Anda di halaman 1dari 112

i

Sorgum dan Pemanfaatannya dalam


Industri Pangan

Hak Terbit pada FTP-UB Press – Universitas Brawijaya


Tahun 2021
Editor: Erni Sofia Murtini

FTP-UB Press
Jl. Veteran, Malang
Telp. (0341) 580106
Emai: ftpub@ub.ac.id

ii
Ketentuan SITASI
Penulis 1, A.A., Penulis 2, B.B., Tahun, Judul bab, A.A. dalam Nama Editor (Ed). Nama buku.
Edisi. Halaman. Penerbit
Contoh:
Murtini, E. S. dan Sabila, N. F., 2021. Tanaman Sorgum, dalam E. S. Murtini (Ed). Sorgum dan
Pemanfaatannya dalam Industri Pangan.. hal. 1-9. FTP-UB Press Universitas Brawijaya

Daftar Bab dan Penulis:


Bab I. Tanaman Sorgum (Erni Sofia Murtini Dan Nurrahmah Fitra Sabilla)
Bab Ii. Biji Sorgum (Erni Sofia Murtini Dan Aisyah Wijayanti)
Bab Iii. Teknologi Pasca Panen Sorgum (Erni Sofia Murtini Dan Lisa Fitri Rahayu)
Bab Iv. Pemanfaatan Biji Sorgum Di Industri Pangan (Erni Sofia Murtini Dan Tiara Permatanisa)
Bab V. Sorgum Sebagai Pangan Fungsional (Erni Sofia Murtini Dan Adhima Adhamatika)
Bab Vi. Biji Sorgum Coklat Lokal (Erni Sofia Murtini)
Bab Vii. Sorgum Manis Dan Pemanfaatannya (Erni Sofia Murtini Dan Destiana Adinda Putri)
Bab Viii. Limbah Dan Pemanfaatan Lain Sorgum (Erni Sofia Murtini Dan Lintang Ayu Nisa
Trifany)

iii
KATA PENGANTAR

Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan
angka lebih dari 268 juta jiwa per Juli 2019. Hal ini berarti kebutuhan pangan penduduk Indonesia
juga besar. Selama ini berbagai bahan pangan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia
umumnya adalah beras, jagung, ubi-ubian dan sagu, serta terigu yang merupakan produk impor.
Data BPS menunjukkan luas lahan penanaman padi menurun sehingga berpengaruh pada
ketersediaannya. Produksi beras yang menurun dan terigu yang masih impor mendesak untuk
dicarikan alternatif pangan yang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di Indonesia. Salah
satunya adalah sorgum.
Sorgum adalah tanaman tropis yang tahan kekeringan. Meski bukan tanaman asli
Indonesia, sorgum sesuai di tanam di Indonesia. Telah dipetakan oleh litbang pertanian, luas
lahan di berbagai propinsi di Indonesia yang sesuai untuk penanaman sorgum total lebih dari 50
juta ha, sehingga sorgum cukup prospektif dikembangkan. Indonesia telah mengembangkan
sorgum sejak tahun 1970an mulai dari seleksi varietas unggul dan berbagai penelitian dan
pengembangan lain yang kini ditangani oleh Balitsereal. Kementan juga menyatakan bahwa
tahun 2020 komoditas sorgum didorong untuk menjadi pangan alternatif.
Jenis sorgum bervariasi, putih atau berwarna tergantung pada keberadaan lapisan testa.
Secara komposisi kimia, sorgum memiliki kandungan yang layak dikembangkan sebagai
tanaman pangan, dan diolah menjadi aneka produk industri pangan, non-pangan dan pakan.
Sorgum memiliki kekurangan antara lain kandungan antigizi dan rendahnya daya cerna, namun
kekurangan itu bersama dengan kandungan senyawa fitokimia lainnya bisa diarahkan menjadi
prospek untuk dikembangkan menjadi pangan fungsional. Selain bijinya, bagian tanaman sorgum
seperti batang sorgum manis dapat dimanfaatkan untuk diekstrak niranya. Keseluruhan tanaman
dapat dijadikan biomassa bahan baku industri pangan, pakan dan energi.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sorgum adalah tanaman yang potensial untuk
dikembangkan di Indonesia, dari sudut cuaca, ketersediaan lahan, produksi dan pemanfaatan.
Namun demikian, sejauh ini masih belum ada data produksi sorgum Indonesia di BPS maupun
di FAOSTAT, yang artinya tanaman ini masih belum dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.
Pengenalan tanaman sorgum dan manfaatnya, salah satunya melalui penulisan buku, dapat
digunakan sebagai media efektif untuk mendorong terwujudnya sorgum sebagai alternatif pangan
Indonesia sejalan dengan harapan Kementan. Hasil pengembangan varietas baru yang unggul,
maupun varietas lokal serta pengenalan sorgum pada masyarakat Indonesia, memicu budidaya
sorgum mulai banyak dilakukan dan menjamin ketersediaan sorgum. Namun, barangkali banyak
masyarakat yang kurang memahami apa itu sorgum dan bagaimana pemanfataannya.
Pengenalan sorgum dan pemanfaatannya di industri pangan dalam bentuk buku dapat
mendorong perkembangan sorgum sebagai alternatif difersifikasi pangan pokok di Indonesia
menjadi lebih luas.
Buku ini ada karena kontribusi banyak pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Nurrahmah Fitra Sabilla, Aisyah Wijayanti, Lisa Fitri Rahayu, Tiara Permata Nisa, Adhima
Adhamatika, Destiana Adinda Putri dan Lintang Ayu Nisa Trifany, atas kontribusi dalam
penulisan. Terima kasih juga diucapkan kepada BPPM dan Fakultas Teknologi Pertanian, UB
atas grant yang diberikan. Terima kasih kepada seluruh rekan kerja dan bimbingan yang turut
mengerjakan proyek sorgum Sulthon, Irawan, Dwi, Pratidina, Bagus, Arfat, Iqbal, Komang, Jaya,
Rahmad dkk. Terimakasih pada M Ridwan atas foto biji sorgumnya. Terima kasih Allah atas
semuanya sehingga buku ini bisa terwujud. Terima kasih kepada pembaca, dan teriring harapan
semoga karya ini dapat bermanfaat.

Malang, 05 November 2020

Erni Sofia Murtini

iv
KONTRIBUTOR

Nama Email Institusi


Erni Sofia Murtini erni.murtini@ub.ac.id Teknologi Hasil
Nurrahmah Fitra Sabilla rahmasabil2@gmail.com Pertanian, Fakultas
Aisyah Wijayanti aisyahwijayanti98@gmail.com Teknologi Pertanian,
Lisa Fitri Rahayu rahayufitri439@gmail.com Universitas Brawijaya,
Tiara Permatanisa tiarapermatanisa@gmail.com Malang
Adhima Adhamatika adhimaadhamatika67@gmail.com
Destiana Adinda Putri destianaadindap@gmail.com
Lintang Ayu Nisa Trifany lintangayns@gmail.com

v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................................................. i
Kata Pengantar ......................................................................................................................... ii
KONTRIBUTOR ......................................................................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL....................................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... x
BAB I. TANAMAN SORGUM..................................................................................................... 1
(Erni Sofia Murtini dan Nurrahmah Fitra Sabilla)
1.1 Bagian dan Komposisi ..................................................................................................... 1
1.2 Klasifikasi, Jenis/Varietas dan Pemanfaatan sorgum ....................................................... 3
1.3 Umur Panen .................................................................................................................... 6
1.4 Produktivitas .................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 9
BAB II. BIJI SORGUM ............................................................................................................. 11
(Erni Sofia Murtini dan Aisyah Wijayanti)
2.1 Klasifikasi Biji Sorgum ................................................................................................... 11
2.3 Morfologi Biji Sorgum..................................................................................................... 13
1. Perikarp ..................................................................................................................... 14
2. Endosperm................................................................................................................. 15
3. Germ .......................................................................................................................... 15
2.4 Karakteristik Kimia Biji Sorgum ...................................................................................... 15
1. Kandungan Nutrisi Biji Sorgum................................................................................... 15
2. Fenolik pada Biji Sorgum ........................................................................................... 18
3. Komponen Anti-nutrisi pada Biji Sorgum .................................................................... 21
2.5 Daya Cerna Sorgum ...................................................................................................... 23
2.6 Indeks Glikemik (IG) Sorgum ......................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 27
BAB III. TEKNOLOGI PASCA PANEN SORGUM ................................................................... 30
(Erni Sofia Murtini dan Lisa Fitri Rahayu)
3.1 Proses Panen ................................................................................................................ 30
3.2 Pengeringan biji sorgum ................................................................................................ 31
1. Penjemuran dibawah sinar matahari langsung ........................................................... 31
2. Pengeringan dibawah sinar matahari tidak langsung ................................................. 31
3. Pengeringan menggunakan silika gel ......................................................................... 31
4. Pengeringan menggunakan alat pengering ................................................................ 31
5. Pengeringan dengan asam sulfat ............................................................................... 31

vi
3.3 Perlakuan Sebelum Penyimpanan ................................................................................. 32
3.4 Penyimpanan Biji Sorgum.............................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 36
BAB IV. PEMANFAATAN BIJI SORGUM DI INDUSTRI PANGAN ......................................... 38
(Erni Sofia Murtini dan Tiara Permatanisa)
4.1 Pohon Industri Sorgum .................................................................................................. 38
4.2 Proses Pengolahan ....................................................................................................... 39
1. Penyosohan ............................................................................................................... 39
2. Perendaman .............................................................................................................. 39
3. Fermentasi ................................................................................................................. 40
4. Perkecambahan ......................................................................................................... 41
5. Nikstamalisasi ............................................................................................................ 42
6. Penepungan............................................................................................................... 43
7. Ekstrusi ...................................................................................................................... 43
8. Tepung Sorgum ......................................................................................................... 44
9. Ekstraksi Pati ............................................................................................................. 45
10. Pati Modifikasi ........................................................................................................ 46
11. Beberapa Produk Olahan Sorgum .......................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 50
BAB V. SORGUM SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL .......................................................... 52
(Erni Sofia Murtini dan Adhima Adhamatika)
5.1 Peran Sorgum sebagai Serealia Pangan Fungsional ..................................................... 52
5.2 Komponen Fungsional pada Sorgum ............................................................................. 53
1. Serat .......................................................................................................................... 53
2. Mineral ....................................................................................................................... 53
3. Protein ....................................................................................................................... 54
4. Polifenol sebagai Sumber Antioksidan pada Sorgum ................................................. 54
5.3 Produk Pangan Fungsional Sorgum .............................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 59
BAB VI. BIJI SORGUM COKLAT LOKAL ............................................................................... 62
(Erni Sofia Murtini)
6.1 Karakteristik dan Pemanfaatannya ................................................................................ 62
6.2 Pemanfaatan Biji Sorgum Coklat ................................................................................... 65
6.3 Produk olahan dari sorgum coklat.................................................................................. 71
1. Ekstrusi ...................................................................................................................... 71
2. Nasi Sorgum .............................................................................................................. 72
3. Mi ............................................................................................................................... 73
4. Biskuit ........................................................................................................................ 74

vii
5. Bubur/sereal Instan Sorgum ....................................................................................... 75
6. Muffin ......................................................................................................................... 76
7. Onde-onde ................................................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 79
BAB VII. SORGUM MANIS DAN PEMANFAATANNYA ......................................................... 80
(Erni Sofia Murtini dan Destiana Adinda Putri)
7.1 Tanaman Sorgum Manis................................................................................................ 80
1. Batang tanaman sorgum manis.................................................................................. 81
2. Biji sorgum manis ....................................................................................................... 81
3. Penentuan umur panen .............................................................................................. 82
7.2 Pemanfaatan Sorgum Manis ......................................................................................... 82
1. Pangan dan pakan ..................................................................................................... 82
2. Biofuels, bioetanol dan biogas.................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 87
BAB VIII. LIMBAH DAN PEMANFAATAN LAIN SORGUM .................................................... 91
(Erni Sofia Murtini dan Lintang Ayu Nisa Trifany)
8.1 Arabinoxylan .................................................................................................................. 91
8.2 Wax ............................................................................................................................... 92
8.3 Biomasa: selulosa, hemiselulosa, dan lignin sebagai media fermentasi produksi bioetanol
93
8.4 Pewarna makanan: Astaxanthin dan Apigeninidin ......................................................... 94
8.5 Single cell oil.................................................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 96
GLOSARIUM ......................................................................................................................... 100
INDEKS ................................................................................................................................... 97

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Nutrisi biji sorgum utuh beserta bagian-bagiannya .................................................. 16


Tabel 4. 1 Pohon industri sorgum ............................................................................................ 38
Tabel 6. 1 Karakteristik fisik dan kimia biji sorgum coklat ......................................................... 64
Tabel 6. 2 Karakteristik kimia biji sorgum coklat ....................................................................... 65
Tabel 6. 3 Perbedaan karakter fisik, kimia, antigizi tepung sorgum coklat; kontrol, tempe dan
ampok ..................................................................................................................... 71
Tabel 6. 4 Waktu pemasakan (menit) dan % pengembangan nasi dari berbagai rasio sorgum
terfermentasi dan beras. ......................................................................................... 73
Tabel 6. 5 Karakter fisik mi dengan berbagai proporsi tepung ampok sorgum:gandum............ 74
Tabel 6. 6 Formulasi bubur instan sorgum dengan campuran ubi jalar atau kacang
hijau/tunggak .......................................................................................................... 76
Tabel 6. 7 Komposisi kimia muffin dengan berbagai rasio tepung ampok sorgum dan tepung
gandum ................................................................................................................... 78

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Tanaman Sorgum dan bagiannya akar, batang + daun dan buah ........................ 2
Gambar 2. 1 A. Malai dengan biji sorgum, b. Biji sorgum, c struktur biji d. sketsa struktur biji
sorgum serta penampakan lapisan perikarp. Gambar A, B, C (dokumen pribadi),
gambar d disalin dari (Earp et al., 2004) ............................................................. 14
Gambar 2. 2. Struktur asam benzoat dan asam sinamat beserta turunannya (Egawa et al., 2017).
........................................................................................................................... 18
Gambar 6.1 Biji sorgum coklat yang didapatkan dari Grati Pasuruan, biji utuh dan yang sudah
disosoh dengan penyosoh beras 4 kali dan penampang melintang biji sorgum .. 62
Gambar 6.2. Proses pembuatan ampok sorgum ...................................................................... 66
Gambar 6. 3. Kurva pertumbuhan mikroba yang terlibat dalam fermentasi spontan ampok sorgum
.......................................................................................................................... 67
Gambar 6. 4. Tempe sorgum ................................................................................................... 68
Gambar 6. 5. Kenampakan tepung sorgum yang didahului oleh proses fermentasi ampok dan
tempe tanpa perbesaran dan perbesaran 400x ................................................. 70
Gambar 6. 6. Ekstrudat (a) sorgum, (b) beras, (c) jagung ........................................................ 72
Gambar 6. 7. Nasi sorgum A=ampok sorgum:beras (A0=0:3, A1=1:2, A2=1,5:1,5, A3= 2:1 dan
A4= 3:0), T=tempe sorghun:beras (T0=0:3, T1=1:2, T2=1,5:1,5, T3= 2:1 dan T4=
3:0).................................................................................................................... 73
Gambar 6. 8. Mi dengan berbagai konsentrasi penggunaan tepung sorgum (A=ampok) ......... 74
Gambar 6. 9. Biskuit yang dibuat dari berbagai proporsi tepung sorghun terfermentasi. T100 =
tepung tempe sorgum 100%, A100=tepung ampok 100%, A70 = tepung ampok
70%, A50=tepung ampok 50%, A30=tepung ampok 30% dan G100=tepung
gandum 100%. .................................................................................................. 75
Gambar 6. 10. Bubur instan dengan berbagai formulasi .......................................................... 76
Gambar 6. 11. Produk Muffin yang Dihasilkan dari Berbagai formulasi .................................... 77
Gambar 6. 12. Produk makanan traditional onde-onde yang kulitnya dibuat dari A0=tepung ketan
100%, A25 subtitusi tepung sorgum 25% dan A50 subtitusi tepung sorgum 50%.
........................................................................................................................ 78

x
BAB I. TANAMAN SORGUM

(Erni Sofia Murtini dan Nurrahmah Fitra Sabilla)

Sorgum adalah jenis biji-bijian (serealia) yang ditanam untuk dimanfaatkan sebagai
pangan, pakan dan produk lain seperti energi dan serat. Luas area penanaman sorgum di seluruh
dunia pada tahun 2018 adalah 42 144 499 ha dengan hasil total 61 536 460 ton (FAOSTAT,
2020). Di Indonesia, BBSDLP Balitbangtan tahun 2011 telah melakukan pemetaan luasan area
yang sesuai untuk penanaman sorgum seluas 50 juta ha lebih yang tersebar mulai dari
Kalimantan (tengah, barat dan timur), Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera, Jawa,
Maluku dan Bali (INAagrimap, 2020).
Tanaman sorgum dikenal memiliki daya adaptasi yang baik meski ditanam pada tanah
marginal dan kering bahkan tanah dengan kandungan garam alkali (saline-alkaline soil).
Pengembangan tanaman sorgum yang tahan terhadap garam sedang dilakukan, mengingat
terdapat sekitar 1 milyar ha tanah jenis ini di berbagai penjuru dunia (Huang, 2018). Kemampuan
adaptasi terhadap kondisi kering tersebut dipengaruhi antara lain oleh gen dan struktur dari
tanaman sorgum. SbWRKY30 adalah faktor transkripsi pada sorgum yang dapat merespon
kondisi kekeringan dengan mengaktifasi gen SbRD19, mempengaruhi struktur akar, melindungi
sel tanaman dari kerusakan dengan meningkatkan kemampuan menangkal reactive oxygen
species (ROS) (Yang et al, 2020). Kemampuan toleransi terhadap kekeringan berbeda antar jenis
tanaman sorgum. Pengaruh dari kekeringan dapat menyebabkan tanaman stress, tumbuh tidak
normal, dan menghasilkan dhurrin (cyanogenic glucosides) dalam jumlah yang lebih tinggi dari
kondisi normal. Penelitian Cowan et al (2020) menunjukkan bahwa terdapat sorgum varietas liar
yang tumbuh di Australia yang lebih tahan kekeringan dan tidak menunjukkan peningkatan
dhurrin meski dalam kondisi kekeringan; sehingga gen-nya ke depan dapat digunakan untuk
mengembangkan tanaman sorgum tahan kekeringan dan menghasilkan sianida rendah.
Ketahanan terhadap kekeringan kemungkinan juga disebabkan karena tanaman sorgum dilapisi
oleh lapisan lilin, yang memungkinkan tanaman sorgum lebih efisien dalam memanfaatkan air.
Lilin yang melapisi tanaman sorgum disebutkan memiliki aktivitas anti mikroba (Xiao et al, 2020).

1.1 Bagian dan Komposisi


Bagian tanaman sorgum terdiri atas akar, batang, daun, dan biji. Tanaman ini memiliki
sistem perakaran serabut yang terdiri dari tiga jenis akar, yaitu akar primer, akar sekunder, serta
akar nafas (brace roots). Akar primer merupakan akar yang berkembang secara vertical dari
bagian radikula dan mulai terbentuk saat terjadinya proses perkecambahan benih (Li et al., 2014).
Akar primer berfungsi sebagai penyedia air dan nutrisi dalam perkecambahan benih (Singh et al.,
2010). Akar primer akan mati dan digantikan fungsinya oleh akar sekunder, yaitu akar yang
berkembang dari bagian buku (node) pertama mesokotil, serta ruas (internode) kedua mesokotil

1
hingga ke bagian atas. Akar-akar ini bercabang secara lateral, dan berfungsi untuk menyediakan
nutrisi bagi tanaman. Akar udara berkembang dari bagian primordial buku dan tumbuh di atas
permukaan tanah (Li et al., 2014).

Gambar 1.1. Tanaman Sorgum dan bagiannya akar, batang + daun dan buah

Tanaman sorgum memiliki tinggi yang bervariasi tergantung jenisnya, mulai 1-1,25 m dan
dapat mencapai 6 m. Ketinggian tersebut dipengaruhi oleh jumlah ruas batang yang menyusun
tanaman sorgum. Tanaman ini memiliki batang dengan diameter yang dapat mencapai 5 cm,
terdiri atas empulur dan kulit yang tersusun secara radial. Batang tanaman sorgum memiliki
struktur yang tegak, solid, dan tersusun atas ruas-ruas. Batang tanaman sorgum mengandung
serat yang berupa selulosa sebanyak 65,1% dan lignin sebanyak 6,5% (Reddy & Yang, 2007).
Bagian luar batang tanaman sorgum merupakan korteks yang kuat, dengan bagian dalam yang
2
lebih lunak, dapat bersifat kering ataupun berair, memiliki rasa manis ataupun hambar yang
dipengaruhi oleh varietasnya. Ruas-ruas terpanjang terdapat pada bagian tengah batang dengan
ukuran ruas yang seragam, sedangkan ruas-ruas yang berukuran pendek terdapat pada bagian
bawah batang. Ruas batang dapat berbentuk silinder, gelondong, ataupun kerucut, dengan area
penampang melintang yang berbuntuk oval atau lingkaran (Bakeer et al., 2013).
Daun tanaman sorgum terdapat pada tiap ruas-ruas batang sorgum dengan bentuk daun
yang lebar dan kasar menyerupai tanaman jagung. Daun sorgum pada umumnya memiliki
panjang yang berkisar antara 90 – 100 cm, dengan lebar yang berkisar antara 10 – 12 cm. Daun
yang berada di bagian atas tanaman biasanya memiliki bentuk yang lebih pendek dan lebih kecil,
daun ini dikenal dengan sebutan daun bendera (flag leaf). Daun yang dimiliki tanaman sorgum
saat mulai berbunga biasanya berjumlah 14-18 helai daun. Beberapa varietas sorgum memiliki
daun yang letaknya terkonsentrasi di dekat pangkal batang, sementara pada varietas lainnya
daun sorgum tersebar secara merata di sepanjang batang (Bakeer et al., 2013).
Biji sorgum dapat memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang berbeda-beda yang dipengaruhi
oleh jenis atau varietasnya. Biji sorgum umumnya berbentuk bulat, dengan terdapat bagian yang
berbentuk pipih di salah satu sisinya. Biji sorgum tersusun atas embrio, endosperm, dan testa
yang dilindungi oleh sebuah lapisan yang disebut pericarp. Lapisan pericarp akan menentukan
warna biji sorgum karena gen yang mengatur warna biji terkonsentrasi pada lapisan ini. Biji
sorgum dapat berwarna coklat, merah, ungu, ataupun hitam yang dipengaruhi oleh gen tersebut.
Endosperm pada biji sorgum tersusun atas dua jenis pati, yaitu amilosa dan amilopektin.
Endosperm berperan penting dalam penentuan kualitas biji sorgum yang dihasilkan. Endosperm
juga menyumbangkan sekitar 80 – 85% dari total keseluruhan ukuran biji sorgum (Valencia &
Rooney, 2009).

1.2 Klasifikasi, Jenis/Varietas dan Pemanfaatan sorgum


Tanaman sorgum merupakan jenis tanaman yang termasuk ke dalam tanaman dengan biji
berkeping satu (Monocotyledoneae) dan bagian dari famili rerumputan (Poaceae/Gramineae).
Klasifikasi jenis sorgum yang terlengkap pertama dikemukakan oleh Snowden pada tahun 1936.
Namun demikian klasifikasi Snowden sulit untuk diterapkan karena ada 31 spesies, 158 varietas
dan 523 bentuk (forms) dan total ada 712 taxa. Kemudian Harlan & Wet (1972) membuat
klasifikasi tanaman sorgum menjadi lebih sederhana. Berdasarkan jenis spikelet (seed bearing)
sorgum diklasifikasikan menjadi 7 yaitu wild, shattercane, bicolor, guinea, caudatum, kafir dan
durra. Berdasarkan bentuk malai, sorgum digolongkan menjadi 9 dari yang sangat terbuka
sampai kompak. Namun demikian, berdasarkan ras Harlan & Wet (1972) selanjutnya
mengklasifikasikan sorgum menjadi 5 yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir dan durra.
Berdasar USDA (2020), tanaman sorgum terbagi menjadi 5 spesies yaitu Sorghum almum
Parodi, Sorghum bicolor (L.) Moench, Sorghum halepense (L.) Pers., Sorghum propinquum
(Kunth) Hitchc., serta sorgum hasil persilangan (hybrid) antara Sorghum bicolor var. bicolor

3
dengan Sorghum bicolor var. sudanense. Diantara 5 spesies sorgum tersebut, Sorghum bicolor
(L.) Moench merupakan spesies sorgum yang paling banyak dibudidayakan. Sorghum bicolor (L.)
Moench sendiri memiliki 3 subspesies yaitu Sorghum bicolor (L.) Moench ssp. arundinaceum
(Desv.) de Wet & Harlan, Sorghum bicolor (L.) Moench ssp. Bicolor, dan Sorghum bicolor (L.)
Moench ssp. drummondii (Nees ex Steud.) de Wet & Harlan. Selain Sorghum bicolor (L.) Moench,
Sorghum halepense (L.) Pers juga merupakan spesies sorgum yang umum dijumpai. Tanaman
sorgum seperti yang dikutip USDA (2020) memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Cyperales
Famili : Poaceae / Gramineae
Genus : Sorghum Moench
Species : Sorghum bicolor (L.) Moench

Tanaman sorgum secara umum memiliki potensi pemanfaatan yang cukup luas. Sorgum
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan, ataupun bahan industri. Bagian tanaman
sorgum yang umumnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan adalah biji sorgum. Biji sorgum
dapat dimanfaatkan dengan cara direbus dan dijadikan pangan alternatif untuk mengganti beras.
Biji sorgum juga dapat diolah dengan cara menghaluskannya menjadi tepung yang kemudian
dapat digunakan dalam pembuatan beberapa makanan seperti roti, bubur, pancake, muffin,
ataupun breakfast cereals (Palmer, 1992). Biji sorgum tidak mengandung gluten sehingga biji
sorgum aman untuk dikonsumsi bagi individu yang tidak toleran terhadap kandungan gluten.
Batang tanaman sorgum juga dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan untuk diolah menjadi
sirup yang kemudian digunakan sebagai pemanis, atau diolah kembali untuk menghasilkan
minuman fermentasi (USDA, 2013).
Biji sorgum juga dapat digunakan sebagai penambah nutrisi dalam pakan ternak. Bagian
lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak adalah batang dan daun tanaman
sorgum. Batang dan daun yang digunakan umumnya merupkan hasil samping dari proses
ekstraksi nira sorgum (Nkansah et al., 2019). Penggunaan tanaman sorgum sebagai pakan
ternak banyak dipilih karena memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan tanaman pakan
lainnya. Tanaman sorgum umumnya dijadikan sebagai pakan ternak untuk industri penghasil
produk susu, peternakan unggas, dan sapi. Sorgum memiliki kandungan gula yang terletak pada
batang dan daunnya, hal ini dinilai membuat batang dan daun sorgum lebih disukai oleh ternak.

4
Sebagai pakan ternak, sorgum dapat dimanfaatkan menjadi silase, jerami, ataupun dalam bentuk
potongan-potongan (USDA, 2013).
Sorgum manis merupakan jenis sorgum dengan kandungan gula cukup tinggi yang
terdapat pada bagian batang tanaman, menyerupai tebu. Biji, batang, dan daun merupakan
bagian yang dapat dimanfaatkan dari tanaman ini. Biji yang dihasilkan dari tanaman sorgum
manis juga dikenal dengan sebutan durra (USDA, 2020). Pada awalnya, sorgum manis
dimanfaatkan dengan cara mengekstrak nira dari batang sorgum. Nira sorgum umumnya
mengandung gula dengan konsentrasi yang berkisar antara 12 – 18% dengan kadar sukrosa
sebesar 53 – 85 %, glukosa sebesar 9 – 33%, serta fruktosa sebesar 6 – 21% sebagai
penyusunnya. Tingginya kadar gula dalam nira sorgum manis membuatnya berpotensi untuk
diolah menjadi pemanis alami baik dalam bentuk sirup, gula pasir, ataupun jiggery (Nkansah et
al., 2019). Proses ekstraksi nira dari batang sorgum manis akan menghasilkan produk samping
berupa serat lignoselulosa kering, yang biasa disebut sebagai bagasse. Bagasse yang dihasilkan
dari proses ekstraksi dapat mencapai 40% dari total batang yang digunakan. Bagasse dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan kertas, polimer, pakan ternak, serta pupuk
komposit. Saat ini, sorgum manis mulai banyak dikembangkan sebagai bahan baku dalam
pembuatan bahan bakar hayati (biofuel), salah satunya adalah etanol. Etanol dihasilkan dari gula
yang terdapat pada bagian batang tanaman sorgum manis, ataupun dari kandungan pati yang
dihasilkan dari biji sorgum manis. Proses produksi etanol dari sorgum manis dapat dilakukan
melalui beberapa cara seperti hidrolisis enzimatis ataupun fermentasi langsung. Bagian tanaman
sorgum manis yang dapat diolah menjadi etanol dapat berupa daun, cairan ekstrak, bagasse,
ataupun biji sorgum manis (Nkansah et al., 2019).
Sorghum halepense (L.) Pers., atau johsongrass, merupakan jenis gulma yang tersebar
meluas di lebih dari sepertiga kawasan dunia. Tanaman ini dapat menyebabkan beberapa
kerugian dapat mengurangi kesuburan tanah, serta dapat menjadi inang bagi patogen tanaman.
S. halepense umumnya menjadi masalah bagi tanaman subtropics seperti kapas, jagung,
kedelai, serta tebu. Terlepas dari kerugian yang dapat ditimbulkan, S. helpense merupakan jenis
tanaman yang memiliki kandungan protein yang mirip dengan alfalfa (Medicago sativa). Hal ini
membuat S. helpense berpotensi untuk dijadikan bahan baku pakan ternak. Tanaman ini juga
memiliki kemampuan untuk membuat jaringan rimpang yang luas sehingga dapat dimanfaatkan
untuk mengendalikan atau mencegah terjadinya erosi tanah (CABI, 2019).
Tanaman sorgum dilaporkan memiliki fungsi allelopathic yang berguna untuk
mengendalikan gulma. Gulma dapat menurunkan produktivitas hasil panen suatu tanaman
budidaya. Sehingga, diperlukan adanya pengendalian gulma. Salah satu cara yang banyak
digunakan adalah penggunaan herbisida kimia, yang jika berlebih residunya dapat menimbulkan
masalah lingkungan dan resistensi dari gulma. Oleh karena itu diperlukan alternatif yang lebih
ramah lingkungan yaitu penggunaan tanaman yang bersifat allelopathy (suatu tanaman yang

5
dapat mengeluarkan pengaruh phytotoxic pada gulma), salah satunya adalah tanaman sorgum
(Glab et al, 2017).
Di Indonesia, varietas sorgum yang dibudidayakan berupa sorgum varietas Super 1, Super
2, Suri 3, dan Suri 4. Sorgum varietas Super 1 berasal dari perbaikan populasi Watar Hamu Putih
hasil koleksi plasma nuftah Balitsereal dari Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Varietas ini
memiliki biji berwarna putih, dengan diameter biji sebesar 2,6 mm, panjang biji sebesar 4,37 mm,
dan lebar biji sebesar 4,03 mm. Sorgum varietas Super 2 merupakan sorgum hasil perbaikan dari
galur 15021 introduksi dari ICRISAT. Sorgum varietas Super 2 memiliki biji yang berwarna putih-
krem pada bagian depan, dan berwarna coklat pada bagian belakang. Diameter biji sorgum
varietas Super 2 sebesar 2,92 mm, dengan panjang biji sebesar 4,63 mm, dan lebar sebesar
3,62 mm (Balitsereal, 2012, 2013). Sorgum varietas Suri 3 merupakan perbaikan galur 5 193B
introduksi dari ICRISAT, India, tahun 2002. Karakteristik biji sorgum varietas Suri 3 ini berwarna
coklat kemerahan, dengan bentuk yang memanjang. Sementara sorgum varietas Suri 4
merupakan perbaikan galur 15020 introduksi ICRISAT, India, tahun 2002. Biji sorgum varietas
Suri 4 berwarna coklat tua kemerahan, dengan bentuk biji yang juga memanjang (Balitsereal,
2014).

1.3 Umur Panen


Tanaman sorgum termasuk salah satu tanaman C4 yang memiliki efisiensi fotosintesis dan
produktivitas yang tinggi (FAO, 1996). Tanaman sorgum untuk bisa dipanen memerlukan waktu
yang berbeda-beda tergantung musim penanaman, genotip dan lokasi penanaman. Tanaman
ini memiliki siklus panen yang cenderung pendek, yaitu sekitar 120 hari. Waktu yang tepat untuk
memanen sorgum dapat ditentukan melalui dua hal, yaitu dengan menentukan tingkat
kematangan biji sorgum dengan cara menekan biji sorgum menggunakan dua jari yang disertai
dengan penilaian visual terhadap warna biji sorgum, ataupun dengan mengukur tingkat
kematangan batang sorgum melalui pengukuran kandungan padatan terlarut (Brix) yang
terkandung di satu pertiga bagian tengah batang. Penentuan kandungan padatan terlarut ini
berkolerasi dengan jumlah total gula yang terkandung pada batang, yang akan sangat berguna
dalam pengolahan sorgum untuk menghasilkan etanol. Tanaman sorgum dianggap sudah
matang (mature) ketika kadar air pada biji sorgum turun menjadi sekitar 30%. Namun, kadar air
sekitar 25% biasanya masih menghasilkan biji sorgum yang retak dan terlalu lunak. Kadar air
yang maksimal untuk memanen sorgum adalah sekitar 20%. Keadaan ini juga akan mengurangi
waktu pengeringan biji dan meminimalkan kemungkinan gagal panen (Teixeira et al., 2017).
Rao et al (2008) menggambarkan tahapan-tahapan dalam pertumbuhan tanaman sorgum
jenis hibrid yang ditanam pada kondisi semi-arid tropis di India mulai kecambah muncul di
permukaan tanah sampai siap dipanen membutuhkan waktu 106 hari. Biji bibit membutuhkan
waktu 4 hari untuk daun pertama terlihat muncul di permukaan tanah (tahap emeregensi), setelah
itu dibutuhkan 32 hari untuk mulai muncul malai (panicle) saat tinggi tanaman mencapai 95-100

6
cm, pada hari ke 50 daun bendera/terakhir muncul tanaman mencapai tinggi 115-120 cm. pada
hari ke 60 malai menggelembung pada daun bendera, pada hari ke-68 50% dari bunga yang ada
di malai mengalami pembuahan sempurna, pada hari ke 80 biji dalam tahap soft-dough, biji belum
terisi dengan baik jika dipencet keluar sedikit cairan putih, pada hari ke 96 biji mencapai tahap
hard dough, biji cukup keras tidak lagi bisa dipencet dengan jari, pada hari ke 106 biji masuk
dalam physiological maturity yang ditandai oleh titik hitam di bagian bawah biji, pada tahap ini
kadar air biji mencapai 25-35%, biji siap dipanen pada kadar air 20%.

1.4 Produktivitas
Sorgum adalah jenis tanaman serealia yang nilai produksinya cukup penting bagi ekonomi
dunia. Sorgum merupkan tanaman tropis yang awalnya berasal dari kawasan Afrika bagian timur,
dimana dataran tinggi Ethiopia dipercayai sebagai wilayah pertama penghasil sorgum. Tanaman
sorgum diperkirakan mulai dibudiayakan sekitar 4000 – 3000 tahun sebelum masehi (Vavilov,
1926). Pada kawasan timur dan selatan Afrika, sorgum ditanam di daerah yang memiliki curah
hujan rendah. Tanaman sorgum ditanam untuk menggantikan tanaman jagung yang tidak dapat
tumbuh pada daerah tersebut karena keadaan tanah yang terlalu kering. Sementara di kawasan
barat dan tengah Afrika, sorgum banyak ditanam di antara gurun Sahara bagian utara dan hutan
ekuator bagian selatan (FAO, 1996).
Setelah dibudidayakan secara merata di kawasan Afrika, sorgum kemudian mulai tersebar
di wilayah Asia seperti India dan China (Vavilov 1926). Hingga saat ini, Sorgum telah banyak
dibudidayakan secara luas di seluruh dunia. Tanaman ini memiliki sifat genetik yang cocok untuk
ditanam pada area pertanian dengan kondisi yang panas dan kering, yang pada umumnya sulit
untuk menumbuhkan tanaman biji-bijian lainnya. Hal tersebut membuat sorgum menduduki posisi
ke lima tanaman serealia dengan nilai produksi tertinggi di dunia setelah gandum, beras, jagung,
dan barley (Benech-Arnold & Rodriguez, 2018).
Nilai produksi sorgum di seluruh dunia pada tahun 2018 mencapai 60 juta ton, mengalami
peningkatan produksi sebesar 2 juta ton dari tahun sebelumnya. Hingga tahun 2018, Afrika masih
menjadi benua penghasil sorgum tertinggi di seluruh dunia dengan nilai produksi yang mencapai
30 juta ton. Nigeria, Sudan, dan Ethiopia merupakan tiga negara penghasil sorgum tertinggi
dengan nilai produksi secara berturut-turut sebesar 6,8 juta ton, 4,95 juta ton, dan 4,93 juta ton.
Amerika menjadi benua selanjutnya yang memiliki nilai produksi sorgum tertinggi kedua setelah
Afrika, yaitu sebesar 19,2 juta ton dengan nilai produksi tertinggi berada di kawasan Amerika
Serikat sebesar 9,2 juta ton, disusul dengan Meksiko sebesar 4,5 juta ton, dan Brazil sebesar 2,2
juta ton. Di kawasan Asia, nilai produksi sorgum pada tahun 2018 mencapai 8 juta ton yang
didominasi oleh India sebesar 4,8 juta ton, Cina sebesar 2,1 juta ton, dan Yaman sebesar 250
ribu ton (FAOSTAT, 2020).
Sekitar 70% dari total produksi sorgum dunia berasal dari negara-negara berkembang,
sedangkan kawasan Asia dan Afrika masing-masing menyumbangkan sekitar 25 – 30% dari total

7
produksi global. Sebagian besar tanaman sorgum tersebut dibudidayakan oleh petani skala kecil.
Negara-negara berkembang, terutama negara yang berada di kawasan Asia dan Afrika pada
umumnya menanam sorgum dalam sistem tradisional sehingga memiliki hasil produksi yang
sangat bervariasi tiap tahunnya, dan cenderung menggunakan sorgum sebagai bahan pangan.
Berbeda dengan negara-negara maju yang umumnya menerapkan sistem pertanian modern
untuk membudidayakan sorgum sehingga nilai produksi tiap tahunnya lebih tinggi dan konsisten.
Pada beberapa negara maju, sorgum diproduksi secara komersial dengan tujuan untuk
digunakan sebagai pakan ternak (FAO, 1996).
Produktivitas sorgum berbeda antar negara. Berdasarkan data produktivitas yang dirilis
oleh FAOSTAT (2020) data tahun 2018 menunjukkan bahwa produktivitas sorgum di beberapa
negara di Afrika cukup rendah dibawah 1 ton/ha, misalnya Namimbia (0,185 ton/ha), Angola
(0,233 ton/ha), dan Somalia (0,552 ton/ha). Sementara itu produktivitas yang lebih tinggi
ditunjukkan sorgum yang ditanam di China (4,54 ton/ha), Amerika Serikat (4,53 ton/ha), dan
Australia (7,82 ton/ha). Produktivitas sorgum varietas unggul di Indonesia yang dirilis antara
1970-2012 ada pada rentang 2,5-6 Ton/Ha (Subagio & Aqil, 2013).

8
DAFTAR PUSTAKA

Bakeer, B., Taha, I., El-Mously, H., Shehata, S.A. (2013). On The Characterisation of Structure
and Properties of Sorghum Stalks. Ain Shams Engineering Journal, 4: 265-271
Balai Penelitian Tanaman Serealia. (2013). Deskripsi Sorgum Varietas Super 1. Kementrian
Pertanian Republik Indonesia (http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/varietas-sorgum/)
Balai Penelitian Tanaman Serealia. (2013). Deskripsi Sorgum Varietas Super 2. Kementrian
Pertanian Republik Indonesia (http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/varietas-sorgum/)
Balai Penelitian Tanaman Serealia. (2014). Deskripsi Sorgum Varietas Suri 3 Agritan. Kementrian
Pertanian Republik Indonesia (http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/varietas-sorgum/)
Balai Penelitian Tanaman Serealia. (2014). Deskripsi Sorgum Varietas Suri 4 Agritan. Kementrian
Pertanian Republik Indonesia (http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/varietas-sorgum/)
Benech-Arnold, R.L., Rodríguez, M.V. (2018). Pre-Harvest Sprouting and Grain Dormancy in
Sorghum Bicolor: What Have We Learned?. Frontiers in Plant Science, 9: 811.
CABI. (2019). Sorghum halepense (Johnson Grass) Datasheet
(https://www.cabi.org/isc/datasheet, 15 Oktober 2020)
Cowan, M.F., Blomstedt, C.K., Norton, S.L., Henry, R.J., Møller, B.L., & Gleadow, R. (2020). Crop
wild relatives as a genetic resource for generating low-cyanide, drought-tolerant
Sorghum. Environmental and Experimental Botany, 169, 103884.
FAO. (1996). The World Sorghum and Millet Economies: Facts, Trends and Outlook.
(http://www.fao.org/3/w1808e/w1808e00.htm#Contents, 15 Oktober 2020)
FAOSTAT. (2020). Sorghum (http://www.fao.org/faostat/en/#data/QC, 15 Oktober 2020).
Głąb, L., Sowiński, J., Bough, R., & Dayan, F. E. (2017). Chapter Two - Allelopathic Potential of
Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench) in Weed Control: A Comprehensive Review. In
D. L. Sparks (Ed.), Advances in Agronomy (Vol. 145, pp. 43-95): Academic Press.
Harlan, J.R., de Wet, J.M.J. (1972). A simpified classification of cultivated sorghum. Crop Science
12 (2) 172-176 https://doi.org/10.2135/cropsci1972.0011183X001200020005x
Huang, R.-d. (2018). Research progress on plant tolerance to soil salinity and alkalinity in
sorghum. Journal of Integrative Agriculture, 17(4), 739-746.
doi:https://doi.org/10.1016/S2095-3119(17)61728-3
INAagrimap. (2020). Sorgum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
http://inaagrimap.litbang.pertanian.go.id/index.php/sentra-produksi/tanaman-
pangan/sorgum
Li, R., Han, Y., Lv, P., Du, R., & Liu, G. (2014). Molecular mapping of the brace root traits in
sorghum (Sorghum bicolor L. Moench). Breeding Science, 64: 193-198
Nkansah, N.B.A., Li, J., Rooney, W., Wang, D. (2019). A Review of Sweet Sorghum as a Viable
Renewable Bioenergy Crop and Its Techno-Economic Analysis. Renewable Energy, 143:
1121-1132
Palmer, G.H. (1992). Sorghum-Food, Beverage and Brewing Potentials. Process Biochemistry,
27: 145-153
Rao, S.S., Elangovan, M., Umakanth, A.V., & Seetharama, N. (2008). Characterizing phenology
of sorghum hybrids in relation to production management for high yields in Reddy BVS,
Ramesh, S., Ashok, K.A., & Gowda, C.L.L (eds.). Sorghum Improvement in the New
Millennium. Patencheru 502324, Andhra Pradesh, India: (pp.16-22) DOI:
10.13140/2.1.4841.8246
Reddy, N., & Yang, Y. (2007). Structure and Properties of Natural Cellulose Fibers Obtained from
Sorghum Leaves and Stems. Journal of agricultural and food chemistry, 55(14), 5569-
5574.
Singh, V., Ooosterom, E.J.V., Jordan, D.R., Messina, C.D., Cooper, M., & Hammer, G.L. (2010).
Morphological and Architectural Development of Root Systems in Sorghum and Maize.
Plant Soil, 333: 287-299
Subagio, H., & Aqil, M. (2013). Pengembangan Produksi Sorgum di Indonesia. Seminar Nasional
Inovasi Teknologi Pertanian. Pp 199-214

9
Teixeira, T.P.M., Pimentel, L.D., dos Santos Dias, L.A., da Costa Parrella, R.A., da Paixão, M.Q.,
Biesdorf, E.M. (2017). Redefinition of Sweet Sorghum Harvest Time: New Approach for
Sampling and Decision-Making in Field. Industrial Crops and Products, 109, 579-586.
USDA. (2013). Plant Guide for Sorghum (Sorghum bicolor L.). USDA-Natural Resources
Conservation Service, Tucson Plant Materials Center, Tucson, AZ
USDA, NRCS. (2020). The PLANTS Database (http://plants.usda.gov, 15 October 2020).
National Plant Data Team, Greensboro, NC 27401-4901 USA.
Valencia, R.C., Rooney, W.L. (2009). Genetic Control of Sorghum Grain Color. International
Sorghum and Millet Collaborative Research Support Program (INTSORMIL CRSP)
Vavilov, N.I. (1926). Studies on The Origin of Cultivated Plants. Russian and English. Bull. Appl.
Bot, 16.
Xiao, Y., Li, X., Yao, L., et al. (2020). Chemical profiles of cuticular waxes on various organs of
Sorghum bicolor and their antifungal activities. Plat physiology and Biochemistry 155:596-
604
Yang, Z., Chi, X., Guo, F., Jin, X., Luo, H., Hawar, A., . . . Sun, B. (2020). SbWRKY30 enhances
the drought tolerance of plants and regulates a drought stress-responsive gene, SbRD19,
in sorghum. Journal of Plant Physiology, 246-247, 153142.
doi:https://doi.org/10.1016/j.jplph.2020.153142

10
BAB II. BIJI SORGUM

(Erni Sofia Murtini dan Aisyah Wijayanti)

Sorgum banyak dibudidayakan di benua Afrika dan Asia seperti Nigeria dan India sebagai
salah satu bahan pangan pokok. Tanaman ini merupakan tanaman pokok yang dimanfaatkan
sebagai sumber energi dan nutrisi untuk manusia, terutama di daerah gersang dan tertinggal.
Negara seperti Amerika Serikat, Meksiko, dan Australia umumnya memanfaatkan sorgum
sebagai pakan ternak dan bahan Industri. Namun, seiring dengan tingkat kesadaran masyarakat
akan gaya hidup sehat, sorgum juga mulai diminati sebagai pangan sehat fungsional yang
bermanfaat bagi tubuh.
Tanaman sorgum memiliki beberapa kelebihan dibandingkan tanaman sereal lainnya.
Sorgum memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kekeringan, toksisitas tanah, serta suhu ekstrim
dibandingkan dengan tanaman sereal lainnya (Etuk et al., 2012). Tanaman sorgum dapat
ditanam di daerah dataran tinggi, serta dapat bertahan hidup pada kondisi salinitas tanah tinggi
ataupun tanah tandus. Ketahanan sorgum dalam menghadapi berbagai kondisi yang kurang
menguntungkan tersebut disebabkan karena sistem akar tumbuhan yang memiliki rasio lebih
besar dibandingkan daun tumbuhan. Selain itu, daun tanaman sorgum juga dilapisi dengan lilin
dan dapat menggulung sebagai bentuk reaksi terhadap adanya ancaman eksternal yang
merugikan pertumbuhan (Rooney & Waniska, 2000).
Biji sorgum merupakan bagain utama yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan pokok
setelah jagung, gandum, padi dan barley (FAO, 2017). Sorgum telah dimanfaatkan secara luas
di berbagai belahan dunia dalam pembuatan berbagai jenis makanan. Berbagai jenis pengolahan
sorgum ini dapat berupa dipanggang menjadi popcorn, digiling menjadi snack, atau diolah
menjadi tepung dan grits bahkan breakfast cereal. Sorgum juga dapat diolah menjadi minuman
alkohol (Obizoba & Atii, 1991).

2.1 Klasifikasi Biji Sorgum


Berdasarkan kenampakan dan total fenol yang dapat diekstrak, Awika & Rooney (2004)
membagi sorgum menjadi: 1) sorgum putih, sering juga disebut food-type sorgum, pada sorgum
jenis ini tidak terdeteksi adanya tanin atau antosianin, namun masih dijumpai total fenol terekstrak
dalam level yang rendah. 2) sorgum merah, sorgum yang tidak mengandung tanin namun
memiliki pericarp berwarna merah dengan kandungan total fenol cukup tinggi. 3) black /brown
sorgum, black sorgum memiliki antosianin tinggi, sedangkan brown sorgum memiliki testa
berwarna dengan kadar tanin yang tinggi.
Berdasarkan kandungan tanin, Rooney & Miller (1982) mengklasifikasikan sorgum menjadi
3 yaitu 1) sorgum yang tidak memiliki lapisan testa dan tidak mengandung tanin, meskipun
polifenol lain mungkin ada, 2) sorgum yang memiliki lapisan testa yang mengandung condensed

11
tanin, 3) sorgum yang memiliki lapisan testa, dan polifenol terdapat pada baik lapisan testa dan
pericarp (kulit), dan jenis ini dikenal dengan ‘bird resistant’.
Biji sorgum dapat diklasifikasikan berdasar warna menjadi putih atau berwarna (Roney &
Miller, 1982). Warna merupakan parameter penting untuk menentukan kegunaan akhir dari biji
sorgum. Untuk kepentingan klasifikasi berdasarkan warna ini, dapat dilakukan dengan menebar
100 biji sorgum diatas kertas putih (HVS/A4), lalu diamati satu per satu biji sorgum tersebut. Biji
sorgum disebut ‘white’ (putih) jika seluruh permukaan biji sorgum berwarna putih, dan disebut
‘coloured’ jika permukaan biji sorgum berwarna kuning, pink, merah, coklat, ungu, atau kombinasi
dari berbagai warna tersebut. Pengujian dilakukan duplo, dari perhitungan tersebut, jika jumlah
biji putih/berwarna sama dengan atau lebih besar dari 95% maka disebut sebagai putih/berwarna,
namun jika kurang dari 95% disebut mixed white and coloured sorghum.
Taylor & Taylor (2008) membuat penyebutan yang lebih sederhana, dengan ‘tannin
sorghum’ untuk biji sorgum yang mengandung tanin dan ‘non-tannin sorghum’ untuk sorgum yang
tidak mengandung tanin. Sorgum yang tidak mengandung tanin juga sering disebut dengan non-
tannin, low tannin, condensed tannin-free atau sweet sorghum. Sedangkan sorgum bertanin
sering disebut tannin sorghum, high-tannin, brown (coklat), bird resistant, atau bitter sorghum
(pahit). Cara mendeteksi adanya tanin pada biji sorgum dapat dilakukan dengan metode bleach
test yang diformulasikan oleh Waniska et al., (1992) yaitu merendam (5 g) biji sorgum pada (100
ml) larutan Na-hipoklorit (3,5%). Larutan ini akan melarutkan lapisan perikarp sehingga akan
dapat dilihat keberadaan pikmen hitam lapisan testa. Sorgum disebut tannin-sorghum bila terlihat
adanya testa, dan sebaliknya.
Biji sorgum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tekstur dari biji, keras (hard) dan lunak
(soft). Tekstur biji tergantung pada proporsi bagian corneous (terlihat transparan, keras) terhadap
bagaian floury (terlihat putih seperti kapur, lunak) pada endosperma biji. Biji dengan proporsi
bagian corneous lebih banyak cenderung lebih tahan terhadap serangan hama dan jamur, lebih
sulit dihancurkan saat penggilingan, sehingga ukuran partikel yang dihasilkan lebih besar, namun
lebih bersih (tidak terkontaminasi oleh kulit biji) dibanding biji dengan banyak bagian floury.
Pengujian untuk melihat kekerasan biji dapat dilakukan dengan membelah biji sorgum (20 biji)
menjadi 2 bagian yang masing-masing mengandung lembaga dengan jumlah yang sama. Biji
sorgum dikatakan corneous jika lebih dari 50% endosperm bening (translucent), intermediate jika
bagian corneous terlihat jelas namun kurang dari 50% dan bagian tengahnya nampak bagian
yang putih seperti kapur, floury jika (hampir) semua bagian endosperm floury atau pada bagian
terluar endosperm ada bagian corneous yang tidak jelas terbentuk (Taylor & Taylor, 2008)

12
2.3 Morfologi Biji Sorgum
Biji sorgum termasuk dalam kariopsis, yaitu buah berbiji tunggal yang dibungkus oleh kulit
biji yang bersatu dengan dinding buah (Serna-Saldivar & Rooney, 1995). Biji sorgum memiliki
bentuk, ukuran dan variasi yang beragam. Bentuk biji sorgum umumnya berupa oval hingga bulat
dengan variasi ukuran diameter 4-8 mm. Variasi bentuk dan ukuran sorgum dipengaruhi oleh
varietas tanaman. Ragam warna sorgum bisa berupa hitam, merah, ungu, cokelat, kuning, hingga
putih (Ratnavathi & Komala, 2016). Anatomi struktur biji sorgum diilustrasikan pada Gambar 2.1.

A C

13
D

Gambar 2.1 A. Malai dengan biji sorgum, b. Biji sorgum, c struktur biji d. sketsa struktur biji
sorgum serta penampakan lapisan perikarp. Gambar A, B, C (dokumen pribadi), gambar d
disalin dari (Earp et al., 2004)

Biji sorgum tersusun oleh 3 komponen yaitu: pericarp (lapisan terluar), endospem dan
lembaga (germ) yang terdiri dari embrio dan scutellum, dengan distribusi beratnya adalah
pericarp 6 %, endosperm 84% dan germ 10% (Waniska, 2005). Besaran komponen penyusun
tersebut dipengaruhi oleh varietas tanaman dan lingkungan pertumbuhan.

1. Perikarp
Perikarp memiliki ketebalan sekitar 8-160 μm dengan susunan tiga lapisan, yaitu epikarp,
mesokarp, dan endokarp. Lapisan epikarp sendiri disusun atas lapisan epidermis yang
merupakan lapisan terluar dan lapisan hipodermis. Lapisan epidermis umumnya dilapisi lilin serta
memiliki sel berbentuk memanjang dengan dinding sel yang tebal. Pada lapisan ini, sering pula
ditemukan materi berpigmen. Secara genetik, perikarp sorgum dapat berwarna merah, putih/tidak
berwarna dan kuning (lemon) dan endospermnya putih atau kuning. Tidak seperti kebanyakan
sereal, mesokarp sorgum tersusun oleh 3 sampai 4 lapisan yang mengandung granula pati kecil.
Lapisan paling dalam perikarp adalah endokarp yang tersusun atas cross cell dan tube cell yang
memiliki fungsi utama dalam transportasi air (Serna-Saldivar & Rooney, 1995).
Kulit biji atau testa terletak antara perikarp dan aleuron dan menyelubungi endosperma.
Ketebalan testa bervariasi antara 8-40 μm dipengaruhi oleh pembawa gen tanaman. Biji sorgum
umumnya berwarna kuning atau merah pada bagian perikarp. Warna pada biji ini berasal dari
pigmen pada perikarp dan testa yang menghasilkan warna cokelat tua atau cokelat kemerahan
pada biji. Selain berperan dalam memberikan warna pada biji, testa juga mengandung tanin yang
memiliki rasa pahit. Biji sorgum yang berwarna coklat umumnya memiliki kandungan tanin tinggi
dan dapat mempengaruhi cita rasa sorgum yang rendah (Hariprasanna & Patil, 2015).
Kandungan senyawa fenolik pada kulit sorgum ini lebih tinggi hingga enam kali lipat dibandingkan
biji sorgum secara keseluruhan. Bagian sorgum ini paling menarik perhatian karena kandungan

14
komponen bioaktif fenolik 3-deoksiantosianidin dan tanin yang berpotensi dimanfaatkan sebagai
pangan fungsional dan bahan pangan lain (Awika et al., 2005).

2. Endosperm
Endosperm sebagai jaringan cadangan makanan terdiri dari lapisan aleuron, periperal
endosperma, endosperma keras (vitreous/corneous), dan endosperma lunak (floury). Lapisan
aleuron merupakan lapisan yang terletak langsung di bawah lapisan kulit biji. Selain kaya akan
kandungan protein dan enzim, aleuron juga mengandung minyak, vitamin B komplek, dan
mineral. Posisi periperal endosperma sebenarnya masih belum dapat didefinisikan secara pasti,
namun pada umumnya lapisan ini terletak tepat di bawah lapisan aleuron dengan ketebalan dua
hingga enam blok sel. Setelah periperal endosperm, tepat dibawahnya yaitu endosperma keras
dan diikuti endosperma lunak. Endosperma sorgum memiliki kandungan pati tinggi yang terletak
dari dua bagiannya yaitu endosperma keras dan endosperma lunak. Endosperma keras dan
lunak dapat dibedakan berdasarkan bentuk granula pati dan matriks protein yang
mengelilinginya. Endosperma keras memiliki granula pati berbentuk poligonal dan dikelilingi oleh
matriks protein secara kontinu. Sedangkan endosperma lunak memiliki granula pati yang
berbentuk bulat dan dikelilingi oleh matriks protein yang jarang (Rooney & Miller, 1982).

3. Germ
Bagian lembaga atau germ ini tersusun dari lemak dan protein, juga kaya akan kandungan
vitamin, terutama vitamin B kompleks dan vitamin larut lemak, serta mineral. Berdasarkan FAO
(1991) germ mengandung antara lain; protein (18,9%), abu (10,4%), lemak (28,1%), pati (13,4%),
niacin (8,1 mg/100g), dan riboflavin (0,39 mg/100g).

2.4 Karakteristik Kimia Biji Sorgum


Biji sorgum kering memiliki persentase padatan pada biji hingga mencapai 92,50%, protein
kasar 9,50%, ekstrak ether 2,55%, serat kasar 2,70%, total abu 1,25% dan 76,60% Bahan
Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)/ Nitrogen Free Extract (NFE). Sebenarnya, kandungan protein
sorgum sedikit lebih tinggi dibandingkan jagung, namun seperti kebanyakan serealia lainnya,
sorgum tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh akan asam amino lysin dan triptopan. Selain itu,
zat anti nutrisi dalam sorgum berupa tanin juga dapat berikatan dengan protein sehingga
menggangu penyerapan zat gizi tubuh.

1. Kandungan Nutrisi Biji Sorgum


Kandungan nutrisi dalam sorgum sangat bervariasi, karena dipengaruhi kuat varietas
tanaman. Secara umum kandungan nutrisi utama penyusun sorgum meliputi karbohidrat (pati
dan polisakarida bukan pati), protein, lemak. Sedangkan menurut USDA (2019), dalam setiap
100 gram sorgum utuh rata-rata mengandung sekitar 72,1 gram karbohidrat; 12,4 gram air; 10,6
gram protein; 6,7 gram serat; dan 3,5 gram lemak dan dapat menghasilkan energi sekitar 1377

15
kJ. Nutrisi dari biji sorgum utuh beserta bagian-bagiannya ditampilkan pada tabel di bawah ini
(Kulamarva et al., 2009).

Tabel 2. 1 Nutrisi biji sorgum utuh beserta bagian-bagiannya


% Niasin Piridoksin
Protein Mineral Lemak Pati Riboflavin
Bagian biji berat (mg/ (mg/
(%) (%) (%) bg (%) (mg/ 100g)
biji 100g) 100g)

Biji utuh 100 12,3 1,67 3,6 73,8 4,5 0,13 0,47
Endosperma 82,3 12,3 0,37 0,6 82,5 4,4 0,09 (50) 0,40 (76)
(80) (20) (13) (94) (76)
Germ 9,8 18,9 10,4 28,1 13,4 8,1 0,39 (28) 0,72 (16)
(15) (69) (76) (20) (17)
Kulit ari 7,9 6,7 2,0 (11) 4,9 34,6 4,4 (7) 0,40 (22) 0,44 (8)
(bran) (43) (11) (4)

Keterangan: nilai di dalam kurung merupakan persentase nutrisi terhadap keseluruhan biji
(Kulamarva et al., 2009)

a. Karbohidrat
Pati merupakan karbohidrat penyusun utama pada sorgum yang disimpan dalam bentuk
granula pati di endosperma. Kandungan pati dalam 100 gram biji sorgum bervariasi dari 32,1
hingga 72,5 gram (Udachan et al., 2012). Pati sorgum sebagian besar didominansi oleh amilosa
dan amilopektin, namun sebagian jenis sorgum, seperti waxy sorgums mungkin tidak memiliki
amilosa atau memiliki kandungan amilosa yang sedikit (Dicko et al., 2006). Hasil genetic mapping
yang dilakukan oleh Chen (2019) pada 634 jenis sorgum dengan kandungan rata-rata pati
67,64% (amilosa 20,19% dan amilopektin 79,81%), merekomendasikan bahwa terdapat kaitan
antara kandungan pati dengan genome; dan allele C berhubungan dengan kandungan pati yang
tinggi, sedangkan allele T terkait dengan kandungan pati yang rendah.
Pati sorgum memiliki daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis serealia
lainnya. Beberapa faktor yang menyebabkan daya cerna pati rendah adalah kandungan pati
resisten yang sulit dicerna tubuh, serta faktor lain seperti ikatan kuat antar granula pati, protein
granula, dan kandungan tanin (Barros et al., 2012). Shaikh et al (2019) menyebutkan bahwa pati
sorgum ke depannya berpotensi dikembangkan menjadi pengganti pati jagung karena kemiripan
sifat fungsionalnya. Keberadaan pati resistan pada pati sorgum dapat ditingkatkan menggunakan
modifikasi kimia menggunakan asam sitrat dan asam laktat dikombinasi dengan perlakuan
panas; dengan cara tersebut juga dapat menurunkan IG dari 74 menjadi 49,7 sehingga pati ini
sesuai digunakan untuk pangan berkalori rendah
Sorgum merupakan salah bahan pangan yang kaya akan serat. Kandungan karbohidrat
bukan pati dalam sorgum sebagian besar terdiri atas serat tidak larut sebesar 75-90% serta serat
larut air sebesar 10-25%. Kadar serat dalam 100 gram berkisar antara 6-15 gram dan banyak
terkandung dalam dinding sel endosperma dan perikarp (Knudsen & Munck, 1985)

16
b. Protein
Protein dalam sorgum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu protein
prolamin (seperti kafirin) dan protein non-prolamin, seperti globulin, glutelin, dan albumin. Bentuk
protein utama yang terdapat dalam sorgum adalah Kafirin yang menyumbang hingga 70% dari
total protein biji gandum, sedangkan sisanya berupa albumin, gluten, dan globulin. Berdasarkan
berat molekulnya, kafirin terbagi menjadi empat, yaitu α-, β-, γ-, dan δ-kafirin yang tersimpan
dalam endosperma. Selain itu, biji sorgum juga mengandung asam glutamat, prolin, dan leucine.
Namun seperti kebanyakan serealia lainnya, asam amino dalam biji sorgum kurang sempurna
karena kekurangan asam amino lysin. Kekurangan asam amino ini sebenarnya masih dapat
diatasi dengan mengembangkan sistem breeding, atau fortifikasi pangan (Belton & Taylor, 2004).
Daya cerna protein sorgum memang masih terbilang rendah. Menurut Duodu et al (2003)
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kecernaan protein sorgum, yang terbagi
sebagai faktor luar (exogenous) dan faktor dalam (endogenous). Faktor luar adalah faktor yang
berasal dari interaksi antara protein sorgum dengan komponen non protein seperti polifenol,
polisakarida non pati, pati, asam fitat dan lemak. Sedangkan yang dimaksud faktor dalam adalah
faktor yang diakibatkan oleh perubahan struktur dalam protein sorgum, bukan merupakan
interaksi dengan komponen non protein. Kafirin memiliki derajat polimerisasi tinggi dan
banyaknya ikatan disulfida yang membuatnya resisten terhadap enzim pencernaan dalam
saluran pencernaan. Woo et al (2004) menyatakan bahwa rendahnya daya cerna protein sorgum
oleh pepsin, terutama disebabkan oleh resistensi kafirin, protein utama sorgum yang memiliki
lebih banyak ikatan inter dan intra disulfida. ikatan yang kuat antara tanin dan pati juga dapat
mengganggu pencernaan protein. Meskipun daya cerna protein dan pati pada sorgum rendah,
karakteristik ini dapat dimanfaatkan sebagai makanan yang menjanjikan untuk orang penderita
obesitas dan diabetes (Xiong et al., 2019b).

c. Lemak, Vitamin, dan Mineral


Lemak dalam sorgum tersusun atas asam lemak tak jenuh, seperti asam oleat, linoleat,
palmitat, linolenat, dan stearat. Kandungan asam lemak dalam biji sorgum ini mirip dengan asam
lemak yang terkandung dalam jagung, namun lemak dalam sorgum lebih tidak jenuh
dibandingkan dengan jagung (Adeyeye & Ajewole, 1992). Sorgum juga sumber vitamin dan
mineral yang baik bagi tubuh karena mengandung berbagai macam vitamin seperti vitamin B
kompleks (piridoksin, riboflavin, dan tiamin), serta vitamin larut lemak (A, D, E dan K). Mineral-
mineral utama yang terkandung dalam sorgum meliputi kalium, fosfor, magnesium, dan seng
(USDA, 2019). Kombinasi antara kandungan tinggi pati resisten, serat, daya cerna protein
(kafirin) yang relatif rendah, serta kandungan asam lemak tak jenuh membuat sorgum menjadi
bahan pangan yang memiliki kandungan gizi yang unik dan berpotensi untuk dimanfaatkan
sebagai bahan pangan fungsional yang bermanfaat bagi manusia.

17
2. Fenolik pada Biji Sorgum
Komponen bioaktif yang paling mendominansi dalam biji sorgum adalah komponen fenolik.
Jenis senyawa fenolik yang terkandung dalam biji sorgum meliputi asam fenolat, flavonoid, tanin
(condensed tannin), stilben, dan lignin yang diproduksi oleh tumbuhan melalui jalur fenilpropanoid
(phenylpropanoid pathway). Pada pembahasan ini, akan dijabarkan lebih lanjut mengenai
beberapa komponen fenolik utama penyusun pada biji sorgum, yaitu asam fenolik, flavonoid (3-
deoksiantosianidin), dan tanin.

a. Asam Fenolat
Asam fenolat merupakan jenis senyawa fenolik yang paling sederhana. Kandungan asam
fenolat dalam biji sorgum berkisar antara 445-2850 μg/g (Girard & Awika, 2018). Berdasarkan
strukturnya, asam fenolat dibagi menjadi dua, yaitu asam benzoat (benzoic acid) dan asam
sinamat (cinnamic acid) yang ditunjukkan pada gambar 2.2 di bawah ini. Jenis asam fenolat
turunan yang sering ditemukan dalam biji sorgum yaitu berupa asam galat, vanillic, protokatekuat,
sinamat, p-kumarik, p-hidroksilbenzoat, syringic, ferulat, kafeat, dan sinapic (Vanamala et al.,
2018).
Asam fenolat dalam biji sorgum terkandung pada bagian perikarp, endosperma, dan testa
giji sorgum. Asam fenolat ini dapat ditemukan dalam bentuk bebas maupun terikat. Asam fenolat
bebas dapat diekstrak menggunakan pelarut organik karena tidak terikat dengan dinding sel dan
banyak ditemukan pada bagian perikarp dan testa. Bentuk terikat asam fenolat ini biasanya
berikatan dengan karbohidrat monometrik dan gliserol yang berbentuk bebas sebagai ester
terkonjugasi atau dalam bentuk terikat sebagai aldehid. Bentuk ester terkonjugasi ini biasanya
mendominasi pada hasil ektraksi asam fenolik dari sorgum (Xiong et al., 2019b).

R1 R2 R3 R4
Asam salisilat H H H OH
Asam p-Hydroksibensoit H OH H H
Asam gentisat OH H H OH
Asam protokatekuat H OH OH H
Asam galat OH OH OH H
Asam vanilat H OH OCH3 H
Asam syringat OCH3 OH OCH3 H

Asam benzoat dan turunannya

R1 R2 R3 R4
Asam p-koumarat H OH H H
Asam kafeat H OH OH H
Asam ferulat OCH3 OH H H
Asam sinapat OCH3 OH OCH3 H
Asam klorogenat H OH OH C7H9O5

Asam sinamat dan turunannya


Gambar 2. 2. Struktur asam benzoat dan asam sinamat beserta turunannya (Egawa et al.,
2017).

18
Sekitar 70-95% asam fenolat tersimpan dalam bentuk berikatan, sedangkan untuk
mengektrak asam fenolat dari dalam sorgum memerlukan perlakuan khusus karena ikatan
kovalen asam fenolat merupakan bagian dari struktur dinding sel. Perlakuan yang dapat
dilakukan untuk memutuskan ikatan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan suasana
asam atau basa dan perlakuan panas untuk memutuskan ikatan kovalen (Wu et al., 2017).
Kebanyakan asam fenolat terikat tersebut didominansi oleh asam ferulat sekitar 90% dari total
asam fenolat terikat. Jumlah asam ferulat sendiri umumnya berkisar antara 100-500 μg/g biji
sorgum. Hal inilah yang menyebabkan daya cerna asam fenolat rendah karena adanya ikatan
kovalen pada senyawa fenol menyebabkannya resisten terhadap enzim pencernaan (Saura-
Calixto, 2011). Selain itu, adanya asam fenolat yang berikatan langsung dengan dinding sel ini
juga menandakan bahwa konsentrasi asam fenolat juga berpengaruh terhadap kekokohan
dinding sel dan membantu meningkatkan kekuatan biji (Chiremba et al., 2012).

b. Flavonoid
Flavonoid banyak ditemukan pada bagian kulit biji sorgum. Jenis dan konsentrasi flavonoid
dapat mempengaruhi warna dan ketebalan perikarp, serta mempengaruhi ada atau tidaknya
keberadaan pigmen pada testa. Flavonoid memiliki kerangka dasar flavan dan klasifikasi
flavonoid nantinya akan ditentukan berdasarkan keberadaan ikatan rangkap pada C2 dan C3,
serta gugus substitusi pada cincin karbon. Beberapa jenis flavonoid yang telah ditemukan dalam
sorgum yaitu antosianin (3-deoksiantosianidin), flavona, flavanon, flavan-3-ols, flavan-4-ols,
flavanol, dan dihidroflavonol. Jenis flavonoid yang paling dominan dari semua flavonoid tersebut
adalah 3-deoksiantosianidin, flavona, dan flavanon (Awika, 2017).

1) Flavona (Flavones)
Flavona merupakan flafonoid berwarna kekuningan yang umumnya terdapat pada buah,
sayur, umbi-umbian, juga biji-bijian serealia. Meskipun kandungan flavona dalam serealia tidak
terlalu dominan, namun keberadaannya sendiri dapat bermanfaat sebagai sumber flavona dalam
gaya pola makan manusia. Kandungan flavone di biji sorgum cukup rendah dibandingkan
senyawa flavonoid lainnya, yaitu sekitar 20-30 μg/g (Girard & Awika, 2018).
Luteolin dan Apigenin dalam bentuk aglikon, merupakan jenis flavona paling dominan
dalam biji sorgum. Berbeda pada serealia lainnya, jenis flavona yang dominan biasanya adalah
apigenin dalam bentuk glikosida (c-glikosida). Beberapa flavonoid seperti luteolin memiliki bentuk
alami berupa glikosida, namun flavonoid lain seperti apigenim memiliki bentuk aglikon. Sorgum
sebenarnya memiliki flavona bentuk glikosida, namun glikosida dalam sorgum sebagian besar
berbentuk o-glikosida. Bentuk ini sangat tidak stabil dalam kondisi asam karena ikatan glikosidik
sangat mudah terhidrolisis sehingga menghasilkan bentuk aglikon. Namun kenyataannya
glikosida dalam bentuk o-glikosida lebih mudah dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan c-
glikosida karena pada suasana asam dalam perut manusia, o-glikoside akan mudah terhidrolisis

19
sehingga bentuk ini memiliki bioaktivitas yang tinggi meskipun dalam konsentrasi yang kecil. Hal
ini menandakan bahwa flavona sorgum lebih baik dibandingkan serealia lain karena memiliki nilai
bioavaibilitas yang lebih tinggi. Menurut penelitian sebelumnya, sorgum yang dinilai memiliki
kandungan flavona yang tinggi adalah varietas sorgum dengan perikarp berwarna merah atau
kuning (Dykes et al., 2009).

2) Flavanon
Flavanon banyak tersebar dalam jaringan tumbuhan berupa naringenin, flavanon
merupakan jenis flavonoid turunan utama, namun keberadaan senyawa ini dalam serealia masih
terbilang jarang, kecuali pada sorgum. Pengecualian pada sorgum karena beberapa varietas
sorgum diketahui memiliki kandungan flavanon yang tinggi dibandingkan bahan pangan lain.
Kadar flavanon dalam sorgum bervariasi dari 0 sampai 2000 μg/g. jenis sorgum yang memiliki
kandungan flavanon yang paling tinggi adalah sorgum dengan perikarp berwarna kuning,
sedangkan sorgum putih memiliki kadar flavanon yang paling rendah (Dykes et al., 2011).
Naringenin dan eriodiktiol glikosida merupakan flavanon utama dalam biji sorgum, sedangkan
bentuk turunan aglikon dan o-metil dari flavanon tersebut cukup sedikit. Serupa dengan
penjelasan flavona sebelumnya, bentuk glikosida dari flavanon didominasi oleh o-glikosida yang
sensitif terhadap pH rendah, mudah terhidrolisis (hydrolyzable), dan bioavaibilitas yang tinggi.

3) 3-Deoksiantosianidin (3-Deoxyanthocyanidins)
Flavonoid yang paling menarik dari sorgum yaitu antosianin karena merupakan salah satu
sumber pigmen dan antioksidan alami. Antosianin alami yang terdapat dalam tumbuhan biasanya
ditemukan dalam bentuk C-3-hidroksi antosianin, namun berbeda pada sorgum. Antosianin yang
ditemukan dalam sorgum yaitu 3-deoksiantosianin yang merupakan analog dari 3-hidroksi
antosianin. Subkelas antosianin ini cukup langka untuk ditemukan. Meskipun keduanya antara 3-
hidroksi antosianin dan 3-deoksiantosianin berasal dari jalur biosintetik flavanon, namun zat ini
berbeda dengan flavanon. Perbedaan utama antara 3-deoksiantosianin dengan antosianin
adalah hilangnya guguh –OH pada posisi C-3 sehingga menghasilkan karakteristik kimia yang
unik pada 3-deoksiantosianin sorgum ini. Bentuk 3-deoksiantosianin utama yang terdapat pada
sorgum adalah aglikon apigeninidin dan luteolinidin beserta turunannya (Awika et al., 2004).
3-Deoksiantosianidin merupakan flavonoid yang paling melimpah dalam sorgum dengan
konsentrasi 200 sampai 4500 μg/g. Bahkan terdapat beberapa jenis sorgum yang memiliki
kandungan 3-deoksiantosianidin hingga mencapai 80% dari total flavonoid biji. Bagian kulit ari biji
(bran layer) merupakan titik yang mengandung tinggi 3-deoksiantosianidin hingga empat atau
lima kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi dari biji utuh (whole grain). Sorgum dengan
perikarp berwarna merah genotip, seperti sorgum hitam, sorgum merah, dan sorgum cokelat
memiliki kandungan 3-deoksiantosianidin yang lebih kaya. Sorgum hitam memiliki kandungan 3-
deoksiantosianidin yang paling tinggi dibandingkan jenis sorgum lainnya yaitu sebesar 1790-6120

20
μg/g. Jumlah tersebut dua kali lebih tinggi dibandingkan kandungan 3-deoksiantosianidin dalam
sorgum merah dan sorgum cokelat. Selain pada bagian biji, kandungan flavonoid ini juga
tersimpan dalam bagian tumbuhan sorgum lainnya, seperti daun dan kelopak dengan konsentrasi
hingga 90.000 μg/g (Dykes et al., 2009).
3-Deoksiantosianidin memiliki berbagai manfaat, selain sebagai antioksidan alami,
flavonoid ini juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba. Sorgum sebagai sumber 3-
deoksiantosianidin memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber pangan
kaya antioksidan yang menjanjikan. Potensi antosianin ini juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pewarna alami untuk pangan dan berbagai aplikasi lainnya (Xiong et al., 2019a).

c. Tanin Terkondensasi (Condensed Tannin)


Secara alami, tanin banyak terdapat di berbagai tanaman, seperti anggur, teh, dan kacang-
kacangan dalam bentuk monomer atau oligomer dengan berat molekul rendah. Namun, tanin
pada sorgum berbeda karena tersedia dalam bentuk terkondensasi (condensed tannins atau
proantosianidin) dengan berat molekul dan tingkat polimerisasi (degree of polymerazation/ DP)
yang tinggi. Tanin terkondensasi dalam sorgum berupa oligomer dan polimer, seperti flavan-3-ol
dan flavan-3,4-diol dengan DP sekitar 20. Nilai DP tersebut cukup tinggi dibandingkan tanin pada
serealia lain yang umumnya memiliki DP 3 sampai 10. Selain dalam bentuk tanin terkondensasi,
sorgum juga memiliki sejumlah kecil tanin dengan berat molekul kecil seperti monomer katekin
atau dimerprocyanidin B1.
Kandungan tanin dalam sorgum sangat bervariasi antar varietas tanaman sorgum. Sorgum
yang memiliki pigmen pada bagian testa umumnya memiliki kadar tanin terkondensasi yang
tinggi. Konsentrasi tanin pada sorgum tipe tertentu bahkan 10 kali lebih tinggi dibandingkan
serealia lain yang juga mengandung tanin (Wu et al., 2012). Sorgum dengan kandungan tanin
yang tinggi ini memiliki keunggulan di bidang agronomi. Tanin dalam sorgum ini dapat melindungi
tanaman dari serangan patogen dan burung. Senyawa fenolik yang secara alami terdapat dalam
sorgum telah banyak dimanfaatkan manusia, baik sebagai komponen makanan juga dampak
positif bagi kesehatan yang saat ini telah banyak diteliti (Xiong et al., 2019b)

3. Komponen Anti-nutrisi pada Biji Sorgum


Sorgum telah dimanfaatkan secara luas di berbagai belahan dunia. Meskipun pemanfaatan
sorgum telah banyak diaplikasikan pada berbagai bahan pangan, namun sorgum memiliki
komponen anti-nutrisi berupa tanin, tripsin inhibitor dan asam fitat (Obizoba & Atii, 1991).

a. Tanin
Senyawa tanin pada biji sorgum seperti dituliskan Beta et al (2000) dibedakan menjadi
asam fenolat, flavonoid dan condensed tanin. Kandungkan tanin sangat bervariasi antar varietas,
pada jenis sorgum yang berwarna cokelat pada bagian perikarp serta memiliki testa sangat tinggi,
sedangkan kandungan tanin pada biji sorgum tanpa pigmen sangat rendah. Awika et al (2003)
21
menyebutkan condensed tanin yang biasa disebut procianidin merupakan komponen fenolik
utama pada sorghum. Komponen tersebut terkonsentrasi pada testa dan pericarp sorghum.
Keberadaan tanin ini kebanyakan tidak diinginkan, karena merupakan antigizi yang mampu
mengikat makromolekul pangan dan kemudian menurunkan kecernaannya.
Tanin dapat mengikat dan mengendapkan protein, sehingga protein tidak dapat dicerna
oleh tubuh. Selain itu, tanin dapat berinteraksi dengan enzim pencernaan dan dapat menurunkan
aktivitas kerja enzim. Kandungan tanin pada sorgum ini dapat berakibat pada menurunnya cita
rasa produk sorgum dan mengurangi daya cerna dan pemanfaatan nutrisi. Beberapa perlakuan
seperti pengeringan, perendaman, penggilingan, dan fermentasi dapat membantu menurunkan
kadar tanin pada bahan.
Kandungan tanin dapat diprediksi dari warna biji sorgum. Sedghi et al (2012) yang
menghubungkan warna Lab dengan kandungan tanin 33 sampel biji sorgum dari berbagai kultivar
mendapatkan angka R2 dengan regresi 0.88 dan ANN 0.96.
Condensed tannins atau proanthocyanidins yang terdapat pada sorgum memang dapat
menurunkan kecernaan protein, namun juga merupakan sumber antioksidan yang tinggi.
Kombinasi inilah yang menyebabkan sorgum dapat dimanfaatkan untuk menekan obesitas.
Kandungan tanin bervariasi antar varietas sorgum, namun jumlah tanin pada sorgum lebih besar
dari buah-buahan, kacang-kacangan dan biji-bijian yang lain. Menurut Wu et al (2012) biosintesa
tanin pada sorgum ditentukan oleh nukleotida polymorphisms dengan kode WD40 protein pada
gen Tan1. Sebelumnya disebutkan oleh Rooney & Miller (1982) bahwa keberadaan senyawa
fenol, pigmentasi, warna pericarp dan testa dikontrol oleh gen R, Y, B1, B2 dan S. Jika gen R
dan Y dominan maka antosianidin meningkat dan warna perikarp menjadi merah. Keberadaan
lapisan testa dan tanin di dalam sorgum ditentukan oleh gen B1 dan B2. Jika gen S dominan, lalu
terdapat gen B1 dan B2 maka kandungan fenol dan tanin pada seluruh biji meningkat.

b. Tripsin Inhibitor
Tripsin inhibitor merupakan salah satu anti-nutrisi yang banyak tersebar di tanaman,
khususnya umbi-umbian dan serealia. Tripsin inhibitor memiliki kemampuan untuk menghambat
kerja enzim proteolitik dalam sistem pencernaan sehingga dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan hipertropi pankreas dan menghambat pertumbuhan. Beberapa proses
pengolahan seperti perlakuan panas, perendaman, perkecambahan, fermentasi, dan radiasi
banyak diteliti untuk mengurangi kadar senyawa anti-nutrisi dalam sorgum sehingga dapat
meningkatkan daya cerna pati dan protein sorgum. Namun, proses pengolahan tidak selalu dapat
meningkatkan nilai daya cerna nutrisi, salah satu dampak yang tidak diinginkan juga yaitu
meningkatkan kestabilan senyawa anti nutrisi. Ketika dimasak dengan air berlebih, tripsin inhibitor
menjadi stabil terhadap kondisi lingkungan asam (Mohapatra et al., 2019; Rahman & Osman,
2011). Aktivitas tripsin inhibitor pada 3 sampel sorgum varietas Hamra, Shehla dan Baida masing-

22
masing adalah 29,8, 26,3, dan 29,9 (TIU/mg sampel), dan aktivitas itu menurun masing-masing
37, 58 dan 43% setelah difermentasi 24 jam (Osman, 2004).

c. Asam Fitat
Asam fitat (asam myo-inositol heksafosfor) secara umum ditemukan dalam biji-bijian dalam
bentuk campuran garam antara kalium, magnesium, dan kalsium. Kandungan asam fitat dalam
sorgum bervariasi antar varietas tanaman, yaitu berkisar 0,27-1%. Bagian germ biji menjadi titik
dengan konsentrasi asam fitat dari keseluruhan biji utuh, namun asam fitat juga dapat ditemukan
pada perikarp. Struktur molekul asam fitat yang terdiri dari enam gugus fosfor membuatnya
sebagai pengkelat yang efektif. Struktur ini memungkinkan asam fitat untuk membentuk kompleks
tak larut dengan kation mineral dan protein sehingga menurunkan ketersediaan mineral tubuh
dan daya cerna protein (Duodu et al., 2003).

2.5 Daya Cerna Sorgum


Protein pada sorgum memiliki daya cerna yang lebih rendah dibanding sereal yang lain,
karena protein sorghum mengandung lebih banyak ikatan silang disulfit dibanding jagung dan
millet. Hal ini kemudian dibuktikan oleh Woo et al (2004) dan menyatakan bahwa rendahnya daya
cerna protein sorghum oleh pepsin, terutama disebabkan oleh resistensi kafirin, protein utama
sorghum yang memiliki lebih banyak ikatan inter dan intra disulfit. Selain struktur protein
kandungan senyawa fenolik, seperti tanin juga dapat mengurangi daya cerna nutrisi dengan
berinteraksi dengan protein dan enzim pencernaan. Kecernakan In vitro protein meningkat, bila
bagian pericarp dan lembaga sorgum dihilangkan (Duodu et al., 2003)
Menurut Duodu et al (2003) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya
kecernaan protein sorghum, yang terbagi sebagai faktor luar (exogenous) dan faktor dalam
(endogenous). Faktor luar adalah faktor yang berasal dari interaksi antara protein sorghum
dengan komponen non protein seperti polifenol, polisakarida non pati, pati, asam fitat dan lemak.
Yang termasuk dalam faktor luar adalah 1) struktur biji; 70% protein tersimpan dalam
endosperma, daya cerna protein in vitro pada sorgum lebih baik ketika perikarp dan germ yang
banyak mengandung polifenol, fitat dan polisakarida non-pati dihilangkan, 2) Komponen
polifenol; tanin memiliki kemampuan untuk mengikat protein 12 kali lipatnya dengan ikatan
hidrogen dan hidrofobik non-polar; dan secara teoritis, sorgum dengan kandungan tanin tinggi (2-
4%) dapat mengikat seluruh protein dalam biji yang umumnya sebesar 10%. 3) fitat; struktur
molekul asam fitat yang terdiri dari enam gugus fosfor memungkinkan untuk membentuk
kompleks tak larut dengan kation mineral dan protein sehingga menurunkan ketersediaan mineral
tubuh dan daya cerna protein. 4) struktur dinding sel; sekitar 46% protein di endosperma
berikatan dengan komponen dinding sel (serat; selulosa dan polisakarida non-selulosa, terutama
heteroksilan dan β-D-glukan). Ikatan antara protein dengan komponen karbohidrat terjadi ketika
gugus –OH pada polipeptida berikatan dengan karbohidrat melalui ikatan o-glikosidik sehingga

23
dihasilkan glikoprotein yang resisten terhadap enzim protease. Ikatan silang tyrosil-feruloyl dapat
terbentuk antara protein dengan arabinoxylan, sehingga akan terjadi adhesi antara protein
dengan dinding sel.
Lebih lanjut Duodu et al (2003) menjelaskan yang dimaksud faktor dalam adalah faktor
yang diakibatkan oleh perubahan struktur dalam protein sorghum itu sendiri, bukan merupakan
interaksi dengan komponen non protein. Yang termasuk faktor dalam adalah 1) Ikatan silang
protein yang dapat menyebabkan menurunnya daya cerna protein karena struktur protein
berubah dan sulit untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan, 2) rasemisasi dan isopeptida,
perubahan bentuk L-amino menjadi D-amino dan pembentukan ikatan peptida L-D, D-L, dan D-
D, asam aminomenjadikan protein lebih sulit dicerna protease; perubahan bentuk itu dapat terjadi
karena perlakuan alkali hingga asam kuat, atau perlakuan pemanasan protein, 3) Ikatan silang
disulfida yang terbentuk ketika sorgum dimasak; oligomer dan polimer protein akan membentuk
ikatan disulfida antara β- dan γ-kafirin atau protein lain di luar matriks protein, sehingga protein
lebih sulit dihidrolisis enzim karena letak protein yang sulit dijangkau, 4) hidrofobisitas protein;
70% protein sorgum adalah kafirin yang bersifat hidrofobik, sementara enzim pencernaan
umumnya bekerja dalam lingkungan aqueous, sehingga kafirin yang hidrofobik akan sulit diakses
oleh enzim, 5) perubahan struktur sekunder α-helikal protein karena putusnya ikatan hidrogen
saat pemanasan menjadi bentuk β-sheet intermolekular antiparalel (Duodu et al., 2003).
Kecernaan pati sorgum dalam bentuk isolated pati lebih tinggi daripada dalam bentuk
tepung dari biji utuh. Tanpa didahului dengan perlakuan pepsin, kecernaan pati dari tepung
sorgum utuh (whole grain sorghum flour) dan dari pati isolat hanya 48-52% (pati 60-62%) pada
240 menit direaksikan dengan α-amilase, namun demikian kecernaan pati meningkat jika
sebelumnya diperlakukan dengan pepsin. Pepsin akan memecah matrik protein yang terikat
dengan granula pati, sehingga enzim amilase lebih bisa mengakses pati/substartnya. Kecernaan
pati dipengaruhi oleh kandungan amilopektin dan amilosa, keberadaan komponen non-pati,
seperti protein, akan memperlambat gelatinisasi pati. Hidrolisis pati secara enzimatis juga
terhambat dengan keberadaan matrik antara protein dengan enzyme inhibitor (Srichuwong et al,
2017). Tanin juga dapat menghambat kerja enzim amilase.
Matriks yang terbentuk antara granula pati dan protein diduga menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan daya cerna pati rendah karena interaksi antara kedua komponen tersebut
yang sangat dekat pada endosperma sorgum. Interaksi antara pati dan protein ini dapat
mengurangi proses hidrolisis pati, baik dari proses pemasakan maupun oleh enzim. Hal ini juga
disebabkan karena matriks protein yang mengelilingi granula protein bertindak sebagai barrier
yang menghalangi gelatinisasi pati. Ikatan disulfida pada matrik protein dapat menghalangi
proses pencernaan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan daya cerna sorgum ini adalah
dengan mereduksi tepung sorgum dengan enzim pepsin sebelum proses pemasakan atau
perlakuan penambahan agen pereduksi (dithiothreitol) saat pemasakan, sehingga merusak
24
ikatan disulfida yang mengelilingi granula pati dan meningkatkan gelatinisasi dan daya cerna pati.
Selain ikatan antara protein dan pati, adanya pati resisten juga merupakan salah satu faktor
rendahnya daya cerna pati. Pati resisten yang terbentuk pada sorgum juga dapat membentuk
kompleks dengan protein kafirin pada sorgum sehingga lebih sulit dicerna oleh enzim pencernaan
(Duodu et al., 2003).

Upaya-upaya untuk meningkatkan nilai cerna protein sorghum telah dilakukan. Hamaker et
al (1987) menggunakan bahan-bahan pereduksi seperti 2-mercaptoethanol, terbukti
meningkatkan 25% nilai cerna protein sorghum. Arbab & Tinay (1997) menggunakan pemasakan
yang dikombinasi dengan pemakaian Na bisulfit dan asam askorbat. Perendaman dalam Na-
bisulfit juga dilakukan oleh Woo et al (2004). Sebelumnya, McLean, 1983 dan Graham, 1984
dalam Hamaker et al (1987) menyebutkan beberapa prosesing sorghum juga dapat
meningkatkan nilai cerna protein seperti proses ektrusi dan fermentasi untuk produk weaning
food.

2.6 Indeks Glikemik (IG) Sorgum


Pati sebagai sumber kalori utama dalam produk serealia memegang peranan penting
dalam pola makan sehat. Konsumsi kalori yang berlebihan telah menjadi tantangan kesehatan
global dibandingkan masalah kelaparan saat ini. Tantangan terkait dengan asupan kalori yang
berlebihan ini diperkirakan akan mendominasi masalah kesehatan global dalam beberapa
dekade mendatang. Pangan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan gula darah yang tinggi dalam waktu singkat sehingga diduga sebagai penyebab
berbagai masalah kesehatan, seperti diabetes. Sedangkan pangan rendah IG mengandung
karbohidrat yang memerlukan waktu yang lama untuk dicerna tubuh sehingga pelepasan gula
darah lebih lambat dan sedikit (Awika, 2017) .
Sorgum sebagai pangan alternatif berada di posisi yang menguntungkan karena dapat
memerangi asupan kalori berlebih tersebut. Sorgum dikenal sebagai salah satu serealia yang
memiliki nilai daya cerna pati yang lebih rendah dibandingkan jagung maupun seralia lain.
Sorgum mengandung tinggi kandungan fenol dan tanin yang dapat menghambat kerja enzim
pencernaan dengan menghambat interaksi antara molekul pati dengan enzim. Hal tersebut dapat
menurunkan nilai daya cerna pati dan meningkatkan terbentuknya pati resisten sehingga
menurunkan nilai IG makanan (Moraes et al., 2015; Shaikh et al., 2019).
Sorgum memiliki pati resisten yang tinggi yaitu sekitar 64-68% serta nilai IG yang cukup
rendah yaitu 68,3% bahkan bisa mencapai 48,5% pada perlakuan asam. Berdasarkan klasifikasi
penggolongan indeks glikemik, suatu pangan dikategorikan sebagai IG tinggi jika IG ≥ 70; sedang
jika IG 56-69; dan rendah jika IG ≤ 55. Tepung biji sorgum (whole sorgum flour) memiliki IG 68,3%
sehingga dikategorikan sebagai pangan dengan IG sedang. Berbeda dengan tepung pati
modifikasi sorgum yang memiliki IG 48,5% sehingga masuk dalam kategori pangan rendah IG.

25
Beberapa olahan pangan seperti bubur dan produk ekstrudat berbahan sorgum dengan
kandungan tanin tinggi cukup lama dicerna tubuh sehingga peningkatan gula darah lambat
karena nilai IG yang rendah. Beberapa faktor lainnya yang juga menyebabkan nilai IG dalam
produk sorgum rendah adalah kandungan komponen fenol, seperti flavonoid dan aktivitas
antioksidan yang berkolerasi negatif terhadap nilai indeks glikemik (Moraes et al., 2015).

26
DAFTAR PUSTAKA

Adeyeye, A & Ajewole, K. (1992). Chemical composition and fatty acid profiles of cereals in
Nigeria. Food Chemistry, 44(1):41-44. https://doi.org/10.1016/0308-8146(92)90255-Z
Arbab, M.E & El Tinay, A.H. (1997). Effect of cooking and treatment with sodium bisulphite or
ascorbic acid on the in vitro protein digestibility of two sorghum cultivars. Food Chemistry,
59, 339 -343
Awika, J.M. (2017). Sorgum: Its unique nutritional and health-promoting attributes. In: Taylor,
J.R.N. & Awika, J.M. (eds.). Gluten-free ancient grains (pp. 21-54). Amsterdam: Elsevier.
Awika, J.M., McDonough, C.M., & Rooney, L.W. (2005). Decorticating sorgum to concentrate
healthy phytochemicals. Journal of Agricultural Food Chemistry, 53(16):6230-6234.
https://doi.org/10.1021/jf0510384
Awika, J.M., & Rooney, L. W. (2004). Sorgum Phytochemicals and their Potential Impact on
Human Health. Phytochemistry 65 (2004) 1199-1221
Awika, J.M., Rooney, L.W., & Waniska, R.D. (2004). Properties of 3-deoxyanthocyanins from
sorgum. Journal of Agricultural Food Chemistry, 52(14):4388-4394.
https://doi.org/10.1021/jf049653f
Awika, J. M., Rooney, L. W., Wu, X., Prior, R. L., & Cisneros-Zevallos, L. (2003). Screening
methods to measure antioxidant activity of sorghum (Sorghum bicolor) and sorghum
products. Journal of agricultural and food chemistry, 51(23), 6657-6662.
Barros, F., Awika, J.M., & Rooney, L.W. (2012). Interaction of tannins and other sorgum phenolic
compounds with starch and effects on in vitro starch digestibility. Journal of Agricultural
Food Chemistry, 60(46):11609-11617. https://doi.org/10.1021/jf3034539
Belton, P.S., & Taylor, J.R. (2004). Sorgum and millets: protein sources for Africa. Trends in Food
Science Technology, 15(2):94-98
Beta, T., Rooney, L. W., Marovatsanga, L. T., & Taylor, J. R. N. (2000). Effect of chemical
treatments on polyphenols and malt quality in sorghum. Journal of Cereal Science, 31(3),
295-302.
CHEN, B. R., WANG, C. Y., Ping, W. A. N. G., ZHU, Z. X., Ning, X. U., SHI, G. S., ... & LI, S. J.
(2019). Genome-wide association study for starch content and constitution in sorghum
(Sorghum bicolor (L.) Moench). Journal of Integrative Agriculture, 18(11), 2446-2456.
Chiremba, C., Taylor, J.R., Rooney, L.W. & Beta, T. (2012). Phenolic acid content of sorgum and
maize cultivars varying in hardness. Food Chemistry, 134(1):81-88
Dicko, M.H., Gruppen, H., Zouzouho, O.C., Traoré, A.S., Van Berkel, W.J., & Voragen, A.G.
(2006). Effects of germination on the activities of amylases and phenolic enzymes in sorgum
varieties grouped according to food end-use properties. Journal of the Science of Food
Agriculture, 86(6):953-963
Duodu, K., Taylor, J., Belton, P., & Hamaker, B. (2003). Factors affecting sorgum protein
digestibility. Journal of cereal science, 38(2):117-131. https://doi.org/10.1016/S0733-
5210(03)00016-X
Dykes, L., Peterson, G.C., Rooney, W.L., & Rooney, L.W. (2011). Flavonoid composition of
lemon-yellow sorgum genotypes. Food Chemistry, 128(1):173-179
Dykes, L., Seitz, L.M., Rooney, W.L. & Rooney, L.W. (2009). Flavonoid composition of red sorgum
genotypes. Food Chemistry, 116(1):313-317
Earp, C., McDonough, C. & Rooney, L. (2004). Microscopy of pericarp development in the
caryopsis of Sorgum bicolor (L.) Moench. Journal of Cereal Science, 39(1):21-27
Egawa, T., Tsuda, S., Oshima, R., Goto, A., Ma, X., Goto, K. & Hayashi, T. (2017). Regulatory
mechanism of skeletal muscle glucose transport by phenolic acids. Phenolic compounds–
Biological activities:169-191
Etuk, E., Okeudo, N., Esonu, B., & Udedibie, A. (2012). Antinutritional factors in sorgum:
chemistry, mode of action and effects on livestock and poultry. J Online Journal of Animal
Feed Research, 2(2):113-119
Girard, A.L., & Awika, J.M. (2018). Sorgum polyphenols and other bioactive components as
functional and health promoting food ingredients. Journal of Cereal Science, 84:112-124.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2018.10.009
27
Hamaker, B.R., A.W. Kirleis, L.G. Butler, J.D. Axtell & E.T. Mertz. (1987). Improving the in vitro
protein digestibility of sorghum with reducing agents. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 84, 626-
628.
Hariprasanna, K., & Patil, J.V. (2015). Sorgum: Origin, Classification, Biology and Improvement.
In: Madhusudhana, R., Rajendrakumar, P. & Patil, J.V. (eds.). Sorgum Molecular Breeding
(pp. 3-20). New Delhi: Springer India. https://doi.org/10.1007/978-81-322-2422-8_1
Knudsen, K.B., & Munck, L. (1985). Dietary fibre contents and compositions of sorgum and
sorgum-based foods. Journal of cereal science, 3(2):153-164.
https://doi.org/10.1016/S0733-5210(85)80025-4
Kulamarva, A.G., Sosle, V.R. & Raghavan, G.V. (2009). Nutritional and rheological properties of
sorgum. International Journal of Food Properties, 12(1):55-69
Mohapatra, D., Patel, A.S., Kar, A., Deshpande, S.S., & Tripathi, M.K. 2019. Effect of different
processing conditions on proximate composition, anti-oxidants, anti-nutrients and amino
acid profile of grain sorgum. Food Chemistry, 271:129-135.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2018.07.196
Moraes, É.A., da Silva Marineli, R., Lenquiste, S.A., Steel, C.J., de Menezes, C.B., Queiroz,
V.A.V., & Júnior, M.R.M. (2015). Sorgum flour fractions: Correlations among
polysaccharides, phenolic compounds, antioxidant activity and glycemic index. Food
Chemistry, 180:116-123. http://dx.doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.02.023
Obizoba, I.C. & Atii, J. (1991). Effect of soaking, sprouting, fermentation and cooking on nutrient
composition and some anti-nutritional factors of sorgum (Guinesia) seeds. J Plant Foods
for Human Nutrition, 41(3):203-212. https://doi.org/10.1007/BF02196388
Osman, M. A. (2004). Changes in sorghum enzyme inhibitors, phytic acid, tannins and in vitro
protein digestibility occurring during Khamir (local bread) fermentation. Food Chemistry,
88(1), 129-134. doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2003.12.038
Rahman, I.E.A., & Osman, M.A.W. (2011). Effect of sorgum type (Sorgum bicolor) and traditional
fermentation on tannins and phytic acid contents and trypsin inhibitor activity. Journal of
Food, Agriculture Environment, 9(3):163-166
Ratnavathi, C.V., & Komala, V. (2016). Sorgum grain quality. In: Ratnavathi, C.V., Patil, J.V. &
Chavan, U.D. (eds.). Sorgum Biochemistry (pp. 1-61). Amsterdam: Elsevier.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803157-5.00007-1
Rooney, L., & Miller, F. (1982). Variation in the structure and kernel characteristics of sorgum.
Proceedings of the International Symposium on Sorgum Grain Quality, ICRISAT Center,
Patancheru, India, 28-31 Oct 1981/publication editor JV Mertin: Patancheru, India:
International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics.
Rooney, L.W., & Waniska, R.D. (2000). Sorgum Food and Industrial Utilization. In: W., S.C. & A.,
F.R. (eds.). Sorgum: Origin, History, Technology, Production (pp. 689-729). New York:
Wiley.
Saura-Calixto, F. (2011). Dietary fiber as a carrier of dietary antioxidants: an essential
physiological function. Journal of agricultural food chemistry, 59(1):43-49
Sedghi, M, Golian, A, Soleimani-Roodi, P, Ahmadi, A, & Aami-Azghadi, M. (2012). Relationship
between color and tannin content in sorghum grain: application of image analysis and
artificial neural network. Brazilian Journal of Poultry Science, 14(1), 57-62.
https://doi.org/10.1590/S1516-635X2012000100010
Serna-Saldivar, S., & Rooney, L.W. (1995). Structure and chemistry of sorgum and millets. In:
Dendy, D.a.V. (ed.). Sorgum Millets: Chemistry and Technology (pp. 69-124). St Paul:
American Association of Cereal Chemists.
Shaikh, F., Ali, T.M., Mustafa, G., & Hasnain, A. (2019). Comparative study on effects of citric and
lactic acid treatment on morphological, functional, resistant starch fraction and glycemic
index of corn and sorgum starches. International journal of biological macromolecules,
135:314-327. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2019.05.115
Srichuwong, S., Curti, D., Austin, S., King, R., Lamothe, L., & Gloria-Hernandez, H. (2017).
Physicochemical properties and starch digestibility of whole grain sorghums, millet, quinoa
and amaranth flours, as affected by starch and non-starch constituents. Food chemistry,
233, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2017.04.019

28
Taylor, J.R.N & Taylor, J. (2008). Five Simple Methods for the Determination of Sorgum Grain-
End Use Quality (with Adaptations for those without Laboratory Facilities). INTSORMIL
Scientific Publications. 17 https://digitalcommons.unl.edu/intsormilpubs/17
Udachan, I.S., Sahu, A., & Hend, F. (2012). Extraction and characterization of sorgum (Sorgum
bicolor L. Moench) starch. International Food Research Journal, 19(1):315-319
USDA [U.S. Department of Agriculture]. (2019.) Sorgum grain, FDC ID: 169716. National Nutrient
Database for Standard References. USA: Agriculture Research Service. [Online] Available
from: https://ndb.nal.usda.gov/fdc-app.html#/food-details/169716/nutrients [Accessed.
Vanamala, J.K., Massey, A.R., Pinnamaneni, S.R., Reddivari, L. & Reardon, K.F. (2018). Grain
and sweet sorgum (Sorgum bicolor L. Moench) serves as a novel source of bioactive
compounds for human health. Critical reviews in food science nutrition, 58(17):2867-2881
Waniska, R.D. (2005). Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Proteins of Sorgum
Caryopses. Texas A&M University,Colllege Station, Texas 77843-2474,USA.
http://www.icrisat.org/text/research/grep/homepage/sgmm/chap4.htm
Waniska, R.D., Hugo, L.F., Rooney, L.W. (1992). Practical methods to determine the presence of
tannins in sorgum. Journal of Applied Poultry Reserach 1: 122-128
Woo, H.D., S.J. Choi, H.J. Ha. R.B. Hamaker & T.W. Moon. (2004). In vitro protein and starch
digestibility of sorghum in the presence of sodium bisulfite. 2004 IFT Annual Meeting, July
12-16 Las Vegas, NV
Wu, G., Bennett, S.J., Bornman, J.F., Clarke, M.W., Fang, Z., & Johnson, S.K. (2017). Phenolic
profile and content of sorgum grains under different irrigation managements. Food
Research International, 97:347-355
Wu, Y., Li, X., Xiang, W., Zhu, C., Lin, Z., Wu, Y., Li, J., Pandravada, S., Ridder, D.D. & Bai, G et
al. (2012). Presence of tannins in sorgum grains is conditioned by different natural alleles
of Tannin1. Proceedings of the National Academy of Sciences, 109(26):10281-10286
Xiong, Y., Zhang, P., Warner, R.D. and Fang, Z. (2019a). 3-Deoxyanthocyanidin Colorant:
Nature, Health, Synthesis, and Food Applications. Comprehensive Reviews in Food
Science Food Safety, 18(5):1533-1549
Xiong, Y., Zhang, P., Warner, R.D., & Fang, Z. (2019b). Sorgum grain: From genotype, nutrition,
and phenolic profile to its health benefits and food applications. Comprehensive Reviews in
Food Science Food Safety, 18(6):2025-2046. https://doi.org/10.1111/1541-4337.12506

29
BAB III. TEKNOLOGI PASCA PANEN SORGUM

(Erni Sofia Murtini dan Lisa Fitri Rahayu)

Sorgum yang telah memasuki tahap physiology mature siap untuk dipanen. Proses
pemanenan dan pasca panen yang baik diperlukan agar tidak banyak biji sorgum yang
terbuang/hilang, menghindari biji rusak baik, dan membuat umur simpan biji lebih panjang. Sejak
lama tanaman sorgum dikenal oleh petani di Indonesia khususnya di Jawa, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur. Namun, produksi sorgum masih terkendala antara lain karena tidak
tersedianya teknologi tepat guna untuk penanganan dan pengolahan biji sorgum setelah proses
panen dan keterbatasan pengetahuan tentang cara mengolah biji sorgum menjadi berbagai
produk pangan (Dharmaputra, et al., 2012). Penanganan pasca panen (pengeringan, perontokan,
dan penyimpanan) berperan penting dalam penentuan kualitas sorgum.

3.1 Proses Panen


Secara tradisional, tanaman sorgum dipanen pada awal musim kemarau dikarenakan
kadar air pada malai sorgum yang relatif rendah yaitu sekitar 15-20%. Pemanenan sorgum dapat
dilakukan secara manual maupun menggunakan mesin. Proses panen secara manual dilakukan
dengan cara memotong malai menggunakan sabit. Setelah dipotong, malai dikeringkan di bawah
sinar matahari hingga kadar air kurang dari 13%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
munculnya jamur dan serangga serta dapat menurunkan kualitas sorgum pada saat
penyimpanan, tetapi kadar air yang terlalu rendah dapat mengakibatkan kerugian yang besar di
ladang saat panen. Kadar air optimal untuk malai sekitar 10-12% dan untuk biji sorgum sekitar 9-
10% (Beta, et al., 2016)
Setelah malai dikeringkan, kemudian dilakukan proses perontokan. Perontokan juga dapat
dilakukan secara manual maupun menggunakan mesin. Perontokan secara tradisional dilakukan
dengan memukul tumpukan malai menggunakan kayu atau dapat juga dengan melindas
tumpukan malai menggunakan traktor atau kendaraan lain. Proses perontokan dilakukan hingga
semua biji sorgum terlepas dari malai. Selama proses perontokan harus dilakukan dengan hati-
hati untuk menghindari kerusakan fisik pada biji sorgum. Biji sorgum yang mengalami kerusakan
fisik akan memiliki umur simpan yang lebih pendek (Beta, et al., 2016).
Proses selanjutnya setelah perontokan yaitu pembersihan biji sorgum dari kotoran seperti
sekam, daun, rumput, biji sorgum yang pecah, dan kotoran lain. Pembersihan secara tradisional
dilakukan dengan cara menampi. Sekam juga dapat dihilangkan dengan cara mengayak.
Pengayakan dapat dilakukan secara manual maupun menggunakan ayakan bergetar. Selain itu,
juga dapat dilakukan pembersihan menggunakan pneumatic cleaner dimana prinsipnya adalah
memisahkan kotoran dan biji sorgum berdasarkan spesifik gravitasi (Beta, et al., 2016).

30
3.2 Pengeringan biji sorgum
Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air pada biji sorgum sehingga dapat
mencegah terjadinya kerusakan fisik, kimia, dan biologis pada biji sorgum selama penyimpanan.
Kadar air untuk biji-bijian yang disarankan untuk penyimpanan jangka panjang yaitu 3-7% dan
untuk penyimpanan jangka menengah sekitar 8-10% (Rao, et al., 2006). Kadar air yang terlalu
tinggi dapat memicu tumbuhnya jamur dan serangan serangga. Pengeringan biji sorgum dapat
dilakukan dengan berbagai macam metode antara lain:

1. Penjemuran dibawah sinar matahari langsung


Metode penjemuran sinar matahari merupakan metode yang paling banyak dilakukan oleh
masyarakat. Penjemuran dilakukan dengan cara meratakan biji sorgum di atas terpal atau alas
dan dijemur langsung di bawah sinar matahari. Penjemuran dapat dilakukan selama enam jam
setiap hari selama 7-10 hari. Pengeringan dibawah sinar matahari selama 7-10 hari dengan suhu
lingkungan rata-rata 26˚C pada kelembaban relatif (RH) 43% dapat menurunkan kadar air biji
sorgum dari 18,65% menjadi 5,64% (Babiker, et al., 2010). Selama proses penjemuran, biji
sorgum harus di bolak balik agar penguapan air pada biji sorgum merata (Franke, et al., 2008).

2. Pengeringan dibawah sinar matahari tidak langsung


Pengeringan ini dilakukan dengan mengandalkan pergerakan angin selama proses
pengeringan. Biji sorgum diletakkan pada suatu tempat yang atasnya terdapat naungan untuk
mencegah biji sorgum terkena sinar matahari secara langsung. Pengeringan juga dapat
dilakukan selama 7-10 hari. Pengeringan dengan metode ini pada suhu 22 ˚C dan RH 43% dapat
menurunkan kadar air biji sorgum dari 18,65% menjadi 6,5% (Babiker, et al., 2010).

3. Pengeringan menggunakan silika gel


Biji sorgum dimasukkan kedalam karung dan diletakkan di atas silika gel dengan
perbandingan 2:1 dan dibiarkan pada suhu ruang. Pengeringan menggunakan silika gel selama
7-10 hari dapat menurunkan kadar air sorgum dari 18,65% menjadi 6,1% (Babiker, et al., 2010).

4. Pengeringan menggunakan alat pengering


Pengeringan dengan alat pengering lebih efisien karena suhu dapat diatur sesuai dengan
kondisi biji sorgum serta membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Biji sorgum pada alat pengering
dapat menurun kadar airnya dari 18,65% menjadi 7,29% (Babiker, et al., 2010)

5. Pengeringan dengan asam sulfat


Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan asam sulfat pada bagian bawah alat
pengering dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam, biji sorgum yang telah dikemas
diletakkan di atas alat pengering yang telah diisi asam sulfat. Metode pengeringan dengan asam
lebih efektif dalam menurunkan kadar air dibandingkan dengan metode silika gel, tetapi dapat

31
menurunkan kualitas kimia biji sorgum seperti menurunkan kecepatan perkecambahan dan
viabilitas biji (Vijay, et al., 2015).

3.3 Perlakuan Sebelum Penyimpanan


Secara tradisional biji sorgum biji sorgum diperlakukan dengan abu, pasir, dan bubuk
mineral sebelum disimpan untuk melindungi biji sorgum dari serangga. Penggunaan insektisida
alami dari tanaman seperti mimba (Azadirachta indica) dan bunga krisan/seruni (Chrysanthemum
cinerariaefolium) juga diaplikasikan untuk penyimpanan biji sorgum jangka pendek. Terdapat
beberapa bahan kimia yang digunakan secara komersil untuk perlakuan biji sorgum sebelum
penyimpanan seperti pirimiphos-methyl (Actellic), malathion, fenitrothion, dan iodophenphos.
(Beta, et al., 2016).

3.4 Penyimpanan Biji Sorgum


Perubahan suhu selama penyimpanan biji sorgum meskipun kecil, dapat menyebabkan
migrasi kelembaban dan akumulasi panas pada daerah tertentu sehingga memungkinkan
aktivitas mikrobiologis dapat terjadi pada daerah yang lebih lembab. Migrasi kelembaban dapat
dicegah dengan menekan laju udara panas serendah mungkin. Pada ruang penyimpanan juga
dapat dipasang kipas aerasi untuk menekan udara dingin ke dalam biji sorgum sehingga dapat
mengeluarkan udara hangat dan menurunkan kelembaban. Pemeriksaan biji sorgum secara
teratur selama penyimpanan sangat penting dilakukan untuk mendeteksi perubahan
kelembaban, adanya serangga, dan terjadinya pembusukan selama penyimpanan (Beta, et al.,
2016).
Metode penyimpanan biji sorgum dipengaruhi oleh jumlah sorgum yang disimpan dan
kondisi lingkungan. Penyimpanan sorgum paling baik dilakukan pada pagi hari ketika
kelembaban udara masih rendah. Biji-biji sorgum disimpan dengan disusun serapat mungkin
untuk meminimalisir ruang bagi serangga untuk bergerak dan berkembang biak. Di beberapa
negara berkembang, penyimpanan biji sorgum dicampur dengan pasir untuk mengisi ruang-
ruang kosong (Beta, et al., 2016).
Penyimpanan hermetik untuk biji-bijian telah dikembangkan untuk pengendalian serangga
(Njoroge, et al., 2014). Salah satu metode penyimpan yang semakin populer yaitu Purdue
Improved Crop Storage (PICS). PICS merupakan metode penyimpanan biji-bijian pada kantong
yang terdiri dari dua lapisan polietilen dan satu lapisan luar polipropilen. Ketiga lapisan tersebut
sangat membatasi aliran oksigen yang terdapat pada ruang penyimpanan untuk masuk ke dalam
kantong. Pengemasan menggunakan PICS memperlambat pertukaran gas antara kantong dan
lingkungan sekitarnya (Williams, et al., 2017). Respirasi serangga, biji-bijian, dan organisme lain
mengubah komposisi udara di dalam kantong yaitu dapat menyebabkan penurunan kadar
oksigen dan peningkatan karbon dioksida. Semakin kecil oksigen yang dapat masuk ke dalam
kantong, maka kadar oksigen di dalam kantong akan semakin menurun dan karbon dikosida yang
dihasilkan semakin besar sehingga pertumbuhan serangga dapat dihambat dan serangga akan
32
mati (Baoua, et al., 2012). Biji sorgum yang disimpan dalam kantong PICS tidak mengalami
perubahan kadar air yang signifikan, tidak mengalami penurunan daya percambahan (viabilitas),
serta tidak berkurang beratnya selama penyimpanan 6 bulan sehingga PICS merupakan salah
satu kemasan yang disarankan untuk menyimpan biji sorgum (Williams, et al., 2017). Selain dapat
menghambat perkembangbiakan serangga, kantong PICS juga dapat menghambat pertumbuhan
jamur karena adanya resistensi terhadap transmisi uap air (Williams, et al., 2014).
Penyimpanan sorgum pada suhu 4, 25, 40 ˚C tidak berpengaruh terhadap warna, total
antosianin, dan total fenol. Tetapi waktu penyimpanan memberikan pengaruh terhadap beberapa
parameter tersebut. Penyimpanan sorgum selama 60 hari dapat menyebabkan terjadinya
penurunan total fenol. Setelah penyimpanan sorgum lebih dari 180 hari menyebabkan terjadinya
retensi antosianin hingga 90%, retensi fenol hingga 60%, dan retensi tanin hingga 50%. Retensi
total fenol menurun pada sorgum yang disimpan pada suhu 4 dan 40 ˚C pada penyimpanan lebih
dari 180 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa biji sorgum dapat disimpan pada suhu ruang
untuk menghemat energi. Kondisi penyimpanan pada sorgum sangat penting karena adanya
perbedaan iklim yang terjadi di setiap daerah (Oliveira, et al., 2017).
1. Serangan Serangga selama penyimpanan
Selama penyimpanan, sorgum dapat diserang oleh serangga, mikroba, tungau, dan tikus.
Serangga dianggap sebagai penyebab kerugian pascapanen paling siginifikan. Serangga adalah
hama paling serius dari produk yang disimpan dan dapat mengurangi jumlah biji sorgum secara
substansial. Pemahaman yang baik tentang jenis dan perilaku serangga dapat membantu dalam
pengendalian serangga. Serangga lain yang penting yaitu kumbang atau ngengat. Serangga
penyerang biji sorgum yang disimpan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu serangga
primer dan serangga sekunder. Serangga primer yaitu serangga yang mampu menyerang biji-
bijian yang utuh atau tidak rusak seperti ngengat biji Angoumois (Sitotroga cerealella), large grain
borer (Prostephanus truncatus), dan weevils (Sitophilus spp.). Serangga sekunder seperti
kumbang tepung (Tribolium spp.) hanya bisa menyerang komoditas yang disimpan yang
sebelumnya telah dirusak oleh serangga primer atau adanya kerusakan akibat pengolahan (Beta,
et al., 2016).
Mwenda (2019) dalam reviewnya menuliskan bahan serangga jenis weevil (kutu yang biasa
menyerang biji-bijian seperti beras dan jagung) merupakan hama yang paling banyak menyerang
sorgum baik pada saat sebelum panen maupun dalam penyimpanan. Pada kisaran suhu 13-
35oC, weevil dewasa dapat menempatkan telur sebanyak 300-400 telur per lubang yang dibuat
di biji. Saat telur menetas menjadi larva, larva ini akan memakan endosperm dan setelah 5 hari
berubah menjadi pupa, 5 hari berikutnya menjadi weevil dewasa yang dapat hidup 7 bulan sampai
2 tahun. Serangan serangga ini dalam 6 bulan pertama penyimpanan dapat mencapai 83% dan
menyebabkan kerusakan/ kehilangan biji sekitar 15-77%. Namun demikian resistansi sorgum
terhadap serangan weevil tergantung pada kekerasan biji, ketebalan pericarp dan keberadaan
testa, dan ukuran biji. Semakin keras dan kecil biji, serta terdapat testa, tidak disukai oleh weevil.
33
Serangga juga berperan terhadap pertumbuhan jamur. Selain melukai biji sorgum,
serangga juga berfungsi sebagai pembawa jamur. Hal tersebut dikarenakan aktivitas
metabolisme serangga menghasilkan panas dan kelembaban (terutama selama penyimpanan
jangka panjang) yang merangsang pertumbuhan jamur. Infeksi jamur pada biji sorgum bisa
menyebabkan perubahan warna, penurunan dalam perkecambahan, kualitas fisik, dan kadungan
gizinya serta kontaminasi mikotoksin (Sauer, 1992).
Kerusakan selama penyimpanan disebabkan oleh dua hal yaitu adanya penyerangan
serangga dan adanya kerusakan fisik. Serangga dan kapang dapat menurunkan berat biji sorgum
dan dapat merusak kualitas nutrisi biji sorgum. Selain organisme tersebut, biji sorgum juga dapat
mengalami kerusakan akibat suhu dan kelembaban yang tinggi (Millets-FAO, 1995).
2. Pengendalian Kerusakan akibat Serangga
Kerusakan akibat serangga menurut (Dharmaputra, et al., 2012) dapat diturunkan dengan
tindakan pencegahan berikut: 1) memisahkan ruang penyimpanan antara biji sorgum yang baru
dipanen dan biji sorgum yang telah lama disimpan. Biji sorgum yang telah disimpan dari
pemanenan sebelumnya seringkali menjadi sumber serangga. 2) Sorgum yang baru dipanen
harus dikeringkan dengan cepat untuk mendapatkan kelembaban yang aman dan segera
ditumbuk setelah kering. Biji sorgum kemudian di beri perlakuan dan disimpan sebelum terjadi
kerusakan yang signifikan. 3) Sebelum penyimpanan dilakukan, ruang penyimpanan harus
dibersihkan dan dirawat dengan baik. 4) Produk yang masuk ke ruang penyimpanan harus
dikeringkan dan dibersihkan dengan baik, serta memisahkan biji sorgum yang masih utuh dan
yang telah mengalami kerusakan. Biji yang rusak harus dipindahkan dan dikonsumsi terlebih
dahulu. 5) Ruang penyimpanan harus tertutup rapat dan tidak ada celah untuk serangga masuk.
6) Melakukan pemeriksaan secara berkala selama penyimpanan. Jika terdapat hama atau
kerusakan pada biji sorgum, maka dapat dilakukan beberapa tindakan seperti: a) memperbaiki
struktur ruang penyimpanan, b) membersihkan dan mengeringkan kembali biji sorgum, c)
memberi perlakuan dengan botanical insektisida seperti pirimiphosmethyl (Actellic) atau
menggunakan abu.
Perlakuan suhu barangkali bisa diterapkan untuk mematikan serangga terutama weevil dan
membuat biji sorgum bertahan lebih lama. Menurut Back & Cotton (1924) weevil beras normal
hidup 100-200 hari, dan bisa bertahan hidup lebih lama sampai 558 hari, jika disimpan di dalam
pendingin dengan suhu 10-15,5oC. Namun demikian, weevil beras dapat dimatikan pada suhu
beku maupun suhu tinggi. Jika disimpan pada suhu 0oF (-17,78oC) kutu beras akan mati dalam 4
jam, pada suhu -15oC akan mati dalam waktu 4,5 jam, pada suhu minus 4oC - minus 6oC akan
mati dalam 6 jam. Demikian juga pada suhu panas, weevil yang ditempatkan pada suhu 35-37oC
akan mati dalam 9 jam, suhu 48,8oC mati dalam 3 jam dan pada suhu 54,4oC akan mati dalam
30 menit. Oleh karena itu, biji sorgum kering dapat ditempatkan pada kantong plastik kemudian
divakumkan, dan dikemas ke dalam kemasan sekunder, disimpan pada suhu beku beberapa saat
(barangkali 2 hari cukup) untuk mematikan telur/larva/kutunya, setelah itu baru disimpan pada
34
suhu ruang dengan kondisi penyimpanan yang baik, akan dapat menghindari serangan serangga
ini.
3. Kontaminasi mikotoksin selama penyimpanan
Mikotoksin adalah senyawa kimia yang diproduksi oleh pertumbuhan jamur pada biji-bijian.
Mikotoksin dapat diproduksi baik ketika sorgum masih di lahan maupun sudah dalam
penyimpanan. Perkembang biakan jamur pada sorgum dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kondisi fisik biji sorgum, kadar air, suhu, oksigen, dan karbon dioksida lingkungan. Sorgum
dengan kandungan tanin yang lebih tinggi mengalami pertumbuhan jamur yang lebih rendah
dibandingkan sorgum dengan kandungan tanin yang lebih rendah. Biji sorgum yang telah
berjamur dapat mengalami perubahan fisik dan kimiawi seperti perubahan warna, penurunan
berat, peningkatan gula reduksi, dan peningkatan asam lemak. Selain itu, pertumbuhan jamur
juga dapat berpengaruh terhadap penurunan viabilitas biji sorgum dan penurunan kualitas benih
sorgum (Little & Magill, 2009; Little & Magill, 2003).
Beberapa jamur penghasil mikotoksin yang terdapat pada sorgum antara lain Aspergillus,
Alternaria, Fusarium, Curvularia, dan Phoma. Jamur Aspergillus dan Pencillium dapat tumbuh
pada biji sorgum dengan kadar air >13 %. Fusarium thapsinum dapat menyebabkan pembusukan
pada batang sorgum dan sangat patogen terhadap biji sorgum yang berakibat dapat menurunkan
kemampuan perkecambahan. Fusarium andiyazi merupakan patogen pada biji sorgum terbesar
di dunia (Leslie, et al., 2005; Petrovic, et al., 2009; Sampietro, et al., 2010). Phoma sorghina
adalah kapang yang mengkontaminasi biji sorgum yang dapat menghasilkan mikotoksin asam
tenuazonat. P sorghina dapat tumbuh pada biji sorgum pada level Aw antara 0,55 (biji sorgum
pada tahap physiological mature) sampai 0,98 (saat biji sorgum masih dalam tahap kematangan
milk), dengan frekuensi jamur paling banyak dijumpai pada biji yang telah siap panen (Oliveira et
al, 2017). Pertumbuhan maksimum Fusarium andiyazi dapat terjadi pada biji sorgum yang
disimpan pada suhu 25 ˚C dengan Aw 0,995 dan produksi mikotoksin oleh Fusarium andiyazi
terjadi pada Aw yang lebih tinggi. Mikotoksin yang diketahui paling karsinogenik adalah aflatoksin
yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus (Hanvi, et al., 2019). Pengeringan dan penyimpanan yang
tepat dapat menurunkan pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin.

35
DAFTAR PUSTAKA

Babiker, A. Z., Dulloo, M. E., Balla, M. M. & Tahir, E. I. (2010). Effects of Low Cost Drying Methods
on Seed Quality of Sorghum bicolor (L.) Monech. African Journal of Plant Science, 4(9), pp.
339-345.
Back, E. A., & Cotton, R. T. (1924). Relative resistance of the rice weevil, SItophilus oryza L and
the granary weevil, S granarius L to high and low temperatures. Journal of Agricultural
Research 18(10): 1043-1044
Baoua, I. B., Margam, V., Amadou, L. & Murdock, L. L. (2012). Performance of Triple Bagging
Hermetic Technology for Postharvest Storage of Cowpea grain in Niger. Journal of Stored
Product Research, Volume 51, pp. 81-85.
Beta, T., Chisi, M. & Monyo, E. S. (2016). Sorghum: Harvest, Storage, and Transport. Reference
Module in Food Science, pp. 1-8.
Dharmaputra, O. S., Ambarwati, S. & Retnowati, I. (2012). Postharvest Quality Improvement of
Sorghum (Sorgum bicolor (L.) Moench) Grains. Biotropia, 19(2), pp. 115-129.
Franke, L. B., Torres, M. A. P. & Lopes, R. R. (2008). Performance of Different Drying Methods
and Their Effects on the Physiological Quality of Grain Sorghum. Revista Brasileira de
Sementes, 30(3), pp. 177-184.
Hanvi, D. M., Lawson-Evi, P., De Boevre, M., De Saeger, C. E., & Eklu-Gadegbeku, K. (2019).
Natural Occurence of Mycotoxins in Maize and Sorghum in Togo. Mycotoxin Research.
Leslie, J. F. , Zeller, K. a., Rheeder, J. P., Lamprecht, S. C., & Marasas, W. F. (2005). Toxicity,
Pathogenicity, and Genetic Differentiation of Five Species of Fusarium from Sorghum and
Millet. Phytopathology, Volume 95, pp. 275-283.
Little, C. R. & Magill, C. W. (2003). Elicitation of Defense Response Genes in Sorghum Floral
Tissues Infected by Fusarium thapnisum and Curvularia lunata at Anthesis. Physiollogy
Molecular Plant Pathology, Volume 63, pp. 271-279.
Little, C. R. & Magill, C. W. (2009). The grain mold pathogen, Fusarium thapsinum, Reduces
Caryopsis Formation in Sorghum bicolor. Journal of Phytopathology, pp. 518-519.
FAO. (1995). Sorghum and Millets in Human Nutrition. Food and Nutrition Series, Volume ISBN
92-5-103381-1.
Mwenda, E. T., Ringo, J. H., & Mbega, E. R. (2019). The implication of kernel phenology in
convening resistance to storage weevil and varietal development in sorghum. Journal of
Stored Products Research, 83, 176-184. doi:https://doi.org/10.1016/j.jspr.2019.06.010
Njoroge, A. W., Affognon, H. D., Mutungi, C. M., Manono, J., Lamuka, P. O., & Murdock, L. L.
(2014). Triple Bag Hermetic Storage Delivers Lethal to Prostephanus truncatus (Horn)
(Coleoptera: biostrichidae) in Stored Maize. Journal of Stored Product Research, Volume
58, pp. 12-19.
Oliveira, K. G., Querioz, V. A., Carlos, L. A., Cardoso, L. M., Pinheiro-Sant'Ana, H. M.,
Anunciacao, P. C., Barros, F. (2017). Effect of the Storage Time and Temperature on the
Phenolic Compounds of Sorghum Grain and Flour. Food Chemistry, Volume 216, pp. 390-
398.
Oliveira, R. C., Goncalves, S. S., Oliveira, M. S., Dilkin, P., Mallmann, C. A., Freitas, R. S., . . .
Correa, B. (2017). Natural occurrence of tenuazonic acid and Phoma sorghina in Brazilian
sorghum grains at different maturity stages. Food Chemistry, 230, 491-496.
doi:https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2017.03.079
Petrovic, T., Walsh, J. L., Burgess, L. W. & Summerell, B. A. (2009). Fusarium spesies Associated
with Stalk Rot of Grain Sorghum in the Northern Grain Belt of Eastern Australia. Australas
Plant Pathology, Volume 38, pp. 373-379.
Rao, N. K., Hanson, J., Dulloo, M. E., Ghosh, K., Nowell, D., & Larinde, M. (2006). Manual of
Seed Handling in Genebanks. 8 ed. Rome, Italy: Bioversity International.
Sampietro, D. A., Marin, P., Iglesias, J., Presello, D. A., Vattuone, M. A., Catalan, C. A., &
Gonzales Jaen, M. T. (2010). A Molecular Based Strategy for Rapid Diagnosis of Toxigenic
Fusarium species Associated to Cereal Grains from Argentina. Fungal Biology, Volume
114, pp. 74-81.

36
Sauer, D. B. (1992). Storage of Cereal Grains and Theirs Products. 4 ed. American Association
of Cereal Chemist: Minnesota.
Vijay, M. K., Pandey, S., Pandey, C. D. & Jeshima, Y. (2015). Impact of Drying Methods on the
Seed Quality of Sorghum (Sorghum bicolor (L.) Monech). African Journal of Agricultural
Research, pp. 1898-1903.
Williams, S. B., Baributsa, D. & Woloshuk, C. (2014). Assessing Purude Improved Crop Storage
(PICS) Bags to Mitigate Fungal Growth and Aflatoxin Contamination. Journal of Stored
Products Research, Volume 59, pp. 190-196.
Williams, S. B., Murdock, L. L. & Baributsa, D. (2017). Sorghum Seed Storage in Purdue Improved
Crop Storage (PICS) bags and Improvised Containers. Journal of Stored Products
Research, Volume 72, pp. 138-142.

37
BAB IV. PEMANFAATAN BIJI SORGUM DI INDUSTRI PANGAN

(Erni Sofia Murtini dan Tiara Permatanisa)

4.1 Pohon Industri Sorgum


Sorgum dapat dimanfaatkan secara luas untuk pangan, bahan industri dan juga pakan
ternak. Tabel 4.1. Menggambarkan berbagai alternatif penggunaan sorgum baik dari biji dan
tanamannya.

Tabel 4. 1 Pohon industri sorgum


Sorgum
Biji Tanaman
Biji utuh/sosoh Kulit/dedak Batang Keseluruhan
Produk pertengahan Teh tinggi antioksidan Sorgum manis Biomassa untuk produksi
Whole flour Serat pangan (beta Nira bioetanol,
Germinated flour glukan, dll) Sirup gula selulose asetat
Fermented flour Fortifikasi produk Bioetanol Astaxanthin
Modified flour bakeri MSG Xilose untuk produksi β-
Pati sorgum Pewarna alami Bagase untuk karoten
Gluten free flour makanan produksi Single cell oil
Nixtamalized masa sorgum Dietary supplement amilase Arabinoxylan untuk bahan
Tepung tinggi serat kaya antioksidan dari bioplastik
Ready to eat ekstrak fitokimia
Popped sorgum Bahan pengawet
Breakfast cereal
Ektrudat
Produk bakeri: Biskuit,
cake, muffin, roti, cookies,
flake
tortila
Mi dan pasta
Bubur (instan)
Snack tinggi RS
Jajanan tradisional: cenil,
kulit onde-onde
Produk fermentasi
Tape dan brem
Yoghurt non-milk
minuman alkohol
injera
bubur
sourdough
Produk minuman
Mahewu (germinated-
kilned-milled)
Low calorie powdered drink
Lain-lain: Lain-lain:
pakan ternak kompos
Protein kafirin bahan Pengendali gulma
bioplastik Pakan ternak
Pati bahan biodegradable wax
plastik
Wax bahan pelapis

38
4.2 Proses Pengolahan

1. Penyosohan

Penyosohan (decortication) merupakan proses mekanis yang bertujuan untuk


menghilangkan bagian terluar dari kernel/ biji (Corredor et al., 2006). Pada tahap penyosohan
terjadi pemisahan sebagian atau keseluruhan kulit (pericarp) dan lembaga (germ) dari
endosperm. Kulit dan lembaga dihilangkan untuk tujuan mendapatkan biji dengan tekstur yang
lebih halus, terhindar dari bau langu dan upaya menghilangkan senyawa anti nutrisi yang dapat
mempengaruhi kualitas dan daya cerna produk. Namun, penyosohan juga secara signifikan
dapat mengurangi jumlah komponen bioaktif seperti polifenol yang juga terdapat pada lapisan
terluar biji (Ofosu et al., 2020). Biji sorgum mengandung berbagai macam senyawa fitokimia,
umumnya adalah polifenol yang diketahui secara signifikan dapat mempengaruhi kesehatan.
Senyawa fitokimia ini mayoritas terletak pada fraksi/ bagian dedak/ kulit/ sekam sorgum (pericarp,
testa dan jaringan aleuron). Senyawa ini memiliki fungsi kesehatan seperti pencegahan penyakit
metabolisme seperti tipe 2 diabetes, obesitas, hipertensi dan beberapa jenis kanker.
Penyosohan mempengaruhi beberapa aspek pada sorgum. Penyosohan meningkatkan
kualitas protein dan daya cernanya, mengurangi jumlah polifenol dan tanin serta mengurangi
senyawa asam fenolik yang dapat menghambat proses fermentasi dan komponen warna.
Kandungan pati sorgum mengalami peningkatan setelah disosoh, sedangkan kandungan serat
kasar dan lemak mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya lembaga biji yang
tinggi protein, lemak dan serat (Corredor et al., 2006).
Sorgum dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan baku pembuatan bahan bakar ramah
lingkungan. Sorgum dapat difermentasi dan menghasilkan etanol yang digunakan sebagai
substitusi bahan bakar. Penyosohan biji sorgum mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan
selama fermentasi sorgum. Pemisahan lapisan terluar pericarp sebelum fermentasi dapat
memaksimalkan pemecahan pati sehingga menaikkan jumlah etanol yang dihasilkan dan
meningkatkan efesiensi proses fermentasi. Selain itu, penyosohan memungkinkan enzim selama
proses fermentasi untuk lebih mudah mencapai endosperm (Corredor et al., 2006).

2. Perendaman

Perendaman adalah proses pendahuluan yang dilakukan sebelum biji dikecambahkan,


ditepungkan atau untuk proses fermentasi biji. Selama proses perendaman, air masuk ke dalam
kernel melalui proses absorbsi molekuler, absorbsi kapiler dan hidrasi sehingga menaikkan kadar
air dan volume biji. Perendaman biji sorgum dalam air dapat menurunkan total fenol, total
flavonoid dan tanin. Kehilangan total fenol pada proses perendaman adalah sebesar 21,97% -
28,30%, total flavonoid sebesar 21,97% - 28,30% dan total tanin sebesar 7,19% - 30,38%.
Penurunan beberapa senyawa tersebut disebabkan karena terlepasnya komponen tersebut

39
kedalam medium perendaman yang digunakan (leaching). Semakin lama proses perendaman
yang dilakukan, semakin banyak komponen fenolik yang hilang (Afify et al., 2012).

3. Fermentasi
Fermentasi merupakan metode tertua yang ada yang digunakan untuk mengubah sorgum
menjadi produk lanjutan. Fermentasi meningkatkan kandungan nutrisi, umur simpan, sensoris
dan sifat fungsionalnya. Produk fermentasi yang paling umum adalah bubur dan gruel (bubur
yang pada umumnya terbuat dari oatmeal atau cornmeal), dengan sorgum sebagai komoditas
yang paling banyak digunakan di negara-negara berkembang. Salah satu produk fermentasi
sorgum adalah Ting, yaitu bubur sorgum fermentasi yang digunakan sebagai bahan pembuatan
bogobe (bubur yang memiliki tekstur padat dan keras) dan motogo (bubur lembut). Ting
merupakan makanan penting bagi anak kecil maupun dewasa yang populer di Afrika Selatan,
Botswana dan negara Afrika lainnya (Adebo et al., 2018a). Kualitas produk hasil fermentasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor ekstrinsik seperti suhu dan waktu. Proses fermentasi di Afrika
banyak dilakukan secara spontan, penggunaan kultur starter digunakan untuk mendapatkan
konsistensi, mempertahankan suasana higienis serta meningkatkan kualitas sensoris produk
akhir. Bakteri yang digunakan adalah bakteri asam laktat (BAL), karena BAL dominan terdapat
pada proses serta produk fermentasi dan menghasilkan efek positif terhadap sensoris dan
komponen kimia produk pangan (Adebo et al., 2018b).
Fermentasi sorgum dapat menurunkan kandungan anti nutrisi seperti tanin. Proses
fermentasi dengan L. fermentum dapat secara signifikan menurunkan tanin terkondensasi (CTs)
pada gruel sorgum. Melalui fermentasi, tanin dipecah menjadi komponen dengan bobot molekular
lebih rendah. Selain menurunkan kandungan anti nutrisi pada sorgum, proses fermentasi dapat
menaikkan kandungan antioksidan produk akhir secara signifikan. Selama proses fermentasi,
enzim proteolitik dari BAL mengkatalisasi hidrolisis dari senyawa fenolik kompleks menjadi fenol
yang mudah larut dan senyawa aktif lain yang mudah dicerna (Adebo et al., 2018b).
Fermentasi dengan BAL menghasilkan sorgum yang tidak pahit serta menyebabkan
modifikasi pada protein yang terkandung pada sorgum, menghasilkan peningkatan protein larut
air dan asam amino (Svensson et al., 2010). Daya cerna protein sorgum mengalami kenaikan
hingga 83% setelah melalui proses fermentasi. Peningkatan daya cerna protein ini disebabkan
oleh enzim hidrolitik seperti pepsin, amilase dan fitase dari mikroorganisme yang berperan
selama fermentasi. Enzim-enzim ini berperan memecah ikatan silang senyawa kafirin menjadi
molekul yang lebih kecil sehingga mudah bereaksi dengan enzim proteolitik. Fermentasi selain
meningkatkan avaibilitas protein juga secara signifikan memodifikasi rasa, aroma dan tekstur dari
produk pangan (Kuo et al., 2013). Fermentasi merubah struktur protein prolamin dan glutelin
sehingga lebih dapat bereaksi dengan enzim pepsin (Correia et al., 2010).
Fermentasi dapat menurunkan pati dan total gula yang disebabkan oleh hidrolisis oleh
enzim amilase dari mikroba yang terlibat. Total pati menurun hingga sebesar 34,84% pada tepung

40
sorgum yang difermentasi dengan L. brevis (Correia et al., 2010). Fermentasi alami sorgum dapat
menurunkan pati resisten (RS) secara signifikan sebesar 77% selama 28 jam proses fermentasi.
Namun demikian, fermentasi tepung sorgum dapat meningkatkan daya cerna pati dari 34,55%
menjadi 56,69% setelah 48 jam. Peningkatan ini disebabkan karena fermentasi mengubah fraksi
protein pada endosperm yang mengakibatkan pati lebih dapat dijangkau oleh enzim pencernaan
(Elkhalifa et al., 2004).

4. Perkecambahan

Perkecambahan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan


kualitas dari serealia yang tidak membutuhkan biaya yang besar namun efektif. Saat ini, tepung
kecambah dari biji-bijian banyak diproduksi untuk dijadikan bahan baku pembuatan produk
seperti produk bakeri. Selama perkecambahan, biji akan mengalami modifikasi dan terjadi
sintesis senyawa baru dengan aktivitas biologis yang tinggi, meningkatkan nilai nutrisi dan
stabilitas biji (Singh et al., 2017).
Perkecambahan adalah proses perendaman biji dalam air hingga terjadi germinasi (Li et
al., 2017). Proses perkecambahan dapat mengaktivasi enzim amilase, protease, fitase dan enzim
pemecah serat pangan sehingga meningkatkan daya cerna nutrisi yang terkandung. Biji sorgum
yang dikecambahkan memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik dari biji sorgum biasa
dikarenakan selama perkecambahan, kandungan anti nutrisi seperti tanin, fitat dan protease
inhibitor menurun atau hilang. Hal ini menghasilkan sorgum dengan daya cerna, avaibilitas
vitamin dan mineral yang lebih baik (Singh et al., 2017).
Proses perkecambahan memberikan efek signifikan terhadap komposisi proksimat dari
sorgum. Kombinasi lama waktu dan suhu perkecambahan menurunkan kandungan protein,
lemak, abu dan serat kasar pada biji sorgum. Penurunan kandungan protein disebabkan oleh
aktivitas enzim protease yang aktif. Peningkatan aktivitas enzim lipolitik menurunkan kandungan
lemak dengan mengubah komponen lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Penurunan
kandungan abu dan serat kasar secara signifikan disebabkan oleh kehilangan mineral dan
degradasi dinding sel dari lapisan terluar biji atau dedak. Penurunan kandungan protein, lemak,
abu dan serat kasar ini berdampak pada kenaikan kandungan karbohidrat biji sorgum secara
signifikan (Singh et al., 2017). Aktivitas enzim protease pada biji yang dikecambahkan
meningkatkan daya certa protein in vitro. Daya cerna protein mengalami kenaikan dari 54%
hingga 64% melalui perkecambahan (Correia et al., 2010).
Perkecambahan biji sorgum mempengaruhi struktur permukaan pati, menjadi lebih banyak
pori serta menghasilkan lebih banyak proporsi amilopektin rantai pendek. Hal ini disebabkan oleh
hidrolisis pati yang terjadi membentuk erosi atau lubang lubang pada titik tertentu pada
permukaan granula (Li et al., 2017). Enzim pemecah pati dan serat yang aktif selama
perkecambahan memicu produksi dekstrin dalam jumlah tinggi dan gula yang dihasilkan dari
hidrolisis pati. Gula yang dilepaskan ini kemudian membentuk ikatan silang pada fase amorf di
41
antara rantai-rantai pati sehingga menurunkan kemampuan pembengkakan granula pati dan
menghalangi hidrasi air. Penurunan kemampuan hidrasi air ini akan menurunkan kemampuan
penyerapan air pada tepung kecambah sorgum (Singh et al., 2017). Pengaruh lain dari
perkecambahan terhadap pati sorgum adalah suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati mengalami
kenaikan yang disebabkan oleh gula yang terakumulasi akibat hidrolisis pati selama
perkecambahan. Pada umumnya, biji sorgum memiliki kecenderungan mudah mengalami
retrogradasi karena pati sorgum memiliki rantai panjang. Namun, setelah dikecambahkan, pati
sorgum memiliki entalpi retrogradasi yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh penurunan
komponen amilosa dan rantai bercabang amilopektin (Li et al., 2017).
Tepung kecambah sorgum memiliki kemampuan mengikat minyak yang lebih tinggi
dibanding tepung sorgum tanpa dikecambahkan. Denaturasi protein yang terjadi pada proses
perkecambahan sorgum menghasilkan protein dengan luas permukaan lipofilik, yang dapat
berikatan dengan sisi hidrokarbon minyak/lemak, yang lebih banyak. Interaksi antar protein dan
lemak pada tepung sorgum dikecambahkan terjadi disebabkan oleh adanya perubahan rantai
polipeptida yang membuat rantai hidrofobik menjadi terekspos. Hal ini menjadikannya menjadi
mudah berikatan dengan droplet lemak sehingga menghasilkan tepung sorgum dengan sifat
emulsifier yang baik. Peningkatan kemampuan mengikat lemak ini memiliki keuntungan yaitu
dapat diaplikasikan pada formulasi produk yang membutuhkan pengikatan lemak yang baik
seperti makanan bayi dan anak-anak dengan kandungan lemak yang tinggi sebagai nutrisi (Singh
et al., 2017).
Perkecambahan biji sorgum dapat menurunkan viskositas tepung yang dihasilkan. Selama
perkecambahan enzim pemecah amilosa dan serat seperti amilase, β-glukanase dan protease
aktif memecah pati, protein dan dinding sel. Namun demikian, degradrasi protein selama
perkecambahan menghasilkan asam amino bebas dan rantai peptida pendek, meningkatkan
aktivitas proteolitik dari enzim protease dan menghasilkan kelarutan/solubilitas protein pada
tepung kecambah sorgum. Peningkatan solubilitas protein menghasilkan sifat emulsi oil-in-water
sehingga menaikkan aktivitas emulsi dan stabilitas emulsi (Singh et al., 2017).

5. Nikstamalisasi
Nikstamalisasi adalah proses yang umum dilakukan pada biji jagung, jagung direndam dan
dimasak menggunakan larutan alkali (biasanya kapur) untuk membuat struktur kulit terbuka, air
lebih mudah masuk ke dalam biji, dan membuat biji cukup lunak untuk digiling menjadi adonan
masa. Selain untuk pengolahan jagung, nikstamalisasi juga dapat diterapkan pada biji sorgum.
Nikstamalisasi pada biji sorgum dapat menurunkan kandungan tanin. Tanin terkondensasi (CTs)
merupakan senyawa anti nutrisi karena kemampuannya yang dapat mengikat protein,
menurunkan daya cerna serta bioavaibilitas senyawa lain. Tanin yang terkandung ini dapat
mempengaruhi sensori produk, yaitu menghasilkan rasa pahit dan sepat. Penurunan tanin
berakibat pada peningkatan daya cerna dan sensoris produk nikstamalisasi. Selain itu,

42
nikstamalisasi juga dapat menaikkan konsentrasi dan biovaibilitas kalsium, niasin dan vitamin
lainnya (Gaytán-Martínez et al., 2017).
Pada beberapa jenis biji-bijian, nikstamalisasi selain dapat menurunkan total tanin dan
antosianin juga tidak mempengaruhi aktivitas antioksidannya. Pemasakan dengan larutan alkali
atau nikstamalisasi dapat meningkatkan bioavaibilitas protein (Cabrera-Ramírez et al., 2020).
Pemasakan dengan alkali dan 1% lime (kapur) dapat menurunkan kandungan tanin
terkondensasi pada sorgum merah hingga 96% sehingga menaikkan daya cerna protein.
Mekanisme nikstamalisasi dalam menurunkan kandungan senyawa fenolik adalah suasana alkali
pada proses nikstamalisasi merusak struktur molekular dari komponen fenolik, yang merupakan
asam (Gaytán-Martínez et al., 2017).

6. Penepungan
Penepungan dilakukan untuk mengubah biji menjadi tepung sorgum. Kualitas tepung yang
dihasilkan tergantung pada preparasi yang dilakukan. Biji sorgum mengandung lemak 3-4g/100g
yang terbanyak terdapat pada lembaga dan sisanya tedapat di endospem dan kulit. Biji sorgum
juga mengandung enzim lipolitik yang terletak pada aleuron, subaleuron dan lembaga. Selama
penepungan dan setelah proses penepungan enzim lipolitik dapat menyebabkan degradasi
lemak yang dapat mempengaruhi kualitas sensoris dari produk yang dihasilkan. Oleh karena itu,
pemisahan lembaga dari endosperm dan penanganan untuk inaktifasi enzim lipase dapat
mempengaruhi umur simpan tepung yang dihasilkan. Enzim lipase yang ‘dibebaskan’ selama
penepungan sorgum dapat mendegradasi trigliserida dan meningkatkan jumlah asam lemak
bebas pada tepung (Dayakar Rao et al., 2015).

7. Ekstrusi
Ekstrusi merupakan salah satu teknik pengolahan yang umum digunakan untuk
pengolahan serealia menjadi produk mengembang yang digunakan sebagai makanan ringan
atau untuk tujuan modifikasi tepung/pati. Ekstrusi merupakan kombinasi dari panas, tekanan,
kelembapan dan modifikasi alat yang mengubah bahan baku menjadi produk dengan bentuk,
struktur dan karakteristik baru yang dilakukan dalam waktu cepat (de Sousa et al., 2018). Ekstrusi
menyebabkan perubahan kimia diantaranya degradasi termal yang mempengaruhi gula dan
asam amino, depolimerisasi yang mempengaruhi kandungan pati, protein dan serat pangan serta
rekombinasi fragmen pati dan serat pangan. Sedangkan perubahan kimia yang paling umum
adalah gelatinisasi pati dan denaturasi protein (Torbica et al., 2021). Proses ekstrusi sorgum pada
suhu tinggi berkontribusi pada penurunan derajat polimerisasi dari tanin dan fragmentasi struktur
arabinoxilan sehingga meningkatkan bioavaibilitas dan nutrisi produk.
Proses ekstrusi dapat menurunkan kandungan komponen fenolik dan aktivitas antioksidan
sorgum. Penurunan ini disebabkan oleh dekarboksilasi asam fenolik yang terjadi akibat suhu
tinggi dari alat ekstrusi dan kelembapan yang memicu terjadinya polimerisasi dari fenol dan tanin.
Pada beberapa kasus, proses ekstrusi dapat meningkatkan komponen bioaktif dan asam fenolik
43
pada produk hasil ekstrusi yang disebabkan oleh pelepasan dari matriks dinding sel (Brennan et
al., 2011). Ketahanan senyawa vitamin selama proses ekstrusi bergantung terhadap jenis vitamin
dan stabilitasnya. Sebagai contoh, thiamin dan piridoksin memiliki sensitifitas lebih tinggi
dibandingkan riboflavin. Beberapa faktor yang mempengaruhi sifat fisikokimia ekstrudat atau
hasil dari proses ekstrusi adalah bahan baku yang digunakan, ukuran partikel, kecepatan screw,
kelembapan feed (bahan baku), dan suhu alat dan cetakan (die) (Jafari et al., 2017).
Tepung sorgum dapat dimodifikasi menggunakan ekstrusi pada suhu tinggi dan waktu
singkat (HTST). Proses ini dapat memodifikasi sifat tepung yang dihasilkan melalui gelatinisasi
pati, denaturasi protein, pembentukan ikatan kompleks amilosa-lipid, degradasi komponen
pigmen serta peningkatan sifat sensoris tepung. Proses ekstrusi meningkatkan indeks
penyerapan air pada tepung sorgum yang disebabkan oleh gelatinisasi pati serta meningkatkan
kompleks amilosa-lipid sehingga menurunkan kemampuan pembengkakan tepung (swelling
power). Kompleks amilosa-lipid mencegah pati menyerap air karena adanya komponen
hidrofobik. Setelah proses ekstrusi, granula pati yang tersisa tidak dapat menyerap air terlalu
banyak karena strukturnya yang lebih padat/ compact (Jafari et al., 2017).

8. Tepung Sorgum
Tepung sorgum tidak memiliki gluten, sehingga dapat digunakan untuk pembuatan produk
gluten-free. Namun demikian, aplikasi 100% tepung sorgum pada produk pangan yang
memerlukan pengembangan adonan seperti roti, tidak mudah untuk mendapatkan kualitas
produk akhir setara dengan produk yang sama berbasis tepung gandum. Saat ini, banyak metode
yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas dari tepung sorgum, baik dari segi nutrisi maupun
sifat fungsionalitasnya (Singh et al., 2017). Tepung sorgum dapat dimaksimalkan
penggunaannya sebagai bahan produk pangan dengan penambahan hidrokoloid. Tepung
sorgum juga dapat dimodifikasi dengan beberapa metode modifikasi tepung yang umum
digunakan seperti perlakuan panas dengan pengeringan, penyangraian, penguapan dan
ekstrusi. Metode-metode tersebut pada umumnya berfungsi untuk memodifikasi protein dan pati
dari serealia bebas gluten untuk tujuan mendapatkan sifat tekstural seperti protein dan pati pada
tepung gandum pada umumnya (Torbica et al., 2021).
Salah satu teknologi yang dapat dilakukan untuk memodifikasi sifat fungsionalitas dari
tepung sorgum tanpa menggunakan bahan kimia adalah dengan perkecambahan biji sorgum.
Waktu perkecambahan selama 48 jam dan suhu 35˚C menghasilkan penurunan bulk density,
kemampuan penyerapan air dan swelling power dari tepung sorgum yang disebabkan oleh
perubahan struktur granula pati. Selain itu, perkecambahan biji sorgum dengan waktu lama dapat
meningkatkan kemampuan konsistensi gel, solubilitas protein, pembuihan dan pembengkakan
yang disebabkan oleh perubahan struktur protein (Singh et al., 2017).
Metode lain yang digunakan untuk modifikasi sifat tepung sorgum adalah dengan
fermentasi. Tepung sorgum yang difermentasi memiliki daya cerna protein dan pati yang lebih

44
baik, serta mengandung lebih banyak lysin, leusin, isoleusin dan metionin. Kandungan tanin dan
asam fitat tepung sorgum fermentasi juga mengalami penurunan. Tepung sorgum fermentasi
memiliki solubilitas protein yang lebih baik, disebabkan oleh inaktivasi senyawa anti nutrisi seperti
fitat. Selain itu, tepung sorgum fermentasi memiliki kemampuan membentuk gel dan bermanfaat
digunakan pada produk makanan yang memerlukan pengentalan dan pembentukan gel (Elkhalifa
et al., 2004).
Umur simpan tepung sorgum dipengaruhi antara lain oleh kandungan lemak dan enzim
lipase. Enzim lipase yang dibebaskan selama penepungan dapat mendegradasi trigliserida dan
menghasilkan asam lemak bebas selama penyimpanan tepung. Karena pemisahan lembaga
yang mengandung lemak merupakan hal yang tidak mudah karena terletak di bagian dalam
endosperm, maka untuk memperpanjang umur simpan tepung sorgum, salah satunya dapat
ditambahkan antioksidan baik alami atau sintetik. Butylated hydroxyanisole (BH) dan tiary butyl
hydro quinine (TBHQ) dapat digunakan sebagai pengawet yang berfungsi mencegah dan
menghambat aktivitas enzim lipolitik pada produk pangan. Selain lemak dan lipase, umur simpan
tepung juga dipengaruhi oleh Aw. Aktivitas air pada tepung sorgum yang diberi TBHQ
memberikan pengaruh signifikan terhadap umur simpan tepung dan meningkatkan keamanan
mikrobiologis hingga 120 hari dengan aw kurang dari 0,600 (Dayakar Rao et al., 2015).
Tepung sorgum, seperti halnya tepung gandum, dapat digunakan untuk media fortifikasi
untuk meningkatkan nutrisi. Mikronutrien yang dapat difortifikasi pada tepung sorgum adalah zat
besi dan seng. Mikronutrien seng tetap stabil pada tepung sorgum sampai 30 hari penyimpanan
(Tripathi et al., 2010).

9. Ekstraksi Pati
Komponen utama dari kernel sorgum adalah pati yaitu sebesar 80% berat kering. Proses
ekstraksi pati sorgum serupa dengan ekstrasi pati dari jagung, namun sedikit lebih rumit karena
terdapat senyawa polifenol, struktur biji yang berbeda dan interaksi pati-proteinnya. Ekstraksi pati
sorgum umumnya dilakukan dengan metode wet-milling. Biji sorgum dicuci terlebih dahulu
sebelum dilakukan perendaman/perebusan dan penepungan. Komponen pati kemudian dicuci
dan dipisahkan dari slurry sorgum sebelum dikeringkan. Untuk meningkatkan kualitas dan jumlah
pati yang didapatkan, perlu dilakukan pengkondisian dari proses penepungan dan perendaman
dengan menggunakan enzim ataupun sonikasi (dengan gelombang ultrasonik). Beberapa hal
yang mempengaruhi penampakan dan kualitas dari pati sorgum adalah varietas sorgum dengan
karakteristik biji yang beragam, komposisi polifenol yang terkandung dan sifat fisik atau kondisi
fisik dari bahan baku (grit/tepung) sorgum yang digunakan (Zhu, 2014).
Efisiensi proses ekstraksi pati dapat ditingkatkan dengan perendaman biji dalam larutan
alkali ataupun asam sulfat. Dilusi alkali untuk proses wet-milling cocok digunakan untuk
komoditas yang mengandung tanin, seperti sorgum. Rendemen dan kemurnian pati dapat
ditingkatkan dengan pengunaan enzim yang dapat merusak dinding sel ataupun protease.

45
Proses ekstraksi juga dapat ditingkatkan dengan sonifikasi dengan intensitas tinggi yang
menghasilkan pati dengan sifat termal yang serupa dengan pati yang didapatkan melalui proses
konvensional. Perbedaan metode dan kondisi isolasi pati ini dapat menghasilkan pati dengan
komposisi dan sifat fungsional yang berbeda (Zhu, 2014).
Pati sorgum memiliki ukuran granula bervariasi berkisar dari 4 hingga 35 µm. Komposisi
amilosa berbeda antara granula pati dengan diameter kecil (< 10 µm) dan besar (> 10 µm).
Kandungan amilosa pati sorgum berkisar dari 0% hingga 55%. Bentuk granula pati sorgum pada
umumnya adalah bulat dan poligonal dengan lekukan dan berpori di bagian permukaan. Pati
sorgum memiliki diversitas yang tinggi, secara genetika maupun faktor lingkungan terhadap sifat
fisiknya (gelatinisasi dan retrogradasi). Faktor lingkungan dapat mempengaruhi morfologi granula
dan struktur dari pati. Suhu budidaya yang lebih tinggi dari suhu normal dapat mengakibatkan
ukuran granula pati yang lebih kecil dan kepadatan percabangan pati yang lebih rendah,
bergantung pada varietas sorgum (Zhu, 2014).

10. Pati Modifikasi


Beberapa perlakuan dilakukan untuk memodifikasi pati melalui proses kimia, enzimatis
maupun hidrotermal. Esterifikasi menggunakan asam sitrat dan laktat menjadi metode yang
umum digunakan untum meningkatkan pati resisten. Perlakuan asam sitrat dan suhu-
kelembapan tinggi dapat merubah strukur internal dan sifat fisikokimia dari pati melalui
pembentukan rantai-rantai pendek yang mengubah sifat kristalisasi, menurunkan viskositas dan
kemampuan membentuk gel (Shaikh et al., 2019). Kemampuan dari granula pati untuk
membengkak (swelling) lebih rendah dibandingkan dengan pati alami, akibat dari terbentuknya
ikatan silang antar rantai pati. Kelarutan dari pati modifikasi dengan asam sitrat dan asam laktat
mengalami peningkatan, akibat dari keluarnya amilosa dari granula pati. Namun, kelarutan pati
yang dimodifikasi dengan asam dan suhu tinggi mengalami kenaikan akibat terjadi esterifikasi.
Modifikasi pati juga dapat mempengaruhi sifat fisiologis dari granula pati sorgum. Setelah melalui
proses modifikasi dengan asam dan asam-suhu tinggi, kekenyalan pati menurun secara
signifikan. Namun, terjadi kenaikan kekenyalan pati setelah disimpan selama 7 hari (Shaikh et
al., 2019).
Setelah melalui proses modifikasi, jumlah pati resisten pada pati sorgum mengalami
kenaikan dari 68,8% menjadi 85,2% pada perlakuan asam sitrat-suhu tinggi dan 87,9% pada
perlakuan asam laktat-suhu tinggi. Peningkatan jumlah pati resisten ini disebabkan oleh
terbentuknya rantai dengan berat molekul yang rendah akibat hidrolisis asam. Rantai dengan
berat molekul rendah ini mengurangi daya cerna pati dengan enzim karena terbentuknya double
helices dan amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin dan amilopektin-amilopektin selama perlakuan
suhu (Shaikh et al., 2019). Dari segi nutrisi, indeks hidrolisis (HI) dari pati sorgum setelah
dimodifikasi mengalami penurunan dari 37,5 menjadi 16,0. Perlakuan modifikasi pati dengan
asam sitrat dan asam laktat dengan atau tanpa perlakuan suhu dapat menurunkan indeks

46
glikemik dari pati sorgum dari 60,3 menjadi 48,5. Penurunkan indeks glikemik ini disebabkan oleh
terjadinya hidrolisis oleh asam dan esterifikasi yang mengakibatkan rantai pati saling mengikat.
Oleh karena itu, modifikasi pati sorgum dapat digunakan untuk membuat produk pangan dengan
kalori yang rendah dan untuk tujuan tertentu seperti untuk pasien diabetes (Shaikh et al., 2019).
Sorgum adalah komoditas gluten-free, memiliki daya cerna protein dan pati yang cukup
rendah sehingga memiliki potensi yang besar sebagai makanan diet. Produk sorgum pada
umumnya memiliki stabilitas umur simpan yang rendah dan cenderung mengalami staling lebih
cepat. Struktur molekular dari amilosa dan amilopektin berperan penting terhadap stabilitas dari
produk olahan sorgum tersebut. Retrogradasi awal dan jangka pendek terjadi beberapa jam
setelah gelatinisasi disebabkan oleh perubahan struktur dari amilosa, sedangkan re-kristalisasi
amilopektin membutuhkan waktu lebih lama (Zhu, 2014).

11. Beberapa Produk Olahan Sorgum

Produk bebas gluten. Tepung sorgum tidak mengandung gluten sehingga dapat
diaplikasikan untuk membuat berbagai produk gluten-free seperti roti, muffin, cookies, mi dan lain
sebagainya. Namun tidak terdapatnya gluten, membuat produk roti dengan kualitas yang tekstur,
warna dan masa simpan yang kurang (Olojede et al., 2020) dibanding roti dari tepung gandum.
Warna roti lebih gelap, yang disebabkan oleh komponen fenolik (antosianin) yang terdapat ada
pericarp sorgum (Nkhabutlane et al., 2014), namun barangkali hal ini bagus karena tidak harus
menambahkan pewarna dari luar, dan senyawa fenolik bersifat antioksidan. Umur simpan roti
gluten-free yang rendah disebabkan oleh kurangnya ikatan gluten yang viskoelastis yang
berfungsi memperlambat pergerakan air serta kelembapan yang tinggi pada roti yang memicu
pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Olojede et al., 2020).
Sourdough. Permasalahan yang dapat dijumpai dengan penambahan tepung sorgum
dengan konsentrasi diatas 16% pada roti gandum adalah warna produk akhir yang lebih gelap,
rasa pahit yang cukup kuat, volume spesifik yang rendah dan crumb yang keras sehingga
menurunkan tingkat kesukaan konsumen. Rasa pahit dari produk olahan yang dibuat dari tepung
sorgum disebabkan oleh kandungan komponen fenoliknya. Substitusi tepung sorgum yang cukup
tinggi dapat menyebabkan dilusi dari ikatan gluten dan mengganggu proses pembuihan adonan.
Hal ini menurunkan viskoelastisitas dan kemampuan menahan gas dari adonan sehingga
menghasilkan produk dengan volume rendah dan crumb yang keras. Salah satu metode yang
dapat digunakan untuk memperbaiki nilai nutrisi, tekstur serta umur simpan dari produk yang
disubstitusi tepung sorgum adalah fermentasi sourdough (Wang et al., 2020).
Sourdough menghasilkan produk dengan rasa, umur simpan, karakteristik yang lebih baik.
Selain itu, fermentasi sourdough meningkatkan kualitas nutrisi dan sensori produk. Fermentasi
sourdough dilakukan dengan menggunakan kombinasi bakteri asam laktat (BAL) dan ragi (yeast).
Asidifikasi yang disebabkan oleh BAL digunakan untuk meningkatkan kualitas, rasa dan aroma
roti (Ogunsakin et al., 2017). Roti sorgum sourdough memiliki struktur crumb yang tidak beraturan
47
dan permukaan roti yang datar. Hal ini disebabkan oleh agregasi protein sorgum pada fase cair
adonan selama pemanggangan yang mengganggu gel pati. Asidifikasi menghambat produksi
karbon dioksida oleh ragi selama proses prooving sehingga menghasilkan volume produk yang
rendah. Namun, sourdough yang menggunakan starter pilihan dapat meningkatkan kekenyalan,
kepadatan dan elastisitas roti gluten-free pada umumnya memiliki tekstur yang beremah dan
mudah hancur (Olojede et al., 2020). Roti sorgum memiliki aroma dan rasa yang kompleks dan
kuat, keasaman yang menonjol dan malty (Nkhabutlane et al., 2014). Dari segi nutrisi, roti
sourdough sorgum memiliki kandungan serat pangan/ dietary fiber (DF) dan abu yang lebih tinggi
daripada roti biasa. Total serat pangan yang didapatkan dari roti sourdough sorgum adalah
17.19% (Olojede et al., 2020).
Roti kukus sorgum. Roti kukus sorgum memiliki volume yang rendah yang disebabkan
tidak adanya gluten. Partikel tepung yang besar pada tepung sorgum dapat menghambat proses
gelatinisasi pati sehingga menghasilkan crumb yang tidak seragam dan keras. Metode yang
dapat dilakukan untuk mencegah rendahnya volume produk adalah dengan menambahkan air
mendidih untuk memicu gelatinisasi awal dari pati sorgum yang menghasilkan gel pati kental yang
dapat meningkatkan tekstur produk akhir roti sorgum. Dengan melakukan pre-gelatinisasi pati,
didapatkan sifat seperti hidrokoloid yang dapat menahan gelembung udara pada adonan roti.
Pre-gelatinisasi meningkatkan viskoelastisitas adonan dan konsistensi adonan lebih baik
(Nkhabutlane et al., 2014).
Cookies. Kukis sorgum memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kukis gandum pada umumnya. Nutrisi yang mengalami peningkatan jumlah antara lain adalah
protein, lemak, pati, serat pangan (DF) serta mineral (magnesium, fosfor, potasium, besi, kalsium,
seng) (Rao et al., 2018). Namun demikian, proses pembuatan kukis dapat menurunkan
komponen fenolik seperti tanin terkondensasi yang terkandung pada tepung sorgum hingga
sebesar 96% sehingga aktivitas antioksidannya turun. Tekstur kukis sorgum beremah, mudah
pecah, memiliki warna gelap dan secara umum memiliki perspektif konsumen yang rendah
(Chiremba et al., 2009). Sehingga ke depan diperlukan studi untuk memperbaiki kualitas kukis
sorgum menjadi lebih baik.
Breakfast cereal. Sorgum dapat dimanfaatkan untuk bahan substitusi produk sereal
sarapan karena kandungan komponen bioaktif, mineral, serat pangan, vitamin E dan karotenoid
yang tinggi. Hal ini memiliki fungsi kesehatan dan mencegah penyakit. Sereal sorgum yang
dihasilkan memiliki warna coklat kemerahan yang menarik. Kandungan α-tokoferol dan γ-
tokoferol pada sereal sorgum secara signifikan lebih tinggi dibandingkan sereal gandum pada
umumnya. Selain itu, kandungan komponen fenolik sereal sorgum merupakan yang tertinggi
diantara berbagai macam jenis sereal lainnya. Tingginya kandungan komponen fenolik dan
aktivitas antioksidan ini memungkinkan sereal sorgum dikonsumsi oleh penderita diabetes,
dislipidemia hingga obesitas (Anunciação et al., 2017).

48
Tortilla. Secara tradisional, sorgum digunakan sebagai salah satu bahan baku pembuatan
tortilla dan popular digunakan di negara-negara Amerika Tengah. Tortilla pada umumnya
menggunakan jagung, namun sorgum menjadi alternatif bahan karena ketersediaannya dan
ketahanannya selama musim kemarau. Keripik tortilla dapat diproduksi dengan sorgum putih
dengan memodifikasi proses pembuatan seperti mengurangi konsentrasi alkali (kapur) yang
digunakan serta lama pemasakan. Keripik tortilla sorgum memiliki rasa yang netral, hal ini
memiliki kelebihan untuk dikonsumsi sebagai cemilan dibandingkan keripik jagung yang memiliki
rasa yang kuat (Taylor et al., 2006).
Mi. Mi sorgum dibuat dari tepung sorgum sosoh, air dan garam. Proses pembuatannya
diantaranya adalah pencampuran, pre-pemanasan, ekstrusi dan pengeringan. Mi sorgum
memiliki tekstur yang lengket (sticky), lembut, namun mengalami banyak kehilangan padatan
(cooking loss) selama pemasakan. Untuk menjaga stabilitas mi sorgum, retrogradasi amilosa
setelah gelatinisasi pada proses pendinginan mi perlu diperhatikan. Ukuran partikel tepung
sorgum yang digunakan juga mempengaruhi kualitas mi sorgum yang dihasilkan. Semakin halus
partikel tepung sorgum, semakin baik kualitas mi yang dihasilkan. Mi sorgum dengan kualitas
yang baik dapat didapatkan dengan pengolahan yang optimal dan tingkat kematangan mi yang
baik (Taylor et al., 2006).

49
DAFTAR PUSTAKA

Adebo, O. A., Njobeh, P. B., Adebiyi, J. A., & Kayitesi, E. (2018). Co-influence of fermentation
time and temperature on physicochemical properties, bioactive components and
microstructure of ting (a Southern African food) from whole grain sorgum. Food Bioscience,
25(November 2017), 118–127. https://doi.org/10.1016/j.fbio.2018.08.007
Adebo, O. A., Njobeh, P. B., & Kayitesi, E. (2018). Fermentation by Lactobacillus fermentum
strains (singly and in combination) enhances the properties of ting from two whole grain
sorgum types. Journal of Cereal Science, 82(March), 49–56.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2018.05.008
Afify, A. E. M. M. R., El-Beltagi, H. S., Abd El-Salam, S. M., & Omran, A. A. (2012). Biochemical
changes in phenols, flavonoids, tannins, vitamin E, β -carotene and antioxidant activity
during soaking of three white sorgum varieties. Asian Pacific Journal of Tropical
Biomedicine, 2(3), 203–209. https://doi.org/10.1016/S2221-1691(12)60042-2
Anunciação, P. C., Cardoso, L. de M., Gomes, J. V. P., Della Lucia, C. M., Carvalho, C. W. P.,
Galdeano, M. C., Queiroz, V. A. V., Alfenas, R. de C. G., Martino, H. S. D., & Pinheiro-
Sant’Ana, H. M. (2017). Comparing sorgum and wheat whole grain breakfast cereals:
Sensorial acceptance and bioactive compound content. Food Chemistry, 221, 984–989.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.11.065
Brennan, C., Brennan, M., Derbyshire, E., & Tiwari, B. K. (2011). Effects of extrusion on the
polyphenols, vitamins and antioxidant activity of foods. Trends in Food Science and
Technology, 22(10), 570–575. https://doi.org/10.1016/j.tifs.2011.05.007
Cabrera-Ramírez, A. H., Luzardo-Ocampo, I., Ramírez-Jiménez, A. K., Morales-Sánchez, E.,
Campos-Vega, R., & Gaytán-Martínez, M. (2020). Effect of the nixtamalization process on
the protein bioaccessibility of white and red sorgum flours during in vitro gastrointestinal
digestion. Food Research International, 134(January), 109234.
https://doi.org/10.1016/j.foodres.2020.109234
Chiremba, C., Taylor, J. R. N., & Duodu, K. G. (2009). Phenolic content, antioxidant activity, and
consumer acceptability of sorgum cookies. Cereal Chemistry, 86(5), 590–594.
https://doi.org/10.1094/CCHEM-86-5-0590
Corredor, D. Y., Bean, S. R., Schober, T., & Wang, D. (2006). Effect of decorticating sorgum on
ethanol production and composition of DDGS. Cereal Chemistry, 83(1), 17–21.
https://doi.org/10.1094/CC-83-0017
Correia, I., Nunes, A., Guedes, S., Barros, A. S., & Delgadillo, I. (2010). Screening of lactic acid
bacteria potentially useful for sorgum fermentation. Journal of Cereal Science, 52(1), 9–15.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2010.02.011
Dayakar Rao, B., Kalpana, K., Srinivas, K., & Patil, J. V. (2015). Development and Standardization
of Sorgum-Rich Multigrain Flour and Assessment of Its Storage Stability with Addition of
TBHQ. Journal of Food Processing and Preservation, 39(5), 451–457.
https://doi.org/10.1111/jfpp.12250
de Sousa, A. R., de Castro Moreira, M. E., Toledo, R. C. L., dos Anjos Benjamin, L., Queiroz, V.
A. V., Veloso, M. P., de Souza Reis, K., & Martino, H. S. D. (2018). Extruded sorgum
(Sorgum bicolor L.) reduces metabolic risk of hepatic steatosis in obese rats consuming a
high fat diet. Food Research International, 112(June), 48–55.
https://doi.org/10.1016/j.foodres.2018.06.004
Elkhalifa, A. E. O., Schiffler, B., & Bernhard, R. (2004). Effect of fermentation on the starch
digestibility, resistant starch and some physicochemical properties of sorgum flour. Nahrung
- Food, 48(2), 91–94. https://doi.org/10.1002/food.200300322
Gaytán-Martínez, M., Cabrera-Ramírez, Á. H., Morales-Sánchez, E., Ramírez-Jiménez, A. K.,
Cruz-Ramírez, J., Campos-Vega, R., Velazquez, G., Loarca-Piña, G., & Mendoza, S.
(2017). Effect of nixtamalization process on the content and composition of phenolic
compounds and antioxidant activity of two sorgums varieties. Journal of Cereal Science,
77, 1–8. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2017.06.014
Jafari, M., Koocheki, A., & Milani, E. (2017). Effect of extrusion cooking of sorgum flour on
rheology, morphology and heating rate of sorgum–wheat composite dough. Journal of
50
Cereal Science, 77, 49–57. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2017.07.011
Kuo, H. T., Wu, P. H., Chung, H. H., Jiang, C. M., & Wu, M. C. (2013). Koji fermentation improve
the protein digestibility of sorgum. Journal of Food Processing and Preservation, 37(5),
419–423. https://doi.org/10.1111/j.1745-4549.2011.00666.x
Li, C., Oh, S. G., Lee, D. H., Baik, H. W., & Chung, H. J. (2017). Effect of germination on the
structures and physicochemical properties of starches from brown rice, oat, sorgum, and
millet. International Journal of Biological Macromolecules, 105, 931–939.
https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2017.07.123
Nkhabutlane, P., du Rand, G. E., & De Kock, H. L. (2014). Quality characterization of wheat,
maize and sorgum steamed breads from Lesotho. Journal of the Science of Food and
Agriculture, 94(10), 2104–2117. https://doi.org/10.1002/jsfa.6531
Ofosu, F. K., Elahi, F., Daliri, E. B. M., Yeon, S. J., Ham, H. J., Kim, J. H., Han, S. I., & Oh, D. H.
(2020). Flavonoids in Decorticated Sorgum Grains Exert Antioxidant, Antidiabetic and
Antiobesity Activities. Molecules, 25(12), 1–19. https://doi.org/10.3390/molecules25122854
Ogunsakin, A. O., Vanajakshi, V., Anu-Appaiah, K. A., Vijayendra, S. V. N., Walde, S. G., Banwo,
K., Sanni, A. I., & Prabhasankar, P. (2017). Evaluation of functionally important lactic acid
bacteria and yeasts from Nigerian sorgum as starter cultures for gluten-free sourdough
preparation. LWT - Food Science and Technology, 82, 326–334.
https://doi.org/10.1016/j.lwt.2017.04.048
Olojede, A. O., Sanni, A. I., & Banwo, K. (2020). Rheological, textural and nutritional properties
of gluten-free sourdough made with functionally important lactic acid bacteria and yeast
from Nigerian sorgum. Lwt, 120(November 2019), 108875.
https://doi.org/10.1016/j.lwt.2019.108875
Rao, B. D., Kulkarni, D. B., & Kavitha, C. (2018). Study on evaluation of starch, dietary fiber and
mineral composition of cookies developed from 12 sorgum cultivars. Food Chemistry, 238,
82–86. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.12.069
Shaikh, F., Ali, T. M., Mustafa, G., & Hasnain, A. (2019). Comparative study on effects of citric
and lactic acid treatment on morphological, functional, resistant starch fraction and glycemic
index of corn and sorgum starches. International Journal of Biological Macromolecules, 135,
314–327. https://doi.org/10.1016/j.ijbiomac.2019.05.115
Singh, A., Sharma, S., & Singh, B. (2017). Effect of germination time and temperature on the
functionality and protein solubility of sorgum flour. Journal of Cereal Science, 76, 131–139.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2017.06.003
Svensson, L., Sekwati-Monang, B., Lutz, D. L., Schieber, R., & Gänzle, M. G. (2010). Phenolic
acids and flavonoids in nonfermented and fermented red sorgum (Sorgum bicolor (L.)
Moench). Journal of Agricultural and Food Chemistry, 58(16), 9214–9220.
https://doi.org/10.1021/jf101504v
Taylor, J. R. N., Schober, T. J., & Bean, S. R. (2006). Novel food and non-food uses for sorgum
and millets. Journal of Cereal Science, 44(3), 252–271.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2006.06.009
Torbica, A., Belović, M., Popović, L., & Čakarević, J. (2021). Heat and hydrothermal treatments
of non-wheat flours. Food Chemistry, 334(December 2019).
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2020.127523
Tripathi, B., Chetana, & Platel, K. (2010). Fortification of sorgum (Sorgum vulgare) and pearl millet
(Pennisetum glaucum) flour with zinc. Journal of Trace Elements in Medicine and Biology,
24(4), 257–262. https://doi.org/10.1016/j.jtemb.2010.04.004
Wang, Y., Trani, A., Knaapila, A., Hietala, S., Coda, R., Katina, K., & Maina, N. H. (2020). The
effect of in situ produced dextran on flavour and texture perception of wholegrain sorgum
bread. Food Hydrocolloids, 106(March), 105913.
https://doi.org/10.1016/j.foodhyd.2020.105913
Zhu, F. (2014). Structure, physicochemical properties, modifications, and uses of sorgum starch.
Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 13(4), 597–610.
https://doi.org/10.1111/1541-4337.12070

51
BAB V. SORGUM SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL

(Erni Sofia Murtini dan Adhima Adhamatika)

5.1 Peran Sorgum sebagai Serealia Pangan Fungsional


Istilah pangan fungsional muncul pada awal tahun 1980 yang dikemukakan oleh komunitas
peneliti di Jepang. Pangan fungsional memiliki 3 fungsi yaitu nutrisi, sensoris baik dan memiliki
fungsi fisiologi. Perkembangan selanjutnya terdapat regulasi yang mengatur tentang pangan dan
klaim kesehatan. Pelabelan pangan fungsional harus didasarkan pada bukti saintifik dan sesuai
dengan regulasi pangan yang berlaku (Shimizu, 2003). Pangan dapat dianggap fungsional jika
secara nutrisi baik dan terbukti secara memuaskan dapat mempengaruhi satu atau lebih fungsi
target dalam tubuh, berpengaruh baik pada kesehatan atau dapat mengurangi risiko dari suatu
penyakit. Makanan dapat dibuat fungsional dengan meningkatkan konsentrasi, menambah atau
meningkatkan bioavailability dari komponen tertentu (Roberfroid, 2002).
Biji sorgum merupakan sumber makronutrien, mikronutrien, dan antioksidan yang kaya
dengan nutrisi dan potensi kesehatan yang tinggi (Awika & Rooney, 2004). Sorgum adalah
sumber protein, mineral, vitamin B komplek, serat, fenol yang berperan sebagai antioksidan dan
wax/lemak yang dapat menurunkan kolesterol (Garzon & Drago, 2018). Sorgum (Sorghum bicolor
L. Moench) memiliki atribut menarik yang sangat relevan dengan penggunaan makanan modern
yang fungsional; mengingat penyakit kronis yang terkait dengan asupan kalori berlebih dan pola
makan yang buruk menjadi masalah yang berkembang secara global. Sorgum memiliki
kandungan fitokimia yang beragam terutama polifenol. Polifenol dapat meningkatkan
metabolisme gula dan sensitifitas insulin, metabolisme/akumulasi lemak dan menurunkan stress
oksidatif dan inflamasi. Pati sorgum lebih lambat dicerna dibanding pati dari serealia lain, ehingga
membuat perut kenyang lebih lama dan baik untuk orang yang sedang diet (Girard & Awika,
2018). Sorgum memiliki beragam komponen bioaktif yang tidak umum dijumpai pada sereal lain,
yang memiliki potensi untuk memberi manfaat bagi kesehatan manusia. Sorgum mengandung
pati resisten yang tinggi (64-68%) dan IG yang rendah (bisa mencapai 48,5 dengan perlakuan
asam). Sorgum menunjukkan efek penurunan kolesterol serum, trigliserida, dan peningkatan
kolesterol HDL dan memiliki aktivitas antioksidan in vivo dan profil lipid yang lebih baik dibanding
beras hitam (rice purple) (Shen et al., 2017).
Biji sorgum dapat ditingkatkan fungsionalnya dengan dikecambahkan. Disebutkan oleh
Garzon and Drago (2018) perkecambahan dapat menghasilkan γ-aminobutyric acid (GABA),
mengubah profil asam amino bebas, meningkatkan asam hidroksisinamat dan asam fenolat
ferulat. Perkecambahan biji sorgum pada suhu 25oC selama 3 hari merupakan kondisi terbaik
dan meningkatkan aktivitas antioksidan, dan senyawa bioaktif seperti asam amino bebas
terutama yang mengandung sulfur.

52
5.2 Komponen Fungsional pada Sorgum
1. Serat
Sorgum mengandung β-glukan, namun dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan
dengan sereal lain, seperti barley dan oat (Harris & Fincher, 2009). β-glukan adalah serat
makanan yang dapat digunakan untuk pencegahan penyakit terkait kekurangan serat (Hamad et
al., 2018). Banyak pengembangan persilangan dan transformasi genetik yang dilakukan untuk
meningkatkan nutrisi dan manfaat kesehatan dari sorgum. Salah satu program tersebut
diarahkan untuk meningkatkan kandungan β-glukan pada biji sorgum melalui persilangan dan
modifikasi genetik. Dihasilkan galur inbred sorgum baru (bernama Tabat-NL) dengan kandungan
β-glukan tinggi (7,32%) dan IG rendah sehingga cocok untuk diet bagi penderita diabet (Hamad
et al., 2018).
Zakariah et al. (2009) meneliti mengenai produk berbasis tepung sorgum untuk antikanker.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jumlah glukan yang didapatkan dari sorgum yang tidak
disosoh (12%) lebih tinggi dari sorgum yang disosoh 20 detik (5%). Ekstrak serat glukan tersebut
memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks stimulasi proliferasi sel dengan Indek stimulan
1,714. Hal ini menandakan bahwa ekstrak glukan dari sorgum memiliki aktivitas imunomodulator
dan dapat mencegah kanker.

2. Mineral
Mineral memegang peranan penting pada fungsi biokimia dan fisiologi pada sistem biologi.
Pontieri et al (2014) menyatakan kandungan mineral pada sorgum tergantung pada genotip dan
lingkungan penanaman. Sorgum food grade yang ditanam pada lingkungan mediterania
menunjukkan kandungan Mg (1454,92-2862,00 mg/kg), Fe (39,36-77,03 mg/kg), Zn (21,10-47.05
mg/kg) dan rasio K:Na yang tinggi. Sorgum dapat dijadikan sumber Mg karena kandungannya
yang tinggi. Kandungan zat besi sorgum disebutkan lebih tinggi dari jagung dan gandum.
Kandungan kalium 6-14 kali lebih tinggi dari natrium, sehingga ini baik untuk konsumsi manusia,
karena rekomendasi rasio K:Na adalah 5 atau lebih. Namun rasio Ca:P rendah (0,4) sementara
rekomendasi yang baik adalah 1,0, maka konsumsi sorgum sebaiknya dibarengi dengan bahan
pangan yang mengandung Ca (Pontieri et al, 2014).
Tepung sorgum dapat dikombinasikan dengan tepung ubi jalar untuk pembuatan biskuit
dengan kandungan nutrisi dan sensoris yang baik. Kombinasi tersebut dapat meningkatkan
bioavaibilitas zat besi dan antioksidan (Infante et al., 2017). Hal ini berdampak baik bagi
konsumen untuk mencegah gejala terjadinya anemia. Dibandingkan dengan biskuit yang terbuat
dari 100% tepung gandum, biskuit dari tepung sorgum memiliki kandungan mineral magnesium,
fosfor, calsium, dan besi dan serat yang lebih tinggi. Pembuatan biskuit dengan menggunakan
sorgum sebagai pengganti tepung terigu dapat meningkatkan diversifikasi pangan dan
menurunkan biaya produksi bagi industri. Alternatif biskuit kaya akan besi dan zinc dapat
meningkatkan margin profit dari perusahaan (Rao et al., 2018).

53
3. Protein
Sorgum merupakan biji-bijian bebas gluten yang sangat berpotensi untuk dikembangkan
pada pasar produk-produk gluten-free. Protein sorgum diklasifikasikan menjadi albumin, globulin,
dan gelutelin yang terhitung 30%, sedangkan 70% sisanya merupakan prolamin larut alkohol
yang disebut kafirin (Belton et al., 2006). Gluten merupakan protein (yang terdapat pada gandum)
yang diperlukan dalam industri bakeri untuk pembentukan kohesivitas, ekstensibilitas dan
elastisitas adonan serta mampu menahan gas yang dihasilkan selama fermentasi (Bascuñán et
al., 2017). Namun gluten berdampak negatif dan harus dihilangkan pada pasien yang menderita
penyakit celiac karena konsumsi gluten dapat menyebabkan kerusakan usus yag serius dan
penghindaran total asupan gluten seumur hidup menjadi pengobatan efektif utamanya (Caputo
et al., 2010).
Kafirin terdiri dari α-kafirin, β-kafirin, dan γ-kafirin yang memiliki ikatan disulfida sistein-
sistein yang menyebabkan sorgum memiliki daya cerna yang rendah. Sorgum juga dapat
dimanfaatkan karena mengandung protein yang 70% merupakan kafirin. Kafirin merupakan
protein yang larut dalam alkohol dan mampu berperan sebagai antiinflamasi (Latz et al., 2013).
Sullivan et al. (2018) melakukan kajian terkait efek kafirin pada peradangan yang diinduksi
lipopolisakarida pada sel makrofag manusia. Kafirin yang didapatkan dari pemurnian sorgum
pada kadar 100 μg/mL mampu menurukan profuksi sitokin proinflamasi IL-1β, IL-6, dan TNF-α
masing-masing sebesar 28,3%, 74,0%, dan 81,4%.

4. Polifenol sebagai Sumber Antioksidan pada Sorgum


Sorgum memiliki senyawa polifenol terutama asam fenolat dan turunan flavonoid (Awika &
Rooney, 2004). Asam fenolat merupakan senyawa fenolik penyusun struktur dinding sel sereal
dan paling sering diesterifikasi menjadi hemiselulosa. Sekitar 70-95% asam fenolat pada sorgum
terikat secara kovalen dengan polisakarida dinding sel (Chiremba et al., 2012). Asam fenolat yang
tidak terikat secara kovalen pada polisakarida dapat berupa gliserol dan asam bebas tak
terkonjugasi. Senyawa polifenol bersama polisakarida dinding sel banyak dijumpai di dalam fraksi
dedak (jaringan perikarp, testa, dan aleuron). Hal ini lah yang menyebabkan biji sorgum utuh
(whole sorgum grain) berkontribusi secara signifikan terhadap manfaat kesehatan (Vitaglione et
al., 2015). Sorgum memiliki kandungan polifenol dan lipid bioaktif yang lebih tinggi dan beragam
daripada kebanyakan bij-bijian serealia lainnya. Polifenol pada sorgum terbentuk sebagai
metabolit sekunder untuk metode perlindungan diri dari patogen dan hama. Polifenol juga dapat
berperan sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas.
Flavonoid sorgum ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil (Zamora-Ros et al., 2016),
namun dapat berperan sebagai senyawa bioaktif yang terkait dengan fungsi antiinflamasi dan
kemoprotektif pada tingkat rendah (Agah et al., 2017). Flavonoid berperan penting dalam sifat
sensori makanan termasuk warna, rasa pahit, dan astringen. Flavonoid polimer seperti tanin juga
dapat secara signifikan mempengaruhi kecernaan makronutrien atau ketersediaan hayati (Mitaru

54
et al., 1984). Dua jenis flavonoid utama yang termasuk dalam subkelompok flavon yang
ditemukan di sorgum adalah luteolin dan apigenin (Bradwell et al., 2018). Luteolin dan apigenin
pada sorgum dilaporkan dengan konsentrasi masing-masing 0,84-5,5 μg/g dan 0,36-2,09 09μg/g
berat kering bergantung pada gen tanaman, kondisi pertumbuhan lingkungan, metode ekstraksi,
dan kondisi proses (Dia et al., 2016; Rhodes et al., 2014). Kedua senyawa ini dapat stabil dan
terhindar dari degradasi pada pH 2 dan 4.
Senyawa fenolik telah menunjukkan manfaat biologisnya yang secara potensial dapat
meningkatkan kesehatan. Berdasarkan penelitian Ritchie et al. (2015), dedak sorgum kaya
polifenol dilaporkan dapat mengubah mikrobiota usus besar dan keanekaragaman spesies dalam
induksi kimiawi model kolitis pada tikus. Suplemen berbasis sorgum dengan nama Jobelyn®
mampu menghambat peradangan akut pada tikus melalui antioksidan dan sifat stabilisasi
membran (Umukoro et al., 2015).
Antosianin merupakan salah satu flavonoid dari biji sorgum. Sorgum hitam memiliki
antosianin terutama luteolinidin dan apigenidin yang tinggi, dan bagian kulit (dedak) mengandung
antosianin 3 kali lebih tinggi daripada biji sorgum secara keseluruhan. Kandungan antosianin
pada kulit (dedak) sorgum hitam (4,0-9,8 mg ekuivalen luteolinidin) bahkan lebih tinggi dari
antosianin pada buah dan sayur berwarna (0,2-10 mg/g). Aktivitas antioksidan biji sorgum hitam
ini (52-400µmol TE/g) jauh lebih tinggi dari serealia lainnya (<0,1-34 mg TE/g). Oleh karena itu
sorgum hitam ini dapat dikembangkan menjadi pangan fungsional tinggi antioksidan (Awika,
Rooney & Waniska, 2005)
Tanin dapat berperan sebagai antinutrisi yang kurang menguntungkan dari sisi kecernaan
(Towo et al., 2006). Proantosianidin mampu mengikat protein dengan mudah, membentuk
kompleks yang dapat menahan hidrolisis enzim protease. Interaksi tanin-protein juga dapat
mengubah sifat enzim dan dengan demikian menyebabkan penghambatan enzim pencernaan
secara langsung, terutama ketika tanin hadir dalam bentuk yang dapat segera dilepaskan dari
matriks makanan. Efek gabungan ini dapat mengurangi kecernaan protein sebanyak 70% (Mitaru
et al., 1984). Namun demikian, karena struktur polimernya, tanin sorgum juga dapat
mempengaruhi kesehatan manusia dalam beberapa cara, termasuk interaksi dengan
makronutrien, aksi bioaktif langsung, dan interaksi dengan mikrobiota usus. Keberadaan tanin
memberi nilai postif untuk diet manusia yang ingin mengurangi jumlah kalori. Tanin sorgum
mampu mengikat protein dan menghambat enzim pencernaan serta pengangkut membran yang
terlibat dalam pengangkutan nutrisi. Anunciação et al. (2018) baru-baru ini menunjukkan bahwa
ketika manusia mengonsumsi minuman berbasis sorgum tannin mampu menurunkan respon
glikemik dibandingkan dengan kontrol non-tanin sorgum. Respon glikemik yang berkurang
menunjukkan bahwa tanin sorgum secara parsial menghambat kerja transporter glukosa
membran. Tanin sorgum terenkapsulasi secara signifikan berpengaruh pada respon glukosa
postprandial dari pemberian pati pada tikus (Links et al., 2016), akibat penghambatan enzim
amilase dan transporter glukosa membran. Selain mengikat protein, tanin dari sorgum juga dapat
55
mempengaruhi pati kompleks terutama amilosa, dan mengarah pada pembentukan pati yang
lambat dicerna dan resisten (Amoako & Awika, 2016; Barros et al., 2012). Sifat-sifat ini akan
bermanfaat bagi pengendalian diabetes dan berpotensi meningkatkan rasa kenyang.

5.3 Produk Pangan Fungsional Sorgum


Berbagai produk olahan makanan yang menggunakan sorgum baik sebagai bahan baku
utama (berbasis sorgum) atau sebagai bahan subtitusi tepung gandum sudah dikembangkan
seperti produk minuman rendah kalori, gluten free, sereal kaya serat, biskuit kaya mineral. Berikut
dipaparkan beberapa produk olahan sorgum yang telah dilaporkan memiliki nilai fungsional.
Produk bebas gluten. Protein sorgum tidak menyebabkan alergi autoimun reaksi dan,
dengan demikian, konsumsi produk sorgum direkomendasikan sebagai aman untuk orang
dengan penyakit celiac (de Morais Cardoso et al., 2017). Akibatnya, sorgum digunakan dalam
formulasi beberapa produk makanan bebas gluten (Hamad et al., 2018).
Sorgum telah banyak dikembangkan menjadi produk pangan bebas gluten, dalam
reviewnya Adiamo et al (2017) antara lain untuk produk roti dan bakeri lainnya, mi, minuman
beralkohol bahkan bubur untuk makanan bayi. Untuk dapat dijadikan roti, tepung sorgum dapat
dicampur dengan tepung non gluten lainnya seperti tepung jagung, tepung beras atau pati
tapioka, ditambahkan hidrokoloid seperti hidroksipropilmetil selulosa dengan konsentrasi 3%,
telur atau gum xanthan untuk memperbaiki volume dan tekstur roti yang dihasilkan. Penambahan
air pada formulasi roti sorgum membutuhkan air lebih banyak (90-120%) sehingga terlihat lebih
encer adonannya daripada adonan roti berbahan dasar tepung gandum. Sorgum juga dapat
dibuat roti dengan metode sourdough, keberadaan eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri
asam laktat selama fermentasi dapat digunakan untuk mengurangi/menggantikan hidrokoloid.
Sorgum dapat dijadikan bahan pembuatan mi dan pasta bebas gluten. Menurut Rooney &
Waniska (2000) mi sorgum dengan kualitas yang dapat diterima dapat diproses menggunakan
tepung dari endosperm sorgum yang keras. Sementara untuk membuat pasta sebaiknya
menggunakan bahan sorgum dengan tekstur yang lunak, warna endosperm kuning, perikarpnya
putih dan tidak memiliki lapisan testa.
Breakfast cereal. Anunciação et al. (2017) melakukan penelitian membandingkan
breakfast cereals yang terbuat dari tepung gandum utuh dan tepung sorgum utuh untuk melihat
penerimaan sensori panelis serta kandungan vitamin dan antioksidan pada sereal yang
dihasilkan. Didapatkan sereal dari tepung sorghum utuh memiliki kualitas sensori yang lebih baik,
kandungan 3-deoxyanthocyanidin dan polifenol yang lebih tinggi dibandingkan sereal dari
gandum utuh. Hal ini berkontribusi terhadap kadar antioksidan dari sereal yang mengalami
peningkatan dengan penggunaan tepung sorgum utuh dibandingkan dengan gandum utuh.
Lopes et al. (2018) melakukan evaluasi manfaat kesehatan dari konsumsi breakfast cereals
yang terbuat dari tepung sorgum utuh yang dikombinasikan dengan susu probiotik tanpa
fermentasi dan dibandingkan dengan sereal dari ekstrudat jagung. Sereal sorgum yang diekstrusi

56
menunjukkan kandungan fosfor yang lebih rendah, jumlah kalium yang sama, dan kandungan
seng, magnesium, kalsium, mangan, dan zat besi yang lebih tinggi daripada yang ditunjukkan
oleh jagung yang diekstrusi. Kandungan fosfor dan kalium yang tinggi dapat menjadi faktor
pembatas untuk mempertimbangkan sorgum yang diekstrusi sebagai makanan yang ideal untuk
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Rekomendasi nutrisi menyarankan bahwa makanan yang
diindikasikan untuk pasien penyakit ginjal kronis harus memiliki kandungan kalium < 5mEq atau
195 mg per porsi (Riella & Martins, 2013).
Kombinasi dari 40 gram sereal sorgum yang diekstrusi dan 100mL minuman susu probiotik
selama tujuh minggu intervensi, dapat menurunkan tingkat CRP dan MDA, serta meningkatkan
TAC dan SOD jika dibandingkan dengan sereal dari ekstrudat jagung dan 100 mL susu). Hasil
ini mungkin terkait dengan kandungan zinc, serat makanan, tanin, senyawa fenolik, dan
kandungan flavonoid dalam sereal sorgum yang diekstrusi dan konsentrasi Bifidobacterium
longum yang ada dalam susu probiotik. Asupan susu probiotik yang terkait dengan sorgum
ekstrusi yang disajikan tinggi konsentrasi serat makanan dan senyawa polifenol dapat
berkontribusi pada perubahan lingkungan kolon dan pengurangan stres oksidatif pada pasien
penyakit ginjal kronis. Fermentasi serat oleh probiotik dapat meningkatkan produksi asam lemak
rantai pendek dan menurunkan pH kolon, mendukung pertumbuhan bakteri gram positif dan
mengurangi adanya lipopolisakarida salah satu penyebab meningkatnya stres oksidatif dan
peradangan (Kallapura et al., 2014).
Bakpao. Penambahan sorgum pada pembuatan bakpao juga secara signifikan mampu
meningkatkan kandungan polifenol dan aktivitas antioksidan, berdasarkan uji berbasis kimia dan
seluler. Peningkatan kadar fenolik dan aktivitas antioksidan dari bakpao yang mengandung
sorgum akan membantu dalam pelaksanaan diet seimbang dan mengurangi resiko beberapa
penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes tipe 2 (Wu et al., 2018).
Minuman bubuk rendah kalori. Queiroz et al. (2018) mengembangkan minuman
campuran sorgum dalam bentuk bubuk dengan klaim rendah kalori. Biji sorgum bertanin
diekstrusi untuk kemudian ditepungkan menjadi bubuk sorgum. Selanjutnya dicampur dengan
susu skim bubuk, bubuk cokelat, dan gum xanthan. Semua bahan dicampur kemudian sebanyak
35g diseduh dengan 250 ml air atau susu. Salah satu senyawa yang dimanfaatkan pada produk
ini adalah tanin untuk menurunkan daya cerna dari bahan. Minuman ini secara umum diterima
oleh konsumen (panelis) dengan parameter warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan
keseluruhan. Tanin tidak terlalu berpengaruh terhadap rasa dari minuman yang dihasilkan. Tanin
juga memberikan dampak positif yaitu dengan perannya sebagai antioksidan.
Minuman simile yoghurt. Yoghurt umumnya terbuat dari bahan utama susu, namun
protein susu dapat menyebabkan alergi dan kandungan gula susu, laktosa, menyebabkan
masalah bagi orang yang intoleran terhadap laktose. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan
manusia untuk membuat produk yoghurt non susu. Simile yoghurt umumnya bebas susu dan
terbuat dari biji-bijian yang dikecambahkan kemudian difermentasi dengan bakteri asam laktat.
57
Garzon et al (2020) melaporkan bahwa biji sorgum yang telah dikecambahkan 25oC selama 3
hari, kemudian ditepungkan, dan dibuat minuman fermentasi dengan BAL dapat meningkatkan
kandungan GABA dan senyawa fenolik seperti p-coumaric bebas dan asam sinapat. Fermentasi
bakteri asam laktat meningkatkan kandungan GABA 20-30% dibanding bahan baku. Intestinal
bioaccessibility dari GABA dari produk tersebut sekitar 30%.

58
DAFTAR PUSTAKA

Agah, S., Kim, H., Mertens-Talcott, S. U., & Awika, J. M. (2017). Complementary cereals and
legumes for health: Synergistic interaction of sorghum flavones and cowpea flavonols
against LPS-induced inflammation in colonic myofibroblasts. Molecular Nutrition and Food
Research. https://doi.org/10.1002/mnfr.201600625
Althwab, S., Carr, T. P., Weller, C. L., Dweikat, I. M., & Schlegel, V. (2015). Advances in grain
sorghum and its co-products as a human health promoting dietary system. In Food Research
International. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2015.08.011
Amoako, D., & Awika, J. M. (2016). Polyphenol interaction with food carbohydrates and
consequences on availability of dietary glucose. In Current Opinion in Food Science.
https://doi.org/10.1016/j.cofs.2016.01.010
Anunciação, P. C., Cardoso, L. de M., Gomes, J. V. P., Della Lucia, C. M., Carvalho, C. W. P.,
Galdeano, M. C., Queiroz, V. A. V., Alfenas, R. de C. G., Martino, H. S. D., & Pinheiro-
Sant’Ana, H. M. (2017). Comparing sorghum and wheat whole grain breakfast cereals:
Sensorial acceptance and bioactive compound content. Food Chemistry.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.11.065
Anunciação, P. C., Cardoso, L. de M., Queiroz, V. A. V., de Menezes, C. B., de Carvalho, C. W.
P., Pinheiro-Sant’Ana, H. M., & Alfenas, R. de C. G. (2018). Consumption of a drink
containing extruded sorghum reduces glycaemic response of the subsequent meal.
European Journal of Nutrition. https://doi.org/10.1007/s00394-016-1314-x
Awika, J. M., & Rooney, L. W. (2004). Sorghum phytochemicals and their potential impact on
human health. In Phytochemistry. https://doi.org/10.1016/j.phytochem.2004.04.001
Awika, J. M., Rose, D. J., & Simsek, S. (2018). Complementary effects of cereal and pulse
polyphenols and dietary fiber on chronic inflammation and gut health. In Food and Function.
https://doi.org/10.1039/c7fo02011b
Barros, F., Awika, J. M., & Rooney, L. W. (2012). Interaction of tannins and other sorghum
phenolic compounds with starch and effects on in vitro starch digestibility. Journal of
Agricultural and Food Chemistry. https://doi.org/10.1021/jf3034539
Bascuñán, K. A., Vespa, M. C., & Araya, M. (2017). Celiac disease: understanding the gluten-
free diet. In European Journal of Nutrition. https://doi.org/10.1007/s00394-016-1238-5
Belton, P. S., Delgadillo, I., Halford, N. G., & Shewry, P. R. (2006). Kafirin structure and
functionality. In Journal of Cereal Science. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2006.05.004
Bradwell, J., Hurd, M., Pangloli, P., McClure, A., & Dia, V. P. (2018). Storage stability of sorghum
phenolic extracts’ flavones luteolin and apigenin. LWT.
https://doi.org/10.1016/j.lwt.2018.08.006
Caputo, I., Lepretti, M., Martucciello, S., & Esposito, C. (2010). Enzymatic strategies to detoxify
gluten: Implications for celiac disease. In Enzyme Research.
https://doi.org/10.4061/2010/174354
Chiremba, C., Taylor, J. R. N., Rooney, L. W., & Beta, T. (2012). Phenolic acid content of sorghum
and maize cultivars varying in hardness. Food Chemistry.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2012.02.067
de Morais Cardoso, L., Pinheiro, S. S., Martino, H. S. D., & Pinheiro-Sant’Ana, H. M. (2017).
Sorghum (Sorghum bicolor L.): Nutrients, bioactive compounds, and potential impact on
human health. Critical Reviews in Food Science and Nutrition.
https://doi.org/10.1080/10408398.2014.887057
Dia, V. P., Pangloli, P., Jones, L., McClure, A., & Patel, A. (2016). Phytochemical concentrations
and biological activities of: Sorghum bicolor alcoholic extracts. Food and Function.
https://doi.org/10.1039/c6fo00757k
Girard, A. L., & Awika, J. M. (2018). Sorghum polyphenols and other bioactive components as
functional and health promoting food ingredients. In Journal of Cereal Science.
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2018.10.009
Hamad, Solafa Abdulrahim Ali, Magboul, B. I., Mustafa, A. M. I., & Mohamed Ahmed, I. A. (2018).
Physicochemical attributes and starch functional properties of high β -glucan sorghum inbred
line . World Journal of Science, Technology and Sustainable Development.
59
https://doi.org/10.1108/wjstsd-03-2018-0017
Harris, P. J., & Fincher, G. B. (2009). Distribution, fine structure and function of (1,3;1,4)----lucans
in the grasses and other taxa. In Chemistry, Biochemistry, and Biology of 1-3 Beta Glucans
and Related Polysaccharides. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-373971-1.00021-2
Hediger, M. L., England, L. J., Molloy, C. A., Yu, K. F., Manning-Courtney, P., & Mills, J. L. (2008).
Reduced bone cortical thickness in boys with autism or autism spectrum disorder. Journal
of Autism and Developmental Disorders. https://doi.org/10.1007/s10803-007-0453-6
Infante, R. A., Natal, D. I. G., Moreira, M. E. de C., Bastiani, M. I. D., Chagas, C. G. O., Nutti, M.
R., Queiróz, V. A. V., & Martino, H. S. D. (2017). Enriched sorghum cookies with biofortified
sweet potato carotenoids have good acceptance and high iron bioavailability.
Jalili, T., Wildman, R. E. C., & Medeiros, D. M. (2000). Nutraceutical roles of dietary fiber. In
Journal of Nutraceuticals, Functional and Medical Foods.
https://doi.org/10.1300/J133v02n04_03
Kallapura, G., Pumford, N. R., Hernández-Velasco, X., Hargis, B. M., & Téllez, G. (2014).
Mechanisms Involved in Lipopolysaccharide Derived ROS and RNS Oxidative Stress and
Septic Shock. Journal of Microbiology Research and Reviews.
Karaivanova, M., Drenska, D., & Ovcharov, R. (1990). [A modification of the toxic effects of
platinum complexes with antocyans]. Eksperimentalna Meditsina i Morfologiia.
Latz, E., Xiao, T. S., & Stutz, A. (2013). Activation and regulation of the inflammasomes. In Nature
Reviews Immunology. https://doi.org/10.1038/nri3452
Links, M. R., Taylor, J., Kruger, M. C., Naidoo, V., & Taylor, J. R. N. (2016). Kafirin microparticle
encapsulated sorghum condensed tannins exhibit potential as an anti-hyperglycaemic agent
in a small animal model. Journal of Functional Foods.
https://doi.org/10.1016/j.jff.2015.11.015
Lopes, R. de C. S. O., de Lima, S. L. S., da Silva, B. P., Toledo, R. C. L., Moreira, M. E. de C.,
Anunciação, P. C., Walter, E. H. M., Carvalho, C. W. P., Queiroz, V. A. V., Ribeiro, A. Q., &
Martino, H. S. D. (2018). Evaluation of the health benefits of consumption of extruded tannin
sorghum with unfermented probiotic milk in individuals with chronic kidney disease. Food
Research International. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2018.03.004
Manach, C., Mazur, A., & Scalbert, A. (2005). Polyphenols and prevention of cardiovascular
diseases. In Current Opinion in Lipidology. https://doi.org/10.1097/00041433-200502000-
00013
Mitaru, B. N., Reichert, R. D., & Blair, R. (1984). The binding of dietary proteins by sorghum
tannins in the digestive tract of pigs. Journal of Nutrition.
https://doi.org/10.1093/jn/114.10.1787
Queiroz, V. A. V., Aguiar, A. da S., de Menezes, C. B., de Carvalho, C. W. P., Paiva, C. L.,
Fonseca, P. C., & da Conceição, R. R. P. (2018). A low calorie and nutritive sorghum
powdered drink mix: Influence of tannin on the sensorial and functional properties. Journal
of Cereal Science. https://doi.org/10.1016/j.jcs.2017.10.001
Rao, B. D., Kulkarni, D. B., & Kavitha, C. (2018). Study on evaluation of starch, dietary fiber and
mineral composition of cookies developed from 12 sorghum cultivars. Food Chemistry.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.12.069
Rhodes, D. H., Hoffmann, L., Rooney, W. L., Ramu, P., Morris, G. P., & Kresovich, S. (2014).
Genome-wide association study of grain polyphenol concentrations in global sorghum
[Sorghum bicolor (L.) Moench] germplasm. Journal of Agricultural and Food Chemistry.
https://doi.org/10.1021/jf503651t
Riella, M. C., & Martins, C. (2013). Nutrição e o Rim. In Riella, Miguel Carlos Nutrição e o rim/
Miguel C. Riella, Cristina Martins. - 2.ed. - Rio de Janeiro: Guanabara Koogan, 2013. il. ISBN
978-85-277-2259-9.
Ritchie, L. E., Sturino, J. M., Carroll, R. J., Rooney, L. W., Andrea Azcarate-Peril, M., & Turner,
N. D. (2015). Polyphenol-rich sorghum brans alter colon microbiota and impact species
diversity and species richness after multiple bouts of dextran sodium sulfate-induced colitis.
FEMS Microbiology Ecology. https://doi.org/10.1093/femsec/fiv008
Roberfroid, M. (2002). Functional food concept and its application to prebiotics. Digestive and
Liver Disease, 34, S105-S110. doi:https://doi.org/10.1016/S1590-8658(02)80176-1
Schober, T. J., Bean, S. R., & Boyle, D. L. (2007). Gluten-free sorghum bread improved by
60
sourdough fermentation: Biochemical, rheological, and microstructural background. Journal
of Agricultural and Food Chemistry. https://doi.org/10.1021/jf0704155
Shen, Y., Song, X., Chen, Y., Li, L., Sun, J., Huang, C., Ou, S., & Zhang, H. (2017). Effects of
sorghum, purple rice and rhubarb rice on lipids status and antioxidant capacity in mice fed a
high-fat diet. Journal of Functional Foods. https://doi.org/10.1016/j.jff.2017.10.017
Shimizu T. (2003). Health claims on functional foods: the Japanese regulations and an
international comparison. Nutr Res Rev. 2003 Dec;16(2):241-52. doi: 10.1079/NRR200363.
PMID: 19087392.
Sloan, A. E. (2002). The top 10 functional food trends: The next generation. Food Technology.
Sullivan, A. C., Pangloli, P., & Dia, V. P. (2018). Kafirin from Sorghum bicolor inhibition of
inflammation in THP-1 human macrophages is associated with reduction of intracellular
reactive oxygen species. Food and Chemical Toxicology.
https://doi.org/10.1016/j.fct.2017.12.002
Towo, E., Matuschek, E., & Svanberg, U. (2006). Fermentation and enzyme treatment of tannin
sorghum gruels: Effects on phenolic compounds, phytate and in vitro accessible iron. Food
Chemistry. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2004.11.027
Umukoro, S., Oluwole, O. G., Eduviere, A. T., Adrian, O. I., & Ajayi, A. M. (2015). Jobelyn®
exhibited anti-inflammatory, antioxidant, and membrane-stabilizing activities in experimental
models. Journal of Basic and Clinical Physiology and Pharmacology.
https://doi.org/10.1515/jbcpp-2014-0113
Vitaglione, P., Mennella, I., Ferracane, R., Rivellese, A. A., Giacco, R., Ercolini, D., Gibbons, S.
M., La Storia, A., Gilbert, J. A., Jonnalagadda, S., Thielecke, F., Gallo, M. A., Scalfi, L., &
Fogliano, V. (2015). Whole-grain wheat consumption reduces inflammation in a randomized
controlled trial on overweight and obese subjects with unhealthy dietary and lifestyle
behaviors: Role of polyphenols bound to cereal dietary fiber. American Journal of Clinical
Nutrition. https://doi.org/10.3945/ajcn.114.088120
Wang, H., Cao, G., & Prior, R. L. (1997). Oxygen Radical Absorbing Capacity of Anthocyanins.
Journal of Agricultural and Food Chemistry. https://doi.org/10.1021/jf960421t
Wu, G., Shen, Y., Qi, Y., Zhang, H., Wang, L., Qian, H., Qi, X., Li, Y., & Johnson, S. K. (2018).
Improvement of in vitro and cellular antioxidant properties of Chinese steamed bread through
sorghum addition. LWT - Food Science and Technology.
https://doi.org/10.1016/j.lwt.2017.12.074
Wu, X., & Prior, R. L. (2005). Identification and characterization of anthocyanins by high-
performance liquid chromatography-electrospray ionization-tandem mass spectrometry in
common foods in the United States: Vegetables, nuts, and grains. Journal of Agricultural and
Food Chemistry. https://doi.org/10.1021/jf0478861
Zakariah, F. R., Tahir, R., Suismono, Subarna, & Waysima. (2009). Produksi dan pemasaran
tepung instan serealia sorgum dan jewawut sebagai panganfungsional antikanker. Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. IPB. Bogor
Zamora-Ros, R., Knaze, V., Rothwell, J. A., Hémon, B., Moskal, A., Overvad, K., Tjønneland, A.,
Kyrø, C., Fagherazzi, G., Boutron-Ruault, M. C., Touillaud, M., Katzke, V., Kühn, T., Boeing,
H., Förster, J., Trichopoulou, A., Valanou, E., Peppa, E., Palli, D., … Scalbert, A. (2016).
Dietary polyphenol intake in europe: The european prospective investigation into cancer and
nutrition (EPIC) study. European Journal of Nutrition. https://doi.org/10.1007/s00394-015-
0950-x

61
BAB VI. BIJI SORGUM COKLAT LOKAL

(Erni Sofia Murtini)

6.1 Karakteristik dan Pemanfaatannya

Di beberapa daerah di Jawa timur dapat dijumpai sorgum coklat lokal yang sering disebut
dengan cantel. Biji sorgum coklat yang didapatkan dari daerah Grati, Pasuruan Jawa Timur
memiliki kenampakan biji seperti yang disajikan pada Gambar 6.1. Biji sorgum ini telah
dimanfaatkan sebagian masyarakat sebagai alternatif makanan pokok saat musim kemarau dan
tidak cukup air untuk dapat menanam padi. Karakteristik fisik biji sorgum disajikan pada Tabel
6.1.

Gambar 6. 1 Biji sorgum coklat yang didapatkan dari Grati Pasuruan, biji utuh dan yang sudah
disosoh dengan penyosoh beras 4 kali dan penampang melintang biji sorgum

62
Biji sorgum coklat seperti namanya memiliki kulit luar yang berwarna coklat. Biji ini relatif
kecil dengan dimensi dan berat 100 biji seperti yang tercantum pada Tabel 6.1. Barangkali ini
disebabkan karena penanamananya yang dilakukan pada musim kemarau dengan air yang
terbatas. Jika tanaman sorgum dirawat dan cukup air, berat biji sorgum bisa lebih baik (Wu et al,
2017). Namun demikian, berat biji sorgum juga ditentukan oleh varietas. Berat 100 biji sorgum
coklat ini mirip dengan berat 100 biji beberapa varietas yang dilaporkan Holmes et al (2017) yaitu
sorgum merah dari Meksiko (2,26 g), namun lebih ringan dibanding sorgum kuning dari Kamerun
(5,24g) dan sorgum putih Nigeria (3,22g).
Secara struktur biji sorgum coklat tersusun atas lapisan pericarp (kulit terluar) yang
warnanya coklat, lapisan testa, bagian lembaga dan bagian endosperm. Endosperm yang ada
pada biji sorgum terbagi menjadi area yang nampak transparan (corneous) yang keras, dan
bagian yang putih (floury) yang lebih mudah ditepungkan.
Biji sorgum di daerah ini biasa disosoh menggunakan penyosoh beras untuk
menghilangkan bagian kulit bijinya. Namun demikian, karena dimensi biji (panjang, lebar dan
tebal sekitar 3,81, 2,77 dan 2,13 mm) yang berbeda dengan biji beras (short grain memiliki
panjang 5,3 mm dan lebar 3,0 mm dan IR 64 panjang 6,93 mm lebar 2,13 mm), maka penyosohan
meski telah dilakukan 4 kali, tetap tidak dapat menghilangkan kulit biji dan lapisan testa secara
optimal, meskipun bagian germ/lembaga bisa dihilangkan. Penyosohan dengan cara ini akan
didapatkan rendemen biji sosoh sebanyak 78% dan menyisahkan dedak 22%. Jumlah dedak ini
lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Awika et al (2003) yaitu 12-15%. Penyosohan tidak dapat
dilakukan lebih dari 4 kali, karena biji akan remuk karena panas yang ditimbulkan dari gesekan
dengan mesin penyosoh yang semakin tinggi, dan berakibat pada rendemen yang didapatkan
menjadi lebih sedikit.
Penyosohan sorgum dengan kandungan tanin tinggi merupakan suatu tantangan, selain
terdapatnya senyawa antigizi tanin pada lapisan testa yang harus dihilangkan, sorgum jenis ini
juga memiliki biji yang cenderung soft (rapuh) sehingga sulit untuk didapatkan endosperm utuh
(Beta et al, 2000). Sorghum coklat cenderung lebih lunak dan lebih mudah mengalami kerusakan
karena serangga dalam penyimpanan dibanding sorghum putih (FAO, 1991). Beberapa alasan
kenapa biji sorghum coklat susah untuk diproses, adalah 1) bila pericarp dihilangkan dari bagain
luar (‘diselep’=abrasive), maka testa merupakan bagian paling akhir yang bisa dihilangkan, 2) bila
biji sorghum ini dibasahi, kulit yang dapat dihilangkan hanya bagian pericarp, sementara testa
tetap terikat pada endosperm, dan 3) biji sorghum coklat cenderung lunak, dan endospermnya
mudah pecah bila dilakukan pengulitan secara mekanis (FAO, 1991).
Gambar 6.1 menunjukkan bahwa penyosohan biji sorgum dengan penyosoh beras hanya
mampu menghilangkan kulit dan testa pada bagian dekat dengan lembaga, dan masih
menyisahkan banyak kulit dan testa di bagian ujung (crown area). Menurut Beta et al (2000)
kesulitan dalam penggilingan sorgum yang mengandung tanin seperti sorgum coklat ini adalah
menghilangkan tanin sebanyak mungkin. Menurut Waniska (2005) bagian testa lebih tebal pada
63
daerah ujung dibanding di bagian dekat lembaga. Tanin banyak terdapat di lapisan testa ini,
sehingga dengan penyosohan cara ini masih menyisahkan tanin yang cukup tinggi yaitu 8,83
mg/g (Tabel 6.2). Keberadaan lapisan testa atau senyawa tanin ini lah yang menyebabkan saat
biji ditepungkan, tepung yang dihasilkan berwarna kecoklatan, meskipun endosperm biji yang
didominasi pati berwarna putih. Oleh karena itu, diperlukan mesin penyosoh yang memang
didesain khusus menyesuaikan dimensi biji sorgum, agar penyosohan optimal menghilangkan
kulit dan testa/tanin serta menghasilkan rendemen endospem yang lebih tinggi dan warna tepung
yang lebih putih.

Tabel 6. 1 Karakteristik fisik dan kimia biji sorgum coklat

Uji Satuan Hasil


Dimensi
Panjang mm 3,81
Lebar mm 2,77
Tebal mm 2,13
Densitas kamba
- biji sebelum disosoh g/ml 0,71
- biji setelah disosoh g/ml 0,87
Berat 100 biji
- sebelum sosoh g 2,01
Sesudah sosoh g 1,57
Hasil 4 kali penyosohan
- dedak % 22,01
- endosperm % 77,99
Analisis warna tepung
- dari biji sebelum sosoh L 57,66, a 13,24, b 18,06
- dari biji yang sudah disosoh L 63,16, a 13,04, b 16,50

Sumber: Murtini dkk (2018)

Secara kimia, kandungan biji sorgum coklat ditampilkan pada Tabel 6.2. Komponen
terbanyak biji sorgum adalah pati 70,75% dengan kandungan protein yang cukup tinggi 11,78%
sebelum sosoh. Komposisi sorgum ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tanaman pangan
yang lain seperti beras, jagung dan gandum. Namun demikian, hal yang membatasi penggunaan
biji sorgum coklat sebagai tanaman pangan adalah kandungan senyawa antigizi yang
dikandungnya yaitu fenol termasuk tanin, fitat dan antitripsin. Selain itu, kandungan protein yang
tinggi tidak diimbangi dengan kecernaannya yang relatif rendah (48,5 % in vitro dan 52,0% in
vivo), yang salah satunya disebabkan oleh keberadaan tanin yang dapat mengikat protein,
adanya antitripsin yang dapat menghalangi hidrolisis protein oleh protease dan juga struktur
protein sorgum yang didominasi oleh kafirin yang memiliki ikatan disulfit cukup banyak.
Selanjutnya dipersilahkan membaca artikel jurnal berjudul ‘karakterisasi potensi dan komponen
pembatas pada biji sorgum lokal varietas coklat sebagai tanaman pangan’ (Murtini dkk, 2018).

64
Tabel 6. 2 Karakteristik kimia biji sorgum coklat
Uji Satuan Hasil
Proksimat
Kadar air % 10,39
Kadar abu % 0,43
Kadar serat % 0,41
Kadar lemak % 0,74
Kadar pati % 70,75
Kadar protein (biji tanpa sosoh) % 11,78
(biji disosoh) % 10,62
Fraksinasi protein
Albumin % 11,47
Globulin % 1,47
Acetic acid-soluble proteins % 2,57
NaOH-soluble proteins % 13,11
Kafirin % 71,40
Berat molekul kafirin
a kafirin kda 21,96
β kafirin kda 26,56
γ kafirin kda 29,21
Ikatan S-S pada kafirin µmol/g 550,43
Gugus SH bebas pada kafirin µmol/g 19,29
Asam amino penyusun protein % b/b total protein
Aspartam 1,42
Glutamat 2,89
Serin 0,65
Histidin 0,54
Glisin 0,92
Threonin 0,69
Arginin 1,11
Alanin 1,29
Tyrosin 0,68
Methionin 0,15
Valin 1,16
Phenilalanin 0,82
Isoleusin 0,83
Leusin 1,75
Lysin 0,43
tryptopan 0,25
Daya cerna protein
In vivo (PER) % 52,00
In vitro % 48,45
Senyawa anti gizi
Total fenol mg/g 11,40
Tanin mg/g 8,83
Fitat mg/g 1,80
Anti tripsin unit/g 17,19
Sumber: Murtini dkk (2018).

6.2 Pemanfaatan Biji Sorgum Coklat

Biji sorgum coklat secara tradisional telah digunakan sebagai bagian dari olahan jajanan
seperti cenil atau pengganti nasi untuk makanan pokok. Untuk dijadikan cenil, biji sorgum sosoh
direbus dengan air sampai teksturnya lunak dan mengental, setelah itu dikonsumsi dengan
65
ditabur kelapa parut dan sirup gula merah/kelapa di atasnya. Untuk dijadikan pengganti nasi, biji
yang telah disosoh di tanak seperti menanak nasi dan dimakan dengan lauk/sayur. Selain dua
produk tersebut, biji sorgum coklat dapat diolah lebih lanjut dengan cara difermentasi baik secara
terendam untuk dijadikan ampok, maupun solid state ditempekan. Setelah jadi ampok atau tempe
bisa dikeringkan dan ditepungkan untuk menjadi tepung sorgum yang memiliki nilai fungsional
dan dapat diaplikasikan menjadi banyak produk olahan seperti muffin, roti, mi, dan sebagainya.

1. Ampok sorgum coklat


Ampok adalah istilah yang digunakan untuk menyebut produk fermentasi biji jagung yang
diolah melalui tahapan proses biji jagung dipecah hingga menjadi grit, direndam selama 3-4 hari
dalam air hingga terjadi fermentasi secara spontan, grit selanjutnya dikeringkan dan siap untuk
ditanak. Proses ini kemudian diadopsi untuk membuat ampok dari biji sorgum, namun produk
akhir dari pembuatan ampok sorgum tidak ditanak menjadi nasi ampok, namun ditepungkan
untuk dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk olahan pangan. Sebelum
difermentasi menggunakan metode ampok, biji sorghum sosoh di pecah menggunakan mesin
penepung sampai terbentuk grit dengan ukuran ½ sampai ¼ biji utuh. Tahapan membuat ampok
sorgum meliputi perendaman dalam air dengan rasio sorgum: air 1:4 selama 4 hari dalam wadah
yang ditutup (kain saring) tanpa penggantian air, dicuci, dikeringkan pada suhu 55oC selama 12
jam, ditepungkan dan diayak, seperti disajikan pada gambar 6.2.

Grit sorgum Direndam Dikeringkan Ditepungkan


Gambar 6. 2. Proses pembuatan ampok sorgum

Struktur biji sorgum yang keras dan dilapisi oleh kulit luar yang licin dan kuat membuat air
sulit untuk menembus kulit biji. Sehingga, untuk mempermudah perendaman, biji disosoh dan biji
dipecah terlebih dulu menjadi grit. Selama proses perendaman air menghidrasi biji dan
selanjutnya terjadi proses fermentasi secara spontan, yang ditandai dengan terbentuknya
gelembung gas di bagian atas, air rendaman menjadi sedikit viskus dan pH air rendaman yang
turun dari sekitar 7 menjadi 5,8 di akhir perendaman. Selama 4 hari perendaman terdapat
berbagai mikroba yang terlibat. Teridentifikasi sebanyak 25 isolat bakteri dengan ciri gram positif,
tidak motil, bentuk sel coccus/basil, putih susu dengan elevasi timbul, tepian entire, koloni bulat,
katalase negatif, tipe fermentasi asam dan lain-lain yang diduga dari golongan Streptococcus dan
Lactobacillus serta 76 isolat khamir yang memiliki karakteristik morfologi berwarna putih susu,

66
berbentuk bulat/oval, pewarnaan positif, tidak motil, menghasilkan alkohol dan gas, serta mampu
memfermentasi glukosa, fruktosa dan sukrosa yang diduga dari golongan Sacharomices sp
(Murtini dan Utami; data belum dipublikasi). Pertumbuhan mikroba tersebut nampak terjadi
secara suksesi, seperti tersaji pada gambar 6.3. Setelah 1 hari perendaman, terjadi peningkatan
jumlah bakteri dan khamir dengan jumlah bakteri lebih banyak dari kamir, peningkatan jumlah
bakteri dan kamir masih terjadi pada hari kedua, namun jumlah bakteri turun setelah hari kedua
dan kamir mendominasi. Turunnya jumlah bakteri setelah hari ke-2 dan kamir setelah hari ke-3
dapat disebabkan salah satunya adalah peningkatan konsentrasi metabolit yang bisa
menghambat pertumbuhan mikroba tersebut. Mikroba yang terlibat dalam perendaman ampok
memiliki aktivitas amilase dan protease.

Gambar 6. 3. Kurva pertumbuhan mikroba yang terlibat dalam fermentasi spontan ampok sorgum

2. Tempe sorgum coklat


Tempe umumnya terbuat dari kedelai dengan menggunakan starter ragi tempe yang di
dalamya terdapat campuran mikroba didominasi oleh jamur Rhizopus sp. Tempe dinela dengan
sebutan super food karena nutrisnya yang bagus, baik disumbangkan oleh kedelai sebagai bahan
baku atau degradasi/sintesis yang terbentuk selama fermentasi tempe. Oleh karena itu, biji
sorgum difermentasi dengan mengadopsi proses pembuatan tempe dengan harapan perubahan-
perubahan positif yang didapatkan selama fermentasi tempe juga terjadi pada tempe sorgum.
Salah satu kelemahan biji sorgum coklat adalah daya cerna proteinnya yang rendah, sehingga
dengan fermentasi menjadi tempe sorgum, diharapkan daya cerna proteinnya meningkat.
Tempe sorgum dipersiapkan dengan urutan proses 1) perendaman; biji sorgum direndam
dalam air dengan rasio 1:3 selama 1 hari (24 jam), 2) perebusan; biji sorgum yang telah direndam
selama 24 jam direbus sampai mendidih dan dipertahankan selama 10 menit, 3) pendinginan; biji
67
sorgum rebus ditiriskan dan dibiarkan dingin hingga mencapai suhu ruang, 4) inokulasi; ragi
tempe dalam bentuk powder sebanyak 0,1% (dari berat biji sorgum) dicampurkan dengan biji
sorgum, 5) pengemasan dan inkubasi; biji sorgum yang telah tercampur dengan starter dikemas
dalam plastik yang telah dilubangi (perforasi) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari
(60-72 jam), hingga dihasilkan tempe (Gambar 6.4). Proses pembentukan miselia kapang pada
fermentasi tempe sorgum digambarkan oleh Murtini, Radite & Sutrisno (2011) bahwa meskipun
pada jam ke 24 telah terdapat tanda adanya metabolisme mikroba dengan terlihatnya uap air
menempel di plastik pembungkus, namun belum terlihat miselia terbentuk. Miselia tipis terlihat
pada jam ke 36 dan membentuk lapisan miselia putih tebal pada jam ke 60 dan pada saat inilah
sebaiknya tempe sorgum dipanen, karena jika fermentasi dilanjutkan sampai jam ke-72 miselia
menjadi kehitaman karena terbentuknya spora jamur.

Gambar 6. 4. Tempe sorgum

Andayani, Wardani & Murtini (2008) melakukan isolasi dan identifikasi mikroba dari tempe
sorgum. Dari isolasi tersebut didapatkan 25 isolat bakteri asam laktat dari genus lactococcus sp,
enterococcus sp dan streptococcus sp, 10 isolat khamir Saccharomycessp dan 1 isolat jamur
Rhizopus sp. Isolat-isolat tersebut memiliki aktivitas amilolitik dan proteolitik ( untuk informasi
lebih banyak silahkan baca artikel dengan judul ‘isolasi dan identifikasi mikrob dari tempe sorgum
coklat serta potensinya dalam mendegradasi pati dan protein).
Perubahan yang terjadi selama fermentasi tempe sorgum adalah terjadinya 1)penurunan
pH dari kisaran 6 menjadi sekitar 4 pada akhir fermentasi jam ke-72. Hal ini karena dalam
fermentasi terdapat mikroba yang berperan mendegradasi pati, menghasilkan gula yang
selanjutnya diubah menjadi asam. 2) Kandungan protein sedikit menurun pada proses
perendaman dan awal fermentasi karena pengaruh naiknya kadar air, namun setelah itu terjadi
peningkatan protein karena adanya penambahan biomassa dari sel jamur dan khamir.
Peningkatan jumlah protein sejalan dengan tebalnya miselia jamur yang tumbuh. 3) penurunan
kadar pati dari 68,63% pada awal fermentasi menjadi 45,66 setelah fermentasi jam ke-72. Hal ini
terjadi karena mikroba baik kapang dan bakteri yang memiliki aktivitas amilolitik memecah pati
68
menjadi gula sederhana dan dimanfaatkan oleh mikroba lainnya untuk membentuk asam. 4)
penurunan kadar lemak, karena penggunaan asam lemak tersebut sebagai sumber ebnergi bagi
mikroba yang terlibat dalam fermentasi tempe. 5) penurunan kandungan antigizi seperti tanin dan
asam fitat. Asam fitat pada awal fermentasi adalah 0,51 mg/g turun menjadi 0,28 mg/g sementara
asam fitat dari 1,79 mg/g menjadi tidak lagi terdeteksi meski fermentasi baru berjalan 36 jam. 6)
peningkatan daya cerna protein in vitro, dari awalnya 51,91% menjadi 79,13% pada akhir
fermentasi jam ke-72. Peningkatan daya cerna dapat dihubingkan dengan penurunan antigizi,
semakin lunaknya biji dan terdenaturasinya protein sehingga memudahkan protease
menghidrolisis protein.

3. Karakteristik tepung sorgum dari biji yang difermentasi ampok dan tempe
Biji sorgum yang telah diproses dengan fermentasi ampok dan tempe dapat ditepungkan
dengan sebelumnya dikeringkan dulu. Untuk ampok, sorgum dipisahkan dari air perendam lebih
dulu sebelum dikeringkan. Pengeringan ampok dan tempe sorgum dilakukan di kabinet dryer
suhu 50oC selama 12 jam. Setelah kering, sorgum terfermentasi selanjutnya ditepungkan dengan
alat penepung dan diayak. Tepung yang dihasilkan berwarna kecoklatan seperti yang terlihat
pada Gambar 6.5. Tepung pada Gambar 6.5 dihasilkan dari pengayakan lolos 80 mesh sehingga
partikel masih terlihat tidak terlalu halus, sehingga disarankan untuk bisa diaplikasikan sebagai
bahan baku pembuatan produk pangan seperti mi atau bakeri sebaiknya diayak lolos ayakan
minimal 120 mesh.
Secara fisik ada perbedaan antara tepung yang dihasilkan dari sorgum yang difermentasi
dengan cara yang berbeda. Tepung ampok sorgum nampak lebih terang (putih) dengan butiran
tepung yang opaque, sedangkan tepung tempe sorgum lebih coklat (gelap) dengan butiran
tepung yang lebih transparan. Secara teknis ampok sorgum lebih mudah ditepungkan daripada
tempe sorgum, karena tekstur tempe sorgum yang lebih keras dan liat. Tepung sorgum yang
dihasilkan dari proses penempean lebih gelap dibanding tepung sorgum kontrol, namun
sebaliknya tepung sorgum yang diproses dari ampok cenderung lebih cerah dari kontrol.
Rendahnya nilai kecerahan tepung tempe sorgum dapat di sebabkan oleh adanya kontribusi
warna dari miselia jamur dan juga faktor pengeringan. Cuevas-Rodriguez et al. (2004)
mendapatkan hasil yang sama ketika menempekan jagung selama 54,6 jam pada suhu 34,4 oC
dengan menggunakan R. Oligosporus, kecerahan tepung menjadi 82,3 dibanding kontrol tanpa
fermentasi (L* 91,9).
Peningkatan kecerahan warna pada tepung hasil fermentasi ampok dapat dikaitkan pada
keberadaan tanin. Beberapa proses pendahuluan dan fermentasi dapat menyebabkan jumlah
tanin turun. Pertama, adanya proses pemecahan biji sorgum menjadi grit sebelum dilakukan
perendaman. Dalam bentuk grit berarti biji telah sebagian terbuka, kondisi ini memungkinkan
komponen warna yang ada dalam biji terlarut ke dalam air rendaman. Hal ini ditunjukkan dengan
semakin tinggi intensitas warna air perendam dengan lamanya fermentasi. Cuevas-Rodriguez et
69
al (2004) menyatakan bahwa proses perendaman secara signifikan meningkatkan nilai L* tepung
jagung terfermentasi. Kedua, adanya penurunan jumlah tanin selama fermentasi karena dalam
fermentasi ampok sorgum terlibat sejumlah mikroba yaitu BAL dan yeast. BAL dapat
mendegradasi tanin dan fitat dalam serealia maupun legum.

Tepung ampok sorgum Tepung tempe sorgum

Tepung sorgum kontrol Tepung ampok sorgum Tepung tempe sorgum


Gambar 6. 5. Kenampakan tepung sorgum yang didahului oleh proses fermentasi ampok dan
tempe tanpa perbesaran dan perbesaran 400x

Granula tepung sorgum secara mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 6.5. Granula pati
pada tepung sorgum yang dibuat tanpa melalui proses fermentasi nampak bulat dan utuh, namun
bentuk granula pati ampok sorgum tidak sebulat kontrol dan bentuk granula pati semakin tidak
beraturan pada tepung tempe sorgum. Perubahan struktur pada granula pati ampok dan tempe
karena proses hidrolisis/pemutusan ikatan pada pati dan juga komponen lain seperti protein yang
terjadi selama serangkaian proses mulai dari perendaman, fermentasi, dan
pemanasan/pengeringan. Perubahan struktur terparah terjadi pada granula pati tepung tempe,
karena adanya proses perebusan yang menyebabkan sebagian pati mengalami gelatinisasi
sebelum difermentasi. Perubahan struktur inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan suhu
gelatinisasi, viskositas dan daya serap air dan sifat lainnya.
Murtini, Prawira-Atmaja & Sutrisno (2016) telah menganalisis perbedaan karakteristik
antara tepung sorgum yang diproses dengan fermentasi ampok dan tempe. Secara umum proses
fermentasi berpengaruh pada sifat fisik, kandungan kimia dan sifat amilografi tepung sorgum

70
yang dihasilkan. Perlakuan fermentasi tempe menyebabkan penurunan kecerahan, kadar pati,
kekentalan dan kemampuan mengembang, dan meningkatkan penyerapan air dan ukuran
partikel tepung, tanpa mempengaruhi komposisi proksimat. Perlakuan fermentasi ampok
meningkatkan kecerahan, kemampuan mengembang, kekentalan, namun menurunkan kadar
pati dan protein. Rekomendasi untuk aplikasi tepung tempe sorgum adalah diolah menjadi produk
yang berkarakter ‘cair’ seperti bubur dsb, sementara tepung sorgum metode ampok cocok untuk
dibuat bahan baku produk yang memerlukan kekentalan tinggi.

Tabel 6. 3 Perbedaan karakter fisik, kimia, antigizi tepung sorgum coklat; kontrol, tempe dan
ampok
Komponen Tepung sorgum
Kontrol Tempe Ampok
warna
L 62,6±0,2 61,5±0,3 64,5±0,3
a 15,76±0,1 15,47±0,5 14,97±0,4
b 15,83±0,1 16,63±0,1 15,60±0,3
proksimat
Kadar air (%) 9,53±0,2 9,81±0,2 8,63±0,4
Kadar pati (%) 71,89±0,1 69,23 ± 1,2 67,34±0,3
Kadar protein (%) 10,27±0,1 9,85 I ± 0,53 7,76±0,7
Kadar lemak (%) 0,64±0,1 0,64 ± 0,03 0,56±0,1
Kadar abu (%) 0,43±0,1 0,39 ± 0,08 0,27±0,2
Fitat (mg/g) 1,80 1,34 1,38
Tanin (mg/g) 8,82 0,17 0,21
Anti tripsin (unit/g) 17,19 7,29 16,26
Ikatan disulfit (mmol/g*) 0,34 0,14 0,16
Daya cerna protein invitro (%) 48,45 54,82 71,11

6.3 Produk olahan dari sorgum coklat

1. Ekstrusi

Biji-bijian merupakan bahan yang umum diproses dengan ekstrusi menjadi puffed product
(produk ekstrudat yang mengembang). Ekstrudat yang dihasilkan dapat dimanfaatkan menjadi
produk makanan ringan, makanan sarapan, food bar, tepung modifikasi atau dijadikan bubur atau
minuman. Biji sorgum coklat dapat dijadikan produk ekstrusi. Gambar 6.6 adalah produk ekstrusi
dari sorgum coklat yang dibandingkan dengan produk ekstrusi berbahan beras dan jagung yang
lebih dulu populer dan komersil. Proses ekstrusi biji sorgum dilakukan dengan preparasi biji
dibentuk menjadi grit, selanjutnya dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam mesin ekstruder
(single screw) yang telah dipersiapkan sebelumnya, produk yang dikeluarkan dari mesin
ekstruder ditampung dalam wadah plastik. Umumnya produk ekstrusi yang baru keluar dari mesin
ekstruder masih memiliki kadar air 6-10%, sehingga perlu dioven untuk menurunkan kadar airnya
menjadi kurang dari 3% untuk menjadikan produk lebih renyah.

71
Gambar 6. 6. Ekstrudat (a) sorgum coklat, (b) beras, (c) jagung

Secara fisik warna ekstrudat sorgum coklat memiliki warna coklat, karena bahan baku yang
digunakan masih mengandung lapisan testa dengan kandungan tanin. Tanin ini lah yang
menyebabkan warnanya menjadi coklat. Bisa jadi hal ini menguntungkan karena tidak diperlukan
penambahan pewarna dari luar, dan tanin diketahui memiliki aktivitas antioksidan. Volume
pengembangan ekstrudat sorgum memang lebih kecil dibanding dengan ekstrudat dari beras dan
jagung, hal ini dapat disebabkan karena kandungan protein pada sorgum utuh lebih tinggi
dibanding pada beras dan jagung, meskipun kandungan pati setara. Selain itu, secara struktur
protein sorgum didominasi oleh kafirin yang memiliki ikatan disulfit yang tinggi. Ikatan disulfit
adalah ikatan yang kuat dan membutuhkan energi yang tinggi untuk dapat memutuskannya, hal
ini lah yang menghalangi pengembangan.

2. Nasi Sorgum
Berdasarkan pengamatan di lapang, di daerah Kabupaten Pasuruan Jatim, ada sebagian
kecil masyarakat yang biasa mengkonsumsi biji sorgum sebagai makanan pokok, dengan
dimasak layaknya menanak nasi. Hal ini terjadi di musim kemarau terutama saat persawahan di
daerah itu tidak lagi bisa ditanami padi. Untuk dijadikan nasi, sorgum yang digunakan adalah biji
sorgum yang telah lebih dulu diproses dengan fermentasi metode ampok maupun tempe. Sorgum
bisa sebagai bahan tunggal atau dicampur dengan beras seperti umumnya orang membuat nasi
jagung. Gambar 6.7 adalah penampakan nasi dengan berbagai rasio perbandingan antara
sorgum terfermentasi dengan beras yaitu 3:0; 2:1; 1,5:1,5: 1:2; dan 0:3 yang dimasak
menggunakan rice cooker mini. Prosedur pemasakan nasi adalah sebagai berikut; beras dan biji
sorgum terfermentasi tempe dan ampok ditimbang sesuai dengan perlakuan. Campuran biji
direndam selama 15 menit dengan air 1:1, setelah itu ditambahkan air sejumlah 2,67X berat biji
awal.

72
Gambar 6. 7. Nasi sorgum A=ampok sorgum:beras (A0=0:3, A1=1:2, A2=1,5:1,5, A3= 2:1 dan
A4= 3:0), T=tempe sorghun:beras (T0=0:3, T1=1:2, T2=1,5:1,5, T3= 2:1 dan T4= 3:0)

Waktu dicatat mulai dari rice cooker dihidupkan sampai nasi sorgum masak, disebut
dengan cooking time (menit). Waktu pemasakan sedikit lebih lama dengan bertambahnya
proporsi biji sorgum. Hal ini terkait dengan komposisi dari sorgum yang masih mengandung
sebagian kulit, sehingga lebih tinggi kandungan non-patinya. perbandingan berat nasi sorgum
matang dengan berat biji sebelum di masak disebut % pengembangan. Tabel 6.4. menunjukkan
waktu pemasakan dan persen(%) pengembangan nasi dari berbagai proporsi biji sorgum
terfermentasi dengan beras.

Tabel 6. 4 Waktu pemasakan (menit) dan % pengembangan nasi dari berbagai rasio sorgum
terfermentasi dan beras.
Rasio Biji Waktu pemasakan (menit) % pengembangan
sorgum Sorgum Sorgum Sorgum Sorgum
terfermentasi terfermentasi terfermentasi terfermentasi terfermentasi
: beras tempe ampok tempe ampok
3:0 21;55 21;44 138,82 209,33
2:1 20;13 22;42 156,28 209,33
1,5:1,5 18;11 20;30 159,24 209,33
1:2 17;22 24;21 155,91 220,00
0:3 17;02 17;01 165,64 165,64

3. Mi
Tepung dari biji sorgum yang telah difermentasi metode ampok dan tempe dapat digunakan
untuk substitusi terigu dalam pembuatan mi. Formulasi pembuatan mi dengan komposisi tepung
campuran (terigu dan sorgum), dengan bahan tambahan air khi 1%, garam 1%, cmc 1%, telur
3% dan air 37%. Gambar 6.8 adalah tampilan mi yang terbuat dari substitusi tepung ampok
sorgum 0-100%. Jika menggunakan formulasi mi tersebut, pada prinsipnya adonan dapat dicetak
menjadi mi, namun demikian saat mi direbus untuk substitusi lebih besar dari 40% cenderung
hancur, sehingga maka kualitas mi yang masih rasional adalah sampai substitusi 40%.
Karakteristik mi disajikan pada Tabel 6.5.
73
Gambar 6. 8. Mi dengan berbagai konsentrasi penggunaan tepung sorgum (A=ampok)

Tabel 6. 5 Karakter fisik mi dengan berbagai proporsi tepung ampok sorgum:gandum


Proporsi Elasti- Cooking %hidrasi % Daya warna
sitas time cooking putus
A:T L a b
(min) loss
(g/mm2)
Kontrol(0:100) 3,5 5,20 90,14 4,0 6,79 56,06 11,13 17,60
15:85 2,0 5,53 74,40 4,0 6,94 49,83 18,30 15,07
25:75 1,0 5,50 97,00 4,0 5,52 45,37 16,37 14,03
35:65 1,5 5,50 112,56 4,0 5,09 44,60 24,23 12,47
45:55 0,5 5,45 56,00 7,8 4,25 43,47 20,73 13,80

Secara umum elastisitas mi akan semakin menurun dengan semakin bertambahnya tepung
ampok sorgum. Ketidak adaan gluten yang berperan besar pada elastisitas mi pada tepung
ampok sorgum merupakan penyebabnya. Namun demikian, ditinjau dari cooking time, waktu
yang dibutuhkan untuk memasak mi hingga tergelatinisasi, antara mi yang terbuat dari tepung
gandum dan tepung campuran ampok sorgum dan gandum nampak hampir sama yaitu 5 menit
lebih.

4. Biskuit
Tepung sorgum hasil fermentasi metode ampok dan tempe juga dapat digunakan dalam
pembuatan biskuit. Tepung sorgum yang mempunyai kandungan karbohidrat cukup tinggi dan
protein yang memadai, sehingga dapat digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan
biskuit. Formulasi yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung campuran (komposit
terigu dan tepung sorgum) 100 g, margarin 25 g, minyak goreng 38 g, garam 1g, wijen 25 g, gula
halus 25 g dan keju parut 25 g. Bahan dicampur hingga membentuk adonan, dicetak dan dioven
74
suhu 180oC selama 15 menit. Gambar 6.9 adalah biskuit yang dibuat dari tepung sorgum hasil
fermentasi ampok dan tempe dengan proporsi (tepung sorgum:tepung gandum) 100:0; 70:30;
50:50; 30:70 dan 0:100.

Gambar 6. 9. Biskuit yang dibuat dari berbagai proporsi tepung sorghun terfermentasi. T100 =
tepung tempe sorgum 100%, A100=tepung ampok 100%, A70 = tepung ampok 70%,
A50=tepung ampok 50%, A30=tepung ampok 30% dan G100=tepung gandum 100%.

Hasil organoleptik biskuit yang dibuat dari tepung tempe sorgum mendapatkan penilaian
yang kurang (2-3 dari maksimal nilai 7) untuk seluruh parameter. Warna cenderung gelap, rasa
ada ikutan rasa pahit dan berpasir, tekstur rapuh (mudah patah) dan aroma kurang sedap.
Sementara warna, rasa, tekstur, dan aroma dari biskuit sorgum ampok ada pada kisaran 5 *dari
maksimal nilai 7). Sehingga dalam hal untuk pembuatan biskuit, tepung dari biji sorgum yang
difermentasi dengan ampok lebih cocok dari tepung tempe sorgum

5. Bubur/sereal Instan Sorgum


Bubur merupakan salah satu makanan yang dapat dibuat dengan berbahan dasar sorgum.
Umumnya bubur dengan bahan dasar sereal digunakan sebagai makanan pengganti utama pada
negara-negara berkembang. Bubur memiliki bermacam-macam kisaran konsintensi (halus atau
kasar) tergantung bentuk sorgum yang digunakan, apakah ditepungkan halus atau utuh.
Persiapan pembuatan bubur termasuk pemasakan dengan air mendidih dan proses lainnya
bergantung pada jenis bubur yang akan dihasilkan. Bubur instan dapat dibuat dengan
mencampur tepung dengan air, dipanaskan sampai mengental, lalu dikeringkan menggunakan
drum dryer, dan dikecilkan ukurannya menjadi powder. Bubur instan juga bisa dibuat dengan
cara grit/biji sorgum (hasil fermentasi ampok/tempe) diekstrusi, lalu ditepungkan, dan dicampur
dengan bahan (tambahan) lain. Adakalanya untuk meningkatkan nutrisi, bahan bubur bisa
dicampur dengan bahan kacang-kacangan, seperti kacang hijau dan kacang merah. Langkah
awal dalam membuat sereal instan sorgum adalah dengan menghancurkan ekstrudat sorgum
terfermentasi hingga terbentuk remahan kasar. Formulasi sereal instan sorgum dibuat dengan
mencampurkan bubuk ekstrudat sorgum dengan bahan-bahan lain yang menunjang

75
keseimbangan gizi seperti tepung kacang hijau sangrai (15%), susu skim (20%), gula (20%),
garam(1%) dan aroma mikroenkapsulat jahe (9%).

Tabel 6. 6 Formulasi bubur instan sorgum dengan campuran ubi jalar atau kacang hijau/tunggak
Formulasi (%)
Bahan (tepung)
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7
sorgum 55 55 55 55 55 55 100
ubi jalar 45 22,5 15 - 22,5 - -
kacang hijau - 22,5 15 45 22,5 - -
Kacang tunggak - - 15 - - 45 -

Gambar 6. 10. Bubur instan dengan berbagai formulasi

Uji organoleptik menghasilkan bahwa diantara berbagai formulasi di atas, bubur instan
dengan formulasi F2 (55% tepung sorgum, 22,5% tepung ubi jalar dan 22,5% tepung kacang
hijau) memiliki rasa dan aroma paling bagus meski viskositas dan tektur masih kalah dengan
bubur instan dengan campuran kacang tunggak.

6. Muffin
Muffin umumnya terbuat dari bahan utama tepung terigu protein sedang. Sebagian tepung
terigu bahan muffin dapat digantikan dengan tepung sorgum. Formulasi yang digunakan dalam
pembuatan muffin adalah tepung total 100g, margarin 66g, air 32g, garam 1 g, telur 58g, gula
halus 85g dan baking powder 2g. Adonan dibuat dengan mencampur bahan, selanjutnya adonan
dicetak dan dipanggang suhu 200oC selama 25 menit. Tampilan produk muffin yang dibuat dari
tepung sorgum ampok maupun tempe disajikan pada gambar 6.11. Berdasarkan gambar tersebut
terlihat bahwa tampilan muffin dengan penggunaan sorgum 100% masih dimungkinkan. Namun,
muffin dengan kualitas yang mendekati kontrol adalah penambahan tepung dari sorgum
terfermentasi sampai 60%. Komposisi kimia muffin dan energi yang dihasilkan dari beberapa
formulasi muffin yang tersubstitusi tepung ampok sorgum disajikan pada Tabel 6.7.
76
Gambar 6. 11. Produk Muffin yang Dihasilkan dari Berbagai formulasi

77
Tabel 6. 7 Komposisi kimia muffin dengan berbagai rasio tepung ampok sorgum dan tepung
gandum
Rasio tepung Kadar Kadar Kadar Kadar
Kadar Nilai Kalori
ampok Abu Lemak Protein Karbohidrat
Air (%) (kkal/100g)
sorgum:gandum (%) (%) (%) (%)
kontrol (0:100) 1,88 1,04 27,59 7,06 62,43 526,27
30:70 1,81 1,11 20,23 7,14 69,71 489,47
40:60 1,99 1,02 16,49 7,14 73,36 470,41
50:50 1,89 1,03 19,58 7,30 70,2 486,22
60:40 1,56 1,09 14,18 7,38 75,79 460,30

7. Onde-onde
Tepung sorgum juga dapat diaplikasikan dalam pembuatan makanan tradisional Indonesia,
antara lain untuk bahan kulit onde-onde, koci-koci dan kelepon. Gambar onde-onde yang dibuat
dari bahan tepung ketan dengan subtitusi tepung sorgum 0%, 25% dan 50% dapat dilihat pada
Gambar berikut:

Gambar 6. 12. Produk makanan traditional onde-onde yang kulitnya dibuat dari A0=tepung
ketan 100%, A25 subtitusi tepung sorgum 25% dan A50 subtitusi tepung sorgum 50%.

Fisik produk onde-onde dengan subtitusi tepung sorgum terfermentasi 25% masih
menunjukkan kualitas yang bagus, menyerupai onde-onde dari 100% tepung ketan.
Penambahan konsentrasi tepung sorgum hingga 50% menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas produk, warna menjadi lebih gelap, bentuk kulit menjadi terlalu lentur, kurang
mengembang dan cenderung ‘meletus’ ketika digoreng. Namun demikian, penambahan tepung
sorgum membuat elastisitas kulit onde-onde menjadi lebih lentur.

78
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, P., Wardani A. K., Murtini, E.S. (2008). Isolasi dan Identifikasi Mikroba dari Tempe
Sorgum Coklat (Sorghum bicolor) serta Potensinya dalam Mendegradasi Pati dan Protein.
Jurnal Teknologi Pertanian 9(2): 95-105
Awika, J. M., Rooney, L. W., & Wu, X. (2003). Schreening method to measure antioxidant of
sorghum (Sorghum bicolor) and sorghum products. Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 51, 6657 6662. Doi: 10.1021/jf034790i.
Beta, T., Rooney, L. W., & Taylor, J. R. N. (2000). Effect of chemical conditioning on the milling
high-tannin sorghum. Journal of Science and Food Agriculture, 80, 2216 2222. Doi:
10.1002/1097-0010(200012)80:15<2216:AID-JSFA766>3.0.CO;2-O.
Cuevas-Rodriguez E. O.; Miian-Carrillo J. ; Mora-Escobedo R. Cardenas-Valenzuela O. G. ;
Reyes-Moreno C..2004. Quality Protein Maize (Zea Mays L.) Tempeh Flour Through Solid
State Fermentation Process. Lebensmittel Wissenschaft Technologie 37(1); 59-67
FAO. 1991. Sorghum and Millets in Human Nutrition.
http://www.fao.org/DOCREP/T0818e/T0818E01.htm
Holmes, C. P., Casey, J., & Cook, D. J. (2017) Mashing with unmalted sorghum using a novel low
temperature enzyme system: Impacts of sorghum grain composition and microstructure.
Food Chemistry. 221, 324 334. Doi: 10.1016/j.foodchem.2016.10.083.
Murtini, E. S., Sutrisno, A., & Radite, A. G. (2011). Karakteristik Kandungan Kimia Dan Daya
Cerna Tempe Sorgum Coklat (Sorghum bicolor) [Characteristics of Chemical Content and
Digestibility of Brown Sorghum Tempeh]. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 22(2), 150.
Retrieved from http://journal.ipb.ac.id/index.php/jtip/article/view/4270
Murtini, E. S., Prawira-Atmaja, M. I., & Sutrisno, A. (2016). Pengaruh Metode Fermentasi Substrat
Padat Dan Substrat Terendam Pada Biji Sorgum Terhadap Kualitas Tepung. Jurnal
Teknologi Dan Industri Pangan, 27(1), 59-67. https://doi.org/10.6066/jtip.2016.27.1.59
Murtini, E. S., Subagio, A., Yuwono, S. S., Wardhana, I., & Fathoni, S. (2018). Karakterisasi
Potensi dan Komponen Pembatas pada Biji Sorghum Lokal Varietas Coklat sebagai
Tanaman Pangan. agriTECH, 38(1), 112-118.
/*doi:http://dx.doi.org/10.22146/agritech.10736*/
doi:https://doi.org/10.22146/agritech.10736
Waniska, R. D. (2005). Structure, Phenolic Compounds, and Antifungal Proteins of Sorghum
Caryopses. Texas A&M University, Colllege Station, Texas 77843-2474, USA.
http://www.icrisat.org/text/research/grep/homepage/sgmm/chap4.htm.
Wu, G., Johnson, S. K., Bornman, J. F., Bennett, S. J., & Fang, Z. (2017). Changes in whole grain
polyphenols and antioxidant activity of six sorghum genotypes under different irrigation
treatments. Food Chemistry. 214, 199 207. Doi: 10.1016/j.foodchem.2016.07.089.

79
BAB VII. SORGUM MANIS DAN PEMANFAATANNYA

(Erni Sofia Murtini dan Destiana Adinda Putri)

7.1 Tanaman Sorgum Manis


Sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) masuk ke dalam golongan tanaman dengan
jalur fotosintesis C4 yang memiliki batang yang mengandung gula tinggi serta mudah tumbuh
pada kondisi kekurangan air. Di negara-negara beriklim sedang di Eropa Tengah, sorgum manis
banyak dibudidayakan bergantian dengan jagung untuk produksi pakan dan pembangkit energi
(Kołodziej et al., 2015). Sorgum manis juga telah dibudidayakan di Afrika, Asia dan Amerika Utara
(Dweikat, 2012; O'Hara et al., 2013; Goshadrou et al., 2011; Velmurugan et al., 2020). Pada
awalnya sorgum manis ini kurang mendapatkan perhatian dan dianggap tidak penting pada rantai
makanan karena produktivitas biji yang rendah, persepsi ini berubah setelah batangnya diketahui
memiliki kandungan gula yang tinggi. Sejak awal tahun 1970-an, terjadi krisis energi global yang
membuat sorgum manis menjadi fokus karena memiliki potensi sebagai tanaman sumber
bioenergi (Ratnavathi et al., 2016), digunakan sebagai bahan baku alternatif untuk menghasilkan
biogas dan bioetanol (Ceotto et al., 2014; Kozłowski et al., 2009; Monteiro et al., 2013;
Velmurugan et al., 2020). Perkembangan selanjutnya, seluruh bagian tanaman mulai biji, batang
dan daunnya telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produk seperti gula, alkohol, sirup, jiggery
(semacam gula merah), pakan ternak, bahan bakar, dan kertas.
Tanaman sorgum manis terdiri dari batang (75%), daun (10%), serta bagian pucuk (15%)
yang terdiri dari biji (70%) dan residu (30%). Ketika digiling, batang dan daun akan menghasilkan
nira (60-70%), gula (15-17%) dan ampas (30-40%) (Appiah-Nkansah et al., 2019). Batang
sorgum manis dapat diekstraksi niranya secara mekanis dan difermentasi untuk menghasilkan
etanol generasi pertama (Umakanth et al., 2018). Lignoselulosa yang tersisa dapat pula diubah
menjadi etanol generasi kedua (da Silva et al., 2018; Dalla Marta et al., 2014; Damay et al., 2018).
Karbohidrat yang terdapat pada biji sorgum manis juga dapat dimanfaatkan untuk fermentasi
(Han et al., 2011; Li et al., 2018).
Dibandingkan dengan sumber gula yang telah ada, tebu dan umbi bit, sorgum memiliki
beberapa keunggulan yaitu umur panen yang lebih cepat (4 bulan dibanding bit yang 5-6 bulan
dan tebu yang lebih dari 7 bulan), sehingga dapat ditanam lebih dari satu kali (bahkan 2-3 kali
pada iklim tropis) per tahunnya. Kelebihan lain adalah dapat ditanam di semua jenis tanah kering,
dengan kebutuhan air (12 000 m3/ha) yang lebih rendah dari tanaman bit dan tebu yang masing-
masing butuh 18 000 dan 36 000m3/ha. Dalam hal budidaya, sorgum tidak mudah diserang hama
dan tidak memerlukan perawatan yang seintensif bit dan tebu, hanya butuh sedikit pupuk. Namun
dalam hal produktivitas hasil yang didapatkan dari sorgum berkisar 54-69 ton/ha lebih rendah dari
tebu (70-80 ton/ha). Bahan kering dari biomassa, etanol, dan gula yang dihasilkan oleh sorgum
manis masih lebih rendah dibandingkan dengan tebu (Almodares & Hadi, 2009). Namun,

80
produktivitas sorgum manis masih dapat ditingkatkan dengan cara introduksi varietas hibrida (da
Silva et al., 2018; Umakanth et al., 2018).

1. Batang tanaman sorgum manis

Batang merupakan bagian utama yang dimanfaatkan dari tanaman sorgum manis. Batang
terdiri dari bagian kulit dan bagian tengah (inti). Batang mengandung gula dan komponen lain
seperti air (70-77%), selulosa 27-44,6%(db), hemiselulosa 25-27,1%(db), xilan 21,5%(db), lignin
11-24,7%(db) dan abu 0,4% (Billa et al. (1997); Sergio et al., (2012); Kim & Day, (2011); Liu et
al., (2015)). Konsentrasi gula dalam batang sorgum manis biasa diukur dalam satuan Brix, yang
mewakili persen gula terlarut. Satu derajat Brix sama dengan 1 g gula per 100 g nira. Nira sorgum
manis memiliki nilai brix antara 14 hingga 23% (Almodares et al., 1996; Kawahigashi et al., 2013;
Vinutha et al., 2014). Kandungan Brix gula bervariasi antar varietas, kondisi lingkungan, posisi
ruas, umur (tahapan pertumbuhan) tanaman saat dipanen (Kawahigashi et al., 2013).
Batang sorgum manis dapat diekstrak secara mekanis ditekan dengan hydraulic press
melalui 2 atau 3 roller mills, dengan cara ini akan didapatkan nira sorgum sebanyak 45-55%.
Ekstraksi nira juga dapat dilakukan dengan adaptasi proses difusi yang digunakan pada pabrik
tebu (Appiah-Nkansah et al., 2015). Umumnya nira yang diekstrak dari batang sorgum manis
mengandung antara 10 hingga 25% gula (Liang et al., 2010). Sumber lain mengatakan nira
sorgum manis mengandung sekitar 16-18% gula yang dapat difermentasi menjadi etanol
(Ratnavathi et al., 2016). Komposisi gula yang terdapat pada nira sorgum adalah sukrosa 53-
85%, glukosa 9-33%, dan fruktosa 6-21% (Kim & Day, 2011; Sergio et al., 2012; Reddy et al.,
2005). Gula-gula lain yang terdapat pada bagian batang sorgum manis yaitu arabinosa, xilosa,
glukosa, galaktosa dan fukosa (Billa et al., 1997).
Setelah proses pengepresan batang, daun dan pucuk dari sorgum, akan dihasilkan ampas
(bagase) yang mengandung selulosa, hemiselulosa, xilan dan lignin. Sisa ampas ini masih dapat
diproses untuk dijadikan bahan etanol dan biodegradable plastic (Sergio et al., 2012; Umagiliyage
et al., 2015). Selain itu sisa ampas dari sorgum manis dapat berfungsi sebagai bahan mentah
untuk kertas, pembangkit listrik, dan bio composting, dan pakan ternak (Mathur et al., 2017).

2. Biji sorgum manis

Biji sorgum manis mengandung air 6,14-11,8%, protein 10-13%(db), lemak 4%(db), pati
60-73% (db), serat 2,2%(db), dan abu 1,5%(db) Cifuentes et al., (2014); Reddy et al. (2005);
Appiah-Nkansah et al. (2016). Biji sorgum manis mengandung karbohidrat terutama pati (Somani
et al., 1995) dan gula seperti fruktosa, glukosa, rafinosa, sukrosa dan maltosa (Smith &
Frederiksen, 2000). Karbohidrat pada biji dan batang sorgum manis mudah difermentasi menjadi
metana atau etanol (Murray et al., 2008; Reddy et al., 2005). Selain itu, biji dari sorgum manis
juga dapat digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan sirup fruktosa dan pakan ternak.

81
3. Penentuan umur panen
Sorgum manis merupakan bahan baku pembuatan etanol. Penentuan saat panen
umumnya didasarkan pada tingkat ‘kematangan’ batang, perhitungan kandungan total padatan
terlarut (TSS – Brix) dari ruas batang bagian tengah (intermediary internodes) dan tingkat
‘kematangan’ biji. Secara spesifik Teixeira et al (2017) melakukan penelitian untuk mencari waktu
panen sorgum manis BRS 511 dan bagian batang (dibagi menjadi 11 ruas) untuk sampling yang
dapat mewakili Brix seluruh batang. Sampel dianalisa berdasarkan phenological stages (tahapan
dalam pertumbuhan sorgum) yaitu sebelum berbunga (pre-flowering sekitar 60 hari setelah
tanam-HST), berbunga (flowering- sekitar 70 HST), milk dough (sekitar 85 HST), soft dough
(sekitar 100 HST), mealy dough (sekitar 115 HST), hard dough (sekitar 125 HST) dan
senescence (sekitar 135 HST). Hasil penelitian menunjukkan bahwa total hasil biomassa segar
(124 t/ha) maupun biomassa kering (33 t/ha) tertinggi didapatkan pada tahapan ‘mealy dough’
(115 HST). Hasil nira tertinggi (67600 L/ha) didapatkan pada tahapan antara pre-flowering dan
mealy dough. Derajat Brix dan total gula (sukrosa, glukosa dan fruktosa) pada nira batang sorgum
mulai meningkat pada tahapan flowering, tertinggi (16oBrix dan 147 g/L) didapatkan pada tahapan
‘hard dough’, setelah itu turun (14oBrix dan 112g/L) pada tahap senescence. Sementara industrial
yield yang ditentukan berdasarkan jumlah biomassa segar, jumlah nira yang dihasilkan dari
ekstraksi, dan nilai Brix dari nira batang, nilai tertinggi (9,40 t oBrix/ha) dihasilkan dari tahapan
antara ‘soft dough’ ke ‘hard dough’. Pada tahapan tersebut, nilai Brix dari batang pada posisi ruas
(internodes 2 dan 3 sama dengan nilai nira dari keseluruhan batang, sehingga selanjutnya
sampling dari internode 2-3 dapat digunakan untuk mewakili keseluruhan batang. Namun, jika
tanpa memperhatikan tahapan, sampel dapat diambil dari internode 2, karena memiliki nilai Brix
yang tidak berbeda dengan keseluruhan batang.

7.2 Pemanfaatan Sorgum Manis

1. Pangan dan pakan

Salah satu produk pangan komersial dari sorgum manis adalah sirup. Sirup sorgum adalah
produk yang diperoleh dari mengekstrak batang sorgum lalu nira yang mengandung kadar gula
tinggi dimasak hingga mencapai konsistensi atau viskositas yang diinginkan. Sirup sorgum ini
dapat berfungsi sebagai pemanis. Sirup sorgum dapat digunakan pelengkap dalam konsumsi
pancakes atau sereal. Sirup sorgum juga bisa digunakan sebagai ingredient dalam memasak
seperti halnya pemanis lain seperti madu atau molase. Menurut (Ratnavathi et al., 2016),
dibandingkan dengan pemanis dari madu, sirup sorgum memiliki kelebihan yaitu tinggi akan
kandungan mineral.
Biji sorgum manis juga dapat diolah menjadi tepung. Biji sorgum manis juga diketahui
merupakan salah satu makanan pokok bagi masyarakat di Sahara Afrika dan Asia (ICRISAT,
2018). Produk makanan yang dapat diproduksi dari biji sorgum yaitu bubur, roti dan kukis, serta
82
memiliki kelebihan yaitu mengandung komponen bioaktif dengan potensi menjanjikan dapat
menurunkan resiko diabetes dan obesitas (de Morais Cardoso et al., 2017). Limbah hasil
ekstraksi nira yaitu bagase, dapat digunakan untuk memproduksi pakan ternak (Caffrey et al.,
2014). Selain itu bagian biji yang mengalami kerusakan fisik yang parah dapat pula digunakan
sebagai pakan ternak (Dayakar Rao et al., 2003).

2. Biofuels, bioetanol dan biogas

Bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber energi utama yang memberikan sekitar
80-90% dari total energy di dunia (Taha et al., 2016). Sumber energy ini termasuk yang tidak
dapat diperbarui, dan pada saatnya akan habis apabila dieksploitasi secara terus menerus.
Selain itu penggunaan bahan bakar fosil juga menyumbangkan gas emisi berbahaya pada
atmosfir bumi yang berakibat pada pemanasan global, peningkatan polusi dan perubahan iklim,
sehingga dipenggunaannya saat ini perlu dikurangi, dan digantikan oleh bahan bakar non fosil
(Nicoletti et al., 2015). Pengembahan bahan bakar berbahan biomassa nabati yang terbarukan
saat ini merupakan pilihan yang telah diperhitungkan karena akan lebih ramah lingkungan
(Ramadhas, 2016). Kelebihan dari bahan bakar non fosil dibandingkan bahan bakar fosil adalah
dapat mudah untuk diekstraksi, ketersediaannya berkelanjutan karena memiliki kemampuan
biodegradasi, pembakaran bahan bakar berdasarkan siklus CO2 serta ramah lingkungan
(Demirbas, 2008). Sorgum manis adalah salah satu bahan baku pembuatan biofuel yang
menawarkan banyak keunggulan sebagai bahan bakar dibandingkan bahan baku lain sejenis
karena bijinya dapat digunakan sebagai pakan atau makanan lalu difermentasi, nira dari batang
dapat diekstraksi untuk fermentasi langsung ke biofuel generasi pertama, dan limbah yang
dihasilkan setelah ekstraksi nira, yaitu ampas dapat digunakan sebagai pakan ternak atau bahan
baku untuk produksi biofuel generasi kedua setelah diperlakukan pendahuluan untuk
penghilangan sebagian lignin untuk meningkatkan ketersediaan holoselulosa untuk
menghasilkan bioetanol atau biogas (Molaverdi et al., 2013; Whitfield et al., 2012) .
Etanol merupakan salah satu produk yang dapat digunakan sebahai bahan bakar
(biofuels). Penggunaan bahan bakar etanol memiliki kelebihan dapat mengurangi emisi karbon
dan sehingga mampu meningkatkan kualitas udara (Balat & Balat, 2009). Penggunaan etanol
sebagai bahan bakar akan menghemat sekitar 3500 dan 2500 L minyak mentah ekuivalen per
hektar areal penanaman sorgum manis, jika nira dan ampas seluruhnya diubah menjadi etanol
dan listrik (Kim & Day, 2011; Sipos et al., 2009).
Seluruh bagian tanaman sorgum dapat diolah menjadi etanol. Masing-masing tahapan
untuk mengonversikannya berbeda, tergantung pada bagiannya. Bagian yang paling mudah
untuk difermentasi yaitu nira yang diekstrak dari batangnya. Nira dari batang sorgum manis
diketahui kaya akan gula seperti sukrosa, glukosa dan fruktosa sehingga dapat secara langsung
difermentasi menjadi etanol (Zabed et al., 2014). Konversi gula menjadi etanol pada kondisi
anaerobik dimediasi oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme Saccharomyces
83
cerevisiae. Prosedur awal fermentasi terjadi pada kondisi aerobik, heksosa diubah menjadi
piruvat melalui jalur glikolisis. Lalu piruvat dalam kondisi anaerobik, diubah menjadi etil alkohol
dan karbon dioksida. Reaksi ini merupakan eksotermik yang melepaskan energi sebanyak 31,2
K kal untuk setiap molekul sukrosa yang diubah. Selain heksosa, sukrosa, maltosa, dan
maltotriosa juga dapat dimanfaatkan oleh yeast dan diubah menjadi etanol (Ratnavathi et al.,
2016). Telah banyak penelitian yang melakukan optimasi kondisi fermentasi, untuk meningkatkan
etanol yang dihasilkan serta mengefisienkan proses. Kondisi optimal untuk fermentasi etanol dari
nira sorgum manis oleh Saccharomyces cerevisiae berada pada suhu 27-30℃, pH 5,4, jumlah
inokulum yang ditambahkan 5-7,5%, dan laju agitasi 50 rpm, durasi 48 jam serta kandungan gula
pada awal fermentasi diatur pada 10-12% (Luo et al,, 2014; Phutela & Kaur, 2014; Ratnavathi et
al., 2010). Laju pertumbuhan spesifik yeast akan menurun apabila konsentrasi etanol dalam
larutan yang difermentasi meningkat diatas 7-10%. Strain yeast yang berbeda memiliki toleransi
terhadap konsentrasi alcohol yang berbeda, konsentrasi etanol 8-9% dianggap sebagai tingkat
yang masih dapat diterima (Hacking et al., 1984). Selain Saccharomyces cerevisiae jenis
mikroorganisme lain yang dapat melakukan fermentasi etanol dari sorgum manis yaitu Mucor
hiemalis.
Etanol dapat diproduksi dengan cara menghidrolisis pati pada biji sorgum manis dengan
kombinasi enzim. Hidrolisat yang diperoleh dan mengandung gula bebas kemudian dapat
difermentasi untuk menghasilkan etanol (Ratnavathi et al., 2016). Beberapa peneliti dan
produsen etanol telah menunjukkan bahwa biji-bijian sorgum juga merupakan bahan baku yang
masuk akal (dapat diterima secara teknis, dengan infrastruktur, dan secara ekonomi layak) untuk
produksi etanol dan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk kebutuhan bahan bakar
etanol negara serta dapat disandingkan dengan biji jagung (Farrell et al., 2006; Wu et al., 2007,
2006). Berdasarkan adaptasi dari Quintero et al. (2008), prosedur pembuatan etanol dari biji
sorgum manis dapat disamakan dengan prosedur pembuatan dari tebu. Setelah pencucian,
penghancuran dan penggilingan biji sorgum manis, bahan bertepung digelatinisasi, dicairkan dan
disakarifikasi menggunakan enzim α-amilase dan glukoamilase untuk menghasilkan glukosa.
Proses fermentasi, distilasi dan pengeringan biji sorgum mirip dengan batang sorgum manis.
Ampas limbah dari proses produksi etanol dari biji sorgum dapat digunakan sebagai pakan
bernutrisi tinggi.
Etanol juga dapat diproduksi dari bagase, limbah sisa ekstraksi batang sorgum manis, yang
mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin (Lapierre, 1993). Namun, sebelum dapat diubah
menjadi produk tersebut, bahan ampas harus melalui proses pre-treatment untuk memisahkan
lignin dan hemiselulosa dari selulosa dan meningkatkan luas permukaannya agar lebih mudah
diakses oleh enzim ketika tahap hidrolisis enzimatis dan fermentasi. Pre-treatment yang yang
bisa dilakukan, diklasifikasikan ke dalam beberapa metode yaitu biologis, fisik (ekstrusi,
pemotongan), kimia (hidrolisis asam basa, ozon, larutan ion dan larutan organik), dan fisik-kimia

84
(ledakan uap, air panas, termo-hidrolisis, ledakan serat amonia, dan ledakan CO2), kimia-biokimia
(teknik enzimatis & mikroba), dan rekayasa genetika (Thanapimmetha et al., 2019). Proses pre-
treatment dapat dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatis dan fermentasi dalam satu reaktor. Pada
tahap hidrolisis enzimatis bahan berserat dalam produksi etanol selulosa, memanfaatkan enzim
selulase dan hemi-selulase untuk memecah selulosa menjadi heksosa dan pentose (Brown &
Brown, 2013). Selanjutnya proses pembuatan etanol melalui proses fermentasi oleh
Saccaromyces cerevisiae dapat dilanjutkan seperti pada fermentasi nira dari batang sorgum
manis menjadi etanol.
Biogas adalah produk samping yang dihasilkan selama proses anaerobik selama
pembuatan etanol, dimana terjadi dekomposisi dari bahan organik dengan keberadaan
mikroorganisme dan tidak terdapatnya oksigen dalam lingkungan berair di dalam fermentor.
Kadar air yang tinggi dibutuhkan selama fermentasi dengan kandungan padat dibawah 40%
(Ward et al., 2008). Biogas yang dihasilkan selama proses terdiri dari gas metana (50-70%),
karbonsioksida (25-40%), juga mengandung hydrogen sulfide, ammonia, hydrogen, dan uap air.
Biogas dapat dianggap sebagai bahan bakar yang ramah lingkungan serta proses purifikasi dan
pembersihannya dapat disambungkan dengan jaringan gas (Appels et al., 2011).
Proses pembuatan biogas dan bioethanol saling berkaitan. Seluruh bagian sorgum manis
yang dapat menghasilkan etanol, dapat pula menghasilkan biogas pada tahap fermentasi serta
pre-treatment yang diperlukan juga sama. Biomassa sorgum manis dapat diperlakukan terlebih
dahulu misalnya dengan alkali sebelum dilakukan produksi biogas secara anaerobik (Sambusiti
et al., 2012; 2013). Hasil metana yang dihasilkan akan lebih tinggi apabila dilakukan pre-treatment
terlebih dahulu jika dibandingkan dengan tidak diberi perlakuan (Matsakas et al., 2014). Produksi
biogas dari sorgum dapat dikombinasikan dengan produksi hidrogen (Michalska & Ledakowicz,
2013). Limbah produksi biohidrogen dari nira batang sorgum dapat digunakan untuk produksi
biogas. Keuntungan sorgum manis sebagai substrat dalam pembuatan biogas adalah, metana
yang dihasilkan memuaskan, waktu tanam yang singkat, biaya untuk menanam rendah
(Mahmood & Honermeier, 2012).
Tanaman sorgum berpotensi dikembangkan menjadi bahan baku fermentasi Acetone –
butanol -ethanol (ABE), karena pertumbuhannya yang cepat, memiliki daya adaptasi yang tinggi,
mengandung gula dan biomassa. Jafari et al (2017) melaporkan bahwa seluruh bagian tanaman
sorgum manis yang terdiri dari biji, bagase, dan nira dapat digunakan bahan baku dalam
fermentasi untuk memproduksi ABE dengan bantuan Clostridium acetobutylicum. Dari (1) satu
kg seluruh bagian tanaman sorgum manis yang diproses dengan melibatkan banyak tahapan
seperti ekstraksi nira, pretreatment bagase dengan aceton, hidrolisis secara enzimatis bagase
yang sudah diperlakukan dengan aseton untuk menghasilkan lebih banyak gula yang dapat
difermentasi, fermentasi hidrolisat, fermentasi nira, fermentasi biji sorgum, dihasilkan total 156 g
ABE dengan rincian bagase, nira dan biji masing-masing menghasilkan 76, 68 dan 12 g ABE.

85
Mirfakhar et al (2017) menyatakan bahwa biji sorgum biasanya sejumlah 5-25% dari total
berat tanaman sorghum manis. Biji sorgum manis adalah bahan baku yang potensial untuk
fermentasi ABE karena mengandung semua nutrisi yang diperlukan dalam fermentasi ABE,
sehingga tidak diperlukan tambahan suplemen nutrisi seperti mineral, vitamin dan buffer. Namun
demikian, biji sorgum manis mengandung komponen fenolik seperti tanin yang dapat mengambat
aktivitas enzim amilolitik yang diperlukan untuk menghidrolisis pati biji. Konsentrasi tanin 0,2mM
GAE adalah angka kritikal yang menyebabkan penghambatan pada fermentasi ABE. Biji sorgum
manis yang tidak dihilangkan taninnya hanya menghasilkan ABE kurang dari 3g/L. Tanin pada
biji sorgum dapat dihilangkan dengan ‘multi-stage hot water treatment’ sebelum dilakukan
fermentasi. Biji direndam dalam air panas 75oC (rasio biji dan air panas 10%) diputar 100rpm
selama 5 menit dan disaring (tahap 1), biji lalu diperlakukan yang sama sesuai jumlah tahap yang
diinginkan, kemudian biji yang telah diperlakukan dikeringkan 50oC selama 48 jam untuk
selanjutnya digiling jadi tepung untuk media fermentasi. Jumlah perlakuan dengan air panas
berbeda jika menggunakan konsentrasi tepung biji yang berbeda, misalnya untuk medium tepung
biji 80g/L dibutuhkan 6 tahap pencucian dan dihasilkan ABE 23%, sedangkan untuk medium
tepung biji 60g/L dan 40 g/L masing-masing diperlukan 5 dan 2 tahap pencucian.

86
DAFTAR PUSTAKA

Almodares, A., & Hadi, M. R. (2009). Production of bioethanol from sweet sorghum: A review.
African Journal of Agricultural Research.
Almodares, A., & Sepahi, A. (1996). Comparison among sweet sorghum cultivars, lines and
hybrids for sugar production. Annals of Plant Physiology, 10, 50-55.
https://doi.org/10.1007/s12355-013-0224-y
Appels, L., Lauwers, J., Degrve, J., Helsen, L., Lievens, B., Willems, K., … Dewil, R. (2011).
Anaerobic digestion in global bio-energy production: Potential and research challenges.
Renewable and Sustainable Energy Reviews. https://doi.org/10.1016/j.rser.2011.07.121
Appiah-Nkansah, Nana B., Saul, K., Rooney, W. L., & Wang, D. (2015). Adding sweet sorghum
juice into current dry-grind ethanol process for improving ethanol yields and water efficiency.
International Journal of Agricultural and Biological Engineering.
https://doi.org/10.3965/j.ijabe.20150802.1513
Appiah-Nkansah, Nana Baah, Li, J., Rooney, W., & Wang, D. (2019). A review of sweet sorghum
as a viable renewable bioenergy crop and its techno-economic analysis. Renewable Energy.
https://doi.org/10.1016/j.renene.2019.05.066
Balat, M., & Balat, H. (2009). Recent trends in global production and utilization of bio-ethanol fuel.
Applied Energy. https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2009.03.015
Billa, E., Koullas, D. P., Monties, B., & Koukios, E. G. (1997). Structure and composition of sweet
sorghum stalk components. Industrial Crops and Products. https://doi.org/10.1016/S0926-
6690(97)00031-9
Brown, T. R., & Brown, R. C. (2013). A review of cellulosic biofuel commercial-scale projects in
the United States. Biofuels, Bioproducts and Biorefining. https://doi.org/10.1002/bbb.1387
Caffrey, K. R., Veal, M. W., & Chinn, M. S. (2014). The farm to biorefinery continuum: A techno-
economic and LCA analysis of ethanol production from sweet sorghum juice. Agricultural
Systems. https://doi.org/10.1016/j.agsy.2014.05.016
Ceotto, E., Castelli, F., Moschella, A., Diozzi, M., & Di Candilo, M. (2014). It is not worthwhile to
fertilize sweet sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) with cattle slurry: Productivity and
nitrogen-use efficiency. Industrial Crops and Products.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2014.09.009
Cifuentes, R., Bressani, R., & Rolz, C. (2014). The potential of sweet sorghum as a source of
ethanol and protein. Energy for Sustainable Development, 21, 13-19.
https://doi.org/10.1016/j.esd.2014.04.002
da Silva, M. J., Carneiro, P. C. S., de Souza Carneiro, J. E., Damasceno, C. M. B., Parrella, N.
N. L. D., Pastina, M. M., … da Costa Parrella, R. A. (2018). Evaluation of the potential of
lines and hybrids of biomass sorghum. Industrial Crops and Products.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2018.08.022
Dalla Marta, A., Mancini, M., Orlando, F., Natali, F., Capecchi, L., & Orlandini, S. (2014). Sweet
sorghum for bioethanol production: Crop responses to different water stress levels. Biomass
and Bioenergy. https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2014.03.033
Damay, J., Boboescu, I. Z., Duret, X., Lalonde, O., & Lavoie, J. M. (2018). A novel hybrid first and
second generation hemicellulosic bioethanol production process through steam treatment of
dried sorghum biomass. Bioresource Technology.
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2018.04.045
Dayakar Rao, B., Mathew, B., Kumar, K. B., Karthikeyan, K., Jyoti, S. H., Ratnavati, C. S. P., &
Seetharama, N. (2003). Industrial Utilisation of Sorghum in India–Status and
Prospects. NATP (NRCS) Series, (2)..
de Morais Cardoso, L., Pinheiro, S. S., Martino, H. S. D., & Pinheiro-Sant'Ana, H. M. (2017).
Sorghum (Sorghum bicolor L.): Nutrients, bioactive compounds, and potential impact on
human health. Critical reviews in food science and nutrition, 57(2), 372-390.
https://doi.org/10.1080/10408398.2014.887057
Demirbas, A. (2008). Biofuels sources, biofuel policy, biofuel economy and global biofuel
projections. Energy Conversion and Management.
https://doi.org/10.1016/j.enconman.2008.02.020
Dweikat, I. (2012). Sorghum. In Handbook of Bioenergy Crop Plants.
87
https://doi.org/10.2135/cropsci2002.9800
Farrell, A. E., Plevin, R. J., Turner, B. T., Jones, A. D., O’Hare, M., & Kammen, D. M. (2006).
Ethanol can contribute to energy and environmental goals. Science.
https://doi.org/10.1126/science.1121416
Goshadrou, A., Karimi, K., & Taherzadeh, M. J. (2011). Bioethanol production from sweet
sorghum bagasse by Mucor hiemalis. Industrial Crops and Products.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2011.04.018
Hacking, A. J., Taylor, I. W. F., & Hanas, C. M. (1984). Selection of yeast able to produce ethanol
from glucose at 40° C. Applied Microbiology and Biotechnology.
https://doi.org/10.1007/BF00253786
Han, L. P., Steinberger, Y., Zhao, Y. L., & Xie, G. H. (2011). Accumulation and partitioning of
nitrogen, phosphorus and potassium in different varieties of sweet sorghum. Field Crops
Research. https://doi.org/10.1016/j.fcr.2010.10.007
ICRISAT. (2018). Millets and sorghum: Forgotten foods for the future. ICRISAT Happenings
Newsletter. https://www.icrisat.org/millets-and-sorghum-forgotten-foods-for-the-future/.
(diakses pada 15 October 2020)
Jafari, Y., Karimi, K., & Amiri, H. (2017). Efficient bioconversion of whole sweet sorghum plant to
acetone, butanol, and ethanol improved by acetone delignification. Journal of Cleaner
Production, 166, 1428-1437. doi:https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.08.132
Kawahigashi, H., Kasuga, S., Okuizumi, H., Hiradate, S., & Yonemaru, J. I. (2013). Evaluation of
Brix and sugar content in stem juice from sorghum varieties. Grassland Science.
https://doi.org/10.1111/grs.12006
Kim, M., & Day, D. F. (2011). Composition of sugar cane, energy cane, and sweet sorghum
suitable for ethanol production at Louisiana sugar mills. Journal of Industrial Microbiology
and Biotechnology. https://doi.org/10.1007/s10295-010-0812-8
Kołodziej, B., Antonkiewicz, J., Stachyra, M., Bielińska, E. J., Wiśniewski, J., Luchowska, K., &
Kwiatkowski, C. (2015). Use of sewage sludge in bioenergy production-A case study on the
effects on sorghum biomass production. European Journal of Agronomy.
https://doi.org/10.1016/j.eja.2015.06.004
Kozłowski, S., Zielewicz, W., Potkański, A., Cieślak, A., & Szumacher-Strabel, M. (2009). Effect
of chemical composition of sugar sorghum and the cultivation technology on its utilisation for
silage production. Acta Agronomica Hungarica. https://doi.org/10.1556/AAgr.57.2009.1.8
Lapierre, C. (1993). Application of new methods for the investigation of lignin structure. Forage
cell wall structure and digestibility, 133-166. https://doi.org/10.2134/1993.foragecellwall.c6
Li, M., Yan, G., Bhalla, A., Maldonado-Pereira, L., Russell, P.R., Ding, S.Y., Mullet, J.E., Hodge,
D.B., 2018. Physical fractionation of sweet sorghum and forage/energy sorghum for optimal
processing in a biorefinery. Ind. Crops Prod. 124, 607–616.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2018.07.002
Liang, Y., Sarkany, N., Cui, Y., Yesuf, J., Trushenski, J., & Blackburn, J. W. (2010). Use of sweet
sorghum juice for lipid production by Schizochytrium limacinum SR21. Bioresource
Technology. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2009.12.087
Liu, H., Ren, L., Spiertz, H., Zhu, Y., & Xie, G. H. (2015). An economic analysis of sweet sorghum
cultivation for ethanol production in North China. Gcb Bioenergy, 7(5), 1176-1184.
https://doi.org/10.1111/gcbb.12222
Luo, Z., Wang, L., & Shahbazi, A. (2014). Optimization of ethanol production from sweet sorghum
(Sorghum bicolor) juice using response surface methodology. Biomass and Bioenergy.
https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2014.04.003
Mahmood, A., & Honermeier, B. (2012). Chemical composition and methane yield of sorghum
cultivars with contrasting row spacing. Field Crops Research.
https://doi.org/10.1016/j.fcr.2011.12.010
Mathur, S., Umakanth, A. V., Tonapi, V. A., Sharma, R., & Sharma, M. K. (2017). Sweet sorghum
as biofuel feedstock: Recent advances and available resources. Biotechnology for Biofuels.
https://doi.org/10.1186/s13068-017-0834-9
Matsakas, L., Rova, U., & Christakopoulos, P. (2014). Evaluation of dried sweet sorghum stalks
as raw material for methane production. BioMed Research International.
https://doi.org/10.1155/2014/731731
88
Michalska, K., & Ledakowicz, S. (2013). Alkali pre-treatment of Sorghum Moench for biogas
production. In Chemical Papers. https://doi.org/10.2478/s11696-012-0298-0
Mirfakhar, M., Asadollahi, M. A., Amiri, H., & Karimi, K. (2017). Phenolic compounds removal from
sweet sorghum grain for efficient biobutanol production without nutrient supplementation.
Industrial Crops and Products, 108, 225-231.
Molaverdi, M., Karimi, K., Khanahmadi, M., & Goshadrou, A. (2013). Enhanced sweet sorghum
stalk to ethanol by fungus Mucor indicus using solid state fermentation followed by
simultaneous saccharification and fermentation. Industrial Crops and Products.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2013.06.024
Monteiro, J. S. T., Havrland, B., & Ivanova, T. (2013). Sweet Sorghum (sorghum bicolor (L.)
Moench) Bioenergy Value – Importance for Portugal. Agricultura Tropica et Subtropica.
https://doi.org/10.2478/v10295-012-0002-y
Murray, S. C., Rooney, W. L., Mitchell, S. E., Sharma, A., Klein, P. E., Mullet, J. E., & Kresovich,
S. (2008). Genetic improvement of sorghum as a biofuel feedstock: II. QTL for stem and leaf
structural carbohydrates. Crop Science. https://doi.org/10.2135/cropsci2008.01.0068
Nicoletti, G., Arcuri, N., Nicoletti, G., & Bruno, R. (2015). A technical and environmental
comparison between hydrogen and some fossil fuels. Energy Conversion and Management.
https://doi.org/10.1016/j.enconman.2014.09.057
O'Hara, I., Kent, G., Albertson, P., Harrison, M., Hobson, P., McKenzie, N., ... & Wong, H. H.
(2013). Sweet sorghum: Opportunities for a new, renewable fuel and food industry in
Australia [RIRDC Publication No. 13/087]. Rural Industries Research and Development
Corporation (RIRDC).
Phutela, U. G., & Kaur, J. (2014). Process Optimization for Ethanol Production from Sweet
Sorghum Juice Using Saccharomyces cerevisiae Strain NRRL Y-2034 by Response Surface
Methodology. Sugar Tech. https://doi.org/10.1007/s12355-013-0283-0
Quintero, J. A., Montoya, M. I., Sánchez, O. J., Giraldo, O. H., & Cardona, C. A. (2008). Fuel
ethanol production from sugarcane and corn: Comparative analysis for a Colombian case.
Energy. https://doi.org/10.1016/j.energy.2007.10.001
Ramadhas, A. S. (2016). Alternative fuels for transportation. Alternative Fuels for Transportation.
https://doi.org/10.1201/b16260
Ratnavathi, C. V., Komala, V. V., & Lavanya, U. (2016a). Sorghum Uses-Ethanol. In Sorghum
Biochemistry: An Industrial Perspective. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-803157-
5.00004-6
Ratnavathi, C. V., Patil, J. V., & Chavan, U. D. (2016b). Sorghum Biochemistry: An Industrial
Perspective. Sorghum Biochemistry: An Industrial Perspective.
https://doi.org/10.1016/C2014-0-03569-1
Ratnavathi, C. V., Suresh, K., Kumar, B. S. V., Pallavi, M., Komala, V. V., & Seetharama, N.
(2010). Study on genotypic variation for ethanol production from sweet sorghum juice.
Biomass and Bioenergy. https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2010.02.002
Reddy, B. V. S., Ramesh, S., Reddy, P. S., Ramaiah, F., Salimath, M., & Kachapur, R. (2005).
Sweet sorghum – a potential alternate raw material for bio-ethanol and bioenergy.
International Sorghum and Millets Newsletter.
Sambusiti, C., Ficara, E., Malpei, F., Steyer, J. P., & Carrère, H. (2012). Influence of alkaline pre-
treatment conditions on structural features and methane production from ensiled sorghum
forage. Chemical Engineering Journal. https://doi.org/10.1016/j.cej.2012.09.103
Sambusiti, C., Ficara, E., Malpei, F., Steyer, J. P., & Carrère, H. (2013). Effect of sodium
hydroxide pretreatment on physical, chemical characteristics and methane production of five
varieties of sorghum. Energy. https://doi.org/10.1016/j.energy.2013.04.025
Sergio, O., Chuck-Hernndez, C., Prez-Carrillo, E., & Heredia-Ole, E. (2012). Sorghum as a
Multifunctional Crop for the Production of Fuel Ethanol: Current Status and Future Trends.
In Bioethanol. https://doi.org/10.5772/20489
Sipos, B., Réczey, J., Somorai, Z., Kádár, Z., Dienes, D., & Réczey, K. (2009). Sweet sorghum
as feedstock for ethanol production: Enzymatic hydrolysis of steam-pretreated bagasse. In
Applied Biochemistry and Biotechnology. https://doi.org/10.1007/s12010-008-8423-9
Smith, C. W., & Frederiksen, R. A. (Eds.). (2000). Sorghum: Origin, history, technology, and
production (Vol. 2). John Wiley & Sons.
89
Somani, R. B., Almodares, A., & Shirvani, M. (1995). Preliminary studies on sweetner production
from sorghum grains. ANNALS OF PLANT PHYSIOLOGY, 9, 146-148.
Taha, M., Foda, M., Shahsavari, E., Aburto-Medina, A., Adetutu, E., & Ball, A. (2016). Commercial
feasibility of lignocellulose biodegradation: Possibilities and challenges. Current Opinion in
Biotechnology. https://doi.org/10.1016/j.copbio.2016.02.012
Teixeira, T. P. M., Pimentel, L. D., Dias, L. A. d. S., Parrella, R. A. d. C., da Paixão, M. Q., &
Biesdorf, E. M. (2017). Redefinition of sweet sorghum harvest time: New approach for
sampling and decision-making in field. Industrial Crops and Products, 109, 579-586.
doi:https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2017.09.002
Thanapimmetha, A., Saisriyoot, M., Khomlaem, C., Chisti, Y., & Srinophakun, P. (2019). A
comparison of methods of ethanol production from sweet sorghum bagasse. Biochemical
Engineering Journal, 151, 107352
Umagiliyage, A. L., Choudhary, R., Liang, Y., Haddock, J., & Watson, D. G. (2015). Laboratory
scale optimization of alkali pretreatment for improving enzymatic hydrolysis of sweet
sorghum bagasse. Industrial Crops and Products.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2015.05.044
Umakanth, A. V., Kumar, A. A., Vermerris, W., & Tonapi, V. A. (2018). Sweet sorghum for biofuel
industry. In Breeding Sorghum for Diverse End Uses. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-
101879-8.00016-4
Velmurugan, B., Narra, M., Rudakiya, D. M., & Madamwar, D. (2020). Sweet sorghum: a potential
resource for bioenergy production. In Refining Biomass Residues for Sustainable Energy
and Bioproducts. https://doi.org/10.1016/b978-0-12-818996-2.00010-7
Vinutha, K. S., Rayaprolu, L., Yadagiri, K., Umakanth, A. V., Patil, J. V., & Srinivasa Rao, P.
(2014). Sweet Sorghum Research and Development in India: Status and Prospects. Sugar
Tech. https://doi.org/10.1007/s12355-014-0302-9
Ward, A. J., Hobbs, P. J., Holliman, P. J., & Jones, D. L. (2008). Optimisation of the anaerobic
digestion of agricultural resources. Bioresource Technology.
https://doi.org/10.1016/j.biortech.2008.02.044
Whitfield, M. B., Chinn, M. S., & Veal, M. W. (2012). Processing of materials derived from sweet
sorghum for biobased products. Industrial Crops and Products.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2011.12.011
Wu, X., Zhao, R., Bean, S. R., Seib, P. A., McLaren, J. S., Madl, R. L., … Wang, D. (2007).
Factors impacting ethanol production from grain sorghum in the dry-grind process. Cereal
Chemistry. https://doi.org/10.1094/CCHEM-84-2-0130
Wu, X., Zhao, R., Wang, D., Bean, S. R., Seib, P. A., Tuinstra, M. R., … O’Brien, A. (2006). Effects
of amylose, corn protein, and corn fiber contents on production of ethanol from starch-rich
media. Cereal Chemistry. https://doi.org/10.1094/CC-83-0569
Zabed, H., Faruq, G., Sahu, J. N., Azirun, M. S., Hashim, R., & Nasrulhaq Boyce, A. (2014).
Bioethanol production from fermentable sugar juice. The Scientific World Journal.
https://doi.org/10.1155/2014/957102

90
BAB VIII. LIMBAH DAN PEMANFAATAN LAIN SORGUM

(Erni Sofia Murtini dan Lintang Ayu Nisa Trifany)

Selain biji dan nira, bagian lain dari tanaman sorgum masih dapat dimanfaatkan, tidak
hanya sebagai pakan ternak. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) menghasilkan beberapa
limbah yang masih dapat dimanfaatkan untuk industri pangan, antara lain arabinoxylan yang
dapat digunakan dalam pembuatan gel, biomasa (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) yang
berfungsi sebagai media fermentasi dalam produksi bioetanol, astaxanthin dan apigeninidin yang
dapat digunakan sebagai pewarna, dan single cell oil.

8.1 Arabinoxylan

Limbah tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) yang dapat menghasilkan arabinoxylan
adalah bagian bran (kulit biji/dedak). Bran sorgum merupakan produk samping yang dihasilkan
selama proses penggilingan biji sorgum. Arabinoxylan tergolong polisakarida non-pati yang
umumnya ditemukan pada bran biji-bijian. Arabinoxylan terdiri dari residu D-xylopyranosyl
dengan ikatan β (1,4) yang disubstitusi pada C(O)-2 dan C(O)-3 dengan rantai samping a-L-
arabinofuranosa, yang mengandung beberapa ester asam ferulat yang terikat dengan unit
arabinosa pada C(O)-5 (Stoklosa et al., 2019). Arabinoxylan yang mengikat asam ferulat dapat
membentuk gel dengan adanya ikatan silang kovalen yang melibatkan oksidasi asam ferulat
melalui pembentukan dimer, trimer, dan struktur ferulat yang lebih tinggi di bawah aksi sistem
lakase/O2 atau peroksidase/H2O2. Arabinoxylan dihasilkan melalui proses ekstraksi. Jumlah
arabinoxylan yang diekstrak dari tanaman bervariasi tergantung pada sumber atau jenis tanaman
yang diekstrak, sedangkan kemampuan pembentukan gel arabinoxylan dipengaruhi oleh
kandungan asam ferulatnya. Gel arabinoxylan memiliki peran penting sebagai carrier dalam
proses pengiriman likopen atau protein, karena dapat melindungi bahan aktif untuk melewati
lambung dan usus kecil kemudian akan dilepaskan di usus besar selama degradasi gel (Yan et
al., 2020). Menurut penelitian Yan et al. (2020), kandungan ekstrak arabinoxylan yang didapatkan
dari tanaman sorgum berkisar antara 4,15-4,77%.
Proses ekstraksi arabinoxylan dilakukan dengan menggunakan metode alkalin
termodifikasi. Bran sorgum dihaluskan dan diperlakukan dengan pelarut heksan dan α-amilase
untuk menghilangkan lemak dan pati yang terkandung di dalamnya. Serat yang dihasilkan lalu
dilarutkan pada larutan NaOH 0,25 M menggunakan water bath pada 150 rpm suhu 25ºC selama
4 jam. Campuran yang didapatkan, disentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit. Supernatan
dipisahkan dan residu dilarutkan kembali dalam air untuk proses ekstraksi kedua. Supernatan
yang diperoleh dari kedua proses ekstraksi kemudian ditambahkan dengan larutan HCl hingga
mencapai pH 4,2. Setelah pH tercapai, dilakukan sentrifugasi pada 5000 rpm selama 20 menit. 5
ml etanol 100% dicampurkan pada supernatan dan disimpan pada 4ºC selama semalam untuk

91
mempercepat pengendapan arabinoxylan. Hasil endapan dibilas menggunakan etanol 100%
sebanyak tiga kali lalu dipisahkan dengann vacuum filtration dan freeze-drying untuk
menghasilkan arabinoxylan bubuk (Yan et al., 2020).
Arabinoxylan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan film atau lapisan
tipis. Menurut penelitian Stoklosa et al. (2019), pembuatan film dilakukan dengan menambahkan
polisakarida arabinoxylan secara perlahan pada erlenmeyer yang telah berisi air, lalu dicampur
menggunakan hot plate magnetic stirrer pada suhu 90ºC selama 15 menit. Campuran yang telah
homogen didinginkan pada suhu ruang sebelum dilakukan sentrifugasi pada 3724 rpm untuk
menghilangkan komponen tidak terlarut. Kemudian, ditambahkan plasticizer berupa gliserol untuk
membentuk film.

8.2 Wax

Biji sorgum (Sorghum bicolor L.) mengandung sekitar 0,1-0,4% wax yang terkonsentrasi
pada permukaan bijinya. Komponen utama sorgum wax adalah lemak aldehida C28-C30 dan
lemak alkohol yang sifatnya hampir sama dengan karnauba wax (komersial wax yang cukup
dikenali masyarakat). Wax merupakan oleogelator kristal yang terdiri dari campuran wax ester,
hidrokarbon, asam lemak, lemak alkohol, mono-, di-, dan triasilgliserol, keton, serta sterol ester.
Wax memiliki kemampuan yang baik untuk memberikan sifat kristalisasi pada minyak cair,
bahkan pada konsentrasi yang rendah sekalipun. Hal ini dikarenakan wax memiliki polaritas yang
rendah, rantai yang panjang, dan titik leleh yang tinggi. Wax yang berasal dari tanaman umumnya
bersifat food grade dan tidak memerlukan biaya produksi yang tinggi. Namun, sumber-sumber
tanaman penghasil wax tergolong cukup langka (Liu et al., 2020). Wax dari tanaman umumnya
dapat dimanfaatkan dalam industri pangan misalnya pada pelapis produk permen dan permen
karet hingga permukaannya mengkilat dan pelapis (edible coating) buah dan sayur. Lebih lanjut
wax tanaman juga dapat dimanfaatkan pada non pangan seperti pada kosmetik, furniture dan
lain-lain.
Proses ekstraksi wax sorgum dilakukan menggunakan pelarut heksana secara refluks
selama 1 jam pada suhu 60ºC. Hasil ekstraksi disaring dengan kertas Whatman No. 2 sebanyak
dua kali perlakuan. Filtrat kemudian disimpan pada suhu -20ºC selama 12 jam. Selanjutnya, wax
yang diperoleh dikumpulkan dengan cara menyaring cold miscella menggunakan kertas
Whatman No. 42 dan pelarut diuapkan dalam kondisi vakum pada 40ºC (Liu et al., 2020). Jumlah
wax yang dapat diekstrak dari sorgum dan kualitas wax itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nutrisi
yang didapat selama pra-panen (Wang et al., 2017).

92
8.3 Biomasa: selulosa, hemiselulosa, dan lignin sebagai media fermentasi produksi
bioetanol

Budidaya tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) tidak hanya dimanfaatkan bijinya saja,
tetapi juga kandungan gula, serat, dan sebagai pakan ternak. Salah satu pemanfaatan tanaman
sorgum adalah sebagai biomasa. Biomasa dianggap sebagai sumber energi yang dapat
diperbarui dengan biaya rendah, yang dapat meningkatkan daya saing industri dan berkontribusi
pada strategi green economy. Komponen utama biomasa sorgum adalah selulosa, hemiselulosa,
pektin, lignin, dan karbohidrat non-struktural seperti gula terlarut serta pati (Wahyuni et al., 2019).
Biomasa sorgum dipandang sebagai sumber potensial untuk bahan bakar generasi kedua
dan berbagai biokimia melalui pengolahan lignoselulosa. Lignoselulosa mengandung campuran
dari lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Lignin merupakan biopolimer kompleks yang berasal dari
polimerisasi oksidatif p-hdroxycinnamil alcohol, tiga jenis unit aromatik dalam polimer lignin yaitu
guaiacyl (G), syringyl (S), dan minor p-hydroxyphenyl (H). Selain berperan dalam biomasa, lignin
juga merupakan sumber bahan kimia aromatik yang potensial. Kandungan dan komposisi lignin
dalam biomasa sorgum sangat dipengaruhi oleh genotip dan kondisi lingkungannya. Kandungan
lignin dapat dianalisa menggunakan thio-glycolic acid lignin (TGAL) assay, dimana tanaman
sorgum memiliki kandungan lignin berkisar antara 14,4%-22,9% (Wahyuni et al., 2019).
Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.), terutama sorgum manis, memiliki kandungan gula
yang cukup tinggi yang terdiri dari sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Kandungan gula pada tanaman
sorgum diperoleh dengan cara mengekstrak batang sorgum, dengan gula utama yaitu sukrosa
(Castro et al., 2017). Selain itu, ampas yang tersisa dari proses ekstraksi batang sorgum dapat
menghasilkan selulosa dan hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan dalam industri pangan, yaitu
untuk produksi alkohol. Proses isolasi selulosa dan hemiselulosa dilakukan dengan cara
menghilangkan lemak dan pati dari sorgum, kemudian dimasukkan ke dalam air dan diaduk
selama selama 1 jam pada suhu 85ºC. Selama proses tersebut, larutan dijaga pada pH 11,5
dengan penambahan 50% NaOH. Setelah didinginkan, larutan disentrifugasi 6000 rpm selama
20 menit. Supernatan dipisahkan dari residu melalui proses dekantasi. Lalu, residu yang
dihasilkan diekstrak kembali dengan larutan alkali sebanyak 2 kali dengan mengikuti tahapan
sebelumnya. pH ketiga campuran supernatan (dari 3 kali sentrifugasi) diatur pada 4,0-4,5 dengan
menambahkan larutan HCl untuk mendapatkan selulosa dan hemiselulosa (Qiu et al., 2017).
Selulosa pada tanaman sorgum juga dapat diproduksi dengan bantuan Trichoderma reesei
dan Aspergillus species. Kedua fungi tersebut memiliki tingkat produksi selulosa yang tinggi,
aman digunakan dalam industri pangan, dan ketersediaannya terjaga. Selulosa yang dihasilkan
dari tanaman sorgum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kandungan air, konsentrasi
selulosa, dan konsentrasi inokulum. Meningkatnya kandungan air bahan memberikan pengaruh
negatif terhadap produksi selulosa, sehingga produksinya menurun. T. reesei bersifat sangat
aerobik, adanya kandungan air yang tinggi mengakibatkan pembatasan oksigen yang dapat
93
menghambat pertumbuhannya. Peningkatan konsentrasi inokulum sebanding dengan tingkat
pertumbuhan yang semakin tinggi, sehingga akan menghasilkan produksi selulosa yang semakin
banyak pula (Idris et al., 2017).
Produksi etanol dari berbagai gula yang ada pada tanaman sorgum dapat dilakukan
dengan bantuan yeast. Yeast yang efektif dalam produksi etanol dengan cara fermentasi glukosa
adalah Saccharomyces cerevisiae dan Zymomonas mobilis, dengan karakteristik tidak dapat
menyerap xilosa dan arabinosa. Yeast yang memiliki kemampuan fermentasi xilosa menjadi
etanol adalah Pachysolen tannophilus, Pichia stipitis, dan Candida shehate, dengan karakteristik
toleransi etanol yang rendah, laju fermentasi yang lambat, sensitivitas tinggi terhadap inhibitor,
serta kesulitan dalam mengontrol laju suplai oksigen secara optimal. Sedangkan yeast yang
berperan dalam fermentasi arabinosa menjadi etanol sangat jarang ditemukan (Lolasi et al.,
2018).

8.4 Pewarna makanan: Astaxanthin dan Apigeninidin

Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) memiliki kandungan gula struktural maupun non-
struktural yang dapat dikonversi menjadi produk biorefinery yang digunakan dalam kehidupan.
Astaxanthin adalah salah satu produk yang dapat diperoleh dari tanaman sorgum melalui proses
fermentasi dengan bantuan yeast Phaffia rhodozyma. Astaxanthin umumnya digunakan untuk
menghasilkan warna orange dan dapat pula berperan sebagai provitamin A dalam produk
pangan. Proses produksi astaxanthin menggunakan P. rhodozyma dianggap lebih mudah karena
P. rhodozyma merupakan astaxanthin producer yang dapat dibudidayakan pada fruit juice,
molasses, dan hidrolisat hemiselulosa tanaman. P. rhodozyma memiliki sifat yang unik dimana
mampu memproduksi astaxanthin hingga 80% dengan kondisi pertumbuhan aerob (Stoklosa et
al., 2019).
Selain astaxanthin, tanaman sorgum dapat pula dimanfaatkan untuk menghasilkan
apigeninidin, yaitu salah satu golongan antosianin dengan range warna merah tua hingga biru.
Apigeninidin diekstrak dari bagian daun tanaman sorgum yang telah dikeringkan dan dijadikan
bubuk, dengan menggunakan pelarut air. Kandungan apigeninidin pada tanaman sorgum
berkisar antara 0,36-2,09 μg/g berat kering dan dipengaruhi oleh varietas, kondisi lingkungan
pertumbuhan, kondisi selama proses, serta metode ekstraksi yang digunakan (Bradwell et al.,
2018). Sifat apigeninidin sama dengan sifat antosianin yaitu peka terhadap perubahan suhu dan
pH. Suhu yang tinggi dan pH yang asam mampu menurunkan konsentrasi apigeninidin selama
penyimpanan. Kondisi penyimpanan yang baik untuk apigeninidin adalah suhu rendah (4ºC) yang
mampu memperlambat reaksi endotermik yang menyebabkan degradasi apigeninidin (Akogou et
al., 2018).
Menurut Akogou et al. (2018), aplikasi apigeninidin pada industri pangan telah dilakukan
pada produk pangan yang membutuhkan proses sterilisasi pada pH 7,07 ± 0,04 dan 8,67 ± 0,14,

94
yang menunjukkan bahwa apigeninidin stabil pada pH netral dan basa. Selain itu, pewarna
apigeninidin stabil pada kondisi terpapar cahaya yang ditunjukkan dengan tidak adanya
degradasi apigeninidin pada kondisi tersebut. Hal ini menguntungkan industri pangan karena
pewarna tersebut dapat diaplikasikan pada produk pangan yang biasanya terpapar cahaya,
dimana pada umumnya antosianin (glikosida sianidin dan delphinidin) bisa berkurang atau hilang
hingga lebih dari 90% konsentrasi awal setelah terpapar cahaya selama 15 hari. Metode ekstraksi
terbaik untuk mendapatkan apigeninidin adalah kondisi basa yang akan meningkatkan pelepasan
apigeninidin dari bahan mentah tanpa resiko degradasi menjadi asam fenolat. Perlakuan suhu
tinggi pada pengolahan produk pangan yang menggunakan pewarna apigeninidin dapat
dilakukan, asalkan memperhatikan kisaran pH 7-9 untuk meminimalisir hilangnya apigeninidin.

8.5 Single cell oil

Single cell oil (SCO) merupakan lipid penyimpanan intraseluler yang terdiri dari trigliserida.
SCO dapat digunakan sebagai alternatif minyak, tergantung pada komposisi asam lemaknya,
dapat digunakan sebagai feedstock untuk produksi biodiesel, bahan farmasi, atau sumber asam
lemak esensial untuk konsumsi manusia maupun ternak. Single cell oil diproduksi oleh
mikroorganisme oleaginous yang mampu mengakumulasi antara 20-80% lipid per biomasa
kering dalam fase pertumbuhan di bawah nutrisi yang terbatas, misalnya nitrogen atau fosfor,
dengan sumber karbon berlebih secara simultan (Ochsenreither et al., 2016). SCO pada sorgum
dapat diperoleh dengan bantuan Rhodosporidium toruloides, yang tergolong dalam jenis yeast
dengan kemampuan mengakumulasi jumlah lipid yang tinggi ketika ditumbuhkan pada substrat.
Macam-macam substrat yang dapat digunakan oleh R. toruloides antara lain gula murni, gliserol,
pati singkong, dan artichoke Jerussalem. Selain itu, yeast tersebut mampu menghasilkan produk
lain yang bernilai tinggi seperti karotenoid (Matsakas et al., 2012).
Bagian tanaman sorgum yang dapat digunakan untuk produksi single cell oil dan berpotensi
sebagai limbah adalah bagian batangnya. Batang tanaman sorgum mengandung karbohidrat
terlarut (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) dan karbohidrat tidak terlarut (selulosa dan
hemiselulosa) dengan jumlah yang cukup tinggi, dimana karbohidrat tersebut akan dikonversi
menjadi gula sederhana yang akan digunakan oleh yeast. Batang tanaman sorgum juga
mengandung protein yang dapat berfungsi sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan yeast,
sehingga diperoleh kadar awal karbon:nitrogen sebesar 60:65. Kadar karbon:nitrogen yang
semakin tinggi diperlukan untuk menghasilkan single cell oils yang lebih banyak pula (Matsakas
et al., 2012).

95
DAFTAR PUSTAKA

Akogou, F. U. G., Kayode, A. P. P., den Besten, H. M. W., Linnemann A. R., & Fogliano V. (2018).
Effect of Processing and Storage on The Stability of The Red Bicolorant Apigeninidin from
Sorghum. Food Science and Technology. 90: 592-597
Bradwell, J., Hurd, M., Pangloli, P., McClure, A., & Dia, V. P. (2018). Food Science and
Technology. 97: 787-793
Castro, E., Nieves, I. U., Rondon, V., Sagues, W. J., Fernandez-Sandoval, M. T., Yomano, L. P.,
York, S.W., Erickson, J., & Vermerris, W. (2017). Potential for Ethanol Production from
Different Sorghum Cultivars. Industrial Crops & Products. 109: 367-373
Idris, A. S. O., Pandey, A., Rao, S. S., & Sukumaran, R. K. (2017). Cellulase Production Through
Solid-State Tray Fermentation, and Its Use for Bioethanol from Sorghum Stover.
Bioresource Technology. 242: 265-271
Liu, L., Ramirez, I. S. A., Yang, J., & Ciftci, O. N. (2020). Evaluation of Oil-Gelling Properties and
Crystallization Behavior of Sorghum Wax in Fish Oil. Food Chemistry. 309: 125567
Lolasi, F., Amiri, H., Asadollahi, M. A., &Karimi, K. (2018). Using Sweet Sorghum Bagasse for
Production of Amylases Required for Its Grain Hydrolysis via a Biorefinery Platform.
Industrial Crops & Products. 125: 473-481
Matsakas, L., Bonturi, N., Miranda, E. A., Rova, U., & Christakopoulus, P. (2015). High
Concentrations of Dried Sorghum Stalks as a Biomass Feedstock for Single Cell Oil
Porduction by Rhodosporidium toruloides. Biotechnology for Biofuels. 8(2015): 1-6
Stoklosa, R. J., Latona, R. J., Bonnaillie, L. M., & Yadav, M. P. (2019). Evaluation of Arabinoxylan
Isolated from Sorghum Bran, Biomass, and Bagasse for Film Formation. Carbohydrate
Polymers. 213(2019): 382-392
Ochsenreither, K., Gluck, C., Stressier, T., Fischer, L., & Syldatk, C. (2016). Production Strategies
and Applications of Microbial Single Cell Oils. Review: Frontiers in Microbiology. 7:1539
Qiu, S., Yadav, M. P., Chau, H. K., & Yin, L. (2020). Physicochemical Characterization and
Rheological Behavior of Hemicelluloses Isolated from Sorghum Bran, Sorghum Bagasse
and Sorghum Biomass. Food Hydrocolloids. 100: 105382
Wahyuni, Y., Miyamoto, T., Hartati, H., Wijayantie, D., Windiastri, V. E., Sulistyowati, Y., Rachmat,
A., Hartati, N. S., Ragamustari, S. K., Tobimatsu, Y., Nugroho, S., & Umezawa, T. (2019).
Variation in Lignocellulose Characteristics of 30 Indonesian Sorghum (Sorghum bicolor)
Accessions. Industrial Crops & Products. 142: 111840
Wang, C., Zhou, L., Zhang, G., Xu, Y., Zhang, L., Gao, X., Gao, J., Jiang, N., & Shao, M. (2017).
Optimal Fertilization for High Yield and Good Quality of Waxy Sorghum (Sorghum bicolor
L. Moench). Field Crops Research. 203: 1-7
Yan, J., Zhang, B., Wu, F., Yan, W., Lv, P., Yadav, M., Jia, X., & Yin, L. (2020). Diverse
Mechanical Properties and Microstructures of Sorghum Bran Arabinoxylans/Soy Protein
Isolate Mixed Gels by Duo-Induction of Peroxidase and Calcium Ions. Food Hydrocolloids.
107(2020): 105946

96
GLOSARIUM
A

Aerob = Memerlukan oksigen untuk hidup, tumbuh dan bergerak. Mikroba


yang dalam respirasi memerlukan oksigen

Aglikon = Senyawa organik yang bersenyawa dengan bagian glikosida yang


bergula; bukan bagian dari senyawa glikosida yang dapat
dibebaskan dengan proses hidrolisis

Alkali = Suatu zat yang bersifat basa atau mempunyai pH >7

Amilopektin = Polisakarida bercabang yang tersusun dari molekul glukosa yang


dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosidik yang membentuk
struktur linier dan ikatan α-1,6-glikosidik untuk membentuk
bercabang

Amilosa = Polisakarida rantai lurus yang tersusun dari molekul glukosa yang
dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosidik

Anaerob = (Mikroorganisme) yang dapat respirasi secara baik tanpa oksigen

Antiinflamasi = Kelompok senyawa yang digunakan untuk mengurangi


perandangan.

Antinutrisi = Senyawa yang dihasilkan secara alami oleh tanaman yang dapat
mengganggu atau menghambat penyerapan nutrisi

Antioksidan = Senyawa yang dapat mencegah atau memperlambat kerusakan sel


akibat radikal bebas

Aw (Aktivitas air) = Air bebas, air yang tersedia untuk biologi maupun reaksi kimia

Bioaktif = Senyawa yang terdapat pada hewan atau tanaman yang memiliki
efek fisiologis pada tubuh

Biodiesel = Bahan bakar yang sebagian atau seluruhnya berasal dari bahan
organik

Bioetanol = Sejenis alkohol yang merupakan bahan kimia yang terbuat dari
bahan baku tanaman yang mengandung pati

Biogas = Gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan organik

Daya Cerna = Kemampuan suatu senyawa untuk dihidrolisis menjadi partikel


yang lebih kecil yang dapat diserap oleh saluran pencernaan

Diversifikasi = Usaha untuk penganekaragaman atau untuk menghindari


ketergantungan pada produk tunggal

Ekstraksi = Proses pemisahan suatu zat dari sistem campuran, dapat dilakukan
dengan pelarut, distilasi, pengepresan atau sublimasi

97
Emulsifier = Zat untuk membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air

Enzim = Molekul protein kompleks yang dihasilkan oleh makhluk hidup dan
bekerja sebagai katalisator dalam berbagai proses kimia di dalam
tubuh makhluk hidup

Fitokimia = Senyawa kimia yang terdapat pada tanaman

Food grade = Suatu material yang tidak mentransfer zat berbahaya ke dalam
makanan

Fortifikasi = Proses penambahan mikronutrien pada makanan

Freeze-drying = Salah satu teknik pengeringan dengan cara membekukan suatu zat
kemudian diuapkan sehingga kadar air dalam bahan akan
menguap/menyublim

Fruktosa = Senyawa karbohidrat yang termasuk ke dalam golongan


monosakarida

Gelatinisasi = Proses pemecahan bentuk kristalin granula pati, sehingga setiap


lapisan permukaan molekulnya dapat menyerap air atau larut dan
bereaksi dengan bahan lain

Germinasi = Perkecambahan suatu tanaman

Glukosa = Senyawa karbohidrat yang termasuk ke dalam golongan


monosakrida

Gluten = Protein yang terdapat pada gandum yang berperan pada


pembentukan kohesivitas, ekstensibilitas dan elastisitas adonan
produk.

Grit Sorgum = Sorgum yang telah melalui proses penggilingan dan memiliki
ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan biji sorgum utuh,
namun lebih kasar dari tepung

Hemiselulosa = Polisakarida yang ditemukan pada dinding sel tumbuhan

Hidrasi = Penggabungan dengan air

Hidrokoloid = Bahan koloid hidrofilik yang memiliki kemampuan mengikat dan


menyerap air berfungsi sebagai penstabil, emulsifier, pembentuk
tekstur, dan meningkatkan daya serap air pada produk pangan

Hidrolisis = Pemecahan senyawa kimia melalui penambahan air

Imunomodulator = Senyawa yang dapat meningkatkan fungsi sistem imun

Indeks Glikemik (IG) = Angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari
karbohidrat yang tersedia pada bahan pangan atau dapat

98
dikatakan sebagai tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah

Kelembaban Relatif (RH) = Jumlah uap air yang terkandung di dalam campuran air-udara
dalam fase gas

Mikotoksin = Senyawa hasil metabolisme jamur yang bersifat toksik atau


berbahaya

Pati modifikasi = Pati yang telah mengalai modifikasi secara fisik, kimia, mikrobiologi,
atau enzimatis sehingga merubah satu atau lebih sifat aslinya

Pati resisten = Pati yang tidak dicerna oleh enzim pencernaan dan tahan terhadap
asam lambung sehingga dapat mencapai usus besar untuk
difermentasi oleh bakteri baik menjadi asam lemak rantai pendek.

Patogen = Mikroorganisme yang menimbulkan penyakit

Reactive Oxygen Species = Radikal bebas yang berupa oksigen dan turunannya yang bersifat
(ROS) sangat reaktif

Retrogradasi Pati = Terikatnya kembali molekul amilosa yang keluar dari granula pati
pada saat proses gelatinisasi akibat penurunan suhu, membentuk
jaringan mikrokristal dan mengendap

Selulosa = Polisakarida yang dihasilkan oleh sitoplasma sel tanaman yang


membentuk dinding sel

Silase = Batang sorgum yang dipotong pada waktu tanaman tersebut masih
berwarna hijau kemudian disimpan

Silika gel = Substansi yang digunakan untuk menyerap kelembaban dan cairan
partikel

Sourdough = Adonan yang dibuat dengan cara fermentasi dengan mikroba alami

Starter = Biakan mikroba tertentu yang ditumbuhkan di dalam substrat atau


medium untuk tujuan proses tertentu

Sukrosa = Senyawa karbohidrat yang termasuk ke dalam golongan


monosakarida yang terdiri dari glukosa dan fruktosa

Tanaman C4 = Tanaman yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan


panas dan kering

Tanin = Suatu senyawa polifenol yang bersifat asam dengan rasa sepat dan
ditemukan pada banyak tumbuhan

99
INDEKS

A
H
Alkali, ix
Allelopathy, 14 Hidrokoloid, 52
Ampok, 74
Anti-nutrisi, 29 I
Antosianin, 63 Imunomodulator, 61
Apigeninidin, 102 Indeks glikemik, 33
Arabinoxylan, 99
Asam fenolat, 26 K
Asam fitat, 31
Astaxanthin, 102 Kafirin, 62
Karbohidrat, 24
B Kukis sorgum, 56

Bagasse, 13 L
Bakpao, 65
Biodiesel, 103 Lemak, 25
Bioetanol, 88 Luteolin, 27
Biogas, 88
Breakfast cereal., 56 M
Brown sorgum, 19 Mi sorgum, 57
Mikotoksin, 43
D Mineral, 62
Daya cerna pati, 24 Minuman bubuk rendah kalori, 65
Daya cerna protein, 25
Durra, 13 N
Nikstamalisasi, 50
E
Emulsifier, 50 P
Endosperma, 23 Pangan fungsional, 60
Pati resistan, 24
F Pengeringan, 39
Fenolik, 26 Penyimpanan, 40
Fermentasi, 48, 49 Perikarp, 22
Fitokimia, 47 Perkecambahan, 49
Flavanon, 28 Proses Panen, 38
Flavona, 27 Protein, 25
Flavonoid, 27, 28 Purdue Improved Crop Storage (PICS), 40
Fortifikasi, 53
R
G Roti kukus, 56
Gelatinisasi, 52
Germ, 23 S
Gluten, 62 Serat pangan, 61
Gluten-free, 55 Serealia, 15
Gulma, 13
100
Silase, 13
Single cell oil, 103
Sorgum merah, 19
Sorgum putih, 19
Sourdough, 55
Subtropics, 13

T
Tanin, 20
Tanin terkondensasi, 50
Tempe, 75
Tortilla, 56
Tripsin inhibitor, 30

W
Wax, 100
Wet-milling, 53

Β
β-glukan, 61

101
102

Anda mungkin juga menyukai