Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH TEORI HUKUM

TEORI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DAN


PENERAPANNYA DI INDONESIA

Nama: Putu George Matthew Simbolon, S.H.


NPM: 2206109545
Kelas: Hukum Perdagangan Internasional Khusus

UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2022

0
DAFTAR ISI

BAB I ............................................................................................................................2

PENDAHULUAN ........................................................................................................2

A. Latar Belakang ........................................................................................................... 2

B. Pertanyaan Hukum .................................................................................................... 3

BAB II ...........................................................................................................................4

TINJAUAN TEORITIS ..............................................................................................4

I. Teori Titik Pertalian Primer (TPP) .......................................................................... 4

II. Teori Titik Pertalian Sekunder (TPS) .................................................................. 5

III. Teori Status Personal: Prinsip Kewarganegaraan dan Prinsip Domisili ......... 6

IV. Teori Renvoi ........................................................................................................... 7

V. Teori Pilihan Hukum (Choice of Forum) dan Teori Pilihan Forum (Choice of
Law Theory) ...................................................................................................................... 10

VI. Teori Hak-Hak Yang Telah Diperoleh (Vested Rights) ................................... 12

VII. Teori Pemakaian Hukum Asing ......................................................................... 13

BAB III .......................................................................................................................19

PENERAPAN DARI TEORI HPI ...........................................................................19

I. Penerapan dari Teori Titik Pertalian di Indonesia ............................................... 19

II. Penerapan dari Teori Status Personal di Indonesia ......................................... 19

III. Penerapan dari Teori Renvoi (Tunggal) ............................................................ 20

IV. Penerapan dari Teori Pilihan Hukum dan Teori Pilihan Forum.................... 20

V. Penerapan dari Teori Hak-Hak yang Diperoleh (Vested Rights) ........................ 21

VI. Penerapan dari Teori Pemakaian Hukum Asing .............................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................25

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam menjelaskan bagaimana Hukum Perdata Internasional (HPI) diterapkan,
Hartono menyatakan bahwa kaidah hukum ini berlaku sebagai hasil dari adanya
peristiwa-peristiwa perdata dan hubungan hukum antara individu yang mengandung
unsur asing.1 Argent antara lain menjelaskan bahwa cabang hukum ini mengatur
hubungan hukum antar subjek hukum perdata yang bersifat lintas batas negara, dan
mengatur bagaimana negara mengatasi munculnya penerapan dari hukum perdata
intern dari berbagi negara yang dapat muncul sebagai akibat dari suatu hubungan
hukum.2 Sejalan dengan penjelasan ini, Yulia mengutip pandangan Chesire yang
menyatakan bahwa “HPI merupakan cabang hukum yang dapat bekerja apabila badan
pengadilan dihadapkan dengan gugatan yang mengandung unsur asing.”3
Sedangkan, dalam menjelaskan yang di maksud dengan Teori, Prakoso antara
lain menyatakan bahwa teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup tentang
suatu faktor dari suatu disiplin keilmuan.4 Lebih lanjut, penulis mengutip pandangan
Sidharta sebagaimana Prakoso jelaskan melalui pertanyaan berupa Teori Hukum
sebagai ilmu atau disiplin hukum yang memiliki objek telaah berupa analisis terhadap
suatu bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum.5
Kepustakaan teori hukum biasanya menyajikan penjelasan tentang teori hukum
berdasarkan latar belakang zaman teori tersebut sebagaimana digagaskan oleh yuris
yang hidup pada zaman tersebut. Namun, dalam makalah ini, penulis akan menyajikan

1
C. F. G. Sunaryati Hartono, Pokok Pokok Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Binacipta,
1995), hlm. 1.
2
Pierre d’ Argent, International Law Textbook: Introducting Course, (Louvain: UC Louvain
dan edX, 2021), hlm. 9.
3
Yulia, Hukum Perdata Internasional, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2016), hlm 34.
4
Abintoro Prakoso, Teori Hukum (Legal Theory), (Yogyakarta: LaksBang Justitia, 2022), hlm.
17-18.
5
Ibid., hlm. 59.

2
beberapa teori hukum berdasarkan cabang ilmu hukum sebagaimana penulis
deskripsikan di atas.
Makalah ini akan menjelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan
berlakunya HPI sebagai seperangkat asas dan kaidah hukum serta bagaimana teori
tersebut diterapkan dalam praktik HPI di Indonesia. Adapun teori-teori HPI yang
dijelaskan di dalam makalah ini yaitu Teori Titik Pertalian (Primer dan Sekunder),
Teori Status Personal, Teori Renvoi, Teori Pilihan Hukum, Teori Pilihan Forum, Teori
Hak-Hak Yang Diperoleh (Vested Rights), dan Teori Pemakaian Hukum Asing. Oleh
karena itu, penulis akan membagi makalah ini menjadi dua pembahasan utama yang
didahului dengan rumusan masalah berupa pertanyaan hukum di bawah ini. Selain itu,
perlu dijelaskan bahwa makalah ini tidak disertai dengan kesimpulan dan saran
mengingat bahwa tulisan ini bersifat deskriptif dan bukan merupakan kajian terhadap
isu hukum tertentu yang disertai dengan solusi.

B. Pertanyaan Hukum
B.1. Bagaimana teori-teori tersebut dijelaskan oleh para pakar HPI menurut berbagai
kepustakaan HPI?
B.2. Bagaimana teori-teori tersebut diterapkan di dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan peradilan di Indonesia?

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Pada ini, penulis akan menjawab permasalahan pertama sebagaimana telah


dirumuskan di dalam pendahuluan dari makalah ini. Penulis menjelaskan teori-teori ini
secara deskriptif dengan berdasarkan pendapat beberapa ahli dan menyajikan
rangkuman penulis atau penjelasan penulis terhadap pandangan tersebut. Penjelasan
ini akan penulis sajikan melalui seluruh uraian di bawah ini.

I. Teori Titik Pertalian Primer (TPP)


Dalam menjelaskan pandangan Gautama, Hikmah menyatakan bahwa TPP
merupakan hal-hal atau keadaan-keadaan yang menciptakan suatu hubungan HPI.6
Sedangkan, Purwadi mengutip pandangan Seto dalam menjelaskan TPP, dengan
menyatakan bahwa TPP merupakan peristiwa HPI yang ditunjukkan melalui
serangkaian fakta di dalam suatu permasalahan hukum atau suatu peristiwa hukum,
dalam mana fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa permasalahan hukum atau
peristiwa hukum tersebut mengandung unsur-unsur asing dan tidak menunjukkan
adanya peristiwa yang diatur oleh hukum internasional.7 Selain berdasarkan dua
doktrin di atas, penulis juga mengutip pandangan dari Tim Perancang Naskah
Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU
HPI) mendeskripsikan TPP sebagai alat pertama bagi para penegak hukum, terutama
hakim untuk menjawab pertanyaan berupa apakah suatu peristiwa yang sedang ia
periksa masuk ke dalam rezim HPI atau tidak.8
Berdasarkan tiga pandangan penjelasan tersebut, penulis menjelaskan bahwa
yang di maksud sebagai TPP adalah serangkaian fakta atau keadaan yang kemudian

6
Mutiara Hikmah, Analisis Hukum Perdata Internasional: Pada Perkara-Perkara Putusan
Arbitrase Internasional, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, 2021), hlm. 26.
7
Ari Purwadi, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, (Surabaya: Pusat Pengkajian
Hukum dan Pembangunan, 2016), hlm. 66.
8
IBR. Supracana et al., “Naskah Akademik RUU Tentang Hukum Perdata Internasional”
makalah disajikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, 2014, hlm. 11.

4
dapat digunakan sebagai ukuran bagi hakim dalam menentukan apakah suatu peristiwa
atau permasalahan yang mereka hadapi masuk ke dalam rezim HPI atau tidak. Hikmah
kemudian menjabarkan macam-macam TPP dalam HPI melalui penjabaran sebagai
berikut: 1. Kewarganegaraan; 2. Bendera Kapal; 3. Domisili; 4. Tempat Kediaman; 5.
Tempat Kedudukan Badan Hukum; dan 6. Pilihan Hukum.9 Penulis akan menjelaskan
secara lebih rinci mengenai penerapan dari teori ini di Indonesia di dalam bab ketiga
dari makalah ini.

II. Teori Titik Pertalian Sekunder (TPS)


Setelah menyediakan pemahaman tentang TPP, penulis menjelaskan yang di
maksud dengan TPS. Sugeng antara lain menyatakan bahwa TPS merupakan
serangkaian keadaan yang menentukan sistem hukum yang akan diterapkan terhadap
keadaan berupa adanya pertemuan antara dua sistem hukum atau lebih dengan tujuan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan HPI.10 Sejalan dengan pandangan ini, Tim
Perancang NA RUU HPI menjelaskan bahwa TPS adalah hal-hal atau keadaan-
keadaan penentu dari kaidah hukum yang mana yang akan diterapkan terhadap suatu
permasalahan HPI, dari berbagai kaidah hukum atau sistem hukum yang saling
bertautan.11 Kemudian yang terakhir, penulis juga mengutip pendapat Purwadi yang
menjelaskan TPS sebagai suatu fakta di dalam permasalahan HPI yang menentukan
kaidah hukum manakah yang akan diterapkan vis-à-vis permasalahan hukum yang
menyebabkan timbulnya kaidah-kaidah tersebut.12
Dapat penulis jelaskan berdasarkan tiga pandangan ahli tersebut bahwa yang
dimaksud dengan TPS merupakan suatu fakta atau keadaan yang menentukan hukum
yang akan diterapkan (applicable law) mengingat bahwa fakta atau keadaan tersebut
mengandung bobot normatif berupa bertemunya lebih dari satu sistem hukum atau
norma hukum. Sugeng menyebutkan contoh dari TPS dengan menguraikannya melalui

9
Hikmah, Analisis Hukum Perdata …. , hlm. 26-27.
10
Sugeng, Memahami Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: KENCANA, 2021),
hlm. 33.
11
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 11.
12
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 68.

5
beberapa poin sebagai berikut: 1. Kewarganegaraan; 2. Domisili; 3. Bendera Kapal; 4.
Tempat Kediaman; 5. Tempat Kedudukan Badan Hukum; dan 6. Tempat Letaknya
Benda (Lex Rei Sitae).13 Berdasarkan penjelasan tentang TPP dan TPS ini penulis
memahami bahwa kedua teori ini pada hakikatnya merupakan teori dasar yang harus
dikuasai dalam memahami sekaligus merespons suatu permasalahan hukum yang
memiliki hubungan (nexus) dengan HPI. Penulis akan membahas teori ini secara lebih
lanjut di dalam bab 3 makalah ini.

III. Teori Status Personal: Prinsip Kewarganegaraan dan Prinsip Domisili


Dengan memahami penjabaran di atas, dapat diketahui bahwa teori mengenai
kewarganegaraan dan domisili pada hakikatnya merupakan bagian dari Teori Titik
Pertalian. Hal ini dapat penulis kemukakan mengingat bahwa kedua elemen ini dapat
digunakan sebagai parameter dalam menentukan apakah suatu peristiwa atau keadaan
masuk ke dalam rezim HPI, dan kedua elemen ini juga dapat digunakan untuk
menentukan hukum mana yang akan diterapkan. Penulis akan menjelaskan kedua
konsep ini melalui uraian di bawah ini.
Purwadi menjelaskan kewarganegaraan sebagai TPP dengan menyatakan
bahwa hubungan hukum yang melibatkan pihak-pihak yang saling memiliki
nasionalitas yang berbeda dapat menyebabkan timbulnya permasalahan HPI.14 Dalam
menjelaskan hal yang sama, Sugeng menyatakan bahwa kewarganegaraan dapat
dipandang sebagai kaidah hukum yang mengatur status personal dari pribadi kodrati
atau seseorang dan kaidah hukum yang mengatur seseorang karena hukum tersebut
ditetapkan oleh negara dalam mana orang tersebut menjadi warga negara.15 Tim
Perancang NA RUU HPI antara lain menjelaskan prinsip kewarganegaraan sebagai
bagian dari Teori Status Personal (bersamaan dengan prinsip domisili) yang merupakan
seperangkat kaidah yang melekat kepada seseorang terlepas dari tempat dimana orang
tersebut berkedudukan secara fisik.16

13
Sugeng, Memahami Hukum Perdata …., hlm. 33-37.
14
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 66.
15
Sugeng, Memahami Hukum Perdata …., hlm. 31.
16
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 12.

6
Sedangkan dalam menjelaskan prinsip domisili, penulis menjelaskan
pandangan Sugeng yang menyatakan bahwa domisili merupakan kaidah yang
mengatur status personal perseorangan yang ditetapkan oleh negara dalam mana orang
tersebut berdomisili.17 Menjadi suatu hal yang harus dipahami bahwa, pengertian
tentang prinsip domisili merupakan suatu konsep yang berbeda dengan yang di maksud
dengan prinsip kediaman (residence). Kediaman atau residence dapat di maknai
sebagai kedudukan seseorang secara de facto, sedangkan domisili merupakan
kedudukan seseorang secara de jure.18
Adapun contoh dari prinsip kediaman yang Sugeng jelaskan sebagai berikut:
“Dua orang warga negara Inggris yang sementara waktu bekerja di Texas, Amerika
Serikat dan memiliki kediaman di Texas.”19 Sedangkan dalam menjelaskan prinsip
domisili secara lebih lanjut, penulis akan mengutip penjelasan Purwadi sebagai berikut:
“Caroline Spencer, seorang warga negara Inggris yang berdomisili di Colorado,
Amerika Serikat menikah dengan Bob Denver yang juga berkewarganegaraan Inggris,
tetapi berdomisili di London.”20 Berdasarkan kedua contoh tersebut, penulis
berpendapat bahwa kediaman merupakan prinsip yang melekat pada seseorang
berdasarkan hukum di mana fisik dari orang tersebut berkedudukan sedangkan domisili
berkaitan dengan kedudukan orang tersebut secara hukum. Penulis akan menjelaskan
implementasi dari kedua prinsip ini di dalam bab selanjutnya.

IV. Teori Renvoi


Gondal menyatakan bahwa yang di maksud dengan Renvoi adalah suatu
metode atau teknik yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan
inheren yang karena adanya titik pertalian yang diterapkan oleh hukum dari suatu
negara dan oleh hukum lain dalam mana faktor tersebut merujuk.21 Sedangkan, Khan
mengawali penjelasannya tentang Renvoi dengan menyatakan bahwa Renvoi memiliki

17
Sugeng, Memahami Hukum Perdata …., hlm. 31.
18
Ibid., hlm. 32.
19
Ibid.
20
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 67.
21
Alir Raza Gondal, “Application of Doctrine of Renvoi,” makalah yang disajikan oleh
Mahasiswa International Islamic University Islamabad, 2017, hlm. 2.

7
arti berupa merujuk kembali, dalam mana kaidah tentang Renvoi merupakan teknik
yang diterapkan oleh pengadilan dalam mana suatu konflik antar hukum berkembang.22
Lebih lanjut, Tim Perancang NA RUU HPI menjelaskan Renvoi sebagai suatu keadaan
yang muncul karena adanya perbedaan prinsip oleh hukum dari negara-negara dalam
menentukan status personal dari warga negaranya.23
Kepustakaan HPI kemudian mengklasifikasikan Renvoi menjadi Renvoi
Tunggal (Single Renvoi) dan Renvoi Ganda (Double Renvoi). Renvoi Tunggal
merupakan skema yang diterapkan melalui penunjukan terhadap kaidah hukum asing
yang dilakukan sebanyak satu kali.24 Skema ini dilakukan melalui penunjukan yang
dikenal dengan istilah gesamt atau penunjukan terhadap kaidah intern dari suatu negara
dan kaidah HPI dan istilah sachnormen atau penunjukan terhadap kaidah internal dari
negara tersebut saja.25 Dalam memaparkan contoh dari Renvoi Tunggal ini, penulis
mengutip ilustrasi yang Gondal sediakan yaitu sebagai berikut:
“Forgo seorang warga negara Bavaria meninggal di Perancis yang merupakan
negara di mana ia bertempat tinggal sejak ia berusia lima tahun. Pengadilan
Perancis kemudian dipertanyakan mengenai apakah benda bergerak yang ia
miliki di Perancis harus dibagikan berdasarkan kaidah hukum Perancis atau
kaidah hukum Bavaria. Jaminan yang melekat kepada benda tersebut
kemudian mensyaratkan warisan tersebut harus dibagikan berdasarkan hukum
Bavaria, namun berdasarkan hukum Perancis, benda tersebut harus diberikan
kepada pemerintah Perancis terlepas dari keberadaan dari jaminan benda
tersebut. HPI Perancis kemudian merujuk kepada hukum waris Bavaria,
namun HPI Bavaria merujuk kepada HPI Perancis. Pengadilan kasasi
Perancis kemudian menerima remisi tersebut dan menerapkan ketentuan waris
yang diatur oleh hukum perdata Perancis.”26

22
Asif Khan, et al., “What is “Renvoi”? Distinguish the theory of “single RenvoiI’ from
“Double Renvoi’ with reference to relevant case law in Private International Law” makalah yang
disajikan oleh SSRN, 2018, hlm. 2.
23
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 13.
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Gondal, “Application of Doctrine…., hlm. 2-3.

8
Sedangkan dalam mendefinisikan Renvoi Ganda, Tim Perancang NA RUU HPI
menjelaskannya sebagai praktik berupa hakim akan seolah-olah melaksanakan
kewenangannya di pengadilan asing (consider himself sitting in the foireign court)
yang dapat menghasilkan dua kemungkinan.27 Kemungkinan pertama adalah
dihadapinya keadaan berupa negara yang menerima teori Renvoi dan kemungkinan
kedua adanya keadaan berupa negara yang menolak Teori Renvoi.28 Adapun contoh
dari Renvoi Ganda sebagaimana Gondal jelaskan melalaui ringkasan dari kasus Collier
vs. Rivaz di bawah ini:
“Seorang warga negara Inggris meninggal di domisilinya yaitu Belgia. Surat
wasiat dari orang yang meninggal tersebut ditemukan, dan berdasarkan surat
tersebut, pembagian harta waris dilakukan berdasarkan kaidah hukum internal
dari Inggris namun tidak berdasarkan kaidah hukum internal Belgia yang
menjadi tempat ia berdomisili. Sir H. Jenner mengakui bahwa lembaran
tersebut harus diperiksa berdasarkan keterangan ahli hukum Belgia, dalam
mana ahli tersebut menyatakan bahwa orang yang meninggal tersebut belum
mendapatkan domisili yang sah di Belgia, sehingga pengadilan Belgia tidak
akan menerapkan pembagian harta dari orang tersebut berdasarkan hukum
Belgia namun melepaskannya untuk diatur oleh hukum waris Inggris.”29
Yang menjadi perbedaan dari kedua Teori Renvoi ini adalah Teori Renvoi
Tunggal diterapkan melalui penerapan dari hukum internal yang berlaku di dalam
negara dalam mana permasalahan hukum tersebut terjadi.30 Sedangkan Teori Renvoi
Ganda diterapkan melalui penerapan dari hukum asing oleh pengadilan yang
memeriksa permasalahan hukum tersebut.31 Dalam bab ketiga dari makalah ini, penulis
akan menjelaskan penerapan dari Teori Renvoi Tunggal di Indonesia, mengingat
bahwa penelitian yang dilakukan oleh Tim Perancang NA RUU HPI menyatakan
bahwa Indonesia menerapkan doktrin ini.32

27
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 14.
28
Ibid.
29
Gondal, “Application of Doctrine…., hlm. 4.
30
Ibid.
31
Ibid.
32
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 14.

9
V. Teori Pilihan Hukum (Choice of Forum) dan Teori Pilihan Forum (Choice
of Law Theory)
Kedua teori ini pada prinsipnya merupakan teori turunan dari prinsip kebebasan
berkontrak. Dalam menjelaskan latar belakang dari prinsip ini, Adolf mengutip
pendapat Grotius dengan menyatakan bahwa alam telah memberikan manusia seluruh
sumber daya yang ada, namun karena perbedaan sumber daya alam yang terdapat di
setiap tempat maka manusia harus melakukan interaksi antara satu dengan yang lain
melalui pertukaran barang.33 Secara lebih lanjut, Adolf mengutip pandangan
Schmittoff dalam menjelaskan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini
melalui penjelasan di bawah ini:
“The autonomy of the parties will in the law of contract is the foundation on
which an autonomous law of international trade can be built. The national
sovereign has…, no objection that in that area an autonomous law of
international trade is developed by the parties, provided always that that law
respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public
policy.”34
Selain Adolf, Purwadi menjelaskan teori ini dengan istilah kebebasan kehendak
dasar, serta menjelaskannya melalui pernyataan berupa para pihak bebas dalam
membuat suatu kesepakatan selama para pihak tersebut tidak dipengaruhi dengan
paksaan, kesalahan, dan penipuan.35 Walaupun doktrin ini dijelaskan dalam konteks
hukum perdagangan internasional, dapat penulis jelaskan bahwa prinsip ini pada
dasarnya berlaku secara universal atas dasar adanya hak setiap orang sebagai subjek
hukum dalam menentukan isi dari perjanjian tersebut, yang dibatasi oleh kebijakan
publik yang berkaitan atau memiliki nexus dengan para pihak tersebut. Setelah

33
Huala Adolf, Filsafat Hukum Internasional: Perspektif Negara Sedang Berkembang,
(Bandung: KENI Media, 2020), hlm. 17-18.
34
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2016),
hlm. 15.
35
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 162.

10
menjelaskan prinsip hukum ini, penulis akan menjelaskan teori pilihan hukum dan
pilihan forum melalui penjelasan sebagai berikut.
Kusnowibowo menjelaskan teori pilihan hukum sebagai suatu pemikiran yang
dituangkan ke dalam klausul yang dibentuk oleh para pihak dalam perjanjian
berdasarkan kebebasan yang dimiliki oleh para pihak untuk memilih sistem hukum
yang ingin diterapkan dalam menjalankan perjanjian tersebut.36 Adolf kemudian
menjelaskan teori ini sebagai prinsip yang menyatakan bahwa para pihak di dalam
suatu perjanjian bebas dalam menentukan hukum apa yang akan diterapkan oleh para
pihak dalam menyelesaikan sengketa yang timbul sebagai akibat dari penerapan dari
perjanjian ini.37 Purwadi secara lebih lanjut menjelaskan teori ini dengan menggunakan
istilah part autonomy. Ia menjelaskannya dengan mengemukakan bahwa para pihak
dalam suatu perjanjian memiliki kehendak bebas dalam menentukan hukum yang akan
mereka terapkan dalam melakukan transaksi dan menyelesaikan sengketa yang timbul
sebagai akibat dari transaksi yang didasari oleh kontrak tersebut.38
Sedangkan dalam menjelaskan teori pilihan forum, Adolf menjelaskannya
sebagai kebebasan dari para pihak dalam memilih cara yang akan para pihak terapkan
dalam menyelesaikan suatu sengketa (principle of free choice of means).39 Sedangkan,
Santoso menjelaskan teori ini dalam konteks penyelesaian sengketa dengan
menyatakannya sebagai kebebasan para pihak untuk menentukan apakah sengketa
mereka akan diselesaikan melalui arbitrase atau melalui pengadilan.40 Melalui kedua
penjelasan ini, dapat penulis kemukakan bahwa teori ini menyatakan bahwa para pihak
di dalam suatu perjanjian tidak hanya memiliki kebebasan dalam memilih hukum apa
yang akan mereka terapkan dalam menyelesaikan suatu sengketa, melainkan juga
memiliki kebebasan dalam menentukan cara yang akan mereka terapkan dalam

36
Kusnowibowo, Hukum Investasi Internasional, (Bandung: Pustaka Rineka Cipta, 2019), hlm,
93.
37
Adolf, Hukum Perdagangan Internasional …., hlm. 197.
38
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm.163.
39
Adolf, Hukum Perdagangan Internasional …., hlm. 197.
40
Lukman Santoso, Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif Teori dan
Perkembanganya, (Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019), hlm. 162.

11
menyelesaikan sengketa yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan atau penafsiran
dari perjanjian tersebut

VI. Teori Hak-Hak Yang Telah Diperoleh (Vested Rights)


Tim Perancang NA RUU HPI menyatakan bahwa teori ini dipergunakan untuk
menegaskan bahwa “perubahan-perubahan dari fakta-fakta yang menyebabkan dalam
suatu hubungan tertentu diperlukan suatu kaidah hukum tertentu, tidak akan
mempengaruhi berlakunya kaidah yang semula tersebut.”41 Hikmah menjelaskan teori
ini dengan membaginya menjadi teori vested rights yang kuno dan teori vested rights
yang modern. Dalam menjelaskan versi kuno dari teori ini, Hikmah mengutip pendapat
Frankenstein yang menganalogikannya teori ini melalui perubahan kewarganegaraan
seseorang atau perubahan letak dari suatu benda yang disebabkan karena adanya
interaksi dengan hukum lain, dalam mana perubahan tersebut kemudian tidak
mempengaruhi hak-hak yang telah diperoleh terlebih dahulu tersebut.42 Selain itu, ia
juga mengutip pandangan Van Brakel yang menyatakan bahwa suatu negara harus
mengakui hak-hak dari warganya yang telah tercipta di luar negeri.43
Sedangkan, dalam menjelaskan versi modern dari teori ini, Hikmah mengutip
pendapat Prodjodikoro yang menyatakan bahwa “Jika suatu negara kurang
memperhatikan hak perlanjutan keadaan hukum ini terhadap lain negara, maka tidak
boleh diharapkan, bahwa negara lain akan memperhatikan hal perlanjutan keadaan
44
hukum itu sepatutnya terhadap negara tersebut pertama tadi.” Penulis memahami
bahwa pandangan Prodjodikoro ini sejalan dengan kritik Savigny terhadap teori ini
melalui pernyataan berupa “Sebelum kita dapat mengetahui hak-hak mana saja yang
dapat dianggap sebagai hak-hak yang telah diperoleh, terlebih dahulu harus
dipastikan menurut hukum mana perolehan hak-hak itu harus ditentukan.”45 Selain
menjelaskan teori ini berdasarkan penjelasan yang disajikan oleh Tim Perancang NA

41
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 18.
42
Hikmah, Analisis Hukum Perdata …., hlm. 29.
43
Ibid., hlm. 30.
44
Ibid., hlm. 36.
45
Ibid., hlm. 32.

12
RUU HPI dan Hikmah, penulis juga menjelaskan pandangan Purwadi melalui
penjelasan sebagai berikut.
Purwadi menjelaskan teori ini dengan menyatakannya sebagai hak yang
diperoleh oleh seseorang atau suatu benda yang telah diperoleh di luar negeri atau yang
timbul akibat adanya interaksi dengan hukum asing.46 Berdasarkan seluruh penjelasan
ini, dapat penulis pahami bahwa teori ini menyatakan bahwa suatu hak akan diperoleh
oleh seseorang atau suatu benda apabila orang atau objek tersebut berkedudukan di luar
negeri atau berinteraksi dengan hukum asing, namun kedudukan atau interaksi tersebut
tidak akan mempengaruhi hak awal dari orang atau benda tersebut. Dalam memastikan
bahwa hak tersebut benar-benar diperoleh, maka perlu dilakukan suatu perhatian
mengenai apakah hukum asing tersebut benar-benar memberikan perhatian terhadap
individu atau benda tersebut atau tidak.

VII. Teori Pemakaian Hukum Asing


Dikenal juga dengan istilah Teori Penyesuaian, Tim Perancang NA RUU HPI
menyatakan bahwa “teori ini diterapkan oleh hakim yang menggunakan hukum asing
dan berupaya memasukkan hukum yang lain dalam pengertian-pengertian hukum,
terminologi hukum dari negaranya sendiri.”47 Selain itu, Tim ini juga menjelaskan
bahwa teori ini berkaitan erat dengan kualifikasi, persoalan pendahuluan dan ketertiban
umum.48 Penulis akan menjelaskan ketiga konsep ini melalui serangkaian penjelasan
di bawah ini.
Teori Kualifikasi pada dasarnya terbagi menjadi empat yaitu Teori Kualifikasi
Lex Fori, Teori Kualifikasi Lex Causae, Teori Kualifikasi Bertahap dan Teori
Kualifikasi Otonom yang penulis jelaskan sebagai berikut. Putra menjelaskan Teori
Lex Fori dengan menyatakannya sebagai teori yang digunakan oleh hakim ketika
memeriksa perkara yang mengandung terminologi asing yang kemudian harus
direspons oleh hakim tersebut dengan menginterpretasikannya berdasarkan hukum

46
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 114.
47
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 20.
48
Ibid.

13
materiil dari hakim tersebut.49 Sedangkan dalam menjelaskan Teori Lex Causae,
Purwadi mengutip pendapat Wolff yang antara lain menjelaskan bahwa teori ini
diterapkan melalui dilakukannya kualifikasi berdasarkan sistem hukum dalam mana
pengertian hukum tersebut berasal.50 Berdasarkan kepustakaan yang penulis jadikan
pedoman, penulis memahami bahwa berlakunya Teori Lex Causae telah ditentang oleh
beberapa ahli HPI. Adapun antitesis dari teori ini yang dikemukakan melalui Teori
Kualifikasi Bertahap yang penulis jelaskan di bawah ini.
Putra menjelaskan keberatan terhadap Teori Lex Causae dilandasi oleh adanya
pernyataan berupa menjadi suatu hal yang tidak mungkin apabila teori ini diterapkan
karena hukum yang hendak diperlakukanlah yang justru harus ditentukan melalui
bantuan yang dikenal dengan proses kualifikasi.51 Ketidaksetujuan tersebut kemudian
menghasilkan antitesis yang dikenal dengan Teori Kualifikasi Bertahap yang penulis
deskripsikan berdasarkan penjelasan yang Putra uraikan sebagai berikut:
“Kualifikasi Tahap Pertama (Kualifikasi Primer) yang mengharuskan hakim
untuk menemukan kaidah HPI atau choice of law (lex fori) yang akan
digunakan dalam menentukan titik pertalian tertentu. Kualifikasi ini
dilaksanakan melalui sistem kualifikasi internal yang dikenal dengan lex fori
dalam mana kualifikasi ini dilakukan guna menetapkan lex causae….. Melalui
kualifikasi inilah akan ditemukan hukum yang seharusnya diterapkan atau lex
causae.”52
Berdasarkan penjelasan ini, dapat penulis jelaskan bahwa penerapan teori ini
pada dasarnya merupakan campuran dari penerapan Teori Lex Fori dan Teori Lex
Causae yang dilakukan secara bertahap. Yang di maksud dengan bertahap adalah Lex
Causae hanya dapat diterapkan apabila Lex Fori ditemukan prima facie. Penulis akan
melanjutkan penjelasan oleh Putra ini yang didahului dengan kutipan yang
mengilustrasikan suatu keadaan sebagai berikut:

49
Ida Bagus Wyasa Putra, et al., Buku Ajar Hukum Perdata Internasional (Denpasar: Fakultas
Hukum Universitas Udayana, 2016), hlm. 41.
50
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 49.
51
Putra, et al., Buku Ajar Hukum …., hlm. 43.
52
Ibid., hlm. 43.

14
“Apabila suatu kaidah hukum yang seharusnya diberlakukan sudah diketahui,
dan kaidah hukum tersebut merupakan hukum asing, maka perlu dilakukan
kualifikasi secara lebih jauh berdasarkan hukum asing yang ditemukan
tersebut. Pada tahap ini, semua fakta yang berkaitan dengan suatu perkara
harus dikualifikasikan kembali berdasarkan sistem kualifikasi yang ada pada
lex causae. Kualifikasi ini dijalankan dengan sistem kualifikasi intern yang
dikenal di dalam lex causae”53
Penulis dapat menjelaskan bahwa tahapan ini merupakan suatu tahapan lebih
lanjut yang dilakukan melalui menerapkan hukum asing yang telah ditemukan.
Tahapan ini juga dilakukan mengkualifikasikan kembali seluruh fakta hukum di dalam
suatu permasalahan berdasarkan sistem kualifikasi yang diatur oleh hukum asing
tersebut. Secara lebih lanjut, Penulis menjelaskan Teori Kualifikasi Otonom melalui
uraian di bawah ini.
Purwadi mengutip pandangan Neumeyer dan Rabel dengan menjelaskan bahwa
kualifikasi ini diterapkan terlepas dari ketergantungannya terhadap sistem hukum
tertentu.54 Teori ini juga dapat dijelaskan sebagai pandangan terhadap pengertian-
pengertian yang dikenal di alam HPI merupakan pengertian-pengertian yang dapat
diberlakukan secara umum.55 Putra kemudian menjelaskan bahwa teori ini memiliki
kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Teori Kualifikasi Otonom merupakan suatu teori yang sulit untuk diterapkan
karena adanya dua kendala sebagai berikut:
“Kendala yang pertama dapat dijelaskan ke dalam adanya keadaan berupa
menemukan dan menetapkan pengertian-pengertian hukum yang dapat
dianggap sebagai pengertian yang berlaku umum merupakan pekerjaan yang
sulit untuk dilaksanakan…. Apalagi untuk mencapai pembentukan pengertian
hukum yang berlaku secara mutlak di seluruh dunia. Kedua, hakim yang
menggunakan kualifikasi yang sedemikian rupa haruslah mengenal semua

53
Ibid.
54
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 52.
55
Ibid.

15
sistem hukum di dunia, agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang
diakui di seluruh dunia.”56
Berdasarkan penjelasan ini, dapat penulis pahami bahwa munculnya teori ini
memang rasional dalam tatanan akademik karena teori ini berakar dari perbandingan
hukum perdata. Namun, teori ini akan sulit untuk diterapkan di dalam tatanan praktik
mengingat bahwa penguasaan terhadap seluruh sistem hukum yang ada di dunia ini
merupakan hal yang hampir mustahil untuk dilakukan oleh manusia.
Teori kedua yang menjadi bagian dari Teori Pemakaian Hukum Asing adalah
Teori Persoalan Pendahuluan (Vorfrage). Putra menjelaskan teori ini dengan
menjelaskannya sebagai suatu persoalan atau isu hukum dari sebuah perkara yang
harus diselesaikan secara terlebih dahulu (prima facie) sebelum suatu putusan terhadap
permasalahan tersebut ditetapkan oleh hakim.57 Dalam memecahkan suatu
permasalahan pendahuluan, terdapat tiga cara yang dapat diterapkan. Tiga cara tersebut
penulis jelaskan melalui pandangan Putra yang dapat disajikan melalui penjelasan
sebagai berikut.
Tahapan pertama dari cara ini dikenal dengan istilah Absorption.58 Cara ini
dilakukan dengan menerapkan lex causae yang didasari oleh kaidah HPI lex fori untuk
menyelesaikan persoalan pendahuluan yang harus didasari oleh kaidah hukum yang
sama dengan lex causae tersebut.59 Penerapan ini pada dasarnya menjawab pertanyaan
berupa kaidah hukum apa yang seharusnya diterapkan untuk menetapkan persoalan
pendahuluan yang bergantungan dengan lex causae yang telah ditetapkan dalam
menyelesaikan permasalahan utama tersebut.60
Tahapan kedua kemudian dilakukan dengan mengabaikan kaidah yang menjadi
lex causae yang diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan utama dan dengan
menerapkan kaidah HPI lex fori dalam menentukan validitas dari persoalan
pendahuluan ini.61 Tahapan ini juga dikenal dengan istilah repartition yang dilakukan

56
Putra, et al., Buku Ajar Hukum …., hlm. 45.
57
Ibid., hlm. 51.
58
Ibid., hlm. 52.
59
Ibid.
60
Ibid.
61
Ibid., hlm. 53.

16
tanpa memperhatikan lex causae yang diterapkan terhadap permasalahan utama
tersebut.62 Terakhir, Putra menjelaskan tahapan ketiga ini melalui pendekatan kasuistik
(case-by-case basis) yang Chesire kemukakan sebagai berikut:
“Kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus pertanyaan insidental
dilakukan melalui cara yang dikenal dengan istilah Absorption. Pendekatan
case-by-case ini diterapkan dengan memperhatikan kelas dari jemis perkara
yang sedang diperiksa. Kemudian, melalui pendekatan ini maka dapat
dibedakan perkara yang dapat diselesaikan melalui metode absorption seperti
perkara waris terhadap benda bergerak, dan perkara yang dapat diselesaikan
melalui metode repartition yaitu seperti perkara di bidang perbuatan melawan
hukum atau sengketa kontrak.” 63
Dalam mengakhiri penjelasan tentang persoalan pendahuluan ini, penulis akan
juga menjelaskan bagaimana cara menentukan apakah suatu perkara mengandung
suatu permasalahan pendahuluan atau tidak. Penentu tersebut didasari oleh tiga
persyaratan yang Putra uraikan sebagai berikut. Pertama adalah dengan menentukan
apakah permasalahan tersebut merupakan perkara HPI atau bukan.64 Kedua, dengan
menentukan apakah terdapat isu subsider yang juga dapat dikualifikasikan sebagai
suatu permasalahan HPI tersendiri dan apakah kaidah tersebut dapat diselesaikan
berdasarkan kaidah HPI lain dengan mandiri.65 Dan ketiga, kaidah HPI yang diterapkan
dalam menentukan lex causae bagi subsidiary issue tersebut akan menghasilkan suatu
kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan yang akan dihasilkan apabila lex causae
dari isu utama menjadi landasan hukum yang diterapkan terhadap isu tersebut.66
Teori ketiga yang menjadi bagian dari teori pemakaian hukum asing ini adalah
Teori Ketertiban Umum yang menurut kepustakaan HPI dapat dijelaskan bersamaan
dengan konsep kaidah super memaksa. Dalam menjelaskan kedua konsep ini,
Oppusunggu merujuk pandangan Gautama yang menyatakan bahwa ketertiban hukum

62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid., hlm. 52.
65
Ibid.
66
Ibid.

17
merupakan sendi-sendi asasi yang merupakan suatu bentuk pertahanan yang bersifat
negatif.67 Sedangkan, pengaturan yang bersifat positif yang diutangkan ke dalam
hukum positif (yang tidak dapat dikesampingkan oleh hukum asing) tersebut dikenal
dengan istilah kaidah super memaksa (oderningsvoorschriften).68 Dalam menegaskan
ulang penjelasannya tersebut, Oppusunggu kemudian menyatakan bahwa sendi-sendi
asasi tersebut merupakan suatu hal yang bersifat abstrak, sedangkan kaidah hukum
memaksa tersebut merupakan suatu kaidah yang bersifat konkret.69
Sejalan dengan penjelasan di atas, Tim Perancang NA RUU HPI menjelaskan
teori ini sebagai konsep yang dapat diterapkan untuk mengesampingkan berlakunya
kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku atas dasar kaidah hukum tersebut
bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari hukum yang diterapkan oleh hakim.70
Kemudian yang terakhir, Purwadi menjelaskan Teori Ketertiban Umum berdasarkan
pandangan Castel dengan menyatakannya sebagai nilai-nilai yang mencerminkan
keadilan dan kesejahteraan umum. Ia juga menjelaskan bahwa kaidah ini harus
diterapkan seminimal mungkin guna mencegah chauvinisme hukum yang kemudian
dapat menghambat perkembangan HPI.71

67
Yu Un Oppusunggu, “Pertemuan Ilmu Hukum dan Sosiologi dalam Penerapan Lembaga
Ketertiban Umum,”, Law, Society & Development, Vol. II, No. 3, Agustus-November 2008, hlm. 8.
68
Ibid.
69
Ibid., hlm. 9.
70
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 15.
71
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 102.

18
BAB III

PENERAPAN DARI TEORI HPI

Pada bab ini, penulis menyajikan deskripsi tentang penerapan dari seluruh teori
yang telah dijelaskan di atas di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Selain menjelaskan materi muatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan, penulis juga akan menjelaskan materi muatan dari putusan hakim, yang
memuat suatu bobot hukum yang berkaitan dengan teori yang dijelaskan di atas.

I. Penerapan dari Teori Titik Pertalian di Indonesia


Mengingat bahwa teori ini merupakan teori dasar dari HPI, maka penulis akan
menjelaskan putusan hakim berikut. Putusan yang penulis maksud adalah Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) No. 2944 K/Pdt/1983 terhadap
sengketa antara PT Nizwar vs. Navigation Maritime Bulgare (NMB). Adapun TPP dan
TPS dari perkara ini yaitu sebagai berikut. Navigation Maritime Bulgare merupakan
badan hukum yang berkedudukan di Yugoslavia sedangkan PT Nizwar merupakan
badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.72 Dengan memahami kedudukan dari
para pihak dalam perjanjian tersebut, maka dapat penulis tunjukan bahwa TPP dan TPS
dari permasalahan hukum ini dapat di lihat di dalam ratio persone dari sengketa ini.
Selain itu, TPP dan TPS dari permasalahan ini juga dapat dilihat dari bendera dari kapal
yang NMB sewakan kepada PT Nizwar.

II. Penerapan dari Teori Status Personal di Indonesia


Penerapan dari teori status personal berupa kewarganegaraan dapat ditemukan
di dalam Pasal 16 Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB).
Kalimat pertama dari ketentuan ini menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku bagi

72
Hikmah, Hukum Perdata Internasional …., hlm. 220.

19
kaulanegara Belanda, apabila ia berada di luar negeri.”73 Sedangkan dalam
menjelaskan penerapan dari status personal berupa domisili, penulis mengutip
ketentuan di dalam Pasal 17 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang
dianggap bertempat tinggal di tempat yang dijadikan pusat kediamannya. Bila tidak
ada tempat kediaman yang demikian, maka tempat kediaman yang sesungguhnya
dianggap sebagai tempat tinggalnya.”74

III. Penerapan dari Teori Renvoi (Tunggal)


Tim Perancang NA RUU HPI menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara
yang menerapkan Teori Renvoi Tunggal.75 Adapun kaidah hukum yang menunjukkan
penerapan dari teori ini yaitu Pasal 2 RUU HPI yang penulis kutip dari penjelasan oleh
Purwadi. Ketentuan ini menyatakan bahwa “Apabila terjadi hukum nasional seseorang
yang dinyatakan berlaku dan apabila hukum tersebut menunjuk kepada hukum
Indonesia sebagai hukum yang berlaku baginya, maka hukum intern Indonesia yang
berlaku.”76 Ketentuan dapat dijelaskan melalui pernyataan berupa apabila terdapat
permasalahan hukum yang menunjukkan keadaan berupa berlakunya hukum asing dan
hukum Indonesia, maka hakim Indonesia diarahkan untuk mengutamakan penerapan
dari hukum Indonesia.

IV. Penerapan dari Teori Pilihan Hukum dan Teori Pilihan Forum
Mengingat teori ini berakar dari kebebasan berkehendak dari setiap orang (free
will) dan prinsip kebebasan berkontrak, maka penulis menjelaskan penerapan dari teori
ini dengan mengutip Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang

73
Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia (Algemene Bepalingen
van wetgeving voor Indonesie), Staatsblad Tahun 1847 No. 23, selanjutnya disebut AB, Pasal 16.
74
Kitab Undang-Undang Hukum Pedata (Bugerlijke Wetboek), selanjutnya disebut
KUHPerdata, Pasal 17.
75
Supracana et al., “Naskah Akademik RUU…., hlm. 13.
76
Purwadi, Dasar-Dasar Hukum …., hlm. 97.

20
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik.”77 Melalui ketentuan ini, maka setiap pihak yang membuat perjanjian bebas
dalam menentukan pilihan hukum dan pilihan forum yang akan mereka terapkan dalam
melaksanakan transaksi dan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul akibat
penerapan atau penafsiran dari perjanjian tersebut.

V. Penerapan dari Teori Hak-Hak yang Diperoleh (Vested Rights)


Dalam menjelaskan penerapan dari teori ini, penulis mengutip ketentuan di
dalam Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) yang memuat ketentuan sebagai
berikut. Pasal 56 ayat (1) dari ketentuan ini menyatakan bahwa:
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini.”78
Berdasarkan ketentuan ini, dapat dipahami bahwa status (perkawinan) yang
diperoleh oleh warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di negara lain
harus diakui oleh Indonesia apabila perkawinan tersebut dilangsungkan berdasarkan
hukum yang sah dari negara tersebut.

VI. Penerapan dari Teori Pemakaian Hukum Asing


Dalam menjelaskan Teori Kualifikasi Lex Fori, dan Teori Kualifikasi Bertahap,
penulis mengutip salah satu pertimbangan hakim Indonesia dalam Putusan MA No.
859 K/Pdt/2006 yang menyatakan bahwa:
“Perbedaan antara wanprestasi (breach of contract/default) dan perbuatna
melawan hukum (unlawful act/tort) juga telah diakui dalam Putusan

77
KUHPerdata, Pasal 1338.
78
Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974, LN Tahun 1974 No. 1,
selanjutnya disebut UU Perkawinan, Pasal 56.

21
Mahkamah Agung R.I. No. 1875 K/Pdt/1984, tanggal 24 April 1986 pada
intinya menyatakan: “Penggabungan gugatan Perbuatan Melawan Hukum
dengan Perbuatan Ingkar Janji (Wanprestasi) tidak dapat dibenarkan dalam
tata tertib beracara dan harus diselesaikan secara tersendiri pula”;”79
Alasan mengapa pertimbangan ini dapat dinyatakan sebagai penerapan dari
Teori Lex Fori adalah hakim MA yang mengadili perkara ini telah mentransposisi
terminologi yang dikenal dalam praktik hukum perdata common law ke dalam praktik
hukum perdata di Indonesia. Selain itu, Putusan ini juga dapat dinyatakan sebagai Teori
Kualifikasi Bertahap karena hakim pada perkara ini telah mentransposisi istilah tort
dan breach of contract sebagaimana dijelaskan di atas kepada praktik hukum perdata
di Indonesia. Hakim dalam perkara ini juga merumuskan pertimbangan hukumnya
berdasarkan pertimbangan ahli hukum perdata common law yang kemudian
diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah ke dalam uraian di bawah ini:
“Ian Fleming dalam bukunya berjudul Law of Tort 7 edn, Law Book Co. 1987:
“Tort is an injury other than a breach of contract which the law will redress
with damages” Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Penerjemah Tersumpah:
“Perbuatan Melawan Hukum adalah suatu bentuk pelanggaran di luar
pelanggaran atas suatu perjanjian yang dapat diberi ganti rugi berdasarkan
hukum””80
Adapun cabang dari Teori Pemakaian Hukum Asing lain yang diterapkan di
Indonesia yaitu Teori Ketertiban Umum dan Teori Kaidah Memaksa. Penerapan dari
kedua teori ini akan dijelaskan sebagai berikut. Ketentuan mengenai ketertiban umum
dapat ditemukan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata (yang juga dapat dinyatakan
sebagai pembatas dari Prinsip Kebebasan Berkontrak) dengan muatan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalam-Nya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”81

79
Mahkamah Agung, Putusan Kasasi, No 859 K/Pdt/2006, PT Majuko Utama Indonesia
melawan PT Igas Utama (2009).
80
Ibid.
81
KUHPerdata, Pasal 1339.

22
Selain itu, teori ini juga dapat ditemukan di dalam Pasal 2 Undang-Undang
Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa “Perseroan harus mempunyai maksud
dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.”82 Sedangkan penerapan
dari Teori Kaidah Super Memaksa dapat ditemukan di dalam ketentuan sebagai
berikut. Apabila merujuk kepada unsur upah dan pekerjaan di dalam Pasal 1601a
KUHPerdata dan Pasal 1 angka 3 dari Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka dapat
dipahami bahwa kedua unsur tersebut bersifat mengikat atau harus ada apabila
seseorang ingin melakukan perjanjian kerja. Selain di dalam kedua aturan tersebut,
penerapan dari kaidah super memaksa juga dapat ditemukan di dalam kasus Nine Am
Ltd. vs. PT Bangun Karya Pratama Lestari yang MA jelaskan sebagai berikut:
“Pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Barat adalah karena adanya kata
“wajib: pada Pasal 31 UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 sehingga
penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian bersifat imperatif. Pengadilan
Negeri Jakarta Barat berpendapat bahwa tidak dipenuhinya kewajiban
tersebut, maka Loan Agreement merupakan perjanjian terlarang karena dibuat
dengan sebab yang terlarang vide Pasal 1335 KUHPerdata jo. Pasal 1337
KUHPerdata (Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Putusan Nomor
451/Pdt.G/2012/PN JkT Bar, hlm. 51).”83
Adapun pandangan dari Hakim Agung Sudrajad Dimyati yang memeriksa
perkara ini lebih lanjut pada tingkat kasasi dan mengemukakan pendapatnya melalui
pernyataan sebagai berikut:
“Bahwa judex facti keliru karena causa yang halal merupakan syarat objektif
dari perjanjian, yang ada pada hakikatnya adalah isi atau materi dari
perjanjian itu sendiri yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

82
Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 40 Tahun 2007, LN Tahun 2007
No. 106, selanjutnya disebut UU Perseroan Terbatas, Pasal 2.
83
Mahkamah Agung, Pendekatan Hukum Perdata Internasional dalam Penyelesaian Sengketa
Kontrak Komersial Internasional Berbahasa Asing (Jakarta: Mahkamah Agung, 2021), hlm. 1

23
kesusilaan, dan ketertiban umum. Jadi causa yang halal bukan mengenai
formalitas atau bentuk suatu perjanjian, melainkan materi/isinya.”84
Walaupun putusan ini pada akhirnya menyatakan bahwa perjanjian tersebut
tidak batal demik hukum, penulis dapat menarik suatu pernyataan berupa ketentuan
mengenai kausa yang halal sebagaimana di muat di dalam Pasal 1335 dan Pasal 1337
KUHPerdata dapat dikualifikasikan sebagai kaidah super memaksa. Adapun materi
mautan dari kedua ketentuan ini yaitu Pasal 1335 KUHPerdata antara lain menyatakan
bahwa suatu perjanjian yang di buat tanpa sebab, atau yang di buat karena sebab yang
palsu atau terlarang merupakan perjanjian yang tidak mempunyai kekuatan.85
Sedangkan, Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.”86

84
Ibid.
85
KUHPerdata, Pasal 1335.
86
KUHPerdata, Pasal 1337.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. Filsafat Hukum Internasional: Perspektif Negara Sedang Berkembang.


Bandung: KENI Media, 2020.
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Depok: Raja Grafindo Persada,
2016.
Argent, Pierre d’. International Law Textbook: Introducting Course. Louvain: UC
Louvain dan edX, 2021.
Gondal, Alir Raza. “Application of Doctrine of Renvoi,” makalah yang disajikan oleh
Mahasiswa International Islamic University Islamabad, 2017.
Hartono, C. F. G. Sunaryati. Pokok Pokok Hukum Perdata Internasional. Bandung:
Binacipta, 1995.
Hikmah, Mutiara. Analisis Hukum Perdata Internasional: Pada Perkara-Perkara
Putusan Arbitrase Internasional. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Univesitas Indonesia, 2021.
Khan, Asif. et al., “What is “Renvoi”? Distinguish the theory of “single RenvoiI’ from
“Double Renvoi’ with reference to relevant case law in Private International
Law” makalah yang disajikan oleh SSRN, 2018.
Kitab Undang-Undang Hukum Pedata (Bugerlijke Wetboek).
Kusnowibowo., Hukum Investasi Internasional. Bandung: Pustaka Rineka Cipta, 2019.
Mahkamah Agung. Pendekatan Hukum Perdata Internasional dalam Penyelesaian
Sengketa Kontrak Komersial Internasional Berbahasa Asing. Jakarta:
Mahkamah Agung, 2021.
Mahkamah Agung. Putusan No 859 K/Pdt/2006. PT Majuko Utama Indonesia
melawan PT Igas Utama (2009).
Oppusunggu, Yu Un. “Pertemuan Ilmu Hukum dan Sosiologi dalam Penerapan
Lembaga Ketertiban Umum,”, Law, Society & Development, Vol. II. No. 3.
Agustus-November 2008. Hlm. 1-11.
Peraturan Umum Mengenai Perundang-Undangan Untuk Indonesia (Algemene
Bepalingen van wetgeving voor Indonesie). Staatsblad Tahun 1847 No. 23.
Prakoso, Abintoro. Teori Hukum (Legal Theory). Yogyakarta: LaksBang Justitia, 2022.

25
Purwadi, Ari. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Surabaya: Pusat Pengkajian
Hukum dan Pembangunan, 2016.
Putra, Ida Bagus Wyasa et al., Buku Ajar Hukum Perdata Internasional Denpasar:
Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2016.
Santoso, Lukman. Aspek Hukum Perjanjian: Kajian Komprehensif Teori dan
Perkembanganya. Yogyakarta: Penebar Media Pustaka, 2019.
Sugeng, Memahami Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: KENCANA,
2021.
Supracana, IBR. et al., “Naskah Akademik RUU Tentang Hukum Perdata
Internasional” makalah disajikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2014.
Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 13 Tahun 2003. LN Tahun
2003 No. 39.
Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU Nomor 1 Tahun 1974. LN Tahun 1974
No. 1.
Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 40 Tahun 2007. LN Tahun
2007 No 106.
Yulia., Hukum Perdata Internasional. Lhokseumawe: Unimal Press, 2016.

26

Anda mungkin juga menyukai