belajar anak-anak tertentu dan mengabaikan gaya belajar anak yang lain. Gaya
mengajar guru yang monoton dan tidak bervariasi adalah bukti mengenai hal ini.
Sekadar contoh, guru yang mengajar dengan gaya ceramah (audiotory) sangat
menguntungkan anak-anak yang hobi belajar dengan mendengarkan tetapi sangat
merugikan anak-anak yang belajar dengan gaya visual dan kinestetik.
Demikian pula dengan apa yang di alami oleh Einstein di waktu kecil. Ia
cenderung mempunyai gaya belajar visual. Sedangkan guru-gurunya senang
mengajar dengan ceramah (auditory). Karena Einstein tidak bisa mengikuti gaya
mengajar guru, maka gurunya mengklaim bahwa Einstein adalah anak yang
bodoh (autis). Padahal, sesungguhnya ini hanya karena faktor kesesuaian antara
gaya belajar anak dengan gaya mengajar guru semata.
Dengan demikian, potensi diri atau kecerdasan seseorang, berpengaruh pada
gaya belajar orang tersebut. Jika ia belajar dan diajar dengan gaya yang sesuai,
maka ia mampu meningkatkan kemampuannya ke tingkat yang lebih baik.
Sebaliknya, jika gaya belajar dan gaya mengajar tidak sesuai, maka potensinya
akan terabaikan. Oleh karena itu, harus ada kesesuaian antara gaya belajar dan
gaya mengajar. Hanya dengan kesesuaian ini lah potensi anak dapat ditumbuh
kembangkan secara maksimal. Hal ini menuntut kemampuan pendidikan untuk
dapat mengenali lebih dalam peserta didiknya secara kolektif atau individual.
Mungkin, cara mengajar pendidik adalah secara klasikal. Tetapi, pendekatannya
harus secara individual. Sebab, setiap peserta didik mempunyai ciri khas dan
keunikan tersendiri yang pasti berbeda dengan anak-anak yang lain. Jika
kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk meningkatkan potensi
atau kecerdasan ini dilukiskan dalam skema, maka akan tampak sebagai berikut.
Gaya Mengajar
Gaya Belajar
Pengembangan potensi
/ Kecerdasan
Skema: Kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk mengembangkan potensi atau kecerdasan yang lebih baik
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa antara gaya mengajar dan gaya belajar
harus ada kesesuaian sehingga terjadi hubungan timbal balik. Nah, hasil dari
hubungan timbal balik lah yang mampu mengembangkan potensi atau kecerdasan
anak didik.
Jika proses pendidikan sejak awal (usia dini) telah menekankan kesesuaian
antara gaya belajar (bermain) anak dengan gaya mengajar guru, pasti setiap anak
dapat tumbuh-kembang sesuai dengan keunikan dirinya sendiri. Di samping itu,
tumbuh kembang anak tidak akan memiliki syarat oleh paksaan-paksaan guru
yang sebenarnya dapat mengancam potensi itu sendiri.
Belajar dari kisah Einstein kecil di atas, kita tidak harus mengklaim peserta
didik kita sebagai anak autis atau anak yang mengalami keterbelakangan mental,
sebagaimana yang dialami Einstein. Hal yang terpenting adalah, mendidik anak
sesuai dengan kecerdasan tertingggi sejak kelahirannya. Jika anak didik kita lebih
senang dengan dunia fantasi, maka ajarkanlah segala hal dengan cara berfantasi
atau menghhayalkan, jika anak senang dengan melukis atau mewarnai, maka
ajarkanlah segala hal dengan cara melukiskan dan mewarnainya, jika anak lebih
senang belajar sambil bergerak ke sana kemari, maka ajarkan segala hal sambil
memberi kebebasan bergerak dan lain sebagainya.
Kecerdasan Matemartis-Logis
Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan Naturalis
Skema: Kecerdasan kinestetik sebagai pintu memasuki kecerdasan lain yang lebih kompleks .
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa satu jenis kecerdasan dan ini potensi
yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain—merupakan pintu
bagi pengembangan kecerdasan yang lain. Artinya, orang yang diberi potensi atau
kecerdasan kinestetik seperti Edison, dapat menggunakan kecerdasannya tersebut
untuk menggali dan mengembangkan kecerdasan lain yang ada dalam dirinya.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa potensi tersebut setiap orang berbeda-beda,
sehingga setiap orang adalah khas dan unik sebagaimana jati dirinya.
Apa yang di alami oleh Edison di waktu kecil, sebenarnya juga di alami oleh
banyak anak-anak di berbagai belahan negeri saat ini. Tetapi, nasib mereka tidak
jauh berbeda dengan Edison di waktu kecil. Hampir seluruh sekolah menolak anak-
anak yang mempunyai gejala gerak yang sulit dikendalikan. Mereka sering
mengatakan gejala ini dengan istilah “Hiperaktif”. Padahal, sesungguhnya anak-
anak tipe demikian mempunyai kecerdasan kinestetik yang sangat tinggi.
Sebagaimana kecerdasan-kecerdasan yang lain, kecerdasan kinestetik pun bisa
menjadi pintu bagi pengembangan jenis-jenis kecerdasan yang lain.
Namun, sayangnya para guru dan orang tua hingga saat ini masih menganggap
bahwa anak-anak hiperaktif atau anak berkecerdasan kinestetik tinggi adalah anak
berkelainan, sehingga harus dimasukkan ke Sekolah Khusus atau Sekolah Luar
Biasa (SLB). Hal ini disebabkan oleh mindset atau pemahaman guru yang masih
mengikuti pandangan lama, yakni yang dimaksud anak cerdas adalah anak yang
mempunyai logika baik atau kemampuan berhitung tinggi. Sehingga, anak-anak
yang tidak mempunyai kemampuan di bidang itu secara serta merta dikatakan
sebagai anak berkebutuhan khusus.
Telah banyak bukti yang menyatakan bahwa anak-anak yang dinyatakan
hiperaktif atau mempunyai kecerdasan kinestesis tinggi di masa kecilnya justru
mampu meraih prestasi di atas rata-rata ketika dewasa. Jadi, bukan hanya Edison
yang mengalami hal ini.
Tentu, untuk mengantarkan anak-anak hiperaktif mencapai prestasi
tertingginya diperlukan pola pendidikan, khususnya gaya belajar mengajar yang
khas dan sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Inilah yang tidak dimiliki guru
pada lembaga pendidikan pada umumnya. Dengan alasan ini lah mereka
menyerahkan pola pendidikan anak-anak hiperaktif kepada guru di Sekolah Luar
Biasa.
Fenomena seperti ini sudah bukan menjadi rahasia umum. Banyak sekolah
yang memarginalkan sebagian anak dengan alasan anak tersebut tidak lazim atau
mengalami kelainan. Padahal, sesunguhnya anak tersebut hanya mempunyai
kelebihan yang menonjol dan kelebihannya tersebut tidak dimiliki oleh anak-anak
yang lain. Karena sekolah hanya menggunakan pola dan strategi mengajar yang
sama dan monoton, mereka tidak menerima anak-anak yang demikian.
Model penerimaan peserta didik baru (PMB) dengan cara memberikan tes tulis
adalah bukti yang tak terbantahkan lagi. Di dalam tes tulis tersebut, hampir semua
soal yang diajukan syarat dengan logika dan penalaran atau terlalu
mengedepankan kecerdasan matematis logis. Sedangkan soal-soal atau
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan denga kreativitas, motivasi, spiritualitas,
dan lain sebagainya hampir tidak ada. Tentu, tes yang demikian sama halnya
dengan mengutamakan anak-anak tertentu (anak berkecerdasan matematis logis
tinggi) dan mengesampingkan anak-anak yang lain.
Bahkan, fenomena terakhir menunjukkan bahwa semakin “favorit” sebuah
lembaga pendidikan atau sekolah, semakin ketat menyeleksi calon peserta
didiknya. Anak yang mempunyai kecerdasan matematis logis tinggi akan
mendapat prioritas utama di berbagai sekolah. Ia bebas memilih sekolah mana pun
yang ia suka, karena semua sokolah pasti bisa menerimanya. Sebaliknya, semakin
rendah kecerdasan matematis logis seorang anak, semakin sulit ia mendapatkan
sekolah. Ia hanya mempunyai peluang kecil untuk diterima di sekolah “favorit.”
Jarang sekali sekolah yang siap dan bersedia menerima semua jenis calon
perserta didik tanpa seleksi tes formal yang ketat dan rigid. Memang, kapasitas
sekolah sering kali sangat terbatas. Tetapi apa pun alasannya, menyeleksi calon
peserta didik dengan memberikan tes formal dan rigid tidak lah adil. Sebab, cara
yang demikian hanya menguntungkan anak-anak berkecerdasan tertentu dan
menafikkan anak-anak berkecerdasan lain.
Oleh karena itu, model seleksi utuk calon perseta didik yang masih berjalan
hingga saat ini harus dievaluasi. Jika harus ada seleksi, maka harus ada formasi
yang adil untuk semua anak dengan berbagai kecerdasan mereka. Sistem seleksi
tidak boleh mengutamakan anak bekerkecerdasan tertentu dan mennyampingkan
anak berkecerdasan lain. Semuanya harus terakomodir dengan adil, sehingga tidak
ada anak di negeri ini bagaimana pun keadaannya termarginalkan hak-hak
pendidikannya.
Apa yang dialami oleh Edison sebagaimana dikemukakan di atas kiranya dapat
menjadi pelajaran yang berharga untuk dunia pendidikan saat ini. Alangkah
bangganya jika lembaga pendidikan dapat melahirkan manusia-manusia luar biasa
seperti Edison dan Einstein di atas. Sayangnya, lembaga pendidikan ketika itu
telah mencoreng muka mereka, sehingga muncul stereotip bahwa lahirnya orang-
orang besar di dunia ini bukan atas jasa lembaga pendidikan.
Walaupun ada benarnya stereotip ini, kiranya tidak sepenuhnya dapat
dipegangi. Artinya, jika mereka tidak diolah melalui pendidikan saja bisa
demikian, tentu mereka bisa lebih berpartisipasi lagi jika di didik dalam wadah
lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan bersikap adil terhadap
semua potensi anak, sehingga siapa pun orangnya yang menjadi pelopor
peradaban dunia ini, selalu memakai jasa pendidikan. Dengan demikian,
pendidikan selalu berkembang dari masa ke masa, seiring dengan perkembangan
pemikiran para alumninya.
Kecerdasan Matemartis-Logis
Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan Eksistensial
Skema: kombinasi dua kecerdasan untuk memasuki jenis-jenis kecerdasan yang lain .
Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan Matemartis-Logis
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan Eksistensial
Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa Miyuki kecil membuka potensi diri dan
kecerdasannya melalui pintu kombinasi kecerdasan visual-spasial dan
intrapersonal. Kombinasi keduanya menjadi alat utama untuk menggali dan
mengembangkan berbagai kecerdasan lain yang belum muncul. Sebagaimana
yang dialami oleh tokoh-tokoh besar dunia yang telah disebutkan di atas, Miyuki
pun tidak jauh berbeda. Ia termasuk orang yang dikucilkan dari ranah pendidikan
formal. Walaupun demikian, semangatnya tidak surut oleh segala keterbatasan
yang ada. Justru dengan segala keterbatasan tersebut Miyuki kecil ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya mampu menyamai harkat dan martabat
anak-anak lain pada umumnya.
Sekali lagi, anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat, betapa pun
buruknya, tetap dalam keadaan genius. Mereka hanya membutuhkan sedikit
perhatian lebih dan model pembelajaran yang berbeda dengan anak-anak normal
pada umumnya.