Anda di halaman 1dari 19

Strategi Konselor dalam Membantu Penyesuaian Diri Anak

Berkebutuhan Khusus di Era Milenial

Muhammad Naili Rizki Setiawan


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
naili.rizkia1@gmail.com

Fitria Khoirunnisaa’
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
fitriannis08@gmail.com

Arina Fithriyana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
arinaf@iainkudus.ac.id

Abstrak
Pesatnya arus globalisasi membuat setiap manusia harus mampu
menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman. Tidak semua
individu mengalami perkembangan normal. Beberapa diantaranya
mengalami hambatan, gangguan, atau memiliki faktor resiko sehingga
dalam perkembangannya yang optimal diperlukan penanganan husus.
Kelompok ini disebut sebagai individu berkebutuhan khusus atau akrab
diistilahkan disabilitas. Strategi dalam proses pendidikan menjadi
sebuah keniscayaan yang harus disiapkan oleh seorang konselor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi
konselor dalam proses bimbingan konseling yang pas terhadap ABK
dalam proses penyesuaian diri di era milenial. Dalam kajian ini, penulis
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan objek kajian
pondok pesantren disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kab. Kudus. Dari
kajian ini, didapatkan hasil bahwa proses kelas pembelajaran terbagi
menjadi beberapa, diantaranya kelas one by one, pra-mandiri, dan kelas
mandiri. Penyelenggaraan sekolah dan strategi ABK tersebut
diharapkan mampu menciptakan dan mewujudkan ABK yang mandiri,
mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda.

85 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

Kata kunci: Strategi Konselor, Penyesuaian Diri, Anak Berkebutuhan


Khusus (ABK), Era milenial.

Abstract
COUNSELOR STRATEGIES IN ASSISTING SELF-ADJUSTMENT OF
CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS IN MILLENNIAL ERA. The rapid
flow of globalization makes every human being must be able to adapt
himself to the times. Not all individuals experience normal
development. Some of them experience obstacles, disorders, or have risk
factors so that in optimal development special handling is needed. This
group is referred to as individuals with special or familiar needs termed
disability. The strategy in the education process is a necessity that must
be prepared by a counselor. The purpose of this study was to find out
how the counselor's strategy in the process of counseling is appropriate
for ABK in the process of self-adjustment in the millennial era. In this
study, the authors used a qualitative research approach with the object
of study in the Achsaniyyah Pedawang disability Islamic boarding
school. From this study, it was found that the learning class process was
divided into several, including one by one, pre-independent, and
independent classes. The organization of the school and the ABK
strategy are expected to be able to create and realize independent crew
members, able to solve problems they face, and be able to adapt to
different environments.
Keywords: Strategy of Counselors, Self-Adjustment, Children with
Special Needs (ABK), Millennial Era.

A. Pendahuluan

Perkembangan zaman yang pesat saat ini, menimbulkan perubahan dan


kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sehingga setiap individu
menghadapi permasalahan yang semakin kompleks diantaranya dalam
permasalahan bidang pendidikan, sosial, keluarga, pribadi hingga sekolah. Dalam
hal ini individu harus mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian diri terhadap
perkembangan zaman tersebut. Tempat untuk menyiapkan perkembangan zaman
tersebut salah satunya adalah di lingkungan sekolah. Sekolah harus mampu
membantu murid-muridnya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi.
Pada dasarnya, kehidupan manusia tidak pernah statis sejak lahir sampai
meninggal. Setiap individu selalu mengalami perubahan. Perubahan yang dialami
merupakan integrasi dari berbagai perubahan struktur dan fungsi sehingga
memengaruhi perkembangan fisik, kognisi, emosi, sosial, dan kepribadian
(Rahman, 2016: 139). Individu yang tidak semuanya mampu melewati setiap
tahapan perkembangan. Banyak anak yang memiliki keterbatasan fungsional
seperti tunanetra, tunarungu, dan autis. Selain itu, ada juga anak yang memiliki
kekhususan lain seperti mengalami gangguan pemusatan perhatian (ADHD),
kesuliltan belajar (disleksia, disgrafia, diskakulia), dan lembat belajar (slow
learner). Individu yang memiliki disabilitas sering disebut sebagai anak
berkebutuhan khusus (ABK).
Anak berkebutuhan khusus juga perlu mendapatkan layanan bimbingan dan
konseling. Menurut Prayitno (dalam Kamaluddin, 2011:448), bimbingan dan
konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan
maupun kelompok agar mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam
bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier melalui berbagai jenis layanan
dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dalam ruang
lingkup bimbingan dan konseling, pemberian layanan tidak hanya ditujukan atau
diberikan pada anak normal saja. Karena dalam pandangan sebagaian besar
masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK), masih banyak yang
terabaikan sampai saat ini bahkan merasa terkucilkan. Kondisi tersebut tentunya
membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuh kembang
ABK, bahkan terhadap keluarganya (kedua orangtuanya).
Anak berkebutuhan khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat
memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak
pada umumnya. Tipe anak berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan
penyebutan yang sesuai dengan bagian dari anak yang mengalami hambatan baik

87 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

telah ada sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa
tumbuh-kembangnya.
Menurut Kauffman & Hallahan (dalam Chamidah, 2010:1), tipe-tipe
kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orang tua dan guru adalah
(1) tunagrahita (mental retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan
(child with development impairment), (2) kesulitan belajar (learning disabilities)
atau anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif (attention deficit disorder with
hyperactive), (4) tunalaras (emotional and behavioural disorder), (5) tunarungu
wicara (communication disorder and deafness), (6) tunanetra atau anak dengan
hambatan penglihatan (partially seingand legally blind), (7) autistik, (8) tunadaksa
(physical handicapped), dan (9) anak berbakat (giftedness and special talents). Di
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang
Pendidikan Inklusif yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa menetapkan bahwa peserta didik berkelainan terdiri atas
peserta didik yang: a. tunanetra; b. tuna rungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e.
tunadaksa; f. tunalaras; g. kesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki
gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang,
dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda (Permendiknas,
2009).

Anak berkebutuhan khusus seringkali mendapatkan hambatan, kesulitan


dan masalah sebagai dampak keluarbiasaannya. Dampak yang dirasakan berupa
aktivitas sehari-hari dan pembatasan beraktivitas di lingkungannya. Selain itu,
keterbatasan ekonomi dan kurangnya pengetahuan keluarga terhadap gejala,
penyebab, dan dampak anak berkebutuhan khusus dianggap menjadi faktor yang
kurang mendukung tumbuh kembang anak. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu
adanya pemberian bantuan terhadap ABK agar mereka mampu berkembang.
Bantuan yang diberikan tentunya fokus pada pengembangan kepribadian dan
keterampilan hidup bagi ABK.
Anak berkebutuhan khusus berhak untuk memeroleh pendidikan yang
layak seperti orang yang normal. Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak
asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak
konstitusional. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (amandemen),
khususnya Pasal 28 C Ayat 1 yang menyatakan, “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memeroleh
pendidikan dan memeroleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni,
dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia. Hak tersebut bukan hanya sekedar untuk anak normal tetapi anak
berkebutuhan khusus juga mendapat hak penuh dalam memeroleh pendidikan
(Undang-Undang Dasar 1945 & Konstitusi Indonesia, 2006).

Pondok Pesantren Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus merupakan


salah satu tempat pendidikan khusus anak berkebutuhan khusus yang terletak di
Kabupaten Kudus. Rata-rata siswa-siswi atau santri yang ada disini adalah
penyandang autis dan keterbelakangan mental (Tuna Grahita).

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Pondok Pesantren


Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus karena selain memberikan pendidikan
secara formal juga menyelenggarakan pendidikan vokasi atau keterampilan untuk
hidup. Dalam prosesnya, kelas pembelajaran terbagi menjadi beberapa
diantaranya kelas one by one, pra-mandiri, dan kelas mandiri. Pondok Pesantren
Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus juga memberikan terapi pada santri atau
siswanya supaya dapat berbaur dengan masyarakat dan tidak merasa terkucilkan.
Hal ini dikarenakan para santri atau siswa tersebut sudah memiliki kemandirian
sekaligus mampu untuk diajak berkomunikasi dengan lancar.

Paradigma yang beredar di masyarakat terhadap anak disabilitas yaitu


sebagai anak yang terabaikan dan tidak bisa untuk disembuhkan. Akan tetapi di
Pondok Pesantren ini, guru atau konselor yang juga berperan sebagai ustadz/dzah,
pendamping dan juga terapis mampu menghilangkan paradigma tersebut karena

89 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

mampu memberikan nilai lebih bahwasannya anak disabilitas sendiri dapat


disembuhkan secara total. Selain alasan tersebut, peneliti juga tertarik pada
pembelajarannya yang memberikan sistem 24 jam dengan berlandaskan nilai-nilai
keislaman.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian,


yaitu apakah strategi konselor dalam membantu penyesuaian diri anak
berkebutuhan khusus di era milenial. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana strategi seorang konselor dalam proses bimbingan dan
konseling yang sesuai terhadap anak berkebutuhan khusus berkaitan dengan
proses penyesuaian diri ABK di era milenial.

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Disabilitas Achsaniyyah


Pedawang Kudus. Pendekatan dalam kajian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara,
observasi dan dokumentasi. Adapun yang menjadi subjek penelitian yaitu meliputi
guru kelas, dan kepala sekolah atau kepala pondok.

Penelitian kualitatif dipilih karena dalam penelitian ini berusaha


mengungkapkan secara menyeluruh tentang manajemen pembelajaran pada anak
disabilitas. Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrument utama
penelitian, dimana peneliti sebagai perencana yang sekaligus menetapkan fokus,
memilih informan, sebagai pelaksana pengumpulan data, menafsirkan data,
menarik kesimpulan sementara, dan menganalisis data di lapangan yang alami
tanpa dibuat-buat. Sudarwin (dalam Rofiq, 2013) menyatakan bahwa peneliti
sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif mengandung arti bahwa peneliti
melakukan kerja lapangan secara langsung dan bersama beraktifitas dengan
orang-orang yang diteliti untuk pengumpulan data.
B. Pembahasan

1. Pondok Pesantren Disabilitas Achsaniyyah Pedawang, Kab. Kudus.


Berdirinya Pondok ini dilatarbelakangi oleh termotivasinya seorang Faiq
Aftoni yang ingin membuat pondok seperti di Gontor (Pondok Modern). Pengasuh
pondok (KH. M. Faiq Aftoni, M. Ac., MCH.) tersebut, sadar dan tertarik sekaligus
memiliki keprihatinan tersendiri kepada anak-anak penderita disabilitas.
Kebanyakan dari mereka terlantar di jalan dan tidak mendapat perhatian dari
publik. Begitu juga bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam tertentu, keberadaan
anak disabilitas masih dipandang sebelah mata. Perhatian lembaga pendidikan
Islam terhadap kebutuhan layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas
menjadi keniscayaan. Hal tersebut memotivasi pengasuh pondok untuk
mendirikan pondok pesantren khusus penyandang disabilitas. Seiring perjalanan
waktu, maka berdirilah pondok pesantren disabilitas Achsaniyyah yang difokuskan
untuk anak-anak disabilitas.

Anak-anak disabilitas harus dipandang seperti orang normal pada


umumnya karena mereka juga makhluk Allah yang membutuhkan perhatian yang
sama dengan yang lain. Pondok ini berdiri pada tahun 2007. Akan tetapi, aktivitas
pendidikan dan layanan pesantren baru aktif dan berjalan normal pada tahun
2010. Awal berdirinya di pedawang Kudus ini karena ada orang yang mewakafkan
tanahnya kemudian didirikan ponpes disabilitas Achsaniyyah di lokasi tersebut.

2. Strategi Konselor di Pondok Pesantren Disabilitas Achsaniyyah


Pedawang Kudus.
Anak autis banyak diantaranya yang disebabkan karena abnormalitas di
otak. Karakteristik umum dari gangguan ini ditandai dengan adanya gangguan
dalam kognisi sosial, kemampuan sosial, dan interaksi sosial. Anak autis seringkali
menunjukkan sifat-sifat kelainan yang bisa diidentifikasi sejak sebelum umur 3
tahun (Semiawan dan Mangunsong, 2010). Menurut Smith (Smith,2006) sifat-sifat
tersebut antara lain sebagai berikut: a) Tidak tanggap terhadap orang lain, b)

91 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

Gerakan diulang-ulang seperti bergoyang, berputar, dan memilin tangan.


Menghindari kontak mata dengan orang lain, c) Tetap dalam kebiasaan, Ciri-ciri
sifat tersebut baru bisa dikatakan sebagai perwujudan autisme apabila terjadi
dalam intensitas yang tinggi.

Menurut Sousa (dalam Semiawan dan Mangunsong, 2010), autis


dikelompokkan dalam 4 tipe sebagai berikut.

a. Tipe kanner, yaitu tipe klasik atau juga disebut autisme infantil, ditandai oleh
ciri-ciri meliputi menghindar kontak mata, lamban berbicara, perilaku
mengulang, dan kemungkinan retardasi mental.
b. Sindrom Asperger (SA), yaitu perkembangan perilaku menentang yang
spektrum cirinya adalah defisit sosial, namun perkembangan kognisi, dan
bahasa relatif normal, serta minal yang mendalam dalam idiosynkretis.
c. Perkembangan perilaku menentang tanpa tanda-tanda lain, kecuali dalam
perkembangannya anak ini tidak memenuhi gejala-gejala tersebut sebelum
umur 3 tahun. Kadang kala klasifikasi ini digunakan apabila kondisi ini muncul
meskipun tidak terlalu berat dan tidak konsisten, sehingga tipe ini kurang
kurang diperkirakan sebagai tipe kenner.
d. Tipe regresif/epileptis, tipe ini ditandai dengan ketidakmampuan memahami
orang lain, input sensori yang tidak menentu, bacaan EEG yang tidak normal,
retardasi mental dan tingkat kecerdasan tinggi.
Dari tipe-tipe autis diatas seorang konselor perlu menyesuaikan diri,
khususnya dalam proses konseling ataupun proses pembelajaran anak disabilitas.
Menurut M. Sobry Sutikno (2009: 88) metode pembelajaran adalah cara-cara
menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses
pembelajaran pada siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah atau kepala pondok,


proses pembelajaran di Ponpes Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus memiliki
kesamaan dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus pada umumnya. Sisi
lainya yang berbeda dan tidak ditemukan ditempat lain adalah bahwa disana
menggunakan sistem penggalian bakat yang dibagi dalam 3 kelas. Kelas one by one,
kelas pra-mandiri, dan kelas mandiri. Dengan pembagian kelas ini memungkinkan
seorang konselor untuk lebih mudah menangani peserta didik yang tergolong
disabilitas.

a. Kelas One by One


Di kelas one by one ini di peruntukkan santri atau peserta didik yang baru
masuk. Kelas tersebut merupakan kelas khusus pada bulan pertama sampai santri
atau siswa tersebut dapat terkendalikan kehyperannya. Kelas one by one berupa
satu ruang kelas berukuran 250 cm x 300 cm yang di isi satu orang guru dan satu
orang santri atau siswa tetap per kelasnya. Yang dimaksud adalah berpasangan
antara guru dengan siswa atau santri sampai siswa atau santri tersebut mampu
mengendalikan kehyperannya tanpa ada campur tangan dari pihak guru.

Tujuan dari kelas tersebut adalah agar siswa atau santri baru mendapatkan
perhatian yang lebih dan sangat mendalam terhadap dirinya dan menjadikan guru
itu sebagai sosok sahabat yang penuh perhatian di lingkungan barunya. Hal ini
dilakukan karena anak disabilitas sangat sulit untuk bersosialisasi langsung
dengan lingkungan sekitar tanpa suatu perhatiaan khusus. Dengan memberikan
perhatian, motivasi dan juga bimbingan yang besar, maka hal ini dapat membantu
anak disabilitas berkembang lebih baik lagi. Akan tetapi, semua itu membutuhkan
kesabaran dan ketelatenan ekstra bagi seorang guru supaya bisa memberikan
perhatian, motivasi, dan juga bimbingan yang maksimal.

Di kelas One by One, posisi guru bukan hanya sebagai motivator dan
melakukan bimbingan yang lebih. Seorang guru dituntut harus bisa melakukan
pendekatan emosional. Karena pendekatan emosional juga merupakan salah satu
hal penting yang harus ada untuk menghadapi anak disabilitas. Supaya anak dapat
percaya dengan kehadiran sosok seorang guru dan mau menjadi dekat dengannya.

93 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

b. Kelas Pra Mandiri


Setelah dalam beberapa bulan anak yang memiliki kecenderungan hyper
aktif dapat terkendalikan, siswa atau santri tersebut dipindahkan ke kelas pra
mandiri. Kelas pra mandiri memiliki ruang kelas yang lebih besar dibandingkan
kelas One by One. Satu ruang kelas pra mandiri di isi sekitar 10 sampai 15 siswa
atau santri. Setiap ruang kelas dibedakan antara laki-laki dan perempuan agar
tidak terdapat atau menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan guru yang
berbeda-beda setiap harinya.

Di kelas pra mandiri, setiap kelas di isi oleh satu orang guru dan ada pula
yang satu kelas diisi oleh dua orang guru. Hal ini tergantung pada tingkat kesulitan
dalam memberikan pelajaran di kelas tersebut. Ketika satu kelas di isi oleh dua
orang guru, satu orang guru memaparkan pelajaran dan satu orang guru lainnya
membimbing siswa-siswa atau santri-santri untuk memerhatikan pelajaran.

Kelas pra mandiri bertujuan agar alumni dari kelas One by One tersebut
dapat bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Tanpa adanya penerimaan dan
dukungan dari orang di sekitar, dapat dipastikan anak disabilitas tidak akan
mampu mencapai potensinya dengan baik dan optimal. Di kelas ini, peran guru
sangat penting dalam tata cara berperilaku anak disabilitas. Kelas ini mengajarkan
mengenai bagaimana tata cara bersosialisasi yang baik terhadap orang lain, tata
cara bertingkah laku dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua
dengannya, sampai tata cara beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Siswa
atau santri yang dianggap telah bisa bersosialisasi penuh dengan lingkungan
sekitar akan naik tingkat ke kelas mandiri.

c. Kelas Mandiri
Selanjutnya, setelah siswa siswi atau santri dapat bersosialisasi baik
dengan teman maupun dengan guru atau lingkungan disekitarnya, siswa atau
santri tersebut dipindahkan ke kelas mandiri. Di kelas ini dapat dikatakan sebagai
kelas besar karena berisi sekitar 30 siswa atau santri lebih. Pada kelas ini, proses
pengembangan dan penggalian bakat dilakukan. Berbeda dengan sekolah-sekolah
pada umumnya yang menggunakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, Pondok Pesantren ini tidak bisa menerapkan secara penuh atau
keseluruhan apa yang ada di dalam kurikulum tersebut. Hal ini dikarenakan
percuma bila memberikan banyak materi seperti Matematika, IPA, IPS dan lainnya,
namun santri atau siswa tersebut tidak memiliki bakat-bakat dalam hal itu.
Pembelajaran seperti matematika, IPA, dan IPS diberikan kepada siswa atau santri
dengan maksud supaya siswa atau santri tersebut mengetahuinya tanpa
memelajari secara mendalam.

Sebagai gantinya, pondok pesantren memberikan banyak materi lain.


Tujuan dari ada banyaknya materi yang diberikan kepada sisiwa siswi atau santri
tersebut adalah agar guru bisa menganalisis dimanakah bakat dari mereka masing-
masing. Ketika sudah ditemukan bakatnya, maka dilakukan penguatan melalui
pembelajaran lebih lanjut sesuai dengan bakat masing-masing. Setelah target dari
Pondok Pesantren sudah terpenuhi untuk menjadikan siswa siswi atau santri itu
mandiri dan mempunyai keterampilan dalam mengembangkan bakatnya, maka
siswa-siswi atau santri bisa untuk pulang kerumah masing-masing.

3. Hambatan yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran.


Suatu tugas, pekerjaan dan pembelajaran, tidak akan terlaksana apabila ada
suatu hambatan yang mengganggu pekerjaan tersebut. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2002: 385) hambatan adalah halangan atau rintangan.
Hambatan memiliki arti yang sangat penting dalam setiap melaksanakan suatu
tugas atau pekerjaan. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan
pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana dengan baik. Proses belajar mengajar
tidak semulus yang dikira. Baik di sekolah formal maupun luar biasa memunyai
hambatan dan kendala yang harus dihadapi.

Faktor yang menghambat belajar siswa siswi atau santri di Pondok


Pesantren Disabilitas Achsaniyyah secara umum dibedakan menjadi faktor

95 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut yang memengaruhi hasil
belajar anak.

a. Faktor Internal

Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari dalam individu. Faktor
internal meliputi fisiologis dan biologis serta dapat memengaruhi hasil belajar
individu. Faktor internal yang sering dihadapi para guru adalah ketika emosi dari
siswa siswi atau santri tersebut naik. Seakan-akan siswa siswi atau santri
disabilitas tidak punya semangat lagi untuk belajar karena minat dan motivasinya
sudah menurun.
b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor dari luar yang dapat memengaruhi hasil
belajar siswa siswi atau santri. Faktor ini meliputi faktor lingkungan social, dan
non sosial. Yang sering dihadapi oleh para guru yaitu ketika dalam proses
pembelajaran, anak tiba-tiba tantrum, atau keadaan dimana anak ini sudah tidak
mood. Wujud tidak mood dari anak ini dikarenakan keinginan orang tua dengan
lembaga tidak sinkron. Padahal lembaga lebih tahu kemauan, dan hal hal yang
dibutuhkan pada anak serta tidak boleh egois terhadapnya. Dalam hal ini, anak
berkebutuhan khusus butuh untuk dipahami dan dia punya dunia lain yang tidak
diketahui oleh orang yang normal.
Menjadi guru di Sekolah Luar Biasa tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Salah satu strateginya adalah guru harus memunyai kesabaran yang tinggi
dan juga memunyai sifat ikhlas dalam menghadapi anak-anak berkebutuhan
khusus. Hal tersebut yang juga dilakukan oleh guru-guru yang ada di Pondok
Pesantren Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus dalam menghadapi anak-anak
tersebut. Menurut hasil wawancara terhadap salah seorang narasumber, tidak
jarang siswa siswi suka membanting barang-barang yang ada di sekelilingnya. Ada
juga yang pernah terjadi kasus siswa atau santri yang berusaha kabur karena tidak
nyaman di lingkungan pondok, dan akhirnya ditemukan kembali oleh keamanan
lalu dikembalikan lagi ke pondok. Oleh karena itu, semua pengasuh yang ada di
pondok baik security, guru, sampai cleaning servis harus mempunyai kesabaran
yang ekstra dalam menangani anak berkebutuhan khusus.
4. Bentuk dan metode terapi serta solusi yang dilakukan untuk mengatasi
hambatan dalam proses pembelajaran
Selain menjalankan proses pembelajaran, Pondok Pesantren Disabilitas
juga melaksanakan terapi terhadap anak-anak autis. Autis bukanlah sebuah
kecacatan fisik, namun sebuah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya
sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Autis dapat disembuhkan
lewat terapi untuk merubah sikap hidupnya agar bisa berkomunikasi dengan
lancar terhadap orang disekitarnya. Terapi yang dilakukan disini sama seperti
sekolah luar biasa pada umumnya dengan memberikan pujian dan kegiatan
rutinitas kesenangannya.

Noviza (2005: 9) mengungkapkan bahwa metode terapi merupakan salah


satu metode yang dapat digunakan terhadap penderita autism. Menurut Noviza
(2005:42) metode terapi tersebut meliputi sebagai berikut:

a. Metode Terapi Applied Behavioral Analysis (ABA): ABA adalah jenis terapi yang
telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus anak-anak
penyandang autisme. Metode yang dipakai dalam terapi ini adalah dengan
memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive
reinforcement (hadiah/pujian).
b. Metode terapi TEACCH: TEACCH adalah Treatment and education of autistic
and Related Communication Handicapped Children, yaitu suatu metode yang
dilakukan untuk mendidik anak autis dengan menggunakan kekuatan
relatifnya pada hal terstruktur dan kesenangannya pada rutinitas dan hal-hal
yang dapat diperkirakan dan relatif mampu berhasil pada lingkungan yang
visual dibanding yang auditori.
Dengan perbedaan dan keterbatasan kemampuan serta bakat siswa siswi
atau santri disabilitas tentu dapat menghambat proses belajar mengajar yang
dilakukan. Keterbatasan dan hambatan yang terkait dengan kemampuan
intelektual siswa siswi atau santri ini merupakan aspek alami atau natural yang

97 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

tidak dapat dihindari. Meskipun demikian, masalah hambatan ini bukan tidak
dapat diatasi. Dalam hal ini, guru harus mampu mengidentifikasi sejauh mana
kemampuan dan bakat setiap individu.

Guru secepat mungkin harus mempunyai solusi dalam menghadapi


hambatan yang ada. Solusi yang diterapkan di sini biasanya diberikan pada waktu
hambatan itu terjadi. Guru dengan cepat mengganti strategi pembelajarannya agar
siswa siswi atau santri yang menghadapi hambatan bisa memecahkan
permasalahannya dan bisa mengikuti proses pembelajaran kembali. Setiap di akhir
tahun diadakan evaluasi pembelajaran untuk mengetahui apakah anak tersebut
sudah mencapai yang diharapkan atau belum. Ketika belum mencapai apa yang
diharapkan, dicari penyebab lainnya seperti apakah anak membutuhkan perhatian
yang ekstra atau cara kita menyampaikan materi metodenya kurang tepat, atau
mungkin beda visi dengannya.

Berdasarkan hasil penelitian atau pengamatan di Pondok Pesantren


Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus, peneliti mengambil sampel 1 anak yaitu
bernama Muhammad Rayhan Anugrah. Santri ini berasal dari Makassar, dia
adalah salah satu penyandang autis. Anak ini memiliki kelebihan yang berbeda dari
teman-temannya. Salah satu kelebihannya adalah bisa mengetahui seri-seri Hp dan
Laptop yang hanya dilihat sekilas saja. Selain itu, dia juga pandai mengaji dan
memiliki cita-cita belajar agama lebih mendalam. Rayhan juga mempunyai daya
ingat yang sangat tinggi dan memiliki ketergantungan pada gadget.

Rayhan lahir di Makassar, 29 juni 2000. Dia masuk ke dalam klasifikasi


autis pada masa kanak-kanak. Pada waktu itu, usianya belum sampai 3 tahun dan
anak ini sudah kelihatan kehyperannya. Pada akhirnya, orang tuanya memutuskan
untuk memasukkan Rayhan ke salah satu tempat rehabilitas yang ada di Bandung.
Setelah masuk di tempat ini Rayhan semakin parah, hal ini disebabkan karena
salah masuk tempat rehabilitas dan metode yang digunakan kurang tepat. Tempat
rehabilitas yang ada di Bandung ini merupakan tempat rehabilitas bagi orang-
orang pecandu narkoba, sedangkan Rayhan sendiri ini adalah anak penyandang
autis. Karena lingkungan yang berbeda, Rayhan semakin hari semakin
memberontak.

Rayhan awal masuk Pondok Pesantren Achsaniyyah pada tanggal 24


September 2017. Langkah awal yang dilakukan terhadap anak-anak baru yaitu
mengobservasi dan masuk ke dunia mereka untuk mengetahui sifat dan kemauan
mereka. Rayhan sendiri butuh waktu tiga bulan untuk menyetabilkan kehyperan
dan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Kebiasaan buruk Rayhan diantaranya adalah
suka merusak barang-barang, suka mukul-mukul temannya, dan lain sebagainya.
Rayhan awal masuk di ponpes Achsaniyyah juga sempat ingin kabur, tapi
alhamdulillah bisa teratasi. Seiring berjalannya waktu, orang tua Rayhan senang
dengan kemajuan anaknya yang berubah menjadi pribadi yang santun dan bisa
diinstruksi hanya dalam waktu satu tahun. Setelah ada kemajuan yang cukup
signifikan, Rayhan ditarik ke kelas mandiri. Di kelas mandiri ini proses belajarnya
beda sedikit dengan di kelas pra mandiri, di kelas mandiri ini lebih memfokuskan
kepada praktik dan diajari ekstrakulikuler yang ada.

Proses pembelajaran disana sebenarnya sama seperti di sekolah-sekolah


formal pada umumnya, meliputi pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan lain
sebagainya. Meskipun demikian, dalam hal pembelajaran mata pelajaran tersebut,
guru harus pandai-pandai menyederhanakan cara dan bahasa agar mudah
dipahami oleh anak-anak. Untuk kelas pra mandiri satu kelas berisi sekitar 10
orang dengan satu orang guru. Anak pra mandiri ini diajari satu per satu. Waktu
pembelajaran satu harinya hanya satu mata pelajaran, dari mulai pukul 08.00-
12.00. pada pukul 09.00 adalah waktu istirahat, di waktu istirahat ini adalah waktu
anak-anak makan dimana guru kelas menyuapi satu per satu anak didiknya.
Setelah itu, biasanya diisi dengan permainan-permainan. Evaluasi pembelajaran
dilaksanakan pada akhir tahun, adapun hal yang di evaluasi adalah berhasil
tidaknya strategi proses pembelajaran yang diterapkan.

99 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

5. Strategi Konselor Terhadap Anak Disabilitas


Bimbingan dan konseling merupakan salah satu unsur dalam progam
pendidikan di sekolah. Dalam sistem pendidikan, terdapat 3 (tiga) aspek kerangka
pendidikan seperti administrasi dan supervise, pengajaran kulikuler, dan
bimbingan dan konseling. Dari tiga aspek tersebut jika dapat terlaksana dengan
baik, maka akan menghasilkan tujuan pendidikan yang optimal bagi individu (Luki
Umami, 2018: 459).

Pemberian bantuan tidak hanya diberikan pada anak normal saja, tetapi
anak autis dan disabilitas juga perlu mendapatkan bantuan. Berdasarkan
perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak tersebut, masih banyak anak
berkebutuhan khusus yang terabaikan sampai saat ini. Sebagian besar masyarakat
masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak
berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain.
Akibatnya, anak-anak tersebut dan keluarga ada yang dikucilkan oleh masyarakat.
Ada diantara mereka yang menarik diri dan tidak mau berbaur dengan masyarakat
karena merasa cemas dan terancam.

Di era globalisasi dimana teknologi digital dapat diakses oleh hampir semua
kalangan, informasi berkembang dengan pesat dan penyebarannya semakin cepat.
Di era digital sekarang ini, media konvensional masih tetap eksis, namun telah
ditinggalkan oleh generasi yang lahir di era digital, yaitu generasi Millennial. Bagi
generasi millennial untuk melindungi diri dari informasi yang tidak akurat, bersifat
provokasi, pola perilaku penggunaan media harus dievaluasi dan diperbaiki
supaya tidak jatuh pada informasi hoax yang bersumber dari opini satu orang
ataupun berita viral yang tidak diketahui dari mana berita bersumber (Ratih,
2017).

Dalam era milenial dan perkembangan zaman ini, maka proses konseling
lebih menekankan pada pengembangan potensi dari didalam dirinya. Yang
termasuk dalam potensi tersebut adalah aspek intelektual, sosial, emosional, dan
religius, sehingga individu akan berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna,
harmonis sosial dan bermanfaat. Konseling bagi anak berkebutuhan khusus
merupakan upaya bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli (ABK)
tersebut agar dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda dengan dirinya. Serta mampu
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan kemampuan dan bisa
dikembangkan menjadi bakat yang berguna untuk kariernya.

Tujuan diadakannya bimbingan konseling terhadap anak berkebutuhan


khusus ini, Thompson dkk (2004) dalam bukunya Counseling Children: sixth ed.
menuliskan garis besarnya sebagai berikut: a) Anak harus mengenal dirinya
sendiri, b) Menemukan kebutuhan ABK yang spesifik sesuai dengan kelainannya.
Kebutuhan ini muncul menyertai kelainannya, c) Menemukan konsep diri, d)
Memfasilitasi penyesuaian terhadap kelainan/kecacatannya, d) Berkoordinasi
dengan ahli lain, e) Melakukan konseling terhadap keluarga ABK, e) Membantu
perkembangan ABK agar berkembang efektif dan memiliki keterampilan hidup
mandiri, f) Membuka peluang kegiatan rekreasi dan mengembangkan hobi, g)
Mengembangkan keterampilan personal dan sosial.

Tujuan tersebut diharapkan dapat terpenuhi melalui berbagai layanan


bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh konselor. Layanan bimbingan dan
konseling tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan dari anak
berkebutuhan khusus. Dalam pemberian layanan, konselor umumnya didampingi
oleh satu orang guru lain yang membantu pembelajaran siswa berkebutuhan
khusus. Layanan bimbingan dan konseling terutama diarahkan pada membantu
siswa agar dapat menyesuaikan diri baik dengan dirinya sendiri maupun
lingkungan di sekitarnya. Layanan bimbingan dan konseling yang diberikan seperti
pemberian layanan orientasi, informasi, dan lain sebagainya.

101 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling


Muhammad Naili Rizki S, Fitria Khoirunnisa, Arina Fitriana

C. Simpulan

Semua tempat pembelajaran dituntut harus mampu dan dapat memberikan


pendidikan sesuai dengan perkembangan zaman pada saat ini. Begitu juga dengan
sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Sekolah harus mampu menerapkan
berbagai macam strategi agar dapat mewujudkan siswa siswi generasi milenial
yang tahu dan dapat mengaplikasikan teknologi. Pelaksanaan pendidikan terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak
hal yang harus dipersiapkan secara matang dalam melaksanakan pendidikan
tersebut. Pemberian pelayanan dan pendekatan secara khusus dari guru untuk
memberikan support dan penggalian bakat setiap individu harus dapat diterapkan
agar dapat mencapai tujuan pendidikan secara maksimal. Guru harus mampu
mendidik siswa siswi ABK supaya dapat hidup mandiri, bisa menyelesaikan
permasalahan setiap individu, dan mampu bersosialisasi pada masyarakat
umumnya.

Dalam hal ini strategi yang digunakan oleh Pondok Pesantren Disabilitas
Achsaniyah Pedawang membagi kelas menjadi 3, yaitu : a) Kelas One by One, kelas
ini diperuntukkan bagi santri atau peserta didik yang baru masuk. Kelas tersebut
merupakan kelas khusus pada bulan pertama sampai santri atau siswa tersebut
dapat terkendalikan kehyperannya, b) Kelas Pra Mandiri, kelas ini bertujuan agar
alumni dari kelas One by One dapat bersosialisasi dengan orang disekitarnya, c)
Kelas Mandiri, kelas di mana siswa siswi atau santri telah dapat bersosialisasi
secara baik dengan teman maupun dengan guru atau lingkungan disekitarnya. Di
kelas ini, siswa dikembangkan potensinya sesuai dengan bakat yang dimiliki oleh
siswa tersebut. Sementara itu, strategi seorang konselor dalam membantu anak
berkebutuhan khusus tercermin dalam pemberian berbagai layanan bimbingan
dan konseling yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
Daftar Pustaka

Anonim. 2006. UUD 1945 & Konstitusi Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal Center
Pulishing.
Chamidah. 2010. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: UNY.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Kamaluddin. 2011. Bimbingan dan Konseling Sekolah. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4, Juli 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Edisi Ketiga Bahasa Depdiknas. Jakarta:
Balai Pustaka.
Luki, Umami. 2018. Bimbingan Dan Konseling Dengan Teknik Multikultural
Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi. JMP Online Vol. 2 No.
5 Mei (2018) 456-468
Noviza, Neni. 2005. Progam Penata Laksanaan Perilaku Hiperaktif pada Anak
Autisti. Tesis. Bandung: UPI.
Rahman, Muzdalifah M. Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender pada Anak
Berkebutuhan Khusus di Kudus. Jurnal Palastren, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
Ratih, Ellysabeth. 2017. Literasi Media Generasi Millenial di Era Media Sosial.
Feature: Millennials Mind.
Permendiknas. 2009. Permendiknas No 70 Tahun 2009 Tentang INKLUSI. Peduli
inklusi.
Rofiq, Aunu. 2013. Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif. Majalah
Ilmiah Pawiyatan. Jilid 20/16 Maret 2013.
Roihah. 2015. Bab II Kajian Teori Anak Berkebutuhan Khusus. Skripsi. UIN-
MALANG.
Semiawan, C. R., & Mangunsong, F. 2010. Keluarbiasaan Ganda (Twice
Exceptionality): Mengeksplorasi, Mengenal, Mengidentifikasi, dan
Menanganinya. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Smith, D. J. 2006. Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Nuansa.

Suffa. 2014. Penerapan Bimbingan Dan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Di Smalb Negeri Ungaran. Skripsi. IAIN Walisongo.
Sutikno, M. Sobry. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect.
Thompson, Charles. L., Rudolph, Linda B., & Henderson, Donna A. 2004. Counseling
Children: Sixth Edition. USA: Brooks/Cole Company.

103 Konseling Edukasi: Journal of Guidance and Counseling

Anda mungkin juga menyukai