihat matahari esok hari lagi. Langkahnya kemudian
mendekatkan diri ke salah satu brankar yang ada seseorangnya disana.
Tenggorokan Gista mulai serak, dadanya kembang-kempis. Lemahnya dirinya kian terasa.
Setengah sadarnya mulai hilang, namun kuatnya ia pompa dengan cara yang sedemikian rupa. Suatu hari,
akan ada hal yang menguras energi dengan begitu tiba-tiba, hadirnya dianggap selalu buruk. Merusak
rencana, merusak segala harapan yang telah dibangun, merusak senyum, merusak kemauan yang kita
punya. Tapi nyatanya, melihat ayahnya terbaring lemah seperti ini membuat Gista merobohkan semua
kebencian pada Ayahnya.
"Ayah... " Bibir Gista bergetar, tubuhnya memberikan reaksi kagetnya. Terasa berat sekali
kakinya saat itu juga. Bahkan untuk bergerak, ia rasanya tidak punya kuasa.
Gista sama sekali tidak menyangka jika Ayahnya menyembunyikan penyakit ini. Ginjal kronis,
dari Namanya saja sudah menyeramkan. Bagaimana bisa sang Ayah menyembunyikan kebohongan ini
pada putrinya?
Ayah Gista menoleh, menatap putri satu-satunya. Wajah laki-laki itu pucat. Ia tidak kaget melihat
Gista berada di tempat ini, karena sudah ia duga bahwa Gista akan tahu akan penyakitnya, kapanpun itu.
Dan hari ini, ia sudah siap melihat putrinya kacau, bahkan lebih kacau darinya.
“Sejak kapan, Yah?” tanya Gista, kecewa. Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang
menyebalkan yang hadir di kepala Gista. Namun, rasanya tidak bisa ia ungkapkan karena terlalu sakit
untuk kenyataan yang tidak butuh penjelasan seperti ini.
“Gis, Ayah tidak apa-apa.”
Lihat, bahkan ketika ia sudah berada di ruangan dengan penuh alat ini, mulutnya masih enggan
untuk menceritakan ketidakbaikannya. Gista tersenum, namun matanya menangis. Ia menatap sang Ayah
dalam. Teringat kasih dan sayang yang tidak ada duanya di muka bumi ini.

***

Teringat masa kecilku


Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung
Di sisimu terngiang
Hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala
Mimpi-mimpi serta harapanmu
Kau ingin ku menjadi
Yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu
Jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan
Dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku
Terbelenggu, jatuh, dan terinjak
Ditengah-tengah lagu, sang penyanyi berhenti bernyanyi dan menekan pianonya. Lalu melihat ke
arah penonton. Menyelisik setiap sudut untuk menemukan seseorang yang membuatnya bisa berada disini
dan tampil dengan baik. Penonton yang lain terlihat kebingungan karena lagu yang dinyanyikan penuh
haru itu berhenti, padahal sedikit lagi selesai.
Sang penyanyi kemudian tersenyum setelah melihat seseorang yang ingin ia lihat. Ia
menghembuskan nafasnya pelan. Lalu, jemarinya mulai menari diatas piano, melanjutkan lagu itu.
Tuhan, tolonglah
Sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku t'rus berjanji
Takkan khianati pintanya
Ayah, dengarlah
Betapa sesungguhnya ku mencintaimu
'Kan kubuktikan
Ku mampu penuhi maumu
Suara riuh tepuk tangan penonton memenuhi Gedung itu. Sang penyanyi pun berdiri dan
membungkukkan sedikit badannya tanda terima kasih, disela itu, ia menangis, melihat seseorang berjalan
ke arahnya dengan senyum bangga sekaligus haru. Tidak menyangka hari ini akan tiba, hari dimana
Ayahnya benar-benar bangga dengan hal yang dicapainya. Agista Galendra, kini sudah menjadi pianis
seperti yang ia cita-citakan dulu.
Tangis Gista pecah setelah Ayah memeluknya. “Ayah bangga, Nak,” bisik Ayahnya sembari
mengeratkan pelukan pada putrinya itu.
Penonton ikut menitikkan air mata melihat ayah dengan anak perempuan yang sedang berbagi
kasih sayang, terharu melihat hal itu.
Kesehatan Ayah Gista membaik, namun harus tetap rutin berobat. Kini Gista mengerti mengapa
sang dahulu Ayah melarangnya melakukan apa yang ia inginkan, mengekang semua kegiatan Gista,
bukan karena Ayahnya egois, bukan. Tetapi tidak ingin jika nanti dia tidak ada, putrinya akan tersesat.
Gista sudah setuju jika ia harus menjadi dokter seperti yang diinginkan Ayahnya, tetapi Ayahnya lah yang
menolak. “Ayah ingin melihat anak Ayah bahagia dengan pilihannya, karena Ayah yakin anak Ayah tidak
pernah salah dalam memilih sesuatu. Silahkan lanjutkan cita-cita Ibumu untuk menjadi seorang pianis.”
Cinta seorang Ayah tidak ada duanya. Ayah adalah pahlawan kesayangan sekaligus idola
pertamanya, terlebih bagi seorang anak gadis seperti Gista. Tidak ada yang bakal sanggup menggantikan
posisi itu, sekalipun seorang suaminya kelak. Cinta antara Ayah dan anaknya itu beda, terlampau
istimewa malah.

Selesai.

Anda mungkin juga menyukai