Anda di halaman 1dari 3

Kelompok 8 DKV B

- Ari Fitrah Ardiyansyah 2109388


- Khaerunissa Hendraswari 2100841
- Nia Kurniasih 2104700
- Sarah Azzahra Fauziah 2106877
- Tantri Oktaviani 2106847

Tugas Kelompok Pertemuan 12

● Hambatan jalan menuju kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan
kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh
kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika
suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas
yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun
apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang
demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh
dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial
(‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang
dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal
berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung
dan yang dilindungi.
● "Bangsa-bangsa yang kalah (al-maghlub) biasanya akan meniru kebudayaan dan adat
kebiasaan bangsa-bangsa lain yang menaklukkan mereka (al-ghalib)" Dalam materi
desain dan gaya hidup, gaya hidup masyarakat Indonesia sejak masa kolonial cenderung
mengarah pada budaya eropa, kedudukan bangsa Eropa dianggap lebih tinggi karena
dalam hal ini bangsa Indonesia dalam kondisi "dijajah" oleh bangsa Eropa, sehingga
terjadi pergeseran budaya yaitu gaya hidup di masa kolonial banyak dipengaruhi budaya
Eropa. Contohnya dari segi pakaian, pada masa kolonial, pakaian menjadi penanda sosial
seseorang dan kerap terjadi diskriminasi dari pakaian yang dikenakan tersebut, bahkan
terdapat sebagian pihak yang menganggap bahwa mengenakan pakaian tradisional
dianggap merendahkan diri, sedangkan mengenakan pakaian ala Eropa dianggap
meninggikan derajat sosial. Hal tersebut juga sejalan dengan pemikiran Ibnu Khaldun
berikut "Bahwa mereka yang kalah selalu 'tergila-gila' untuk meniru mereka yang
menang; menyangkut ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, beserta segala bentuk
kebiasaan dan adat mereka". Gaya hidup masyarakat Indonesia dari masa ke masa pun
turut dipengaruhi budaya Barat bahkan hingga saat ini, sama halnya dalam segi mazhab
pemikiran, teori dan pemikiran yang diadopsi dalam pendidikan Indonesia didominasi
oleh pemikiran Barat.
● Jiwa al-nafs bangsa-bangsa yang ditaklukkan biasanya cenderung memandang
bahwa bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki kesempurnaan yang
sifatnya “alamiah.”
Selain bangsa yang ditaklukan (Indonesia) berpandangan seperti itu, bangsa penjajahnya
itu sendiri (Belanda) jutsru memandang rendah kebudayaan Indonesia serta menyebarkan
‘mitos’ kolonial bahwa kebudayaan jawa adalah primitif, sebagaimana yang dijelaskan
dalam materi desain dan gaya hidup tentang kebudayaan spiritual yang juga ikut tertular
kebudayaan Eropa. Gaya hidup adaptif akhirnya berkembang karena upaya
menyesuaikan diri dengan kebutuhan modernisasi.
● Dalam level penundukkan “Fisik” yang biasanya melibatkan kekerasan, entah
melalui perang atau agresi. Penundukkan fisik ini bila tercapai akan menjadi
penyelubung penundukkan mental nantinya. Kenapa fisik terlebih dahulu yang harus
ditaklukkan karena ini untuk menindas langsung bahwa bangsa yang ditaklukan tersebut
bangsa yang lemah dan tidak memiliki kekuatan. Oleh sebab itu setelah fisik dikalahkan
maka berlanjut ke mental. Secara natural bangsa yang kalah akan meniru bangsa yang
menang karena mereka memandang bangsa-bangsa yang menaklukkan mereka memiliki
kesempurnaan. Sehingga gaya hidup mereka tergila-gila untuk meniru bangsa yang
menaklukkan. Peniruan yang dilakukan berlangsung dari berbagai aspek menyangkut
ciri-ciri fisik, pakaian, pemikiran, kebiasaan dan lain-lain.
● Dalam level penundukkan ‘mental’, bangsa yang ditundukkan memiliki anggapan
bahwa bangsa yang menang memiliki “keunggulan” secara alami atas mereka
karena bagi mereka terdapat nilai-nilai buruk dari sikap budaya ‘meremehkan mutu’ yang
disebabkan oleh :
1. Keterbatasan perolehan pendidikan dan terbatasnya wawasan akan penciptaan suatu
produk
2. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomis yang besar
3. Lemah dalam penguasaan teknologi
4. Adanya monopoli dan tiadanya atmosfer persaingan
5. Sikap dan mentalitas etnis yang mudah menerima suatu produk ‘apa adanya’
6. Tidak memiliki rujukan ataupun peraturan yang berhubungan dengan standar mutu
yang dijalankan secara konsisten
Selain itu juga terdapat ‘ciri utama’ manusia Indonesia setelah menginjak periode
pembangunan, yaitu sifat ‘hipokrit’ (Muchtar Lubis), bersikap ‘menerabas’
(Kuntjoroningrat) dan berjiwa ‘artistik’ (Sutan Takdir).
• Profesionalisme dalam desain adalah masalah kecakapan, yang mana berarti
dalam sebuah desain yang mencakup berbagai aspek, bisa terdapat aspek-aspek tertentu
yang lebih menonjol. Seperti dalam pandangan Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa
kecakapan itu dianalogikan sebagai gabungan warna dalam kanvas, di mana satu warna
akan tampak lebih menonjol dibanding warna lainnya, maka hal ini pula berlaku pada
produk desain, contohnya kursi yang memiliki desain sederhana lebih mengedepankan
aspek fungsi.

Anda mungkin juga menyukai