Anda di halaman 1dari 42

PINTER HUKUM x Komnas HAM RI

RKUHP DAN
HAK ASASI MANUSIA
Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M.
Wakil Ketua Komnas HAM RI
Dr. Abdul Haris Semendawai S.H., LL.M
Penghargaan: Bintang Mahaputra Nararya oleh
Presiden Republik Indonesia pada Tahun 2018

Riwayat Riwayat Riwayat


Pendidikan organisasi Pekerjaan
- S1: FH Universitas Islam - Anggota Dewan Penasehat - Advokat/Konsultan Hukum Partner
Indonesia Yogyakarta 1991 DPN Peradi 2020-2025 pada RIFA Lawfirm Jakarta
- S2: Northwestern - Wakil Sekretaris Dewan Pakar - Kaprodi Doktor Ilmu Hukum FH
University School of Law, DPC Peradi Jakarta Barat Univ. Islam Assafiiyah Tahun 2019
Chicago, USA 2004 2021-2026 s.d saat ini.
- S3: Doktor Ilmu Hukum, - Ikatan Sarjana Hukum - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi
Program Pasca Sarjana, Indonesia (2018-2023) dan Korban 2008-2019
- Dewan Pakar DPP IKA UII - Wakil Direktur ELSAM 1998-2008
Univ. Muslim Indonesia,
(2019-2024)
Makassar 2017
- Dewan Pakar Kahmi (2013-
2018)
Pengantar
 Posisi Komnas HAM RI dalam
menyikapi pengesahan RKUHP

 Penghormatan Terhadap HAM

 Jenis - jenis Sanksi Pidana, tidak


hanya Pidana Penjara dan Denda

 Penyiksaan sebagai Tindak-pidana

 Hukuman Mati bukan Hukuman


Pokok
Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
HAM -
Prinsip-Prinsip HAM

Pelanggaran HAM Sejarah / Dinamika


Cara Pandang
HAM

Instrumen HAM Instrumen HAM


Acuan
Nasional Internasional
Standar

Mekanisme HAM Mekanisme HAM


Nasional Internasional
PERBEDAAN
HAK VS KEBUTUHAN

• HAK • KEBUTUHAN

1. Ada Pihak yang


Berkewajiban Memenuhi 1. Dipenuhi oleh Diri Sendiri
2. Tidak Ada Pihak yang Bisa
2. Ada Pihak yang Bisa Diklaim
Diklaim 3. Tidak Tercantum di dalam
Undang-Undang/Peratur
3. Tercantum di dalam an
Undang-Undang /
Peraturan
Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 1 Ayat 1 UU 39/1999 tentang HAM
“Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat
manusia.”
SEPERANGKAT

MARTABAT
MELEKAT

HAM
NEGARA, DIHORMATI,
HUKUM, DIJUNJUNG
PEMERINTAH TINGGI,
,SETIAP DILINDUNGI
ORANG
PRINSIP-PRINSIP HAM
UNIVERSAL
TAK DAPAT DIPINDAHKAN TAK DAPAT DIBAGI

SALING BERGANTUNG KESETARAAN/


SALING TERKAIT NON DISKRIMINASI
PRINSIP-PRINSIP
H A M
PARTISIPASI AKUNTABILITAS
INKLUSI BERKUASANYA HUKUM

PEMAHAMAN
YANG SAMA
Siklus Dinamika HAM

PENINDASAN
KONDISI KONDUSIF

PENEMUAN

PENEGAKAN PENGAKUAN

KODIFIKASI
Pelanggaran HAM
Pasal 1 Ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan


seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pelanggaran HAM
Penjabaran Pasal 1 Ayat 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

1. Subyek: individu atau kolektif baik penyelenggara negara maupun unsur masyarakat;

2.Kualifikasi Perbuatan: di sengaja atau kelalaian dengan melawan hukum;

3.Tekanan Pelanggaran: mengurangi, menghalangi, membatasi,


dan atau mencabut hak asasi manusia;

4.Obyek/Korban: individu atau kolektif;

5.Legal Standing: UU No. 39 Tahun 1999, keadaan nyata atau


kekhawatiran terhadap hukum positif yang mengabaikan proses
peradilan secara adil dan benar.
Hukum HAM
Hukum HAM

Pemangku HAM Pemangku Kewajiban

Individu Negara

To respect To protect To Fulfill

Commission Omission
Instrumen HAM Internasional

Genosida CERD CEDAW

Sejumlah hardlaw
Piagam PBB ICCPR

lainnya
1945 Instrumen Khusus
Hardlaw

DUHAM Instrumen C AT CRC CMW


1948 Utama
Instrumen Rekomendatif
Softlaw
ICESCR
Pedoman Aturan Deklarasi Prinsip
Riyadh Beijing Wina Paris

Sejumlah softlaw lainnya


CERD Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Rasial
CAT Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan
CMW Konvensi Internasional ttg Hak-Hak Pekerja Migran
CEDAW Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Terhdap perempuan
CRC Konvensi Internasional ttg Hak Anak 14
INSTRUMEN HAM NASIONAL
1. TAP MPR No. XVII/MPR/1998
2. UUD 1945 Amandemen ke-1 sampai ke-4, terutama BAB X Pasal
28A -28J
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
5. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6. UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
(Telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 4 Desember 2006.
7. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
8. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).
9. UU No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras & Etnis
INSTRUMEN HAM NASIONAL
10. UU No.18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial
11. UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang M
ahkamah Konstitusi
12. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban
13. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan
14. Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
15. Keputusan Presiden No. 77 Tahun 2003 tentang KPAI
Mekanisme Internasional
Penyelesaian Pelanggaran HAM
1. Charter based mechanism yaitu mekanisme pembahasan isu HAM di dalam
persidangan intergovernmental berdasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan
Deklarasi dan Program Aksi Wina

Tidak ada pembatasan mengenai isu HAM yang


dibahas di bawah charter-based mechanism.
Mekanisme ini terdiri dari persidangan mengenai HAM
di Komite II dan III Majelis Umum PBB, Persidangan
Dewan HAM, Universal Periodic Review (UPR),
dan Special Procedure Mandate Holders (SPMH);

2. Treaty based mechanism yaitu mekanisme HAM yang membahas perkembangan


implementasi instrumen pokok HAM internasional melalui UN treaty bodies/Badan-badan
Traktat PBB. Mekanisme ini dijalankan oleh masing-masing negara pihak instrumen pokok
HAM internasional sesuai dengan konvensi yang telah diratifikasinya.
Mekanisme Nasional Penyelesaian
Pelanggaran HAM
Dilaksanakan oleh:
1. Komnas HAM
2. Komisi Yudisial
3. Ombudsman RI
4. Pengadilan HAM
5. Komnas Perempuan
6. Mahkamah Konstitusi
7. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
8. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
RKUHP dan Hak Asasi Manusia
RKUHP dan Hak Asasi Manusia

Hukum pidana nasional tersebut harus


disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan
perkembangan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang bertujuan
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
RKUHP dan Hak Asasi Manusia
Pasal 02
(1) (2) (3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud Hukum yang hidup dalam Ketentuan mengenai tata cara dan
dalam Pasal 1 ayat (1) tidak masyarakat berlaku dalam tempat kriteria penetapan hukum yang
mengurangi berlakunya hukum yang hukum itu hidup dan sepanjang tidak hidup dalam masyarakat diatur
hidup dalam masyarakat yang diatur dalam UU ini dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
menentukan bahwa seseorang patut dengan nilai-nilai yang terkandung
dipidana walaupun perbuatan dalam Pancasila, UUDNRI Tahun
tersebut tidak diatur dalam Undang- 1945, hak asasi manusia, dan asas
Undang ini. hukum umum yang diakui
masyarakat bangsa-bangsa.

Dalam proses penyusunan RPP,


perlu melibatkan stake holder
agar dapat memastikan tatacara
dan kriteria penetapan hukum
yang hidup dalam masyarakat
tidak melanggar HAM.
Ruang lingkup berlakunya
ketentuan peraturan
perundang - undangan pidana.
Lalu, bagian kedua menurut
tempat, dan Asas Nasional
Aktif .
RKUHP dan Hak Asasi Manusia
Pasal 08

(1) (2) (3)


Ketentuan pidana dalam Undang- Berlaku jika perbuatan tersebut juga Tidak berlaku untuk Tindak Pidana
Undang berlaku bagi setiap WNI yang merupakan Tindak Pidana di negara yang diancam dengan pidana denda
melakukan Tindak Pidana di luar tempat Tindak Pidana dilakukan. paling banyak kategori III.
wilayah NKRI.

(4) (5)
Penuntutan terhadap Tindak Pidana WNI di luar wilayah NKRI yang
dilakukan walaupun tersangka melakukan Tindak Pidana tidak dapat
menjadi WNI, setelah Tindak Pidana dijatuhi pidana mati jika Tindak
tersebut dilakukan sepanjang Pidana tersebut menurut hukum
perbuatan tersebut merupakan negara tempat Tindak Pidana
Tindak Pidana di negara tempat tersebut dilakukan tidak diancam
Tindak Pidana dilakukan. dengan pidana mati.
RKUHP dan Hak Asasi Manusia
 BAB V Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum
 Tindak Pidana atas Dasar Diskriminasi Ras dan Etnis
 Pasal 244: Setiap Orang yang melakukan pembedaan,
pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Perlu dibuat penjabarannya


atau petunjuk teknis dan
menjadi pedoman penerapan
pasal ini.
Catatan Komnas HAM atas Beberapa Pasal RKUHP

Tanggung-jawab Komando
Ditariknya Pelanggaran HAM
dan Tanggung-jawab Atasan
yang Berat di Pasal 7, 8 dan 9
yaitu Pasal 42 ayat 1, 2 dan 3,
UU 26/2000 ke dalam
mengacu ke Pelanggaran
RKUHP menjadi Pasal 598
HAM yang Berat di Pasal 7, 8 Terkait Pasal tentang
dan Pasal 599:
dan 9 serta ancaman Penyerangan Kehormatan
 Ada kekhawatiran terkait Ancaman hukuman dalam
hukumannya mengacu pada atau Harkat dan Martabat
penggunaan asas tidak UU 26/2000 paling rendah 10
pasal 36 sd 40 UU 26 Tahun Presiden dan Wakil Presiden
mengenal daluarsa dan tahun, sedangkan dalam
2000. berpotensi besar melanggar
dapat menyimpangi asas RKUHP 5 Tahun.
 Dikhawatirkan akan hak kebebasan berpendapat
non-retroaktif
mempersulit penerapan dan berekspresi.
 Mayoritas kasus PHB
pasal 42 tsb krn pasal-
yang sdh diselidiki
pasal yang dijadikan
Komnas HAM, merupakan
acuan telah dihapuskan
kasus PHB Masa Lalu
oleh KUHP.
Catatan Komnas HAM atas Beberapa Pasal RKUHP

Pasal 612
Ketentuan mengenai Pasal 622 berlaku, dan (5) Dalam hal ketentuan pasal
permufakatan jahat, persiapan, ketentuan dalam Pasal 8, mengenai Tindak Pidana
percobaan, dan pembantuan Pasal 9, dan Pasal 36 sampai berat terhadap hak asasi
yang diatur dalam Undang- dengan Pasal 40 UU Nomor manusia sebagaimana sebagai berikut:
Undang mengenai Tindak 26 Tahun 2000 tentang dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 8 dan Pasal 36
Pidana berat terhadap hak Pengadilan Hak Asasi m diacu oleh ketentuan pasal pengacuannya diganti
asasi manusia, Tindak Pidana Manusia (Lembaran Negara UU yang bersangkutan, dengan Pasal 598; dan
terorisme, Tindak Pidana Republik Indonesia Tahun pengacuannya diganti b. Pasal 9 dan Pasal 37
korupsi, Tindak Pidana 2000 Nomor 208, Tambahan dengan pasal dalam Undang- sampai dengan Pasal 40
pencucian uang, dan Tindak Lembaran Negara Republik Undang ini dengan ketentuan pengacuannya diganti
Pidana narkotika berlaku Indonesia Nomor 4026),
dengan Pasal 599.
sesuai dengan ketentuan dicabut dan dinyatakan tidak
dalam Undang-Undang berlaku.
tersebut.
Penjelasan Atas Rancangan Undang-
undang Republik Indonesia Tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
1. Untuk menghasilkan Undang-Undang tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat kodifikasi
dan unifikasi, di samping dilakukan evaluasi dan seleksi
terhadap berbagai Tindak Pidana yang ada di dalam
Wetboek van Strafrecht sebagaimana ditetapkan oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana, apresiasi juga dilakukan
terhadap berbagai perkembangan Tindak Pidana yang
ada di luar Wetboek van Strafrecht, antara lain, Undang-
Undang yang mengatur mengenai pencegahan dan
pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang,
pemberantasan Tindak Pidana terorisme,
pemberantasan Tindak Pidana korupsi, pemberantasan
Tindak Pidana perdagangan orang, dan pengadilan hak
asasi manusia.
Penjelasan Atas Rancangan Undang-
undang Republik Indonesia Tentang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
2. Dengan sistem perumusan Tindak Pidana di atas, untuk Tindak
Pidana berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme,
Tindak Pidana korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, Tindak
Pidana narkotika dikelompokan dalam 1 (satu) bab tersendiri yang
dinamai “Bab Tindak Pidana Khusus”. Penempatan dalam bab
tersendiri tersebut didasarkan pada karakteristik khusus, yaitu:
a. Dampak viktimisasinya (Korbannya) besar;
b. Sering bersifat transnasional terorganisasi (Trans-National
Organized Crime);
c. pengaturan acara pidananya bersifat khusus;
d. sering menyimpang dari asas umum hukum pidana materiel;
e. adanya lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat
dan memiliki kewenangan khusus (misalnya Komisi
Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia);
f. didukung oleh berbagai konvensi internasional, baik yang
sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi; dan
g. merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super mala
per se) dan tercela dan sangat dikutuk oleh masyarakat (strong
people condemnation).
Dengan pengaturan “Bab Tindak Pidana
Khusus” tersebut, kewenangan yang telah ada
pada lembaga penegak hukum tidak berkurang
dan tetap berwenang menangani Tindak
Pidana berat terhadap Hak Asasi Manusia,
Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana
korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, dan
Tindak Pidana narkotika. Sejauhmana
kekuatan mengikat penjelasan dalam UU.
KETENTUAN PENUTUP Pasal 46 Untuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat
sebagaimana dimaksud dalam Undang -
undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai
kadaluarsa.
Catatan Komnas HAM atas Beberapa
Hukuman Mati
Meskipun Hukuman Mati belum sepenuhnya dihapuskan tetapi sudah ada perkembangan baru:

 Bukan Pidana Pokok


 Dalam waktu tertentu dapat mengubah hukuman mati, menjadi hukuman penjara
 Perlu diatur dalam UU (RKUHAP).
 Pengaturan dalam UU harus dilakukan secara konsisten dengan pengaturan dalam RKUHP.
 Dalam penyusunan RUU perlu melibatkan stake holder terkait khususnya Komnas HAM dan Masy Sipil
 Pasal 62
- (1) Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal
putusan pidana mati.
- (2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Undang-Undang.
 Pasal 64
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok;
b. pidana tambahan; dan
c. pidana yang bersifat khusus untuk Tindak Pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.
 Pasal 67
Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu
diancamkan secara alternatif.
Catatan Komnas HAM atas Beberapa
Hukuman Mati
 Pasal 98
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi
masyarakat.
 Pasal 99
1. Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
2. tidak dilaksanakan Di Muka Umum.
3. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang
ditentukan dalam UU.
4. Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit
jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang
sakit jiwa tersebut sembuh.
Pasal 100
(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memperhatikan:
a) a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
b) b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(4) Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan MA.
(5) Pidana penjara seumur hidup dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.
(6) Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk
diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Catatan Komnas HAM atas Beberapa
 Pasal 101 Hukuman Mati
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh)
tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi
pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

 Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang.

 Meski Hukuman Mati bukan lagi merupakan hukuman pokok dalam perihal pemidanaan namun, esensi
pokoknya hukuman mati tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Karena dalam Pasal 4 UU 39
tahun 1999, dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi sedikitpun
(non derogabel rights).

 Pasal 4 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

 Jadi pelaksanaan pemidanaan hukuman mati senyatanya merupakan pelanggaran hak atas hidup.
Pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM
Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
 BAB VII Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, Dan Kehidupan Beragama Atau
Kepercayaan Pasal 300
Setiap Orang Di Muka Umum yang:
a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;
b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau
c. menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama,
kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV. Bagaimana ukurannya? Bisa multi tafsir, ini delik formal.

 Penjelasan Pasal 300


Setiap perbuatan atau pernyataan tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif, terbatas
untuk kalangan sendiri, atau bersifat ilmiah mengenai sesuatu agama atau kepercayaan yang disertai
dengan usaha untuk menghindari adanya kata atau susunan kalimat yang bersifat permusuhan,
pernyataan kebencian atau permusuhan, atau hasutan untuk melakukan permusuhan, Kekerasan,
diskriminasi atau penodaan bukan merupakan Tindak Pidana menurut pasal ini. Bagaimana
penerapan pasal ini? Bersifat ilmiah, kalangan sendiri, disertai dengan usaha untuk menghindari
adanya kata atau susunan kalimat yg bersifat permusuhan?
Pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM
Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
 Pasal 301
(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau
memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman
tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori V.
(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan
profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.
 UU ITE : Ancaman hukumannya mak 5 Tahun.
 Pasal 302
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau
berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori III.
(2) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama
atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Bagian Kedua
Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama atau Kepercayaan dan Sarana Ibadah
 Pasal 303
(1) Setiap Orang yang membuat gaduh di dekat tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang
berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
(2) Setiap orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan
pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori III.
(3) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan
orang yang sedang melaksanakan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Perlu ditambah : Dengan sengaja
 Pasal 304
Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau
memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
 Pasal 305
(1) Setiap Orang yang menodai bangunan tempat beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan atau
benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Setiap Orang yang secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau
upacara keagamaan atau kepercayaan atau benda yang dipakai untuk beribadah atau upacara keagamaan atau
kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori V.
Pasal yang berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran HAM
ANALISA
Analisa :
 Subjek hukum yang dilindungi adalah penganut agama atau kepercayaan, bukan agama atau
kepercayaannya.
 Berdasarkan Rencana Aksi Rabat, sanksi pidana terhadap hasutan baru dikenakan jika:
a. Dalam konteks pertemuan umum, kerusuhan, bencana;
b. Pelaku merupakan Pembicara: pejabat publik, tokoh publik, yang memiliki banyak pengikut;
c. Dilakukan dengan sengaja (ada niat dan pengetahuan untuk melakukan kejahatan);
d. Substansinya provokatif dan langsung, serta bentuk, gaya, sifat argumen yang digunakan dalam
pidato atau keseimbangan yang dicapai antara argumen-argumen yang digunakan;
e. Luasan tindakan hasutan: Luasan mencakup unsur-unsur seperti jangkauan hasutan, sifat
publiknya, efek dan jangkauan pendengarnya.
f. Kemungkinan, termasuk kesegeraan: Penghasutan, menurut definisi, adalah kejahatan yang belum
tuntas. Tindakan yang dianjurkan melalui ujaran hasutan tidak harus diperlakukan sama antara
ucapan dengan kejahatan yang dilakukan.
 Selama unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi maka potensi terjadinya pelanggaran HAM khususnya
Hak Atas Kebebasan Pribadi sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 (1) Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2)
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal-pasal yang berpotensi terjadinya
diskriminasi dan pelanggaran HAM
Aborsi agar tidak mendiskriminasi perempuan
BAB XXI Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Janin
Bagian Kedua Aborsi
Pasal 463
(1) Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan Korban Tindak Pidana
perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang
menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14
(empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Pembatasan usia kehamilan dpt membuat perempuan korban
mengalami diskriminasi dan tekanan psikis.
Tindak Pidana Penghinaan Kehormatan
Presiden dan Wakil Presiden
 Pembentukan UU ini juga memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan
pengujian KUHP, antara lain, mengenai Tindak Pidana penghinaan presiden, Tindak Pidana mengenai
penodaan agama, dan Tindak Pidana kesusilaan.
 BAB II TINDAK PIDANA TERHADAP MARTABAT PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN Bagian
Kesatu Penyerangan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden
 Pasal 217
Setiap Orang yang menyerang diri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam
ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
 Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden
dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Tindak Pidana Penghinaan Kehormatan
Presiden dan Wakil Presiden
 Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan
dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui
umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
kategori IV.
 Pasal 220
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan
aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
 Pengaturan ini menghidupkan kembali pasal yg sdh dibatalkan MK
 Terkait Pasal tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
berpotensi besar melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam penjelasan pasalnya
hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah perbuatan apapun yang dapat
menyerang nama baik dan martabat Presiden dan wakil Presiden di muka umum. Tidak ada yang
mengakomodir pembedaan kategori dari suatu tindakan yang dapat dikatakan menghina dan mengkritik.
Penjelasan tidak jelas ini berpotensi terhadap tidak adanya kepastian hukum serta akan mengakibatkan
sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.
Tindak Pidana Penghinaan Kehormatan
Presiden dan Wakil Presiden
(Analisa)
 Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 menjelaskan 3
(tiga) dasar pertimbangan penghapusan Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP, yakni:
(i) Martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua
pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkan
memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya
berbeda dihadapan hukum dengan warga negara lainnya, (ii) Pasal-Pasal tersebut dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes,
pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan, dan (iii) Pasal-Pasal
tersebut menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan
ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat penegak hukum
terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Perubahan frasa “penghinaan”
menjadi “penyerangan” tidak menghilangkan privilege sebagaimana dimaksud dalam amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menjadi dasar
dihapuskannya Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP.
Living Law

Dalam RKUHP berdasarkan asas legalitas, eksisitensi keberlakuan hukum yang


hidup dalam masyarakat tidak sesuai dengan lex scripta (ketentuan pidana
harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan),
dikhawatirkan akan menimbulkan pelanggaran HAM karena ketidakjelasan
dalam kepastian hukum di masyarakat.

Analisa :
 Menurut Pasal 18 ayat (5) UU 39 Tahun 1999 bahwa :
“Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang
sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap”
 Adanya 2 sistem hukum, hukum adat dan juga hukum pidana menimbulkan
ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum di masyarakat. Hal ini tentu saja
menjadi pelanggaran atas Hak Memperoleh Keadilan.
Aku dilahirkan bebas dan setara. Aku berhak hidup
dengan bebas dan aman. Aku berhak menginginkan
orang lain memandangku tanpa mempedulikan ras,
warna kulit, suku, atau pilihan politik.

Terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai