Fitria Khoirunnisaa’
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
fitriannis08@gmail.com
Arina Fithriyana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus
arinaf@iainkudus.ac.id
Abstrak
Pesatnya arus globalisasi membuat setiap manusia harus mampu
menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman. Tidak semua
individu mengalami perkembangan normal. Beberapa diantaranya
mengalami hambatan, gangguan, atau memiliki faktor resiko sehingga
dalam perkembangannya yang optimal diperlukan penanganan husus.
Kelompok ini disebut sebagai individu berkebutuhan khusus atau akrab
diistilahkan disabilitas. Strategi dalam proses pendidikan menjadi
sebuah keniscayaan yang harus disiapkan oleh seorang konselor.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi
konselor dalam proses bimbingan konseling yang pas terhadap ABK
dalam proses penyesuaian diri di era milenial. Dalam kajian ini, penulis
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan objek kajian
pondok pesantren disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kab. Kudus. Dari
kajian ini, didapatkan hasil bahwa proses kelas pembelajaran terbagi
menjadi beberapa, diantaranya kelas one by one, pra-mandiri, dan kelas
mandiri. Penyelenggaraan sekolah dan strategi ABK tersebut
diharapkan mampu menciptakan dan mewujudkan ABK yang mandiri,
mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda.
Abstract
COUNSELOR STRATEGIES IN ASSISTING SELF-ADJUSTMENT OF
CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS IN MILLENNIAL ERA. The rapid
flow of globalization makes every human being must be able to adapt
himself to the times. Not all individuals experience normal
development. Some of them experience obstacles, disorders, or have risk
factors so that in optimal development special handling is needed. This
group is referred to as individuals with special or familiar needs termed
disability. The strategy in the education process is a necessity that must
be prepared by a counselor. The purpose of this study was to find out
how the counselor's strategy in the process of counseling is appropriate
for ABK in the process of self-adjustment in the millennial era. In this
study, the authors used a qualitative research approach with the object
of study in the Achsaniyyah Pedawang disability Islamic boarding
school. From this study, it was found that the learning class process was
divided into several, including one by one, pre-independent, and
independent classes. The organization of the school and the ABK
strategy are expected to be able to create and realize independent crew
members, able to solve problems they face, and be able to adapt to
different environments.
Keywords: Strategy of Counselors, Self-Adjustment, Children with
Special Needs (ABK), Millennial Era.
A. Pendahuluan
telah ada sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa
tumbuh-kembangnya.
Menurut Kauffman & Hallahan (dalam Chamidah, 2010:1), tipe-tipe
kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orang tua dan guru adalah
(1) tunagrahita (mental retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan
(child with development impairment), (2) kesulitan belajar (learning disabilities)
atau anak yang berprestasi rendah, (3) hiperaktif (attention deficit disorder with
hyperactive), (4) tunalaras (emotional and behavioural disorder), (5) tunarungu
wicara (communication disorder and deafness), (6) tunanetra atau anak dengan
hambatan penglihatan (partially seingand legally blind), (7) autistik, (8) tunadaksa
(physical handicapped), dan (9) anak berbakat (giftedness and special talents). Di
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang
Pendidikan Inklusif yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa menetapkan bahwa peserta didik berkelainan terdiri atas
peserta didik yang: a. tunanetra; b. tuna rungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e.
tunadaksa; f. tunalaras; g. kesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki
gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang,
dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lainnya; m. tunaganda (Permendiknas,
2009).
a. Tipe kanner, yaitu tipe klasik atau juga disebut autisme infantil, ditandai oleh
ciri-ciri meliputi menghindar kontak mata, lamban berbicara, perilaku
mengulang, dan kemungkinan retardasi mental.
b. Sindrom Asperger (SA), yaitu perkembangan perilaku menentang yang
spektrum cirinya adalah defisit sosial, namun perkembangan kognisi, dan
bahasa relatif normal, serta minal yang mendalam dalam idiosynkretis.
c. Perkembangan perilaku menentang tanpa tanda-tanda lain, kecuali dalam
perkembangannya anak ini tidak memenuhi gejala-gejala tersebut sebelum
umur 3 tahun. Kadang kala klasifikasi ini digunakan apabila kondisi ini muncul
meskipun tidak terlalu berat dan tidak konsisten, sehingga tipe ini kurang
kurang diperkirakan sebagai tipe kenner.
d. Tipe regresif/epileptis, tipe ini ditandai dengan ketidakmampuan memahami
orang lain, input sensori yang tidak menentu, bacaan EEG yang tidak normal,
retardasi mental dan tingkat kecerdasan tinggi.
Dari tipe-tipe autis diatas seorang konselor perlu menyesuaikan diri,
khususnya dalam proses konseling ataupun proses pembelajaran anak disabilitas.
Menurut M. Sobry Sutikno (2009: 88) metode pembelajaran adalah cara-cara
menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses
pembelajaran pada siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari kelas tersebut adalah agar siswa atau santri baru mendapatkan
perhatian yang lebih dan sangat mendalam terhadap dirinya dan menjadikan guru
itu sebagai sosok sahabat yang penuh perhatian di lingkungan barunya. Hal ini
dilakukan karena anak disabilitas sangat sulit untuk bersosialisasi langsung
dengan lingkungan sekitar tanpa suatu perhatiaan khusus. Dengan memberikan
perhatian, motivasi dan juga bimbingan yang besar, maka hal ini dapat membantu
anak disabilitas berkembang lebih baik lagi. Akan tetapi, semua itu membutuhkan
kesabaran dan ketelatenan ekstra bagi seorang guru supaya bisa memberikan
perhatian, motivasi, dan juga bimbingan yang maksimal.
Di kelas One by One, posisi guru bukan hanya sebagai motivator dan
melakukan bimbingan yang lebih. Seorang guru dituntut harus bisa melakukan
pendekatan emosional. Karena pendekatan emosional juga merupakan salah satu
hal penting yang harus ada untuk menghadapi anak disabilitas. Supaya anak dapat
percaya dengan kehadiran sosok seorang guru dan mau menjadi dekat dengannya.
Di kelas pra mandiri, setiap kelas di isi oleh satu orang guru dan ada pula
yang satu kelas diisi oleh dua orang guru. Hal ini tergantung pada tingkat kesulitan
dalam memberikan pelajaran di kelas tersebut. Ketika satu kelas di isi oleh dua
orang guru, satu orang guru memaparkan pelajaran dan satu orang guru lainnya
membimbing siswa-siswa atau santri-santri untuk memerhatikan pelajaran.
Kelas pra mandiri bertujuan agar alumni dari kelas One by One tersebut
dapat bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Tanpa adanya penerimaan dan
dukungan dari orang di sekitar, dapat dipastikan anak disabilitas tidak akan
mampu mencapai potensinya dengan baik dan optimal. Di kelas ini, peran guru
sangat penting dalam tata cara berperilaku anak disabilitas. Kelas ini mengajarkan
mengenai bagaimana tata cara bersosialisasi yang baik terhadap orang lain, tata
cara bertingkah laku dengan teman sebaya maupun orang yang lebih tua
dengannya, sampai tata cara beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Siswa
atau santri yang dianggap telah bisa bersosialisasi penuh dengan lingkungan
sekitar akan naik tingkat ke kelas mandiri.
c. Kelas Mandiri
Selanjutnya, setelah siswa siswi atau santri dapat bersosialisasi baik
dengan teman maupun dengan guru atau lingkungan disekitarnya, siswa atau
santri tersebut dipindahkan ke kelas mandiri. Di kelas ini dapat dikatakan sebagai
kelas besar karena berisi sekitar 30 siswa atau santri lebih. Pada kelas ini, proses
pengembangan dan penggalian bakat dilakukan. Berbeda dengan sekolah-sekolah
pada umumnya yang menggunakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah, Pondok Pesantren ini tidak bisa menerapkan secara penuh atau
keseluruhan apa yang ada di dalam kurikulum tersebut. Hal ini dikarenakan
percuma bila memberikan banyak materi seperti Matematika, IPA, IPS dan lainnya,
namun santri atau siswa tersebut tidak memiliki bakat-bakat dalam hal itu.
Pembelajaran seperti matematika, IPA, dan IPS diberikan kepada siswa atau santri
dengan maksud supaya siswa atau santri tersebut mengetahuinya tanpa
memelajari secara mendalam.
internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut yang memengaruhi hasil
belajar anak.
a. Faktor Internal
Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari dalam individu. Faktor
internal meliputi fisiologis dan biologis serta dapat memengaruhi hasil belajar
individu. Faktor internal yang sering dihadapi para guru adalah ketika emosi dari
siswa siswi atau santri tersebut naik. Seakan-akan siswa siswi atau santri
disabilitas tidak punya semangat lagi untuk belajar karena minat dan motivasinya
sudah menurun.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor dari luar yang dapat memengaruhi hasil
belajar siswa siswi atau santri. Faktor ini meliputi faktor lingkungan social, dan
non sosial. Yang sering dihadapi oleh para guru yaitu ketika dalam proses
pembelajaran, anak tiba-tiba tantrum, atau keadaan dimana anak ini sudah tidak
mood. Wujud tidak mood dari anak ini dikarenakan keinginan orang tua dengan
lembaga tidak sinkron. Padahal lembaga lebih tahu kemauan, dan hal hal yang
dibutuhkan pada anak serta tidak boleh egois terhadapnya. Dalam hal ini, anak
berkebutuhan khusus butuh untuk dipahami dan dia punya dunia lain yang tidak
diketahui oleh orang yang normal.
Menjadi guru di Sekolah Luar Biasa tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Salah satu strateginya adalah guru harus memunyai kesabaran yang tinggi
dan juga memunyai sifat ikhlas dalam menghadapi anak-anak berkebutuhan
khusus. Hal tersebut yang juga dilakukan oleh guru-guru yang ada di Pondok
Pesantren Disabilitas Achsaniyyah Pedawang Kudus dalam menghadapi anak-anak
tersebut. Menurut hasil wawancara terhadap salah seorang narasumber, tidak
jarang siswa siswi suka membanting barang-barang yang ada di sekelilingnya. Ada
juga yang pernah terjadi kasus siswa atau santri yang berusaha kabur karena tidak
nyaman di lingkungan pondok, dan akhirnya ditemukan kembali oleh keamanan
lalu dikembalikan lagi ke pondok. Oleh karena itu, semua pengasuh yang ada di
pondok baik security, guru, sampai cleaning servis harus mempunyai kesabaran
yang ekstra dalam menangani anak berkebutuhan khusus.
4. Bentuk dan metode terapi serta solusi yang dilakukan untuk mengatasi
hambatan dalam proses pembelajaran
Selain menjalankan proses pembelajaran, Pondok Pesantren Disabilitas
juga melaksanakan terapi terhadap anak-anak autis. Autis bukanlah sebuah
kecacatan fisik, namun sebuah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya
sudah timbul sebelum anak itu mencapai usia tiga tahun. Autis dapat disembuhkan
lewat terapi untuk merubah sikap hidupnya agar bisa berkomunikasi dengan
lancar terhadap orang disekitarnya. Terapi yang dilakukan disini sama seperti
sekolah luar biasa pada umumnya dengan memberikan pujian dan kegiatan
rutinitas kesenangannya.
a. Metode Terapi Applied Behavioral Analysis (ABA): ABA adalah jenis terapi yang
telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus anak-anak
penyandang autisme. Metode yang dipakai dalam terapi ini adalah dengan
memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive
reinforcement (hadiah/pujian).
b. Metode terapi TEACCH: TEACCH adalah Treatment and education of autistic
and Related Communication Handicapped Children, yaitu suatu metode yang
dilakukan untuk mendidik anak autis dengan menggunakan kekuatan
relatifnya pada hal terstruktur dan kesenangannya pada rutinitas dan hal-hal
yang dapat diperkirakan dan relatif mampu berhasil pada lingkungan yang
visual dibanding yang auditori.
Dengan perbedaan dan keterbatasan kemampuan serta bakat siswa siswi
atau santri disabilitas tentu dapat menghambat proses belajar mengajar yang
dilakukan. Keterbatasan dan hambatan yang terkait dengan kemampuan
intelektual siswa siswi atau santri ini merupakan aspek alami atau natural yang
tidak dapat dihindari. Meskipun demikian, masalah hambatan ini bukan tidak
dapat diatasi. Dalam hal ini, guru harus mampu mengidentifikasi sejauh mana
kemampuan dan bakat setiap individu.
Pemberian bantuan tidak hanya diberikan pada anak normal saja, tetapi
anak autis dan disabilitas juga perlu mendapatkan bantuan. Berdasarkan
perkembangan pandangan masyarakat terhadap anak tersebut, masih banyak anak
berkebutuhan khusus yang terabaikan sampai saat ini. Sebagian besar masyarakat
masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak
berkebutuhan khusus sebagai kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain.
Akibatnya, anak-anak tersebut dan keluarga ada yang dikucilkan oleh masyarakat.
Ada diantara mereka yang menarik diri dan tidak mau berbaur dengan masyarakat
karena merasa cemas dan terancam.
Di era globalisasi dimana teknologi digital dapat diakses oleh hampir semua
kalangan, informasi berkembang dengan pesat dan penyebarannya semakin cepat.
Di era digital sekarang ini, media konvensional masih tetap eksis, namun telah
ditinggalkan oleh generasi yang lahir di era digital, yaitu generasi Millennial. Bagi
generasi millennial untuk melindungi diri dari informasi yang tidak akurat, bersifat
provokasi, pola perilaku penggunaan media harus dievaluasi dan diperbaiki
supaya tidak jatuh pada informasi hoax yang bersumber dari opini satu orang
ataupun berita viral yang tidak diketahui dari mana berita bersumber (Ratih,
2017).
Dalam era milenial dan perkembangan zaman ini, maka proses konseling
lebih menekankan pada pengembangan potensi dari didalam dirinya. Yang
termasuk dalam potensi tersebut adalah aspek intelektual, sosial, emosional, dan
religius, sehingga individu akan berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna,
harmonis sosial dan bermanfaat. Konseling bagi anak berkebutuhan khusus
merupakan upaya bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli (ABK)
tersebut agar dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda dengan dirinya. Serta mampu
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan kemampuan dan bisa
dikembangkan menjadi bakat yang berguna untuk kariernya.
C. Simpulan
Dalam hal ini strategi yang digunakan oleh Pondok Pesantren Disabilitas
Achsaniyah Pedawang membagi kelas menjadi 3, yaitu : a) Kelas One by One, kelas
ini diperuntukkan bagi santri atau peserta didik yang baru masuk. Kelas tersebut
merupakan kelas khusus pada bulan pertama sampai santri atau siswa tersebut
dapat terkendalikan kehyperannya, b) Kelas Pra Mandiri, kelas ini bertujuan agar
alumni dari kelas One by One dapat bersosialisasi dengan orang disekitarnya, c)
Kelas Mandiri, kelas di mana siswa siswi atau santri telah dapat bersosialisasi
secara baik dengan teman maupun dengan guru atau lingkungan disekitarnya. Di
kelas ini, siswa dikembangkan potensinya sesuai dengan bakat yang dimiliki oleh
siswa tersebut. Sementara itu, strategi seorang konselor dalam membantu anak
berkebutuhan khusus tercermin dalam pemberian berbagai layanan bimbingan
dan konseling yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak.
Daftar Pustaka
Anonim. 2006. UUD 1945 & Konstitusi Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal Center
Pulishing.
Chamidah. 2010. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: UNY.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Kamaluddin. 2011. Bimbingan dan Konseling Sekolah. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 17, Nomor 4, Juli 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Edisi Ketiga Bahasa Depdiknas. Jakarta:
Balai Pustaka.
Luki, Umami. 2018. Bimbingan Dan Konseling Dengan Teknik Multikultural
Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Inklusi. JMP Online Vol. 2 No.
5 Mei (2018) 456-468
Noviza, Neni. 2005. Progam Penata Laksanaan Perilaku Hiperaktif pada Anak
Autisti. Tesis. Bandung: UPI.
Rahman, Muzdalifah M. Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender pada Anak
Berkebutuhan Khusus di Kudus. Jurnal Palastren, Vol. 9, No. 1, Juni 2016.
Ratih, Ellysabeth. 2017. Literasi Media Generasi Millenial di Era Media Sosial.
Feature: Millennials Mind.
Permendiknas. 2009. Permendiknas No 70 Tahun 2009 Tentang INKLUSI. Peduli
inklusi.
Rofiq, Aunu. 2013. Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif. Majalah
Ilmiah Pawiyatan. Jilid 20/16 Maret 2013.
Roihah. 2015. Bab II Kajian Teori Anak Berkebutuhan Khusus. Skripsi. UIN-
MALANG.
Semiawan, C. R., & Mangunsong, F. 2010. Keluarbiasaan Ganda (Twice
Exceptionality): Mengeksplorasi, Mengenal, Mengidentifikasi, dan
Menanganinya. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Smith, D. J. 2006. Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Nuansa.
Suffa. 2014. Penerapan Bimbingan Dan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Di Smalb Negeri Ungaran. Skripsi. IAIN Walisongo.
Sutikno, M. Sobry. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect.
Thompson, Charles. L., Rudolph, Linda B., & Henderson, Donna A. 2004. Counseling
Children: Sixth Edition. USA: Brooks/Cole Company.