com
AKSES TERBUKA
Ira Primasari1, Fitri April Yanti2, Dian Imam Saefullah3, Bagus Tri Yunianto4
1,4Teknologi Laboratorium Medik, Institut Kesehatan Rajawali, Indonesia
2Jurusan Fisika Universitas Bengkulu, Indonesia
3Jurusan Ilmu Keolahragaan, STKIP Cilacap, Indonesia
KATA KUNCI
Boraks, bakso, toksikologi boraks, kesehatan pangan
PENGANTAR
Di Indonesia sendiri terdapat banyak sekali jenis kuliner salah satunya adalah bakso yang merupakan kuliner yang sangat populer
dan disukai oleh semua lapisan masyarakat. Bakso terbuat dari daging mentah, tepung kanji, garam, dan
penyedap rasa (Effendi, 2012). Makanan ini umumnya berbentuk bulat. Bakso dengan bahan baku biasanya a
agak lunak sehingga tidak laris. Untuk mengatasi hal tersebut, produsen biasanya menambahkan jenis bahan tambahan pangan agar
teksturnya menjadi kenyal. Namun, banyak kasus yang terjadi adalah penggunaan bahan kimia berbahaya untuk menghasilkan produk yang kenyal
efek toksik yang dapat ditimbulkan, salah satunya dapat menyebabkan cacat genetik (Pongsavee,2009). Oleh karena itu, berdasarkan
tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1168/Menkes/Per/X/99, boraks termasuk dalam salah satu
kelompok bahan tambahan pangan yang dilarang keras penggunaannya (Cahyadi,2008). Meskipun ada
peraturan tentang larangan penggunaan boraks dalam makanan, masih ada produsen bakso yang menggunakan ini
bahan kimia. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2010) yang menunjukkan bahwa dari 10
sampel bakso yang diuji, 8 sampel teridentifikasi mengandung boraks. Studi lain dilakukan oleh Paratmanitya
dan Aprilia (2016) juga menunjukkan kandungan boraks sebesar 2,93% pada 94 sampel yang diuji.
Tentu ini menjadi hal yang menarik untuk dipelajari, khususnya di Pasar Ciroyom, Kota Bandung,
Indonesia. Di pasar ini banyak penjual bakso, bahkan sudah menjadi pusat penjualan bakso secara eceran
pedagang. Tentu ini akan sangat berbahaya, karena jumlah konsumennya akan sangat banyak bila
pengecer juga menjualnya di tempat tinggal atau tempat perdagangan masing-masing. Identifikasi kandungan boraks
pada bakso yang dijual di Pasar Ciroyom berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa bakso cenderung
berwarna keputihan, berbau tidak alami, dan sangat kenyal. Ciri khas dari bakso ini menunjukkan
adanya boraks di dalamnya. Hal ini mengacu pada ciri-ciri bakso yang mengandung boraks seperti yang diungkapkan oleh
Mudzkirah (2016), yaitu teksturnya sangat kenyal, warnanya lebih cenderung keputihan, baunya tidak alami
seperti daging (seperti ada bau lain yang muncul), dan jika dilempar ke lantai akan memantul. lebih tinggi dari
bakso pada umumnya. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi kandungan boraks
bakso di pasar.
TINJAUAN LITERATUR
Boraks
Boraks adalah senyawa kimia yang berasal dari logam Boron (B) yang biasa digunakan sebagai pengental,
pengawet, antiseptik, antijamur, pengawet kayu, mainan anak, dan antiseptik pada kosmetik (Svehla,1985;
Cahyadi,2008; Aminah dan Himawan,2009; Platzek,1985). Kratke, dan Schulz,2010; Craan, Myres, dan
Hijau,1997). Zat ini tidak berbau, berbentuk kristal, stabil, dan bila dilarutkan akan menghasilkan natrium
hidroksida dan asam borat (Syah,2005).
2005). Penggunaan boraks dalam bahan pangan dilarang, hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor722/MenKes/Per/IX/88. Saat boraks masuk ke dalam tubuh, maka akan diserap ke dalam darah dan disimpan di dalam
hati (Suklan,2002). Namun organ yang paling terpengaruh oleh keberadaan boraks adalah ginjal karena
berhubungan dengan sistem ekskresi (Saparinto dan Hayati,2006). Efek toksik yang dapat ditimbulkan oleh
Kehadiran boraks dalam tubuh adalah gangguan proses reproduksi, iritasi lambung, gangguan ginjal, hati
gangguan, gangguan testis, gangguan otak, demam, anuria, koma, gangguan sistem saraf pusat, apatis,
depresi, sianosis, tekanan darah rendah, kematian, anoreksia, muntah, diare, anemia, dan kejang (Suklan,
2002; Widyaningsih dan Murtini,2006; Saparinto dan Hidayati,2006; Hadrup, Frederiksen, dan
Sharma,2021; Duydu et al.,2012; Murray,1998; Jansen, Andersen, dan Schou,1984; Raja,1958).
Katzung, Masters, dan Treveor (2009) dan Lipscomb, Swartout, dan Teuschler (2004) menjelaskan bahwa boraks yang dikonsumsi
akan bereaksi dengan asam klorida di dalam lambung menghasilkan asam borat dan terdisosiasi menjadi boron.
45
Ira Prima Sari, Fitri April Yanti, Dian Imam Saefullah & Bagus Tri Yunianto
Boron yang tidak dimetabolisme akan menyebar ke seluruh bagian tubuh manusia dan membiarkannya bereaksi
berbagai biomolekul karena memiliki afinitas tinggi terhadap gugus hidroksil, amino, dan tiol, yang semuanya ada
di semua sel.
kental, warnanya tidak coklat seperti penggunaan daging tetapi cenderung keputihan; e) baunya terasa tidak wajar, ada
apakah bau lain yang muncul; dan f) bila dilempar ke lantai akan memantul seperti bola.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan
untuk melihat kondisi fisik bakso dan mengidentifikasi keberadaannya. Sedangkan kuantitatif
dilakukan pendekatan untuk mengukur kadar boraks yang terkandung dalam bakso.
Persiapan sampel
Sampel diambil dari pedagang yang aktif berdagang di Pasar Ciroyom Kota Bandung,
Indonesia. Terdapat 10 pedagang bakso dan seluruhnya diambil sebagai sampel dalam penelitian ini. Bakso yang
sudah diambil kemudian ditimbang sebanyak 5 gram dan dihaluskan. Bakso tumbuk direndam dalam air suling
selama 24 jam dan disaring.
Analisis kualitatif
Maharani (2017) menjelaskan bahwa analisis kualitatif boraks dapat dilakukan dengan memasukkan boraks
filtrat ke dalam tabung reaksi dan tambahkan larutan Barium klorida 0,1 M. Adanya endapan putih menunjukkan
konsentrasi 100 µg/ml, 500 µg/ml, 1000 µg/ml, dan 2000 µg/ml. Masing-masing larutan diambil 0,5 ml dan dimasukkan ke
dalam cawan porselen, kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan NaOH 10%. Cangkir kemudian dipanaskan sampai larutan
menguap sepenuhnya. Kemudian ditambahkan 1,5 ml larutan kurkumin 0,125% ke dalam cawan dan dipanaskan kembali selama 3
menit dan didinginkan. Setelah dingin, larutan ditambahkan 1,5 ml asam sulfat dan asam asetat (1:1). Itu
larutan diaduk sampai warna kuning hilang dan didiamkan selama 8 menit. Kemudian ditambahkan sedikit etanol dan
disaring menggunakan kertas saring. Filtrat dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml dan ditambahkan dengan
air suling sampai tanda. Absorbansi masing-masing larutan diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis
pada panjang gelombang 428 nm. Data konsentrasi dan absorbansi kemudian diplot ke dalam grafik.
46
JURNAL ILMU DAN TEKNOLOGI KEBERLANJUTAN
yang telah disiapkan dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan NaOH 10 % dan
dipanaskan hingga kering dan ditambahkan larutan kurkumin 0,125% lalu diaduk dan dipanaskan kembali selama 3 menit. Setelah pendinginan,
larutan ditambahkan 1,5 ml asam sulfat dan asam asetat (1:1), sambil diaduk sampai warna kuning hilang dan
didiamkan selama 8 menit. Selanjutnya tambahkan sedikit etanol dan disaring. Filtrat dimasukkan ke dalam
labu ukur 25 ml dan air suling ditambahkan sampai tanda. Absorbansi diukur pada a
panjang gelombang 428 nm.
HASIL
Hasil analisis kualitatif terhadap sampel
Analisis kualitatif dilakukan untuk mengidentifikasi kondisi fisik dan keberadaan boraks dalam
sampel. Hasil uji kualitatif menggunakan BaCl2larutan menghasilkan endapan putih pada semua sampel.
Sebagian besar endapan yang terbentuk terjadi pada sampel 1, sampel 4, sampel 7, sampel 9, dan sampel 10. Namun hasil tersebut
Pengamatan kondisi fisik bakso dilakukan untuk melihat kesesuaiannya dengan bahan baku
karakteristik bakso yang mengandung formalin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso berwarna keputihan
dan teksturnya padat dan kenyal. Ketika saya mencoba menjatuhkannya ke lantai, ternyata sebagian besar
bakso melambung lebih tinggi dari bakso standar. Hasil observasi kondisi fisik secara detail
dapat dilihat pada Tabel 1.
47
Ira Prima Sari, Fitri April Yanti, Dian Imam Saefullah & Bagus Tri Yunianto
Kurva standar
Kurva standar dibuat dengan memplot data konsentrasi larutan standar boraks dengan
absorbansinya. Data hasil pengukuran absorbansi dalam larutan standar dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil plot data pada Tabel 2 akan membentuk garis lurus dan persamaan garis lurus. Sumbu x
mewakili nilai konsentrasi dan sumbu y mewakili nilai absorbansi. Standar yang dihasilkan
kurva dapat dilihat pada Gambar 1. Persamaan garis yang dihasilkan adalah y = 0,001x + 0,2111 dimana persamaan garis ini akan
2,5
2
Daya serap
kadar boraks. Hal ini dapat dilihat dari jumlah deposit pada uji kualitatif (lihat Gambar 1). Karena itu,
uji kadar hanya dilakukan pada sampel 1, sampel 4, sampel 7, sampel 9, dan sampel 10. Hasil pengujian
kadar boraks dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.Hasil pengujian kandungan boraks pada bakso menggunakan spektrofotometer UV-Vis
Sampel Kandungan boraks (µg/ml)
Contoh 1 0,96443
Contoh 4 0,45391
Contoh 7 2,36680
Contoh 9 2,33730
Contoh 10 3,88390
48
JURNAL ILMU DAN TEKNOLOGI KEBERLANJUTAN
DISKUSI
Penambahan larutan BaCl2 pada uji kualitatif akan mengakibatkan terbentuknya kekeruhan atau warna putih
mengendapkan. Ini bisa terjadi jika konsentrasi boraks cukup tinggi dalam larutan. Dalam prosesnya,
larutan natrium tetraborat (boraks) bereaksi dengan barium klorida membentuk endapan putih barium
metaborat (Ba(BO2)2), dari larutan yang cukup pekat. Endapan ini larut dalam pereaksi berlebih, in
asam encer dan garam amonium (Padmaningrum dan Marwati,2013; Maharani,2017). Hasil ini juga
diperkuat dengan hasil observasi kualitatif menggunakan kit reagen boraks EASY TES. Pengamatan
pada sampel menunjukkan bahwa sifat fisik bakso berhubungan dengan keberadaan atau
tidak adanya boraks dalam bakso. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widayat (2011) dan Mudzkirah (2016) yang
menjelaskan bahwa bakso yang mengandung boraks memiliki ciri struktur yang kenyal dan lebih padat,
umur simpan lebih lama (hingga 5 hari), tidak berwarna kecoklatan seperti daging. dan cenderung putih, berbau tidak wajar, dan bila
Hasil uji kualitatif sebenarnya telah memberikan gambaran tentang penyalahgunaan boraks pada
bakso. Uji BaCl2 menunjukkan adanya endapan pada semua sampel uji. Hal yang menarik dari hasil ini
uji kualitatif adalah adanya perbedaan jumlah sedimen yang dihasilkan sebanding dengan
karakteristik bakso itu sendiri. Jika dilihat dari pengamatan, sampel yang memiliki tingkat kekenyalan dan kerapatan yang tinggi
justru menghasilkan endapan yang lebih banyak. Hal ini terjadi pada sampel 1, sampel 4, sampel 7, sampel 9, dan
sampel 10. Sehingga keempat sampel ini dilanjutkan untuk pengujian kuantitatif.
Pada tahap uji kuantitatif, kurva standar sangat menentukan. Pada penelitian ini persamaan garis y
= 0,001x + 0,2111 dan nilai R2= 0,9962. Nilai R2adalah nilai linearitas dari garis di mana
nilai yang mendekati 1 akan lebih linier. Saputra (2016) dan Baehaki et al. (2020) menjelaskan bahwa nilai R2
dapat digunakan sebagai gambaran tingkat kelayakan hasil kalibrasi sehingga dapat meminimalisir tingkat data
kesalahan.
Konsentrasi boraks yang terkandung dalam sampel yang diuji secara kuantitatif menunjukkan kadar yang sangat tinggi
kisaran 242,91 – 3.672,9 µg/ml. Tentu saja ini adalah level yang sangat tinggi dan sekaligus mampu menjelaskan alasan
bakso yang mampu melambung cukup tinggi saat dilempar ke lantai. Kadar boraks yang tinggi akan membuat bakso
Fakta lain yang tak kalah penting adalah semua sampel terindikasi mengandung boraks. Meskipun
sangat jelas bahwa penggunaan boraks dalam makanan sangat dilarang. Hal ini juga telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor722/MenKes/Per/IX/88dan Peraturan dari
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor1168/Menkes/Per/X/1999tentang penggunaan makanan
bahan tambahan dan bahan tambahan makanan yang dilarang. Penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian sebelumnya
dilakukan oleh Panjaitan (2010) dan Paratmanitya dan Aprilia (2016) yang menunjukkan masih adanya penyalahgunaan boraks
Boraks memiliki efek racun yang luar biasa pada tubuh. Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), jika boraks
terus menumpuk di dalam tubuh dan melebihi 10-20 g/kg berat badan pada orang dewasa dan 5 g/kg berat badan pada anak-
anak, akan menyebabkan kematian. Saat masuk ke dalam tubuh, boraks akan diserap oleh darah dan disimpan di dalam
hati, dan bersifat kumulatif karena tidak mudah larut dalam air dan bersifat karsinogenik. Sering konsumsi
49
Ira Prima Sari, Fitri April Yanti, Dian Imam Saefullah & Bagus Tri Yunianto
makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati dan ginjal. Bahkan dalam jumlah banyak, boraks bisa menyebabkan
anuria, koma, depresi, penurunan tekanan darah bahkan kematian (Widyaningsih dan Murtini,2006). Ini
Hal ini karena boraks yang dikonsumsi secara oral akan berinteraksi dengan asam klorida di dalam lambung dan berubah menjadi asam
borat dan berdisosiasi menjadi boron. Boron akan diserap dengan baik oleh vili usus di saluran cerna. Lebih-lebih lagi,
boron akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh (Lipscomb, Swartout, dan Teuschler,2004; Katzung, Masters
dan Treveor,2009). Boraks tidak dimetabolisme di dalam tubuh, hal ini karena membutuhkan banyak energi (523 kJ/Mol)
untuk memutuskan ikatan antara oksigen dan boron. Boraks dalam bentuk asam borat tidak terdisosiasi dan akan terdistribusi ke
seluruh jaringan. Boraks akan dikeluarkan >90% melalui urin dalam bentuk yang tidak dimetabolisme. Sebagai tambahan
untuk dilewatkan melalui urin, boraks juga diekskresikan dalam jumlah minimal melalui air liur, keringat, dan feses
(Adinugroho,2013). Masuknya boraks secara terus menerus akan menyebabkan kerusakan pada membran sel hati,
diikuti dengan kerusakan sel parenkim hati. Hal ini terjadi karena gugus aktif boraks BOB (B=O) akan berikatan
menjadi protein dan lipid tak jenuh, menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dapat merusak permeabilitas sel
karena membran sel kaya akan lipid, akibatnya semua zat dapat masuk dan keluar sel (Adinugroho, 2013).
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa bakso yang dijual di Ciroyom
Pasar diindikasikan mengandung boraks. Kandungan boraks tertinggi terdapat pada sampel 10 dengan jumlah 3.672,9
µg/ml. Hasil ini menguatkan penelitian sebelumnya yang menyatakan masih adanya penyalahgunaan boraks
dalam pengolahan bahan pangan. Tentu hal ini perlu menjadi perhatian bagi instansi terkait, seperti Pangan
dan Badan Pengawas Obat Republik Indonesia, karena berhubungan langsung dengan makanan olahan
produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sehingga dapat meningkatkan resiko gangguan kesehatan di masyarakat.
Penelitian ini masih bersifat deskriptif sehingga belum dapat menyimpulkan tentang gambaran yang utuh
penyalahgunaan boraks yang meluas dalam bakso. Keterbatasan waktu penelitian membuat penelitian ini hanya
terfokus pada analisis level dan dilakukan di satu lokasi saja. Namun perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam
dan ekstensif. Beberapa faktor juga perlu diteliti, seperti tingkat pengetahuan masyarakat,
pedagang, dan produsen. Sehingga semua faktor dapat dijadikan sebagai kumpulan data yang saling berhubungan untuk mendapatkan efektifitas
REFERENSI
Adinugroho, N. (2013).Pengaruh pemberian boraks dosis bertingkat teerhadap perubahan gambaran makroskopis dan
mikroskopis hepar selama 28 hari. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Aminah
MS & Himawan H. (2009).Bahan-bahan berbahaya dalam kehidupan. Bandung: Salamandani.
Baehaki, F., Rudibyani, RB, Aeni, SRN, Perdana, R., and Aqmarina, SN (2020). Pemanfaatan darisalak salakbiji
sebagai adsorben kromium(vi).Periodico Tche Quimica,17(34), 381–389.
Cahyadi, W. (2008).Analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan 2ted. Jakarta: Sinar Grafika.
Craan, AG, Myres AW, Hijau DW (1997). Penilaian bahaya asam borat pada mainan.Regulasi Toxicol Pharmacol,26(3),
271–280.
50
JURNAL ILMU DAN TEKNOLOGI KEBERLANJUTAN
Duydu, Y., Başaran N., Üstündağ, A., Aydın, S., Ündeğer, Ü., Ataman, OY, Aydos, K., Düker, Y., Ickstadt, K., Waltrup, BS,
Golka, K., Baut HM (2012). Penilaian integritas DNA (uji COMET) dalam sel sperma pekerja yang terpajan boron.
Arch Toxicol,86(1), 27–35.
Effendi, HMS (2012).Teknologi pengolahan dan pengawetan pangan. Bandung: Alfabet.
Hadrup, N., Frederiksen, M., & Sharma, AK (2021). Toksisitas asam borat, boraks dan senyawa lain yang mengandung boron:
Ulasan.Toksikologi Regulasi dan Farmakologi, 121.https://doi.org/10.1016/j.yrtph.2021.104873
Jansen J., Andersen J., Schou JS (1984). Farmakokinetik dosis tunggal asam borat setelah pemberian intravena ke
pria.Arch Toxicol,55(1), 64–67.
Katzung, BG, Master SB, Trevor AJ (2009).Farmakologi Dasar dan Klinis, Edisi ke-11. Jakarta: EG.
Kingma, H. (1985). Farmakologi dan toksikologi senyawa boron.Bisakah Med Assoc J.,78(8), 620–622.
Lipscomb, J., Swartout, J., & Teuschler, L. (2004).Tinjauan toksikologi boron dan senyawa. Washington DC: AS
Badan Perlindungan Lingkungan.
Maharani, LD (2017).Analisis kualitatif boraks pada beberapa makanan yang beredar di Kecamatan Jebres Kota
Surakarta. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Setia Budi.
Mudzkirah, I. (2016).Identifikasi penggunaan bahan pengawet boraks dan formalin pada makanan jajanan di kantin UIN
Alauddin Makassar. Makassar: UIN Alauddin.
Murray, FH (1998). Tinjauan komparatif farmakokinetik asam borat pada hewan pengerat dan manusia.Biol Trace Elem
Res, 66, 31–341.
Padmaningrum, RT, & Marwati S. (2013). Tester kit untuk uji boraks dalam makanan.Jurnal Penelitian Saintek,10(1),
24-33.
Panjaitan, L. (2010).Pemeriksaan dan penetapan kadar boraks dalam bakso di Kota Madya Medan Sumatera Utara. Medan:
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 Tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.
Platzek T., Kratke R., Schulz C. (2010). Produk kosmetik: aspek keamanan.Bundesgesundheitsblatt Gesundheitsforschung
Gesundheitsschutz,53(6), 610–614.
Pongsavee, M. (2009). Efek boraks pada proliferasi sel kekebalan dan pertukaran kromatid dalam kromosom manusia.
J. Menempati. Med.Toxicol.,4(27).https://doi.org/10.1186/1745-6673-4-27
Safarinto, C & Hidayati, D. (2006).Bahan tambahan pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Saputra, BM (2016).Mempengaruhi HNO3dan NaOH pada analisis Cr(III) menggunakan asam tanat secara spektrofotometri
ultra ungu-tampak. Bandar Lampung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.
Suklan, H. (2002). Apa dan mengapa boraks dalam makanan.Penyehatan Air dan Sanitasi (PAS),4(7).
Suseno, D. (2019). Analisis kualitatif dan kuantitatif kandungan boraks pada bakso menggunakan kertas turmerik, FT-IR
spektrofotometer dan spektrofotometer Uv-Vis.Jurnal Halal Indonesia, 1-9.
https://doi.org/10.14710/HALAL.V2I1.4968
Svehla, G. (1985). Vogel: Analisis kualitatif anorganik. edisi ke-5 Jakarta: PT Kalman Media Pusaka.
Syah, dkk. (2005). Manfaat dan bahaya bahan tambahan pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian
IPB.
Widayat, D. (2011).Uji kandungan boraks pada bakso. Jember: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember.
Widyaningsih & Martini (2006).Alternatif pengganti formalin pada produk pangan. Surabaya: Trubus Agrisarana.
51