Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fredrik Hayon

Nim : 18110055
MatKul : Hukum Tata Negara
Kelas : A1
Opini Hukum

Keputusan DPR dalam mencopot Aswanto dari jabatan Hakim Konstitusi yang
mana masa baktinya belum jatuh tempo dengan alasan penggantian hakim konstitusi
disebabkan DPR tidak lagi memperpanjang masa jabatan hakim Aswanto. Mengikuti
penjelasan dimaksud, logikanya hakim Aswanto diposisikan DPR sebagai hakim yang
telah mengakhiri masa jabatannya sebagai hakim konstitusi.Jika masa jabatan yang
sedang diemban hakim Aswanto diukur menggunakan UU No 24/2003, yakni masa
jabatannya baru saja diperpanjang pada 2019, hakim Aswanto bukan dalam posisi akan
atau telah mengakhiri masa jabatannya. Selain itu, bila disorot menggunakan UU No
7/2020, hakim Aswanto pun tidak sedang atau telah mengakhiri masa jabatannya. Oleh
karena itu, yang terjadi pada hakim Aswanto sesungguhnya ialah pemberhentian sebagai
hakim MK. Sebagai sebuah keputusan pemberhentian hakim konstitusi, legalitas
keputusan DPR perlu ditelaah menggunakan mekanisme pemberhentian hakim konstitusi
yang diatur dalam ketentuan yang ada. Berdasarkan Pasal 23 ayat 4 UU MK telah
menyatakan bahwa pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan
Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Alasannya pun diatur secara
limitatif dalam Pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK. Pemberhentian dengan hormat dilakukan
atas alasan-alasan diantaranya: meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun,
dan sakit jasmani atau rohani. Adapun pemberhentian secara tidak hormat dilakukan
apabila; hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan inkracht pengadilan,
melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah,
melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat MK memberi putusan,
rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, serta melanggar
kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Dalam hal ini, DPR telah melanggar
pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan” dan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan
pembentuk UU dalam hal ini Presiden dan DPR telah menghapus Periodesasi Masa
Jabatan 5 tahun hakim MK. Aturan yang berlaku saat ini, Hakim MK diberhentikan pada
Usia 70 Tahun sebagaimana tertulis dalam Pasal 87 Huruf b UU 7 Tahun 2020 tentang
Mahkamah Konstitusi; Artinya, Presiden, DPR, MA sebagai lembaga pengusul 3 hakim
MK dari masing-masing Lembaga, baru dapat mengusulkan kembali apabila Hakim MK
yang menjabat telah berusia 70 Tahun. Maka, Secara normatif, pemberhentian ini cacat
karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan dan tidak sejalan dengan UU atau
Konstitusi.
Kasus pencopotan Hakim Aswanto yang tidak sesuai dengan konstitusi bukan
hanya menimbulkan berbagai penolakan serta kritikan tajam dari segala elemen
masyarakat. Akan tetapi, muncul kekhawatiran terkait independensi Hakim MK
kedepannya, artinya; apabila kejadian mengenai pemberhentian Hakim Aswanto
dibenarkan maka nantinya akan muncul adanya potensi penarikan Hakim oleh DPR yang
dilakukan secara sepihak (lagi) jika tidak sesuai dengan keinginannya. Hal ini menyalahi
desain ketatanegaraan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni
DPR, Presiden dan MA yang sesungguhnya bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan
institusi-institusi tersebut, Tetapi untuk memastikan independensi, integritas dan kontrol
berlapis eksistensi MK sebab posisinya sebagai peradilan konstitusi yang menjaga prinsip
supremasi konstitusi yang telah dijamin oleh UUD 1945. Apalagi dalam Undang Undang
MK sudah diatur tentang tata cara pemberhentian hakim. Pasal 23 UU MK hakim MK
hanya dapat diberhentikan secara terhomat dan tidak terhormat. Bertolak belakang
dengan konsep pemisahan kekuasaan yang muncul agar tidak ada kekuasaan yang besar
dan hanya dimiliki beberapa orang atau kelompok saja, hal ini dianggap membahayakan
warga negara. Oleh sebab itu, kekuasaan dibagi menjadi beberapa kelompok. Dengan
begitu, akan sangat sulit menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan.
Pemisahan kekuasaan (separation of powers) merupakan pemisahan kekuasaan
yang dipertahankan secara tegas dalam fungsinya. Berdasarkan definisi ini, kekuasaan
dibagi menjadi tiga, yakni legislatif, eksekutif, serta yudikatif. Hakim Konstitusi sebagai
bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak dapat diintervensi atau bahkan
dipengaruhi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam menjaga dan
menegakkan konstitusi. Sikap tersebut juga sangat bertolak belakang dengan semangat
menjaga independensi dan imparsialitas seorang hakim konstitusi dalam mengadili
produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang. Tersebab apa yang
diputus DPR telah melampaui apa yang menjadi wewenangnya, menjadi kewajiban
konstitusional pula bagi DPR untuk meninjau kembali keputusan dimaksud. Itu karena
melanjutkan keputusan yang nyata-nyata memiliki cacat yuridis, akan berimplikasi luas
bagi kehidupan ketatanegaraan kedepan. Praktik penggantian hakim konstitusi yang
demikian secara langsung, akan mematikan mekanisme checks and balances antara
pembentuk undang-undang dan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Pada saat
yang sama, cara penggantian hakim konstitusi yang demikian juga akan membunuh
kemandirian hakim konstitusi dalam menyelesaikan perkara-perkara konstitusional.
Pada saat kekuasaan tidak lagi terbatas, ketika itu negara hukum telah mati. Jika
DPR tidak segera berbenah dan meninjau kembali keputusan itu serta Presiden juga tetap
menerbitkan keputusan pemberhentian hakim Aswanto dan menggantinya dengan Guntur
Hamzah, sudah saatnya batu nisan kematian dipasang di atas pusara negara hukum
Indonesia serta menghadapi meriahnya kekacauan rakyat oleh hukum yang tak layak.

Anda mungkin juga menyukai