Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KELAINAN KEPALA DAN LEHER PADA ANAK

Oleh:
Stefanus Bobby Prayogo
NPM: 130221220012

Pembimbing:
Dr. dr. Rizki Diposarosa, Sp.BA, Subsp.D.A(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


PADJADJARAN BANDUNG
2022
Pendahuluan

Kompleks anatomi kepala dan leher secara natural berhubungan dengan gangguan kepala

dan leher pada anak-anak dan sering mengakibatkan dilema penegakkan diagnostik untuk

tatalaksana pediatrik. Meskipun gangguan kepala dan leher orang dewasa terutama neoplasma

seperti karsinoma sel skuamosa, limfoma, atau melanoma, kelainan pada pediatrik yang lebih

sering adalah kelainan kongenital/perkembangan seperti hemangioma infantil, fibromatosis colli,

kista duktus tiroglosus, atau anomali aparatus brankial. Klinisi dapat menentukan lesi dapat

mewakili suatu penyakit berdasarkan presentasi dan lokasi. Misalnya, hangat, merah atau

kemungkinan besar perubahan warna kulit seperti stroberi merupakan hemangioma infantil jinak,

sehingga observasi ketat atau pemeriksaan dengan ultrasonografi mungkin diperlukan. Namun,

jika seorang anak datang dengan keluhan leher asimetris karena jaringan lunak, atau pembesaran

massa leher, pencitraan diagnostik yang lebih akurat diperlukan. Bila memungkinkan, sebagian

besar evaluasi diagnostik kepala dan leher pada neonatus, bayi, dan anak kecil dimulai dengan

ultrasonografi sederhana. Modalitas ini memberikan informasi realtime tentang arah aliran darah

dan kecepatannya, di samping ditemukannya karakteristik gangguan dan hubungannya dengan

struktur yang berdekatan. Selain itu, ultrasonografi sederhana ini hemat biaya, banyak tersedia,

dan modalitas pencitraan diagnostik cepat. Dalam kasus di mana ultrasonografi sederhana ini

tidak sepenuhnya mencirikan lesi, atau jika entitas yang dicurigai dianggap berasal dari dalam

jaringan lunak servikal yang dalam, pemeriksaan computed tomography (CT) scan atau

Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin diperlukan.

Meskipun CT scan menghadapkan pasien pada radiasi pengion, ini adalah pencitraan

yang lebih hemat biaya dan lebih cepat daripada pencitraan MRI. Selain itu, CT scan

menyediakan detail struktur tulang yang mungkin terlibat.

2
MRI memberikan evaluasi jaringan lunak yang lebih besar dan memungkinkan penentuan

jaringan lunak halus dengan temuan seperti penyebaran tumor perineural. Namun, pasien

mungkin perlu disedasi penuh, yang memiliki risiko bawaan. Ahli radiologi dan klinisi harus

bekerja sama untuk menentukan pemeriksaan diagnostik yang paling efektif.

I. Hemangioma Infantil

Hemangioma infantil (HI) merupakan tumor jinak pada endothelium dan merupakan

tumor yang paling umum pada masa bayi.

HI sangat umum terjadi diantara bayi baru lahir prematur dengan berat kurang dari 1000

g, dan insidennya adalah dengan insiden sekitar 23% dan hemangioma multipel ditemukan

sekitar 20%. Daerah kepala dan leher paling sering mengalami HI, diikuti tubuh dan ekstremitas.

Lesi ini sulit dideteksi saat lahir. Hemangioma berproliferasi dengan cepat (selama 8-12 bulan),

diikuti oleh fase prolong involusi (1-12 tahun), dan akhirnya hemangioma menunjukkan

residuum fibrofatty sebagai tahap akhir.

Etiologi dan patogenesis yang tepat hemangioma infantil masih belum jelas. Ada bukti

yang menunjukkan sel induk/progenitor endotel sebagai sel asal hemangioma dan sulit dipahami.

Hemangioma endotel sel mungkin berasal dari plasenta karena mengekspresikan beberapa

marker: transporter glukosa-1 (GLUT-1), tipe III iodothyronine deiodinase, Fcg-RIIb, merosin,

dan antigen Lewis Y. Gangguan barrier ibu-janin dapat memungkinkan emboli nidus sel endotel

plasenta mencapai jaringan janin melalui aliran sirkulasi kanan ke kiri janin yang permisif. Hal

ini bisa menjelaskan peningkatan insiden HI yang diamati dengan pengambilan sampel chorionic

villus dan prematuritas, terkadang akibat gangguan plasenta.

3
Pertumbuhan karakteristik dan involusi HI terlihat pada pemeriksaan fisik paralel dengan

aktivitas seluler tumor. Selama fase proliferasi, angiogenesis terjadi akibat endotel sel membelah

dengan cepat, membentuk massa salurn vaskular sinusoidal dengan mengalirkan arteri dan

mengosongkan vena. Lingkungan proangiogenik tercipta oleh adanya faktor-faktor seperti faktor

pertumbuhan fibroblas dasar, endotel vaskular, faktor pertumbuhan, dan matriks

metaloproteinase. Sebaliknya, angiogenesis menurun selama fase involusi karena sel endotel

mengalami apoptosis. Fase ini bertepatan dengan peningkatan ekspresi inhibitor angiogenesis

seperti interferon-β dan tissu inhibitor metalloproteinase.

Gambar 1. Hemangioma

Ciri khas HI adalah siklusnya yang dapat diprediksi dimana selama fase proliferasi,

terjadi pertumbuhan tumor yang cepat yang biasanya berlangsung sampai usia 10 sampai 12

bulan. Hemangioma tampak berwarna merah dangkal dan pada lesi yang lebih dalam dapat

terlihat sebagai massa biru yang divisualisasikan melalui kulit. Saat mencapai usia 12 bulan,

pertumbuhan HI mengalami pendataran yang menandai awal dari fase involusi. Selama 6 hingga

7 tahun ke depan, warna merah tua memudar, bagian tengah menjadi pucat, dan lesi tampak

mengempis. Pada usia 5 tahun, 50% tumor telah menyelesaikan involusi, meningkat menjadi

70% pada usia 7 tahun dan sering terjadi kelanjutan regresi bertahap dari warna dan ukuran

4
tumor sampai usia 10-12

5
tahun. Pada akhir involusi, 50% pasien memiliki kulit yang hampir normal di area tersebut dari

lesi sebelumnya. Tumor besar dapat mengakibatkan kulit kendur dan berlebihan dan/atau

residuum fibrofatty. Lesi yang sebelumnya mengalami ulserasi dapat meninggalkan bekas luka

dan perubahan warna yang rusak secara permanen.

Gambar 2. Letak Hemangioma

Studi radiografi membantu menglasifikasikan tumor vaskular yang sulit dibedakan.

Ultrasonografi pada HI fase proliferatif menunjukkan terdapatnya fast-flow fokal massa jaringan

lunak seiring peningkatan densitas pembuluh darah, dimana slow-flow terjadi pada

rhabdosarkoma.

MRI digunakan pada studi lini kedua dan dengan tujuan untuk mengklarifikasi lebih

lanjut diagnostik yang belum pasti dan untuk mengkonfirmasi sejauh mana karakteristik

6
jaringan dari

7
lesi. Karakteristik HI fase proliferatif menunjukkan massa padat dengan pengeringan vena. HI

memiliki intensitas yang bervariasi pada T1 dan hiperintens pada T2. Aliran kosong terlihat di

sekitar dan di dalam massa. Saat HI involute, ukuran dan jumlah pembuluh darah berkurang

dimana HI terlihat sebagai massa lemak avascular.

Gambar 3. Pemeriksaan MRI pada Hemangioma

HI sebagian besar tidak memerlukan tatalaksana khusus selain observasi. Foto serial

berguna untuk mendokumentasikan perkembangan, respons terhadap pengobatan, dan terjadinya

regresi HI. Deformitas dan komplikasi parah terjadi pada 10% kasus dimana komplikasi yang

paling sering dari HI proliferasi kulit adalah kerusakan epitel, ulserasi, perdarahan, dan rasa

sakit. Bibir, perineum, dan daerah parotis rentan terhadap ulserasi. Pengobatan ulserasi meliputi

pembersihan harian, serta aplikasi petrolatum dan lidokain dapat digunakan untuk mengontrol

nyeri. Ulserasi superfisial biasanya sembuh dalam beberapa hari hingga minggu, sedangkan

ulserasi yang dalam dapat memerlukan waktu beberapa minggu. Eschar harus didebridement dan

diperlakukan dengan dressing basah-ke-kering untuk merangsang granulasi jaringan. Eksisi total

8
HI yang mengalami ulserasi biasanya dilakukan untuk lesi di dada, kulit kepala, ekstremitas, dan

lebih jarang untuk wajah lesi bila penutupan primer memungkinkan.

Farmakoterapi sistemik dapat diberikan pada HI yang membahayakan, ulserasi,

komplikasi, atau mengancam jiwa. Kortikosteroid menghambat potensi vaskulogenik

hemangioma-derived stem cell, serta ekspresi growth factor endotel vaskular. Injeksi

kortikosteroid intralesi untuk tumor yang terlokalisasi dengan baik pada ujung hidung, pipi, bibir,

atau kelopak mata untuk meminimalkan deformitas. Propranolol dapat diberikan karena secara

teori dapat mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah tumor atau downregulation protein

angiogenik. Terapi embolik diindikasikan untuk HI yang mengakibatkan gagal jantung atau tidak

respon terhadap terapi, terutama hemangioma hepatik.

Terapi pembedahan memiliki indikasi bervariasi sesuai dengan usia pasien dan stadium

hemangioma. Selama infancy (fase proliferasi), eksisi mungkin diperlukan untuk HI yang

menyebabkan ulserasi, obstruksi, dan perdarahan. Kadang-kadang, lesi yang terlokalisasi dengan

baik atau bertangkai dapat dibedah karena bekas luka yang terbentuk akan serupa dengan jika

eksisi terjadi pada tahap selanjutnya.

Gambar 4. Perkembangan Hemangioma dengan Pengobatan


9
II. Adenitis Servikal

Adenitis servikal adalah penyebab paling umum terbentuknya massa pada leher pediatrik

terlihat sebagai respons terhadap infeksi dan/atau inflamasi spesifik, paling sering dari infeksi

virus (seperti adenovirus, rhinovirus, dan enterovirus) yang menyebabkan pembesaran nodus

servikal bilateral. Adenitis servikal juga sering disebabkan oleh infeksi bakteri yang berasal dari

orofaringeal. Seorang anak akan datang dengan massa servikal yang nyeri yang akan sering

sembuh dengan perawatan konservatif, tanpa perlu pemeriksaan pencitraan lebih lanjut.

Pada evaluasi kelenjar getah bening reaktif, khususnya submandibular, parotis, dan rantai

jugularis mungkin membesar dan menunjukkan peningkatan vaskularisasi pada Doppler

ultrasonografi. Kelenjar getah bening reaktif ini akan mempertahankan arsitektur normalnya

yang membantu membedakannya dari limfadenopati.

Komplikasi adenitis servikal, termasuk nanah (pembentukan nanah) dan pembentukan

abses, pemeriksaan ultasonografi adalah modalitas yang sangat baik untuk membantu

membedakan adenitis serviks sederhana dan kompleks. Saat membesar dan meradang, kelenjar

getah bening mengalami pembentukan nanah, pusat node akan menunjukkan penurunan yang

heterogeny echogenicity dengan nekrosis progresif, serta pengurangan atau hilangnya

hyperechoic fatty stripe dan penurunan vaskularisasi pada Doppler ultrasonografi. Kompleksitas

nodal sentral dengan debris, septa, atau fokus udara juga dapat terlihat.

Adenitis servikal sekunder terhadap infeksi seperti tuberculosis jarang terjadi di negara-

negara barat tetapi dapat ditemukan pada individu dengan imunokompromise. Di daerah dengan

tuberkulosis endemik, penyebab limfadenopati akibat tuberculosis jauh lebih umum pada

populasi pediatrik.

10
Limfadenopati ganas juga menjadi pertimbangan pada anak yang mengalami servikal

limfadenopati. Limfadenopati maligna dalam keadaan metastasis atau limfoma primer dan/atau

leukemia akan sering bermanifestasi berbeda, dengan pembesaran nodus yang tidak

menimbulkan rasa sakit, keras, dan tidak mobile. Jika limfadenopati bertahan setelah percobaan

terapi antibiotik, pengambilan sampel jaringan sering kali merupakan langkah selanjutnya dalam

pemeriksaan, untuk mencari keganasan.

III. Thyroglossal Duct Cyst

Thyroglossal duct cyst (TGDC) adalah massa kista jinak yang terjadi di midline antara

foramen sekum di dasar lidah dan thyroid bed di infrahyoid leher.

TGDC adalah malformasi leher kongenital yang paling umum dan ditemukan pada 5-

10% dari populasi pada otopsi. Sekitar 60% TGDC berdekatan dengan tulang hyoid, 24%

terletak di atas hyoid, dan 13% terletak di bawah hyoid. Sisanya, kista intralingual dan dapat

menimbulkan risiko saluran napas akut obstruksi, terutama pada neonatus. Kebanyakan TGDC

muncul selama 5 tahun pertama kehidupan.

Keberadaan TGDC menunjukkan involusi duktus thyroglossal dengan sekresi persisten

melalui lapisan epitel. Sebagian besar kasus bersifat spontan tanpa predileksi jenis kelamin yang

signifikan. Namun, bentuk dominan autosomal yang langka yang terjadi paling sering pada

wanita memiliki hubungan yang kuat dengan anomali perkembangan tiroid.

Gejala yang dapat dirasakan pasien adalah benjolan kenyal di bagian leher depan di

antara krikoid dengan dagu, kista akan ikut bergerak saat menelan atau saat lidah dijulurkan, jika

terinfeksi maka benjolan akan bengkak, merah, dan nyeri, dapat ditemukan lubang dekat kista

yang mengeluarkan cairan, dapat ditemukan suara serak, kesulitan bernafas atau sulit menelan.

11
Pemeriksaan fisik pada midline atau paramedian ditemukan massa yang teraba dan

kompresibel di sepanjang leher ventral. Sekitar 25% terjadi di leher suprahyoid, 25% di leher

infrahyoid, dan hampir 50% di tulang hyoid.

Gambar 5. Letak Thyroglossal Duct Cyst

Ultrasonografi (USG) merupakan pencitraan pilihan untuk evaluasi awal. TGDC yang

khas berada di midline di sepanjang leher ventral, berbatas tegas, memiliki echo internal

anechoic yang menunjukkan cairan sederhana, dan dinding yang tipis. Hubungannya dengan

tulang hyoid harus diperhatikan. Jika terdapat fitur atipikal, seperti kalsifikasi, dinding tebal,

echo internal isoechoic/hyperechoic, atau vaskularisasi berdekatan yang menonjol, maka

pencitraan tambahan dengan CT atau MR harus dilakukan. Mengingat jarang terjadi anomali

tiroid yang terkait, lokalisasi jaringan tiroid normal harus dilakukan pada saat pemeriksaan awal.

Evaluasi lebih lanjut juga dapat diperoleh dengan skrining kadar thyroid-stimulating

hormone (TSH). Jika ada bukti hipotiroidisme atau massa tampak padat tanpa terlihat kelenjar

12
tiroid normal, maka perlu dilakukan pemindaian tiroid untuk menentukan apakah ada jaringan

tiroid tambahan. Pasien seperti ini sering hipotiroid dengan peningkatan TSH yang bertanggung

jawab untuk hipertrofi jaringan ektopik. Pada keadaan hipotiroidisme, suplementasi hormonal

akan sesuai dan mungkin mengakibatkan penyusutan hipertrofik jaringan tiroid, sehingga

meniadakan kebutuhan untuk operasi.

Gambar 6. Pemeriksaan USG Thyroglossal Duct Cyst

Tatalaksana dilakukan melalui reseksi bedah lengkap. Lokasi relatif dilakukan dengan

pendekatan bedah menggunakan panduan tulang hyoid. Dalam kebanyakan kasus, sebagian kecil

tulang hyoid midline direseksi untuk meminimalkan kekambuhan.

13
Gambar 7. Tindakan Operasi Thyroglossal Duct Cyst

IV. Fibromatosis Colli

Fibromatosis colli adalah lesi massa padat jinak (pseudotumor) pada leher yang dapat

terlihat pada saat kelahiran atau dalam beberapa minggu pertama kehidupan dan instinsik pada

otot sternocleidomastoideus (SCM), serta sering dikaitkan dengan tortikolis kongenital.

Tortikolis kongenital adalah deformitas postural leher, yang merupakan tipe paling umum, akibat

dari fibrosis (deposisi kolagen dan fibroblas) di sekitar serat otot yang mengalami atrofi dan

pemendekan otot sternokleidomastoid, yang menarik kepala dan leher ke sisi lesi.

14
Gambar 8. Tanda Fibromatosis colli

Massa leher ini dapat disebabkan oleh trauma lahir, malposisi intrauterin janin, atau

iskemia akibat gangguan vaskular janin. SCM yang terkena mengandung jaringan fibrosa lokal

dan beberapa peneliti menganggap fibromatosis colli menjadi suatu bentuk fibrosis infantil jinak.

Tidak ada penjelasan mengapa tortikolis dapat eksis.

Kelainan ini sering ditemukan oleh orang tua atau pengasuh saat meraba massa leher

yang keras pada infant muda (biasanya sekitar umur 4-6 minggu). Kondisi ini terjadi dengan

frekuensi yang sama pada sisi kanan dan kiri. Tortikolis sering menjadi gambaran klinis dengan

kepala miring ke arah sisi yang mengalami lesi dan dagu berotasi menjauhi lesi. Berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik terperinci, dokter sering memiliki kecurigaan yang kuat bahwa

massa tersebut adalah fibromatosis colli. Ditemukan asimetri wajah dan cranial dan terdapat

flattening struktur muka di sisi lesi yang berkembang seiring waktu dimana gejala ini dapat

menjadi ireversibel pada usia 12 tahun yang disebut plagiocephaly dan hemifacial hypoplasia.

15
Gambar 9. Hemifacial Hypoplasia

Gambar 10. Plagiocephaly

16
Pencitraan tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis banding,

tetapi yang lebih penting dapat memberikan kelegaan bagi keluarga yang khawatir. Kunci untuk

mencitrakan fibromatosis secara akurat adalah fokus pada sonografi leher resolusi tinggi dan

menghindari hindari modalitas pencitraan CECT dan MR yang mungkin dapat mengacaukan

diagnosis. Sonografi fibromatosis colli menunjukkan pembesaran fokal atau fusiform SCM, dan

variabel intrinsik echotexture (hyperechoic, mixed, atau hypoechoic). Dengan sonografi, aspek

kranial SCM dapat ditelusuri ke asal otot di skullbase dan kaudal sternal dan kepala klavikula

dapat diidentifikasi. Paramuskular yang berdekatan jaringan lunak biasanya normal. Jika

sonografi menunjukkan massa menjadi padat dan ekstrinsik terhadap SCM, maka pencitraan MR

cross- sectional lebih lanjut dibutuhkan. Jika CECT dan atau pencitraan MR dilakukan sebagai

studi pencitraan awal di klinik, maka diduga justru kemungkinan sarkoma jaringan lunak

(rhabdomyosarcoma) sehingga interpretasi ini dapat menyebabkan biopsi yang tidak perlu

dan/atau dilakukan operasi yang tidak perlu dan harus dihindari.

Fibromatosis jinak ini biasanya dapat sembuh sendiri dalam 6 hingga 8 bulan. Terapi

bersifat konservatif dengan exercise aktif dan pasif yang sering dilakukan di bawah arahan

fisioterapis untuk mencegah kontraktur otot yang permanen dan plagiocephal.

Indikasi Operasi:

1. Sternomastoid tightness yang persisten membatasi rotasi kepala anak berusia lebih dari

12 hingga 15 bulan

2. Sternomastoid tightness persisten dengan hipoplasia hemifacial progresif

3. Diagnosis pada anak di atas 1 tahun

17
V. Anomali Brankial

Branchial anomalies adalah keadaan kongenital dapat berupa fistula, kista, saluran sinus,

atau sisa-sisa tulang rawan/cartilaginous remnant, dan diperkirakan muncul akibat tidak

lengkapnya eleminasi jaringan terkait selama embriogenesis. Brachial cleft cysts terkadang

memiliki lubang di bagian dalam atau luar kulit yang disebut saluran sinus dimana cairan dapat

mengalir dari bukaan tersebut.

Anomali brankial mencapai sekitar 30% massa leher kongenital dan dapat berupa kista,

sinus, fistula, atau sisa-sisa tulang rawan/ cartilaginous remnant. Anomali ini umum dan setara

ditemukan pada pria dan wanita, dan dapat ditemukan pada anak atau dewasa muda.

Aparatus brankial berperan penting dalam perkembangan struktur kepala dan leher.

Perkembangan yang menyimpang dari struktur ini dapat menyebabkan pembentukan anomali.

Sebagian besar anomali ini tetap asimtomatik dan dapat muncul di kemudian hari

Bentuk kista memiliki lapisan mukosa atau epitel, tetapi tidak terdapat bukaan eksternal.

Bentuk sinus dapat terhubung baik secara eksternal dengan kulit atau secara internal dengan

faring, sedangkan fistula terhubung ke keduanya (internal dan eksternal).

Gambar 11. Letak Anomali


18
Anomali celah brankial kedua biasanya terletak di antara batas anterior bawah otot

sternocleidomastoid (SCM) dan fossa tonsilaris faring. Anomali ini dapat berada di dekat saraf

glossopharyngeal dan hypoglossal, serta pembuluh karotis saat saluran berjalan melalui bifurkasi

karotid dan melewati saraf untuk masuk ke dinding faring lateral.

Gambar 12. Anomali Celah Brankial ke-2

Anomali celah brankial pertama biasanya jarang, tetapi lebih sering terjadi pada

perempuan. Diagnosis yang akurat sulit dan mungkin agak tertunda. Remnant dapat terjadi di

mana saja antara kanalis auditorius eksternal dan daerah submandibular. Celah ini harus

dibedakan dari lubang preauricular dan sinus, yang muncul dari kegagalan auricular hillocks

untuk menyatu. anomali celah pertama sering terletak dekat dengan kelenjar parotis dan saraf

wajah.

19
Gambar 13. Anomali Celah ke-1

Anomali celah brankial ketiga dan keempat sangat jarang dan hampir selalu terjadi pada

sisi kiri leher. Lebih banyak ditemukan sebagai sinus dan kista yang terinfeksi dibandingkan

fistula kongenital dan mengalir ke sinus piriform.

Anomali kantong ketiga memasuki sinus piriformis di atas nervus laringeus superior,

sedangkan anomali kantong keempat masuk di bawah saraf ini. Fistula celah brankial ketiga

secara teoritis akan memanjang dari batas anterior SCM, melintasi jauh ke internal arteri karotis

dan saraf glossopharyngeal, menembus tiroid membran di atas cabang internal superior saraf

laring dan memasuki faring di sinus piriformis.

Gambar 14. Anomali Celah ke-3

20
Fistula brankial keempat akan berjalan di sekitar arteri subklavia di sebelah kanan atau

aorta lengkungan di sebelah kiri untuk naik kembali ke atas hypoglossal saraf dan memasuki

puncak piriform atau kerongkongan.

Gambar 15. Anomali Celah ke-4

Fistula brankial keempat yang lengkap belum teridentifikasi pada manusia dan sebagian

besar fistula cabang ketiga dijelaskan tampaknya sekunder terhadap infeksi atau operasi

berulang. Eksisi lengkap diperlukan untuk menghindari kesulitan lanjutan. Seringkali

dilakukan beberapa operasi sebelumnya dilakukan sebelum patologi yang sesungguhnya

diketahui. Direct laringoskopi atau faringoskopi rigid, menggunakan Hopkins rod-lens telescope,

direkomendasikan untuk akurasi diagnosis serta kanulasi endoskopik dari pembukaan ke dalam

sinus piriformis jika

memungkinkan untuk memfasilitasi diseksi yang akurat.

21
VI. Goiter Kongenital

Goiter kongenital adalah penyebab pembengkakan leher yang jarang terjadi pada bayi

dan ditandai sebagai pembesaran difus atau nodular kelenjar tiroid. Bayi mungkin asimtomatik

atau mungkin muncul dengan kelenjar tiroid yang membesar difus dengan stridor dan gangguan

pernapasan pada periode baru lahir atau bahkan riwayat polihidramnion dalam rahim karena

untuk gangguan menelan.

Gambar 16. Color Doppler Goiter Kongenital

Tanda-tanda disfungsi kelenjar tiroid pada neonatus muncul dengan manifestasi klinis

tertunda dan biasanya dikenali oleh melalui hasil abnormal dari skrining fungsi tiroid. Goiter

kongenital mungkin menurun dari generasi sebelumnya, seperti yang diakibatkan dari kelainan

kongenital dalam produksi hormon janin, atau lebih umum mungkin karena penyebab non-

turunan
22
seperti disgenesis tiroid, pasase transplasenta antibodi ibu dalam keadaan Graves disease,

konsumsi obat antitiroid oleh ibu, atau mutasi langka tirotropin.

Disgenesis tiroid, hipoplasia, atau ektopi kelenjar tiroid adalah penyebab paling umum

dari disfungsi tiroid bayi baru lahir, Identifikasi dini hipotiroidisme janin berperan dalam

tatalaksana untuk memastikan perkembangan neurologis dan motorik yang tepat. Tes hormon

tiroid tidak berkorelasi dengan status tiroid janin, sehingga pengambilan sampel darah sebagai

satu-satunya metode yang dapat diandalkan untuk menentukan fungsi tiroid janin. Evaluasi

ultrasonografi antenatal sulit untuk mengidentifikasi kelainan ini, tetapi para peneliti telah

mencoba menggunakan temuan ultrasonografi untuk membantu apakah goiter kongenital

berkorelasi dengan disfungsi tiroid.

Goiter kongenital ditentukan dengan mengidentifikasi secara difus dan homogen

pembesaran kelenjar tiroid dengan lingkar atau diameter yang lebih besar dari persentil ke-95

untuk usia kehamilan berdasarkan nilai normatif. Setelah goiter diidentifikasi, warna Doppler

ultrasonografi dapat digunakan bersama dengan temuan yang lain, seperti pematangan tulang dan

jantung janin.

VII. Adenoma Paratiroid

Hiperparatiroidisme primer adalah entitas yang jarang terjadi pada populasi pediatrik,

dengan insiden sekitar dua hingga lima pada tiap 100.000 anak. Adenoma paratiroid pada anak

ditunjukkan dengan gejala nonspesifik seperti kelelahan, lesu, nyeri perut, mual, muntah, dan

sakit kepala, yang mungkin menyebabkan kebingungan klinis dan keterlambatan dalam

diagnosis. Hiperparatiroidisme mungkin sekunder bagi yang bukan keturunan adenoma

paratiroid (penyebab umum yang paling banyak) atau mungkin terkait dengan penyakit

keturunan seperti
23
neoplasia endokrin multiple tipe I dan II. Reseksi bedah adalah pengobatan yang definitif untuk

segala bentuk disfungsi paratiroid pada anak-anak, termasuk hiperparatiroidisme primer,

sekunder, atau tersier. Ultrasonografi paratiroid memiliki peran presurgical yang berguna dalam

perencanaa untuk membantu ahli bedah dalam menentukan target reseksi adenoma paratiroid.

Meskipun eksplorasi kelenjar total telah terbukti berhasil bila dilakukan oleh ahli bedah

berpengalaman, reseksi terfokus unilateral sama efektifnya dengan pendekatan eksploratif

bilateral. Dalam situasi yang lebih darurat, di mana hiperkalsemia yang parah dapat mengancam

jiwa, reseksi segera adalah tujuan akhir, dan lokalisasi dengan bantuan bimbingan ultrasonografi

dapat membantu mempercepat reseksi kelenjar.

VIII. Limfangioma

Limfangioma adalah kelainan yang jarang terjadi, dimana terjadi malformasi jinak dari

sistem limfatik yang dapat terjadi di mana saja pada kulit dan selaput lendir. Limfangioma

berupa kista berisi cairan non-kanker yang terbentuk pada anak-anak, seringkali di kepala dan

leher. Kista ini terbentuk ketika cairan limfe tidak mengalir secara normal melalui jaringan.

Limfangioma terjadi sebesar 4% dari semua tumor vaskular dan sekitar 25% dari semua

tumor jinak vaskular pediatrik. Tidak ada predileksi ras atau gender. Limfangioma biasanya

muncul saat lahir atau dalam beberapa tahun pertama kehidupan, sedangkan bentuk didapat dari

limfangioma sirkumskriptum sering muncul pada usia dewasa.

Limfangioma kongenital terbentuk karena penyumbatan sistem limfatik selama

perkembangan janin, meskipun penyebabnya masih belum diketahui. Limfangioma kistik

berhubungan dengan kelainan genetik, termasuk trisomi 13, 18, dan 21, sindrom Noonan,

sindrom Turner, dan sindrom Down.

24
Limfangioma terjadi akibat kongenital atau didapat dari sistem limfatik. Bentuk

kongenital biasanya terjadi sebelum usia 5 tahun dan disebabkan oleh koneksi yang tidak tepat

dari saluran limfatik ke saluran drainase limfatik utama.

Terdapat 3 jenis limfangioma, yakni mikrokistik atau limfangioma kapiler, makrokistik

atau limfangioma kavernosa, dan limfangioma kistik

Limfangioma kavernosa biasanya muncul selama masa bayi dalam bentuk pembengkakan

subkutan tanpa rasa sakit, tanpa perubahan pada kulit di atasnya, yang dapat berukuran beberapa

sentimeter. Dalam kasus yang jarang, seluruh ekstremitas mungkin dapat terpengaruh. Pasien

dapat merasakan nyeri tekan pada palpasi yang dalam pada area tersebut. Lipoma kavernosa

umumnya disalahartikan sebagai kista atau lipoma dalam praktik klinis.

Higroma kistik adalah malformasi limfatik yang secara klinis lebih terbatas daripada

limfangioma kavernosa dan biasanya terjadi pada leher, aksila, atau selangkangan. Pada

pemeriksaan fisik, limfangioma ini lunak, dengan berbagai ukuran dan bentuk, dan biasanya

akan tumbuh jika tidak dieksisi melalui pembedahan. Saat terdapat lesi pada leher posterior, hal

ini mungkin terdapat hubungan dengan sindrom Turner, hidrops fetalis, atau kelainan kongenital

lainnya.

Gambar 17. Limfangioma kista


25
Lesi ini dapat divisualisasikan dalam rahim dengan menggunakan sonografi

transabdominal atau transvaginal. MRI dapat berguna dalam menentukan sejauh mana

keterlibatan anatomi limfangioma kistik atau kavernosa.

Gambar 18. MRI Limfangioma

Kebanyakan kasus didiagnosis berdasarkan riwayat dan temuan pemeriksaan. Jika

diperlukan, dermoskopi dan biopsi dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dan pencitraan

yang mungkin diperlukan untuk menilai kedalaman dan luasnya lesi.

Limfangioma superfisial dan dalam sulit untuk ditatalaksana. Tatalaksana pilihan untuk

semua jenis limfangioma adalah eksisi bedah. Eksisi lokal yang luas dari saluran limfatik yang

mengalami kelainan diperlukan karena kekambuhan sering terjadi. Tingkat keberhasilan

pembedahan lebih tinggi untuk limfangioma kecil dan superfisial.

Tatalaksana destruktif dengan laser karbon dioksida (CO2), long-pulsed Nd-YAG laser,

dan electrosurgery dilaporkan memperbaiki gejala. Krioterapi, radioterapi superfisial, dan

skleroterapi dengan salin hipertonik 23,4% kurang umum digunakan. Injeksi langsung agen

26
sklerosis, termasuk natrium tetradesil sulfat 1% atau 3%, doksisiklin atau etanol, dapat

menyebabkan malformasi limfatik. Kompresi dapat mengurangi pembengkakan yang disebabkan

oleh limfedema. Pencegahan infeksi sangat penting.

IX. Rhabdomyosarcoma

Rhabdomyosarcoma (RMS) adalah tumor ganas yang berasal dari sel mesenkimal yang

sel tersebut berubah menjadi otot dan tumbuh dengan tidak terkendali.

Rhabdomyosarcoma adalah jenis sarkoma jaringan lunak yang paling umum terjadi

selama 2 dekade pertama kehidupan, terhitung sebesar 4,5% dari semua kasus kanker anak.

Sarkoma ini merupakan tumor padat ekstrakranial yang paling umum ketiga pada masa anak-

anak setelah tumor Wilms dan neuroblastoma. Usia saat ditemukan mengikuti distribusi bimodal,

dengan insiden puncak antara 2 dan 6 tahun dan antara 10 dan 18 tahun. Distribusi ini

mencerminkan insiden dari dua histologis utama subtipe RMS. Sekitar 65% dari semua kasus

RMS terjadi pada anak-anak yang lebih muda dari usia 6 tahun. Laki-laki sedikit lebih banyak

(58,4%) terkena dibandingkan perempuan (41,6%), dan kulit putih memiliki insiden lebih tinggi

dari Afrika Amerika (tingkat rasio 1,2).

RMS paling umum timbul pada daerah kepala dan leher dibandingkan ekstrimitas,

Patogenesis RMS masih belum jelas, namun banyak hipotesis menunjukkan bahwa RMS

diakibatkan gangguan regulasi dari pertumbuhan dan diferensiasi sel progenitor otot rangka.

Peran patogenesis terjadi pada protoonkogen MET yang terlibat dalam migrasi sel prekursor

miogenik dan protoonkogen TP53 yang bertanggung jawab untuk supresi tumor.

RMS secara histologi memiliki dua subtype utama, yakni Embryonal RMS (ERMS) yang

terjadi pada usia 2-6 tahun dan Alveolar RMS (ARMS) yang terjadi pada usia 10-18 tahun.

27
RMS biasanya muncul sebagai gejala tanpa gejala massa ditemukan oleh pasien atau

orang tua dari anak-anak yang lebih kecil. Gejala spesifik bervariasi berdasarkan tempat kejadian

dan luasnya penyakit. Gejala-gejala umumnya berhubungan dengan efek massa atau komplikasi

tumor. Tempat yang paling umum terjadinya RMS adalah daerah kepala dan leher, saluran

genitourinari, dan ekstremitas.

Gambar 19. Rhabdomyosarkoma

Pasien dengan dugaan RMS memerlukan pemeriksaan lengkap sebelum intervensi bedah.

Pemeriksaan laboratorium standar, termasuk hitung darah lengkap (CBC), elektrolit, dan fungsi

tes ginjal, tes fungsi hati (LFT), dan urinalisis (UA). Selain itu, studi pencitraan primer tumor

harus dilakukan dengan computer tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI). CT

digunakan untuk evaluasi erosi tulang dan adenopati abdominal, sedangkan MRI

menggambarkan tumor dan struktur sekitarnya dengan lebih baik. Pemeriksaan metastatik

termasuk aspirasi bone marrow dan pemindaian tulang, CT otak, paru-paru, dan hati, dan pungsi

lumbal untuk pengambilan cairan serebrospinal. Pencitraan tumor menunjukkan kedekatan

tumor dengan struktur vital dan menentukan ukuran tumor. Kedua faktor tersebut penting

28
saat menentukan

29
apakah tumor dapat direseksi atau jika terapi neoadjuvant diperlukan untuk mengurangi ukuran

tumor sehingga mengurangi morbiditas reseksi.

Open biopsi dari massa yang diduga RMS harus dilakukan biopsi untuk memastikan

diagnosis. Kehati-hatian harus dilakukan untuk mendapatkan spesimen yang memadai untuk

patologi, biologis, dan pengobatan.

Gambar 20. EMRS

Gambar 21. AMRS

Tujuan utama intervensi pembedahan yaitu pembedah luas dan reseksi lengkap tumor

primer dengan tepi jaringan normal sekitarnya. Batas keliling 0,5 cm dianggap memadai, namun

margin seperti itu mungkin tidak dapat diperoleh terutama pada area kepala dan leher. Karena

keterbatasan ini, margin eksisi ini tidak dilakukan jika membahayakan jaringan yang berdekatan

organ, mengakibatkan hilangnya fungsi atau kosmetik yang buruk, atau secara teknis tidak layak.

30
Kemoterapi dan radioterapi merupakan terapi tambahan bagi penderita RMS sehingga

dapat meningkatkan kontrol lokal dan luaran pasien. Dampak dari radioterapi dipengaruhi oleh

lokasi tumor primer, stadium tumor, dan pengelompokan klinis pada saat radioterapi dimulai.

31
REFERENSI

1. Coran, A.G. Adzick, N.S., Krummel, T.M., Laberge, J.M., Caldamone, A., Shamberger,

R. Pediatric Surgery Seventh Edition. Vol 1. Elsevier Saunders: Philladelphia

2. LaPlante, J. K., Pierson, N. S., & Hedlund, G. L. (2015). Common pediatric head and

neck congenital/developmental anomalies. Radiologic clinics of North America, 53(1),

181– 196.

3. Prasad, S. C., Azeez, A., Thada, N. D., Rao, P., Bacciu, A., & Prasad, K. C. (2014).

Branchial anomalies: diagnosis and management. International journal of

otolaryngology, 2014, 237015.

4. Miceli, A., Stewart, K.M., (2021) Lymphangioma. In: StatPearls [Internet]. Treasure

Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470333/

32

Anda mungkin juga menyukai