TEKNIK PENYUSUNAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh:
Dr. ANSELMUS TAN, M.Pd.
DOSEN FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

MATERI PEMBELAJARAN PRAJA MADYA SEMESTER IV

PROGRAM STUDI PRAKTEK PERPOLISIAN TATA PAMONG
FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS CILANDAK – JAKARTA
TAHUN AJARAN 2021/2022
I. RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) TEKNIK
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TUJUAN MEMBENTUK DAN MENINGKATKAN PENGETAHUAN PRAJA

PEMBE- TENTANG TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-
LAJARAN UNDANGAN.

PRAJA MEMAHAMI DAN MAMPU MENJELASKAN TENTANG:

1. KONSEP NEGARA HUKUM DAN HAKIKAT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN;
2. KONSEP, KATEGORI, DAN JENIS NORMA HUKUM;
3. ASAS PEMBENTUKAN DAN ASAS MATERI MUATAN
INDIKATOR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN;
CAPAIAN 4. JENIS DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-
PEMBE- UNDANGAN DI INDONESIA;
LAJARAN 5. KEWENANGAN PEMBENTUKAN, SERTA BENTUK DAN
STRUKTUR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN;
6. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN;
7. TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.

2
 Lanjutan …..
1. KONSEP NEGARA HUKUM DAN HAKIKAT PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
2. NORMA HUKUM: KONSEP, KATEGORI, DAN JENIS.
3. ASAS PEMBENTUKAAN DAN ASAS MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
4. JENIS, HIRARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI INDONESIA.
5. KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
6. KERANGKA DAN BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-
POKOK UNDANGAN.
7. HAL-HAL KHUSUS DALAM MATERI MUATAN PERATURAN
BAHAS-
PERUNDANG-UNDANGAN.
AN 8. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN-
UNDANGAN: (a) PERENCANAAN; DAN (b) PENYUSUNAN.
9. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN-
UNDANGAN: (c) PEMBAHASAN; (d) PENGESAHAN ATAU
PENETAPAN; DAN (e) PENGUNDANGAN.
10. PARTISIPASI MASYARAKAT DAN PENYEBARLUASAN MATERI
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN.
11. PRASYARAT KEMAMPUAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN: KONSEPTUAL DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN;
12. PRAKTEK PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG,
13. PRAKTEK PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH.
14. PRAKTEK PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH.
3
 Lanjutan …..
KOMITMEN BELAJAR PRAJA/MAHASISWA

1. PRAJA WAJIB DATANG TEPAT WAKTU PADA SAAT

PERKULIAHAN, TOLERANSI KETERLAMBATAN 15 (LIMA
BELAS) MENIT.
2. PRAJA WAJIB MEMENUHI 80 % KEHADIRAN UNTUK BISA
MENGIKUTI UJIAN.
3. TIDAK ADA YANG KELUAR MASUK KELAS PADA SAAT
PERKULIAHAN BERLANGSUNG.
4. SETIAP PRAJA WAJIB MEMILIKI BUKU LITERATUR.
5. SETIAP PRAJA WAJIB MERESUM 2 (DUA) BUKU
LITERATUR DAN 2 (DUA) JURNAL ILMIAH SEBAGAI
TUGAS TERSTRUKTUR.
6. KEAKTIFAN PRAJA DI KELAS MENJADI NILAI TAMBAH
DALAM UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) DAN UJIAN
AKHIR SEMESTER (UAS).

4
II. KONSEP NEGARA HUKUM DAN HAKIKAT
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. KONSEP NEGARA HUKUM
 UUD-NRI TAHUN 1945 PASAL 1 AYAT (3): NEGARA INDONESIA ADALAH
NEGARA HUKUM.
 UU. NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANGAN-UNDANGAN:
 PANCASILA MERUPAKAN SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM
NEGARA (PASAL 2).
 UUD NRI TAHUN 1945 MERUPAKAN HUKUM DASAR DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (PASAL 3).
INDO-  KONSEKUENSINYA:
NESIA 1. INDONESIA ADALAH NEGARA HUKUM (RECHTSSTAAT) DAN BUKAN
SEBA- NEGARA KEKUASAAN (MACHTSTAAT);
GAI 2. PENYELENGGARAAN NEGARA DAN PEMERINTAHAN BERDA-
NEGARA SARKAN PRINSIP PERATURAN/NORMA HUKUM (THE RULE OF LAW)
HUKUM SESUAI KONSTITUSI DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
3. PENYELENGGARAAN NEGARA DAN PEMERINTAHAN TIDAK
BERSIFAT ABSOLUTISME (KEKUASAAN TIDAK TERBATAS).
4. SEBAGAI NEGARA HUKUM, MAKA SETIAP SENDI KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA DISELENGGA--
RAKAN BERDASARKAN NORMA HUKUM.
5. PRODUK HUKUM BERUPA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MERUPAKAN PEDOMAN HUKUM YANG MENJADI INSTRUMEN
PELAKSANAAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM.
 Lanjutan …..

 NEGARA HUKUM ADALAH SUATU KONSEP TENTANG ENTITAS

NEGARA, YANG PROSES PENYELENGGARAAN NEGARA DAN
PEMERINTAHANNYA BERDASARKAN PERATURAN/NORMA HUKUM.
 PADA DASARNYA ADA TIGA NORMA UTAMA SEBAGAI PENGATUR
SIKAP DAN PERILAKU SESEORANG DALAM KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA, YAKNI NORMA
SOSIAL, NORMA AGAMA, DAN NORMA HUKUM.
 ELEMEN PENTING NEGARA HUKUM MENURUT PENDAPAT PARA AHLI:
1. MENURUT JULIUS STAHL: ADA EMPAT ELEMEN PENTING KONSEP
NEGARA HUKUM (RECHTSTAAT), YAITU:
ELEMEN- a. PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA;
PENTING b. PEMBAGIAN KEKUASAAN (LEGISLATIF, EKSEKUTIF, YUDIKATIF);
c. PEMERINTAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG; DAN
NEGARA
d. PERADILAN TATA USAHA NEGARA.
HUKUM
2. MENURUT A.V. DICEY, ADA TIGA CIRI PENTING DALAM SETIAP
NEGARA HUKUM (THE RULE OF LAW), YAITU:
a. SUPREMACY OF LAW (SUPREMSI HUKUM);
b. EQUALITY BEFORE THE LAW (PERSAMAAN DI DEPAN HUKUM);
c. DUE PROCESS OF LAW (SEMUA MASALAH NEGARA PERLU
DIPROSES SECARA LEGAL SESUAI NORMA HUKUM).
3. MENURUT THE INTERNATIONAL COMMISSION OF JURISTS, ADA
TIGA PRINSIP PENTING NEGARA HUKUM, YAKNI:
a. NEGARA HARUS TUNDUK PADA HUKUM;
b. PEMERINTAH MENGHORMATI HAK-HAK INDIVIDU;
c. PERADILAN YANG BEBAS DAN TIDAK MEMIHAK.
6
 Lanjutan …..

 ELEMEN PENTING DARI NEGARA HUKUM MENURUT PENDAPAT

AHLI:
4. MENURUT JIMLY ASSHIDDIQIE, ADA TIGA BELAS PRINSIP
NEGARA HUKUM INDONESIA YANG MERUPAKAN PILAR-
PILAR UTAMA PENYANGGA TEGAKNYA SATU NEGARA
MODERN SEBAGAI NEGARA HUKUM (THE RULE OF LAW
ATAU RECHTSSTAAT), YAITU:
a. SUPREMASI HUKUM (SUPREMACY OF LAW).
ELEMEN b. PERSAMAAN DALAM HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW).
PENTING c. ASAS LEGALITAS (DUE PROCESS OF LAW).
NEGARA d. PEMBATASAN KEKUASAAN.
HUKUM e. ORGAN-ORGAN CAMPURAN YANG BERSIFAT INDEPENDEN.
f. PERADILAN BEBAS DAN TIDAK MEMIHAK.
g. PERADILAN TATA USAHA NEGARA.
h. PERADILAN TATA NEGARA (CONSTITUTIONAL COURT).
i. PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA.
j. BERSIFAT DEMOKRATIS (DEMOCRATISCHE RECHTSSTAAT).
k. BERFUNGSI SEBAGAI SARANA MEWUJUDKAN TUJUAN
BERNEGARA (WELFARE RECHTSSTAAT).
l. TRANSPARANSI DAN KONTROL SOSIAL.
m. BER-KETUHANAN YANG MAHA ESA.

7
 Lanjutan …..

 TIGA PRINSIP DASAR YANG WAJIB DITERAPKAN OLEH NEGARA HUKUM:

1. SUPREMACY OF LAW (SUPREMASI HUKUM).
2. EQUALITY BEFORE THE LAW (KESETARAAN DI HADAPAN HUKUM).
3. DUE PROCESS OF LAW (PENEGAKAN HUKUM DENGAN CARA YANG
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN NORMA HUKUM).
 SUPREMACY OF LAW:
 ARTINYA UPAYA PENEGAKAN DAN PENEMPATAN HUKUM PADA POSISI
TERTINGGI, AGAR DAPAT MELINDUNGI SELURUH RAKYAT TANPA ADANYA
INTERVENSI ATAU CAMPUR TANGAN DARI PIHAK MANAPUN, TERMASUK
PENYELENGGARA NEGARA ITU SENDIRI.
 ARTINYA UPAYA PENEGAKAN HUKUM YANG ADIL, INDEPENDEN, DAN
TIGA BEBAS, AGAR DAPAT MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM YANG MENG-
PRINSIP ARAH PADA LAHIRNYA BUDAYA POLITIK YANG TAAT DAN SADAR HUKUM.
DASAR  BERTUJUAN UNTUK MEMBERIKAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT DARI
NEGARA KESEWENANG-WENANGAN YANG DILAKUKAN OLEH INDIVIDU LAINNYA,
HUKUM DAN JUGA MENJADI JAMINAN KEDUDUKAN YANG SAMA DALAM HUKUM
BAGI SETIAP WARGA NEGARA.
 EQUALITY BEFORE THE LAW:
 ARTINYA SETIAP WARGA NEGARA MEMILIKI KEDUDUKAN YANG SAMA
ATAU SETARA DI HADAPAN HUKUM TANPA ADA PENGECUALIAN.
 DENGAN DEMIKIAN, PENGADILAN MENGADILI MENURUT HUKUM DAN
TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN ORANG.
 DUE PROCESS OF LAW:
 BIASA DIGUNAKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA.
 PRINSIP TERSEBUT DIARTIKAN SEBAGAI PROSES HUKUM YANG BAIK,
BENAR, DAN ADIL. DALAM HAL INI, PENEGAK HUKUM DIWAJIBKAN UNTUK
MEMASTIKAN TERPENUHINYA HAK BAGI TERSANGKA ATAU TERDAKWA.
8
 Lanjutan …..
B. HAKIKAT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
 DUA PENGERTIAN PERUNDANG-UNDANGAN (MARIA FARIDA
INDRATI SOEPRAPTO, 2007: 10):
1. PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI PROSES PEMBENTUKAN
ATAU PROSES MEMBENTUK PERATURAN NEGARA, BAIK DI
TINGKAT PUSAT MAUPUN DI TINGKAT DAERAH; DAN
2. PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI SEGALA PERATURAN
NEGARA YANG MERUPAKAN HASIL PEMBENTUKAN PERATUR-
AN, BAIK DI TINGKAT PUSAT MAUPUN DI TINGKAT DAERAH.
 PASAL 1 UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
1. SEBAGAI PROSES:
DEFINISI  PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
ADALAH PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
YANG MENCAKUP TAHAPAN PERENCANAAN, PENYUSUNAN,
PEMBAHASAN, PENGESAHAN ATAU PENETAPAN, DAN
PENGUNDANGAN.
2. SEBAGAI HASIL:
 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ADALAH PERATURAN
TERTULIS YANG MEMUAT NORMA HUKUM YANG MENGIKAT
SECARA UMUM DAN DIBENTUK ATAU DITETAPKAN OLEH
LEMBAGA NEGARA ATAU PEJABAT YANG BERWENANG
MELALUI PROSEDUR YANG DITETAPKAN DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
9
 Lanjutan …..

 MENURUT BURKHARDT KREMS (DALAM HAMID ATAMIMI, 1990: 300),

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BERKAITAN DENGAN EMPAT DIMENSI UTAMA, YAKNI:
1. ISI PERATURAN, YAKNI MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN. CONTOH: DI DALAM PASAL 10 AYAT (1) UU NO. 12
TAHUN 2011, DITETAPKAN BAHWA MATERI MUATAN YANG HARUS
DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG BERISI: (a) PENGATURAN LEBIH
LANJUT MENGENAI KETENTUAN UUD-NRI TAHUN 1945; (b)
PERINTAH SUATU UNDANG-UNDANG UNTUK DIATUR DENGAN
UNDANG-UNDANG; (c). PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERTENTU; (d) TINDAK LANJUT ATAS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI; DAN/ATAU (e) PEMENUHAN KEBUTUHAN HUKUM
DIMENSI DALAM MASYARAKAT.
2. BENTUK DAN SUSUNAN PERATURAN, YAKNI POLA DAN
SISTEMATIKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
3. METODE PEMBENTUKAN PERATURAN, YAKNI PENDEKATAN YANG
DIGUNAKAN DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN. MISALNYA METODE ROCCIPI (RULE, OPPORTUNITY,
CAPACITY, COMUNICATION, INTEREST, PROCESS, IDEOLOGY)
MELALUI JASTIFISIKASI ILMIAH, NORMATIF, DAN EMPIRIK.
4. PROSEDUR DAN PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN, YAKNI
MEKANISME KELEMBAGAAN YANG BERWENANG DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
 KETENTUAN NORMATIF MENGENAI EMPAT DIMENSI TERSEBUT JUGA
DIATUR DI DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011.
10
 Lanjutan …..

 MENURUT MARIA FARIDA INDRATI SUPRAPTO (1998: 4), ADA TIGA

FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
1. UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA YANG
SENANTIASA BERKEMBANG.
2. UNTUK MENJEMBANTANI LINGKUP HUKUM ADAT DENGAN
HUKUM YANG TIDAK TERTULIS LAINNYA.
3. UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KEPASTIAN HUKUM (LEGAL
CERTAINTY) TIDAK TERTULIS BAGI MASYARAKAT.
 MENURUT BAGIR MANAN (DALAM HAMZA HALIM, 2019), ADA DUA
FUNGSI FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
1. FUNGSI INTERNAL. FUNGSI INI LEBIH BERKAITAN DENGAN
KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM
SISTEM HUKUM. SECARA INTERNAL PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN MENJALANKAN FUNGSI: (a) PENCIPTAAN HUKUM;
(b) PEMBAHARUAN HUKUM; (c) INTEGRASI PLURALISME
HUKUM; DAN (d) KEPASTIAN HUKUM.
2. FUNGSI EKSTERNAL, YAKNI KETERKAITAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN TEMPAT BERLAKUNYA
(SEBAGAI FUNGSI SOSIAL HUKUM), MELIPUTI: (a) FUNGSI
PERUBAHAN; (b) FUNGSI STABILISASI; DAN (c) FUNGSI
KEMUDAHAN.
11
 Lanjutan …..

 SALAH SATU FUNGSI PENTING PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

ADALAH MEWUJUDKAN “KEPASTIAN HUKUM YANG NYATA” (REAL
LEGAL CERTAINTY).
 JHON MICHAEL OTTO (DALAM AHMAD REDI, 2018: 43) MENDEFI-
NISIKAN “KEPASTIAN HUKUM YANG NYATA” SEBAGAI KEMUNGKINAN
BAHWA DALAM SITUASI TERTENTU:
1. TERSEDIA ATURAN-ATURAN HUKUM YANG JELAS, KONSISTEN DAN
MUDAH DIPEROLEH (ACCESSIBLE), DITERBITKAN OLEH ATAU
DIAKUI KARENA (KEKUASAAN) NEGARA;
2. BAHWA INSTANSI-INSTANSI PEMERINTAH MENERAPKAN ATURAN-
KEPAS- ATURAN HUKUM ITU SECARA KONSISTEN DAN JUGA TUNDUK DAN
TIAN TAAT TERHADAPNYA.
HUKUM 3. BAHWA PADA PRINSIPNYA BAGIAN TERBESAR ATAU MAYORITAS
DARI WARGA-NEGARA MENYETUJUI MUATAN ISI DAN KARENA ITU
MENYESUAIKAN PERILAKU MEREKA TERHADAP ATURAN-ATURAN
TERSEBUT;
4. BAHWA HAKIM-HAKIM (PERADILAN) YANG MANDIRI DAN TIDAK
BERPIHAK (INDEPENDENT AND IMPARTIAL JUDGES) MENERAPKAN
ATURAN-ATURAN HUKUM TERSEBUT SECARA KONSISTEN
SEWAKTU MEREKA MENYELESAIKAN SENGKETA HUKUM YANG
DIBAWA KE HADAPAN MEREKA; DAN
5. BAHWA KEPUTUSAN PERADILAN SECARA KONKRIT
DILAKSANAKAN.

12
III. NORMA HUKUM: KONSEP, KATEGORI, DAN JENIS
A. KONSEP NORMA HUKUM
 KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA:
 NORMA ADALAH ATURAN ATAU KETENTUAN YANG MENGIKAT SEMUA
ATAU SEBAGAIAN WARGA MASYARAKAT; ATURAN YANG BAKU,
UKURAN UNTUK MENENTUKAN SESUATU.
 HUKUM ADALAH PERATURAN ATAU ADAT RESMI YANG DIBUAT OLEH
PENGUASA UNTUK MENGATUR PERGAULAN HIDUP DALAM MSY.
 MENURUT HANS KELSEN (DALAM YULIANDRI, 2010: 21), NORMA HUKUM
DEFINISI ADALAH ATURAN, POLA ATAU STANDAR YANG PERLU DIIKUTI.
 NORMA HUKUM ADALAH PERATURAN TERTULIS YANG DITETAPKAN OLEH
NEGARA YANG WAJIB DIPATUHI OLEH SELURUH WARGA NEGARA, YANG
BILA DILANGGAR AKAN DIKENAKAN SANKSI.
 DI INDONESIA ADA NORMA ADAT, NORMA AGAMA, DAN NORMA HUKUM
YANG MENJADI PEDOMAN SIKAP DAN PERILAKU SESEORANG DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN SESAMA DAN LINGKUNGANNYA DALAM HIDUP
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA.
 MENURUT JIMMLY ASSHIDDIQIE (2011: 1), DARI SEGI ISI NORMA
HUKUM DAPAT DIBAGI MENJADI TIGA:
1. NORMA HUKUM YANG BERISI PERINTAH YANG MAU TIDAK MAU
ISI/ HARUS DIJALANKAN ATAU DITAATI.
MATERI 2. NORMA HUKUM YANG BERISI LARANGAN; DAN
3. NORMA HUKUM BERISI PERKENAAN YANG HANYA MENGIKAT
SEPANJANG PARA PIHAK YANG BERSANGKUTAN TIDAK
MENENTUKAN LAIN DALAM PERJANJIAN.
13
 Lanjutan …..
B. KATEGORI NORMA HUKUM
 MENURUT PURNADI PURBACARAKA DAN SOERJONO SOEKANTO
(1982: 49), NORMA HUKUM MEMILIKI DUA SIFAT, YAKNI:
BERDA-
1. IMPERATIF, YAITU PERINTAH YANG SECARA APRIORI HARUS
SARKAN DITAATI BAIK BERUPA SURUHAN MAUPUN LARANGAN;
SIFAT 2. FAKULTATIF, YAITU TIDAK SECARA APRIORI MENGIKAT ATAU WAJIB
DIPATUHI.

 MENURUT MARIA FARIDA INDRATI SUPRAPTO (2007: 26-31), ADA

BEBERAPA KATEGORI NORMA HUKUM BERDASARKAN BENTUK DAN
SIFATNYA, YAITU:
1. NORMA HUKUM UMUM DAN NORMA HUKUM INDIVIDUAL.
 NORMA HUKUM UMUM ADALAH SUATU NORMA HUKUM YANG
DITUJUKAN UNTUK ORANG BANYAK (ADDRESSATNYA) UMUM
BERDA- DAN TIDAK TERTENTU.
SARKAN  NORMA HUKUM INDIVIDUAL ADALAH NORMA HUKUM YANG
SIFAT DITUJUKAN PADA SESEORANG, BEBERAPA ORANG ATAU
DAN BANYAK ORANG YANG TELAH TERTENTU.
BENTUK 2. NORMA HUKUM ABSTRAK DAN NORMA HUKUM KONKRET.
 NORMA HUKUM ABSTRAK ADALAH SUATU NORMA HUKUM YANG
MELIHAT PADA PERBUATAN SESEORANG YANG TIDAK ADA
BATASNYA DALAM ARTI TIDAK KONKRET.
 NORMA HUKUM KONKRET ADALAH SUATU NORMA HUKUM YANG
MELIHAT PERBUATAN SESEORANG ITU SECARA LEBIH NYATA
(KONKRET).
14
 Lanjutan …..

3. NORMA HUKUM YANG TERUS-MENERUS DAN NORMA HUKUM YANG

SEKALI SELESAI.
 NORMA HUKUM YANG BERLAKU TERUS MENERUS
(DAUERHAFTIG) ADALAH NORMA HUKUM YANG BERLAKUNYA
TIDAK DIBATASI OLEH WAKTU. JADI DAPAT BERLAKU KAPAN
SAJA SECARA TERUS MENERUS, SAMPAI PERATURAN ITU
DICABUT ATAU DIGANTI DENGAN PERATURAN YANG BARU.
BERDA-  NORMA HUKUM YANG BERLAKU SEKALI-SELESAI (EINMALIG)
SARKAN ADALAH NORMA HUKUM YANG BERLAKUNYA HANYA SATU KALI
SAJA DAN SETELAH ITU SELESAI. JADI SIFATNYA HANYA
SIFAT
MENETAPKAN SAJA SEHINGGA DENGAN ADANYA PENETAPAN
DAN ITU NORMA HUKUM TERSEBUT SELESAI.
BENTUK 4. NORMA HUKUM TUNGGAL DAN NORMA HUKUM BERPASANGAN.
 NORMA HUKUM TUNGGAL ADALAH NORMA HUKUM YANG
BERDIRI SENDIRI DAN TIDAK DIIKUTI OLEH SUATU NORMA
HUKUM LAINNYA JADI ISINYA HANYA MERUPAKAN SUATU
SURUHAN TENTANG BAGAIMANA SESEORANG HENDAKNYA
BERTINDAK ATAU BERTINGKAH LAKU.
 NORMA HUKUM BERPASANGAN TERBAGI MENJADI DUA YAITU
NORMA HUKUM PRIMER YANG BERISI ATURAN/PATOKAN
BAGAIMANA CARA SESEORANG HARUS BERPERILAKU DI
DALAM MASYARAKAT DAN NORMA HUKUM SEKUNDER YANG
BERISI TATA CARA PENANGGULANGANNYA APABILA NORMA
HUKUM PRIMER TIDAK DIPENUHI ATAU TIDAK DIPATUHI.
15
 Lanjutan …..
C. JENIS NORMA HUKUM
 HANS KELSEN (DALAM AHMAD REDI 2018: 41) MENGEMUKAKAN
STUFENBAU THEORY (STUFENBAU DES RECHTS THEORIE), YAKNI BAHWA
NORMA HUKUM DALAM NEGARA SELALU BERJENJANG, YG MENYATAKAN:
 NORMA-NORMA HUKUM ITU BERJENJANG-JENJANG DAN BERLAPIS-
LAPIS DALAM SUATU HIERARKI (TATA SUSUNAN), DALAM ARTI, SUATU
NORMA YANG LEBIH RENDAH BERLAKU, BERSUMBER, DAN BERDASAR
PADA NORMA YANG LEBIH TINGGI, NORMA YANG LEBIH TINGGI
BERLAKU, BERSUMBER, DAN BERDASAR PADA NORMA YANG LEBIH
TINGGI LAGI, DEMIKIAN SETERUSNYA SAMPAI PADA SUATU NORMA
YANG TIDAK DAPAT DITELUSURI LEBIH LANJUT DAN BERSIFAT
HIPOTESIS DAN FIKTIF, YAITU NORMA DASAR (GRUNDNORM).
NORMA  NORMA DASAR (BASIC NORM/GRUNDNORM) YANG MERUPAKAN NORMA
BER- TERTINGGI DALAM SISTEM NORMA TERSEBUT TIDAK LAGI DIBENTUK
OLEH SUATU NORMA YANG LEBIH TINGGI LAGI, TETAPI GRUNDNORM
JEN- ITU DITETAPKAN TERLEBIH DAHULU OLEH MASYARAKAT SEBAGAI
JANG NORMA DASAR YANG MERUPAKAN GANTUNGAN BAGI NORMA-NORMA
YANG BERADA DI BAWAHNYA.
 HANS NAWIASKY (MURID HANS KELSEN) MENGEMBANGKAN LAGI TEORI
TSB (THEORIE VON STUFENFBAU DER RECHTSORDNUNG), BAHWA NORMA
TERTINGGI ADALAH FUNDAMENTALNORM BUKAN GRUNDNORM.
BERDASARKAN TEORI TERSEBUT, MAKA SUSUNAN NORMANYA SBB:
1. NORMA FUNDAMENTAL NEGARA (STAATS FUNDAMENTALNORM);
2. ATURAN-ATURAN DASAR NEGARA/ATURAN POKOK NEGARA
(STAATSGRUNDGESETZ);
3. UNDANG-UNDANG (FORMELL GESETZ); DAN
4. PERATURAN PELAKSANA SERTA PERATURAN OTONOM (VERORDNUNG
EN AUTONOME SATZUNG).
16
 Lanjutan …..

 BERDASARKAN TEORI HANS NAWIASKY TSB, A. HAMID S. ATTAMIMI

MEMBANDINGKANNYA DENGAN TEORI KELSEN DAN
MENERAPKANNYA PADA STRUKTUR TATA HUKUM DI INDONESIA.
MENURUT ATTAMIMI (DALAM AHMAD REDI 2018: 42), BERDASARKAN
TEORI TSB, STRUKTUR TATA HUKUM INDONESIA ADALAH:
1. NORMA FUNDAMENTAL NEGARA (STAATSFUNDAMENTALNORM):
PANCASILA (PEMBUKAAN UUD 1945).
2. ATURAN-ATURAN DASAR NEGARA/ATURAN POKOK NEGARA
(STAATSGRUNDGESETZ): BATANG TUBUH UUD 1945, TAP MPR, DAN
KONVENSI KETATANEGARAAN.
JENIS 3. UNDANG-UNDANG (FORMELL GESETZ): UNDANG-UNDANG.
NORMA 4. PERATURAN PELAKSANA SERTA PERATURAN OTONOM
(VERORDNUNG EN AUTONOME SATZUNG): SECARA HIERARKIS
HUKUM
MULAI DARI PERATURAN PEMERINTAH HINGGA KEPUTUSAN
BUPATI ATAU WALIKOTA.
 DI DALAM PASAL 7 UU NO. 12 TAHUN 2011, JENIS NORMA HUKUM SBB:
1. UUD NRI TAHUN 1945;
2. KETETAPAN MPR-RI;
3. UNDANG-UNDANG / PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG;
4. PERATURAN PEMERINTAH;
5. PERATURAN PRESIDEN;
6. PERATURAN DAERAH PROVINSI; DAN
7. PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.

17
IV. ASAS PEMBENTUKAN DAN ASAS MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. ASAS PEMBENTUKAN

 I.C. VAN DER VLIES MEMBEDAKAN ASAS-ASAS PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERDIRI ATAS ASAS FORMAL
DAN ASAS MATERIL (A. HAMID ATTAMIMI, 1990):
1. ASAS FORMAL, MELIPUTI: (A) ASAS TUJUAN YANG JELAS; (B) ASAS
ORGAN/LEMBAGA YANG TEPAT; DAN (C) ASAS PERLUNYA
PENGATURAN; (D) ASAS DAPATNYA DILAKSANAKAN; DAN (E) ASAS
KONSENSUS.
2. ASAS MATERIAL, MELIPUTI: (A) ASAS TENTANG TERMINOLOGI DAN
PENDA- SISTEMATIKA YANG BENAR; (B) ASAS TENTANG DAPAT DIKENALI;
PAT (C) ASAS KEPASTIAN HUKUM; (D) ASAS PELAKSANAAN HUKUM;
AHLI (E) ASAS PERLAKUAN YANG SAMA DALAM HUKUM SESUAI
KEADAAN INDIVIDU.
 BURKHARD KREMES, MENGEMUKAKAN BAHWA ASAS-ASAS
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MELIPUTI (H.A.
MUIN FAHMAL, 2008):
1. SUSUNAN PERATURAN
2. METODE PEMBENTUKAN PERATURAN
3. BENTUK DAN ISI PERATURAN
4. PROSEDUR DAN PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN.

18
 Lanjutan …..

 PASAL 5 UU. NO. 12 TAHUN 2011, MENETAPKAN TUJUH ASAS

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
1. ASAS KEJELASAN TUJUAN ADALAH BAHWA SETIAP
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS
MEMPUNYAI TUJUAN YANG JELAS YANG HENDAK DICAPAI.
2. ASAS KELEMBAGAAN ATAU PEJABAT PEMBENTUK YANG
TEPAT ADALAH BAHWA SETIAP JENIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN HARUS DIBUAT OLEH LEMBAGA
NEGARA ATAU PEJABAT PEMBENTUK PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERWENANG. PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TSB DAPAT DIBATALKAN ATAU
NORMA- BATAL DEMI HUKUM APABILA DIBUAT OLEH LEMBAGA
TIF NEGARA ATAU PEJABAT YANG TIDAK BERWENANG.
3. ASAS KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI
MUATAN ADALAH BAHWA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN HARUS BENAR-BENAR
MEMPERHATIKAN MATERI MUATAN YANG TEPAT SESUAI
DENGAN JENIS DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
4. ASAS DAPAT DILAKSANAKAN ADALAH BAHWA SETIAP
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS
MEMPERHITUNGKAN EFEKTIVITAS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TSB DI DALAM MSY, BAIK SECARA FILOSOFIS,
SOSIOLOGIS, MAUPUN YURIDIS.
19
 Lanjutan …..

5. ASAS KEDAYAGUNAAN DAN KEHASILGUNAAN ADALAH

BAHWA SETIAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIBUAT
KARENA MEMANG BENAR-BENAR DIBUTUHKAN DAN
BERMANFAAT DALAM MENGATUR KEHIDUPAN BERMSY,
BERBANGSA, DAN BERNEGARA.
6. ASAS KEJELASAN RUMUSAN ADALAH BAHWA SETIAP
PERATURAN PER-UNDANG-UNDANGAN HARUS MEMENUHI
PERSYARATAN TEKNIS PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN, SISTEMA-TIKA, PILIHAN KATA ATAU
NORMA- ISTILAH, SERTA BAHASA HUKUM YANG JELAS DAN MUDAH
TIF DIMENGERTI SEHINGGA TIDAK MENIMBULKAN BERBAGAI
MACAM INTERPRETASI DALAM PELAKSANAANNYA.
7. ASAS KETERBUKAAN ADALAH BAHWA DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MULAI DARI
PERENCANAAN, PENYUSUNAN, PEMBAHASAN, PENGESAHAN
ATAU PENETAPAN, DAN PENGUNDANGAN BERSIFAT
TRANSPARAN DAN TERBUKA. DENGAN DEMIKIAN, SELURUH
LAPISAN MASYARAKAT MEMPUNYAI KESEMPATAN YANG
SELUAS-LUASNYA UNTUK MEMBERIKAN MASUKAN DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

20
 Lanjutan …..
B. ASAS MATERI MUATAN

 MENURUT LON FULLER (DALAM USFUNAN, 2016: 9-10), ISI HUKUM

POSITIF (POSITIVE LEGAL CONTENT) HARUS MEMENUHI
DELAPAN UNSUR, YAKNI:
1. HARUS ADA ATURAN-ATURAN UMUM SEBAGAI PEDOMAN
DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN;
2. PERATURAN-PERATURAN YANG MENJADI PEDOMAN BAGI
OTORITAS HARUS DIUMUMKAN (DIPUBLIKASIKAN);
3. HUKUM (PERATURAN) TIDAK BOLEH BERLAKU SURUT;
4. PERATURAN-PERATURAN DISUSUN DALAM RUMUSAN YANG
PENDA-
DAPAT DIMENGERTI (JELAS);
PAT
5. ATURAN-ATURAN TIDAK BOLEH BERTENTANGAN SATU SAMA
AHLI LAIN;
6. PERATURAN-PERATURAN TIDAK BOLEH MENGANDUNG
TUNTUTAN MELEBIHI APA YANG DAPAT DILAKUKAN (TIDAK
MUNGKIN UNTUK DIPENUHI);
7. PERATURAN TIDAK BOLEH SERING DIUBAH-UBAH;
8. HARUS ADA KONSISTENSI ANTARA ATURAN-ATURAN YANG
DIUNDANGKAN DENGAN PELAKSANAAN SEHARI-HARI
(PEMERINTAH HARUS MELAKSANAKAN DENGAN TEGUH
ATURAN-ATURAN INI).

21
 Lanjutan …..

 PASAL 6 UU. NO. 12 TAHUN 2011, MENETAPKAN BAHWA MATERI

MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENCER-
MINKAN ASAS:
1. PENGAYOMAN ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS BERFUNGSI MEMBE-
RIKAN PELINDUNGAN UNTUK MENCIPTAKAN KETENTRAMAN MSY.
2. KEMANUSIAAN ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENCERMINKAN
PERLINDUNGAN DAN PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA SERTA
HARKAT DAN MARTABAT SETIAP WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
INDONESIA SECARA PROPORSIONAL.
3. KEBANGSAAN ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN
NORMA- PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENCERMINKAN
TIF SIFAT DAN WATAK BANGSA INDONESIA YANG MAJEMUK DENGAN
TETAP MENJAGA PRINSIP NKRI.
4. KEKELUARGAAN ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENCERMINKAN
MUSYAWARAH UNTUK MENCAPAI MUFAKAT DALAM SETIAP
PENGAMBILAN KEPUTUSAN.
5. KENUSANTARAAN ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SENANTIASA MEMPERHA-
TIKAN KEPENTINGAN SELURUH WILAYAH INDONESIA DAN MATERI
MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIBUAT DI
DAERAH MERUPAKAN BAGIAN DARI SISTEM HUKUM NASIONAL
YANG BERDASARKAN PANCASILA DAN UUD-NRI 1945.
22
 Lanjutan …..

 PASAL 6 UU. NO. 12 TAHUN 2011, MENETAPKAN BAHWA MATERI

MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENCER-
MINKAN ASAS:
6. BHINNEKA TUNGGAL IKA ADALAH BAHWA MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MEMPERHATIKAN
KERAGAMAN PENDUDUK, AGAMA, SUKU DAN GOLONGAN, KONDISI
KHUSUS DAERAH, SERTA BUDAYA DALAM KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA.
7. ASAS KEADILAN ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN PER-
ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS MENCERMINKAN KEA-
DILAN SECARA PROPORSIONAL BAGI SETIAP WARGA NEGARA.
8. KESAMAAN KEDUDUKAN DALAM HUKUM DAN PEMERINTAHAN
NORMA- ADALAH BAHWA SETIAP MATERI MUATAN PERATURAN PER-
TIF UNDANG-UNDANGAN TIDAK BOLEH MEMUAT HAL YANG BERSIFAT
MEMBEDAKAN BERDASARKAN LATAR BELAKANG, ANTARA LAIN
AGAMA, SUKU, RAS, GOLONGAN, GENDER, ATAU STATUS SOSIAL.
9. KETERTIBAN DAN KEPASTIAN HUKUM ADALAH BAHWA SETIAP
MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS
DAPAT MEWUJUDKAN KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT MELALUI
JAMINAN KEPASTIAN HUKUM. DAN/ATAU
10. KESEIMBANGAN, KESERASIAN, DAN KESELARASAN ADALAH
BAHWA SETIAP MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN HARUS MENCERMINKAN KESEIMBANGAN, KESE-
RASIAN, DAN KESELARASAN ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU,
MASYARAKAT, DAN KEPENTINGAN BANGSA DAN NEGARA.
23
 Lanjutan …..

 SELAIN MENCERMINKAN SEPULUH ASAS TSB, MATERI MUATAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERTENTU DAPAT BERISI ASAS
LAIN SESUAI DENGAN BIDANG HUKUM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG BERSANGKUTAN.
 YANG DIMAKSUD DENGAN “ASAS LAIN SESUAI DGN BIDANG HUKUM PER-
ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERSANGKUTAN”, ANTARA LAIN:
1. DALAM HUKUM PIDANA, MISALNYA: ASAS LEGALITAS; ASAS TIADA
HUKUMAN TANPA KESALAHAN; ASAS PEMBINAAN NARAPIDANA; DAN
ASAS PRADUGA TAK BERSALAH.
2. DALAM HUKUM PERDATA, MISALNYA, DALAM HUKUM PERJANJIAN,
ANTARA LAIN: ASAS KESEPAKATAN; KEBEBASAN BERKONTRAK; DAN
ITIKAD BAIK.
NORMA-  DALAM HUKUM TATA NEGARA, MISALNYA DALAM UNDANG-UNDANG
TIF TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, YANG MENGATUR KEBIJAKAN DESEN-
TRALISASI ASIMETRIS (SEPERTI PROVINSI DKI JAKARTA, YOGYAKARTA,
ACEH, DAN PAPUA) YANG PENGATURANNYA DI DALAM UNDANG-UNDANG
TERSENDIRI, JUGA DIKENAL ASAS HUKUM UNTUK MENGATASI KONFLIK
HUKUM DI ANTARA BERBAGAI UNDANG-UNDANG, MISALNYA:
1. UU TIDAK BERLAKU SURUT (ASAS RETROAKTIF);
2. UU YANG BERSIFAT KHUSUS AKAN MENGESAMPINGKAN ATAU
MELUMPUHKAN UU YANG BERSIFAT UMUM (LEX SPECIALIS DEROGAT
LEGI GENERALI); ATAU
3. UU YANG BARU MENGALAHKAN ATAU MELUMPUHKAN UU YANG LAMA
(LEX POSTERIOR DEROGAT LEGI PRIORI).
4. UU YANG LEBIH TINGGI MENGALAHKAN ATAU MELUMPUHKAN UU YANG
LEBIH RENDAH (LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI).
24
V. JENIS DAN HIERARKI, SERTA MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
 JENIS DAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA (PASAL 7 UU. NO. 12 TAHUN 2011):
1. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945;
2. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT;
3. UNDANG-UNDANG/PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG;
4. PERATURAN PEMERINTAH;
5. PERATURAN PRESIDEN;
6. PERATURAN DAERAH PROVINSI; DAN
7. PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.
 KEKUATAN HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERSEBUT
SESUAI DENGAN HIERARKINYA.
 HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MEMILIKI ASAS BAHWA
JENIS PERATURAN PER-UU-AN YANG LEBIH RENDAH TIDAK BOLEH BERTEN-
DAN TANGAN DENGAN PERATURAN PER-UU-AN YANG LEBIH TINGGI.
 PERATURAN PERUNDANGAN LAINNYA (PASAL 8 UU. NO. 12 TAHUN 2011):
HIERARKI
1) JENIS PERATURAN PER-UU-AN SELAIN TSB DI ATAS, MENCAKUP
PERATURAN YANG DITETAPKAN OLEH MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK,
KY, BI, MENTERI, BADAN, LEMBAGA, ATAU KOMISI YANG SETINGKAT
YANG DIBENTUK DENGAN UNDANG-UNDANG ATAU PEMERINTAH ATAS
PERINTAH UNDANG-UNDANG, DPRD PROVINSI, GUBER-NUR, DPRD
KAB/KOTA, BUPATI/WALIKOTA, KEPALA DESA ATAU YANG SETINGKAT.
2) PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INI DIAKUI KEBERADAANNYA
DAN MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT SEPANJANG
DIPERINTAHKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
LEBIH TINGGI ATAU DIBENTUK BERDASARKAN KEWENANGAN.
25
 Lanjutan …..

 UUD 1945 MERUPAKAN HUKUM DASAR DALAM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN (PASAL 3 UU NO 12 TAHUN 2011).
JENIS  PASAL 9 UU. NO. 12 TAHUN 2011:
DAN 1) DALAM HAL SUATU UNDANG-UNDANG DIDUGA BERTENTANGAN
HIERARKI DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945, PENGUJIANNYA DILAKUKAN OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI.
2) DALAM HAL SUATU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BAWAH
UNDANG-UNDANG DIDUGA BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-
UNDANG, PENGUJIANNYA DILAKUKAN OLEH MAHKAMAH AGUNG.

1. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945:

 NASKAH RESMI UUD 1945 ADALAH:
 NASKAH UUD 1945 YANG DITETAPKAN PADA TANGGAL 18 AGUSTUS
1945 DAN DIBERLAKUKAN KEMBALI DENGAN DEKRIT
PRESIDEN PADA TANGGAL 5 JULI 1959 SERTA DIKUKUHKAN SECARA
AKLAMASI PADA TANGGAL 22 JULI 1959.
MATERI  NASKAH PERUBAHAN PERTAMA, PERUBAHAN KEDUA, PERUBAHAN
MUATAN KETIGA, DAN PERUBAHAN KEEMPAT UUD 1945 (MASING-MASING
HASIL SIDANG UMUM MPR TAHUN 1999, 2000, 2001, 2002).
 UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DALAM SATU NASKAH DINYATAKAN
DALAM RISALAH RAPAT PARIPURNA KE-5 SIDANG TAHUNAN MPR
TAHUN 2002 SEBAGAI NASKAH PERBANTUAN DAN KOMPILASI
TANPA ADA OPINI.

26
 Lanjutan …..
2. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP-MPR):
 KETETAPAN MPR ADALAH TAP-MPRS DAN TAP-MPR YANG MASIH BERLAKU
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 2 DAN PASAL 4 KETETAPAN MPR
NOMOR: I/MPR/2003 TENTANG PENINJAUAN TERHADAP MATERI DAN STATUS
HUKUM KETETAPAN MPRS DAN KETETAPAN MPR TAHUN 1960 SAMPAI
DENGAN TAHUN 2002, TANGGAL 7 AGUSTUS 2003.
 AMENDEMEN UUD 1945 BERIMPLIKASI TERHADAP KEDUDUKAN, TUGAS, DAN
WEWENANG MPR. DAHULU SEBAGAI LEMBAGA TERTINGGI NEGARA, KINI
MATERI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA YANG SETARA DGN LEMBAGA NEGARA
MUATAN LAINNYA (SEPERTI KEPRESIDENAN, DPR, DPD, BPK, MA, DAN MK).
 MPR KINI HANYA DAPAT MENETAPKAN KETETAPAN YANG BERSIFAT
PENETAPAN (LIHAT PASAL 8 UUD 1945), YAITU:
 MENETAPKAN WAPRES MENJADI PRESIDEN.
 MEMILIH WAPRES APABILA TERJADI KEKOSONGAN JABATAN WAPRES.
 MEMILIH PRESIDEN DAN WAPRES APABILA PRESIDEN DAN WAPRES
MANGKAT, BERHENTI, DIBERHENTIKAN, ATAU TIDAK DAPAT MELAKUKAN
KEWAJIBANNYA DALAM MASA JABATANNYA SECARA BERSAMA-SAMA
3. UNDANG-UNDANG:
 UNDANG-UNDANG ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
YANG DIBENTUK OLEH DPR DGN  PERSETUJUAN BERSAMA PRESIDEN.
 MATERI MUATAN YANG HARUS DIATUR DENGAN UNDANG-UNDANG:
a. PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI KETENTUAN UUD 1945;
MATERI b. PERINTAH SUATU UNDANG-UNDANG UNTUK DIATUR DENGAN UNDANG-
MUATAN UNDANG;
c. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL TERTENTU;
d. TINDAK LANJUT ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI; DAN/ATAU
e. PEMENUHAN KEBUTUHAN HUKUM DALAM MASYARAKAT.
 TINDAK LANJUT ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, DILAKUKAN
OLEH DPR ATAU PRESIDEN.
27
 Lanjutan …..

3. PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU):

 PERPPU ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
DITETAPKAN OLEH PRESIDEN DALAM HAL IHWAL KEGENTINGAN
YANG MEMAKSA (PASAL 22 AYAT (1) UUD 1945).
 MATERI MUATAN PERPPU ADALAH SAMA DENGAN MATERI MUATAN
UNDANG-UNDANG (PASAL 11 UU NO. 12 TAHUN 2011).
 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DITETAPKAN OLEH
MATERI PRESIDEN DALAM HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA
MUATAN (NEGARA DALAM KEADAAN DARURAT), DENGAN KETENTUAN
SEBAGAI BERIKUT:
 PERPU DIBUAT OLEH PRESIDEN SAJA, TANPA ADANYA
KETERLIBATAN DPR.
 PERPU HARUS DIAJUKAN KE DPR DALAM PERSIDANGAN YANG
BERIKUT (PASAL 22 AYAT (2) UUD 1945).
 DPR DAPAT MENERIMA (MEMBERI PERSETUJUAN) ATAU MENOLAK
PERPU DENGAN TIDAK MENGADAKAN PERUBAHAN.
 JIKA TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN DPR, PERPU TERSEBUT
HARUS DICABUT. (PASAL 22 AYAT (3) UUD 1945).

4. PERATURAN PEMERINTAH (PP):

 PERATURAN PEMERINTAH (PP) ADALAH PERATURAN PERUNDANG-
MATERI UNDANGAN YANG DITETAPKAN OLEH PRESIDEN UNTUK
MUATAN MENJALANKAN UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA MESTINYA.
 MATERI MUATAN PERATURAN PEMERINTAH BERISI MATERI UNTUK
MENJALANKAN UNDANG-UNDANG SEBAGAIMANA MESTINYA.

28
 Lanjutan …..
5. PERATURAN PRESIDEN (PERPRES):
 PERATURAN PRESIDEN (PERPRES) ADALAH PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG DIBUAT OLEH PRESIDEN.
MATERI  MATERI MUATAN PERATURAN PRESIDEN BERISI:
MUATAN  MATERI YANG DIPERINTAHKAN OLEH UNDANG-UNDANG;
 MATERI UNTUK MELAKSANAKAN PERATURAN PEMERINTAH; ATAU
 MATERI UNTUK MELAKSANAKAN PENYELENGGARAAN KEKUASAAN
PEMERINTAHAN.
6. PERATURAN DAERAH (PERDA):
 PERDA ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIBENTUK
OLEH DPRD DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA KEPALA DAERAH
(GUBERNUR ATAU BUPATI/WALI KOTA).
 MATERI MUATAN PERDA PROV/KAB/KOTA BERISI:
MATERI  PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DAN TUGAS PEMBANTUAN;
MUATAN  MENAMPUNG KONDISI KHUSUS DAERAH; DAN/ATAU
 PENJABARAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.
 TERMASUK DALAM PERDA ADALAH QANUN DI PROV. ACEH DAN KAB/KOTA
DI PROV. ACEH, SERTA PERATURAN DAERAH KHUSUS (PERDASUS) DAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI (PERDASI) DI PROV. PAPUA & PAPUA BARAT.
 MATERI MUATAN MENGENAI KETENTUAN PIDANA:
 MATERI MUATAN MENGENAI KETENTUAN PIDANA HANYA DAPAT DIMUAT
MATERI DALAM: (A) UNDANG-UNDANG; (B) PERDA PROV/KAB/KOTA.
MUATAN  KETENTUAN PIDANA DALAM PERDA PROV/KAB/KOTA BERUPA ANCAMAN
KETEN- PIDANA KURUNGAN PALING LAMA 6 (ENAM) BULAN ATAU PIDANA DENDA
TUAN PALING BANYAK RP50.000.000,00 (LIMA PULUH JUTA RUPIAH).
 PERDA PROV/KAB/KOTA DAPAT MEMUAT ANCAMAN PIDANA KURUNGAN
PIDANA ATAU PIDANA DENDA SELAIN TSB DI ATAS SESUAI DENGAN YANG DIATUR
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA.
29
VI. KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ADALAH PERATURAN
TERTULIS YANG MEMUAT NORMA HUKUM YANG MENGIKAT SECARA
UMUM DAN DIBENTUK ATAU DITETAPKAN OLEH LEMBAGA NEGARA
ATAU PEJABAT YANG BERWENANG MELALUI PROSEDUR YANG
DITETAPKAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (PASAL 1
UU NO. 12 TAHUN 2011).
 SALAH SATU ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ADALAH “ASAS KELEMBAGAAN ATAU PEJABAT PEM-
BENTUK YANG TEPAT”. (PASAL 5 HURUF b UU. NO 12 TAHUN 2011).
 ASAS TERSEBUT MENGANDUNG MAKNA BAHWA SETIAP JENIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HARUS DIBUAT OLEH
URGENSI LEMBAGA NEGARA ATAU PEJABAT PEMBENTUK PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERWENANG. PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERSEBUT DAPAT DIBATALKAN ATAU
BATAL DEMI HUKUM APABILA DIBUAT OLEH LEMBAGA NEGARA
ATAU PEJABAT YANG TIDAK BERWENANG.
 DENGAN DEMIKIAN, PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN HARUS OLEH OTORITAS PEMBENTUK (LEMBAGA ATAU
PEJABAT) YANG BERWENANG.
 CONTOH: PEMBENTUKAN SEBUAH RUU ATAS USUL INISIATIF
PEMERINTAH, HARUS DISIAPKAN OLEH KEMENTERIAN/LEMBAGA
YANG TUGAS DAN FUNGSINYA BERKENAAN DENGAN SUBSTANSI
RUU TERSEBUT. MISALNYA: RUU TENTANG PEMERINTAHAN
DAERAH DISIAPKAN OLEH KEMENDAGRI.
30
 Lanjutan …..

 PERNYATAAN BAHWA “PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERSEBUT DAPAT DIBATALKAN ATAU BATAL DEMI HUKUM APABILA
DIBUAT OLEH LEMBAGA NEGARA ATAU PEJABAT YANG TIDAK
BERWENANG” BERMAKNA:
1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAPAT DIBATALKAN:
a. ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DINYATAKAN
BATAL SETELAH ADANYA KEPUTUSAN PEMBATALAN OLEH
HAKIM ATAU INSTANSI YANG BERWENANG MEMBATALKAN, DAN
PEMBATALAN TIDAK BERLAKU SURUT.
b. JADI BAGI HUKUM, PERBUATAN DAN AKIBAT-AKIBAT HUKUM
YANG DITIMBULKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DIANGGAP SAH SAMPAI DIKELUARKAN
URGENSI
KEPUTUSAN PEMBATALAN.
2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BATAL DEMI HUKUM:
a. ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG AKIBAT
HUKUMNYA BAIK SEBAGIAN MAUPUN SELURUHNYA BAGI
HUKUM DIANGGAP TIDAK ADA, TANPA DIPERLUKAN
KEPUTUSAN PEMBATALAN OLEH HAKIM ATAU INSTANSI YANG
BERWENANG MEMBATALKAN.
b. JADI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BATAL SEJAK
DIKELUARKAN, BAGI HUKUM DIANGGAP TIDAK ADA TANPA
DIPERLUKAN SUATU KEPUTUSAN HAKIM ATAU INSTANSI YANG
BERKOMPETEN UNTUK MENYATAKAN BATALNYA SEBAGIAN
ATAU SELURUHNYA.
31
 Lanjutan …..
 KEWENANGAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG:
 PASAL 20 UUD 1945:
(1) DPR MEMEGANG KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG.
(2) SETIAP RUU DIBAHAS OLEH DPR DAN PRESIDEN UNTUK
MENDAPAT PERSETUJUAN BERSAMA.
(3) JIKA RUU ITU TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN BERSAMA, RUU
ITU TIDAK BOLEH DIAJUKAN LAGI DALAM PERSIDANGAN DPR
MASA ITU.
(4) PRESIDEN MENGESAHKAN RUU YANG TELAH DISETUJUI
BERSAMA UNTUK MENJADI UNDANG-UNDANG.
(5) DALAM HAL RUU YANG TELAH DISETUJUI BERSAMA TSB TIDAK
DISAHKAN OLEH PRESIDEN DALAM WAKTU TIGA PULUH HARI
KEWE-
SEMENJAK RUU TSB DISETUJUI, RUU TSB SAH MENJADI
NANGAN UNDANG-UNDANG DAN WAJIB DIUNDANGKAN.
 SESUAI KETENTUAN PASAL 20 AYAT (1) UUD 1945, DPR MEMILIKI
KEKUASAAN MEMBENTUK UNDANG-UNDANG.
 PASAL 20A AYAT (1) UUD 1945: DPR MEMILIKI FUNGSI LEGISLASI,
FUNGSI ANGGARAN, DAN FUNGSI PENGAWASAN. FUNGSI
LEGISLASI MERUPAKAN FUNGSI MEMBUAT UNDANG-UNDANG.
 PASAL 21 UUD 1945: ANGGOTA DPR BERHAK MENGAJUKAN USUL
RUU. ARTINYA, SELURUH ANGGOTA DPR MEMILIKI HAK
KONSTITUSIONAL BERUPA MENGAJUKAN SUATU USUL RUU.
 PASAL 5 AYAT (1) UUD 1945: PRESIDEN BERHAK MENGAJUKAN
RUU KEPADA DPR. ARTINYA, RUU SELAIN BERASAL DARI
ANGGOTA DPR, JUGA DAPAT BERASAL DARI PRESIDEN.
32
 Lanjutan …..

 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH

PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU):
 PASAL 22 UUD 1945:
(1) DALAM HAL IHWAL KEGENTINGAN YANG MEMAKSA, PRESIDEN
BERHAK MENETAPKAN PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI
PENGGANTI UNDANG-UNDANG.
(2) PERATURAN PEMERINTAH ITU HARUS MENDAPAT
PERSETUJUAN DPR DALAM PERSIDANGAN YANG BERIKUT.
(3) JIKA TIDAK MENDAPAT PERSETUJUAN, MAKA PERATURAN
PEMERINTAH ITU HARUS DICABUT.
 SESUAI KETENTUAN PASAL 22 AYAT (1) UUD 1945, PRESIDEN
KEWE- MEMILIKI KEWENANGAN MEMBENTUK PERPPU.
NANGAN  PERPPU MERUPAKAN SALAH SATU JENIS PERATURAN PER-
UNDANG-UNDANGAN YANG DIAKUI DAN KEDUDUKANNYA SETING-
KAT DENGAN UNDANG-UNDANG (PASAL 7 UU NO. 12 TAHUN 2011).
 PERPU DAPAT DITETAPKAN OLEH PRESIDEN APABILA DALAM
KEADAAN HAL IHWAL KEGENTINGAN MEMAKSA.
 TUJUANNYA, AGAR SUPAYA KESELAMATAN NEGARA DAPAT
DIJAMIN OLEH PEMERINTAH DALAM KEADAAN YANG GENTING,
YANG MEMAKSA PEMERINTAH UNTUK BERTINDAK LEKAS DAN
TEPAT. MESKIPUN DEMIKIAN, PEMERINTAH TIDAK AKAN TERLEPAS
DARI PENGAWASAN DPR. OLEH KARENA ITU, PERPPU YANG
KEKUATANNYA SAMA DENGAN UNDANG-UNDANG HARUS
DISAHKAN PULA OLEH DPR.
33
 Lanjutan …..

 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH (PP):

 PASAL 5 AYAT (2) UUD 1945: PRESIDEN MENETAPKAN PERATURAN
PEMERINTAH UNTUK MENJALANKAN UNDANG-UNDANG
SEBAGAIMANA MESTINYA.
 SESUAI KETENTUAN KONSTITUSIONAL TSB, PRESIDEN MEMILIKI
KEWENANGAN MEMBENTUK PERATURAN PEMERINTAH.
 ADA LIMA KARAKTERISTIK PERATURAN PEMERINTAH (MARIA
FARIDA INDARTI, 2013: 195):
1) PERATURAN PEMERINTAH TIDAK DAPAT DIBENTUK TANPA TER-
LEBIH DULU ADA UNDANG-UNDANG YANG MENJADI INDUKNYA.
KEWE- 2) PERATURAN PEMERINTAH TIDAK DAPAT MENCANTUMKAN
NANGAN SANKSI PIDANA APABILA UNDANG-UNDANG YANG BERSANG-
KUTAN TIDAK MENCANTUMKAN SANKSI PIDANA.
3) KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH TIDAK DAPAT MENAMBAH
ATAU MENGURANGI KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG
BERSANGKUTAN.
4) UNTUK MENJALANKAN, MENJABARKAN, ATAU MERINCI
KETENTUAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH DAPAT
DIBENTUK MESKI KETENTUAN UNDANG-UNDANG TERSEBUT
TIDAK MEMINTANYA SECARA TEGAS.
5) KETENTUAN-KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH BERISI PER-
ATURAN ATAU GABUNGAN PERATURAN DAN PENETAPAN. PER-
ATURAN PEMERINTAH TIDAK BERISI PENETAPAN SEMATA-MATA.

34
 Lanjutan …..
 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PRESIDEN (PERPRES):
 PERPRES ADALAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
DITETAPKAN OLEH PRESIDEN UNTUK MENJALANKAN PERINTAH
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI ATAU
DALAM MENYELENGGARAKAN KEKUASAAN PEMERINTAHAN
(PASAL 1 ANGKA 6, UU NO.12 TAHUN 2011).
 PERPRES DIBENTUK UNTUK MENYELENGGARAKAN PENGATURAN
LEBIH LANJUT PERINTAH UNDANG-UNDANG ATAU PERATURAN
PEMERINTAH SECARA TEGAS MAUPUN TIDAK TEGAS
DIPERINTAHKAN PEMBENTUKANNYA. (PENJELASAN PASAL 13 UU.
NO. 12 TAHUN 2011).
KEWE-  DASAR HUKUM KEWENANGAN PRESIDEN UNTUK MEMBENTUK
NANGAN PERATURAN JENIS INI ADALAH PASAL 4 AYAT (1) UUD 1945:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMEGANG KEKUASAAN
PEMERINTAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR.
 DARI SEGI WEWENANG PERPRES DAPAT DIBEDAKAN:
1. PERPRES SEBAGAI PELAKSANAAN KEWENANGAN PRESIDEN (BAIK
SEBAGAI KEPALA NEGARA MAUPUN KEPALA PEMERINTAHAN).
PRESIDEN MEMPUNYAI KEWENANGAN SECARA MANDIRI UNTUK
MEMBUAT PERPRES YANG TIDAK TETAP BATAS LINGKUPNYA.
KEWENANGAN INI MERUPAKAN KEWENANGAN ATRIBUTIF YANG
DIBERIKAN BERDASARKAN PASAL 4 AYAT (1) UUD TAHUN 1945.
2. PERPRES DAPAT JUGA DIBENTUK KARENA KEWENANGAN DELE-
GATIF (DELEGATED LEGISLATION), SEBAGAI PERATURAN DELEGASI
UNTUK MELAKSANAKAN PERINTAH UUD, UU, MAUPUN PP.
35
 Lanjutan …..

 KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (PERDA):

 PASAL 236 UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH:
(1) UNTUK MENYELENGGARAKAN OTONOMI DAERAH DAN TUGAS
PEMBANTUAN, DAERAH MEMBENTUK PERDA.
(2) PERDA DIBENTUK OLEH DPRD DENGAN PERSETUJUAN
BERSAMA KEPALA DAERAH.
(3) PERDA MEMUAT MATERI MUATAN: (a) PENYELENGGARAAN
OTONOMI DAERAH DAN TUGAS PEMBANTUAN; DAN (b)
PENJABARAN LEBIH LANJUT KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.
KEWE- (4) PERDA DAPAT MEMUAT MATERI MUATAN LOKAL SESUAI
NANGAN DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
 SESUAI KETENTUAN TERSEBU, DPRD MEMILIKI KEWENANGAN
PEMBENTUKAN PERDA DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
KEPALA DAERAH.
 FUNGSI PERDA, YAITU: (1) MENYELENGGARAKAN OTONOMI
DAERAH DAN TUGAS PEMBANTUAN; (2) MENAMPUNG KONDISI
KHUSUS DAERAH; DAN (3) INSTRUMEN PENJABARAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI.

36
 Lanjutan …..
 DUA JENIS KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN, YAKNI: (1) KEWENANGAN DELEGASI; DAN (2) KEWE-
NANGAN ATRIBUSI (AHMAD REDI, 2018: 79).
 MENURUT HANS KELSEN, ADA EMPAT JENJANG NORMA HUKUM:
(1) NORMA FUNDAMENTAL NEGARA; (2) NORMA ATURAN
POKOK; (3) NORMA UNDANG-UNDANG FORMAL; DAN (4)
NORMA PERATURAN PELAKSANAAN DAN PERATURAN OTONOM.
NORMA PERATURAN PELAKSANAAN INI BERSUMBER DARI
KEWENANGAN DELEGASI SEDANGKAN PERATURAN OTONOM
BERSUMBER DARI KEWENANGAN ATRIBUSI.
DUA  KEWENANGAN DELEGATIF ADALAH KEWENANGAN LEMBAGA ATAU
JENIS PEJABAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ATAS PERINTAH (ATAU PELIMPAHAN DARI) PERATURAN
KEWE-
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI UNTUK MEMBENTUK
NANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH RENDAH.
CONTOH: PASAL 214 AYAT (5) UU NO. 23 TAHUN 2014 MENYATAKAN:
”KETENTUAN LEBIH LANJUT MENGENAI PENJABAT SEKRETARIS
DAERAH DIATUR DALAM PERATURAN PRESIDEN”.
 KEWENANGAN ATRIBUTIF ADALAH KEWENANGAN LEMBAGA ATAU
PEJABAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG MELEKAT (INHERENT) TERUS MENERUS DAN
DAPAT DILAKSANAKAN ATAS PRAKARSA SENDIRI SETIAP WAKTU
DIPERLUKAN, SESUAI DENGAN BATAS-BATAS YANG DIBERIKAN.
CONTOH: PASAL 22 AYAT (1) UUD 1945 MEMBERIKAN MANDAT
KEPADA PRESIDEN UNTUK MEMBENTUK PERPU.
37
VII. KERANGKA DAN BENTUK RANCANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
 KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (UU NOMOR 12 TAHUN
2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
PADA LAMPIRAN-II MENGENAI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN, KHUSUSNYA BAB I):

 KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

A. JUDUL
B. PEMBUKAAN:
1. FRASA “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”
2. JABATAN PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
3. KONSIDERANS
4. DASAR HUKUM
5. DIKTUM
C. BATANG TUBUH
1. KETENTUAN UMUM
2. MATERI POKOK YANG DIATUR
3. KETENTUAN PIDANA (JIKA DIPERLUKAN)
4. KETENTUAN PERALIHAN (JIKA DIPERLUKAN)
5. KETENTUAN PENUTUP
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (JIKA DIPERLUKAN)
F. LAMPIRAN (JIKA DIPERLUKAN).

38
 Lanjutan …..

A. JUDUL
 Judul peraturan perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis,
nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–
undangan.
 Nama peraturan perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah
mencerminkan isi peraturan perundang–undangan.
 Contoh nama peraturan perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata:
- Paten; - Yayasan; - Ketenagalistrikan.
 Contoh nama peraturan perundang-undangan yang menggunakan frasa:
- Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; - Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah; - Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
 Judul peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital
yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca, dan tidak boleh
ditambah dengan singkatan atau akronim.
 Contoh-a:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2011
TENTANG
KEIMIGRASIAN
 Contoh-b:
PERATURAN DAERAH PROVINSI
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR …. TAHUN …..
TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
39
 Lanjutan …..

B. PEMBUKAAN
1. FRASA “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA”
 Pada pembukaan tiap jenis peraturan perundang–undangan, sebelum nama
jabatan pembentuk peraturan perundang–undangan, dicantumkan frasa
Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital yang diletakkan di tengah marjin.
2. JABATAN PEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
 Jabatan pembentuk peraturan perundang–undangan ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan
tanda baca koma.
3. KONSIDERANS
 Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi
pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan perundang–undangan.
 Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang dan Peraturan Daerah Provinsi
atau Perda Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya, yang penulisannya
ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
 Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi
uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa
pasal dari Undang-Undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan
Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari UU yang
memerintahkan pembentukannya.

40
 Lanjutan …..

B. PEMBUKAAN
4. DASAR HUKUM
 Dasar hukum memuat: (a) Dasar kewenangan pembentukan Peraturan
Perundang-undangan; dan (b) Peraturan Perundang-undangan yang
memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
 Peraturan perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum
hanya peraturan perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih
tinggi.
 Jika jumlah peraturan perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum
lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan
peraturan perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara
kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
5. DIKTUM
 Diktum terdiri atas: (a) kata Memutuskan; (b) kata Menetapkan; dan (c) jenis
dan nama Peraturan Perundang-undangan.
 Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di
antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di
tengah marjin.
 Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan
ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Mene-
tapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
 Jenis dan nama yang tercantum dalam judul peraturan perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia,
serta ditulis seluruhnya dgn huruf kapital dan diakhiri dgn tanda baca titik.

41
 Lanjutan …..

 CONTOH “JUDUL DAN PEMBUKAAN” UNDANG-UNDANG:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa ……..
b. bahwa…….
c. bahwa ……..
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
42
 Lanjutan …..
C. BATANG TUBUH
1. KETENTUAN UMUM
 Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam peraturan
perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, keten-tuan umum
diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
 Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
 Ketentuan umum berisi: (a) batasan pengertian atau definisi; (b) singkatan
atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi;
dan/atau (c) hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
 Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau
istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
selanjutnya.
2. MATERI POKOK YANG DIATUR
 Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan
umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur
diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum.
 Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan
menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
 Contoh Pengelompokan Materi Pokok dalam UU. Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah: (1) Pembagian Wilayah Negara; (2)
Kekeuasaan Pemerintahan; (3) Urusan Pemerintahan (Absolut, Umum,
dan Konkuren); (4) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; (5) DPRD;
(6) Perangkat Kelembagaan Daerah; dstnya
43
 Lanjutan …..

3. KETENTUAN PIDANA (JIKA DIPERLUKAN)

 Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.
 Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum
ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
 Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana
yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan
peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab
ketentuan penutup.
4. KETENTUAN PERALIHAN (JIKA DIPERLUKAN)
 Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau
hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru, yang bertujuan
untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
5. KETENTUAN PENUTUP
 Ketentuan Penutup diletakkan pada Bab atau Pasal terakhir dari suatu
peraturan.
 Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat: (a) penunjukkan organ atau alat
perlengkapan yang melaksanakan PUU; (b) nama singkat PUU; ( c) status
PUU yang sudah ada; atau (d) Saat mulai berlaku PUU.
44
 Lanjutan …..

SAAT MULAI BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

 PADA DASARNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MULAI BERLAKU
PADA SAAT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERSEBUT
DIUNDANGKAN.
 JIKA ADA PENYIMPANGAN TERHADAP SAAT MULAI BERLAKUNYA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERSEBUT PADA SAAT
DIUNDANGKAN, HAL INI DINYATAKAN SECARA TEGAS DI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERSEBUT.
 PADA DASARNYA MULAI BERLAKUNYA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TIDAK DAPAT DITENTUKAN LEBIH AWAL DARIPADA SAAT
PENGUNDANGANNYA.
 SAAT MULAI BERLAKU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
PELAKSANAANNYA TIDAK BOLEH DITETAPKAN LEBIH AWAL DARIPADA
SAAT MULAI BERLAKU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
MENDASARINYA.
 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HANYA DAPAT DICABUT DENGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TINGKATANNYA SAMA ATAU
LEBIH TINGGI.

45
 Lanjutan …..

D. PENUTUP
 Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan yang memuat:
(a) rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-
undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita
Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/ Kota; (b) penandatanganan
pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan; (c) pengundangan atau
Penetapan Peraturan Perundang-undangan; dan (d) akhir bagian penutup.
 Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan
memuat: (a) tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; (b) nama jabatan; (c)
tanda tangan pejabat; dan (d) nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa
gelar, pangkat, golongan, dan NIP.
 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat: (a) tempat dan tanggal
Pengundangan; (b) nama jabatan yang berwenang mengundang-kan; (c ) tanda
tangan; dan (d) nama lengkap pejabat yang menanda-tangani, tanpa gelar, pangkat,
golongan, dan nomor induk pegawai.
E. PENJELASAN (JIKA DIPERLUKAN)
 Setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah diberi penjelasan.
 Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan Daerah)
dapat diberi penjelasan jika diperlukan.
 Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan
pasal demi pasal.
E. LAMPIRAN (JIKA DIPERLUKAN)
 Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut
dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari PUU.
46
 Lanjutan …..

 BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(LAMPIRAN-II, BAB IV UU NOMOR 12 TAHUN 2011):

A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG

B. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG– UNDANG
C. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI
SALAH SATU BAHASA RESMI
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG- UNDANG
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG– UNDANG
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
G. BANTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI
K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI
L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

47
 Lanjutan …..

A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG:

UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
… (Nama Undang–Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa ………;
b. bahwa ……….;
c. bahwa ……. dst;
Mengingat: ………………….
Dengan Persetujuan Bersama
 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang).
BAB I
......
Pasal 1
……
BAB II
Pasal ….
…….

48
 Lanjutan …..
BAB …..
......
Pasal …..
……
BAB ….
Pasal ….
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 2011
 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
  
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 82
CATATAN:
UNDANG-UNDANG DAN PERDA SELALU ADA PENJELASAN (PENJELASAN UMUM DAN PENJE-
LASAN PASAL DEMI PASAL). UNTUK LEGALITAS PENGUNDANGAN “PENJELASAN”, DIBUKTIKAN
KALIMAT “TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA” (UU) ATAU TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH (PERDA)
49
VIII. HAL-HAL KHUSUS DALAM MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
 HAL-HAL KHUSUS DALAM MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN (UU NO. 12 TAHUN 2011, LAMPIRAN-II, KHUSUS BAB II):

A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI DAPAT
MENDELEGASIKAN KEWENANGAN MENGATUR LEBIH LANJUT KEPADA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH RENDAH.
2. PENDELEGASIAN KEWENANGAN DAPAT DILAKUKAN DARI SUATU UNDANG-
UNDANG KEPADA UNDANG-UNDANG YANG LAIN, DARI PERDA PROVINSI
KEPADA PERDA PROVINSI YANG LAIN, ATAU DARI PERDA KABUPATEN/KOTA
KEPADA PERDA KABUPATEN/KOTA YANG LAIN.
3. PENDELEGASIAN KEWENANGAN MENGATUR HARUS MENYEBUT DENGAN
TEGAS: (A) RUANG LINGKUP MATERI MUATAN YANG DIATUR; DAN (B) JENIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
4. DALAM PENDELEGASIAN KEWENANGAN MENGATUR TIDAK BOLEH ADANYA
DELEGASI BLANGKO.
5. PENDELEGASIAN KEWENANGAN MENGATUR DARI UNDANG-UNDANG KEPADA
MENTERI, PEMIMPIN LEMBAGA PEMERINTAH NONKEMENTERIAN, ATAU
PEJABAT YANG SETINGKAT DENGAN MENTERI DIBATASI UNTUK PERATURAN
YANG BERSIFAT TEKNIS ADMINISTRATIF.
6. PENDELEGASIAN KEWENANGAN MENGATUR DARI SUATU PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TIDAK BOLEH DIDELEGASIKAN KEPADA DIRJEN,
SEKJEN, ATAU PEJABAT YANG SETINGKAT.
50
 Lanjutan …..

A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
7. PENDELEGASIAN LANGSUNG KEPADA DIREKTUR JENDERAL ATAU PEJABAT
YANG SETINGKAT HANYA DAPAT DIBERIKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YG TINGKATANNYA LEBIH RENDAH DARIPADA UNDANG-UNDANG.
8. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PELAKSANAANNYA HENDAK-NYA TIDAK
MENGULANGI KETENTUAN NORMA YANG TELAH DIATUR DI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENDELE-GASIKAN, KECUALI
JIKA HAL TSB MEMANG TIDAK DAPAT DIHINDARI.
B. PENYIDIKAN
1. KETENTUAN PENYIDIKAN HANYA DAPAT DIMUAT DI DALAM UNDANG-UNDANG
DAN PERATURAN DAERAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA.
2. KETENTUAN PENYIDIKAN MEMUAT PEMBERIAN KEWENANGAN KEPADA
PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN, LEMBAGA PEMERINTAH
NONKEMENTERIAN, ATAU INSTANSI TERTENTU UNTUK MENYIDIK
PELANGGARAN TERHADAP KETENTUAN UNDANG-UNDANG, DAN PERDA
PROVINSI/KABUPATEN/ KOTA.
3. DALAM MERUMUSKAN KETENTUAN YANG MENUNJUK PEJABAT TERTENTU
SEBAGAI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DIUSAHAKAN AGAR TIDAK
MENGURANGI KEWENANGAN PENYIDIK UMUM UNTUK MELAKUKAN
PENYIDIKAN.
4. KETENTUAN PENYIDIKAN DITEMPATKAN SEBELUM KETENTUAN PIDANA ATAU
JIKA DALAM UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN DAERAH PROVINSI/
KABUPATEN/KOTA TIDAK DIADAKAN PENGELOMPOKAN, DITEMPATKAN PADA
PASAL ATAU BEBERAPA PASAL SEBELUM KETENTUAN PIDANA.
51
 Lanjutan …..

C. PENCABUTAN
1. JIKA ADA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAMA YANG TIDAK DIPERLU-
KAN LAGI DAN DIGANTI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BARU,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BARU HARUS SECARA TEGAS
MENCABUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YG TIDAK DIPERLUKAN ITU.
2. JIKA MATERI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BARU
MENYEBABKAN PERLU PENGGANTIAN SEBAGIAN ATAU SELURUH MATERI
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAMA, DI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BARU HARUS SECARA TEGAS
DIATUR MENGENAI PENCABUTAN SEBAGIAN ATAU SELURUH PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LAMA.
3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HANYA DAPAT DICABUT MELALUI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG SETINGKAT ATAU LEBIH TINGGI.
4. PENCABUTAN MELALUI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
TINGKATANNYA LEBIH TINGGI DILAKUKAN JIKA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG LEBIH TINGGI TERSEBUT DIMAKSUDKAN UNTUK
MENAMPUNG KEMBALI SELURUH ATAU SEBAGIAN DARI MATERI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH RENDAH YANG DICABUT ITU.
5. JIKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BARU MENGATUR KEMBALI SUATU
MATERI YANG SUDAH DIATUR DAN SUDAH DIBERLAKUKAN, PENCABUTAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ITU DINYATAKAN DALAM SALAH SATU
PASAL DALAM KETENTUAN PENUTUP DARI PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG BARU, DENGAN MENGGUNAKAN RUMUSAN DICABUT DAN
DINYATAKAN TIDAK BERLAKU.
52
 Lanjutan …..

C. PENCABUTAN
6. PENCABUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG SUDAH
DIUNDANGKAN TETAPI BELUM MULAI BERLAKU, DAPAT DILAKUKAN DENGAN
PERATURAN TERSENDIRI DENGAN MENGGUNAKAN RUMUSAN “DITARIK
KEMBALI DAN DINYATAKAN TIDAK BERLAKU”.
7. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ATAU KETENTUAN YANG TELAH
DICABUT, TETAP TIDAK BERLAKU, MESKIPUN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG MENCABUT DI KEMUDIAN HARI DICABUT PULA.

D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DILAKUKAN DENGAN: (A)
MENYISIP ATAU MENAMBAH MATERI KE DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN; ATAU (B) MENGHAPUS ATAU MENGGANTI SEBAGIAN MATERI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
2. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAPAT DILAKUKAN
TERHADAP: (A) SELURUH ATAU SEBAGIAN BUKU, BAB, BAGIAN, PARAGRAF,
PASAL, DAN/ATAU AYAT; ATAU (B) KATA, FRASA, ISTILAH, KALIMAT, ANGKA,
DAN/ATAU TANDA BACA.
3. JIKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIUBAH MEMPUNYAI NAMA
SINGKAT, PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERUBAHAN DAPAT MENGGU-
NAKAN NAMA SINGKAT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIUBAH.
4. PADA DASARNYA BATANG TUBUH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PERUBAHAN TERDIRI ATAS 2 (DUA) PASAL YANG DITULIS DENGAN ANGKA
ROMAWI YAITU SEBAGAI BERIKUT:
53
 Lanjutan …..

D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

4. …. SEBAGAI BERIKUT:
a. PASAL I MEMUAT JUDUL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
DIUBAH. JIKA MATERI PERUBAHAN LEBIH DARI SATU, SETIAP MATERI
PERUBAHAN DIRINCI DENGAN MENGGUNAKAN ANGKA ARAB (1, 2, 3, DAN
SETERUSNYA).
b. PASAL II MEMUAT KETENTUAN TENTANG SAAT MULAI BERLAKU. DALAM HAL
TERTENTU, PASAL II JUGA DAPAT MEMUAT KETENTUAN PERALIHAN DARI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERUBAHAN, YANG MAKSUDNYA
BERBEDA DENGAN KETENTUAN PERALIHAN DARI PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN YANG DIUBAH.
5. JIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DITAMBAHKAN ATAU
DISISIPKAN BAB, BAGIAN, PARAGRAF, ATAU PASAL BARU, MAKA BAB, BAGIAN,
PARAGRAF, ATAU PASAL BARU TERSEBUT DICANTUMKAN PADA TEMPAT YANG
SESUAI DENGAN MATERI YANG BERSANGKUTAN.
6. JIKA DALAM 1 (SATU) PASAL YANG TERDIRI DARI BEBERAPA AYAT DISISIPKAN
AYAT BARU, PENULISAN AYAT BARU TERSEBUT DIAWALI DENGAN ANGKA ARAB
SESUAI DENGAN ANGKA AYAT YANG DISISIPKAN DAN DITAMBAH DENGAN
HURUF KECIL a, b, c, YANG DILETAKKAN DI ANTARA TANDA BACA KURUNG( ).
7. JIKA DALAM SUATU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DILAKUKAN
PENGHAPUSAN ATAS SUATU BAB, BAGIAN, PARAGRAF, PASAL, ATAU AYAT,
MAKA URUTAN BAB, BAGIAN, PARAGRAF, PASAL, ATAU AYAT TERSEBUT TETAP
DICANTUMKAN DENGAN DIBERI KETERANGAN DIHAPUS.
54
 Lanjutan …..

D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

8. JIKA SUATU PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MENGAKIBATKAN:
a. SISTEMATIKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERUBAH;
b. MATERI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERUBAH LEBIH DARI 50%
(LIMA PULUH PERSEN); ATAU
c. ESENSINYA BERUBAH,
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIUBAH TERSEBUT LEBIH BAIK
DICABUT DAN DISUSUN KEMBALI DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG BARU MENGENAI MASALAH TERSEBUT.
9. JIKA SUATU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TELAH SERING MENGALAMI
PERUBAHAN SEHINGGA MENYULITKAN PENGGUNA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN, SEBAIKNYA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERSEBUT
DISUSUN KEMBALI DALAM NASKAH SESUAI DENGAN PERUBAHAN YANG
TELAH DILAKUKAN, DENGAN MENGADAKAN PENYESUAIAN PADA:
a. URUTAN BAB, BAGIAN, PARAGRAF, PASAL, AYAT, ANGKA, ATAU BUTIR;
b. PENYEBUTAN-PENYEBUTAN; DAN
c. EJAAN, JIKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIUBAH MASIH
TERTULIS DALAM EJAAN LAMA.

55
 Lanjutan …..

E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

MENJADI UNDANG-UNDANG
1. BATANG TUBUH UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) MENJADI UNDANG-
UNDANG, PADA DASARNYA TERDIRI DARI 2 (DUA) PASAL, YANG DITULIS
DENGAN ANGKA ARAB, YAITU SEBAGAI BERIKUT:
a. PASAL 1 MEMUAT PENETAPAN PERPU MENJADI UNDANG-UNDANG YANG
DIIKUTI DENGAN PERNYATAAN MELAMPIRKAN PERPU SEBAGAI BAGIAN
YANG TIDAK TERPISAHKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN
TERSEBUT.
b. PASAL 2 MEMUAT KETENTUAN MENGENAI SAAT MULAI BERLAKU.
Contoh: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan
menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

56
 Lanjutan …..

F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

1. BATANG TUBUH UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL PADA DASARNYA TERDIRI ATAS 2 (DUA) PASAL YANG DITULIS
DENGAN ANGKA ARAB, YAITU SEBAGAI BERIKUT:
a. PASAL 1 MEMUAT PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN
MEMUAT PERNYATAAN MELAMPIRKAN SALINAN NASKAH ASLI DAN
TERJEMAHANNYA DALAM BAHASA INDONESIA.
b. PASAL 2 MEMUAT KETENTUAN MENGENAI SAAT MULAI BERLAKU.
Contoh untuk perjanjian multilateral:
Pasal 1
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling
and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran
Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta
Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
2. CARA PENULISAN RUMUSAN PASAL 1 BAGI PENGESAHAN PERJANJIAN ATAU
PERSETUJUAN INTERNASIONAL YANG DILAKUKAN DENGAN UNDANG-UNDANG
BERLAKU JUGA BAGI PENGESAHAN PERJANJIAN ATAU PERSETUJUAN
INTERNASIONAL YANG DILAKUKAN DENGAN PERATURAN PRESIDEN.

57
IX. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ADALAH PEMBUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENCAKUP TAHAPAN PERENCANAAN,
PENYUSUNAN, PEMBAHASAN, PENGESAHAN ATAU PENETAPAN, DAN
PENGUNDANGAN (PASAL 1 ANGKA 1 UU. NO. 12 TAHUN 2011).
 FOKUS PEMBAHASAN PADA PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG,
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG, PERATURAN
PEMERINTAH, PERATURAN PRESIDEN, DAN PERATURAN DAERAH.
A. PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
1. PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG:
a. Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) (Pasal 16 UU No. 12 Tahun 2011).
b. Prolegnas:
1) Merupakan Instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang
yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
2) Berisi skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka
mewujudkan sistem hukum nasional.
3) Disusun secara terpadu antara DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh
DPR melalui alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi.
4) Penyusunan Prolegnas didasarkan atas: (1) perintah UUD 1945; (2) perintah
Ketetapan MPR; (3) perintah undang-undang lainnya; (4) sistem perencanaan
pembangunan nasional; (5) RPJPN; (6) RPJMN; (7) RKP dan Renstra DPR; dan
(8) aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
5) Memuat program pembentukan UU dengan judul RUU, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
58
 Lanjutan …..
A. PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
1. PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG:
b. Prolegnas:
6) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan
lainnya merupakan keterangan mengenai konsepsi RUU, yang meliputi: (1) latar
belakang dan tujuan penyusunan; (2) sasaran yang ingin diwujudkan; dan (3)
jangkauan dan arah pengaturan.
7) Materi yang diatur tersebut yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan
dituangkan dalam Naskah Akademik.
f. Perencanaan penyusunan RUU meliputi kegiatan: (1) penyusunan naskah
akademik; (2) penyusunan Prolegnas jangka menengah; (3) penyusunan Prolegnas
prioritas tahunan; (4) perencanaan penyusunan RUU kumulatif terbuka; dan (5)
perencanaan penyusunan RUU di luar Prolegnas (Pasal 3 Perpres Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011)
g. Naskah Akademik:
1) Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu RUU, Rancangan Perda Provinsi, atau Rancangan Perda Kab/Kota
sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
2) Teknik penyusunan Naskah Akademik, tercantum dalam Lampiran I UU. Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
h. Untuk perencanaan penyusunan RUU Kumulatif Terbuka, dalam Prolegnas dimuat
daftar kumulatif terbuka, meliputi: (1) pengesahan perjanjian internasional
tertentu; (2) akibat putusan MK; (3) APBN; (4) pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan (5)
penetapan/pencabutan Perppu.
59
 Lanjutan …..

A. PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

1. PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG:
i. Tata Cara Perencanaan Penyusunan Rancangan Undang-Undang di luar
Prolegnas, yakni: (1) Dalam keadaan tertentu, Pemrakarsa dapat mengajukan usul
Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas; (2) Keadaan tertentu mencakup: (a)
untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan bencana alam; dan/atau
(b) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan Menteri.
Contoh: UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang
2. PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG:
a. Sesuai ketentuan UUD 1945, RUU dapat berasal dari Presiden (Pasal 5 ayat 1), DPR
(Pasal 20 ayat 1), anggota DPR (Pasal 21), atau DPD (Pasal 22D ayat 1). RUU yang
diajukan kepada DPR harus disertai naskah akademik (NA).
b. Kewajiban menyertakan NA tidak berlaku bagi RUU tentang: APBN; penetapan
Perppu; atau pencabutan UU atau pencabutan Perppu. Namun RUU tsb harus
disertai dgn keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yg diatur.
c. RUU, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden atau yang diajukan DPD
kepada DPR, disusun berdasarkan Prolegnas.
d. Khusus untuk RUU yang diajukan oleh DPD hanyalah RUU yang berkaitan dengan:
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
60
 Lanjutan …..
A. PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
2. PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG:
e. Penyusunan RUU usul inisiatif pemerintah atau berasal dari Presiden, disusun
oleh Kementerian/Lembaga sebagai Pemrakarsa RUU tersebut.
f. Pemrakarsa membentuk Panitia Antarkementerian dan/atau Antarnonkementerian
untuk menyusunan RUU. Pemrakarsa dapat mengikutsertakan ahli hukum,
praktisi, atau akademisi yang menguasai permasalahan yang berkaitan dengan
materi RUU.
g. RUU yang telah disusun dan disetujui Panitia dan para Pakar/Praktisi, diajukan
oleh Pemrakarsa kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tersebut.
h. Menteri Hukum dan HAM menyampaikan kepada Pemrakarsa hasil
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi untuk disampaikan
kepada Presiden.
i. Presiden mengajukan RUU tersebut kepada DPR untuk dilakukan pembahasan
bersama antara DPR dan Pemerintah.
j. Presiden menugaskan Menteri Pemrakarsa, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri
terkait untuk mewakili Pemerintah dalam Pembahasan RUU dengan DPR.
3. PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG:
a. Pembahasan RUU dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan, yakni: (1) Pembica-
raan Tingkat I dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan
Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus; dan (2) Pembicaraan
Tingkat II dalam Rapat Paripurna.
b. Pembicaraan Tingkat-I, dengan kegiatan sebagai berikut:
1) Pengantar Musyawarah:
a) DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika
RUU berasal dari DPR; 61
 Lanjutan …..
A. PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
3. PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG:
b) DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan
pandangan jika RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari
DPR;
c) Presiden memberikan penjelasan dan fraksi DPR memberikan pandangan
jika RUU berasal dari Presiden; atau
d) Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan
pandangan jika RUU yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari
Presiden.
2) Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
a) DIM diajukan oleh Presiden jika RUU berasal dari DPR; atau
b) DIM diajukan DPR jika RUU berasal dari Presiden dengan mempertim-
bangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD.
c) Pembahasan DIM dilakukan secara komprehensif, dengan melibatkan ahli
substansi dan ahli Bahasa. Berlangsung lama sesuai kompleksitas masalah.
3) Penyampaian Pendapat Mini:
Disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh fraksi DPR; DPD (jika RUU
berkaitan dengan kewenangan DPD), dan Presiden.
c. Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna:
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
dengan kegiatan: (1) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini
fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; (2) pernyataan
persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang
diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan (3) penyampaian pendapat akhir
Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
62
 Lanjutan …..
A. PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
4. PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG:
a. Prosedur Pengesahan RUU:
1) RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
2) Penyampaian RUU tsb dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3) RUU yang disampaikan Pimpinan DPR tsb dituangkan dalam bentuk Naskah
RUU guna disahkan oleh Presiden.
4) Naskah RUU tsb disahkan oleh Presiden untuk menjadi Undang-Undang
dengan membubuhkan tanda tangan.
5) Penandatanganan oleh Presiden dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal RUU tsb disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
6) Naskah Undang-Undang yang telah disahkan oleh Presiden, dibubuhi nomor
dan tahun oleh Menteri Sekretaris Negara.
7) Naskah Undang-Undang yang telah dibubuhi nomor dan tahun tsb disampaikan
oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Hukum dan HAM untuk
diundangkan.
b. Dalam hal RUU tsb tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal RUU tsb disetujui bersama, RUU
tsb sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
5. PENGUNDANGAN UNDANG-UNDANG:
a. Menteri Hukum dan HAM mengundangkan Undang-Undang dengan menempat-
kannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
b. Penjelasan Undang-Undang ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara RI.
63
TERIMA KASIH

S U M AT E R A
K A L IM A N TA N

IR IA N J AYA

J AVA

64
 Lanjutan …..

1. KONSEP NEGARA HUKUM DAN HAKIKAT PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN.
2. KONSEP, JENIS, DAN SIFAT NORMA HUKUM.
3. ASAS PEMBENTUKAAN DAN ASAS MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN.
4. JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
5. KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN.
6. KERANGKA DAN BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN (JUDUL; PEMBUKAAN; BATANG TUBUH; PENUTUP;
POKOK PENJELASAN; LAMPIRAN).
BAHAS- 7. HAL-HAL KHUSUS DALAM MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN (PENDELEGASIAN KEWENANGAN;
AN
PENYIDIKAN; PENCABUTAN; PERUBAHAN; PENETAPAN PERPPU
MENJADI UU; PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL);
8. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN-
UNDANGAN: (a) PERENCANAAN; DAN (b) PENYUSUNAN.
9. TAHAPAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGAN-
UNDANGAN: (c) PEMBAHASAN; (d) PENGESAHAN ATAU
PENETAPAN; DAN (e) PENGUNDANGAN.
10. PARTISIPASI MASYARAKAT DAN PENYEBARLUASAN MATERI
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN.
11. PRASYARAT KEMAMPUAN PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN: KONSEPTUAL DAN BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN.
12. PRAKTEK PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG.
65