Anda di halaman 1dari 14

Sayangnya, yang terjadi selama ini adalah guru lebih memihak pada gaya

belajar anak-anak tertentu dan mengabaikan gaya belajar anak yang lain. Gaya
mengajar guru yang monoton dan tidak bervariasi adalah bukti mengenai hal ini.
Sekadar contoh, guru yang mengajar dengan gaya ceramah (audiotory) sangat
menguntungkan anak-anak yang hobi belajar dengan mendengarkan tetapi sangat
merugikan anak-anak yang belajar dengan gaya visual dan kinestetik.
Demikian pula dengan apa yang di alami oleh Einstein di waktu kecil. Ia
cenderung mempunyai gaya belajar visual. Sedangkan guru-gurunya senang
mengajar dengan ceramah (auditory). Karena Einstein tidak bisa mengikuti gaya
mengajar guru, maka gurunya mengklaim bahwa Einstein adalah anak yang
bodoh (autis). Padahal, sesungguhnya ini hanya karena faktor kesesuaian antara
gaya belajar anak dengan gaya mengajar guru semata.
Dengan demikian, potensi diri atau kecerdasan seseorang, berpengaruh pada
gaya belajar orang tersebut. Jika ia belajar dan diajar dengan gaya yang sesuai,
maka ia mampu meningkatkan kemampuannya ke tingkat yang lebih baik.
Sebaliknya, jika gaya belajar dan gaya mengajar tidak sesuai, maka potensinya
akan terabaikan. Oleh karena itu, harus ada kesesuaian antara gaya belajar dan
gaya mengajar. Hanya dengan kesesuaian ini lah potensi anak dapat ditumbuh
kembangkan secara maksimal. Hal ini menuntut kemampuan pendidikan untuk
dapat mengenali lebih dalam peserta didiknya secara kolektif atau individual.
Mungkin, cara mengajar pendidik adalah secara klasikal. Tetapi, pendekatannya
harus secara individual. Sebab, setiap peserta didik mempunyai ciri khas dan
keunikan tersendiri yang pasti berbeda dengan anak-anak yang lain. Jika
kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk meningkatkan potensi
atau kecerdasan ini dilukiskan dalam skema, maka akan tampak sebagai berikut.

Gaya Mengajar

Gaya Belajar
Pengembangan potensi
/ Kecerdasan
Skema: Kesesuaian antara gaya belajar dan gaya mengajar untuk mengembangkan potensi atau kecerdasan yang lebih baik

Dari skema di atas dapat dilihat bahwa antara gaya mengajar dan gaya belajar
harus ada kesesuaian sehingga terjadi hubungan timbal balik. Nah, hasil dari
hubungan timbal balik lah yang mampu mengembangkan potensi atau kecerdasan
anak didik.
Jika proses pendidikan sejak awal (usia dini) telah menekankan kesesuaian
antara gaya belajar (bermain) anak dengan gaya mengajar guru, pasti setiap anak
dapat tumbuh-kembang sesuai dengan keunikan dirinya sendiri. Di samping itu,
tumbuh kembang anak tidak akan memiliki syarat oleh paksaan-paksaan guru
yang sebenarnya dapat mengancam potensi itu sendiri.
Belajar dari kisah Einstein kecil di atas, kita tidak harus mengklaim peserta
didik kita sebagai anak autis atau anak yang mengalami keterbelakangan mental,
sebagaimana yang dialami Einstein. Hal yang terpenting adalah, mendidik anak
sesuai dengan kecerdasan tertingggi sejak kelahirannya. Jika anak didik kita lebih
senang dengan dunia fantasi, maka ajarkanlah segala hal dengan cara berfantasi
atau menghhayalkan, jika anak senang dengan melukis atau mewarnai, maka
ajarkanlah segala hal dengan cara melukiskan dan mewarnainya, jika anak lebih
senang belajar sambil bergerak ke sana kemari, maka ajarkan segala hal sambil
memberi kebebasan bergerak dan lain sebagainya.

1. Thomas A. Edison pernah dikeluarkaan dari sekolah.


Bukti kedua bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan genius adalah
keberadaan Thomas Alpha Edison. Orang ini adalah penemu bola lampu yang kini
menerangi seluruh penjuru dunia ini.
Tidak jauh berbeda dengan fisikawan dunia, Einstein. Sebagaimana
dikemukakan di atas, Edison di masa kecil juga pernah divonis autis. Bahkan,
ketika hendak masuk sekolah dasar, ia di tolak berulang kali. Ketika ada sebuah
sekolah yang berkenan menerimanya, ia sempat dikeluarkan atau dipindahkan
pada Sekolah Luar Biasa (SLB).
Apa sesungguhnya yang dilakukan oleh Edison sehingga membuat guru-guru
di sekolah memperlakukannya demikian? Beberapa sumber menyebutkan bahwa
Edison di waktu kecil senang mengerami telur, layaknya induk ayam yang
mengerami telurnya. Edison bisa merasakan energi hangat atau panas ketika
melakukan hal itu. Tetapi, karena guru dan orang-orang di sekelilingnya
menganggap bahwa perilaku tersebut tidak lazim dilakukan oleh anak-anak pada
umumnya, maka mereka menyimpulkan bahwa Edison memiliki penyakit
kelainan mental. Sekolah pun tidak segan-segan mengeluarkannya dan
merekomendasikan agar ia dimasukkan ke sekolah SLB.
Bahkan, ketika Edison memulai karya besarnya untuk menciptakan bola
lampu, banyak orang yang menghinanya dengan mengatakan “Dasar orang gila.”
Terlebih lagi ketika ia telah gagal sebanyak 999 kali dalam upayanya tersebut.
Hampir semua orang semakin yakin bahwa Edison mengalami kelainan jiiwa,
karena terus melakukan hal-hal yang selalu gagal.
Walaupun ada sebagian orang yang percaya bahwa Edison tidak gila, tetapi
mereka tidak henti-hentinya meyarankan untuk menghentikan proyek raksasanya
tersebut. Alasannya, kegagalan yang sekian banyak telah dianggap cukup untuk
membuktikan bahwa percobaanya tidak mungkin dilanjutkan.
Dengan kata lain, Edison di waktu kecil bukan lah anak yang dinilai kebanyak
orang sebagai anak yang cerdas apalagi genius. Ia di mata kebanyakan orang
adalah anak yang bermasalah, bodoh, bahkan berkelainan jiwa.
Lagi-lagi, berita-berita ini sungguh mengejutkan. Betapa tidak? Siapa yang
menyangka bahwa penemu bola lampu yang kini dimanfaatkan semua orang di
dunia ini dulunya diklaim sebagai anak autis, keterbelakangan mentalnya, bahkan
pada saat ia duduk dibangku SD saja di keluarkan.
Pertanyaanya, “Mengapa anak yang oleh para guru dianggap autis bisa menjadi
ilmuwan besar?” Kira-kira, jawabannya tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi dengan Einstein di atas. Klaim “autis” atau keterbelakangan mental itu
hanya di keluarkan oleh orang-orang yang tidak mengatahui “potensi unik”
seorang anak. Mindset kebanyakan orang (termasuk guru) waktu itu telah tertutup
oleh pemahaman bahwa genius atau tidaknya seseorang hanya ditentukan oleh
kemampuan berhitung atau kecerdasan matematis logisnya. Sedangkan
kemampuan di luar itu akan dianggap sebagai autis atau keterbelakangan mental.
Wajar, jika Edison kecil yang tidak bisa diam, duduk manis sambil
mendengarkan guru mengajar lantas diklaim sebagai anak autis atau anak yang
mengalami keterbelakangan mental. Untunglah, Edison diasuh oleh Ibunya,
dididik, dibesarkan, dan diasah potensi geraknya tersebut, sehingga suatu saat,
jadi lah sosok Edison yang utuh, unik, dan memiliki ciri khas dengan kemampuan
yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Dalam bahasa Multiple Intellegences, Edison sebagaimana disebutkan di atas
memiliki potensi kecerdasan kinestetik. Kemudian, ia menggunakan potensi
kecerdasannya tersebut untuk memasuki dan mengembangkan kecerdasan-
kecerdasan lain, terutama logika matematika dan visual spasial. Dengan demikian
ia menggunakan potensi unik dalam dirinya sebagai pintu gerbang untuk
mengembangkan berbagai kekcerdasan dalam dirinya. Jika hal ini dilukiskan
dalam sebuah skema, maka akan terlihat sebagai berikut:

Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Visual-Spasial

Pintu Kecerdasan Musical


pembuka Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan
potensi
Kinestetik Kecerdasan Interpersonal
diri /
kecerdas
Kecerdasan Intrapersonal
an
Kecerdasan Eksistensial

Kecerdasan Naturalis

Skema: Kecerdasan kinestetik sebagai pintu memasuki kecerdasan lain yang lebih kompleks .

Dari skema di atas dapat dilihat bahwa satu jenis kecerdasan dan ini potensi
yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain—merupakan pintu
bagi pengembangan kecerdasan yang lain. Artinya, orang yang diberi potensi atau
kecerdasan kinestetik seperti Edison, dapat menggunakan kecerdasannya tersebut
untuk menggali dan mengembangkan kecerdasan lain yang ada dalam dirinya.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa potensi tersebut setiap orang berbeda-beda,
sehingga setiap orang adalah khas dan unik sebagaimana jati dirinya.
Apa yang di alami oleh Edison di waktu kecil, sebenarnya juga di alami oleh
banyak anak-anak di berbagai belahan negeri saat ini. Tetapi, nasib mereka tidak
jauh berbeda dengan Edison di waktu kecil. Hampir seluruh sekolah menolak anak-
anak yang mempunyai gejala gerak yang sulit dikendalikan. Mereka sering
mengatakan gejala ini dengan istilah “Hiperaktif”. Padahal, sesungguhnya anak-
anak tipe demikian mempunyai kecerdasan kinestetik yang sangat tinggi.
Sebagaimana kecerdasan-kecerdasan yang lain, kecerdasan kinestetik pun bisa
menjadi pintu bagi pengembangan jenis-jenis kecerdasan yang lain.
Namun, sayangnya para guru dan orang tua hingga saat ini masih menganggap
bahwa anak-anak hiperaktif atau anak berkecerdasan kinestetik tinggi adalah anak
berkelainan, sehingga harus dimasukkan ke Sekolah Khusus atau Sekolah Luar
Biasa (SLB). Hal ini disebabkan oleh mindset atau pemahaman guru yang masih
mengikuti pandangan lama, yakni yang dimaksud anak cerdas adalah anak yang
mempunyai logika baik atau kemampuan berhitung tinggi. Sehingga, anak-anak
yang tidak mempunyai kemampuan di bidang itu secara serta merta dikatakan
sebagai anak berkebutuhan khusus.
Telah banyak bukti yang menyatakan bahwa anak-anak yang dinyatakan
hiperaktif atau mempunyai kecerdasan kinestesis tinggi di masa kecilnya justru
mampu meraih prestasi di atas rata-rata ketika dewasa. Jadi, bukan hanya Edison
yang mengalami hal ini.
Tentu, untuk mengantarkan anak-anak hiperaktif mencapai prestasi
tertingginya diperlukan pola pendidikan, khususnya gaya belajar mengajar yang
khas dan sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Inilah yang tidak dimiliki guru
pada lembaga pendidikan pada umumnya. Dengan alasan ini lah mereka
menyerahkan pola pendidikan anak-anak hiperaktif kepada guru di Sekolah Luar
Biasa.
Fenomena seperti ini sudah bukan menjadi rahasia umum. Banyak sekolah
yang memarginalkan sebagian anak dengan alasan anak tersebut tidak lazim atau
mengalami kelainan. Padahal, sesunguhnya anak tersebut hanya mempunyai
kelebihan yang menonjol dan kelebihannya tersebut tidak dimiliki oleh anak-anak
yang lain. Karena sekolah hanya menggunakan pola dan strategi mengajar yang
sama dan monoton, mereka tidak menerima anak-anak yang demikian.
Model penerimaan peserta didik baru (PMB) dengan cara memberikan tes tulis
adalah bukti yang tak terbantahkan lagi. Di dalam tes tulis tersebut, hampir semua
soal yang diajukan syarat dengan logika dan penalaran atau terlalu
mengedepankan kecerdasan matematis logis. Sedangkan soal-soal atau
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan denga kreativitas, motivasi, spiritualitas,
dan lain sebagainya hampir tidak ada. Tentu, tes yang demikian sama halnya
dengan mengutamakan anak-anak tertentu (anak berkecerdasan matematis logis
tinggi) dan mengesampingkan anak-anak yang lain.
Bahkan, fenomena terakhir menunjukkan bahwa semakin “favorit” sebuah
lembaga pendidikan atau sekolah, semakin ketat menyeleksi calon peserta
didiknya. Anak yang mempunyai kecerdasan matematis logis tinggi akan
mendapat prioritas utama di berbagai sekolah. Ia bebas memilih sekolah mana pun
yang ia suka, karena semua sokolah pasti bisa menerimanya. Sebaliknya, semakin
rendah kecerdasan matematis logis seorang anak, semakin sulit ia mendapatkan
sekolah. Ia hanya mempunyai peluang kecil untuk diterima di sekolah “favorit.”
Jarang sekali sekolah yang siap dan bersedia menerima semua jenis calon
perserta didik tanpa seleksi tes formal yang ketat dan rigid. Memang, kapasitas
sekolah sering kali sangat terbatas. Tetapi apa pun alasannya, menyeleksi calon
peserta didik dengan memberikan tes formal dan rigid tidak lah adil. Sebab, cara
yang demikian hanya menguntungkan anak-anak berkecerdasan tertentu dan
menafikkan anak-anak berkecerdasan lain.
Oleh karena itu, model seleksi utuk calon perseta didik yang masih berjalan
hingga saat ini harus dievaluasi. Jika harus ada seleksi, maka harus ada formasi
yang adil untuk semua anak dengan berbagai kecerdasan mereka. Sistem seleksi
tidak boleh mengutamakan anak bekerkecerdasan tertentu dan mennyampingkan
anak berkecerdasan lain. Semuanya harus terakomodir dengan adil, sehingga tidak
ada anak di negeri ini bagaimana pun keadaannya termarginalkan hak-hak
pendidikannya.
Apa yang dialami oleh Edison sebagaimana dikemukakan di atas kiranya dapat
menjadi pelajaran yang berharga untuk dunia pendidikan saat ini. Alangkah
bangganya jika lembaga pendidikan dapat melahirkan manusia-manusia luar biasa
seperti Edison dan Einstein di atas. Sayangnya, lembaga pendidikan ketika itu
telah mencoreng muka mereka, sehingga muncul stereotip bahwa lahirnya orang-
orang besar di dunia ini bukan atas jasa lembaga pendidikan.
Walaupun ada benarnya stereotip ini, kiranya tidak sepenuhnya dapat
dipegangi. Artinya, jika mereka tidak diolah melalui pendidikan saja bisa
demikian, tentu mereka bisa lebih berpartisipasi lagi jika di didik dalam wadah
lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan bersikap adil terhadap
semua potensi anak, sehingga siapa pun orangnya yang menjadi pelopor
peradaban dunia ini, selalu memakai jasa pendidikan. Dengan demikian,
pendidikan selalu berkembang dari masa ke masa, seiring dengan perkembangan
pemikiran para alumninya.

2. Anak autis yang pandai berpidato dan hapal 250 lagu.


Fakta lain yang mengindikasikan bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
genius adalah keberadaan Kharisma Rizki Ia adalah peserta didik pada Sekolah
Luar Biasa di Semarang, Jawa Tengah. Walaupun ia dikatakan sebagai anak autis,
tetapi ia mampu menghafal 250 lagu, lengkap dengan cara melantunkannya.
Disamping itu, ia juga mampu menghafal seluruh merk Handphone (HP) yang
beredar di negeri ini. Yang lebih mengherankan lagi, ia mampu menirukan
sekaligus menghafal pidato seseorang hanya dalam sekali dengar saja.
Ia pernah diekspos oleh media elektronik dalam acara Kick&Andy di stasiun
Metro TV. Dengan di dampingi oleh Kepala Sekolah Luar Biasa Ciptono,
Kharisma menunjukkan kebolehannya di depan ratusan juta pemirsa di seluruh
penjuru tanah air. Di bawah panduan moderator atau pembawa acara dalam
tayangan tersebut, Kharisma secara alamiah memperagakan kemampuannya
secara mengagumkan. Betapa tidak? ketika ia diminta untuk menyebutkan nama-
nama atau judul-judul lagu, ia mampu menyebutkanya dengan sempurna.
Demikian pula dengan hafalannya terhadap seluruh merk HP yang beredar di
negeri ini. Yang membuat terkejut semua orang adalah, ketika ia diminta untuk
menirukan pidato Soekarno yang diperdengarkan melalui kaset rekaman selama
kurang lebih lima menit. Dengan sangat sempurna, Kharisma menirukan pidato
sang Proklamator tersebut tanpa cacat. Kata-katanya tidak ada yang salah, nada
dan iramanya sama persis, bahkan gertakan dan kobaran semangat tampak
menyala dalam pidato tiruannya tersebut.
Hanya saja, ia tidak mengimbangi pidatonya yang sangat sempurna tersebut
dengan gerak verbal (mimik) yang baik. Tangan dan kakinya tampak selalu
bergerak dan tidak beraturan. Ia juga terlihat gesit bergerak dan terkesan sulit
dikendalikan. Memang demikian keadaannya anak autis yang luar biasa itu.
Bahkan, menurut keterangan guru-guru di sekolahnya, Kharisma, si autis itu
tangannya tidak bisa diam memukul-mukul meja membentuk irama tertentu. Ia
juga sulit memusatkan perhatian di kelas. Bahkan, ia selalu menjadi “biang kerok”
di kelasnya.
Atas kepiawaian guru-gurunya lah anak autis tersebut dapat di didik sesuai
dengan gaya belajarnya. Hasilnya, sungguh mengejutkan dunia. Anak yang
divonis autis, di tangan pendidik yang kreatif bisa menjadi anak yang tumbuh
melebihi tumbuh-cerdas anak-anak normal pada umumnya. Apa sesungguhnya
yang terjadi dalam diri Kharisma tersebut? Sebagaimana yang dialami oleh
Einstein dan Edison di atas, bahwa Kharisma sesunguhnya hanya mempunyai
kecerdasan yang tidak lazim dimiliki oleh anak-anak yang lain. Karena mindset
atau frame pemikiran guru dan orang tua anak yang demikian bukanlah anak yang
cerdas, lantas mereka memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Guru dan
orangtuanya selama ini hanya berpikir bahwa anak yang normal dan cerdas
adalah anak yang mempunyai logika penalaran yang sehat dan kemampuan
berhitung secara memadai. Sedangkan kemampuan-kemampuan yang lain
dinafikkan begitu saja, bahkan dianggapnya sebagai “aib.”
Dalam konteks Multiple Intellegences, Kharisma sebagaimana disebutkan di
atas mempunyai kecerdasan kinestetik yang sangat tinggi. Kemampuannya untuk
senantiasa menggerakkan tangan dan kakinya adalah indikasi kecerdasan ini.
Keanehan anak-anak hiperaktif ini pula yang dijadikan senjata sekolah-sekolah
unggulan di abad ini untuk mengklaim anak-anak yang demikian itu sebagai anak
berkebutuhan khusus. Lantas, mereka tidak mau menerima mereka karena merasa
sekolahnya unggul dan bergengsi.
Untungnya, ada Sekolah Luar Biasa (SLB) yang guru-gurunya tidak
memperlakukan anak-anak seperti Kharisma diatas sebagai anak autis atau anak
berkebutuhan khusus. Mereka hanya memperlakukan atau mendidiknya sesuai
dengan keunikan diri setiap anak. Di bawah asuhan dan pola pendidikan yang
sesuai dengan ciri khas atau jati dirinya, ia dapat membangkitkan dan
mengembangkan berbagai kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Artinya, jika
dalam Multiple Intellegence ditemukan bahwa dalam setiap anak terdapat 9
(sembilan) jenis kecerdasan, maka Kharisma memasuki delapan kecerdasan yang
lain melalui kecerdasan kinestik.
Tetapi, melihat kemampuannya menirukan berbagai suara, sepertinya
Kharisma juga mempunyai kecerdasan linguistik yang tinggi. Oleh karena itu, ia
bisa disebut sebagai anak yang telah mampu mengkombinasikan dua kecerdasan
untuk memasuki ketujuh kecerdasan yang lain. Lihat skema berikut ini.

Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Visual-Spasial

Pintu Kecerdasan Musical


pembuka Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan
potensi
Kinestetik
diri / Kecerdasan Interpersonal
kecerdas
an Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan Eksistensial

Skema: kombinasi dua kecerdasan untuk memasuki jenis-jenis kecerdasan yang lain .

Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa kombinasi dua kecerdasan


(kinestetik dan linguistik) dapat menjadi pintu untuk memasuki berbagai
kecerdasan yang lain dengan lebih mudah. Dalam hal ini, menjadi tugas berat
orang tua dan guru untuk menemukan jenis kecerdasan tertentu yang dimiliki
setiap anak didik sejak ia dilahirkan. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa jenis
kecerdasan tersebut pasti berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lain
sehingga, tidak ada metode tunggal dan final untuk menemukan berbagai
kecerdasan setiap peserta didik.
Oleh karena itu, diperlukan “sikap edukatif” yang tinggi untuk menemukan
jenis kecerdasan setiap anak. Setelah jenis kecerdasan tersebut ditemukan dalam
diri setiap anak didik, maka tugas dan kewajiban guru atau orangtua selanjutnya
adalah mendidiknya sesuai dengan jenis kecerdasan yang dimiliki tersebut. Sebab,
jenis kecerdasan tersebut akan menjadi gaya belajar yang khas pada setiap anak.
Oleh karena itu, gaya mengajar guru harus disesuaikan dengan gaya belajar anak.
Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah ketidaksinambungan antara materi yang
diajarkan dengan kebutuhan anak. Bahkan, bisa jadi anak tidak tahu menahu
terhadap semua yang dimaksudkan guru.
Jika telah terjadi demikian, biasanya guru lah yang menyelahkan anak-didiknya
dengan alasan anak tersebut kurang pintar, lambat, sulit mengerti, bahkan bodoh.
Sangat sedikit guru yang mengakui kegagalan belajar anak didiknya sebagai
kegagalan cara mengajarnya.

3. Tuna Graita Menjadi Pelukis Berbakat.


Fakta yang satu ini tidak mungkin terbantahkan, sebagai bukti untuk kesekian
kalinya bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan genius. Jika genius dipahami
sebagai kemampuan luar biasa atau kepandaian di atas rata-rata, maka siapa yang
meragukan kemampuan pelukis berbakat ini? Ia adalah Andi Wibowo, seorang
tunanetra, murid sebuah SLB di Jawa Tengah. Bakatnya melukis sangat
mengagumkan. Jika para pelukis pada umumnya mengguratkan penanya dengan
satu tangan, maka Andi melukis dengan dua tangannya sekaligus. Bahkan, ia
mampu melukis dua obyek secara bersamaan. Pada usianya yang masih belasan
tahun, lukisannya terjual senilai jutaan rupiah.
Fakta yang satu ini adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa semua anak
dilahirkan dalam keadaan genius. Dalam konteks Multiple Intellegence, Andi
Wibowo mempunyai kecerdasan visual-spasial, interpersonal, dan kecerdasan
musical yang tinggi. Karya-karyanya di bidang seni lukis membuktikan hal itu.
Nah, dalam konteks ini, guru dan orang tua telah sukses menemukan jenis
kecerdasan yang dimiliki si kecil yang malang itu. Setelah jenis kecerdasannya
ditemukan, maka predikat “malang” atas tunagrahitanya tersebut telah lepas dan
terbebas sama sekali. Kini, yang ada adalah si Andi yang genius. Tugas
pendidikan dan orangtua selanjutnya adalah mengasuh dan mendidik dengan pola
yang sejalan dengan gaya belajarnya. Dengan pola pendidikan yang tepat, Andi
kecil dapat membangkitkan berbagai kecerdasan yang ada dalam dirinya. Lihat
skema berikut ini.
Kecerdasan Matematis-Logis

Pintu Kecerdasan Linguistik


pembuk
a Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan Visual-
Spasial potensi
Kecerdasan Kinestetik
diri /
kecerda
Kecerdasan Intrapersonal
san

Kecerdasan Eksistensial

Dalam skema di atas, dapat dilihat bahwa semakin banyak kombinasi


kecerdasan yang ditemukan, semakin mudah seseorang untuk memasuki dan
meningkatkan berbagai kecerdasan yang lain. Sebaliknya, semakin sedikit tingkat
kombinasi kecerdasan yang ditemukan, semakin berat untuk memasuki, menggali,
dan meningkatkan berbagai kecerdasan lainnya.
Walaupun demikian, yang terpenting adalah modal dasar kecerdasan setiap
anak harus ditemukan. Sebab, modal dasar kecerdasan ini adalah landasan bagi
pengembangan diri anak lebih lanjut. Jika jenis kecerdasan ini belum ditemukan,
maka yang terjadi adalah “malpraktik” pendidikan. Guru akan cenderung
menggunakan metode yang sama untuk semua anak. Tentu hal ini tidak akan
membawa hasil yang signifikan, karena metode yang cocok untuk anak tertentu
belum tentu cocok untuk anak yang lain.
Jangan berharap untuk dapat menemukan berbagai jenis kecerdasan dalam diri
setiap anak. Sebab, biasanya setiap anak hanya memiliki satu atau dua, jenis
kecerdasan saja. Selebihnya harus digali, dikembangkan dan ditingkatkan. Di
samping itu, satu atau dua jenis kecerdasan yang telah ditemukan kiranya cukup
sebagai modal awal bagi pengembangan diri dan peningkatan kecerdasan yang
lain. Bahkan, seandainya anak tersebut hanya memiliki satu jenis kecerdasan pun,
telah cukup untuk mendongkrak berbagai kecerdasan lain yang ada dalam dirinya.
Sebab, pintunya telah diketemukan. Sehingga, tidak terlalu sulit untuk
membukanya.
Tidak hanya Andi Wibiwo saja yang dilahirkan dalam keadaan cacat yang pada
akhirnya mampu meraih prestasi di atas rata-rata orang-orang normal pada
umumnya. Masih banyak orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan cacat tetapi
mampu meraih prestasi terbaik dalam hidupnya. Sekadar contoh, Terry Fok,
seorang manusia “berkaki satu” dari Kanada yang mampu menyelesaikan lari
jarak jauh. Rata-rata ia berlari dengan kaki palsunya sejauh 26,2 mil setiap hari,
atau Jimm Abbott, seorang pitcher kidal California Angles yang pada usia lima
tahun membuang tangan kanan palsunya tetapi berprestasi dalam tim basket,
sepak bola dan bisbol di sekolah menengah atau spesialis tendangan bebas Tom
Dempsey yang walaupun lahir tanpa lengan kanan dan hanya mempunyai
setengah kaki kanan, bisa mencapai rekor sebagai pencetak gol jarak 60 meter
untuk tim New Orleans Saints.
Dari sini, dapat diamati bahwa orang-orang yang cacat sejak lahir tidak
kehilangan hak dan kesempatannya untuk berperestasi layaknya orang-orang
normal pada umumnya. Bahkan, prestasi mereka jauh melampaui prestasi anak-
anak yang dilahirkan dalam keadaan sempurna. Masih banyak lagi orang-orang
yang lahir dalam keadaan cacat atau kurang sempurna tetapi justru mampu
menyumbangkan karya terbaiknya bagi peradaban dunia.
Semua fakta di atas menunjukkan bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan
genius. Tidak ada anak yang dilahirkan dalam keadaan bodoh, terbelakang,
berkelainan, dan vonis-vonis buruk lainnya. Berbagai pengalaman membuktikan
bahwa klaim-klaim tersebut hanya dikeluarkan oleh orang-orang termasuk guru
yang tidak memahami harkat dan martabat anak sebagai makhluk suci karunia
Tuhan yang tak ternilai harganya.
Bagaimanapun keadaan seorang anak ketika dilahirkan, semuanya mempunyai
kesempatan yang sama untuk hidup merdeka dan memperoleh hak-haknya.
Bahkan, tidak sedikit anak-anak dilahirkan dalam keadaan cacat mampu
mengalahkan pesaingnya dari kalangan anak-anak normal.
Mereka (anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat tersebut) hanya
memerlukan sedikit perhatian yang lebih dan berbeda dengan anak-anak sempurna
pada umumnya. Hal ini merupakan kewajaran, mengingat anak-anak yang
dilahirkan dalam keadaan cacat banyak mengalami keterbatasan. Tetapi, sebesar
apapun keterbatasan mereka bukan utuk dihindari, melainkan diberdayakan.
Sehingga, keadaan yang serba terbatas itu menjadi tidak terbatas lagi. Walaupun
caranya tidak manusiawi jika mereka yang sudah dilahirkan dalam keadaan cacat
itu justru mendapat perlakukan yang kurang dari pada anak-anak normal pada
umumnya. Betapa banyak orangtua dan guru yang menyerah sebelum berjuang
membesarkan, memberdayakan, dan memperjuangkan nasib anak-anak cacat itu.
Tidak jarang diantara mereka yang mendikdik anak-anak cacat tersebut sekadar
membuat mereka bertahan hidup, tanpa ada upaya yang berarti. Mereka telah
menyerah dan berputus asa sebelum potensi dalam diri anak-anak cacat tersebut
tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, banyak orangtua dan guru yang
menyerah pasrah atas keterbatasan anak-anak tersebut. Lantas, mereka
mencampakkannnya begitu saja, atau dipelihara untuk sekadar bertahan hidup
semata.
Sungguh malang nasib mereka di tangan guru dan orangtua yang demikian itu.
Anak yang seharusnya mendapat perhatian lebih justru tersisih oleh lembaga
pendidikan yang seharusnya melindungi hak-hak kecerdasannya. Dengan
menyadari hal ini, kiranya para pendidik dan orang tua tidak berputus asa untuk
mengembangkan potensi dan kecerdasan anak didiknya, walaupun mereka dalam
keadaan serba terbatas. Sebab, peluang mereka adalah sama dengan anak pada
umumnya. Mereka hanya membutuhkan sedikit perhatian lebih dan cara belajar
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya tidak lebih dari itu.

4. Dilahirkan tidak normal mampu menulis buku.


Sampai disini kita masih membicarakan bahwa semua anak dilahirkan dalam
keadaan genius. Kehadiran orang yang satu ini di muka bumi tidak boleh
dilupakan. Ia adalah termasuk jajaran orang yang ketika lahir dalam keadaan tidak
normal, karena lahir premature dengan berat badan tidak mencapai 1Kg atau
hanya berkisar antara 500 gram saja, tetapi mampu meraih prestasi terbaik dalam
hidupnya. Ia tidak lain dan tidak bukan adalah Miyuki Inoue.
Siapa yang menyangka bahwa si mungil itu di masa dewasa mampu
mengalahkan ribuan orang yang dulu dilahirkan dalam keadaan sempurna? Dalam
usianya yang masih muda belia, ia mampu menulis buku yang sangat fenomenal
berjudul Aku Dilahirkan Hanya 500 gr. Hampir tidak ada orang tidak mengenal
buku karangan mantan anak genius ini. Siapa pun yang mebaca buku ini, pasti
terkagum-kagum dibuatnya. Tulisan mantan anak genius yang dulunya tidak
normal itu mengandung daya ubah luar biasa. Beberapa bagain diantaranya
mampu membakar motivasi setiap pembacanya untuk meraih prestasi menggapai
hidup yang lebih berarti.
Dalam konteks Multiple Intellegences, Miyuki Mempunyai kecerdasan visual-
spasial yang sangat tinggi. Kemampuannya untuk berimajinasi kreatif merupakan
indikasi yang sangat jelas mengenai hal ini. Di samping itu, melihat semangat
Miyuki kecil yang tiada putus asa, ia juga mempunyai kecerdasan intrapersonal
yang tingi. Semangatnya untuk terus mengembangkan diri membuktikan hal itu.
Di bawah bimbingan, asuhan, dan pengajaran orangtua dan gurunya, ia dapat
membuka berbagai kecerdasan lain yang ada dalam dirinya. Jika jalan membuka
pintu kecerdasan ini dilukiskan dalam sebuah skema, maka akan tampak sebagai
berikut:

Kecerdasan Matemartis-Logis

Kecerdasan Linguistik

Pintu Kecerdasan Musical


pembuka
potensi Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan
diri /
Visual- Kecerdasan Kinestetik
kecerdas
Spasial
an
Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan Eksistensial

Dari skema di atas, dapat dilihat bahwa Miyuki kecil membuka potensi diri dan
kecerdasannya melalui pintu kombinasi kecerdasan visual-spasial dan
intrapersonal. Kombinasi keduanya menjadi alat utama untuk menggali dan
mengembangkan berbagai kecerdasan lain yang belum muncul. Sebagaimana
yang dialami oleh tokoh-tokoh besar dunia yang telah disebutkan di atas, Miyuki
pun tidak jauh berbeda. Ia termasuk orang yang dikucilkan dari ranah pendidikan
formal. Walaupun demikian, semangatnya tidak surut oleh segala keterbatasan
yang ada. Justru dengan segala keterbatasan tersebut Miyuki kecil ingin
menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya mampu menyamai harkat dan martabat
anak-anak lain pada umumnya.
Sekali lagi, anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan cacat, betapa pun
buruknya, tetap dalam keadaan genius. Mereka hanya membutuhkan sedikit
perhatian lebih dan model pembelajaran yang berbeda dengan anak-anak normal
pada umumnya.

5. Tidak lulus SD, menjadi Publik Speakers taraf dunia.


Andre Wongso! Ini lah salah satu orang yang tercatat dalam buku sejarah dunia
sebagai orang yang tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi menjadi motivator
papan atas dunia. Bahkan, buku-buku karyanya mendapat apresiasi tinggi di
kalangan masyarakan. Predikat “Best Seller” terhadap karya-karyanya
membuktikan hal itu.

Anda mungkin juga menyukai