Anda di halaman 1dari 5

NAMA : DIVANA AMEDOMA

NIM : 21129376

Eksistensi dan kedudukan BK di sekolah berdasarkan landasan yuridis formal dan yuridis
informal

A. Eksistensi BK di Sekolah

Pelayanan bimbingan dan konseling memfasilitasi pengembangan peserta didik secara


individual, kelompok, atau klasikal, sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat,
perkembangan, kondisi, serta peluang-peluang yang dimiliki (Hikmawati, 2016). Pelayanan
ini juga membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta masalah yang dihadapi oleh
peserta didik. Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam
memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan
perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat
individu dalam lingkungannya.

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah bukan semata-mata


terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan
dari atas, tetapi yang lebih penting adalah menyangkut mengenai upaya memfasilitasi
peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi
dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi,
intelektual, sosial, dan moral-spiritual).

Konseling sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau
menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk
mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih
kurang dalam memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga
pengalaman yang menentukan arah kehidupannya.

B. Kedudukan BK di Sekolah

1. Berdasarkan Landasan Yuridis Formal

Pendidikan merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan sebagai


bekal hidup. Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan
bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang bertujuan agar peserta didik
mampu mengembangkan potensi dirinya meliputi kekuatan spiritual, self-regulated,
kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia, serta keterampilan baik untuk dirinya maupun
lingkungan dan negaranya. Sedangkan menurut Tilaar (dalam Taufiq, 2014) menyatakan
bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membentuk peserta didik agar memasyarakat
dan berbudaya yang memiliki dimensi lokal, nasional, dan global.
Definisi pendidikan yang menarik dan sederhana diungkapkan oleh Sunaryo (Taufiq, 2014),
yang menyatakan bahwa pendidikan ditujukan untuk membawa manusia yang apa adanya
menjadi yang seharusnya. Memang manusia sudah dibekali oleh potensi diri, tetapi dengan
tidak melatih dan mempergunakan hal tersebut, potensi tidak akan pernah muncul, manusia
yang memiliki akal perlu dibekali juga dengan cara menggunakan akal tersebut dan
mengoptimalkan kemampuannya (Bhakti, 2015).

Di lapangan apabila ditanya apa itu pendidikan, maka jawaban yang sering terdengar adalah
proses dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi pendidikan saat ini terutama tidak dapat
semudah itu. Banyak aspek yang perlu dikembangkan daripada hanya sekadar mengubah
suatu ketidaktahuan menjadi tahu. Sebab, manusia tidak hanya diciptakan dari segi
kognitifnya saja, dan kenyataan bahwa tidak semua baik dari segi akademik. Banyak individu
yang lebih unggul di suatu bidang selain akademik, semisal menggunakan fisiknya,
menggunakan motorik halusnya, atau kemampuan lainnya. Sehingga pendidikan harus
dilaksanakan secara komprehensif.

Di Indonesia pendidikan dibagi menjadi beberapa jenjang yang disusun berdasarkan tingkat
perkembangan, tujuan, dan kemampuan yang menjadi sasaran. Jenjang pendidikan tersebut
terdiri dari mulai pendidikan prasekolah sampai dengan perguruan tinggi, baik formal,
informal, maupun nonformal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang terdiri dari
pendidikan dasar, menengah, dan atas yang disusun dan dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang terstruktur ataupun
berjenjang, tetapi di luar pendidikan formal. Sedangkan pendidikan informal dapat terjadi di
lingkungan

Menyoroti jenjang pendidikan Indonesia yang membagi menjadi beberapa jenjang, yang
disusun secara sistematis sesuai dengan tingkat perkembangan dan tujuan yang ingin
dicapai secara formal terbagi menjadi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 14. Oleh karena
setiap individu berbeda dari segi kecerdasan, keterampilan, watak, minat, dan bakatnya,
maka pendidikan yang menuntut tercapainya tujuan mencerdaskan semua anak bukan
hanya membutuhkan pengajaran yang bersifat akademik saja, tetapi perlu pemahaman
akan diri dan lingkungan serta bagaimana cara mengaktualisasikan dirinya sehingga dapat
hidup secara mandiri. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Amini dkk., (2014), yang
menyatakan bahwa yang perlu diperhatikan adalah tidak ada anak yang perkembangannya
sama persis meskipun anak kembar sekalipun.

Salah satu komponen pendidikan yang penting dalam pelaksanaan pendidikan adalah
bimbingan dan konseling dalam setiap satuan pendidikan, baik dasar maupun menengah,
tidak terkecuali di Sekolah Dasar. Sebagaimana dalam PERMENDIKBUD RI No. 111 tahun
2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan menengah, bahwa
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan.

Bimbingan dan konseling sudah tidak asing lagi didengar di sekolah, karena bimbingan dan
konseling sendiri seperti sudah dikaji memiliki peranan penting dalam pendidikan.
Bimbingan dan konseling terdiri dari kata yang masing-masing memiliki pengertian. Pertama
bimbingan, bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang diberikan oleh guru
bimbingan dan konseling atau konselor kepada seorang konseli yang bertujuan agar konseli
mampu mengembangkan kemampuan dirinya dengan mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya sehingga menjadi pribadi yang mandiri. Sedangkan konseling yang dalam
bukunya Prayitno dan Amti (2015) menggantikan istilah sebelumnya, yaitu penyuluhan,
serta memberikan definisi bahwa konseling merupakan upaya pemberian bantuan berupa
wawancara secara langsung yang diberikan oleh seorang yang kompeten yang disebut
konselor kepada konseli yang sedang mengalami suatu permasalahan dengan tujuan agar
individu tersebut dapat mengatasi permasalahannya tersebut (Hanum, 2015).

2. Berdasarkan Landasan Yuridis Informal

a. Landasan Psikologis

Landasan psikologis merupakan salah satu bagian yang terpenting untuk dibahas dalam
bimbingan konseling, hal ini didasari bahwa peserta didik atau klien sebagai individu yang
dinamis dan berada dalam proses perkembangan, memiliki interaksi dan dinamika dalam
lingkungan serta senantiasa mengalami berbagai perubahan dalam sikap dan tingkah
lakunya. Proses perkembangan seseorang tidak selamanya berlangsung secara linear (sesuai
dengan apa yang diharapkan), tetapi terkadang bersifat stagnasi atau bahkan diskontinuitas
perkembangan.(Lubis, 2012)

Dalam proses pendidikan, peserta didik tidak jarang mengalami masalah stagnasi
perkembangan, sehingga menimbulkan masalah-masalah psikologis, seperti lahirnya
perilaku menyimpang (delinquency), frustrasi, depresi, agresi atau bersifat kekanak-
kanakan.

Agar perkembangan pribadi peserta didik atau klien dapat tumbuh dan berkembang secara
seimbang serta terhindar dari masalah-masalah psikologis, maka setiap peserta didik atau
klien perlu diberikan bantuan yang bersifat pribadi (pendekatan inilah pada akhirnya
menjadi konseling individu), yaitu bantuan yang dapat memfasilitasi perkembangan peserta
didik atau klien melalui pendekatan psikologis. Pada sisi lain, setiap konselor maupun guru
pembimbing harus memahami aspek-aspek psikologis pribadi pelajar atau klien, sehingga
dengan modal itu pulalah para konselor dapat memberikan bimbingan dan arahan yang
tepat, sehingga pelajar atau klien memiliki pencerahan diri dan mampu memperoleh
kehidupan yang bermakna, yaitu suatu kehidupan yang bukan hanya berarti buat diri
pribadinya saja, tetapi juga bermanfaat bagi orang yang ada di sekitarnya.

Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai
oleh konselor, yaitu (a) motif dan motivasi, (b) pembawaan dan lingkungan, (c)
perkembangan individu, (d) belajar, dan (e) kepribadian. (Yusuf, 2006).
b. Landasan Sosial-Budaya

Landasan sosial-budaya juga perlu diketahui secara lengkap oleh konselor atau guru
Bimbingan dan Konseling (BK), karena landasan ini dapat memberikan pemahaman kepada
konselor tentang dimensi kesosialan dan kebudayaan sebagai faktor yang memengaruhi
perilaku individu. Setiap individu pada dasarnya merupakan produk dari lingkungan sosial-
budaya tempat mereka tinggal. Sejak lahirnya, individu tersebut sudah diajarkan untuk
mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di
sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan
tersingkir dari lingkungannya.

Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu yang berbeda-


beda sehingga menyebabkan perbedaan dalam proses pembentukan perilaku dan
kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak
“dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang
pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku
individu yang bersangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Budaya dan pandangan hidup seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal terkait dengan sikap dan perlakuan orang tua atau peranan
keluarga terhadap seseorang, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh lingkungan di
mana seseorang itu dilahirkan dan dibesarkan serta pergaulan dan pengalaman yang
ditempuh oleh seseorang tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan kearifan dan keluasan
pandangan dari setiap konselor, yang mana konselor harus mampu memberikan layanan
dan perhatian yang sama terhadap peserta didik atau klien yang memerlukan bantuan, tidak
terkecuali kepada mereka yang berbeda budaya, pandangan hidup, dan agama, karena
memberikan layanan terhadap orang yang membutuhkan atau memerlukan merupakan
tuntutan dari tugas profesionalismenya sebagai seorang konselor.

c. Landasan Ilmu Pengetahuan-Teknologi dan Globalisasi

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan-teknologi dan globalisasi
memiliki multifungsi terhadap berbagai aspek dalam kehidupan manusia, artinya berbagai
disiplin ilmu seperti psikologi, ilmu pendidikan, filsafat, antropologi, sosiologi, komunikasi,
ekonomi, dan agama sangat berfungsi dalam bimbingan konseling. Sumbangan berbagai
disiplin ilmu lain kepada bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas kepada
pembentukan dan pengembangan teori-teori bimbingan konseling, melainkan juga kepada
praktik pelayanannya.

Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor di dalamnya
mencakup sebagai ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan
pengetahuan dan teori mengenai bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil
pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian, sehingga proses
dan layanan bimbingan konseling semakin hari semakin baik.
Dalam perjalanan sejarahnya, bimbingan dan konseling bersifat dinamis dan berkembang,
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya manusia itu sendiri.
Mengingat perlunya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka setiap konselor
atau guru BK dituntut untuk mengadakan penelitian dan eksperimen, sehingga layanan yang
diberikan terhadap klien akan semakin baik dan sempurna.

Anda mungkin juga menyukai