Anda di halaman 1dari 5

Budidaya Belatung Solusi Keuangan, Ekonomi, dan Lingkungan di

Masa-masa Sulit

Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan kenaikan harga bahan
bakar minyak. Jenis bahan bakar pertalite kini menjadi pilihan masyarakat, selain dengan
harga yang jauh lebih terjangkau dibandingkan bahan bakar jenis pertamax tetapi juga
diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditas barang pokok kebutuhan masyarakat.
Perang Rusia-Ukraina beserta resesi hebat yang melanda sebagian besar negara di dunia,
mengakibatkan dampak yang besar bagi harga di hampir semua jenis komoditas di setiap
segi industri. Hal tersebut berakibat buruk kepada masyarakat, tidak hanya masyarakat kecil
menengah kebawah yang mengalaminya, tetapi masyarakat kelas menengah bahkan
menengah keatas.

Isu keuangan dan perekonomian takan pernah luput dari reportase berita, sebab hal
tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak yang notabene terdiri atas masyarakat kecil,
namun persoalan lain yang juga menyangkut hajat hidup orang banyak adalah lingkungan,
tetapi lingkungan tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari masyarakat maupun dari
pemerintah daerah, atau pemerintah pusat. Menurut Kementrian Lingkkungan Hidup dan
Kehutanan (2017) penimbunan sampah di Indonesia mencapai angka fantastis, yaitu
65.200.000 ton/tahun, KLHK juga menambahkan bahwasannya 60% dari sampah yang
dihasilkan berasal dari sampah organik dapur.

Jumlah sampah organik yang dihasilkan tersebut hanya memberikan dampak buruk
terhadap lingkungan, berupa pencemaran tanah, pencemaran udara. Meskipun sampah
sudah memiliki lahan masing-masing untuk diolah dan dikumpulkan untuk diiuraikan atau
untuk didaur ulang, akan tetapi sampah yang diurai dan didaur ulang tidak menyeluruh dan
tiidak berjalan optimal, sehingga lingkungan kita yang asri, indah, dan rindang ini menjadi
terganggu dan tercemar. Sampah organik secara alami akan diurai oleh belatung akan tetapi
apakah anda tahu ada beberapa jenis larva belatung dari jenis lalat tertentu yang tidak
dapat menghasilkan bau, menyebarkan penyakit, dan bahkan malah membawa keuntungan
bagi orang yang memelihara dan membudidayakannya.
Belatung merupakan larva serangga lalat yang memiliki tugas untuk mengurai sampah
organik, sebagian orang akan berpikir bahwa belatung adalah hal yang menjijikan dan jorok.
Perlu diingat bahwasannya larva belatung yang menjijikan dan jorok hanya berasal dari larva
lalat hijau, sedangkan ada jenis larva lalat yang tidak menimbulkan bau busuk, mampu
mengurai dan mengurangi pencemaran dari sampah organik. Larva belatung tersebut
adalah larva belatung yang berasal dari Lalat Tentara HItam (Black Soldier Fly) atau biasa
disebut larva BSF atau maggot. Berbicara terkait maggot, mungkin sebagian orang tidak
akan memiliki ide untuk memelihara apalagi membudidayakan maggot dan menjadikannya
suatu bentuk usaha yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah. Akan tetapi realita
berkata sebaliknya, terbukti larva maggot mampu menghasilkan pundi rupiah dalam jumlah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup skala individual maupun skala keluarga.

Maggot BSF ini tidak membutuhkan pakan khusus untuk dibudidayakan dan hanya
memanfaatkan sumber daya yang murah dan mudah didapatkan. Sumber pakan
pertumbuhan maggot tersebut didapatkan dari sampah organik di TPA atau dari bak
sampah rumah tangga. Maggot digunakan sebagai bahan biokonversi, sumber protein, dan
material pembuatan pupuk kompos yang memiliki manfaat bagi dunia pertanian dan
peternakan. Larva maggot BSF tersebut tidak dijumpai di pemukiman padat penduduk dan
bersifat tidak hama, sehingga relatif aman untuk kesehatan manusia, tahap akhir masa
hidup larva maggot tersebut dapat bermigrasi dengan sendirinya ke sumber media dimana
dia tumbuh, sehingga dapat mempermudah panen.

Fase hidup maggot tersebut terhitung singkat dan terbagi dalam 5 fase, yaitu fase inkubasi
telur selama 3 hari, fase larva 15 hari, prepupa 7 hari, fase pupa 15 hari, fase dewasa 15-20
hari (Salman dkk., 2020). Jumlah telur yang dihasilkan oleh satu induk lalat BSF adalah
sebanyak 546-1505 butir dengan lama penetasan selama kurang lebih 5 hari (Wardhana,
2016). Pemeliharaan 1 kg maggot BSF dapat menghabiskan limbah sebanyak 10-25 kg,
sedangkan 5 kg maggot dihasilkan hanya dari 1 – 1.5 gram telur lalat BSF yang ditetaskan,
untuk memenuhi kebutuhan pakan 5 kg BSF diperlukan pakan sebanyak 10 kg pakan,
dengan rincian limbah sebanyak 8 kg dan bekatul atau dedak sebanyak 2 kg yang berarti
perbandingan antara limbah organik dan dedak atau bekatul yaitu sebesar 4:1 (Sefri dkk.,
2020). Hasil penelitian Bosch dkk. (2014) menambahkan bahwasannya maggot dapat
mengkonversi hingga 1000 kg limbah organik menjadi 100 - 120 kg maggot siap panen serta
80 – 100 kg pupuk organik yang juga dapat dimanfaatkan untuk dijual sebagai medium
partumbuhan tanaman yang berkualitas.

Maggot BSF pada usia 10 hari sudah bisa diberikan sebagai pakan ikan baik secara langsung
atau melalui serangkaian proses pengovenan untuk dijadikan pellet ikan yang terbuat dari
bahan maggot larva BSF. Maggot BSF selain memiliki protein tinggi yang menguntungkan
bagi ternak unggas maupun ikan, tetapi juga mengandung anti jamur dan antimikroba
sehingga jika dikonsumsi oleh ternak maka ternak akan memiliki daya tahan tubuh terhadap
jamur dan mikroba. Rasa penasaran kita satu persatu mulai terjawab, namun kita belum
tahu betul secara gamblang bagaimana caranya untuk memulai bisnis maggot BSF tersebut,
serta apa saja tahapan serta alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pembudidayaan maggot
BSF. Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam budidaya maggot adalah sebagai berikut:

1. Reaktor volume 25 L atau baskom


2. Alat pencacah atau penghalus, blender atau mixer
3. Limbah organik
4. Bekatul atau dedak
5. EM4 peternakan (dapat dibeli di toko atau pasar hewan)
6. Air
7. Tutup ember yang telah dilubangi
8. Pelepah pisang

Langkah-langkah dalam membudidaya maggot yaitu sebagai berikut:

1. Masukkan limbah organik untuk dihaluskan atau dicacah dengan blender atau mixer.
2. Limbah organik yang sudah dicacah atau dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam
reaktor atau baskom bersamaan dengan dedak atau bekatul.
3. Larutkan satu tutup botol EM4 dengan air sebanyak 1 liter.
4. Larutan EM4 dan air yang telah homogen masukkan ke dalam reaktor atau baskom
dengan penyebaran merata.
5. Tutuplah reaktor atau baskom dengan pelepah pisang.
6. Tunggu lalat BSF dating untuk meletakkan telurnya di atas pelepah pisang.
7. Telur lalat calon larva BSF yang terletak di pelepah pisang disebar pada media
larutan atau campuran limbah, air, dan EM4.
8. Tunggulah selama kurang lebih 2-3 minggu hingga maggot BSF siap panen.

Kandungan nutrisi maggot BSF terbukti berkualitas dan bermanfaat bagi pertumbuhan
hewan ternak, hal tersebut dibuktikan oleh analisis proksimat yang dilakukan oleh Fahmi
dkk. (2009) yang menjabarkan presentase nutrisi yang dikandung oleh maggot BSF,
dijabarkan dalam tabel berikut:
Analisis Proksimat Maggot Besar Maggot Kecil
Protein 32,31% 60,2%
Lemak 9,45% 13,3%
Abu 4,86% 7,7%
Karbohidrat 46,14% 18,8%
Sumber: Fahmi dkk. (2009)

Masyarakat terutama generasi muda sudah semestinya memanfaatkan peluang budidaya


maggot BSF, sebab bila kita menekuni bisnis dibidang tersebut dalam skala yang besar
bukan tidak mungkin persoalan limbah organik yang berakibat pada pencemaran lingkungan
di masyarakat dapat di minimalisir dengan cara efektif dan kreatif. Apabila kita
membudidayakan maggot dalam skala kecil saja atau dalam skala rumah tangga sudah
cukup untuk mengurangi limbah organik yang kita hasilkan dari sampah rumah tangga, dan
juga kita dapat menjual maggot baik dalam bentuk prepupa maupun pupa. Menurut Rodli
dan Hanim (2021) menyatakan bahwa maggot dapat dijual dengan harga Rp 25.000/kg,
sedangkan maggot pada fase prepupa dapat dijual dengan harga Rp 250.000/kg.

Usaha di bidang apapun memang tidak mudah terlebih lagi apabila kita benar-benar
merintisnya dari 0 maka bisa dipastikan perjuangan kita akan lebih berat dibandingkan
dengan mereka yang memiliki atau melanjutkan usaha milik orang tuanya. Budidaya maggot
merupakan cara yang mudah dalam suatu usaha, tidak terlalu melelahkan, pasar dalam
negeri dan luar negeri untuk maggot juga jelas, dan bahkan memiliki potensi yang dapat
meledak atau viral kedepannya. Maggot BSF menjadi alternatif sekaligus solusi dari
keterbatsan biaya untuk memulai suatu usaha, masalah perekonomian keluarga,
meminimalisir harga pakan dan pupuk bagi para petani dan peternak, serta mampu
mengurangi limbah organik yang mendominasi limbah di Indonesia dibandingkan dengan
limbah anorganik atau limbah jenis lainnya. Bagi anak muda, orang tua, remaja, wanita, pria
kalian semua bisa memulai usaha ini dari rumah dengan modal minim disertai dengan
kecerdasan. Jangan malu dan jangan ragu untuk memulai sesuatu yang baru karena kita
tidak akan pernah tahu akan seberapa besar kita kedepannya, jangan malu dan jangan ragu
sebab gengsi akan hanya membunuh kita di dunia yang kompetitif saat ini. Perlu diingat
bahwa, hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bosch, G., S. Zhang, G. A. B. O., and H. H. Wouter. 2014. Protein Products in Broiler Chicken
Nutrition: A Review. Anim Nutr 1, 47-53.

Fahmi, M. R., S. Hem, dan I. W. Subamia. 2009. Potensi Maggot untuk Peningkatan
Pertumbuhan dan Status Kesehatan Ikan. Jurnal Riset Akuakultur 4 (2), 221-232.

Kementrian Lingkungan HIdup dan Kehutanan. 2017. Komposisi Sampah di Indonesia


Didominasi Sampah Organik. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, Jakarta.

Rodli, A. F., dan A. M. Hanim. 2021. Strategi Pengembangan Budidaya Maggot BSF sebagai
Ketahanan Perekonomian dimasa Pandemi. IQTISHADequity 4 (1), 11-16.

Salman, L. M. Ukhrowi., dan M. T. Azim. 2020. Budidaya Maggot Lalat BSF Sebagai Pakan
Ternak. Jurnal Karya Pengabdian 2 (1), 1–6.

Sefri,T., M. I. Hilal., dan D. S. W. P. J. Widakdo. 2020. Prospek Pengembangan Integrasi


Limbah Pertanian dan Peternakan dan Pemeliharaan Maggot Black Soldier Fly sebagai
Pakan Ayam Kampung di Desa Bulusari Banyuwangi. PARTNER 26 (2), 1616-1629.

Wardhana, A. H. 2016. Black Soldier Fly (Hermetia Illucens) sebagai Sumber Protein
Alternatif untuk Pakan Ternak. Wartazoa 26 (2), 69-78.

Anda mungkin juga menyukai