Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Susun

2.1.1 Definisi Rumah Susun

 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI), rumah susun adalah gedung
atau bangunan bertingkat terbagi atas beberapa tempat tinggal (masing-
masing untuk satu keluarga).
 Menurut UU No. 20 Tahun 2011, rumah susun adalah bangunan Gedung
bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian
bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan satuan yang masing masing dapat
dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian Bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

2.1.2 Jenis Jenis Rumah Susun


Menurut UU No 20 Tahun 2011, jenis – jenis rumah susun, antara lain:
 Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
 Rumah susun khusus adalah rumah sususn yang diselenggarakan untuk
memenuhi kebutuhan khusus.
 Rumah susun Negara adalah rumah susun yang dimiliki Negara dan berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta
penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
 Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk
mendapatkan keuntungan.

2.1.3 Kriteria Perencanaan


Kriteria perencanaan diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Bertingkat Tinggi:

7
8

 Unit hunian terdiri dari 1 ruang keluarga, 2 ruang tidur, 1 kamar mandi,
dan ruan servis (dapur dan cuci)
 Setiap 3 lantai pada bangunan rusun tingkat tinggi harus disediakan ruang
Bersama sebagai fasilitas sosial antar penghuni.
 Lebar dan tinggi anak tangga harus diperhitungkan untuk kenyamanan
dan keselamatan dengan minimum lebar 110 cm.
 Railing balkon dan selasar harus mempertimbangkan faktor esteteika dan
juga keselamatan agar tidak terkesan kaku.
 Plafond memanfaatkan struktur pelat lantai tanpa penutup (exposed).
 Penggunaan lift direncanakan untuk rusun dengan jumlah lantai 6 keatas.

2.1.4 Skema Hubungan Ruang Unit Rusun


Skema hubungan antar ruang dalam unit Rumah Susun menurut Dinas
Tata Kota DKI Jakarta tahun 1998:

Gambar 2.1 Skema Hubungan Ruang Unit Rusun


Sumber: Dinas Tata Kota DKI Jakarta

2.1.5 Bagian dan Benda Bersama


1. Bagian Bersama
9

Bagian bersama merupakan bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah
untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun
dan dapat berupa ruang untuk umum, struktur dan komponen kelengkapan rumah
susun, prasarana lingkungan dan fasilitas lingkungan yang menyatu dengan
bangunan rumah susun.
 Ruang untuk umum sebagaimana dimaksud diatas dapat berupa: (1) ruang
umum, (2) koridor, (3) selasar dan (4) ruang tangga yang harus disediakan
bagi rumah susun.
 Ruang umum sebagaimana dimaksud diatas, dapat berfungsi sebagai ruang
tunggu, ruang tamu atau ruang lain yang harus disediakan bagi rumah susun
terutama yang terdiri dari satuan rumah susun tipe kecil atau lebih dari 5
(lima) lantai atau sekurang-kurangnya terdiri dari 15 (lima belas) satuan
rumah susun.
 Koridor sebagaimana dimaksud diatas, dapat berfungsi sebagai ruang
penghubung antara dua sisi satuan rumah susun, harus mempunyai ukuran
lebar sekurang-kurangnya 180 (serratus delapan puluh) centimeter.
 Selasar sebagaimana dimaksud diatas, dapat berfungsi sebagai ruang
penghubung untuk satu sisi satuan rumah susun harus mempunyai ukuran
lebar sekurang-kurangnya 150 (seratus lima puluh) centimeter.
 Ruang tangga sebagaimana dimaksud dalam diatas, untuk rumah susun terdiri
dari 8 (delapan) lantai atau lebih dari 40 (empat puluh) meter harus
disediakan pintu tahan api ke arah atap.

2. Benda Bersama
Benda bersama merupakan benda yang terletak di atas tanah Bersama di luar
bangunan rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama
dalan kesatuan fungsi dengan rumah susun dan dapat berupa prasarana lingkungan
dan fasilitas lingkungan. Kesatuan fungsi sebagaimana dimaksud diatas, merupakan
kesatuan pelayanan yang merata untuk seluruh bangunan rumah susun guna
menjamin kemudahan pencapaian, kenikmatan dan keamanan lingkungan rumah
susun.

2.1.6 Fasilitas Lingkungan Rumah Susun


10

Fasilitas lingkungan rumah susun harus memenuhi persyaratan sebagai


berikut menurut Standar Nasional Indonesia antara lain:
1. Memberi rasa aman, ketenangan hidup, kenyamanan dan sesuai dengan
budaya setempat.
2. Menumbuhkan rasa memiliki dan merubah kebiasaan yang tidak sesuai
dengan gaya hidup di rumah susun.
3. Mengurangi kecenderungan untuk memanfaatkan atau menggunakan fasilitas
lingkungan bagi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
4. Menunjang fungsi-fungsi aktivitas penghuni yang paling pokok bagi dan segi
besaran maupun jeni sesuai dengan keadaan lingkungan yang ada.
5. Menampung fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penyelenggaraan dan
pengembangan aspek-aspek ekonomi dan sosial budaya.
Selain itu, fasilitas lingkungan yang ditempatkan pada lantai bangunan rumah
susun hunian harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Maksimal 30% dari jumlah luas lantai bangunan
2. Tidak ditempatkan lebih dari lantai 3 bangunan rumah susun hunian.
Lingkungan rumah susun harus dilengkapi dengan fasilitas lingkungan yang
dapat berupa ruang atau bangunan. Klasifikasi jenis fasilitas lingkungan rumah susun
antara lain: Tabel 2.1 Fasilitas Lingkungan Rumah Susun
Jenis Fasilitas
No Definisi Fasilitas yang tersedia
Lingkungan
Sarana penunjang untuk
penyelengaraan dan Warung, toko kelontong,
1 Fasilitas niaga
pengembangan kehidupan dll
ekonomi
Fasilitas untuk siswa
Ruang belajar,
2 Fasilitas pendidikan mengembangkan keterampilan
perpustakaan kecil, dll
dan sikap secara optimal.
Fasilitas yang menunjang Posyandu, klinik, apotek,
3 Fasilitas kesehatan
kesehatan penduduk dll
Fasilitan yang digunakan
4 Fasilitan peribadatan untuk menampung segala Mushola, masjid kecil, dll
aktivitas peribadatan
Fasilitas yang dapat Kantor RT/RW, pos
Fasilitas pelayanan
5 dipergunakan untuk hansip, ruang serbaguna,
umum
kepentingan pelayanan umum kotak surat,dll
10

Setiap macam ruang dan


Taman bermain,
6 Ruang terbuka penggunaan ruang diluar
Lapangan olahraga,dll
bangunan
Sumber: Standar Nasional Indonesia (2003)
11

2.2 Persyaratan Teknis Rumah Susun


2.2.1 Arsitektur Bangunan Gedung
Menurut Peraturan Menteri PU No: 05/PRT/M/2007, bentuk arsitektur rusun
sebaiknya:
 Bentuk denah bangunan rusung tingkat tinggi sedapat mungkin berbentuk
simetris dan sederhana, untuk mengantisipasi kerusakan akibat gempa.
 Dalam hal denah berbentuk T, L, U atau Panjang lebih dari 50 m, maka
harus ada dilatasi struktur untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat
gempa atau penurunan tanah

2.2.2 Alat Transportasi Vertikal


1. Tangga memiliki persyaratan sebagai berikut:
 Minimal lebar tangga 120 cm
 Minimal lebar bodres 120 cm
 Minimal lebar injakan anak tangga 22,5 cm
 Railling dengan ketinggian minimal 110 cm
2. Tangga harus digunakan pada bangunan sampai lantai 5, dan untuk
bangunan rusun lebih dari 5 lantai harus dilengkapi dengan lift
3. Lift yang disediakan untuk penumpang juga dapat perfungsi sebagai lift
barang dan harus disediakan minimal 1 lift kebakaran

2.2.3 Proteksi Kebakaran


Menurut Permen PU Nomor 60 pasal 19 dan 21:
1. Proteksi Kebakaran Aktif
 Alat pemadam kebakaran berupa sprinkler yang berfungsi secara
otomatis, hydrant gedung, pemadam api ringan dan hydrant halaman yang
berfungsi secara manual yang dilengkapi dengan peralatan lainnya sesuai
dengan kebutuhan dan ketentuan yang berlaku.
 Alat pemadam kebakaran harus disediakan untuk rumah susun lebih dari
5 lantai
2. Proteksi Kebakaran Pasif
 Pintu dan tangga darurat meliputi ruang tangga dan dilengkapi dengan
tanda tanda pengarah.
12

 Pintu dan tangga darurat kebakaran ada pada setiap lantai dengan jarak 25
m, harus disediakan sekurang kurangnya 2 buah.
 Pintu darurat kebakaran harus diletakan ditempat yang mudah dicapai dan
dapat dipergunakan untuk mengeluarkan penghuni selambat lambatnya
2,5 menit, sesuai dengan ketentuan yang ada.
 Pintu darurat kebakaran harus terbuat dari bahan yang tidak mudah
terbakar dengan lebar minimal 100 cm dan tinggi 210 cm, menutup
sendiri secara mekanis dan membuka ke arah tangga pada setiap lantai
dan ke arah luar pada lantai dasar
 Tangga darurat harus memiliki lebar minimal 110 cm, tinggi injakan anak
tangga maksimal 17,5 cm, lebar injakan minimal 22,5 cm, dan tidak boleh
berbentuk tangga pulir

2.3 Arsitektur Bioklimatik


Arsitektur Bioklimatik merupakan salah satu cabang ilmu dari Arsitektur
Ekologis (Lingkungan) menurut Heinz Frick. Prinsip yang pada arsitektur
lingkungan ini adalah cara yang digunakan, strategi yang ditempuh, untuk
merancang kawasan maupun bangunan, yang merespon iklim pada tapak, skala iklim
makro, mauppun iklim mikro. Selain itu, arsitektur lingkungan juga merespon cara
untuk mencapai kenyamanan thermal yang diharapkan dinikmati oleh pengguna pada
bangunan. Arsitektur bioklimatik adalah pendekatan sinergis untuk desain
arsitektural terhadap iklim, yang mengintegrasikan ilmu psikologi manusia,
klimatologi dan integrasi ilmu fisika bangunan pada arsitektur regional (Krisdianto,
Abadi, & Ekomadyo, 2011, p.23). Disebutkan juga dalam (CRES, 2017) dalam
(Petros, 2018, p. 3), arsitektur bioklomatik merujuk pada desain dari bangunan dan
ruang (ruang dalam, ruang luar, dan lingkungan buatan) yang didasarkan iklim lokal
dan bertujuan untuk menyediakan kenyamanan thermal dan kenyamanan visual,
dengan menggunakan energi matahari dan sumber alami lainnya

2.3.1 Penerapan Bioklimatik

Dewi dan Mochtar (Zr & Mochtar, 2013) menjelaskan bahwa


pendekatan bioklimatik lebih cenderung untuk menerapkan desain pasif
(passive design). Penghematan energi berasal dari penggunaan pencahayaan
alami dan udara secara pasif, tanpa konversi panas dan udara menjadi sumber
13

energi elektrik. Beberapa cara menerapkan sistem pasif pada desain


bioklimatik (Sharma dalam Zr & Mochtar, 2013) antara lain:
 Pemahaman tentang iklim dan zona iklim
 Identifikasi terhadap zona nyaman
 Identifikasi sumber panas
 Mengoptimalkan kondisi iklim mikro
 Menentukan konfigurasi massa bangunan dan kulit bangunan yang
diperlukan.
Berdasarkan Kenneth Yeang (1994) kriteria umum desain arsitektur
bioklimatik adalah :

1. Penempatan core : bukan hanya sebagai struktur tetapi juga mempengaruhi


kenyamanan termal
2. Menentukan orientasi : meletakkan luas permukaan bangunan terkecil
menghadap timur-barat
3. Penempatan bukaan jendela : kontrol perolehan panas dan penggunaan ventilasi
silang
4. Penggunaan balkon : dapat dijadikan pembayang sinar yang alami apabila
ditanami tanaman gantung
5. Membuat ruang transisional : ruang perantara antara ruang dalam dan ruang luar
bangunan
6. Desain pada dinding : penggunaan membran yang menghubungkan bangunan
dengan lingkungan yang dapat dijadikan kulit pelindung.
7. Hubungan terhadap lansekap : mengintegrasikan antara elemen biotik tanaman
dengan elemen abiotik bangunan
8. Menggunakan alat pembayang pasif : pembiasan sinar matahari pada dinding
yang menghadap matahari secara langsung
9. Penyekat panas pada lantai : isolator panas yang baik pada kulit bangunan dapat
mengurangi pertukaran panas yang terik dengan udara dingin dari dalam
bangunan

Dalam jurnalnya, Dewi dan Sahid, merangkum beberapa analisa yang dibutuhkan
untuk mendesain bangunan berlantai banyak pada daerah tropis, antara lain:
13

 Komposisi massa (pengaturan zona dan pengaturan perletakan inti bangunan)


yang akan mempengaruhi kenyamanan visual dan termal
14

 Orientasi bangunan, yang berpengaruh terhadap antisipasi radiasi panas yang


tinggi
 Penggunaan ventilasi alami, yang akan mempengaruhi kenyamanan termal
dan kekakuan bangunan

2.3.2 Pencahayaan dan Penghawaan Alami


Pendekatan bioklimatik lebih cenderung untuk menerapkan desain pasif,
yaitu dengan pemanfaatan pencahayaan dan penghawaan alami.
A. Pencahayaan Alami
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam pencahayaan alami:
 Orientasi bangunan, faktor yang diperlukan dalam orientasi bangunan
adalah (1) arah datangnya sinar matahari sehingga dapat mengatahui
area bangunan mana saja yang terkena cahaya berlebih, (2)
disesuaikan dengan orientasi fungsi bangunan terhadap ruang ruang
tertentu, (3) faktor Kesehatan.
 Bentuk massa, beberapa prinsip bentuk massa untuk memaksimalkan
pencahayaan alami:
1. Bentuk yang ramping
Bentuk yang ideal untuk memasukan cahaya alami pada 2 sisi dengan
bentuk I, L, T, U, dan sebagainya namun juga perlu
mempertimbangkan faktor pembayangan, jangan sampai bayangan
yang terjadi dari suatu sisi bangunan menjadi penghalang masuknya
sinar matahari
2. Atrium, membuat ruang terbuka pada dalam bangunan sehingga
terciptanya akses bagi masuknya cahaya alami.
3. Bentuk dan besarnya bukaan seperti jendela
 Rasio bukaan
Rasio bukaan jendela sebagaimana diatur dalam pedoman teknis
rumah sederhana sehat adalah:
1. Lubang bukaan untuk penghawaan alami minimal 5% dari luas
lantai
2. Lubang bukaan untuk pencahayaan alami minimal 10% dari luas
lantai
14

B. Penghawaan Alami
15

Menurut Givoni (1976), Lechner (1991) dan Moore (1993), ada beberapa
faktor yang akan berpengaruh terhadap proses pertukaran udara secara alamiah yang
terjadi pada suatu ruangan atau bangunan, Faktor-faktor tersebut adalah arah dan
kecepatan angin di luar bangunan, suhu, dan kelembaban udara di dalam dan di luar
bangunan, spesifikasi lubang ventilasi (posisi inlet dan outlet, dimensi dan bentuk
serta feature penunjang) atau yang lebih sering dikenal dengan ACH (Air Change
per Hour). Berikut rumus ACH berdasarkan buku Prasasto Satwiko. (2009). Fisika
Bangunan. 2nd Edition. AY. Yogyakarta. ISBN: 9789792907346 .

N = 3600 X Q/V

Dimana,
N = Jumlah ACH
Q = Aliran udara kedalam ruang (m3/s)
V = Volume ruang
Aliran udara kedalam ruang (Q) yang dihitung dengan satuan m3/s diperoleh dengan
rumus:
Q = 0,025 x A x v

Dimana,
A = Luas bukaan (m2)
V = Kecepatan angin pada bukaan (m/s)

2.4 Studi Literatur


2.4.1 Konsep Arsitektur Hijau Sebagai Penerapan Hunian Susun di
Kawasan Segi Empat Tunjungan Surabaya
Latar belakang yang diangkat adalah bertambahnya penduduk karena
urbanisasi menyebabkan terjadinya kampung kampung kumuh di tengah kota
karena keterbatasan lahan dan mahalnya hunian sehingga kurangnya RTH
didalam kota sehingga perlu dibuatnya hunian vertikal agar terciptanya suatu
tatanan kota dan penduduk yang ideal, sehat, aman, serasi, dan teratur. Teori
yang dipakai adalah arsitektur hijau karena ramah lingkungan dan hemat
energi sehingga biaya operasional dapat ditekan, menjadikan bangunan yang
berkelanjutan, hunian yang sehat, dan juga merespon dengan iklim yang ada.
Solusi yang dipakai adalah strategi Landscaping dengan pembuatan
RTH pada rooftop dan juga di beberapa titik pada koridor. Pemanfaatan
16

pencahayaan dan penghawaan alami untuk menghemat energi dengan


penggunaan dinding roster sehinga cahaya dan udara dapat melewati dinding
yang ada.
2.4.2 Rumah Susun Sederhana Sewa di Kota Pontianak
Latar Belakang yang diangkat adalah banyaknya penduduk di kota
Pontianak dan terus bertambanyahnya MBR yang tidak mampu untuk
membeli rumah sehingga terciptanya kampung kumuh dan juga rumah ilegal
sehingga dibutuhkannya hunian sewa yang murah dan juga dapat menampung
banyak penduduk yang salah satu solusinya adalah rusunawa. Rusunawa
tersebut harus dapat memenuhi kebutuhan MBR yaitu kebutuhan segi sosial
dan juga kenyamanan tinggal agar MBR mau menempati rusunawa. Teori
yang digunakan adalah penerapan bioklimatik dan juga mengedepankan ruang
komunal untuk kenyaman tinggal MBR dan juga menghemat penggunaan
energi pada bangunan.
Solusi yang digunakan adalah mendesain dan membuat ruang
komunal, sirkulasi sesuai dengan analisis perilaku dan kebutuhan pengguna.
Pemanfaatan pasif desain sesuai dengan analisis tapak dan kondisi iklim
sekitar seperti orientasi bangunan penggunaan atrium,dll untuk mencapai
kenyamanan tinggal berupa thermal comfort.
2.4.3 Penerapan Arsitektur Hijau Pada Rusunawa Di Rawa Buaya,
Cengkareng
Latar belakang yang diangkat adalah banyaknya MBR di
Jakarta Barat membuat terbentuknya beberapa pemukiman kumuh yang salah
satunya berlokasi di Cengkareng. Sesuai dengan program pemerintah untuk
mengurangi pemukiman kumuh maka dibuatnya rusun sewa karena MBR
tidak memiliki kemampuan untuk membeli. Dengan adanya rusunawa,
penduduk di pemukiman kumuh dapat di relokasi ke rusun dan memiliki
kehidupan yang lebih nyaman dan sehat. Teori yang digunakan adalah
arsitektur hijau untuk meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan
alam maupun manusia dan dapat menghasilkan tempat hidup yang lebih baik
dan sehat dengan cara memanfaatkan sumber energi alam secara efisien
sesuai dengan iklim yang ada.
17

Solusi yang digunakan adalah pemanfaatan pencahayaan dan


penghawaan alami untuk menghemat energi dengan penggunaan dinding
roster sehinga cahaya dan udara dapat melewati dinding yang ada
2.4.4 Perancangan Rumah Susun Kaum Buruh Di Bitung (Pendekatan
Arsitektur Tropis)
Latar belakang yang diangkat adalah Bitung sebagai kota industry
memiliki banyak buruh dengan penghasilan rendah dan menetap disekitar
daerah industry namun tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk
membeli rumah yang layak sehingga terjadinya rumah illegal dan pemukiman
kumuh disekitar daerah industry. Teori yang dipakai adalah arsitektur
bioklimatik karena objek rancangan yaitu rumah susun bagi kaum buruh
cocok dengan tema ini karena lokasi objek adalah berada di Kota Bitung yang
merupakan daerah dekat pantai sehingga iklim tropis semakin kental disana,
kemudian untuk mengatasi masalah pendapatan buruh yang relatif rendah,
maka diperlukan hunian yang murah dengan mengopt imalkan kondisi alam
pada objek, seperti pencahayaan alami dan penghawaan alami.
Solusinya dengan bangunan didesain dengan bentuk yang ramping
agar udara yang melewati bangunan dengan cara ventilasi silang lebih efekt if
kemudian banyak terdapat bukaan baik itu jendela maupun penggunaan
dinding-dinding kerawang sehingga bisa menangkap cahaya namun bisa
menghindari terang langit yang menyilaukan.
2.4.5 Rumah Susun Sederhana dengan Penerapan Konsep Bioklimatik di
Kecamatan Sukun, Malang
Latar belakang yang diangkat adalah semakin berkurangnya
ketersedian lahan untuk hunian membuat harga tanah semakin mahal dan
banyak masyarakat yang membutuhkan rumah namun tidak memiliki
kemampuan untuk membeli rumah dengan kenaikan harga yang ada sehingga
MBR membuat rumah illegal dan juga pemukiman yang ada semakin terlihat
kumuh sehingga dibutuhkannya sebuah hunian vertical. Teori yang dipakai
adalah arsitektur bioklimatik sehingga dapat menciptakan hunian yang
merespon iklim dan menciptakan kenyaman thermal bagi penghuni.
Solusi yang dipakai adalah penerapan desain bioklimatik berupa
mendesain dengan analisis orientasi bangunan terhadap iklim sekitar, bentuk
massa, menggunakan bukaan dan shading device, penggunaan material yang
18

bersifat mengabsorsi radiasi matahari, dan penggunan vegetasi vertical untuk


menghalau radiasi matahari.
2.4.6 Kesimpulan Studi Literatur
Permasalah utama yang dihadapi dalam perancangan rumah susun
untuk MBR adalah bagaimana cara menekan biaya sewa ataupun biaya
operasional dan juga biaya pemeliharaan sehingga dibutuhkannya solusi
untuk membuat hunian yang merespon iklim dan menciptakan kenyaman
thermal sehingga meminimalisir penggunaan penghawaan buatan sehingga
biaya penggunaan energi dapat ditekan. Hal itu dapat dilakukan dengan
pendekatan arsitektur hijau yang memiliki beberapa turunan ilmu yang salah
satunya adalah arsitektur bioklimatik yang merespon iklim secara mikro.
Arsitektur bioklimatik memiliki beberapa penerapan dalam mendesain seperti
orientasi bangunan terhadap iklim, bentuk massa bangunan yang efisien dan
dapat memaksimalkan pemanfaatan energi alam tanpa mengkonversi energi
alam tersebut dan juga penggunaan material yang menahan radiasi panas
matahari.

2.5 Studi Precedent


2.5.1 Bondy – Social Housing

Gambar 2.2 Bondy – Social Housing


sumber: Archdaily

Arsitek : Guerin & Pedroza Architectes

Luas : 3.841 m2

Lokasi : Saint Denis, Perancis

Tahun : 2013
18

Rumah susun dengan konsep bioklimatik dengan pemanfaatan cross


19

over ventilation dan penggunaan second skin untuk pembayangan


yang dapat di geser untuk menyesuaikan keadaan dan cuaca yang ada
sehingga dalam bangunan tidak terlalu panas. Bangunan ini juga
menggunakan balkon yang ada sebagai pembayangan untuk ruangan yang
berada dibawahnya dan juga penataan masa bangunan sedemikian rupa
sehingga dapat terjadinya angin Lorong yang dapat mempercepat laju angin
untuk masuk kedalam bangunan.
2.5.2 Richardson Apartments

Gambar 2.3 Richardson Apartment


Sumber: Archdaily

Arsitek : David Baker + Patner

Luas : 6.077 m2

Lokasi : San Francisco, United States

Tahun : 2011

Rumah susun ini ditargetkan untuk parah tunawisma di sekitar San


Francisco. Rumah susun ini menggunakan shading dari kanopi di beberapa
sisi yang disesuaikan dengan orientasi bangunan untuk membuat bangunan
tidak terpapar sinar matahari secara langsung dan juga penggunaan atrium
pada tengah bangunan dan juga area koridor yang terbuka sehingga sirkulasi
udara alami dapat mencapai keseluruh bangunan dan menurunkan suhu
bangunan.

2.5.3 Nanjing Vertical Forest


20

Gambar 2.4 Nanjing Vertical Forest


Sumber: Archello

Arsitek : Stefano Boeri Architetti

Luas : 8.077 m2

Lokasi : Nanjing, China

Tahun : 2018

Apartemen ini didesain untuk merespon iklim yang ada di China dan
juga permasalah polusi sehingga menggunakan banyak vegetasi untuk
menghasilkan oksigen yang cukup dan baik bagi lingkungan sekitar dan juga
sebagai penyaring polusi yang akan masuk ke hunian. Apartemen ini juga
menggunakan konsep overstack atau balkon untuk membuat pembayangan
pada sisi bangunan sehingga radiasi matahari yang terkena bangunan dapat
diminimalisin dan membuat kenyaman thermal.

2.5.4 Kesimpulan Precedent

Dari precedent yang ada, fokus pembahasannya kepada penerapan


yang dipakai untuk merespon iklim sekitar dan didapati orientasi bangunan
dan juga sun shading merupakan komponen paling penting untuk merespon
iklim dan juga beberapa faktor lain yang mendukung seperti vegetasi,
pemilihan material, penggunaan atrium untuk cross ventilation, dan
sebagainya untuk mengurangi radiasi matahari dan memanfaatkan
penghawaan alami sehingga terciptanya kenyamanan thermal tanpa
penghawaan buatan.
21

2.6 Kerangka Berpikir


Latar Belakang
Pada kecamatan Pademangan terdapat beberapa rw kumuh
yang dihuni oleh MBR yang tidak mampu membeli rumah karena
tingginya harga tanah dan rumah sehingga mereka memilih untuk
bertempat tinggal di pemukiman kumuh yang harga atau biaya
sewanya murah, sehingga dibutuhkan hunian vertikal yang dapat
menampung warga yang ada dengan biaya sewa yang murah.
Salah satu cara agar biaya sewa murah adalah dengan
menekan biaya operasional seperti listrik, air, pemeliharaan
bangunan, dll. Menurut WWF, penggunaan AC merupakan
penyumbang pemakaian energi listrik terbesar sehingga untuk
mengurangi biaya operasional listrik adalah dengan meminimalisir
penggunaan AC pada hunian. Hal itu dapat tercapai bila bangunan
yang ada dapat memanfaatkan energi alami untuk kenyamanan
bertempat tinggal seperti pencahaayaan alami dan penghawaan
alami, sehingga dibutuhkannya bangunan yang merespon iklim agar
hal tersebut dapat tercapai.

Tujuan
Menyediakan hunian vertikal berupa rumah susun sewa untuk
masyarakan berpenghasilan rendah agar mempunyai rumah yang
layak huni dan juga murah dengan menekan biaya operasional

Studi Permasalahan Tinjauan Umum


Literatur, 1.Bagaimana merancang rusun dengan Rumah susun
Observasi penerapan prinsip bioklimatik?
2.Seberapa luas dan seperti apa bentuk Tinjauan Khusus
bukaan yang perlu dirancang pada unit Kenyaman thermal
hunian agar dapat memenuhi standar
kenyamanan thermal?

Analisa
 Analisa rumah susun berdasarkan Undang undang dan precedent
 Analisa bioklimatik berdasarkan precedent dan studi literatur dan
buku The Skyscraper Bioclimatically Considered (Ken Yeang
1996)

Kesimpulan
Hasil dan bahasan dari kesimpulan dari Skematik Desain
analisis permasalahan

PERANCANGAN
22

Anda mungkin juga menyukai