Anda di halaman 1dari 49

PERANCANGAN GEOMETRI JALAN

DISUSUN OLEH:
NAMA : HENDRIK FITRA WIJAYA
NIM : 422020001
DOSEN PENGASUH : FEBRIYADI, S.T.

FAKULTAS TEKNIK
PROGAM STUDI TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS ISLAM OGAN KOMERING ILIR
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan “PERANCANGAN
GEOMETRI JALAN” ini tanpa ada suatu halangan apapun..
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW yang kita nanti
– nantikan syafaatnya di dunia dan di akhirat.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
peningkatan karya tulis ilmiah ini.Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Kayuagung, 12 DESEMBER 2022

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
• LATAR BELAKANG..........................................................................
• RUMUSAN MASALAH......................................................................
• TUJUAN...............................................................................................
BAB II METODE
• UMUM.................................................................................................
• PENGERTIAN GEOMETRI JALAN..................................................
• KLASIFIKASI PERENCANAAN.......................................................
• KECEPATAN RENCANA…………………………………………..
• KECEPATAN DI LAPANGAN……………………………………...
• JARAK PANDANG………………………………………………….
• DAERAH BEBAS SAMPING……………………………………….
• MEDIAN……………………………………………………………...
• BAHU JALAN………………………………………………………..
• LEBAR JALUR………………………………………………………
• ALINYEMEN HORIZONTAL………………………………………
BAB III PEMBAHASAN
• PERENCANAAN RUAS JALAN.......................................................
• DATA RHL..........................................................................................
• KONTUR..............................................................................................
BAB IV KESIMPULAN & SARAN
• KESIMPULAN.....................................................................................
• SARAN.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

• 1. Latar Belakang
Perkembangan era globalisasi diberbagai sektor, misalnya sektor ekonomi,
pendidikan, pariwisata, teknologi yang begitu pesat semenjak tahun 2000 hingga
sekarang dan akan terus berkembang, hal ini mesti didukung dengan transportasi yang
cepat dan nyaman. Untuk memenuhi hal tersebut perlu perencanaan geometrik jalan yang
dititikberatkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari
jalan, yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu lintas dan sebagai akses
ke berbagai tujuan. Dalam lingkup perencanaan geometrik tidak termasuk perencanaan
tebal perkerasan jalan, walaupun perkerasan merupakan bagian dari perencanaan
geometrik sebagai bagian dari perencanaan jalan. Yang menjadi tujuan dari perencanaan
geometrik adalah menghasilkan infra struktur yang aman , pelayanan lalu lintas yang
efisien, dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan/biaya pelaksanaan. Suatu jalan
dikatakan baik, jika bisa memberikan rasa aman, nyaman, dan teratur arus lalu lintasnya.
Laju pertumbuhan lalu lintas jalan raya seringkali tidak sesuai dengan pertumbuhan
pemakai jalan raya yang direncanakan. Hal ini menimbulkan berbagai macam masalah
serius jika tidak ditangani dan direncanakan sejak dini. Masalah geometri tikungan
misalnya, perencanaan tikungan yang tidak sejalan dengan pertumbuhan kendaraan, bisa
menimbulkan masalah baru. Untuk mengetahui kelayakan tersebut perlu adanya
peninjauan ulang/observasi untuk mendapatkan data yang diinginkan. Data tersebut
dianalisis untuk mengetahui penyebab kemudian mencari solusinya. Banyaknya geometri
tikungan yang sering kali menyebabkan terjadinya banyak kecelakaan, dikarenakan jarak
pandang, radius tikungan, pelebaran perkerasan di tikungan, kelandaian jalan yang tidak
sesuai.
pedoman dari jasa marga, dan lain sebagainya,maka perlu adanya peninjauan
kembali jalan dengan tikungan-tikungan yang ekstrim. Ruas jalan Bokong Semar –
Ngembes yang ada di Jalan Jogja – Wonosari, Kabupaten Bantul – Gunung Kidul yang
berkarakter daerah pegunungan yang berkelok-kelok sering terjadi kecelakaan di ruas
jalan tersebut, Ibu Nur Hayati dalam wawancaranya mengatakan di beberapa tikungan
yang ada di jalan Bokong Semar – Ngembes sering terjadi kecelakaan. Maka perlu
dilakukan survei dan evaluasi untuk mengetahui penyebab banyaknya kecelakaan
tersebut. Sehingga dengan adanya peninjauan jika terdapat kesalahan dalam geometrik
tikungan, bisa untuk dilakukan evaluasi. Dengan demikian pelayanan jalan dapat
dimaksimalkan.

• 1.2 Rumusan Masalah


• Apa itu ruas jalan?
• Apa itu RHL?
• Apa itu Kontur?

• 1.3 Tujuan
• Untuk memahami apa itu Ruas Jalan
• Untuk memahami apa itu RHL
• Untuk memahami Kontur
BAB II
METODE

2.1 UMUM

Dalam bab ini akan dibahas tentang hal-hal yang dijadikan landasan untuk
penelitian ini. Sebagai pedoman dan teori agar penelitian mempunyai landasan yang kuat
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga.

2.2 PENGERTIAN GEOMETRI JALAN

Dalam perencanaan jalan ada suatu bagian yang mengtitik beratkan perencanaan
bentuk fisik dari jalan itu sendiri yaitu geometrik, sehingga jalan tersebut dapat
memenuhi fungsinya antara lain memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu
lintas dan menghasilkan infrastruktur yang aman, nyaman dan efisien. Jadi dapat di tarik
kesimpulan untuk peneltian ini pengertian geometri jalan adalah suatu bangun jalan yang
menggambarkan ruang, bentuk atau ukuran jalan yang baik sehingga memberikan
pelayanan yang optimum, aman, nyaman, dan efisien. Adapun pedoman dan teori
perencanaan perhitungan geometri jalan ini menggunakan Direktorat Jenderal Bina
Marga berguna untuk memperlancar penelitian ini.

2.3 KLASIFIKASI PERENCANAAN

Volume lalu lintas rencana (VLR), fungsi jalan raya, dan kodisi medan. Merupakan
faktor pada kelas jalan raya untuk penerapan pengendalian dan kriteria perencanaan
geometrik. Volume lalu lintas rencana (VLR) mempunyai peranan yang sangat
penting yaitu menjadi pedoman dalam penentuan standar lebar daerah manfaat jalan,
standar alinyemen, dan standar lainnya. Kelas-kelas standar juga harus mengikuti fungsi
jalan, fungsi jalan dikelompokan menjadi tiga yaitu arteri, kolektor, dan lokal. Standar
kelas yang lebih tinggi ditunjukan untuk fungsi jalan yang lebih tinggi pula,
sedangkan untuk kondisi medan berperan dalam pengendalian dan kriteria
perencanaan, semakin curam topografi maka tingkat perencanaan geometrik yang
berkurang dapat diterima. Untuk medan
pegunungan kelas standar nya mempunyai lebar lajur yang sama, untuk klasifikasi
perencanaan berdasarkan faktor-faktornya dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Klasifikasi Perencanaan Jalan

Fungsi Medan Jalan Volume Lalu Lintas (SMP/hari) Kelas


> 50.000 1
Datar
≤ 50.000 2
> 50.000 1
Bukit
Arteri ≤ 50.000 2
> 50.000 1
Gunung
≤ 50.000 2
> 30.000 3

Datar 10.000 - 30.000 3


≤ 10.000 4
> 30.000 3

Bukit 10.000 - 30.000 3


kolektor
≤ 10.000 4
> 30.000 3

Gunung 10.000 - 30.000 3


≤ 10.000 4
> 10.000 3

Datar 1.000 - 10.000 4


≤ 1.000 5
> 10.000 3

Bukit 1.000 - 10.000 4


Lokal
≤ 1.000 5
> 10.000 3

Gunung 1.000 - 10.000 4


≤ 1.000 5
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)

2.4 KECEPATAN RENCANA

Vr adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang dipilih sebagai dasar
perencanaan geometri jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan
aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas
yang lenggang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. Batasan kecepatan jalan-
jalan perkotaan haruslah sesuai dengan tipe dan kelas jalan yang bengsangkutan bisa
dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Kecepatan Rencana (Vr)

Kecepatan Rencana (Vr)


Fungsi Kelas km/jam
Kelas 1 80
Kelas 2 60
Kelas 3 -
Arteri
Kelas 4 -
Kelas 5 -
Kelas 1 -
Kelas 2 -
Kelas 3 40
Kolektor
Kelas 4 30
Kelas 5 -
Kelas 1 -
Kelas 2 -
Kelas 3 40
Lokal
Kelas 4 30
Kelas 5 20
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)
2.5 KECEPATAN DI LAPANGAN

Kecepatan lapangan adalah kecepatan kendaraan sebenarnya di lapangan.


Kecepatan lapangan didapat dengan menggunakan berbagai metode dan salah satunya
adalah MCO (Moving Car Observed) yaitu metode pengukuran yang mengikutsertakan
pengamat dlam kendaraan yang bergerak mengikuti arus lalu- lintas. Untuk menghitung
kecepatan di lapangan dapat dihitung pada persamaan
3.1.

SMS =
∑ (3.1)

Keterangan:

SMS = Space Mean Speed / kecepatan rata-rata (km/jam) X =


Jarak yang ditempuh
n = Jumlah sampel kendaraan

t1 =

2.6 JARAK PANDANG

Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pada saat
mengemudi mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pengemudi melihat suatu
halanagn yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan suatu (antisipasi) untuk
menghindari bahaya tersebut dengan aman. Menurut ketentuan Bina Marga jarak
pandang terdiri dari Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak Pandang Mendahului
(Jd).

2.6.1 Jarak Pandang Henti

Jarak Pandang Henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi
untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan
didepan. Setiap titik di sepanjang jalan harus memenuhi jarak pandang henti. Untuk
menghitung Jarak Pandang Henti dapat menggunakan persamaan 3.2.

JPH = Jht + Jhr

= ⁄ ) (3.2)
( )xt+(

Keterangan:

Jht = Jarak tanggap yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi melihat suatu
halangan sampai saat pengemudi melihat suatu halangan sampai saat
pengemudi menginjak rem.
Jhr = Jarak pengereman yang diperlukan untuk menghentikan kendaraan sejak
pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
V = Kecepatan rencana (km/jam)

t = Waktu tanggap, ditetapkan Bina Marga 2,5 detik g =


Percepatan gravitasi, 9,8 m/dt²
f = koefisien gesek memanjang antara ban dengan perkerasaan aspal, (0,30-
0,40)

Berikut Tabel 3.3 yang dapat digunakan untuk mengetahui jarak pandang henti
minimum.

Tabel 3.3 Jarak Pandang Henti Minimum

Vr (km/jam) 80 70 60 50
JPH minimum (m) 120 105 75 55
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)

2.6.2 Jarak Pandang Mendahului


Jarak Pandang Mendahului adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan
mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut
kembali ke lajur semula. Dalam Bina Marga Jarak Pandang Mendahului dibagi menjadi
dua macam yaitu Jarak Pandang Mendahuli Total dan Jarak Pandang Mendahului
Minimum. Jarak Pandang Mendahului Total merupakan seluruh panjang yang dibutuhkan
oleh kendaraan yang akan menyiap dimulai dari gerakan masuk ke lajur kanan sampai
masuk ke lajur kiri ditambah jarak bebas dengan kendaraan yang berlawanan pada saat
yang bersamaan. Untuk perhitungan Jarak Pandang Mendahului Total dapat dilihat pada
persamaan 3.3. Sedangkan untuk perhitungan Jarak Pandang Mendahului Minimum dapat
di lihat pada persamaan 3.4. Dan untuk keterangan jarak yang di tempuh dalam
perhitungan Jarak Pandang Mendahului dapat dilihat pada persamaan 3.5, persamaan 3.6,
persamaan 3.7, dan persamaan 3.8.

JPM Total = d1 + d2 + d3 + d4 (3.3)

d1 = 0,278 *t1*( Vr – m + ) (3.5)

d4 = * d2 (3.8)

Keterangan:

d1 = Jarak yang di tempuh pada waktu tanggap (m)

d2 = Jarak yang di tempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur semula.
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari arah
berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan.
Vr = Kecepatan rencana (km/jam)
t1 = Waktu tanggap (2,5 detik)

t2 = Waktu kendaraan di lajur kanan (9,3–10,4 detik)

a = Kecepatan rata-rata yang bergantung pada kecepatan rencana

(2,26-2,36km/jam/detik)

m = Perbedaan kecepatan (15 km/jam)

Jarak Pandang Mendahului memiliki standar dan minimum yang ditetapkan oleh
Direktorat Jendral Bina Marga, standar dan minimum Jarak Pandang Minimum
dinyatakan dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Jarak Pandang Mendahului Minimum

Vr (km/jam) 80 60 50 40 30 20
JPM Total (m) 550 350 250 200 150 100
JPM minimum (m) 350 250 200 150 100 70
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)

2.7 DAERAH BEBAS SAMPING

Daerah Bebas Samping merupakan ruang yang memberikan kemudahan pandangan


di tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh jarak tertentu (E).
Pada daerah ini diukur dari garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang
pandangan sehingga memenuhi persyaratan jarak pandang henti. Adapun perhitungan
pada Daerah Bebas Samping pada tikungan dapat dilihat pada persamaan 3.9, dan
persamaan 3.10.

JPH < Lt
E ̊
= R * (1 – cos

) (3.9) JPH > Lt

E ̊
= (R * (1 – cos

) ) + ( ̊

) (3.10)

Keterangan:

E = Ruang bebas samping (m) R = Jari-jari tikungan (m)


JPH = Jarak Pandang Henti (m) Lt = Panjang tikungan (m)

2.8 MEDIAN

Median merupakan ruang yang disediakan pada bagian tengah daerah manfaat jalan
untuk membagi jalur lalu lintas mengikuti arah nya dan menjamin ruang bebas samping
pada jalur. Jalan raya yang memiliki 4 lajur atau lebih harus memiliki median, adapun
median mempunyai fungsi yaitu untuk memisahkan dua jurusan arus lalu lintas demi
keamanan dan kenyamanan pengemudi dengan demikian guna membatasi belokan supaya
arus lalu lintas lancar. Lebar Minimum Median dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Lebar Minimum Median

Kelas Lebar Jalur Lebar Jalur Tepian Minimum


Jalan Minimum Minimum Khusus (m)
I 2.50 1.00 0.25
II 2.50 1.00 0.25
III A 1.50 1.00 0.25
III B 1.50 1.00 0.25
III C 1.50 1.00 0.25
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)

2.9 BAHU JALAN

Bahu jalan adalah bagian tepi jalan yang dipergunakan sebagai tempat untuk
kendaraan yang mengalami kerusakan berhenti atau digunakan oleh kendaraan darurat
seperti ambulans, pemadam kebakaran, polisi yang sedang menuju tempat yang
memerlukan bantuan kedaruratan dikala jalan sedang mengalami tingkat macet yang
tinggi. Jalan lalu lintas hendaknya dilengkapi dengan bahu jalan, bila jalur lintas telah
dilengkapi dengan median, jalur pemisah atau jalur parkir makan bahu jalan tidak
diperlukan lagi. Bahun jalan sebaiknya diperkeras, bahu yang tidak diperkeras
dipertimbangkan apabila ada pertimbangan ekonomi. Berdasarkan nilai klasifikasi
jalan Direktorat Jenderal Bina Marga memiliki lebar minimum Bahu Jalan yang dapat
dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Lebar Minimum Bahu Jalan

Bahu Jalan Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5


Lebar Minimum (m) 1,25 1,00 0,75 0,75 0,75
Lebar Ideal (m) 3,00 2,50 2,50 2,50 1,50
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)
2.10 LEBAR LAJUR

Lebar Lajur merupakan jalan yang dilewati lalu-lintas, tetapi tidak termasuk bahu
jalan. Lajur menjadi salah satu pertimbangan keselamatan kecelakaan dengan adanya
pelebaran lajur akan mengurangi tingkat kecelakaan antara 2-15 % per meter pelebaran
(nilai yang besar mengacu pada jalan kecil/sempit), lajur pendakian pada kelanjdaian
yang curam mengurangi tingkat kecelakaan 25-30 %, lajur menyalip (lajur tambahan
untuk menyalip pada daerah datar) mengurangi tingkat kecelakaan 15-20 %. Untuk lebar
lajur berbagai klasifikasi perencnaan sebaiknya sesuai dengan Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Lebar Jalur Lalu Lintas

Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal (m)


Kelas 1 3,50
Kelas 2 3,25
Kelas 3 -
Arteri
Kelas 4 -
Kelas 5 -
Kelas 1 -
Kelas 2 -
Kelas 3 3,00
Kolektor
Kelas 4 2,75
Kelas 5 -
Kelas 1 -
Kelas 2 -
Kelas 3 -
Lokal
Kelas 4 2,75
Kelas 5 2,75
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1990)

2.11 ALINYEMEN HORIZONTAL

2.11.1 Umum
Tampak atas yang menggambarkan jalan secara horizontal yang merupakan garis
proyeksi sumbu jalan yang tegak lurus pada bidang peta, jalan yang dimaksud adalah
gabungan bentuk jalan lurus dan lengkung (belokan) sesuai dengan arah mata angin. Pada
bagian lurus secara geometrik tidak ada masalah, sedangkan yang perlu mendapat
perhatian dalah pada bagian lengkung, karena stabilitas gerakan kendaraan di daerah
lengkung mengalami gangguan seperti adanya gaya sentrifugal akibat gerakan
membelok. Yang perlu mendapat perhatian pada daerah lengkung adalah kecepatan
rencana, jari-jari lengkung, jenis dan panjang kurva, super elevasi dan pelebaran jalur.
Dalam perencanaan alinyemen horizontal akan ditemui dua jenis bagian jalan yaitu
bagian jalan yang lurus dan bagian jalan yang lengkung atau umumnya disebut tikungan
yang terdiri dari tiga jenis tikungan. Tiga jenis tikungan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lingkaran Penuh (Full Circle = FC)

2. Spiral-Lingkaran-Spiral (Spiral-Circle-Spiral = S-C-S)

3. Spiral-Spiral (Spiral-Spiral = S-S)

2.11.2 Bagian Lurus (Tangen Jalan)

Panjang pada bagian lurus yang harus ditempuh dalam waktu ≤ 2,5 menit (sesuai Vr), dengan
mempertimbangkan keselamatan pengemudi yang diakibatkan karena kelelahan. Adapun
panjang bagian lurus maksimum dinyatakan pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)


Fungsi
Datar Bukit Gunung
Arteri 3000 2500 2000
Kolektor 2000 1750 1500
Sumber: Hedarsin (2000)

2.11.3 Tikungan Gabungan


Pada perencanaan alinyemen horizontal dikenal dua macam tikungan gabungan,
yaitu tikungan gabungan searah dan tikungan gabungan balik arah.
Tikungan gabungan searah adalah gabungan antar dua atau lebih tikungan dengan
arah putaran sama tetapi dengan jari-jari yang berbeda. Sedangkan tikungan
gabungan balik arah adalah gabungan dari dua tikungan atau lebih arah putaran yang
berbeda, bentuk tikungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.

Gambar 3.1 Tikungan Gabungan Searah


(Sumber:Hedarsi, 2000)
Gambar 3.2 Tikungan Gabungan Balik Arah (Sumber: Hedarsin, 2000)

Keadaan ini tidak dikehendaki, karena pengemudi mungkin mendapat kesulitan


dan ketidak nyamanan dalam mengemudi. Pada tikungan gabungan balik arah
tikungan yang berbalik secara tiba-tiba harus dihindari, karena dalam kondisi ini
pengemudi sangat sulit untuk mempertahankan kendaraan pada lajurnya, sehingga
kendaraan bisa keluar dari lajur dan mungkin sulit mengimbangi gaya
sentrifugal.
Berdasarkan dasar-dasar perencanaan geometrik jalan, penggunaan

tikungan gabungan searah tergantung pada perbandingan R1 dan R2:

≥ , Tikungan gabungan dua arah harus di hindarkan

< , Tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau clothoide

sepanjang paling tidak 20 meter, sebagaimana ditampakan pada


Gambar 3.3 dan Gambar 3.4.

Gambar 3.3 Tikungan Gabungan Searah dengan Sisipan Bagian Lurus Minimum Sepanjang
20 Meter.
Sumber: Hedarsin, 2000)
Gambar 3.4 Tikungan Gabungan Searah dengan Sisipan Bagian Lengkung
Clothodite (Sumber: Hedarsin, 2000)

Gambar 3.5 Tikungan Gabungan Balik Arah dengan Sisipan Bagian Lurus
Minimum Sepanjang 20 Meter. (Sumber: Hedarsin, 2000)
Gambar 3.6 Tikungan Gabungan Balik Arah dengan Sisipan Bagian Lengkung
Clothodite (Sumber:Hedarsi , 2000)

2.11.4 Bentuk-Bentuk Tikungan

Bentuk bagian lengkung terdiri dari tiga bentuk tikungan, yaitu:

1. Full Circle (FC) adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran
saja, tikungan ini merupakan tikungan berbentuk busur lingkaran secara penuh.
Tikungan FC hanya digunakan untuk jari-jari tikungan yang besar agar tidak
terjadi patahan. Karena dengan jari-jari yang kecil maka diperlukan superelevasi yang
besar. Tikungan Full Circle dinyatakan pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Tikungan Full Circle (FC)
(Sumber: Hedarsin, 2000)

Keterangan:

PI = Point of Intersection ( titik potongan Tangen )


TC = Titik dari Tangen ke Circle
CT = Titik dari Circle ke Tangen

Ec = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran (m)

Tc = Panjang Tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT (m)


Rc = Jari-jari lingkaran (m)
Lc = Panjang busur lingkaran, dari titik TC ke titik CT (m)

Δc = Sudut lingkaran (˚)

Δ = Sudut tikungan alinyemen horizontal (˚)


Untuk parameter lengkung Full Circle bisa dilihat pada Persamaan 3.11a,
Persamaan 3,11b, dan Persamaan 3,11c.
Tc = Rc dan Δ (3.11.a)

Ec = Tc dan Δ (3.11.b)

Lc = (3.11.c)

2. Spiral-Circle-Spiral (SCS) merupakan tikungan yang digunakan pada saat


tikungan peralihan, lengkung Spiral-Circle-Spiral adalah tikungan yang terdiri atas 1
lengkung Circle dan 2 lengkung Spiral. Lengkung ini disisipkan di antar bagian lurus
jalan dan bagian lengkung jalan serta berfungsi untuk mengantisipasi perubahan
alinyemen jalan dari bentuk lurus sampai bagian lengkung jalan berjari-jari tetap,
lengkung pada tikungan ini merupakan jenis lengkung yang mempunyai jari-jari serta
sudut tangen (∆) sedang, perubahan dari Tangen ke lengkung Spiral dihubungkan oleh
lengkung peralihan (Ls). Bentuk dan komponen Spiral-Circle-Spiral dapat bdilihat
pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)


(Sumber: Hedarsin, 2000)
Keterangan:

PI = Point of Intersection ( titik potongan Tangen )

ϴs = Sudut dalam lengkung Spiral (˚)

Δc = Sudut dalam lengkung lingkaran (˚) Δ =


Sudut tikungan (˚)
Ls = Panjang lengkung Spiral, panjang titik TS ke titik SC atau titik CS ke ST (m)
Lc = Panjang busur lingkaran, panjang titik SC ke titik CS (m) Rc = Jari-
jari lingkaran (m)
Xc = Absis titik SC pada garis Tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus lengkung
peraliahn) (m)
Yc = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis Tangen, jarak tegak lurus garis
Tangen ke titik SC pada lengkung (m)
Ts = Panjang Tangen jarak dari TS ke PI atau PI ke ST (m) K = Absis
dari p pada garis Tangen terhadap Spiral (m) Es = Jarak luar dari PI ke
busur lingkaran (m)

PI = Titik potongan antara 2 garis lintasan lurus (m) TS = Titik


dari Tangen ke Spiral
ST = Titik dari Spiral ke Tangen SC = Titik
dari Spiral ke Circle CS = Titik dari Circle ke
Spiral

Pada Persamaan 3.12 bisa dilihat rumus-rumus yang perlukan untuk


perhitungan tikungan S-C-S:
ϴs = (3.12.a) Δc =Δ
– 2. ϴs (3.12.b) Lc = .2
.Rc (3.12.c) Ltot = Lc + 2.Ls
(3.12.d) Xc = Ls.(1- )
(3.12.e)

Yc = (3.12.f) P =

Yc – Rc.(1-Cos ϴs) (3.12.g)

K = Xc – Rc sin ϴs (3.12.h)

Ts = (Rc + p) tan + k (3.12.i) Es =

– Rc (3.12.j)

3. Spiral-Spiral (SS) adalah tikungan yang terdiri atas dua lengkung spiral, jenis
lengkung pada tikungan Spiral-Spiral mempunyai sudut tangen (∆) yang sangat
besar. Pada lengkung ini tidak dijumpai adanya busur lingkaran sehingga titik SC
berhimpit dengan titik CS. Berikut bentuk lengkung Spiral- Spiral serta penjelasannya
dapat dilihat pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9 Tikungan Spiral-Spiral (SS)
(Sumber: Hedarsin, 2000)

Keterangan:

PI = Point of Intersection ( titik potongan Tangen )

ϴs = Sudut dalam lengkung Spiral (˚)

Δc = Sudut dalam lengkung lingkaran (˚) Δ =


Sudut tikungan (˚)
Ls = Panjang lengkung Spiral, panjang titik TS ke titik SC atau titik CS ke ST (m)
Ls = Panjang lengkung Spiral

Rc = Jari-jari lingkaran (m)


Xc = Absis titik SC pada garis Tangen, jarak dari titik TS ke SC (jarak lurus
lengkung peraliahn) (m)
Yc = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis Tangen, jarak tegak lurus garis
Tangen ke titik SC pada lengkung (m)
Ts = Panjang Tangen jarak dari TS ke PI atau PI ke ST (m) K =
Absis dari p pada garis Tangen terhadap Spiral (m)
Es = Jarak luar dari PI ke busur lingkaran (m) TS =
Titik dari Tangen ke Spiral
ST = Titik dari Spiral ke Tangen

Parameter lengkung Spiral-Spiral dapat dilihat pada Persamaan 3.13 sebagai


berikut:

ϴs = Δ (3.13.a)

P K= – Rc.(1-cos ϴs) Ls. (3.13.b)

TS (1- ) – Rc sin ϴs (3.13.c)


=
Es (Rc + p) tan + k (3.13.d)
=
– Rc (3.13.e)

2.11.5 Jari-Jari Tikungan

Bagian lengkung merupakan bagian kritis pada alinyemen horizontal, gaya


sentrifugal merupakan gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar daerah
tikungan, sehingga ada gaya yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk
mendapatkan kenyamanan dan keamanan dalm berkendara maka dalam bagian lengkung
perlu dibuat suatu kemiringan jalan yang disebut superelevasi (e). Dalam
perencanaan yang aman perlu ada perhitungan jari-jari dminimum dengan kecepatan
tertentu untuk menghindari terjadinya kecelakaan, sehingga pengendara dapat
menggunakan jalan dengan aman dan nyaman. Untuk perhitungan dapat dilihat pada
Persamaan 3.14.

Rmin = (3.14)

Keterangan:

Rmin = Jari-jari lengkung minimum (m) Vr


= Kecepatan rencana (km/jam)
Emax = Kemiringan melintang jalan maksimum (%) Fmax =
Koefisien gesek ban dengan aspal (0,14-0,24)

Penetapan jari-jari minimum dinyatakan pada Tabel 3.9

Tabel 3.9 Jari-jari Tikungan minimum, Rmin (m)

Vr (Km/jam) 100 90 80 70 60 50 40 30
Fmax 0,12 0,13 0,14 0,14 0,15 0,16 0,17 0,17
Rmin (m) 435 335 250 195 135 90 55 30
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2004)

2.11.6 Superelevasi

Superelevasi adalah kemiringan melintangg di tikungan yang berfungsi


mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui
tikungan pada kecepatan (Vr). Superelevasi berlaku pada jalur lalu lintas dan bahu
jalan, pada setiap tikungan superelevasi sangat penting untuk dibuat kecuali
tingan yang miliki radius yang lebih besar dari Rmin tanpa superelevasi. Untuk
masalah drainasi pada saat percapaian kemiringan. Pada jalan perkotaan untuk
kecepatan rendah bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya ( akses lahan,
persimpangan, tanggung jawab, perbedaan elevasi). Superelevasi ditikungan boleh
ditiadakan sehingga kemiringan melintang tetap normal. Jika kondisi tidak
memungkinkan superelevasi dapat ditiadakan. Hubungan parameter perencanaan
lengkung horizontal dengan kecepatan rencana di tunjukan pada nilai
superelevasi. Tabel 3.8 menyatakan jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung
peralihan.

Tabel 3.10 Jari-Jari Tikungan yang Tidak Memerlukan lengkung Peralihan

Vr (Km/jam) 80 60 50 40 30 20
Rc min 3500 2000 1300 800 500 200
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga, (1990)

Berikut adalah metoda pencapaian superelevasi pada tikungan pada tikungan FC,
SCS, dan SS. Digambarkan pada Gambar 3.10, Gambar 3.11, dan Gambar 3.12.

Gambar 3.10 Superelevasi Tikungan Full Circle (FC)


(Sumber: Hedarsin, 2000)
Gambar 3.11 Superelevasi Tikungan Spiral-Circle-Spiral (SCS)
(Sumber: Hedarsin, 2000)

Gambar 3.12 Superelevasi Tikungan Spiral-Spiral (SS)


(Sumber: Hedarsin, 2000)

2.12 ALINYEMEN VERTIKAL

Alinyemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang
ditinjau, berupa profil memanjang. Kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (
turunan ) sering ditemui pada perencanaan vertikal, sehingga terdapat kombinasi berupa
lengkung cembung dan lengkung cekung. Ada pula kelandaian = 0 (datar) yang ditemui
dalam perencanaannya.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalui oleh route jalan
rencana. Kondisi topografi saja berpengaruh pada perencanaan alinyemen horizontal,
tetapi juga mempengaruhi perencanaan alinyemen vertikal. Dibawah ini adalah hal- hal
yang dapat diperhatikan dalam perencanaan alinyemen vertiikal yaitu sebagai berikut:
1. Alinyemen vertikal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung ;

2. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian lurus berupa landai positif (tanjakan),
atau landai negatif (turunan), atau lurus landai nol (datar). Bagian lengkung vertikal
dapt berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.
3. Kemungkinan pelaksanaan pembangunan secara bertahap harus
dipertimbangkan, misalnya peningkatan perkerasan, penambahan lajur, dan dapat
dilaksanakan dengan biayayang efisien. Sekalipun demikian, perubahan alinyemen
vertikal dimasa yang akan datang sebaiknya dihindarkan.

2.12.1 Kelandaian Maksimum

Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai variasi kecepatan rencana,


dimaksudkan agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang
berarti.
Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh
yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh
kecepatan semula tanpa harus mengukan gigi rendah. Adapun kelandaian maksimum dari
berbagai kecepatan rencana ditunjukan pada tabel Tabel 3.11.
Tabel 3.11 Persyaratan Kelandaian Maksimum

Vr (Km/jam) 80 60 50 40 30 20
Kelandaian Maksimum (%) 4 5 6 7 8 9
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga, (1990)

Persamaan 3.15 berikut ini merupakan perhitungan yang digunakan untuk


mencari kelandaian jalan:

gn = (3.15)

Keterangan:

gn = Kelandaian tangen

PPV = Titik pertemuan kedua garis tangen

2.12.2 Panjang Lengkung Vertikal

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami


perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan
kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. lengkung vertikal diberikan sebagai
lengkung parabola sederhana yang ukurannya ditentukan oleh panjangnya. Yang
penting dalam pembuatan lengkung vertikal yaitu menghindari bagian lurus yang pendek
antara dua lengkung vertikal dengan tikungan yang arahnya sama. Lengkung vertikal di
bedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik potongan antara


kedua tangen berada di atas permukaan jalan. Lengkung vertikal cembung
dapat dilihat pada Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Lengkung Vertikal Cembung
(Sumber: Hedarsin, 2000)

2. Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada di bawah permukaan jalan. Lengkung vertikal cekung dapat dilihat
pada Gambar 3.14.

Gambar 3.14 Lengkung Vertikal Cekung


(Sumber: Hedarsin, 2000)

Keterangan untuk Gambar 3.13 dan Gambar 3.14 adalah sebagai berikut: Lv
= Panjang lengkung vertikal
g1 = Kelandaian tangen jalan naik (%)

g2 = Kelandaian tangen jalan turun (%) PVC =


Titik awal lengkung
PVT = Titik akhir lengkung

Ev = Jarak busur lingkaran ke titik pertemuan kelandaian

Panjang lengkung vertikal dapat dihitung menggunakan persamaan 3.16 yaitu


sebagai berikut:

Lv =D x (3.16)

Keterangan:

Lv = Panjang lengkung vertikal (m) D =


Jarak pandang henti (m)
∆ = Perbedaan kelandaian (%)

Standar panjang minimum lengkung vertikal tertera pada Tabel 3.12 sesuai
dengan kecepatan rencana.

Tabel 3.12 Standar Panjang Minimum Lengkung Vertikal

Kecepatan Rencana
(Km/jam) 80 60 50 40 30 20
Standar Panjang
Minimum Lengkung 70 50 40 35 25 20
Vertikal (m)
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga, (1990)
2.13 KOMPOSISI LALU LINTAS

Volume Lalu-Lintas Harian Rata-rata (VLHR) merupakan prakiraan volume lalu-


lintas harian pada akhir tahun rencana lalu-lintas yang dinyatakan dalam smp/hari.
Untukk mencari VLHR digunakan persamaan 3.17.

VLHR = (3.17)

Satuan Mobil Penumpang (SMP) adalah arus dari tipe kendaraan telah diubah
menjadi kendaraan ringan dengan menggunakan Ekivalen Mobil Penumpang (EMP).
Ekivalen Mobil Penupang (EMP) adalah faktor yang menunjukan pengaruh
berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan terhadap kecepatan, kemudian
bermanufer, dimensi kendaraan ringan dalam arus lalu lintas (untuk mobil penumpang
dan kendaraan ringan yanag sasisnya mirip; emp = 1,0).
Dalam menghitung VLHR, karena pengaruh berbagai jenis kendaraan, digunakan
faktor Ekivalen Mobil Penumpang (EMP). Ketentuan nilai (EMP) untuk ruas jalan
yang arusnya tidak dipengaruhi oleh persimpangan, sperti ditunjukan pada Tabel 3.13,
sedangkan apabila ruas jalan tersebut, arus lalu lintasnya ada pada arus lalu lintas
persimpangan.

Tabel 3.13 Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)

Datar /
No Jenis Kendaraan Pegunungan
Perbukitan
1 Sepeda Motor, Sedan, Jeep, Station Wagon. 1,0 1,0

2 Pick up, Bus Kecil, Truck Kecil. 2,0 2,5


3 Bus,Truck Dua As 3,0 4,0
4 Truk Bersumbu Tiga, Trial 5,0 6,0
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1990)
BAB III PEMBAHASAN
3.1 PERENCANAAN RUAS JALAN

RENCANA LOKASI PEMBANGUNAN RUAS JALAN

Analisa Data
 Data Perencanan
1. Status jalan : jalan Kabupaten
2. Fungsi Jalan : Penghubung kabupaten dan kecamatan
3. Panjang jalan : 3.0 km
4. Kecepatan Rencana : 40-100 km/jam
5. Tipe jalan : 2 lajur
6. Lebar perkerasan rencana : 6 meter
7. Lebar bahu jalan : 1,5 meter
8. Kemiringan melintang jalan : Badan jalan 2 % dan bahu jalan 4 %
9. Umur rencana jalan : 5 tahun
10. Rencna jenis pekerasan : Laspal (Lapisan Aspal )
11. Rencana pelaksanaan : 1 tahun

Gambar Potongan Melintang Jalan

3.2 Data RHL


 Lokasi : JL.Letnan Sayuti
 Hari&tanggal:Kamis,13.10.2022

Arah timur
Periode Jenis kendaraan
motor mobi Angkutan Pick Bus Bus Truk Truk Kendaraan Total/15mnt
tidak
l umum up kecil besar ringan sedan bermotor
g
06.00– 15 10 4 2 1 1 2 2 - 37/15menit
06.15
06.15– 20 14 7 3 2 3 5 4 - 55/15 menit
06.30
06.45– 30 17 10 5 4 2 8 7 - 83/15 menit
07.00
Dari jam 06.00–07.00
08.00– 10 6 2 1 1 1 4 5 - 30/15 menit
08.15
08.15– 14 9 1 4 2 2 3 8 - 43/15 menit
08.30
08.45– 16 13 3 7 4 2 6 9 - 60/ 15 menit
09.00
Dari jam 08.00–09.00
15.00– 13 8 2 5 3 3 7 6 - 47/15 menit
15.15
15.15– 14 6 1 7 2 2 5 4 - 41/15 menit
15.30
15.45– 20 15 4 9 5 6 5 7 - 71/15 menit
16.00
17.00– 17 11 3 3 2 4 6 9 - 55/15 menit
17.15
17.15– 18 12 2 1 5 2 7 8 - 55/15 menit
17.30
17.45– 25 15 5 2 1 1 5 6 - 60/15 menit
18.00
Dari jam 15.00–18.00

Arah Barat
Periode Jenis kendaraan
motor mobi Angkutan Pick Bus Bus Truk Truk Kendaraan Total/15mnt
tidak
l umum up kecil besar ringan sedan bermotor
g
06.00– 16 11 2 2 1 1 2 3 - 38/15 menit
06.15
06.15– 17 9 3 4 1 2 4 6 - 46/15 menit
06.30
06.45– 27 13 5 6 2 3 5 8 - 59/15 menit
07.00
Dari jam 06.00–07.00
08.00– 19 10 5 3 1 1 7 9 - 55/15 menit
08.15
08.15– 16 8 4 2 - 1 6 5 - 42/15 menit
08.30
08.45– 14 9 2 5 2 3 9 11 - 55/15 menit
09.00
Dari jam 08.00–09.00
15.00– 16 12 2 3 - 2 8 9 - 52/15 menit
15.15
15.15– 14 8 1 3 1 1 7 5 - 40/15 menit
15.30
15.45– 19 12 2 2 - 2 6 7 - 50/15 menit
16.00
17.00– 21 15 3 6 1 2 5 9 - 62/15 menit
17.15
17.15– 24 19 2 4 - 1 7 13 - 70/15 menit
17.30
17.45– 20 16 1 3 - 2 9 7 - 58/15 menit
18.00
Dari jam 15.00–18.00

KETERANGAN :

3.3 Kontur

Garis kontur pada peta topografi

KETERANGAN ELEVASI:

• BIRU : 9,5MDPL
• MERAH : 20,2 MDPL
• COKELAT : 18,8 MDPL
• HIJAU : 16,2 MDPL
• HIJAU MUDA : 17,5 MDPL
• BIRU MUDA : 10,8 MDPL
• BIRU TUA : 8,16 MDPL
• Pengertian Garis Kontur
Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang mempunyai
ketinggian yang sama pada peta. Keberadaan garis kontur pada peta topografi
merupakan sebuah hal yang penting. Hal ini dikarenakan garis kontur yang tergambar pada
peta menunjukkan ketinggian dan kemiringan suatu daerah sehingga topografi daerah
tersebut dapat direpresentasikan dengan baik sehingga menjadi dasar pengembangan
informasi medan.

• Fungsi Dan Kegunaan Garis Kontur


Beberapa fungsi dan kegunaan garis kontur pada peta topografi adalah:
• mengetahui bentuk lereng
• mengetahui besar kemiringan lereng,
• menunjukkan bentuk relief.

• Ciri-Ciri Garis Kontur


Garis kontur memiliki sifat-sifat yang menjadi ciri garis kontur. Sifat Garis Kontur
adalah:
• Garis-garis kontur saling melingkari satu sama lain dan tidak akan saling
berpotongan.
• Pada daerah yang curam garis kontur lebih rapat dan pada daerah yang landai lebih
jarang.
• Pada daerah yang sangat curam, garis-garis kontur membentuk satu garis.
• Garis kontur pada curah yang sempit membentuk huruf V yang menghadap ke
bagian yang lebih rendah. Garis kontur pada punggung bukit yang tajam
membentuk
huruf V yang menghadap ke bagian yang lebih tinggi.
• Garis kontur pada suatu punggung bukit yang membentuk sudut 90° dengan
kemiringan maksimumnya, akan membentuk huruf U menghadap ke bagian yang
lebih tinggi.
• Garis kontur pada bukit atau cekungan membentuk garis-garis kontur yang
menutup- melingkar.
• Garis kontur harus menutup pada dirinya sendiri.
• Dua garis kontur yang mempunyai ketinggian sama tidak dapat dihubungkan dan
dilanjutkan menjadi satu garis kontur.

• Macam-Macam Garis Kontur


Dalam penggambarannya pada peta topografi, dikenal beberapa tipe garis kontur,
yaitu kontur indeks, kontur antara (intermediate), kontur tambahan (supplementary), kontur
yang menggambarkan depresi/cekungan, dan kontur gabungan (carrying contour).
Beberapa jenis garis kontur adalah:
• Kontur indeks
• Kontur antara (intermediate)
• Kontur tambahan (suplementary)

• Kontur depresi/ cekungan


• Kontur gabungan (carrying contour)
• Kontur Indeks
Kontur indeks adalah garis penanda nilai kontur yang digambarkan dalam bentuk garis
yang lebih tebal dengan selang nilai tertentu. Biasanya untuk nilai indeks dipilih urutan nilai
yang mudah dibaca, misalnya 5, 10, 15, atau 50, 100, 150, dst.

• Kontur Antara
Garis kontur antara merupakan garis kontur regular yang digambar dengan interval nilai
yang normal, digambar dalam bentuk garis yang lebih tipis, dan terletak di antara kontur
indeks. Garis kontur antara ini dapat diberi angka nilai kontur ataupun tidak, tergantung dari
ruang yang tersedia.

• Kontur Tambahan
Garis kontur tambahan biasanya digambar d antara interval kontur dasar (bisa ½, 1/3,
¼, dst. dari interval kontur dasar). Garis ini biasanya dibutuhkan untuk mendetilkan daerah
dengan topografi landai hingga datar di mana jarak antar garis kontur renggang. Garis ini
umumnya digambarkan dalam bentuk garis putus-putus atau rangkaian titik-titik untuk
memedakannya dengan interval garis kontur dasar.

• Kontur Cekungan/ Depresi


Bentuk-bentuk cekungan di permukaan bumi disajikan secara khusus pada peta
topografi, yaitu dengan memberikan tambahan garis-garis pendek yang tegak lurus garis
kontur dan mengarah ke dasar cekungan.

• Kontur Gabungan
Jika beberapa garis kontur berjarak sangat dekat atau tergambarkan bersinggungan
pada skala pea yang dignakan, maka dimungkinkan untuk tidak menyajian garis-garis
tersebut secara individual. Garis-garis tersebut dapat digabungkan menjadi satu garis kontur
yang (sebenarnya) terdiri dari beberapa garis kontur.

• Cara Membaca Garis Kontur


Garis kontur banyak digunakan untuk menampilkan relief muka bumi,
dikarenakan dapat memberi informasi secara relatif maupun absolut.
Pembacaan garis kontur dilakukan dengan melihat kerapatan garis kontur dan arah
lengkung garis kontur, yaitu kerapatan garis kontur menunjukkan kemiringan atau
kecuraman daerah dan arah lengkung menunjukkan arah kemiringan itu menuju ke igir atau
menuju ke arah lembah.

• Cara Membuat Garis Kontur


Pembuatan garis kontur dapat dilakukan dengan melakukan interpolasi pada titik
atau garis yang sudah diketahui ketinggiannya. Titik tinggi merupakan syarat utama
terbentuknya garis kontur. Titik tinggi menunjukkan ketinggian suatu titik diukur dari
suatu bidang acuan tertentu.
Sumber untuk mendapatkan titik tinggi ini, dapat dilakukan dengan:
• Melakukan pengukuran langsung
• Hasil plotting fotogrametri,
• Peta-peta yang sudah ada
• Data penginderaan jauh

• Proses Interpolasi Untuk Mendapatkan Garis Kontur.


Ada dua jenis cara interpolasi yaitu
• interpolasi linier dan
• interpolasi grafis.
Interpolasi linier, yaitu dengan cara interpolasi garis kontur dengan melakukan
pengukuran atau perhitungan pada garis. Sedangkan interpolasi grafis adalah interpolasi yang
dilakukan dengan cara membagi garis menggunakan garis lain dengan ukuran dan satuan ukur
yang lebih mudah lalu digaris dengan mempergunakan prinsip garis sejajar untuk
mendapatkan ukuran yang sebanding.

• Contour Interval (CI)


Hal lain yang harus diperhatikan dalam pemetaan kontur adalah interval kontur
(contour interval = Ci) yang menggambarkan jarak vetikal antar garis kontur. Semakin kecil
nilai Ci maka semakin detail juga peta kontur tersebut.
Interval kontur ini ditentukan oleh pembuat peta untuk menggambarkan kenampakan
medan yang dominan secara jelas. Secara horisontal, jarak interval kontur tidak sama karena
tergantung pada kemiringan lereng. Semakin curam lereng semakin rapat garis konturnya.
Pada kasus tertentu, interval kontur yang kecil dapat digunakan untuk daerah yang
bertopografi datar sehingga perbedaan ketinggian yang kecil dapat diketahui. Sedangkan pada
daerah yang bergunung atau bukit, interval kontur yang lebih besar dapat digunakan untuk
menghindari over crowding dari penggambaran garis contur.
Penentuan interval kontur juga harus memperhatikan skala peta. Interval kontur yang
kecil biasanya digunakan untuk peta skala besar untuk kepentingan survey detil, sehingga
pola garis kontur bisa merepresentasikan topografi setempat. Sedangkan interval kontur yang
lebih besar biasanya digunakan untuk skala peta yang lebih kecil, untuk menghindari
overcrowding.

• Jarak Garis Kontur Interval


Biasanya, pembuatan garis kontur dengan interval 50 meter dalam peta yang digunakan
masih kurang dapat merepresentasikan atau memperlihatkan topografi daerah cakupan peta.
Hal ini dikarenakan pada peta tersebut terdapat bagian yang relatif datar sehingga
penggambaran garis kontur dengan interval ini masih belum bisa menggambarkan daerah
datar ini dengan baik.
Penggambaran relief dengan pembuatan garis kontur berinterval 25 meter sudah baik
dalam menggambarkan daerah yang bergunung atau berbukit, namun masih kurang baik
dalam menggambarkan daerah datar.

Penggambaran dengan interval 12,5 meter sangat baik dan bisa memperlihatkan
topografi daerah tersebut, baik daerah berbukit maupun datar. Namun, di daerah yang
berbukit, dibeberapa tempat garis-garis kontur terkesan sangat rapat dan bahkan berimpit satu
sama lain, atau sering disebut overcrowded.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dua kontur interval dapat digabung
dalam satu peta kontur. Daerah perbukitan menggunakan interval kontur 25 meter, dan daerah
dataran menggunakan interval kontur 12,5 meter. Dengan demikian, relief daerah perbukitan
dan daerah dataran dapat tergambarkan dengan baik. Dalam peta kontur, kombinasi interval
kontur seperti ini ditampilkan dengan warna yang berbeda, sehingga dapat diketahui
perbedaan interval kontur yang digunakan dalam peta tersebut. Secara teknis untuk tujuan
tertentu, dua interval kontur dapat digunakan dalam satu peta. Hal ini biasanya dilakukan pada
daerah dengan kontras relief yang tinggi, misalnya perbukitan yang berdekatan dengan
daratan. Dalam kasus ini, interval contur yang kecil digunakan untuk daerah datar, sedangkan
interval kontur besar untuk daerah berbukitan. Sebagai petunjuk, informasi tentang dua
interval kontur harus muncul pada dua tepi peta.

• Hubungan Garis Kontur Dan Skala Peta


Hal yang lebih penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan garis kontur adalah
skala peta yang dibuat. Skala harus diperhatikan agar tidak terjadi penggambaran relief yang
terlalu umum ataupun terlalu detil sehingga terjadi overcrowded.
Namun demikian, tidak ada ketentuan atau perhitungan yang pasti antara skala peta dan
interval garis kontur. Hal ini dikarenakan penentuan interval tidak hanya didasarkan pada
skala peta, tetapi juga memeprhatikan bentuk daerah yang dipetakan dan tujuan pembuatan
peta yang bersangkutan.

Terdapat rumus untuk menentukan CI berdasarkan skala, yaitu:


Sebagai contoh, pada suatu peta dengan skala 1:100, maka interval kontur yang
digunakan adalah 0,05 meter. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa rumus Ci tidak dapat
selalu diterapkan pada peta kontur, karena kondisi di lapangan yang berbeda-beda.
BAB IV
PENUTUP

• Kesimpulan
Dalam perencanaan jalan ada suatu bagian yang mengtitik beratkan perencanaan
bentuk fisik dari jalan itu sendiri yaitu geometrik, sehingga jalan tersebut dapat
memenuhi fungsinya antara lain memberikan pelayanan yang optimum pada arus lalu
lintas dan menghasilkan infrastruktur yang aman, nyaman dan efisien.

Dari hasil yang dipelajari dapat kita ambil kesimpulan bahwa untuk membuat
belokkan/tikungan harus diperhatikan sudut tikungan nya. Dalam pembangunan jalan
tidak lepas dari peranan faktor-aktor geografis dan masing-masing faktor-faktor geografis
tersebut pada dasarnya saling mempengaruhi satu sama lain, disuatu lingkungan fisik
yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan manusia, sedangkan faktor-faktor geografis yang
terdiri dari faktor alam (lokasi, kemiringan , iklim, tanah, air) faktor pembangunan yang
meliputi (daya tarik, infrastruktur, akomodasi, pengelolaan, modal, penduduk dan
pembangunan merupakan faktor penting). Disinilah terjadi hubungan timbal balik antara
lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dengan lingkungan.

• Saran
Untuk menciptakan jalan yang layak, aman dan nyaman diperlukan perhtiungan
hasil untuk kegunaan jalan tersebut.

Diperlukan perhitungan yang pas untuk suatu tikungan jalan raya dari segi
sudut tikungan dan kemiringan jalan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai