Anda di halaman 1dari 7

Pada dasarnya, teori modernisasi berangkat dengan gagasan awal yaitu mengenai

perubahan sosial. Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan dari

tradisional ke modern, yang mencakup perubahan di sebagian besar sektor vital

dalam masyarakat, terutama sektor ekonomi. Kemudian, perubahan sosial tersebut

diwujudkan dalam suatu konstruksi modern dalam bentuk industrialisasi sesuai

konsep barat.

Dalam tahap pelaksanaannya, teori modernisasi ini masuk ke negara dunia ketiga

dengan berbagai jalur, salah satunya dan paling mudah adalah lewat jalur akademik.

Dalam dunia akademik, di konstruksikan bahwa sebuah ke-tradisional-an

merupakan suatu masalah yang erat kaitannya dengan keterbelakangan. Kemudian

negara-negara yang masih tradisional dan terbelakang di “haruskan” di bangun agar

“maju” layaknya negara barat. Untuk menjadi “maju” sesuai negara barat, maka

perlu adanya suatu pembangunan, salah satunya pembangunan bidang ekonomi.

Pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan di bidang ekonomi dengan

landasan teori-teori modernisasi ciptaan negara barat yang dikenalkan lewat bidang

akademik.

Untuk memuluskan pengimplementasian teori-teori modernisasinya, para ilmuwan

barat tersebut memulainya dengan konsep utama mengenai “pertumbuhan &

pemerataan”. Pertumbuhan & pemerataan dapat diartikan dalam suatu definisi, yaitu

negara-negara yang diimpikan nantinya merupakan negara yang bertumbuh ke arah

modern yang didominasi oleh industrialisasi dengan neraca keuangan yang “positif”

dan hal tersebut terjadi “rata” di berbagai negara di belahan dunia. Tentu, gagasan
tersebut membuat beberapa negara dunia ketiga terpikat, dan dengan segera

mengimplementasikan teori-teori modernisasi atau yang di dunia akademik dikenal

dengan sebutan teori-teori pembangunan.

Namun pada penerapannya, teori-teori modernisasi tadi tidak berjalan seperti apa

yang diinginkan. Banyak sekali kegagalan yang terjadi akibat teori-teori tersebut, dan

bukannya mensejahterakan, justru semakin menambah pelik permasalahan negara-

negara yang menggunakan teori-teori tersebut. Seperti, bertambahnya

pengangguran, pertumbuhan yang tidak merata, bertambahnya kemiskinan dan

lainnya. Maka, kita perlu kembali mengidentifikasi teori-teori modernisasi tersebut.

Berikut adalah sedikit identifikasi dari saya yang berupa kritik terhadap beberapa

teori modernisasi.

Pertama adalah teori pertumbuhan ekonomi milik W.W.Rostow. Teori ini terkenal

dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi atau yang dikenal dengan nama five-stage

scheme. Kelima tahapan tersebut adalah, dimulai dari masyarakat tradisional,

kemudian pra-kondisi tinggal landas, lalu masyarakat tinggal landas, dilanjutkan

dengan pematangan pertumbuhan, dan puncaknya adalah masyarakat konsumsi

masa tinggi. Tentu,tahap masyarakat konsumsi tinggi merupakan puncak

pencapaian yang diinginkan Rostow. Maka, untuk mencapai tahapan puncak

tersebut, Rostow memberikan syarat, yaitu berupa ketersediaan modal. Untuk

mendapatkani ketersediaan modal guna menjalankan pembangunan diperlukan

beberapa cara, salah satunya melalui penarikan investasi modal asing.


Saran Rostow mengenai penarikan investasi modal asing inilah yang menurut hemat

saya merupakan titik kelemahan teori pertumbuhan ekonominya. Hal tersebut

dikarenakan untuk mendapatkan modal yang besar tentu suatu negara “diharuskan”

mengijinkan investor-investor asing untuk masuk dan menanamkan modal

kenegaranya-seperti dalam bentuk perusahaan. Sehingga nantinya pemerintah

negara tersebut mendapatkan keuntungan dari kerjasama dengan para investor

tersebut untuk melaksanakan pembangunan. Pada kerjasama tersebut, biasanya

para perusahaan asing memberikan janji mengenai pemberian lowongan kerja

dengan upah layak bagi masyarakat di daerah sekitar lokasi perusahaan tersebut.

Kenyataan dilapangan, perusahaan-perusahaan/investor asing pada awalnya

memang memberikan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, namun di balik semua itu,

ada perusahaan yang mengeksploitasi dan memberi upah yang tidak layak bagi

para pekerja yang berasal dari dalam negara tersebut. Sehingga bukannya

menciptakan kesejahteraan, justru malah menciptakan mala petaka bagi rakyat

negara tersebut. Di sisi lain, hal ini memunculkan suatu bentuk kapitalis, yaitu adalah

pemerintah negara yang mendapatkan keuntungan dari hasil kerja sama dengan

investor asing tadi, mereka akan tetap membangun dan menganggap permasalahan

tenaga kerja sudah beres. Artinya, pemerintah negara tersebut tidak

mempermasalahkan pengeksploitasian rakyatnya, yang penting tugas

pembangunan terlaksana. Sama saja dengan mereka mengorbankan dan menindas

rakyatnya sendiri demi keuntungan materi semata.


Kemudian setelah hal ini terungkap, masyarakat banyak yang kecewa dengan

pembangunan yang berasaskan teori dari Rostow ini. Lalu menggantinya dengan

landasan teori-teori lainnya yang lebih relevan dan memungkinkan lagi untuk

menjalankan pembangunan yang diingikan.

Yang kedua adalah teori penciptaan tenaga kerja. Teori ini berasumsi bahwa

pembangunan tidak serta merta menyelesaikan masalah pengangguran. Maka,

pembangunan haruslah diorientasikan pada penyerapan tenaga kerja juga. Dalam

pelaksanaannya, teori ini berhasil memberikan dampaknya atas penyerapan tenaga

kerja yang mereka arahkan ke sektor informal.


Namun menurut saya, pelaksana teori penciptaan tenaga kerja ingin terus

melanggengkan eksistensi dari sebagian besar pekerja di sektor informal. Yang

berarti, hal ini akan menimbulkan kesenjangan, antara para pekerja di sektor formal

dan informal. Di karenakan para pekerja sektor formal sebagian besar,

pendapatannya jauh di atas para pekerja sektor informal. Tentu, hal ini akan

menimbulkan kelas-kelas dalam masyarakat jika di ukur dari pendapatannya.

Pastinya ini bukan sesuatu yang baik, karena dapat memicu konflik dalam tubuh

masyarakat sendiri. Sehingga teori penciptaan tenaga kerja menurut saya masih

kurang relevan jika diterapkan secara murni, walaupun nantinya dapt menyerap

tenaga kerja dengan baik, namun belum dapat menyelesaikan masalah kesenjangan

yang dapat timbul di masyarakat itu sendiri.

Yang ketiga, sekaligus terakhir adalah teori Motif Prestasi (N’Ach) dan Pertumbuhan

Ekonomi milik McClelland. Inti dari teori ini adalah pertumbuhan ekonomi terjadi

bukan karena faktor “eksternal” melainkan faktor “internal”. Jadi, seseorang memiliki

keinginan untuk sukses bukan karena pengaruh lingkungan, melainkan pengaruh

dari dalam dirinya sendiri. Dorongan untuk sukses, bekerja secara baik, bekerja

demi kepuasaan batin tersebut dinamakan dengan the need for achievement

(N’ach). Sehingga, seseorang yang memiliki (N’ach) tinggi akan mampu meraih

kesuksesan dan kesuksesan tersebut, secara tidak langsung dapat membantu

negara dalam peningkatan kesejahteraan.

Teori McClelland tentang N’ach dapat dimentahkan oleh psikologi sosial milik

George Herbert Mead. Dimana bagi McClelland yang lebih menekankan bahwa
perilaku (dalam konteks ini adalah N’ach) terbentuk karena motivasi dari dalam atau

internal, namun bagi Mead, perilaku terbentuk karena pengaruh dari eksternal atau

masyarakat. Jadi, bagi Mead keseluruhan kehidupan sosial mendahului pikiran

individu secara logis maupun temporer.

Menurut saya, saya lebih setuju pada psikologi sosial milik Mead  ketimbang

McClelland. Dalam realitas yang saya temui, sebagian besar sifat-sifat individu

muncul dikarenakan pengaruh dari luar, atau dari masyarakat. Kesimpulannya,

menurut saya, N’ach itupun terjadi atau terbentuk juga karena pengaruh dari luar.

Bahwa seseorang memotivasi dirinya sendiri atau orang lain karena dia mengetahui

dan ingin menjadi orang yang sukses sama seperti yang di lihat di waktu

sebelumnya, dan bukan murni berasal dari dirinya sendiri. Bahkan penulis

mengatakan bahwa jika ideologi achievement-oriented berakibat terhadap

pertumbuhan ekonomi, maka ideologi ini akan disebarluaskan. Jika pernyebarluasan

ini benar-benar terjadi, teori tentang pembentukan perilaku N’ach yang berasal faktor

internal, justru benar-benar dapat dimentahkan dengan telak.

Kritik pembahasan mengenai teori modernisasi dinyatakan oleh seorang ahli yang

bernama Daniel Lerner. Menurut Daniel, teori modernisasi telah melalaikan sejarah

yang terjadi pada negara-negara berkembang saat ini, setelah terjadinya Perang

Dunia II. Oleh sebab itu, pandangan modernisasi hanya berlaku pada negara maju

yang dapat mengikuti perkembangannya.

Negara berkembang saat ini, dahulu mengalami masa penjajahan yang relatif

panjang akibat bangsa Eropa, sehingga pada akhirnya negara tersebut mengalami
ketertinggalan. Oleh sebab itu, dalam teori ini dijelaskan bahwa agar tercapainya

negara berkembang yang modern, maka perlu mengikuti perkembangan

modernisasi pada negara maju sebelumnya. Dengan kata lain, negara berkembang

harus adaptif terhadap perubahan yang ada.

Sedangkan pada negara maju (negara barat) tersebut mengalami modernisasi

dengan memakan waktu panjang dan lama. Dengan demikian teori modernisasi

tidak bisa disesuaikan dengan kondisi sekarang yang terjadi pada negara

berkembang. Hal ini menjadi kewajaran, sebab tidak mungkin negara berkembang

akan dapat mengejar ketertinggalan dalam waktu relatif singkat. Sama halnya

dengan kehidupan yang beralih pada paksaan.

Anda mungkin juga menyukai