Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KOASISTENSI BEDAH DAN RADIOLOGI

“Resume Penanganan Distokia pada Sapi”

OLEH:

Yuni Sarah Sidabutar, S.K.H


2109020007
Kelompok 2A/2021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
Studi Kasus Penanganan Kejadian Distokia pada Sapi
1. Fesseha H., Negash G., dan Gebrekidan B. 2020. Case Report-Caesarean Operation in Cow
due to Prolonged Pregnancy. Veterinary Medicine Open Journal 5 (1): 9-13. doi:
10.17140/VMOJ-5-141.
2. Nijin Jos, B. M. 2020. Surgical Management of Dystocia in a Cross Bred Holstein Friesian
Heifer by Caesarean Section - A Case Report. International Journal of Current Microbiology
and Applied Sciences 9 (07): 3928-3931. doi: https://doi.org/10.20546/ijcmas.2020.907.460.
3. Mekoria E., Dhaba J., Ame M. M. 2022. A Case Report on Surgical Management of Dystocia
in Heifers Due to Narrow Pelvis and Immaturity. Veterinary Medicine Open Journal 7 (1):
12-15. doi: 10.17140/VMOJ-7-162.

Pendahuluan
Distokia dapat didefinisikan sebagai kejadian tertundanya kelahiran ataupun kesulitan dalam
partus (Regmi dan Gautam 2020). Distokia sering dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti breed,
paritas induk, jenis kelamin pedet, berat lahir pedet, kondisi jalan lahir, lama kebuntingan,
nutrisi, tahun dan musim melahirkan (Singh et al., 2019).
Salah satu faktor penting yang menyebabkan tingginya kemungkinan terjadi distokia
terkait erat dengan kematangan saluran lahir. Sapi dara yang melahirkan pada umur kira-kira dua
tahun lebih banyak mengalami kesulitan melahirkan pedet, bahkan dengan pemberian pakan dan
perawatan yang baik. Seringkali, intervensi diperlukan untuk menyelamatkan nyawa pedet dan
atau induk. Jika kejadian distokia sudah berlangsung cukup lama, intervensi bedah adalah satu-
satunya cara untuk mengatasi hal tersebut, karena traksi paksa dapat membahayakan nyawa
induk dan pedet (Dutt et al., 2017).
Operasi caesar, juga disebut laparohisterotomi, berarti ekstraksi fetus dari induk, melalui
lubang bedah di dinding perut dan uterus. Hal ini biasanya ditujukan pada kasus distokia ketika
pedet tidak dapat dilahirkan melalui proses partus normal. Ada berbagai pendekatan bedah yang
tersedia untuk operasi caesar pada sapi yaitu celiotomy paralumbar kiri dan kanan baik berdiri
maupun rebah ataupun celiotomy ventral median. Pemilihan pendekatan yang tepat tergantung
pada jenis distokia, status kesehatan sapi, kondisi lingkungan, ketersediaan bantuan, dan
preferensi ahli bedah. Resume kasus saat ini disusun dengan tujuan untuk menjelaskan
manajemen bedah pada penanganan kasus distokia pada sapi.
Deskripsi Kasus
Kasus 1
Sapi perah Holstein Friesian cross-bred berumur delapan tahun dengan kondisi tubuh yang
baik dibawa ke Klinik Hewan Edaga Hamus seminggu sebelumnya dan kasusnya dirujuk ke
Rumah Sakit Hewan, Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran Hewan (CVS), Universitas Mekelle
(MU), Etiopia. Berdasarkan hasil pemeriksaan klinik hewan sebelumnya, sapi tersebut
didiagnosa bunting berkepanjangan sekitar 321 hari dan juga tidak ada tanda-tanda partus dan
nifas. Selain itu, sapi tersebut memiliki riwayat paritas tiga dan pernah mengalami kondisi
abnormal serta penyakit selama masa kebuntingan. Kemudian, dokter hewan segera merujuk
kasus tersebut ke Rumah Sakit Hewan, CVS, MU. Pemeriksaan klinis terperinci dilakukan
dengan mengambil semua parameter yang diperlukan. Pemeriksaan lebih lanjut dari parameter
organ vital seperti detak jantung, laju pernapasan, laju pulsus, dan membran mukosa semuanya
ditemukan dalam batas fisiologis normal. Selain itu, pada pemeriksaan per-rektal, sebagian besar
organ dan struktur fetus teraba, namun tidak ada respon dari fetus. Oleh karena itu, berdasarkan
anamnesis dan pengamatan klinis, kasus ini didiagnosis sebagai kebuntingan yang
berkepanjangan (prolonged pregnancy) dan tim memutuskan untuk menangani kasus tersebut
dengan operasi caesar.
Kasus 2
Seekor sapi Friesian Holstein umur 2 tahun datang dengan keluhan kesulitan dalam partus.
Sapi tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda partus sejak enam jam terakhir, serta salah satu
kaki depan dan kepala fetus sudah terlihat keluar. Sapi tersebut telah diperiksa oleh dokter hewan
lain dan didiagnosis mengalami kelainan postur foeto-maternal dan fleksi pada bahu kiri fetus.
Sejak pedet ditemukan mati, dilakukan fetotomy oleh dokter hewan untuk memperbaiki
presentasi dan mengeluarkan fetus. Ruang pelvis yang tidak memadai menghambat tindakan
tersebut. Karena kondisinya didiagnosis sebagai kelainan postur foeto-maternal dengan fleksi
bahu kiri, hewan tersebut menjalani operasi caesar.
Kasus 3
Peternak datang ke Klinik Hewan Bedeno dengan keluhan bahwa sapi daranya yang
berumur 2 tahun, dengan masa kebuntingan penuh tidak dapat partus sejak tengah malam
kemarin. Pemilik mengatakan bahwa sudah berusaha untuk membantu partus namun tidak
berhasil. Dokter hewan menuju ke tempat peternak. Setelah pemeriksaan dilakukan, diketahui
suhu rektal sapi 38,8 °C, ada takikardia (130 kali per menit) dan dispnea (16 kali per menit).
Terjadi ruptur kantong kebuntingan, pembengkakan vulva, tidak ada perejanan, dan distensi
abdomen. Sapi dalam posisi rebah dan tidak bisa berdiri.
Vulva kemudian dicuci dengan air dan larutan sabun, lalu dibersihkan dengan larutan
savlon (Cetrimide 3% dan chlorohexidine gluconate 0,3%) dengan melarutkannya 250 ml
dengan 1 L air hangat. Lalu dibuat larutan gula (500 gr gula pasir dilarutkan dengan 250 ml air)
dan diaplikasikan ke vulva untuk mengurangi kandungan air dari vulva yang bengkak untuk
memudahkan manipulasi manual. Setelah edema vulva berkurang, saluran lahir dilumasi dengan
100 ml minyak parafin untuk dilakukan pertolongan partus secara pervagina tetapi gagal karena
rongga tulang pelvis induk sapi sangat sempit. Tindakan membantu partus yang dilakukan oleh
peternak sebelumnya telah merusak otot bagian bawah anak sapi, sehingga fetotomi menjadi
tidak memungkinkan karena bagian fetus yang dapat dijangkau hanyalah otot fetus yang terlepas.
Upaya terakhir yang dapat dilakukan yaitu dengan operasi caesar. Karena tidak ada ruang
operasi, maka lantai tempat sapi berbaring ditutup dengan bahan plastik polivenil (4x5 m),
kemudian sapi dipindahkan pada plastik. Selain itu, dibuat tenda di atas sapi berbaring dari jenis
bahan plastik yang sama untuk menciptakan area pembedahan yang bersih.

Tindakan Operasi
Sebelum operasi dimulai, sapi dikekang secara memadai menggunakan metode restrain
fisik dan kimiawi. Sapi dikekang dengan kombinasi metode fisik dan kimia. Teknik
pengekangan fisik dilakukan dengan bantuan tali yang dipasang oleh petugas pada satu tempat
pada tiang kayu untuk menahan sapi secara memadai dalam posisi berdiri pada kasus 1 (Gambar
1A). Jika tidak dimungkinkan untuk sapi dipertahankan dalam posisi berdiri (kasus 2 dan 3),
pengekangan pada sapi dilakukan dengan mengikat keempat kaki sapi dalam posisi sapi
berbaring lateral kanan untuk memudahkan ekspos area pembedahan pada flank kiri (Gambar 2).
Teknik pengekangan kimiawi diperlukan pada sapi yang masih dalam kondisi aktif
sepenuhnya (kasus 1 dan 2) yaitu dengan sedasi menggunakan Detomidine hydrochloride (20
μg/kg BB, IV) atau xylazin hidroklorida (0,1 mg/kg BB). Permukaan kulit pada fossa paralumbar
(flank) kiri disiapkan secara aseptik dengan dicuci menggunakan air sabun dan antiseptik
misalnya larutan yang berbahan Cetrimide 3% dan Chlorhexidine gluconate 0,5%. Kemudian
rambut dicukur dan dibersihkan secara menyeluruh dengan larutan antiseptik.
Selanjutnya dilakukan anestesi regional pada area flank kiri menggunakan lidokain 2%
untuk menurunkan kepekaan otot perut dan mengurangi rasa sakit selama prosedur pembedahan
(Gambar 1B). Anestesi dilakukan dengan memasukkan lidokain ke dalam spuit ukuran 18G
dengan panjang jarum 10 cm, disuntikan 5 ml pada setiap ruang paravertebral. Jarum
dimasukkan di antara prosesus transversus intervertebralis, jarum sedikit dimiringkan untuk
mencapai dan memasukkan lidokain di ruang subarachnoid. Kemudian dapat diberikan anestesi
lokal pada area pembedahan dengan infiltrasi 30 ml lidokain 2% (20 mg/ml) secara subkutan
melalui pendekatan blok L terbalik untuk menciptakan efek analgesik pada area pembedahan
(Gambar 1C). Anestesi menggunakan lidokain tidak diberikan pada dosis penuh karena detak
jantung meningkat dan laju pernapasan menurun (kasus 3), karena dapat menyebabkan efek
negatif yang tidak diinginkan.
Incisi kulit dibuat secara vertikal dengan panjang kira-kira 40 cm pada daerah flank kiri
(kira-kira 10 cm di bawah prosesus transversus lumbal) (Gambar 1D), dilanjutkan dengan diseksi
tumpul pada kulit dari jaringan subkutan. Incisi dilanjutkan melalui otot obliqus abdominal
eksternal dan internal, otot abdominal transversus dan peritoneum. Kemudian semua lapisan otot
dan kulit dijepit menggunakan retraktor genggam untuk memperluas paparan terhadap uterus.
Setelah dipalpasi menggunakan jari, ditemukan sedikit perlekatan uterus dengan dinding perut
bagian bawah lalu dilepas dengan hati-hati, kemudian uterus ditarik dari posisi kanan ke kiri
(Gambar 1D).
Gambar 1. Prosedur operasi caesar pada sapi perah. A: restrain fisik pada sapi. B: anestesi
regional. C: infiltrasi topikal flank kiri menggunakan anestesi lokal. D: incisi
vertikal pada kulit dan otot perut di daerah flank kiri.

Gambar 2. Area pembedahan pada sapi dalam posisi lateral recumbency.

Setelah posisi dan kondisi fetus ditentukan, incisi lembut (kira-kira 40 cm) dibuat pada
uterus, lalu dapa diperluas menggunakan gunting. Kemudian, fetus yang sudah dalam keadaan
mati dikeluarkan dengan lembut dari uterus dengan melepaskan tautan plasenta dan selaput
pembungkus fetus tetap dibiarkan di dalam uterus (Gambar 3). Tindakan lainnya yang dapat
dilakukan yaitu mengeluarkan fetus bersama plasenta dan membran fetus secara utuh, namun
harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Selanjutnya, uterus dicuci dan dibersihkan
menggunakan larutan saline isotonik steril dan dapat ditaburi dengan antibiotik misalnya bubuk
procaine penicillin G sebelum dijahit. Selain itu, perdarahan selama prosedur ditangani dengan
menggunakan kasa steril, menggunakan forsep hemostatik dan infiltrasi epinefrin topikal pada
lokasi perdarahan tergantung pada lokasi dan kondisinya.

Gambar 3. Kondisi fetus pada ketiga kasus. Berturut-turut Kasus 1, Kasus 2, dan Kasus 3 (kiri
ke kanan).
Kemudian, uterus ditutup menggunakan pola jahitan Utrecht atau pola inversi (Lambert)
double layer dengan benang absorable misalnya catgut 2/0 atau asam poliglikolat steril 1/0.
Uterus dan daerah sekitarnya dibilas dengan larutan salin isotonik steril dan direposisi dalam
posisi normal. Cairan yang bocor ke peritoneum juga disedot menggunakan spons dan kasa
steril. Setelah pembersihan rongga peritoneum yang tepat, sayatan peritoneal ditutup dengan pola
continuous lockstitch menggunakan benang absorable misalnya catgut 3/0 atau asam poliglikolat
steril 2/0 (Gambar 4). Selain itu, ketiga lapisan otot perut ditutup secara terpisah dengan pola
terputus sederhana menggunakan benang absorable asam poliglikolat steril ukuran 2/0.
Kemudian kulit ditutup menggunakan benang silk 2/0 dengan pola jahitan matras horizontal
terputus ataupun menggunakan benang nilon 2/0 dengan pola terputus sederhana (Gambar 4).
Terakhir, area bekas operasi dibersihkan dengan larutan tingtur yodium 2% dan dibalut (Gambar
4).

Gambar 4. Lanjutan prosedur operasi caesar pada sapi perah. Kiri: penjahitan uterus dan
semua lapisan otot serta kulit. Tengah: jahitan kulit. Kanan: perawatan luka
operasi.

Perawatan Postoperasi

Pasca operasi hewan dirawat dengan antibiotik dan terapi suportif lainnya selama lima hari,
serta perawatan pada luka bekas operasi hingga terjadi kesembuhan total. Pendarahan intermiten
terlihat setelah penjahitan kulit tetapi itu merupakan hal normal dan membantu membersihkan
luka, kecuali jika berlanjut dalam waktu lama (kasus 1). Setelah 5 jam operasi, selaput janin
dikeluarkan melalui jalan lahir secara spontan (kasus 3). Pembalutan luka dilakukan pada hari
kedua dan ketiga sampai hari ke-14 pasca operasi hingga sembuh total. Selain itu, juga diberikan
Ceftriaxone (500 mg/kg IV) selama lima hari pasca operasi ataupun dengan injeksi antibiotik
Penstrep 400 (kombinasi Procaine penicillin G dan dihydrostreptomycin sulfate dengan dosis 15
ml/300 kg BB, IM) selama 5 hari berturut-turut. Semprotan luka berbahan tetrasiklin ataupun
oxytetracycline juga diterapkan di sekitar luka sekali sehari. Juga dapat diberikan multivitamin
injeksi sebagai terapi suportif pasca operasi. Pemilik juga disarankan untuk memantau sapi
secara ketat dan menghindari meninggalkan sapi di atas rumput, tetapi disarankan untuk
memberikan exercise dan nutrisi yang baik untuk memfasilitasi penyembuhan luka. Setelah 20
hari pasca operasi, jahitan kulit dilepas dengan kondisi lukanya sembuh total (Gambar 5).
Setelah dua bulan masa tindak lanjut, sapi-sapi tersebut dalam status kesehatan yang baik
(Gambar 6).

Gambar 5. Kondisi sapi pasca lepas jahitan kulit.

Gambar 6. Kondisi sapi beberapa bulan pasca operasi. Kiri: kasus 2. Kanan: kasus 3.

Pembahasan

Distokia atau keadian sulit partus merupakan kondisi yang cukup rentan terjadi pada sapi
dan kerbau (Purohit et al., 2011). Selain itu, lebih rentan lagi terjadi pada sapi dara karena
ukuran saluran lahir yang lebih kecil. Dengan demikian, manajemen bedah kasus adalah pilihan
terakhir.
Tujuan utama operasi caesar adalah menolong induk sapi dan anak sapi ketika kesulitan
dalam proses partus serta efisiensi reproduksi sapi di masa depan. Sejumlah variabel yang harus
dipertimbangkan yaitu persiapan pasien dan ahli bedah, teknik pembedahan, viabilitas pedet
pada saat pembedahan, dan eksteriorisasi uterus dapat mempengaruhi hasil akhir. Selain itu,
teknik bedah yang baik seperti penanganan jaringan yang hati-hati, pemilihan bahan dan pola
jahitan yang tepat, dan insisi uterus yang memadai, dikombinasikan dengan antibiotik dan obat
antiradang bila diindikasikan, dapat membantu meminimalkan komplikasi yang dapat
mempengaruhi efisiensi reproduksi sapi di masa depan.
Setelah persiapan aseptik hewan, agen analgesik lokal diberikan untuk membuat analgesia
pada bidang bedah. Pendekatan celiotomi paralumbal kiri telentang pada hewan telentang paling
cocok untuk kasus sapi yang tidak dapat berdiri selama prosedur operasi (Kolkman, 2010). Sapi
yang tetap berdiri selama prosedur memiliki peluang bertahan hidup yang lebih baik,
dibandingkan sapi yang jatuh intra-operatif karena lebih mungkin mengalami peritonitis bahkan
kematian pasca operasi (Schultz et al., 2008). Setelah dilakukan celiotomi, incisi pada uterus
dibuat untuk mengeluarkan fetus dan membran fetus. Kemudian uterus diahit menggunakan
benang yang dapat diserap dengan pola jahitan double layer. Lalu otot daerah abdomen, lapisan
sub kutan, dan kulit ditutup melalui metode rutin yang biasa dilakukan. Perbedaan dalam
persiapan tempat pembedahan, teknik anestesi lokal, panjang insisi, kesulitan dalam
mengeluarkan fetus melalui insisi, waktu pembedahan, serta penggunaan, jenis, dan durasi
antibiotik pasca operasi merupakan beberapa faktor predisposisi umum untuk komplikasi pasca
operasi. Seperti yang dijelaskan oleh Fesseha et al., (2020) untuk pemulihan awal dan hasil
positif dari prosedur pembedahan, luka harus selalu dikelola dan dipantau secara teratur untuk
proses penyembuhan yang cepat. Oleh karena itu, perawatan pasca operasi harus ditindaklanjuti.

Penutup
Distokia merupakan keadaan tertundanya kelahiran ataupun kesulitan dalam partus. Distokia
sering dipengaruhi oleh faktor induk sapi maupun fetus. Seringkali, intervensi diperlukan untuk
menyelamatkan nyawa pedet dan atau induk. Jika kejadian distokia sudah berlangsung cukup
lama, intervensi bedah melalui operasi caesar adalah satu-satunya cara untuk mengatasi hal
tersebut. Tujuannya untuk melakukan ekstraksi fetus dari induk, melalui lubang bedah di dinding
perut dan uterus untuk menolong induk sapi dan anak sapi ketika kesulitan dalam proses partus.
Perawatan induk sapi pasca operasi sangat penting dilakukan demi efisiensi reproduksi sapi di
masa depan.
Daftar Pustaka
Dutt R., Singh G., Gahalot S. C., Sharma K., Yadav V., dan Patil S. S. 2017. Successful
Management of a Rare Case of Dystocia Due to Narrow Pelvis Associated with Pelvic
Fracture in Water Buffalo. Res. J. Vet. Pract. 5(3): 34-36. doi:
10.7582/journal.rjvp/2017/5.3.34.36.
Fesseha H., Negash G., dan Gebrekidan B. 2020. Case Report-Caesarean Operation in Cow due
to Prolonged Pregnancy. Veterinary Medicine Open Journal 5 (1): 9-13. doi:
10.17140/VMOJ-5-141.
Kolkman I. 2010. Calving Problems and Calving ability in the Phenotypically Double Muscled
Belgian Blue Breed. [Disertasi]. Ghent, Belgium; Ghent University.
Mekoria E., Dhaba J., Ame M. M. 2022. A Case Report on Surgical Management of Dystocia in
Heifers Due to Narrow Pelvis and Immaturity. Veterinary Medicine Open Journal 7 (1):
12-15. doi: 10.17140/VMOJ-7-162.
Nijin Jos, B. M. 2020. Surgical Management of Dystocia in a Cross Bred Holstein Friesian
Heifer by Caesarean Section - A Case Report. International Journal of Current
Microbiology and Applied Sciences 9 (07): 3928-3931. doi:
https://doi.org/10.20546/ijcmas.2020.907.460.
Purohit G. N., Barolia Y., Shekhar C., dan Kumar P. 2011. Maternal Dystocia in Cows and
Buffaloes: A Review. Open J. Ani. Sci. 1: 41-53.
Regmi B., dan Gautam G. 2020. Management of Dystocia in Bovine: A review. The Blue Cross
16: 31-35.
Schultz L. G., Tyler J. W., Moll H. D., dan Constantinescu G. M. 2008. Surgical Approaches for
Cesarean Section in Cattle. Can Vet J. 49: 565-568.
Singh M., Sharma A., dan Kumar P. 2019. Bovine Dystocia - An overview. J. Vet. Sci. and
Zoology 1 (1).

Anda mungkin juga menyukai