Anda di halaman 1dari 6

FILSAFAT ESENSIALISME

A. Pengertian Esensialisme
Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni essential yang
berarti inti atau pokok dari sesuatu, dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Pada
dasarnya, filsafat pendidikan esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang dianggap
telah terbukti selama berabad-abad lamanya (Permana, 2017). Esensialisme
menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang esensial, yaitu
yang telah teruji oleh waktu, bersifat menuntun dan telah turun menuran dari zaman ke
zaman (Saidah, 2015).
Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yaitu
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, karena kebudayaan lama
telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia (Permana, 2017). Kebudayaan lama
dimaksud telah ada semenjak peradaban umat manusia terdahulu, terutama semenjak
zaman Renaissance mulai tumbuh dan berkembang dengan megahnya. Kebudayaan lama
melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
kesenian zaman Yunani dan Romawi kuno.
Essensialisme merupakan gerakan pendidikan yang bertumpu pada aliran filsafat
idealisme dan realisme. Pertemuan dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya
berposisi sebagai pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak
melepaskan identitas dan ciri masing-masing (Anwar, 2015). Pada aliran idealisme
pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan kepribadian anak didik sesuai dengan
kebenaran yang berasal dari atas yaitu dari dunia supranatural, yaitu Tuhan. Sedangkan
aliran filsafat realisme berpendapat bahwa upaya pendidikan harus diarahkan pada upaya
menguasai pengetahuan yang sudah mantap sebagai hasil penelitian ilmiah yang
dituangkan secara sistimatis dalam berbagai disiplin atau mata pelajaran (Saidah, 2015).

B. Tokoh-Tokoh Esensialisme
Esensialisme didasari atas pandangan humanis yang merupakan reaksi tehadap
hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan meterialistik (Yunus, 2016).
Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran
idealisme dan realisme.
Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah Georg
WilhelmFriedrich Hegel (1770-1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan
adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang
menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh
mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat
kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula
bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan
mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya
nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi
berpikir juga merupakan gerak.
George Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan aliran
realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai
dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang
menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau
nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan
nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-tokoh yang muncul dan
menyebarluaskan esensialisme, antara lain:
1. Desidarius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup
yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat
humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah
dan kaum Aristokrat.
2. Johann Amos Comeniuc (1592-1670), adalah seorang yang memiliki pandangan
realitas yang dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai
peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak tuhan, karena pada hakikatnya
dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3. John Locke (1632-1704), tokoh dari Inggris dan populer sebagai pemikir dunia
berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
4. George Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831), mengemukakan adanya sintesa
antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan
landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa
ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang
dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah
adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi
mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti
spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga
merupakan gerak.
5. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), seorang tokoh yang berpandangan
naturalistis. Pestalozzi memiliki kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin
pada manusia, sehingga pada manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya.
6. Johann Frederich Frobel (1782-1852), tokoh yang berpandangan kosmis-sintetis
dengan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang
merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum alam.
7. Johann Friederich Herbart (1776-1841), salah seorang murid dari Immanuel Kant
yang berpandangan kritis. Harbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah
menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak dalam arti
penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses
pencapaian tujuan pendidikan oleh Harbert sebagai pengajaran yang mendidik.
8. William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika Serikat yang pandangannya
dipengaruhi oleh Hegel. Ia berusaha menerapkan idealisme obyektif pada
pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita
berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual.

C. Karakteristik Esensialisme
Esensialisme yang bekembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan
yang bebeda dengan progresivisme, yaitu mengenai pendidikan dan kebudayaan.
Progresivisme menganggap bahwa pendidikan penuh dengan fleksibilitas, serba terbuka
untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran, serta nilai-nilai
yang dimilikinya dapat berubah dan berkembang. Pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah, tidak menentu dan kurang stabil.
Maka dari itu, idealnya pendidikan harus berpijak di atas nilai-nilai yang sekiranya dapat
mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh waktu, tahan lama, serta nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan telah terseleksi (Anwar, 2015). Adapun nilai-nilai yang dianggap
dapat dijadikan pijakan, yaitu nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif selama empat abad belakangan ini ini, dengan perhitungan zaman Renaissance
sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialis. Puncak refleksi dari
gagasan ini adalah pada pertengahan abad kesembilan belas (Barnadib, 1998).

D. Pandangan Umum Esensialisme


Beberapa pandangan umum tentang esensialisme adalah sebagai berikut
(Permana, 2017):
1. Pandangan Ontologi
Secara ontologi, sifat yang menonjol dari esensialisme adalah suatu konsep bahwa
dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela
pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita
manusia harus disesuaikan dengan tata alam yang ada.
2. Pandangan Epistemologi
Secara epistemologi, esensialisme adalah teori kepribadian manusia sebagai refleksi
Tuhan, inilah jalan untuk mengerti. Sebab jika manusia mampu menyadari realita
sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam
tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaannya. Berdasarkan
kualitas inilah dia memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda,
ilmu alam, biologi, sosial, dan agama.
3. Pandangan Aksiologi
Dasar ontologi dan epistemologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi
aliran ini, nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan
realisme sebab esensialisme terbina oleh keduanya; idealisme melihat sikap, tingkah
laku maupun ekspresi feeling manusia mempunyai hubungan dengan kualitas baik
dan buruk. Sedang realisme melihat sumber pengetahuan manusia terletak pada
keteraturan lingkungan hidup. Sehingga nilai baik dan buruk didasarkan atas
keturunan dan lingkungan.

E. Implikasi Esensialisme dalam Pendidikan


Kaum esensialis mengemukakan bahwa sekolah harus melatih, mengajar, atau
mendidik peserta didik untuk mampu berkomunikasi dengan jelas dan logis,
Keterampilan-keterampilan inti kurikulum harus berupa membaca, menulis, berbicara
dan berhitung. Selain itu, sekolah bertanggungjawab untuk memperhatikan penguasaan
peserta didik terhadap keterampilan-keterampilan tersebut, karena implementasi
kurikulum membutuhkan dukungan media, sarana, dan lingkungan yang memadai.
Menurut filsafat esensialisme, pendidikan sekolah harus bersifat praktis dan memberi
pengajaran yang logis dan mampu mempersiapkan suatu keterampilan bagi kehidupan
peserta didik. Dalam hal ini, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan
kebijakan sosial (Yunus, 2016).
1. Tujuan Pendidikan
Dalam konsep esensialisme, pendidikan bertujuan untuk meneruskan warisan
budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah
bertahan dalam kurun waktu yang lama. Sekolah berkontribusi tentang bagaimana
merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, yang pada akhirnya memenuhi
kebutuhan peserta didik untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan.
2. Kurikulum
Beberapa tokoh aliran esensialisme memandang bahwa kurikulum yang
digunakan adalah kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran atau subjek matter
centered dan berpangkal pada landasan ideal dan organisasi yang kuat (Usiono,
2006). Aliran esensialisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang
disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai
kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan
dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang
paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan
bersifat harmonis (Jalaluddin, 2013). Penguasaan materi kurikulum tersebut
merupakan dasar yang bersifat essensialisme general education yang diperlukan
dalam hidup. Belajar dengan tepat berkaitan dengan disiplin yang diyakini akan
mampu mengembangkan pikiran peserta didik dan sekaligus membuatnya sadar akan
dunia fisik di sekitarnya (Barnadib, 1998).
Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia
yang bisa dijadikan sebagai ukuran dari suatu kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Maka dalam proses perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai
pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme, behaviorisme, dan sebagainya
sehingga peranan lembaga pendidikan formal atau sekolah dalam menyelenggarakan
pendidikan dapat berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang
ada di lingkungan masyarakat.
3. Metode Pendidikan
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered). Umumnya diyakini bahwa
pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka haru dipaksa
belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat lemah-lembut harus dijauhi, dan
memusatkan diri pada penggunaan metode-metode tradisional yang tepat. Metode
utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan
penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
4. Peran Guru dan Sekolah
Peran sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan
sejarah pada generasi muda dewasa. Guru memegang peran lebih khusus, di mana
guru dianggap sebagai seorang yang menguasai lapangan, subjek khusus dan
merupakan model yang baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang
mengusai pengetahuan, ilmu. Dalam pendidikan formal, kelas berada di bawah
pengaruh dan pengawasan guru (Barnadib, 1998).
5. Peran Peserta Didik
Peran peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Menurut
idealisme belajar, yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran seperti yang
telah ditetapkan oleh yang absolut. Sedangkan menurut realisme belajar berarti
penyesuaian diri terhadap masyarakat dan alam. Belajar berarti menerima dan
mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul
untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan
demikian kaum esensialisme mengakui bahwa siswa adalah makhluk rasional dalam
kekuasaan fakta & keterampilan-keterampilan pokok yang siap melakukan latihan-
latihan intelektif atau berfikir.
6. Prinsip-Prinsip Pendidikan
Prinsip-prinsip pendidikan yang dianut aliran esensialisme adalah sebagai
berikut:
a. Pendidikan harus dilakukan melalui usaha keras, karena pendidikan tidak begitu
saja timbul dari dalam diri siswa.
b. Inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru bukan pada siswa.
c. Inisiatif proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah
ditentukan.
d. Sekolah harus mempertahankan metode-metode tradisional yang bertautan
dengan disiplin mental.
e. Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum
merupakan tuntutan demokrasi yang nyata.
f. Metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental merupakan
metode-metode yang diutamakan dalam proses pendidikan di sekolah.(Yunus,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. 2015. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group As’adi.


Barnadib, I. 1998. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.
Jalaluddin. 2013. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Permana, S. A. 2017. Filsafat Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan IPS Kontemporer.
Yogyakarta: Cognitora.
Saidah, A. H. 2015. Pemikiran Essensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan
Pragmatisme dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Al-Asas III (1):165–178.
Diakses 13 Oktober 2018.
Usiono. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta: Hijri Pustaka Utama.
Yunus, H.A. 2016. Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme dan Esensialisme dalam Perspektif
Filsafat Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendas 2 (1): 29-39. Diakses 13 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai