Anda di halaman 1dari 84

MODUL EKONOMI PUBLIK

DIBAWAKAN OLEH:
DR. ANDI CUDAI NUR, M.SI

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
BAB I
FUNGSI PEMERINTAH

Merupakan suatu kewajiban pemerintah (negara) dalam penyediaan barang-


barang publik. Tetapi diperlukan transparansi dan kerjasama yang
bertanggungjawab antarpelaku ekonomi…

1.1. Pendahuluan
Perekonomian di suatu negara berjalan karena didukung oleh para pelaku
ekonomi yang memiliki kekuatan tersendiri. Para pelaku ekonomi yang sering kita
ketahui adalah entitas Konsumen sebagai pemilik faktor-faktor produksi terutama
SDM, dan entitas Produsen sebagai pengguna faktor-faktor produksi milik
konsumen.
Tetapi ada satu entitas pelaku ekonomi yang memiliki ciri khas tersendiri
yaitu Pemerintah. Entitas Pemerintah bekerja melalui kekuatan regulasi dan
perangkat hukum yang memaksa (power to coerce) kepada pelaku usaha yang
lain, baik konsumen maupun produsen. Melalui perangkat regulasi dan hukum
yang dimiliki pemerintah, maka konsumen dan produsen mutlak mematuhi aturan
yang ditetapkan pemerintah dalam menjalankan kehidupn bermasyarakat,
khususnya kehidupan berekonomi.
Pemerintah atau negara berwenang mengatur penyediaan barang-barang
publik (public goods) maupun barang swasta (private goods) kepada masyarakat
melalui sebuah mekanisme monopoli kepada perusahaan negara tertentu atau
sebaliknya disediakan melalui mekanisme pasar (market mechanism) sesuai
dengan kondisi dan system perekonomian yang dianutnya.
Dalam bab ini akan dibahas secara khusus mengenai fungsi-fungsi
pemerintah dalam perekonomian, yaitu fungsi alokasi (allocation function), fungsi
distribusi (distribution function) dan fungsi stabilisasi (stabilitation function).
Disamping itu, akan dibahas pula mengenai kegagalan pemerintah (government
failure) yang tercipta akibat aktivitas yang tak terkendali yang dilakukan oleh
pemerintah sendiri, akibat ketidaksanggupan pemerintah mengantisipasi
perubahan perilaku konsumen dan produsen. Bahkan kegagalan pemerintah
adakalanya tercipta disebabkan oleh perilaku negatif (moral hazard) aparat
pemerintah itu sendiri dalam penyediaan barang-barang publik secara tidak
tranparan.

1.2. Fungsi Alokasi (allocation function)


Tidak semua barang dan jasa yang ada dapat disediakan oleh sektor
swasta. Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar ini disebut
barang publik, yaitu barang yang tidak dapat disediakan melalui transaksi antara
penjual dan pembeli.
Barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar,
yaitu melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Adanya barang yang tidak
dapat disediakan melalui sistem pasar ini disebabkan karena adanya kegagalan
sistem pasar (market failure).
Sistem pasar tidak dapat menyediakan barang/jasa tertentu oleh karena
manfaat dari adanya barang tersebut tidak hanya dirasakan secara pribadi akan
tetapi dinikmati oleh orang lain. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa sistem pasar
gagal mmenyediakan barang dan jasa yang tidak mempunyai (Sifat pengecualian),
yaitu pengecualian oleh orang yang memiliki suatu barang tehadap orang lain
dalam menikmati barang tersebut.
Jalan raya adalah salah satu contoh barang publik yang tidak dapat
diterapkan prinsip pengecualian secara teknis maupun secara ekonomis. Secara
teknis, setiap orang membutuhkan jalan, sehingga kalaupun ada seseorang
pemakai jalan, maka tidak mungkin orang lain dilarang untuk
menikmati/memanfaatkan jalan tersebut.
Secara ekonomis, misalnya pemerintah tidak dapat memberi pagar disisi
setiap jalan (secara teknis mungkin dapat dilaksanakan), akan tetapi untuk
melakukannya diperlukan biaya yang sangat besar dibandingkan dengan membuat
pagar itu sendiri, sehingga secara ekonomis pemerintah tidak melakukannya. Jadi
yang disebut barang publik murni adalah barang yang baik secara teknis maupun
secara ekonomis tidak dapat diterapkan prinsip pengeculian atas barang tersebut.
Jadi dalam fungsi alokasi ini, peranan pemerintah adalah untuk
mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien.
Berkaitan dengan peranan ini, maka yang perlu diperhatikan adalah berapa besar
harus menyediakan barang-barang publik dan berapa dana harus dialokasikan
untuk barang ini.

1.3. Fungsi Distribusi (distribution function)


Peranan lain dari pemerintah dalam sistem perekonomian adalah sebagai
alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung dari
pemilikan faktor-faktor produksi, sistem warisan, permintaan dan penawaran
faktor produksi dan kemampuan memperoleh pendapatan.
Distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar
mungkin dianggap oleh masyarakat sebagai tidak adil. Masalah keadilan dalam
distribusi pendapatan merupakan masalah yang rumit dalam teori ekonomi. Ada
sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah efisiensi ekonomi harus
dipisahkan dari masalah keadilan. Perubahan ekonomi dikatakan efisien apabila
perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki suatu golongan dalam masyarakat
dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan golongan yang
lain.
Kaldor (dalam Mangkoesoebroto, 2001) mengatakan bahwa suatu
tindakan dikatakan bermanfaat (baik) apabila golongan yang memperoleh manfaat
dari tindakan "dapat" (secara konseptual, walaupun tidak perlu begitu dalam
kenyataannya) tersebut memberikan kompensasi bagi golongan yang mengalami
kerugian, sehingga posisi golongan yang rugi tetap sama seperti halnya sebelum
adanya tindakan yang bersangkutan.
Masalah keadilan tidak sepenuhnya berada dalam ruang lingkup ilmu
ekonomi, oleh karena itu masalah keadilan tergantung dari pandangan masyarakat
terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan bukanlah suatu hal yang statis dan absolut
akan tetapi merupakan suatu hal yang dinamis dan relatif tergantung dari persepsi
masyarakat terhadap keadilan.
Pada umumnya keadilan publik ini didistribusikan melalui kebijakan fiskal
dan moneter sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan masyarakat.
Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung melalui pajak
yang progresif, yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan
relatif beban pajak yang lebih ringan bagi orang miskin, disertai dengan subsidi
bagi golongan miskin. Pemerintah dapat juga secara langsung mempengaruhi
distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah, misalnya adanya
perumahan murah dan subsidi pupuk.
1.4. Fungsi Stabilisasi (stabilatation function)
Selain peranan alokasi dan distribusi, pemerintah mempunyai peranan
utama sebagai stabilisasi perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya
diserahkan kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan
yang menimbulkan pengangguran dan inflasi.
Tanpa adanya campur tangan pemerintah, penurunan permintaan akan
mobil akan menyebabkan pengusaha mobil untuk mengurangi pegawai. Pegawai
yang menganggur akan memperkecil pengeluaran untuk barang-barang konsumsi
seperti pakaian, sepatu, TV yang seterusnya pengusaha pakaian, sepatu, TV akan
mengurangi pegawainya. Jadi, gangguan di satu sektor akan mempengaruhi sektor
lain, yang tanpa campur tangan pemerintah akan menimbulkan pengangguran
tenaga kerja dan menganggu stabilitas perekonomian.
Inflasi atau deflasi juga merupakan hal yang dapat mengganggu stabilitas
ekonomi. Masalah inflasi atau deflasi harus ditangani pemerintah melalui
kebijakan moneter.

1.5. Kegagalan Pemerintah (government failure)


Pemerintah menjalankan peranannya baik peranan alokasi, peranan
distribusi maupun peranan stabilisasi dalam mengatasi masalah perekonomian
guna tercapainya kondisi pareto optimal. Pareto optimal merupakan suatu kondisi
yang menunjukkan keadaan dimana satu aktivitas ekonomi tidak mampu lagi
memberikan kenaikan kesejahteraan bagi satu pelaku ekonomi tanpa
menyebabkan penurunan kesejahteraan pelaku ekonomi lainnya. Akan tetapi,
tidak selamanya campur tangan pemerintah menyebabkan terjadinya peningkatan
kesejahteraan rakyat menuju pareto optimal, bahkan terkadang justru menjauhi
kondisi pareto optimal.
Kegagalan pemerintah dalam menciptakan kondisi pareto optimal antara
lain disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Campur tangan pemerintah kadang-kadang menimbulkan dampak yang
tidak diperkirakan terlebih dahulu. Misalnya, kebijakan pemerintah dalam
mengatur tata niaga cengkeh agar penghasilan petani cengkeh naik
ternyata membawa dampak permintaan tembakau menurun sehingga
pendapatan petani tembakau juga turun.
2. Campur tangan pemerintah memerlukan biaya yang tidak murah, oleh
karena itu campur tangan pemerintah harus dipertimbangkan manfaat dan
biayanya secara cermat agar tidak lebih besar daripada biaya masyarakat
tanpa adanya campur tangan pemerintah.
3. Adanya kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah. Pelaksanaan
program pemerintah mememerlukan tender, dan sistem yang kompleks,
serta rentan dengan praktek-raktek persaingan usaha tidak sehat (unfair
competition)
4. Perilaku pemegang kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar
keuntungan pribadi atau rent seeking behaviour.
Soal Latihan

1. Sebutkan 3 (tiga) entitas pelaku ekonomi, berikut kemampuannya dalam


memberdayakan sumberdaya-sumberdaya ekonomi!
2. Mengapa pemerintah berwenang memaksa entitas produsen dan konsumen
untuk mentatati peraturan yang dibuatnya?
3. Coba Anda jelaskan apa yang dimaksud dengan fungsi alokasi?
4. Coba jelaskan apa yang dimaksud dengan fungsi distribusi dan fungsi
stabilisasi ?
5. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
pemerintah (government failure) ?
BAB. II
TEORI BARANG PUBLIK

Yang diperlukan oleh masyarakat saat ini adalah penyediaan barang publik yang
berkualits. Oleh karena itu pemerintah atau swasta harus memerhatikan aspek
manfaat yang optimal (utilitas) dari apa yang mereka sediakan untuk kepentingan
masyarakat.

2.1. Pendahuluan
Pembahasan barang publik menarik untuk dicermati, baik dari sisi
karakteristik maupun problematika penyediaannya. Dalam teori ekonomi mikro
dijelaskan bahwa pengadaan barang publik tidak dapat dilakukan melalui
mekanisme pasar persaingan sempurna. Namun demikian secara teoritis,
penyediaan barang publik dapat efisien bila kita mengetahui permintaan dan
penawarannya.
Karakteristik barang publik yang unik yaitu dapat digunakan secara
bersama-sama tanpa menghilangkan manfaat (Non Rivalry) dan tidak diperlukan
prasyarat pengorbanan biaya (Non Exclusive) menjadikan komoditas ini mayoritas
disediakan oleh pemerintah atau negara. Sebagai contoh, jalan raya. Komoditas
ini dapat dinikmati oleh setiap orang yang melaluinya secara bersama-sama tanpa
menghilangkan manfaat (utility), dan tidak diperlukan pengorbanan biaya atau
gratis.
Namun dalam perjalanan waktu dan perubahan zaman, penyediaan barang
publik dewasa ini mulai melibatkan unsur swasta/perusahaan sebagai wujud
tanggungjawab sosial mereka kepada masayarakat dan pemerintah, atau yang ini
sering disebut dengan Corporate social Responsibility (CSR). Bahkan,
disebabakan oleh keterbatasan pendanaan pemerintah akibat rendahnya
penerimaan negara dari pajak (PNP), inisiatif swadaya masyarakat dalam
pendanaan penyediaan barang publik seperti pembangunan infrastruktur jalan
pemukiman di wilayah perkotaan atau pembangunan taman-taman oleh
masyarakat, merupakan fenomena tersendiri yang biasa dilakukan masyarakat
negara-negara maju.
2.2. Teori Barang Publik
Tidak semua barang dan jasa yang ada dapat disediakan oleh sektor
swasta. Barang publik adalah barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh
sistem pasar disebut, dimana secara ekonomis pengecualian dapat dilaksanakan
akan tetapi biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu
barang sangat besar dibandingkan dengan biayanya. Sedangkan barang swasta
adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar yaitu melalui transaksi
antara penjual dan pembeli serta tidak mempunyai sifat pengecualian.

Tabel 2.1 Perbedaan antara Barang Swasta dan Barang Publik


Exclusive Non Exclusive
Rivalry Barang swasta murni (pure private Barang publik semu (quasi
goods): public goods) :

• Biaya pengecualian rendah • Barang yang manfaatnya


• Dihasilkan oleh swasta dirasakan bersama dan
• Dijual melalui pasar dikonsumsikan bersama tetapi
• Dibiayai dari hasil penjualan dapat terjadi kepadatan.
• Dihasilkan oleh swasta atau • Dijual melalui pasar atau
pemerintah langsung oleh pemerintah
• Contoh : sepatu, baju, sepeda • Contoh : taman, bis kampus.
motor.
Non Barang publik semu (quasi public Barang publik murni (pure
Rivalry goods) : public goods):

• Barang swasta yang • Biaya pengecualian besar


menimbulkan eksternalitas • Dihasilkan oleh pemerintah
• Dibiayai dari hasil penjualan atau • Disalurkan oleh pemerintah
dibiayai dengan APBN • Dijual melalui pasar atau
• Contoh : rumah sakit, langsung oleh pemerintah
transportasi umum, jalan tol, • Contoh : Hankam, peradilan,
pemancar TV. jalan raya, irigasi.

Barang publik menjadi bagian dari kepedulian pemerintah karena menjadi


kepedulian dari dari banyak orang (publik interest). Analisa peran ekonomi negara
menuntut pengetahuan yang lebih mendalam atas hubungannya pada para pelaku
ekonomi, terutama para warga masyarakat, yang bertindak sebagai konsumen –
produsen warga negara. Posisi simultan sebagai warga negara dan konsumen atau
produsen, membuat adanya tumpang tindih bidang cakupan antara ekonomi dan
publik.
Dari segi ekonomi, setiap masalah yang menyangkut barang publik harus
dapat dikembalikan pada kriteria minimasi biaya, baik untuk kegiatan konsumsi
maupun produksi yang menggunakan barang publik tersebut. Bila seseorang
membangun barang publik, maka orang lain dapat menikmati hasilnya, tanpa
sesuatu cara legal untuk menerima bagian biaya sebagai kontribusi yang tepat.
Contoh masalah pertahanan, keamanan, siaran radio, televisi, jalan, kebersihan
lingkungan, sistem penerangan jalan umum, sistem drainase atau bendungan
pencegah banjir.

2.3. Karakteristik Barang Publik


A. Bersifat Tanpa Persaingan (Non Rivalry)
Barang bersifat Non Rivalry artinya barang atau jasa yang dapat
dikonsumsi secara bersamaan dalam waktu yang sama (joint consumption), tanpa
saling meniadakan manfaat (utilitas) dari barang atau jasa tersebut. Kebun Raya
Bogor memiliki sifat non rivalry, karena dapat dinikmati oleh ribuan orang
sekaligus dan semuanya menikmati manfaat keindahan alam sekitarnya. Demikian
pula dengan irigasi yang disediakan pemerintahm, semua petani yang lahan
pertaniannya berada disekitar aliran air irigasi dapat menikmatinya bersama-sama.

B. Bersifat Tanpa Pengorbanan Biaya (Non Exclusive )


Sifat non eksklusif mengandung arti bahwa seseorang tidak perlu
membayar untuk menikmati manfaat barang publik. Jalan raya provinsi adalah
salah satu contohnya. Demikian juga dengan jasa kepolisian yang bertugas
menertibkan lalu lintas dan menjaga keamanan masyarakat. Selanjutnya adalah
apakah semua barang publik pasti mempunyai sifat non rivalry dan non exclusive
? Di bawah ini merupakan penjelasan tambahannya.

C. Bersifat Rivalry, tetapi Non Exclusive


Barang publik yang bersifat rivalry tetapi non exclusive merupakan semu
(quasi public goods). Artinya barang ini tidak dapat dikonsumsi secara bersama-
sama (rival), tetapi untuk menikmatinya tidak harus membayar (non exclusive).
Taman dan bis kampus yang disediakan pemerintah dapat dijadikan sebagai
contoh yang baik. Untuk memenuhi kenyaman bagi masyarakat, pemerintah
berkewajiban menyediakan taman atau sarana transportasi berupa bis kampus
secara gratis, tetapi untuk mengkonsumsinya, masyarakat atau mahasiswa yang
memanfaatkan taman atau bis kampus harus bersaing dengan yang laiannya.

D. Bersifat Non Rivalry, tetapi Exclusive


Sifat barang publik semu lainnya adalah bersifat non rivalry, tetapi
exclusive. Barang atau jasa yang bersifat non rivalry tetapi exclusive adalah
barang atau jasa yang dapat dikonsumsi secara bersama-sama, tanpa
menghilangkan manfaat dari barang atau jasa tersebut, tetapi untuk menikmatinya
dikenakan biaya. Jalan tol dan angkutan umum milik swasta merupakan contoh
jasa publik yang bersifat semu non rivalry tetapi exclusive. Jalan tol jika mampu
memberikan manfaat kelancaran bagi semua pengguna mobil yang melaluinya,
maka jalan tol bersifat non rival, tetapi untuk menggunakan jasa tol, Si pengguna
jalan tol harus membayar tarif tol.
Terdapat beberapa hal pokok yang harus diperhatikan oleh kita mengenai
barang publik, yakni:
1. Suatu barang dikatakan barang publik bukan karena wujudnya, melainkan
sifatnya ketika dikonsumsi. Oleh karena itu suatu barang, dapat saja
sekaligus memiliki sifat privat dan publik dalam saat yang bersamaan.
Contohnya siaran televisi di Indonesia, dilihat dari sisi penonton,
merupakan barang publik, tetapi dari sisi pemasang iklan atau perusahaan
yang ingin mempromosikan produknya, siaran TV merupakan barang
privat.
2. Dalam dunia nyata atau kontemporer seperti saat sekarang, sangat jarang
barang yang benar-benar murni bersifat privat atau bersifat murni 100%.
Yang sering terjadi adalah bersifat barang publik semu, dengan derajat
kesemuan yang berbeda-beda.

100% Privat ----------------------------------------------------------→


100% Publik
2.4. Proyek Publik
Proyek publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
ekonomi, dengan menggunakan dana anggaran belanja negara, yang akhirnya
tidak lain dari kontribusi para warga negara sebagai pembayar pajak. Para pelaku
ekonomi menuntut suatu kebebasan berbuat dan berdagang yang dikenal dengan
laissez faire, laissez paser dan construisez la route. Tuntutan ini timbul karena
sistem ekonomi yang berlaku saat itu berlangsung melalui :
1. Pembuatan barang yang dimonopoli oleh produsen tertentu, menutup
masuknya orang lain dalam kegiatan usaha, walaupun orang yang bukan
anggota itu dapat menghasilkan barang dengan kualitas lebih baik dan
harga barang lebih murah.
2. Banyaknya macam tarif antara satuan administrasi, walaupun dalam satu
negara, tetapi masing-masing satuan administrasi berada di bawah
penguasaan para aristocrat atau kuasanya yang berbeda.
3. Penyediaan prasarana angkutan agar perdagangan dapat berjalan lancar
dan dengan biaya yang murah.

Jadi, ada bidang yang harus dilakukan oleh pemerintah, karena masyarakat
secara individual tidak mau atau tidak mampu melaksanakannya. Oleh karena itu,
sejak berkumandangnya tuntutan liberalisasi ekonomi, ternyata dalam proses
selanjutnya menghendaki adanya peran pemerintah yang sesuai, bukannya semua
harus diserahkan pada pasar. Artinya, ekonomi harus dibagi dua, yaitu ekonomi
publik dan ekonomi pasar.
Sektor ekonomi publik dapat memberikan keuntungan dalam ekonomi,
misalnya program kesejahteraan yang menyangkut jaminan sosial yang beragam
macam seperti yang telah dilakukan oleh negara maju, maka pelaksanaan
langsung oleh pemerintah justru haruslah secara ekonomi akan memberikan
keuntungan lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Penggunaan bersama
dapat jauh lebih murah daripada penggunaan sendiri-sendiri. Hal ini didukung
oleh teori ekonomi publik dan teori kelab (theory of public goods dan club
theory). Inti masalah adalah berupa tidak ada atau sulit mengadakan hak
pemilikan pada barang atau pelayanan yang dihasilkan.
Soal Latihan

1. Apa yang Anda ketahui dengan barang publik (public goods) ? Berikan
contohnya !

2. Apa yang dimaksud dengan barang privat (private goods) ? Berikan


contohnya !

3. Jelaskan apakah setiap barang publik harus disediakan oleh pemerintah


saja ?

4. Menurut Anda apakah mungkin pendidikan tingkat dasar sampai dengan


perguruan tinggi yang disediakan oleh pemerintah akan menjadi barang
publik?

5. Sejauhamana Anda merasakan kepuasan penyediaan barang publik yang


disediakan oleh pemerintah saat ini ? Berikan contohnya !
BAB III
ANALISIS TEORI BARANG SWASTA

Setiap konsumen akan membelanjakan uanganya, dan berhenti sampai dengan


batas dimana tingkat kepuasan marginal (marginal utility)nya mulai menurun.

3.1.Pendahuluan
Dalam perekonomian yang mengggunakan sistem pasar, harga barang dan
jasa, upah dan sebagainya ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Dalam
sistem perekonomian pasar yang sempurna, harga-harga merupakan data, yang
berarti tidak ada satu pihak pun, baik produsen maupun konsumen secara sendiri-
sendiri dapat memengaruhi harga. Hal ini disebabkan oleh karena dalam sistem
pasar persaingan sempurna, seorang pengusaha ataupun pembeli hanya
merupakan sebagian yang sangat kecil sehingga peranannya menjadi tidak berarti.
Bagi seorang konsumen, permintaan akan suatu barang dan jasa hanya
merupakan sebagian kecil dibandingkan dengan permintaan seluruh konsumen,
sehingga ia tidak dapat memengaruhi tingkat harga suatu barang dengan merubah
permintaan akan barang tersebut, walaupun konsumen secara berkelompok dapat
mempengaruhi tingkat harga.

3.2. Efisiensi Konsumen


Dalam analisa efisiensi konsumen, ada beberapa asumsi yang digunakan
untuk mempermudah analisis, yaitu :
1. Dalam masyarakat hanya ada dua orang konsumen, A dan B
2. Hanya ada 2 barang swasta yang tersedia, makanan dan pakaian
3. Distribusi pendapatan sudah tertentu

pakaian pakaian
Konsumen A Konsumen B

Po P1
L

E
PB
E
PA KB3

KA3
KB2
KA2
M KB1
KA1

O Mo makanan O
MA MB Mmakanan
1

Gambar 3.1 Keseimbangan Konsumen

Pada Gambar 3.1 sebelah kiri menunjukkan kurva indiferens bagi A,


sedangkan gambar sebelah kanan menunjukkan hal yang sama bagi B. Apabila A
menggunakan seluruh pendapatannya untuk membeli makanan, ia akan
memperoleh sejumlah OMo unit makanan. Apabila ia membeli pakaian dengan
seluruh pendapatannya, ia akan memperoleh OPo unit pakaian. Setiap titik pada
garis lurus PoMo menunjukkan kombinasi pakaian dan makanan yang dapat
diperoleh dengan pendapatannya.
Kurva KA1, KA2, KA3 adalah kurva indiferens bagi A. setiap titik pada
kurva indiferens menunjukkan kesamaan dalam kesukaan A terhadap kombinasi
makanan dan pakaian yang berbeda-beda. Titik L dan titik M terletak pada satu
kurva indiferens, yang berarti bagi A, ia merasa kepuasannya sama walaupun
pada titik L ia menyukai lebih banyak pakaian dan lebih sedikit makanan daripada
di titik M. semakin tinggi (semakin jauh letaknya dari titik pusat O) berarti
semakin besar kepuasan A. jadi setiap titik pada kurva KA2 menunjukkan
kepuasan yang lebih besar daripada setiap titik pada kurva KA 1. Begitu juga
setiap titik pada kurva KA3 menunjukkan kepuasan yang lebih besar daripada
setiap titik pada kurva KA1 maupun kurva KA2.
A akan memilih kombinasi pakaian dan makanan yang memberikan
kepuasan yang terbesar bagi dirinya. Kombinasi pakaian dan makanan pada titik L
dan titik M yang terletak pada kurva indiferens KA 1 tidak member kepuasan yang
terbesar karena dengan merubah kombinasi pakaian dan makanan, maka A dapat
memperoleh kepuasan yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan semakin
tingginya kurva indiferens yang dapat dicapai. Setiap titik pada kurva indiferens
KA3 memberikan kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan KA 2. Akan
tetapi hal itu tidak dapat dicapai karena dengan pendapatannya yang sudah
tertentu, ia hanya dapat memilih kombinasi dan pakaian sepanjang garis M oPo.
Kepuasan tertinggi yang dapat dicapai A dengan pendapatannya adalah kurva
KA2, yaitu kurva indiferens yang menyinggung garis MoPo. Jadi, titik E dengan
kombinasi makanan sejumlah OMA unit dan pakaian sejumlah OPA akan
memberikan kepuasan yang terbesar bagi A.
Analisis yang sama juga berlaku bagi B dimana ia akan memperoleh
kepuasan yang terbesar pada persinggungan antara garis P 1M1 (garis yang
menunjukkan kombinasi pakaian dan makanan yang dapat diperoleh dengan harga
dan pendapatan tertentu) dengan kurva indiferens KB2. Kombinasi makanan
sejumlah OMB unit dan pakaian sejumlah OPB akan memberikan kepuasan yang
terbesar bagi B.

3.3. Reaksi Rumah Tangga terhadap Perubahan Pendapatan


Perubahan harga relatif akan mengubah kemiringan garis anggaran. Bila
harga makanan terus berubah, maka setiap harga akan mempunyai keseimbangan.
Jika titik-titik keseimbangan ini dihubungkan akan diperoleh garis konsumsi
harga (price consumption line) seperti terlihat pada Gambar 3.2. Jika harga relatif
dari makanan dan pakaian berubah, maka jumlah relative dari makanan dan
pakaian juga berubah.
jumlah pakaian per bulan
a

E3
Garis Konsumsi Harga
E1 I3

I2

I1

0 b c d jumlah makanan per bulan

Gambar 3.2 Garis Konsumsi Harga


Dari kurva di atas dapat disimpulkan, jika harga makanan menurun, maka
rumahtangga akan membeli makanan lebih banyak lagi, dan sebaliknya jika harga
makanan naik, maka rumahtangga akan membeli makanan dengan jumlah yang
lebih sedikit.
Konsumen pada dasarnya adalah entitas pelaku ekonomi yang rasional, hal
ini terlihat ketika seseorang mengkonsumsi suatu barang atau jasa, maka ia akan
berharap akan memperoleh kepuasan yang maksimum, sesuai dengan
pengorbanan biaya yang dikeluarkannya. Selain itu, konsumen atau rumahtangga
yang rasional akan merubah konsumsi barang dan jasa sesuai dengan perubahan
tingkat harga dan pendapatan dengan signifikan.

3.4. Teori Kardinal dan Teori Ordinal


Teori Kardinal menyatakan bahwa kegunaan dapat dihitung secara
nominal, sebagaimana kita menghitung berat dengan gram atau kilogram, panjang
dengan centimeter atau meter. Sedangkan satuan ukuran kegunaan adalah util.
keputusan untuk mengonsumsi suatu barang berdasarkan perbandingan antara
manfaat yang diperoleh dengan biaya yang haus dikeluarkan. Nilai kegunan yang
diperoleh dari konsumsi adalah utilitas total (TU). Tambahan kegunaan dari
penambahan satu unit barang yang dikonsumsi disebut utilitas marjinal (MU).
Total uang yang harus dikeluarkan untuk konsumsi adalah jumlah unit barang
dikalikan harga per unit. Untuk setiap unit tambahan konsumsi, tambahan biaya
yang harus dikeluarkan sama dengan harga barang per unit.
Misalnya Achmad ingin membeli baju, dengan harga per helainya Rp
25.000. berapa buah baju yang akan dikonsumsi? Untuk menjawabnya, kita harus
tahu dulu nilai baju itu bagi Achmad yang diasumsikan setara dengan rupiah.
Seandainya pola konsumsi Achmad seperti Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Utilitas Total dan Utilitas Marjinal dari Mengonsumsi Baju
Harga baju jumlah baju yang uang yang harus Kegunaan Total Tambahan kegunaan /
per helai (Rp) dikonsumsi dikeluarkan (Rp) / TU (util) MU (util)
25.000 1 25000 50000 50000
25.000 2 50000 125000 75000
25.000 3 75000 185000 60000
25.000 4 100000 225000 40000
25.000 5 125000 250000 25000
25.000 6 150000 250000 0
25.000 7 175000 200000 -50000
25.000 8 200000 100000 -100000

Pergerakan angka-angka dalam table dapat diterjemahkan dalam bentuk


grafik berikut ini (Gambar 3.3). terlihat kurva TU pada awalnya menaik tajam,
seiring naiknya nilai MU. Di titik A, MU mencapai maksimum, untuk selanjutnya
menurun yang menyebabkan slope kurva TU makin mendatar. Nilai TU
maksimum pada saat nilai MU = 0.

Gambar 3.3 Kurva-kurva Utilitas Total dan Utilitas Marjinal

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Achmad akan berhenti


mengonsumsi pada baju yang kelima. Jika setelah itu dia menambah jumlah baju
yang dikonsumsi, tindakan itu bukan saja tidak menambah TU, bahkan
menguranginya. Achmad berhenti mengonsumsi pada saat harga baju (Rp 25000)
sama dengan utilitas marjinal (25000 util).
MU = P ………………………………….. (1)
Prinsip ini berlaku untuk semua barang, sehingga konsumen akan
mencapai kepuasan maksimum pada saat :
MUx = Px ………………………………... (2)
Dimana : MUx = tambahan kegunaan X dan Px = harga X
Menurut Teori Ordinal, kegunaan tidak dapat dihitung. Untuk dapat
menjelaskan pendapatnya, Teori Ordinal menggunakan kurva indiferensi. Kurva
indiferensi dalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi dua
macam barang yang memberikan tingkat kepuasan yang sama bagi seorang
konsumen. Suatu kurva indiferensi atau sekumpulan kurva indiferensi (yang
disebut peta indiferensi) dihadapi hanya seorang konsumen.
Misalkan Sutarno mengombinasikan konsumsi makan bakso dengan
makan sate. Walaupun telah dinyatakan bahwa menurut teori ordinal kegunaan
atau kepuasaan tidak dapat dihitung, namun agar menjadi lebih jelas, kita dapat
mengasumsikan bahwa informasi dari kurva indiferensi dapat diterjemahkan
dalam persamaan kuantitatif. Misalnya nilai kegunaan (kepuasan) Sutarno dari
mengonsumsi makan bakso dan sate per bulan dapat ditulis sebagai :

U = X. Y ………………………………… (3)
Dimana : U = tingkat kepuasan
X = makan bakso (mangkok per bulan)
Y = makan sate (porsi per bulan)
Untuk mencapai tingkat kepuasan 100 (U = 100), beberapa kombinasi
yang mungkin dicantumkan dalam Tabel 3.2 dibawah ini.
Tabel 3.2 Nilai kepuasan dari makan bakso dan makan sate
makan bakso makan sate
(mangkok per bulan) (porsi per bulan) nilai kepuasan
25 kali 4 porsi 100
20 kali 5 porsi 100
10 kali 10 porsi 100
5 kali 20 porsi 100
4 kali 25 porsi 100
Makan bakso

25

20

10
U=X.Y

5
U = 100

5 10 20 25 Makan sate

Gambar 3.4 Kurva Indiferensi

Soal Latihan

1. Apa yang dimaksud dengan kurva indiferen, dan gambarkan !


2. Mengapa konsumen dikatakan sebagai makhluk yang rasional ?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan garis konsumsi harga ? Berikan
contohnya !
4. Kapankah seseorang akan menghentikan konsumsinya ? Apakah di saat
MU = 0 atau MU = negatif ? Jelaskan pendapat Anda dengan pendekatan
kurva LDMU (the law of dimishing marginal utility) !
5. Bagaimana pandangan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan hidup
individu atau rumahtangga ? Sertakan dalil Al Quran atau hadits yang
dapat memperkuat argumentasi Anda !
BAB IV
EKSTERNALITAS

Untuk mencegah eksternalitas negatif yang tidak terkendali, penetapan sanksi


hukum oleh pemerintah menjadi salah satu alat yang efektif, disamping sanksi
budaya oleh masyarakat.

4.1 Pendahuluan
Salah satu permasalahan perekonomian yang menonjol saat ini adalah
biaya yang harus dikeluarkan oleh individu atau rumahtangga akibat aktivitas
individu atau produksi orang lain. Pencemaran lingkungan yang mengakibatkan
seseorang atau masyarakat terganggu kesehatannya, sementara mereka tidak
mendapatkan biaya pengganti atau kompensasi kesehatan merupakan salah satu
bentuk kegagalan mekanimse pasar sebagai alat alokasi sumberdaya ekonomi
yang efisien.

4.2 Definisi Eksternalitas


Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pasar dalam mengalokasi
sumberdaya-sumberdaya ekonomi secara efisien adalah adanya apa yang disebut
dampak sampingan atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan
konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak yang
lain dan tidak ada kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak
tersebut.
Ada dua jenis eksternalitas, yaitu technical externalities, yaitu tindakan
seseorang dalam konsumsi atau produksi akan mempengaruhi tindakan konsumsi
atau produksi orang lain tanpa ada kompensasinya. Di lain pihak, yang disebut
dengan pecuniary externalities menyangkut harga dalam perkonomian, yaitu
dengan memengaruhi kendala anggaran (budget constraints). Misalnya saja,suatu
pecuniary externalities diseconomy merupakan akibat dari perubahan harga factor
produksi sebagai akibat tindakan produksi atau konsumsi orang lain. Pecuniary
externalities hanya memengaruhi harga, tanpa mempengaruhi kemungkinan teknis
(technical possibilities) produksi atau konsumsi.
4.3. Karakteristik Eksternalitas
Eksternalitas dapat timbul sebagai akibat tindakan konsumsi dan
eksternalitas ini dapat bersifat positif (menguntungkan) atau negatif (merugikan).
Misalnya : Adil memainkan piano keras-keras. Apabila tetangganya senag
mendengarkan permainan piano Adil, dikatakn Adil menimbulkan eksternalitas
positif. Sebaliknya, apabila tetangga tersebut tidak suka dan merasa terganggu
oleh permainan piano Adil, ia menerima eksternalitas negatif.
Selain eksternalitas karena tindakan konsumsi diatas, eksternalitas juga
timbul karena suatu aktivitas produksi. Misalnya : suatu pabrik dalam proses
produksinya menimbulkan pencemaran udara sehingga penduduk di sekitar pabrik
tersebut menderita sakit karena menghirup udara yang tercemar, dikatakan
mengakibatkan eksternalitas negatif. Sebaliknya, eksternalitas yang positif akan
menyebabkan keuntungan bagi masyarakat sebagai konsumen maupun sebagai
produsen. Bagi produsen, eksternalitas positif akan menyebabkan turunnya biaya
produksi.

Karakteristik eksternalitas dapat dilihat pada skema di bawah ini :


Pihak yang melakukan pihak yang menerima
aktivitas eksternalitas

1
Konsumen Konsumen

3 2

Produsen Produsen
4

Jadi, dalam perekonomian terdapat empat kemungkinan eksternalitas,


yaitu :
1. Konsumen–konsumen, yaitu tindakan seorang konsumen yang
menimbulkan eksternalitas bagi konsumen lain, misalnya contoh
permainan piano Adil (telah dijelaskan sebelumnya).
2. Konsumen-produsen, yaitu tindakan seorang konsumen yang
menimbulkan eksternalitas (positif atau negatif) terhadap produsen.
Misalnya olah raga yang dilakukan buruh menyebabkan mereka menjadi
sehat dan sehingga produktivitas meningkat dan menguntungkan
produsen.
3. Produsen-konsumen. Misalnya pabrik yang menyebabkan polusi sungai
sehingga mengganggu penduduk yang menggunakan air sungai tersebut.
4. Produsen-produsen. Misalnya sebuah pabrik yang menimbulkan polusi air
mengakibatkan kenaikan biaya produksi perusahaan lain yang
menggunakan air sebagai salah satu faktor produksi.

Adanya eksternalitas dari suatu kegiatan menyebabkan sistem


perekonomian yang menggunakan system pasar persaingan sempurna tidak dapat
melaksanakan alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien, Karena harga tidak
mencerminkan dengan tepat akan kelangkaan faktor-faktor produksi. Dalam hal
eksternalitas yang negatif, biaya produksi yang dihitung oleh pengusaha lebih
kecil dibandingkan dengan biaya yang diderita oleh masyarakat atau biaya sosial.
Dalam hal eksternalitas yang sifatnya positif, biaya produksi lebih besar daripada
biaya sosial, sehingga barang yang dihasilkan adalah lebih sedikit dari jumlah
yang oleh masyarakat dianggap efisien. Adanya eksternalitas menimbulkan
peranan alokasi pemerintah dalam perekonomian.
Eksternalitas adalah kerugian atau keuntungan yang diderita atau
dinikmati pelaku ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain, yang tidak
tercermin dalam harga pasar. Jika tindakan pelaku ekonomi yang satu merugikan
yang lain, berarti telah terjadi eksternalitas yang merugikan (diseconomies
externality). Jika sebaliknya, telah terjadi eksternalitas ekonomis atau eksternalitas
menguntungkan (economies externality atau benefit externality). Eksternalitas
yang menguntungkan maupun merugikan menyebabkan pasar tidak bias efisien.
Harga

S1
S2

Q1 Q2 Kuantitas

Gambar 2.1 Eksternalitas Merugikan

Pada Gambar 2.1 menggambarkan proses keseimbangan pasar ekspor


tapioka. Karena berada dalam pasar persaingan sempurna, produsen Indonesia
menghadapi kurva permintaan horizontal. Seharusnya menurut standar industri
sehat, perusahaan tapioka membangun fasilitas pengolahan limbah. Tetapi mereka
membuangnya ke sungai dan pemerintah tidak mengambil tindakan. Akibatnya
perusahaan mampu memproduksi dengan kapasitas produksi, penawaran S 2.
Keseimbangan pasar terjadi pada saat jumlah tapioka yang diekspor Q 2.

Keseimbangan diatas tidak efisien karena dengan memproduksi sebesar Q2


penderitaan yang dialami penduduk akibat pencemaran bertambah besar.
Penderitaan itu merupakan biaya sosial. Seandainya pemerintah bertindak tegas,
memaksa perusahaan untuk membangun fasilitas pengolahan limbah, kemampuan
penawaran perusahaan adalah sebesar S1. Keseimbangan yang efisien terjadi di
Q1. Kemampuan meningkatkan output dari Q1 ke Q2 diakibatkan perusahaan
mampu mengambil sumber daya yang langka tanpa perlu membayar.
Tujuan pemerintah menyediakan barang publik adalah menciptakan
eksternalitas ekonomis yang sebesar-besarnya. Eksternalitas ini akan
menyebabkan biaya investasi dan biaya produksi menjadi murah. Jika aktivitas
investasi dan produksi meningkat diharapkan pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja, stabilitas harga dan daya saing dalam pasar internasional meningkat.
Melalui penyediaan barang publik pemerintah berupaya memperbaiki kondisi
mikro dan makro ekonomi. Tetapi masalahnya tetap sama, yaitu ada yang harus
dikorbankan, efisiensi dan keadilan.
Harga
S

E
Dp
PtPt Subsidi yang dinikmati rakyat
Indonesia dan pihak asing
Pp (MNC)
F
Pk

Ds Dc

Kuantitas pendidikan tinggi


0 Qp Qt

Gambar 2.2 Eksternalitas Penyediaan Pendidikan Tinggi

Memasuki era globalisasi, kebutuhan akan pendidikan tinggi di Indonesia


meningkat pesat, dengan harapan mampu meningkatkan daya saing di pasar
tenaga kerja global. Pendidikan tinggi menjadi barang privat yang dalam Gambar
2.2 kurva permintaannya adalah Dp. Penawarannya diwakili oleh kurva S.
Keseimbangan terjadi pada saat jumlah pendidikan tinggi adalah Q p dan harga per
unit adalah Pp. keseimbangan ini merupakan barang privat. Kebutuhan dana
penyediaan pendidikan tinggi seluruhnya ditarik dari mahasiswa.
Pendidikan tinggi mempunyai dimensi publik, karena yang menikmati
hasilnya bukan saja mahasiswa melainkan juga keluarga, perusahaan dan
pemerintah. Hal itu menimbulkan permintaan sosial yang digambarkan oleh kurva
Ds. Di era globalisasi, MNC juga berkepentingan terhadap penyediaan pendidikan
tinggi, guna mengisi jabatan tenaga kerja di perusahaannya di Indonesia. Hal ini
menimbulkan permintaan sosial yang digambarkan oleh kurva D c. Total
permintaan pendidikan tinggi sebagai barang publik adalah kurva D t yang
diperoleh dengan cara menjumlahkan Ds + Dc + Dp secara vertikal.
Jumlah pendidikan tinggi sebagai barang publik yang harus disediakan
pemerintah adalah Qt unit, jauh lebih besar dari Qp. Pada saat jumlah pendidikan
sebanyak Qt, mahasiwa hanya bersedia membayar sebesar P k unit. Dana yang
terkumpul hanyalah sebesar luas 0PkfQt. Kekurangannya sebesar luas PkPtEF
dibiayai pemerintah, misalnya subsidi pendidikan.
Dua masalah yang dihadapi adalah masalah efisiensi, karena Q t bukanlah
jumlah yang efisien dan keadilan karena sebagian besar subsidi dinikmati pihak
asing melalui MNC.
Soal Latihan

1. Apa yang Anda ketahui dengan eksternalitas ?


2. Mengapa eksternalitas dapat menyebabkan inefisiensi alokasi sumberdaya
ekonomi ?
3. Jelaskan karakteristik ekstrnalitas negatif hubungan antara konsumen -
konsumen ? Berikan contohnya !
4. Jelaskan karakteristik ekstrnalitas posistif hubungan antara konsumen -
produsen ? Berikan contohnya !
5. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menekan
eksternalitas negatif Produsen – Kosumen ?
BAB V
MONOPOLI DAN
INTERVENSI PEMERINTAH
Untuk mencegah terciptanya pasar monopoli, maka sumberdaya-sumberdaya
ekonomi tidak boleh dibiarkan terpusat pada produsen tertentu saja.

Oleh karena itu, negara harus melakukan intervensi melalui penetapan UU


Antimonopoli, bilamana monopoli tersebut mengurangi pemenuhan kepentingan
publik.

5.1. Pendahuluan
Berdasarkan Ketentuan Umum Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdapat beberapa
pengertian pokok sebagai berikut :
1. Monopoli yaitu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.
2. Praktek Monopoli yaitu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu
atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasaianya produksi dan/atu
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
3. Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha.
4. Pelaku usaha diartikan setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
5.2. Definisi Monopoli
Suatu industri dikatakan berstruktur monopoli bila hanya ada satu
produsen atau penjual tanpa pesaing langsung, baik nyata maupun potensial.
Output yang dihasilkan tidak mempunyai subtitusi. Perusahaan tidak memiliki
pesaing karena adanya hambatan bagi perusahaan lain untuk memasuki industri
yang bersangkutan.
Faktor-faktor penyebab terbentuknya monopoli :
1. Hambatan teknis
Ketidakmampuan bersaing secara teknis menyebabkan perusahaan lain
sulit bersaing dengan perusahaan yang sudah ada. Keunggulan secara
teknis ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Perusahaan memiliki kemampuan dan atau pengetahuan khusus
sehingga dapat berproduksi secara efisien.
2. Tingginya tingkat efisiensi yang memungkinkan perusahaan monopoli
mempunyai kurva biaya (MC dan AC) yang menurun.
3. Perusahaan memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi baik
berupa sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lokasi
produksi.
Perusahaan-perusahaan yang mempunyai kekuatan monopoli karena
kemampuan teknis disebut perusahaan monopolis alamiah.
2. Hambatan legalitas
1. Undang-undang
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat menemukan perusahaan-
perusahaan yang tidak efisien tetapi memiliki daya monopoli. Hal ini
dmungkinkan karena adanya hak monopoli, misalnya BUMN di
Indonesia memiliki daya monopoli karena undang-undang.
2. Hak khusus
Hak khusus tidak hanya diberikan oleh pemerintah, tetapi juga kepada
perusahaan lainnya. Di Indonesia beberapa bentuk konkritnya adalah
agen tunggal, importer tunggal, lisensi dan bisnis wara laba
(frenchise).
3. Hak paten atau hak cipta
Hak paten atau hak cipta adalah monopoli berdasarkan hokum karena
pengetahuan – kemampuan khusus yang menciptakan daya monopoli
secara teknik. Misalnya : orang yang mempunyai kemampuan menulis
yang baik, memiliki hak monopoi atas bukunya bila mengurus hak
cipta.

5.3.Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek


Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Era reformasi di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 ditandai dengan
jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto membawa
perubahan yang lebih maju bagi kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat
Indonesia, baik dalam hubungannya dengan sesama warga negara Indonesia
maupun kehidupan berbangsa dengan masyarakat internasional. Dalam konteks
industri tepung terigu, pemerintah secara ekonomi maupun politik banyak
melakukan perubahan untuk mecapai keadilan dan perlindungan bagi pengusaha
dan masyarakat yang lebih baik.

Undang-Undang tentang Larangan Praktek monopoli dan Persaingan


Usaha Tidak Sehat merupakan usul inisiatif DPR RI sebagai lembaga legislatif
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 21 ayat (1) UUD 1945. Usul inisiatif DPR
RI merupakan tahapan baru dalam era reformasi yang pada dasarnya bermakna
pembaharuan dan perbaikan semua distorsi di berbagi bidang kehidupan
bernegara khususnya bidang ekonomi. Semangat perubahan dan eforia politik
pasca jatuhnya rezim Orde Baru telah membawa semangat perubahan dalam
sejarah ketatanegaraan di Indonesia.

Tujuan pembentukan undang-undang persaingan usaha adalah untuk :


1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan
pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

5.4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah ditetapkan sebagai
lembaga yang berwenang melaksanakan pengawasan sekaligus melakukan
eksekusi jika terjadi pelanggaran terhadap undang-undang persaingan usaha ini.
Posisi lembaga ini adalah regulator bukan pemerintah, namun sebagai salah satu
lembaga negara yang independen. Oleh karena itu, pengesahan keanggotaannya
harus disetujui DPR dalam rangka menjaga tingkat independensinya sebaik
mungkin. Sebagai lembaga baru dan terbatas dalam sumberdaya, KPPU
menjalankan fungsi kuasi-yudikatif, yang dapat menerapkan sanksi administratif
terhadap badan usaha.
Pendekatan KPPU terhadap praktek-praktek persaingan yang tidak sehat
ini dapat dilihat dari dua jenis rumusan pasal-pasal, yang melihat dua asas
pendekatan yaitu: 1. Asas per se illegal, 2. Asas rule of reason. Kegaiatan bisnis
senantiasa berkembang dengan cepat sehingga kedua asas ini dilihat dengan
seksama oleh KPPU untuk menentukan ada atau tidaknya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Yang dimaksud dengan asas per se illegal adalah jenis tindakan dan upaya
yang dilakukan pelaku usaha yang jelas-jelas illegal karena tidak saja
bertentangan dengan substansi undang-undang, tetapi melanggar norma-norma
umum. Contohnya adalah mencuri apapun alasannya. Di dalam substansi undang-
undang persaingan usaha asas per se illegal ini terlihat pada berbagai bentuk
kegiatan atau perjanjian yang jelas-jelas melanggar undang-undang, seperti
kegiatan praktek monopoli, persekongkolan tender, diskriminasi harga, boikot dan
lain-lain.
Yang kedua adalah asas rule of reason atau asas sebab-akibat, dimana
tindakan pelaku usaha secara langsung maupun tidak langsung telah berakibat
merugikan pelaku usaha lain dan atau masyarakat konsumen pada umumnya.
Oleh karena itu KPPU memantau setiap perkembangan usaha, terutama yang
berpotensi melanggar undang-undang persaingan usaha. Dengan demikian asas
rule of reason ini dapat diketahui akibat yang tercipta karena tindakan atau
perjanjian, yang mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat sehingga merugikan pihak lain.

Menurut Undang-undang persaingan usaha No. 5 Tahun 1999, Pasal 35,


tugas KPPU diantaranya :
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16.
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat, sebagaimna diatur dalam pasal 17 sampai
dengan pasal 24.
3. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
4. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. 1

Sedangkan wewenang KPPU menurut Undang-undang persaingan usaha


No. 5 Tahun 1999, Pasal 36, diantaranya :
1. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

1
Dalam Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999, secara terperinci dijelaskan seluruh tugas KPPU.
3. Melakukan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha yang ditemukan oleh Komisi
sebagai hasil dari penelitiannya.
4. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Pada Pasal 47 Ayat 1, dijelaskan bahwa KPPU berwenang menjatuhkan


sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang persaingan usaha. Sanksi yang dapat diberikan KPPU
diantaranya berupa :
1. Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 4 sampai
dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16.
2. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.
3. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan,
4. Penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau
5. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima
miliar rupiah).2

5. Penegakan Hukum
Berdasarkan laporan setiap orang yang mengetahui telah terjadinya
pelanggaran terhadap undang-undang, atau pihak yang dirugikan sebagai akibat
terjadinya pelanggaran Undang-Undang No. 5 tahun 1999 ini, KPPU wajib
melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tigapuluh) hari setelah menerima laporan, KPPU wajib menetapkan perlu atau

2
Definisi Posisi dominan seperti yang tercantum dalam Ketentuan Umum adalah keadaan
dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan,
serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa.
tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Dalam pemeriksaan lanjutan, KPPU
wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.
KPPU dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada
dugaan pelanggaran undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan. Pelaku
usaha dan atau pihak lain yng diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang
diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan. Alat-alat bukti pemeriksaan
KPPU dapat berupa:
1. Keterangan saksi;
2. Keterangan saksi;
3. Surat dan/atau dokumen;
4. Petunjuk;
5. Keterangan pelaku usaha.

Dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak pelaku usaha menerima


pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan KPPU
dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Pelaku usaha dapat
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU tersebut. Pihak yang
keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam hal pemberian sanksi administratif, KPPU berwenang menjatuhkan


sanksi administratif diantaranya berupa:
1. Penetapan pembatalan perjanjian.
2. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal.
3. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan.
4. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham.
5. Penetapan ganti rugi.
6. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,- (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar
rupiah).

6. Ketentuan Lain
Bentuk pengecualian dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usah Tidak sehat adalah
monopoli dan/atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara. Oleh karena itu, kegiatan yang
termasuk dalam pengadaan barang-barang publik (public goods) diatur dalam
undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
dan/atau lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah.
Disamping itu terdapat pengecualian dari ketentaun undang-undang ini,
diantaranya adalah:
1. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian
elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan
dengan waralaba.
3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/jasa yang tidak
mengekang dan/atau menghalangi persaingan.
4. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat.
5. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
6. Perjanjian dan/atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan/atau pasokan pasar dalam negeri.
7. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.
8. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.
Soal Latihan

1. Apa yang dimaksud dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ?
2. Mengapa praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat
mengganggu perekonomian suatu negara?
3. Lembaga apa yang menangani kasus-kasus persaingan usaha tidak sehat di
Indonesia ?
4. Jelaskan nama dasar hukum/undang-undang yang mengatur kebijakan
persaingan usaha di Indonesia !
5. Mengapa BUMN menjadi sebuah entitas lembaga usaha yang boleh
memonopoli penyediaan barang atau jasa di Indonesia ? Jelaskan
BAB VI
ANALISIS ANGGARAN BIROKRASI DAN EFISIENSI

Permasalahan birokrasi di negara-negara berkembang adalah masih tingginya


ketidakefisienan anggaran. Selain itu, birokrat di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia belum profesional dalam menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya.

6.1. Fungsi Anggaran dan Birokrasi


Suatu system ekonomi tergantung pada kerangka insitusional dan dalam
pembahasan mengenai sektor publik yang penting adalah birokrasi. Birokrasi
dapat didefinisikan sebagai berbagai departemen yang menangani penyediaan jasa
yang dihasilkan pemerintah. Setiap biro merupakan organisasi yang bukan dari
penjualan output yang dihasilkannya. Setiap biro dalam melaksanakan tugas dapat
saling bekerjasama (komplementer).
Peranan pemerintah dalam bidang alokasi adalah untuk menjamin
tercapainya penggunaan sumber ekonomi yang efisien yang tidak dapat dicapai
melalui mekanisme pasar bebas. Ekonomis membedakan efisiensi menjadi dua,
yaitu alokatif efisiensi (allocative efficiency) dan X-efisiensi (X-efficiensy). Yang
dimaksud dengan alokatif efisiensi adalah alokasi sumber-sumber ekonomi sesuai
dengan kendala anggaran (budget constraints) konsumen barang dan jasa.
X-efisiensi menunjukkan kondisi pada penawaran (supply side), yaitu
apakah penyediaan suatu barang atau jasa sudah dilaksanakan dengan biaya
minimum atau dengan kata lain X-efisiensi menunjukkan kondisi dimana
penyediaan barang dan jasa tidak terjadi pada batas efisiensi (efficiency frontier).

6.2. Hubungan Birokrasi dan Efisiensi Anggaran


Pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar dalam pencapaian
alokasi sumber ekonomi yang efisien. Akan tetapi, birokrat yang terdiri dari
banyak organ pemerintah tidaklah melaksanakan fungsi pemerintah tanpa
mempertanyakan kebijakan pemerintah sebagaimana dikemukakan Weber.
Niskanen menyatakan bahwa birokrat, sebagaimana juga dengan orang
lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, yaitu gaji, jumlah
karyawannya, reputasi, dan status sosialnya. Karena fungsi utilitas birokrat
berkaitan dengan besarnya anggaran, maka seorang birokrat bukanlah seorang
yang netral terhadap proses pembuatan anggaran pemerintah. Oleh karena itu,
birokrat cenderung akan menghasilkan barang dan jasa yang lebih besar daripada
yang seharusnya, sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber-sumber
ekonomi oleh pemerintah.
Analisis Niskanen dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar sebagai
berikut.

Harga;Biaya

P C

F A
P2 LRAC=LRMC

B
G
D

0
Jumlah barang yang
Q1 Q2 Q3 dihasilkan
MR

Gambar 6.1. Penentuan Output oleh Birokrat

Kurva CGD menunjukkan kurva permintaan sedangkan kurva


LRMC=LRAC menunjukkan biaya marginal dan biaya rata-rata jangka panjang
yang kita asumsikan mempunyai struktur biaya konstan (constant return to scale).
MR menunjukkan kurva penerimaan marginal.
Perusahaan swasta yang berada dalam yang berada dalam posisi monopoli
akan menentukan tingkat output sebesar Q1, menetapkan harga sebesar OP1 dan
memperoleh keuntungan monopolis sebesar P1CBP2. Sebuah perusahaan yang
tidak mendapatkan keuntungan akan menghasilkan output sebesar OG2 dan akan
menetapkan harga sebesar OP2.
Kita asumsikan birokrat memperoleh anggaran sebesar OP2Aq3 yang
ditentukan oleh proses politik. Birokrat tersebut cenderung akan menghasilkan
output sampai tingkat OQ3, yang lebih besar dari tingkat output sampai tingkat
OQ2, yang lebih besar daripada tingkat output yang dihasilkan pengusaha
monopolis atau pengusaha yang tidak mementingkan keuntungan. Apabila OP2
merupakan tingkat harga yang menjamin pareto optimal maka seorang monopolis
cenderung akan menghasilkan output di bawah tingkat output optimum,
sebaliknya seorang birokrat cenderung akan menghasilkan output lebih besar
daripada output optimum. Keduanya menimbulkan welfare loss. Pada kasus
pengusaha monopolis, welfare loss sebesar CBF dab pada kasus birokrat welfare
loss sebesar FAG yang merupakan pengurangan kesejahteraan masyarakat dan
merupakan kerugian bagi seluruh masyarakat.

6.3. Perencanaan Ekonomi Nasional dan Proyek


Perencanaan ekonomi nasional mempunyai dampak besar dalam analisa
proyek. Banyak factor yang digunakan dalam analisa proyek tergantung dari
keputusan nasional atau bila bukan ditentukan oleh pemerintah berarti paling tidak
dipengaruhi. Hal ini sangat jelas terlihat dalam tingkat suku bunga nasional, yang
dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui bank sentral. Permintaan akan satu
produk tergantung dari pertumbuhan penghasilan dan penduduk, perkembangan
penawaran input bagi satu proyek banyak tergantung dari lintas pertumbuhan
ekonomi, masalah kurs valuta asing adalah juga parameter nasional. Badan
Perencana Nasional mempunyai tugas untuk menentukan parameter yang
terkoordiansi secara nasional.
Setelah parameter nasional ditentukan maka kemudian perlu ditentukan
beberapa karakteristik parameter yang mempunyai ruang lingkup berbeda baik
dari sudut pandang regional atau lapisan maupun kelompok masyarakat.
Tujuannya agar dapat tercapai pemerataan. Misalnya dalam alokasi proyek public
dalam ruang nasional, maka penggunaan suku bunga berbeda per region adalah
praktek yang telah digunakan beberapa Negara maju. Daerah yang masih
terbelakang dapat diberi suku bunga social yang lebih rendah dalam analisa
proyek, sehingga akan dapat meluluskan proyek yag lebih banyak di daearah
tersebut daripada bila menggunakan suku bunga social yang sama dengan daerah
maju. Dalam hubungannya dengan perbedaan tingkat penghasilan dalam lapisan-
lapisan masyarakat, dan bila masalah pemerataan menjadi tujuan utama maka
diperlukan penentuan bobot manfaat satu proyek menurut tingkat tersebut. Tetapi
penentuan tidak dapat sembarangan, dan untuk ini perlu memperoleh pendekatan
bantuan umum. Pendekatan dalam proyek tidak lagi hanya mengandalkan
pendekatan parsiil sebagaimana hingga kini banyak dianut. Secara skematis dapat
dijelaskan dalam bagan.
Interaksi ini dapat kelihatan sebagai satu proses yang tidak ada ujung. Inti
dari semuanya ini adalah perlunya mengadakan verifikasi kontinu, bila
lingkungan ekonomi baik internal maupun eksternal telah berubah Badan
Perencana Nasional harus selalu membandingkan ketercapaian sasaran awal.
Perencanaan sektoral tetap menduduki posisi strategis karena sering terjadi bahwa
dalam satu sector terdapat interdependensi antar proyek.
Misalkan satu jaringan jalan yang akan melayani kebutuhan peningkatan
produksi pangan di satu daerah tertentu melalui program ekstensifikasi.
Berhubungan jaringan nasional dan propinsi dan kabupaten atau jalan local harus
saling mendukung maka interdependensi akan menuntut kembali kesaling
tergantungan proyek. Bila satu sector tidak berada di bawah satu departemen
maka peran perencanaan nasional tampil sebagai factor coordinator
interdependensi.
Untuk Indonesia dapat dicontohkan antara angkutan jalan raya dan kereta
api. Fungsi perencanaan nasional ialah sebisa mana mungkin mengeleminir
persaingan yang hanya membawa penggunaan di bawah kapasitas. Antara kedua
modal angkutan dapat diciptakan saling melengkapi, tetapi dapat juga terjadi
persaingan (kompetisi). Angkutan truk jauh sebenarnya dapat digantikan oleh
angkutan kereta api, berarti disini dapat dihilangkan persaingan. Sebaliknya pada
stasiun bongkar muat kereta api, dapat saling komplementer, dimana angkutan
jalan raya meneruskan itinirer mencapai tujuan akhir. Duplikasi ini akan
membantu penyederhanaan rencana proyek-proyek sektoral, walaupun dalam
departemen yang berbeda.
Kemudian, peran Badan Perencanaan Nasional ialah dalam memberikan
identifikasi kegiatan-kegiatan yang mempnyai dampak eksternalitas tinggi, yang
karenanya menuntut campur tangan pemerintah baik dalam proyek maupun dalam
operasinya. Termasuk dalam hal ini pada kegiatan-kegiatan yang mempunyai
ekonomi skala. Ekonomi skala adalah semacam tambang manfaat yang
memerlukan pengolahan, dan campur tangan pemerintah mempunyai justifikasi
dari sudut manfaat public.

BADAN PERENCANAAN NASIONAL

Bentuk model pemrograman


nasional

-Proyeksi Tujuan-tujuan Pembangunan Review proyek+parameter


-Parameter –parameter nasional sesuaikan pada strategi
pembangunan awal, lalu hitung
parameter baru

Departemen

Data departemen persiapan proyek

Daftar proyek dan studi kelayakan

Semua sesuai atau mendekati

Daftar proyek setiap departemen

Gambar 6.2. Skema Interaksi Penyusunan Parameter Nasional


Soal Latihan

1. Jelaskan jenis-jenis efisiensi yang Anda ketahui ?


2. Jelaskan dengan menggunakan kurva tentang inefisiensi birokrasi menurut
Niskanen !
3. Sejauhamana Anda menilai profesionalisme birokrat di negara-negara
berkembang (khususnya Indonesia) dalam menjalankan tugas-tufasnya ?
4. Apa peranan Badan Perencana Nasional dalam penyediaan barang-barang
publik bagi masyarakat ?
5. Sebutkan badan perencana pembangunan di Indonesia !
BAB VII
KEBIJAKAN FISKAL

Salah satu faktor yang dapat menjaga kestabilan perekonoian suatu negara adalah
kebijakan fiskal yang dirancang pemerintah, yang mampu mendorong perekonomian
tumbuh secara stabil.

7.1. Definisi Kebijakan Fiskal


Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah
untuk mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik atau
diinginkan dengan cara mengubah-ubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama persis dengan kebijakan moneter,
perbedaannya terletak pada instrument kebijakannya. Jika dalam kebijakan
moneter pemerintah mengendalikan jumlah uang yang beredar maka dalam
kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluarannya.
Penerimaan pemerintah diasumsikan berasal dari pajak (tax) dan
dinotasikan dengan T, sedangkan notasi untuk pengeluaran pemerintah
(government expenditure) adalah G.

6.2.1. Pajak
Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada
pemerintah yang bersifat memaksa dan legal (berdasarkan undang-undang),
sehingga pemerintah mempunyai kekuatan hokum (misalnya denda atau kurungan
penjara) untuk menindak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya. Pajak
dipungut untuk menjalankan roda pemerintahan.
Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber
daya yang ada di sector rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sector
pemerintah melalui mekanisme pemungutan tanpa wajib memberi balas jasa
secara langsung. Jika pungutan pemerintah sifatnya member balas jasa secara
langsung, maka pungutan tersebut disebut retribusi.
Dari definisinya, pajak yang nilainya positif akan menyebabkan
pendapatan riil makin rendah atau harga barang makin mahal. Tetapi jika nilainya
negative (subsidi), pajak akan meningkatkan pendapatan riil atau menyebabkan
harga output atau input menjadi lebih murah.
Ada beberapa pengklasifikasian pajak yang umumnya digunakan, yaitu:

1. Pajak Obyektif
Pajak obyektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan aktivitas ekonomi
para wajib pajak. Misalnya pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan kepada
mereka yang membeli barang dan jasa kena pajak.

2. Pajak Subyektif
Pajak Subyektif adalah pajak yang dipungut dengan melihat kemampuan
wajib pajak. Indicator yang digunakan adalah pendapatan, bila pendapatan (lebih
tepatnya pendapatan kena pajak) makin besar maka beban pajak juga semakin
besar. Tetapi bila pendapatan seseorang masih di bawah pendapatan tidak kena
pajak (PTKP), orang tersebut tidak perlu membayar pajak pendapatan atau pajak
penghasilan (PPh).

3. Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak dapat digeser
kepada wajib pajak yang lainnya (no tax incidence). Jadi pembayar pajak
langsung adalah pembayar pajak terakhir (last tax payer). Karena pajak langsung
mempunyai banyak kesamaan dengan pajak subyektif, umumnya pajak langsung
adalah pajak subyektif. Contoh pajak langsung di Indonesia adalah pajak
penghasilan (PPh) serta pajak bumi dan bangunan (PBB).

4. Pajak Tidak Langsung


Pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat digeser
kepada wajib pajak yang lain (tax incidence). Contoh pajak tidak langsung di
Indonesia adalah pajak penjualan yang lebih dikenal dengan PPn dan PPnBM.
Pajak ini disebut pajak tidak langsung karena yang dikenakan pajak adalah
produsen, maka produsen dapat menggeser sebagian atau seluruh beban pajaknya
kepada konsumen. Atau sebaliknya bila yang dikenakan pajak adalah konsumen,
maka konsumen dapat menggeser sebagian atau seluruhnya beban pajaknya
kepada produsen. Besar beban pajak yang dapat digeser oleh konsumen atau
produsen sangat ditentukan oleh elastisitas permintaan dan penawaran.

Menurut jenisnya, tarif pajak dapat dibedakan menjadi:


1. Pajak Nominal
Pajak nominal adalah pajak yang pengenaannya berdasar sejumlah nilai
nominal tertentu. Notasi untuk pajak nominal adalah T (huruf besar). Misalnya,
bila pengenaan pajak pendapatan sebesar 50, maka ditulis T=50

2. Pajak Persentase
Pada pajak persentase, beban pajak ditetapkan berdasarkan persentase
tertentu dari pengenaan pajak. Notasi untuk persentase adalah t (huruf kecil).
Pajak persentase dapat dibedakan menjadi pajak proporsional, progresif dan
regresif.
Pajak proporsional, tarif persentasenya tetap. Misal, pajak penghasilan
dikatakan proporsional bila berapapun besarnya penghasilan, tarif pajaknya tetap
20%.
Pajak progresif, tarifnya makin tinggi bila dasar pengenaan pajaknya
makin tinggi. Pajak penghasilan dikatakan progresif bila tarifnya makin tinggi
pada saat pendapatan meningkat. Berdasarkan UU No. 17/2000 penerapan pajak
penghasilan dapat digolongkan sebagai berikut.
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak
≤ Rp 25 juta per tahun 5%
Rp 25 juta – Rp 50 juta per tahun 10%
Rp 50 juta – Rp 100 juta per tahun 15%
Rp 100 juta – Rp 200 juta per tahun 25%
≥ Rp 200 juta per tahun 35%

Pajak regresif adalah kebalikan dari pajak progresif, dimana tarif pajak justru
makin rendah pada saat penghasilan meningkat.
7.2. Politik Anggaran
Politik anggaran dapat dibedakan menjadi anggaran tidak berimbang dan
anggaran berimbang bila dilihat dari perbandingan nilai penerimaan (T) dan
pengeluaran (G). hasil yang dicapai dari kebijakan fiscal merupakan interaksi dari
dampak pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap output keseimbangan.
Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap perubahan pendapatan keseimbangan
adalah:

ΔY =

Sedangkan pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:

ΔY =

1. Anggaran Defisit (Deficit Budget)


Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran difisit
(defisit budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit adalah
anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran
pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (T < G). politik
anggaran defisit ditempuh bila pemerintah ingin menstimulir pertumbuhan
ekonomi, hal ini dilakukan ketika perekonomian berada dalam kondisi resesi.
Diasumsikan kondisi awal anggaran pemerintah adalah anggaran
berimbang (G = T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit, maka ΔG > ΔT,
dimana ΔG ≥ 0 dan ΔT ≥ 0. Karena ΔG > 0 dan ΔG > ΔT, maka pemerintah
menempuh anggaran defisit, pemerintah dianggap memilih kebijakan fiscal
ekspansif.

ΔY karena ΔG =

ΔY karena ΔT =

Sehingga total pengaruhnya (karena ΔG dan ΔT) adalah:

ΔY = + -

= -

Karena penyebutnya sama, yaitu (1 - b), maka pengaruhnya dapat ditulis sebagai:
ΔY =

Jika ΔG > ΔT, maka dapat dikatakan ΔG = ΔT + W, dimana W = ΔG – ΔT,


sehingga:

ΔY =

= ΔT +

= ΔT +

Jadi bila politik anggarannya adalah defisit, maka pengaruhnya terhadap


pertambahan pendapatan lebih besar dibandingkan besarnya defisit pengeluaran
yang direncanakan. Bila ΔT = 0; (W = ΔG) atau ΔG = 0: (W = ΔT), maka

ΔY =

2. Anggaran Surplus
Kebalikan dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah
merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (T > G). atau dapat juga
dikatakan pemerintah menempuh anggaran surplus bila ΔG < ΔT, dimana ΔG dan
ΔT ≥ 0. Politik anggaran surplus diidentikan dengan kebijakan fiscal kontraktif
dan dilakukan bila perekonomian sedang dalam tahap ekspansi dan terus
memanas (overheating). Melalui anggaran surplus pemerintah mengerem
pengeluarannya untuk menurunkan tekanan permintaan atau mengurangi daya beli
dengan menaikkan pajak. Pengaruh anggaran surplus terhadap output
keseimbangan adalah kebalikan dari pengaruh anggaran defisit.

3. Anggaran Berimbang
Pemerintah dikatakan menempuh politik anggaran berimbang bila
pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G = T atau ΔG = ΔT).
Dua hal utama yang ingin ditempuh oleh pemerintah bila menerapkan politik
anggaran berimbang adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran.
Karena ΔG = ΔT, maka pengaruh anggaran terhadap keseimbangan
ekonomi adalah:
ΔY karena ΔG =

ΔY karena ΔT =

Oleh karena ΔG = ΔT, maka:

ΔY = - , atau

= -

= . ΔT

= 1 . ΔT, atau
ΔY = 1 . ΔG, berarti
ΔY = ΔG = ΔT
Sehingga dapat dikatakan efek multiplier anggaran berimbang adalah sama
dengan satu (balance budget multiplier).
7.3. Reformasi Manajemen Keuangan Negara
Untuk mengakomodasi berbagai perkembangan dalam sistem
kelembagaan negara, pengelolaan keuangan negara, dan mewujudkan sistem
pengelolaan fiskal yang berkesinambungan, pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Undang-Undang
tersebut menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagai dasar
manajemen keuangan pemerintahan. Prinsip-prinsip tersebut sekaligus
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah
dimuat dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25
tahun 1999 yang mengatur kewenangan dan sistem perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pendekatan yang digunakan dalam merumskan keuangan negara adalah
dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan
keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki oleh negara, daan atau dikuasai
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan
lainnya yangada kaintannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan
yang berkaitan dengan pengenalan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggung
jawaban. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan,
dan hubungan hukum yang berkaitan dengan kepemilikan dan/atau penguasaan
obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara. Bidang pengeloalaan keuangan negara demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub-bidang fiskal, sub-bidang pengelolaan moneter, sub-
bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggaraakan
secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal
23C UUD 1945, undang-undang tentang keuangan negara perlu menjabarkan
aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD tersebut ke dalam asas-asas
umum yang meliputi baik asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas. Selain itu juga sebagai cerminan best practice dalam pengelolaan
keuangan negara yang baik, juga menerapkan:
• Akuntabilitas berorientasi pada hasil
• Profesionalitas
• Proporsionalitas
• Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
• Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri
Presiden selaku kepala pemerintahan memegang pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kewenangan tersebut
meliputi kewenangan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Untuk
membantu presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan yang dimaksud,
sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada menteri keuangan selaku
pengelola fiskal dan wakil pemerintahan dalam kepemilikan kekayaan yang
dipisahkan serta kepada menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang kementrian lembaga yang dipimpinnya.
Sub-bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi
perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara sebagian kekuasaan presiden tersebut diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk
mencapai kestabilan nilai tukar rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
dilakukan oleh Bank Sentral.
Pengaturan secara jelas kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara
merupakan prinsip pokok dalam pengelolaan keuangan negara yang transparan
dan akuntabel. Penerapan prinsip ini diyakini berpengaruh besar bagi upaya
pencapaian tujuan bernegara, hal ini dikarenakan manifestasi pengelolaan
keuangan negara dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan adalah disusun dan
dilaksanakannya APBN dan APBD setiap tahunnya.

7.4.Dampak Pajak terhadap Pendapatan dan Konsumsi


Pajak nominal pertama kali mempengaruhi pendapatan disposable. Jika
pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposable:
Yd = Y – T
Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah:
C = Co + bYd
Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y – T, sehingga fungsi
konsumsi menjadi:
C = C0 + bYd
= C0 + b(Y – T)
= C0 + bY – bT
= C0 – bT + bY
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa pajak nominal tidak mengubah nilai MPC.
Artinya pajak nominal tidak mengubah sensitivitas konsumsi akibat adanya
perubahan pendapatan. Yang berubah adalah konsumsi autonomous, dimana pajak
nominal menyebabkan konsumsi autonomous menjadi lebih kecil sebesar bT.
Contoh:
Misal C1=100+0,8Yd dan pajak nominal (T) sebesar 25, maka pengaruhnya
adalah sebagai berikut:
C2 = 100 + 0,8Y(Y-25)
= 100 – 20 + 0,8Y
= 80 + 0,8Y
Pajak nominal tidak merubah MPC, melainkan menggeser kurva konsumsi ke
bawah sebesar 20 unit (sebesar b x T atau 0,8 x 25). Seperti yang digambarkan
dalam gambar di bawah ini. C1=100+0,8Y

C
C2=80+0,8Y

100

Penurunan konsumsi autonomous


dari 100 menjadi 80
80
akibat pajak nominal 100

0
Y
Gambar 7.1. Dampak Pajak pendapatan nominal terhadap perilaku konsumsi

Jika pajak penghasilan yang dikenakan adalah pajak proporsional (t), maka
pendapatan disposable menjadi:
Yd = Y – tY = Y(1 – t)
Akibatnya fungsi konsumsi berubah menjadi:
C = C0 + bYd = C0 + b{Y(1-t)}
= C0 + bY – btY = C0 + (b – bt)Y
Ternyata pajak proporsional menyebabkan MPC menjadi (b – bt) atau
lebih kecil sebesar bt, sedangkan konsumsi autonomous tetap.
Contoh:
Fungsi konsumsi awal C1=100+0,8Yd, bila pajak pendapatan 25%, maka
Yd=(1-t)Y
Fungsi konsumsi yang baru menjadi:
C2 = 100 + 0,8(1-0,25)Y
= 100 + 0,8(0,75)Y
= 100 + 0,6Y
Pajak proporsional telah menyebabkan MPC berubah menjadi 0,6 atau 0,2 lebih
kecil dari MPC sebelum ada pajak proporsional. Perubahan MPC dapat dijelaskan
dalam gambar berikut.
C

Pajak pendapatan 25 %
Mengubah MPC
Dari 0,8 menjadi 0,6

0 Y

Gambar 7.1. Dampak Pajak pendapatan proporsional terhadap perilaku konsumsi


Soal Latihan

1. Apa yang Anda ketahui dengan kebijakan fiskal ?


2. Mengapa kebijakan fiskal perlu dikelola dengan baik oleh pemerintah ?
3. Sebutkan jenis-jenis politik anggaran yang Anda ketahui ?
4. Jelaskan antara pajak nominal dan pajak persentasi ? Berikan contohnya !
5. Sejauhmana Anda menilai pengelolaan penerimaaan pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak Departemen Keuangan dewasa ini ?
BAB VIII
KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL
DAN KEBIJAKAN MONETER

Koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter dilakukan untuk memepertahankan


perekonomian pada level yang diharapkan.

Kekeliruan dalam perancangan instrumen kebijakan fiskal dan mobeter akan


berdampak negatif terhadap perkembangan sektor riil dan kesejahteraan masyarakat.

8.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian


Kebijakan fiskal akan memengaruhi perekonomian melalui penerimaan
negara dan pengeluaran negara. Di samping pengaruh dari selisih antara
penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga
dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang
dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat
dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat
dikategorikan sebagai pengeluaran. Pada dasarnya yang dimaksud dengan
penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut
pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam
perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar
negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.
Yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran
untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara
ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan
cicilan utang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan
diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Surplus akan menimbulkan efek
kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya
surplus tersebut. Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai
cadangan atau untuk membayar utang pemerintah.
Dalam hal terjadi defisit maka defisit tersebut dapat dibiayai dengan
pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam
negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan
nonperbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan
privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara
merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri nonperbankan yang
nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Dalam hal ini
perlu diperhatikan adalah menjaga agar utang luar negeri atau utang dalam negeri
tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Defisit APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian.
Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak
akan menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut
dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan
sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi, bila pinjaman luar
negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri,
maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman dari luar negeri tersebut akan
menimbulkan tekanan inflasi. Di lain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan
penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan
menimbulkan tekanan inflasi.
Pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar
negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas
modal pemerintah. Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik,
lalu lintas modal pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat
dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang
positif menunjukkan adanya cash inflow.

8.2. Definisi dan Instrumen Kebijakan Moneter


Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan
perekonomian makro ke kondisi yang diingkinkan (yang lebih baik) dengan
mengatur jumlah uang yang beredar. Kondisi yang lebih baik yaitu meningkatnya
output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol).
Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah atau
mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan
ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi.
Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang yang beredar, maka
pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif. Sebaliknya, jika
jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter
kontraktif atau kebijakan uang ketat.
Ada empat instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang
beredar yaitu operasi pasar terbuka, fasilitas diskonto, rasio cadangan wajib, dan
imbauan moral
1. Operasi pasar terbuka
Adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara
menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah.
Jika ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka pemerintah menjual
surat-surat berharga. Dengan demikian uang yang ada dalam masyarakat
mengalir ke otoritas moneter, sehingga jumlah uang beredar berkurang. Jika
ingin menambah jumlah beredar, maka pemerintah membeli kembali surat-
surat berharga tersebut. Guna lebih mengefektifkan operasi pasar terbuka ini,
Bank Indonesia telah mengembangkan kedua instrument tersebut dengan
menambahkan fasilitas repurchase agreement (repo) ke masing-masing
instrument, sehingga saat ini dikenal dengan SBI repo dan SBPU repo.
Di Indonesia, operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau
membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang
(SBPU).

2. Fasilitas diskonto
Tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan
pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Dalam
kondisi tertentu, bank-bank mengalami kekurangan uang, sehingga mereka
harus meminjam kepada bank sentral. Kebutuhan ini dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk mengurangi atau menambah jumlah uang beredar.
Bila pemerintah ingin menambah jumlah uang beredar, maka
pemerintah menurunkan tingkat bunga pinjaman (tingkat diskonto). Dengan
tingkat bunga pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk
meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih besar, sehingga jumlah uang
beredar bertambah.
3. Rasio cadangan wajib
Penetapan rasio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang
beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank
memberikan kredit akan lebih kecil disbanding sebelumnya. Misalnya, jika
rasio cadangan wajib mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito
yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari
deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang
dari sistem perbankan adalah 10.
Bila rasio cadangan wajib diperbesar menjadi 20%, maka untuk setiap
unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan kredit sebesar
80%. Angka multiplier uang dari sistem perbankan menurun menjadi 5,
dengan demikian jumlah uang beredar di masyarakat akan berkurang.
Sebaliknya yang terjadi bila pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib.
Sebab penurunan rasio tersebut akan memperbesar angka multiplikasi uang,
yang berarti akan meningkatkan jumlah uang beredar.
Untuk pertama kalinya sejak Pakto 1988, Bank Indonesia menggunakan
rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran moneter
yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan rasio menjadi 3% pada Februari
1996. Sejak April 1997 besarnya rasio cadangan wajib adalah 5%.

4. Imbauan Moral
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau
mengendalikan jumlah uang beredar. Misalnya Gubernur Bank Indonesia
dapat member saran agar perbankan berhati-hati dengan kreditnya atau
membatasi keinginannya meminjam uang dari Bank Sentral.

8.3. Kebijakan Moneter dan Kelembagaan Pengaturan Operasional


Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter harus didukung
oleh pembentukan lembanganya dan pengaturan operasionalnya. Pertama,
mengenai ketentuan ekonomi Bank Sentral, yaitu seberapa jauh Bank Indonesia
dapat memberikan pinjaman kepada pemerintah. Dalam hal ini berdasarkan
undang-undang yang berlaku (UU No. 23/1999) Bank Indonesia tidak diijinkan
untuk memberi pinjaman kepada pemerintah dengan alasan dan jangka waktu
apapun.
Kedua, pembentukan suatu komite yang beranggotakan pejabat-pejabat
Bank Indonesia dan pejabat-pejabat Departemen Keuangan akan sangat
membantu menghilangkan perbedaan pendapat mengenai penurunan dari tingkat
suku bunga. Apalagi karena instrument yang oleh Bank Indonesia dalam OMO
adalah SBI, dan bukan obligasi pemerintah.
Ketiga, pengaturan operasional, dimana perlu dilakukan tukar menukar
informasi antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan akan sangat
membantu operasi sehari-hari Departemen Keuangan dan Bank Indonesia di
dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan.
Keempat, baik Departemen Keuangan maupun Bank Indonesia
mempunyai kepentingan yang sama untuk mempunyai pasar sekunder bagi
obligasi pemerintah yang berfungsi baik.
Akan tetapi, koordinasi ini tidak terlalu penting artinya bila instrument
yang dipakai oleh Bank Indonesia berbeda dengan instrument yang dipakai
Departemen Keuangan. Walaupun demikian, Bank Indonesia terlibat dalam
penerbitan obligasi negara, paling tidak dalam dua hal. Pertama, Bank Indonesia
bertindak sebagai penasehat pemerintah yang akan memberitahu pemerintah
mengenai situasi likuiditas dalam perekonomian, perkembangan tingkat bunga,
kredit perbankan, dan sebagainya. Kedua, sebagi fiskal agent, Bank Indonesia
melakukan pembayaran kepada dan menerima pembayaran dari investor. Di
samping itu Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir pemerintah atas
simpanan pemerintah di Bank Indonesia.
Hingga saat ini, belum terdapat koordinasi antara Departemen Keuangan
sebagai pengelola fiskal dan Bank Indonesia sebagai pengelola moneter. Masing-
masing pihak hanya memanfaatkan informasi dan data yang diterbitkan oleh pihak
lainnya, untuk dipakai dalam penentuan target-target.

8.4. Efektifitas Kebijakan Fiskal


Kebijakan fiskal dikatakan efektif bila mampu mengubah tingkat bunga (r)
dan atau output sesuai dengan yang diinginkan pemerintah. Pengaruh kebijakan
fiskal terhadap output keseimbangan, pertama terjadi melalui pengaruhnya
terhadap keseimbangan pasar barang dan jasa.
1. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pasar Barang-Jasa
Dampak pengeluaran pemerintah yang ekspansif (ΔG>0, sementara ΔT=0)
menyebabkan kurva IS bergeser ke kanan. Pada tingkat bunga yang sama
(misalnya r1), pergeseran kurva IS tersebut menyebabkan output keseimbangan
bergeser ke Y1. Sebaliknya dampak anggaran defisit (ΔG<0, sedangkan ΔT=0)
menyebabkan kurva IS bergeser ke kiri. Pada tingkat bungan yang sama, yaitu r 1,
pergeseran kurva IS menyebabkan output keseimbangan berkurang menjadi Y 2.
Jarak antara Y dengan Y1 adalah sama dengan jarak antara Y dengan Y2. Jarak-
jarak keseimbangan tersebut merupakan ΔY, yang besarnya sama dengan ΔG/(1-
b).

Fiskal ekspansif

ΔY= ΔG/(1-b)

Fiskal kontraktif

ΔY= ΔG/(1-
b)

Gambar 7.1. Dampak kebijakan fiskal terhadap kesimbangan barang-jasa

2. Dampak Kebijakan Fiskal Ekspansif terhadap Inflasi


r LM0

LM1

r1

r0 Moneter ekspansif

IS1
IS0
Y
0
Y Y2 Y1

Gambar 7.2. Kebijakan Kombinasi (Moneter dan Fiskal)

Dalam diagram terlihat bahwa kondisi keseimbangan awal tercapai pada


saat tingkat bunga adalah r0 dan output keseimbangan adalah Y. bial pemerintah
menempuh anggaran ekspansif yang menyebabkan kurva IS bergeser ke IS 1,
tadinya yang diharapkan pemerintah adalah bertambahnya output keseimbangan
sebesar (Y1-Y), sementara tingkat bunga tetap. Jarak Y1-Y adalah sebesar ΔG/(1-
b). namun bila diperhatikan yang terjadi adalah output keseimbangan hanya
mencapai Y2 yang lebih kecil dari yang ditargetkan (Y1). Bahkan terjadi inflasi
dari tingkat bunga yang bergeser ke r1.

Ternyata penambahan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan


naiknya pengeluaran agregat. Naiknya pengeluaran agregat menyebabkan
keinginan sector swasta melakukan investasi semakin besar. Hal tersebut memang
diharapkan pemerintah. Besarnya investasi yang diharapkan pemerintah disebut
sebagai investasi yang diharapkan dan dinotasikan IE.peningkatan permintaan
investasi tidak diikuti dengan permintaan kemampuan pemberian kredit. Hal itu
dilihat dari kurva LM yang tidak bergeser ke kanan jika permintaan investasi
meningkat sedangkan penawaran kredit tetap, terjadilah kelebihan permintaan
investasi yang menyebabkan naiknya harga investasi. Ini ditunjukkan dengan
naiknya tingkat bunga, yang berarti naiknya biaya modal, menyebabkan ada
rencana-rencana investasi menjadi tidak layak (no feasible), sehingga terpakasa
dibatalkan. Lebih lanjut, permintaan investasi nyata (real investmen,I R) tidak
sebesar yang ditargetkan (IR < IE). Karena itu pertumbuhan ekonomi riil juga lebih
kecil dari yang diharapkan. (Y2-Y) lebih kecil da (Y2-Y) lebih kecil dari (Y1-Y).

Menurunnya investasi swasta yang menyebabkan tidak tercapainya target


pertumbuhan ekonomi dari kebijakan fiskal ekspansif disebut sebagai crowding
out effect. Cara mengatasi crowding out effect dengan meningkatkan uang yang
beredar. Kebijakan fiskal dilakukan bersamaan dengan kebijakan moneter
ekspansif. Kebijakan moneter yang ekspansif akan menggeser kurva LM ke kanan
sehingga penambahan jumlah uang akan mengatasi gejala permintaan investasi
dan suku bunga tidak naik. Kebijakan ini disebut denga kebijakan kombinasi.

3. Slope Kurva IS dan LM


Tingkat Bunga

Yo

Yo IS6

Yo

IS5
Yo

Yo

IS4
IS3
IS1 IS2
Y

Yo Y1 Y2 Y4 Yo

Interval Keynes Interval Antara Interval Klasik


Kebijakan Fiskal -Y4 : Y Full
employnment
Efektif sempurna - Kebijakan fiskal
tidak efektif
Sempurna
Grafik 7.3. Efektifitas Kebijakan Fiskal

Secara grafis slope LM akan mempengaruhi efektifitas kebijakan fiskal


seperti dijelaskan dalam gambar 7.3.
Bila slope kurva LM mendatar sejajar sumbu horizontal (interval
Keynesian), maka kebijakan fiskal efektif sempurna karena mampu
mempengaruhi output keseimbangan tanpa menimbulkan inflasi. Menurut
Keynesian, kurva LM yang mendatar menggambarkan perekonomian berada
dalam kondisi lesu karena perangkap likuiditas, dimana sekalipun tingkat bunga
sudah sedemikian rendah, tingkat investasi tidak meningkat. Hal ini terjadi karena
begitu lemahnya ekspektasi masyarakat. Agar perekonomian pulih kembali, maka
ekspektasi harus dipulihkan. Untuk itu dibutuhkan campur tangan pemerintah
melalui peningkatan pengeluaran pemerintah melalui peningkatan pengeluaran
pemerintah yang akan mendorong kegiatan ekonomi. Dalam grafik 7.3.
menunjukkan bahwa kebijakan fiskal ekspansif (IS 0 ke IS1), telah menaikkan
output keseimbangan dari Y0 ke Y1, sementara tingkat bunga tetap di r1.
Pada interval antara, dimana slope LM > 0, kebijakan fiskal ekspansif (IS 3
ke IS4), telah menaikkan output dari Y2 ke Y3, tetapi tingkat bunga juga naik dari
r3 ke r4.
Bila slope tegak lurus (interval klasik), perekonomian berada dalam
kondisi seperti yang diasumsikan klasik, yaitu kesempatan kerja penuh dan uang
bersifat netral. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal tidak efektif sempurna.
Kebijakan fiskal ekspansif (dari IS5 ke IS6) hanya menaikkan tingkat bunga
(inflasi) dari r5 ke r6, sementara output tidak berubah yaitu tetap di Y 4 yang
merupakan tingkat output pada kesempatan kerja penuh.

Soal Latihan

1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan moneter ?


2. Jelaskan instrumen-intrumen kebijakan moneter ?
3. Apa yang harus dilakukan oleh Bank Sentral dalam menekan laju jumlah
uang beredar dari sisi operasi pasar terbuka ?
4. Sejuhmana Anda melihat perkembangan sektor riil dengan kebijakan
mononetr yang dijalankan oleh Bank Sentral di Indonesia ?
5. Bagaimana tangggapan Anda sebagai mengenai peran SBSN (Surat
Berharga Syariah Negara ) dalam pembiayaan proyek-proyek pemerintah ?
BAB IX
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG
KEBIJAKAN FISKAL

Reformasi dan Penguatan institusi keuangan negara mutlak dilakukan sebagai upaya
pengamanan sumber-sumber kuangan negara dan sebagai wujud tanggungjawab
terhadap masyarakat.

9.1. Apek Hukum dalam Penetapan Kebijakan Keuangan Negara


Sebagai suatu Negara hokum yang berkedaulatan rakyat serta dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara berdasarkan pada konstitusi, pengelolaan
keuangan Negara harus dilaksanakan sesuai aturan-aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam UUD 1945. Dalam Bab 8 hal Keuangan UUD 1945, diatur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan setiap tahun
dengan UU. Begitu pula ketentuan mengenai keuangan Negara diatur dengan UU.
Pada tanggal 5 April 2003, secara resmi UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) diundangkan. Selama ini,
pengelolaan keuangan Negara hanya didasarkan pada ketentuan perundang-
undangan warisan colonial Belanda yaitu ICW (Indische Comptabiliteitswet),
RAB (Regelen Voor Het Administratief Behcer) dan IAR (Instructie en Verdere
Bepalingen Voor de Algemene Rekenkamer) yang berlaku berdasarkan Aturan
Peralihan UUD 1945.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan Negara yang
bersumber dari UU warisan colonial selama ini menjadi salah satu penyebab
terjadinya bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan Negara termasuk
“kebocoran anggaran”. Hal mendasar yang termasuk dalam kebocoran anggaran
tersebut adalah tidak memadainya perangkat hokum yang menjadi dasar
pengaturan mengenai keuangan Negara selama ini, dimana pengaturan keuangan
didasarakan pada ketentuan perundang-undangan warisan colonial Belanda yaitu
ICW yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 tidak mampu
mendukung tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang semakin kompleks serta
kurang memenuhi prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Negara sebagaiman
diamanatkan dalam UUD 1945.
UU warisan colonial tersebut disusun dalam perspektif kepentingan
penjajah sehingga mengabaikan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan
anggaran yang baik. Sedangkan dari dimensi waktu, system pengelolaan kas dan
utang dalam ICW hanya tepat digunakan untuk masa dimana sarana informasi dan
komunikasi masih sangat terbatas. Selain itu adanya paradigm lama yang
menganggap bahwa poses pelanggaran semata-mata merupakan kegiatan
eksekutif, sehingga transparansi dan akuntabilitas bukan merupakan prioritas.
Dengan adanya UU keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara
serta paket perundang-undangan di bidang keuangan lainnya yaitu RUU
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah
disetujui oleh DPR RI menjadi UU pada tanggal 21 Juni 2004 untuk
menggantikan ICW warisan colonial, diharapkan terciptanya tonggak reformasi
hukum Indonesia bagi penyusunan anggaran Negara dan pengelolaan
perbendaharaan Negara yang memenuhi syarat akuntabilitas. Dengan demikian
diharapkan tidak terjadinya kebocoran anggaran lagi.
Pengelolaan keuangan Negara berdasarkan UUD 1945 dan UU
tentang Keuangan Negara dapat digambarkan dalam Bagan 9.1
Bagan 9.1 Struktur dan Posisi Hukum UU Pengelolaan Keuangan Negara
UUD 1945

Presiden
Kepala Pemerintahan

Pengelolaan Pengelolaan Pengelolaan


Pertahanan Keuangan Lainnya
Negara

Disahkan Dikuasakan Diserahkan Tidak Termasuk


Gubernur / Bupati /
Menteri Keuangan Menteri / Pimpinan Lembaga Walikota Bidang Moneter

• Pengelola fiscal • Pengguna anggaran / • Pengelola • Mengeluarkan


pengguna barang. keuangan daerah uang
• Wakil pemeerintah
dalam pemilihan Pasal 6 ayat (2) b • Wakil pemeerintah • Mengedarkan uang
kekayaan negara dalam pemilihan
yang dipisahkan. kekayaan daerah Pasal 6 ayat (2) d
yang dipisahkan.
pasal 6 ayat (2) a
pasal 6 ayat (2) c
UU Keuangan Negara mengatur tentang susunan APBN dan APBD,
ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN, pengaturan hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan Bank Sentral, pemerintah daerah dan
pemerintah/lembaga asing. Dalam keuangan Negara diatur pula mengenai
hubungan keuanagan antara pemerintah dengan perusahaan Negara, perusahaan
swasta dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas
waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Dari uraian pada Bagan 9.1, UU Keuangan Negara menjadi legal basis atau
dasar hukum untuk mengatur penganggaran yang mampu mendukung proses
penyusunan anggaran yang baik, karena :
1. Mengandung pengaturan tentang rencana kerja dan anggaran jangka
menengah yang terkait dengan prioritas pengelolaan ekonomi makro
pemerintah
2. Mencakup pengaturan tentang pembatasan pengeluaran tahunan baik
fungsi maupun organisasi yang mencerminkan prioritas pemerintah
3. Menciptakan kejelasan tanggung jawab untuk menjamin akuntabilitas dan
pengelolaan secara efektif.
4. Mampu menghasilkan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat
melalui DPR
5. Mengharuskan adanya auditor independen untuk mengaudit ketaatan
terhadap ketentuan perundang-undangan dan juga terhadap kinerja dalam
rangka mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan.

9.2. Pergerakan Persentase Penerimaan Negara


Kebijakan ekonomi makro pada tahun pascareformasi diarahkan untuk
mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia. Sejalan dengan berakhirnya
dukungan Dana Moneter Internasional pada akhir tahun 2003, kebijakan fiscal
memiliki peran yang sangat strategis sebagai salah satu piranti kebijakan
pemerintah untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi Indonesia.dalam hal
ini pemerintah senantiasa dengan sungguh-sungguh mengupayakan peningkatan
penerimaan Negara dengan menggenjot penerimaan Negara dari sector pajak.
ujung tombak dalam neraca APBN Indonesia.
Tahun
94/95 95/96 96/97 97/98 98/99 99/00 2000 2001 2002 2003
penerimaan
perpajakan 66.91 68.25 66.46 69.7 65.47 62.77 56.45 61.72 70.42 75.6
bukan
penerimaan
pajak 33.09 31.75 33.54 30.3 34.53 37.23 43.55 38.28 29.59 24.4

Dalam rangka meningkatkan pendapatan Negara dari sector pajak


merupakan ujung tombak penerimaaan uang negara.
Hal ini terlihat dari time series data selama kurun waktu 10 tahun terakhir
yang menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan selalu diatas 50 persen dari
total penerimaan Negara. Sebagaimana dijelaskan dalam table dan grafik 8.3,
peningkatan drastis terjadi semenjak kurun waktu 2000 hingga tahun 2003 dimana
penerimaan Negara dari sector perpajakan mencapai 75 persen dari total
penerimaanm keuangan Negara.

Tabel 9.1. Persentase Penerimaan Negara 1994-2003

Grafik 9.1. Presentase Penerimaan Negara 1994-2003

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara menjelaskan


bahwa “Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan
pengelolaan keuangan Negara, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan
kepada menteri keuangan selaku pengelola fiscal dan wakil pemerintah dalam
kepemilikan kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Hal ini berarti Menteri Keuangan bertanggung jawab dalam bidang
pengelolaan fiscal yang meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiscal dan
kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi
kepabeanan, perbendaharaan dan pengawasan keuangan Negara.
Dengan melihat fungsi tersebut departemen keuangan memiliki peranan
yang strategis dan sekaligus memikul tanggung jawab yang sangat berat. Guna
mendukung tugas tersebut agar dapat terselenggaranya dengan baik, tentunya
diutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, terutama diperlukan dukungan
sumber daya manusia yang berkualitas. Boundru dan Ramstad (1997) berpendapat
bahwa organisasi yang berhasil adalah organisasi yang selalu menempatkan
sumber daya manusianya sebagai asset yang paling berharga.

9.3. Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara


Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian kuatnya sehingga
pengawasan yang dilakukan lembaga lain seperti DPR, BPK, dan pengawasan
masyarakat menjadi kurang berarti. Pembentukan BPK didasarkan pada ketentuan
UUD 1945 Pasal 23 ayat 5, berdasarkan undang-undang tersebut sangat jelas
bahwa pemerikasaan atas tanggung jawab pengelolaan keuangan Negara
dilakukan oleh BPK. Kemudian hasil pemeriksaan keuangan BPK tersebut
diserahkan kepada DPR. Jadi fungsi pemeriksaan tentang pengelolaan keuangan
Negara ini bagi BPK merupakan fungsi konstitusional.
BPK yang bertugas memerikasa atas tanggung jawab pemerintah atas
keuangan Negara adalah suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kedudukan
pemerintah dan melaksanakan pemeriksaan dari luar tubuh pemerintah.
Kedudukan dan tugas BPK diatur dalam UU No. 5 tahun 1973 tentang Badan
Pemeriksaan Keuangan.
Dalam pasal 1 UU No 5 tahun 1975 menjelaskan bahwa BPK adalah
lembaga tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh
dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah.
Sedangkan tugas BPK adalah:
1. BPK bertugas untuk memeriksa tanggungjawab pemerintah tentang keuangan
Negara.
2. BPK bertugas untuk memeriksa semua pelaksanaan APBN.
3. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang.
4. Hasil pemeriksaan BPK diberitahukan kepada DPR.

Selain BPK yang merupakan aparat pengawas di luar pemerintah, terdapat


pula beberapa aparat pengawas fungsional (intern) pemerintah, yaitu:
1. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk dengan
Keputusan Presiden No. 31/1983 sebagai pengganti Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara yang ditetapkan Presiden tahun 1966, yang
membantu Presiden melakukan pengawasan di bidang keuangan dan
pembangunan di lingkungan instansi pemerintah.
2. Inspektorat Jenderal Departemen dan aparat pengawasan lembaga pemerintah
non-departemen yang membantu menteri dan kepala lembaga pemerintah
non-departemen melakukan pengawasan dalam instansinya masing-masing.
3. Inspektur Jenderal Pembangunan melakukan pengawasan terhadap proyek-
proyek pembangunan sektoral, Inpres, Banpres, bantuan desa maupun
proyek-proyek daerah lainnya.
4. Satuan pengawas intern pada BUMN/BUMD yang merupakan unit pengawas
di perusahaan-perusahaan milik pemerintah pusat maupun daerah.
5. Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop) yang membantu gubernur/kepala
wilayah melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerahbaik
yang bersifat rutin maupun pembangunan.
6. Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang membantu
Bupati/Walikotamadya melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan
daerah di kabupaten/kotamadya yang bersangkutan, baik yang bersifat rutin
ataupun pembangunan.
Masing-masing aparat pengawas seperti di atas melaksanakan kegiatannya
sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Jika hasil pekerjaan tersebut
ditindak lanjuti maka akan sangat bermanfaat sekali bagi penyelenggaraan
pemerintahan terutama dalam mencegah dan mengungkapkan berbagai
penyimpangan, ketidak efisienan, dan pemborosan keuangan Negara.
Namun demikian harus diakui pula bahwa peran lembaga-lembaga
tersebut belum mampu memperbaiki kinerja birokrasi. Kegiatan birokrat masih
diwarnai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Aparat yang diharapkan
menjamin pelaksanaan pemerintahan agar dapat berjalan efektif dan efisien pada
kenyataannya masih jauh dari harapan.
Permasalahan di bidang pengawasan yang membuat tidak efektif adalah
ketentuan hukum di bidang pengawasan yang masih terpisah, belum ada satu
ketentuan hukum yang mengatur system pengawasan di Indonesia baik mengenai
kewenangan, tugas, hak, dan tanggung jawab masing-masing. Yang menjadi
pengawasan tidak efektif selain iu juga, tidak adanya kesamaan dalam standar
pemeriksaan.
Untuk menjaga kualitas hasil pemeriksaan dibutuhkan standar
pemeriksaaan atau yang disebut juga Audit Standard. Pada saat ini terdapat
beberapa standar pemeriksaan yang menjadi acuan dalam pemeriksaan. Pada tahu
1995, BPK mengeluarkan Standar Audit Pemerintahan sebagai pengganti dari
Norma-Norma Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara tahun 1976.
Standar audit pemerintahan tersebut mengacu pada Government Audit Standards
1994 Revision dari US General Accounting Office (US GAO).
Demikian pula BPKP mengeluarkan standar audit yang dikukuhkan
dengan Surat Keputusan Kepala BPKP No. 378/K/1996 tentang Standar Audit
Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah yang merupakan penyempurnaan dari
norma pemerikasaan aparat pengawasan fungsional pemerintahan tahun 1985.
Standar tahun 1996 ini berisi standar umum, standar koordinasi dan kendali mutu,
standar pelaksanaan, standar pelaporan, standar tindak lanjut.
Adanya beberapa standar tersebut menyebabkan rancunya pelaksanaan di
lapangan, terutama mengenai standar mana yang harus dianut. Padahal,untuk
mengukur kualitas pemeriksaan haruslah dinilai sejauh mana pelaksanaan audit
mengikuti standar yang ditentukan.
Untuk mengatasi beberapa permasalahan tersebut dikeluarkan Instruksi
Presiden No. 15 tahun 1983 tentang pedoman pelaksanaan pengawasan. Pedoman
ini mengatur pengawasan melekat dan pengawasan fungsional.
Krisis ekonomi yang berlanjut pada gelombang reformasi menunjukkan
adanya kesalahan dalam pengawasan dan pengelolaan keuangan Negara.
Reformasi di tahun 1998 sebagai akibat adanya krisis social dan ekonomi juga
berdampak pada tatanan pengawasan pengelolaan keuangan Negara. Berdasarkan
UUD 1945 pasal 23 ayat 5, maka kedudukan BPK sebagai aparat pengawas
pengelolaan keuangan Negara menjadi semakin kuat dan dipertegas
kemandiriannya dari pemerintah. Demikian juga peran DPR sebagai pengawas
pengelola keuangan Negara menajadi semakinn kuat.
Kedudukan BPK sebagai aparat pengawas pengelolaan keuangan Negara
yang bertugas melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengelolaan keuangan
Negara menjadi semakin kuat dengan adanya UU No. 17/2003 tentang keuangan
Negara. Hal ini yang sangat penting dalam pengelolaan keuangan Negara setelah
reformasi adalah adanya desentralisasi pemerintahan, yaitu dikeluarkannya UU
No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah.
Dengan adanya otonomi daerah tersebut, maka sifat dari pengawasan pun
berubah, yang tadinya sentralistis menjadi desentralistis. Pemerintah daerah baik
di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota telah membentuk Badan Pengawasan
Daerah (Bawasda) sebagai pengganti Inspektorat Wilayah
Provinsi/kabupaten/kota. Untuk mengatur penyelenggaraan pengawasan di daerah
dikeluarkan PP No. 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan
Keppres No. 74 tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Soal Latihan

1. Mengapa manajemen keuangan negara penting diperhatikan oleh


pemerintah ?
2. Mengapa penerimaaan pajak merupakan sektor idola penerimaaan
pemerintah dibandingkan dari sektor laba BUMN ataupun utang
pemerintah dari obligasi dan sukuk negara ?
3. Coba Anda nama dasar hukum pengelolaan keuangan negara di Indonesia
4. Dapatkan Anda menjelaskan tugas-tugas BPK ?
5. Disamping BPK, coba Anda jelaskan lembaga-lembaga lain yang menjadi
pengawas interen pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara !
BAB X
REFORMASI KEBIJAKAN FISKAL
DI INDONESIA

Reformasi di bidang administarsi perpajakan dan kepabeanan pada Direktorat Jenderal


Pajak dan Direktotan Jenderal Bea dan Cukai Depkeu RI, yang diikuti peningkatan
kualitas SDM pada kedua lembaga pengumpul pajak tersebut, merupakan langkah yang
patut diapresiasi secara positif oleh masyarakat.

10.1. Kebijakan di Bidang Kepabeanan


Dalam era globalisasi ekonomi, perkembangan system perekonomian
dunia dan pola perdagangan internasional, yang diikuti dengan perkembangan
yang sangat cepat di bidang teknologi, informasi, telekomunikasi, dan
transportasi, serta kecenderungan terus meningkatnya volume, nilai dan transaksi
perdagangan dunia, secara signifikan sangat dipengaruhi perilaku dan pola
interaksi para pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi perdagangan
internasional.
Berbagai perubahan lingkungan strategis di tingkat nasional, regional dan
global tersebut telah berdampak kepada semakin meningkatnya tuntutan
masyarakat perdagangan dan perekonomian dunia terhadap peningkatan kinerja
institusi kepabeanan di setiap Negara. Institusi kepabeanan sebagai salah satu
mata rantai dalam perdagangan internasional dituntut mampu melakukan
penyesuaian agar dalam pelaksanaan tugasnya tidak menimbulkan hambatan
terhadap proses perdagangan internasional.
Sejalan dengan era reformasi yang terjadi di Indonesia dan semakin
meluasnya dinamika masyarakat, tuntutan terhadap perbaikan kinerja institusi
public semakin berkembang. Institusi kepabeanan diharuskan secara serius
meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan
memberikan perlindungan kepada dunia usaha, perdagangan, dan industry.
Berbagai upaya strategis yang pada dasarnya merupakan wujud komitmen
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam menjalankan fungsi dan misi
yang diamanatkan oleh pemerintah, yaitu:
1. Trade Facilitator
Tujuan yang diharapkan agar mampu menjamin kelancaran arus barang,
menekan ekonomi biaya tinggi berkaitan dengan proses penyelesaian barang
ekspor dan impor, dan sekaligus mampu menciptakan iklim perdagangan
internasional yang kondusif guna mendukung perekonomian nasional.
2. Industrial Assistance (dukungan terhadap industry dalam negeri)
DJBC diharapkan mampu mendukung industry dalam negeri melalui
pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan kepabeanan, memberikan
perlindungan dan membantu peningkatan daya saing industry melalui
pencegahan masuknya barang-barang illegal trade, serta membantu
peningkatan daya saing produksi dalam negeri.
3. Revenue Collector (pemungutan penerimaan Negara)
DJBC harus mampu mengoptimalkan segala upaya untuk memberikan
kontribusi penerimaan Negara dan melakukan upaya pencegahan terhadap
kemungkinan terjadinya kebocoran penerimaan Negara.
4. Community Protector (perlindungan masyarakat)
Pelaksanaan fungsi ini bertujuan supaya DJBC mampu mencegah dan
mengawasi masuknya barang-barang yang dapat merusak mental, moral dan
kesehatan masyarakat, serta dapat meresahkan dan membahayakan keamanan
bangsa dan Negara.

Dalam upaya terhadap peningkatan kinerja pelayanan kepabeanan dan


penyempurnaan di bidang kepabeanan tersebut menganut beberapa filosofi dan
prinsip, antara lain; prinsip keadilan, transparansi, simplifikasi, Otomasi system
untuk meningkatkan kecepatan pelayanan dan keamanan penerimaan,
minimalisasi kontak antara pegawai dan pengguna jasa.
Guna menjamin terlaksananya fungsi DJBC, program reformasi
kepabeanan ditetapkan kedalam empat prakarsa bidang, yaitu:
1. Prakarsa Bidang Fasilitasi Perdagangan, terdiri dari program jalur prioritas,
system baru penerapan jalur, penyempurnaan system pembayaran, perbaikan
data base harga, perbaikan system pengeluaran barang, perbaikan teknik
pemeriksaan barang, pengembangan harmonyzed system (HS), dan
modernisasi otomasi DJBC.
2. Prakarsa Bidang Koordinasi dengan Stakeholder, terdiri dari program
penyempurnaan situs DJBC, pengembangan komunitas PDE-Kepabeanan.
3. Prakarsa Bidang Anti Penyelundupan dan Under Valuation, dengan program
antara lain: ragistrasi impor secara on-line, optimalisasi penggunaan Hi-co
scan X-Ray, peningkatan peran unit intelejen, pemeriksaan mendadak (spot
check), penyediaan tempat pemeriksaan barang, penyederhanaan prosedur
verifikasi, program penagihan tunggakan, kampanye anti penyelundupan.
4. Prakarsa Bidang Integritas Pegawai, terdiri dari program: penyempurnaan
kode etik pegawai, pembentukan komite kode etik, peningkatan fungsi
pengawasan penegakan kode etik, penyediaan saluran pengaduan,
peningkatan kerja sama dengan Ombudsman Nasional, dan program intensif.

10.2. Reformasi Administrasi Perpajakan


Sejak tahun 2001, Direktorat Jenderal Pajak telah memulai beberapa
langkah reformasi administrasi perpajakan yang menjadi landasan bagi
terciptanya administrasi perpajakan yang modern, efisien, dan dipercaya
masyarakat. Beberapa contoh langkah reformasi yang telah dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) antara lain; reformasi moral dan etika untuk
seluruh pegawai, kampanye sadar dan peduli pajak, pembangunan kantor wilayah
dan kantor pelayanan pajak wajib pajak percontohan, penerapan teknologi
informasi terkini dalam pelayanan perpajakan (on-line payment, e-SPT, e-filing,
e-registration, dan Sistem Administrasi Pelayanan Terpadu) dan pengembangan
bank data.
DJP menyusun dan mengimplementasikan program modernisasi
perpajakan yang komperhensif dan mencakup semua operasi organisasi di
lingkungan DJP guna melanjutkan reformasi dan tujuan yang telah ditetapkan.
Reformasi administrasi jangka menengah dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun
tersebut diarahkan akan mendukung pencapaian visi DJP yaitu menjadi model
pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan 72ystem dan manajemen
perpajakan kelas dunia, yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Serta misi
73ystem DJP yaitu menghimpun penerimaan Negara dari 73ystem pajak yang
mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan undang-
undang perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi.
Secara garis besar ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh reformasi
administrasi perpajakan jangka menengah ini, yaitu:
1. Tercapainya tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi,
2. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan
3. Tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.
Program-program dan kegiatan yang dirancang untuk mendukung tujuan
tersebut antara lain seperti diuraikan di bawah ini.
Ada tiga strategi yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
meningkatkan kepatuhan perpajakan, yaitu: yang pertama dengan membuat
program dan kegiatan yang diharapkan dapat menyadarkan dan meningkatkan
kepatuhan sukarela khususnya wajib pajak yang selama ini belum patuh.
Selanjutnya, meningkatkan pelayanan terhadap wajib pajak yang relative sudah
patuh sehingga tingkat kepatuhan dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Strategi
ketiga adalah dengan berbagai program dan kegiatan yang diharapkan dapat
menangkal ketidak patuhan perpajakan.
Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela perpajakan, khususnya wajib
pajak yang tergolong belum patuh disiapkan dua program yaitu program
kampanye sadar dan peduli pajak yang kegiatannya meliputi kampanye sadar dan
peduli pajak kepada berbagai macam pihak baik partai politik, perguruan tinggi,
LSM maupun tokoh agama. Selain itu juga memasang billboard di tempat
strategis serta melakukan sosialisasi program reformasi perpajakan.
Program yang kedua yaitu program pengembangan pelayanan perpajakan
yang kegiatannya meliputi menyediakan call center untuk tiap kanwil pelayanan
pajak, menyediakan informasi perpajakan berbasis computer, menyempurnakan
setiap informasi di website DJP.
Untuk memelihara tingkat kepatuhan wajib pajak disiapkan program
tersendiri yaitu melalui program pengembangan pelayanan prima serta penyediaan
pemenuhan perpajakan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mempermudah wajib
pajak dalam melaksanakan kewajibannya agar biaya pelaksanaan akan dapat
diminimalkan sehingga tingkat kepatuhan wajib pajak dapat ditingkatkan.
Kegiatannya lebih diprioritaskan pada pelayanan melalui account representative
(AR) yang bertugas melayani wajib pajak tertentu secara khusus daqn juga
pelayanan melalui pemanfaatan teknologi terkini seperti kemudahan melalui
pembayaran on-line, pelaporan melalui electronic filing, serta kepastian dalam
menanggapi kebutuhan wajib pajak seperti kepastian mengenai penegasan atau
ruling.
Dalam kenyataannya tingkat kepatuhan dari wajib pajak tergolong masih
rendah mengingat tax ratio di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan
dengan Negara-negara tetangga. Untuk itu disiapkan program-program serta
kegiatan meliputi memperbaiki aturan-aturan administrative dan juga langkah
pengawasan yang lebih efektif.
Tujuan kedua dari reformasi administrasi perpajakan adalah meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap administrasi perpajakan. Strategi yang
direncanakan untuk mencapai tujuan ini adalah meningkatkan citra DJP dan
melanjutkan pengembangan administrasi LTO (large Taxpayers Office).
Tujuan terakhir adalah meningkatkan produktivitas aparat perpajakan. DJP
akan melaksanakan perbaikan dalam struktur organisasi, perbaikan dalam
kemampuan pengawasan serta perbaikan dalam manajemen SDM.
Soal Latihan
1. Sebutkan fungsi dan misi lembaga kepabeanan (DJBC) yang ditugaskan
oleh negara?
2. Jelaskan program reformasi kepabeanan dalam era reformasi dewasa ini ?
3. Mengapa pemerintah melakukan reformasi administrasi dalam
pemungutan perpajakan ?
4. Tujuan apa saja yang hendak dicapai oleh lembaga Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) dalam melaksanakan reformasi administrasi ?
5. Upaya apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan ulama dalam
pengurangan konsumsi rokok dan khamar di tanah air ?
BAB XI
OPTIMALISASI ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA NEGARA

Peningkatan disiplin anggaran dalam rangka efisiensi APBN tidak cukup dengan
mengurangi tingkat kebocoran anggaran, tetapi harus diikuti dengan penegakkan hukum
yang tegas terhadap oknum pejabat pemerintah yang terbukti melakukan KKN.

11.1. Kebijakan Efisiensi Belanja Negara


Hakikat efisiensi dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD, pada dasarnya
adalah optimalisasi APBN/APBD menyangkut nilai uang (value of money), yang
meliputi tidak hanya nilai efisien akan tetapi juga ekonomis dan efektif.
Berkenaan dengan hakikat efisiensi dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD dikaitkan dengan penganggaran, maka efisiensi akan menyangkut
pada empat alur tahapan sebagai berikut:
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Perhitungan, dan
d. Penyesuaian.

Hakikat efisiensi dikaitkan dengan materi “Kebijakan Efisiensi Belanja


Negara” mencakup kebijakan dalam menerapkan System biaya dan intisari
pergeseran dalam anggaran pembangunan akan menyangkut upaya-upaya
optimalisasi pada tahapan perencanaan dan pelaksanaan APBN.
Dalam rangka mencapai efisiensi dalam perencanaan dan pelaksanaan
APBN upaya-upaya yang harus dilakukan adalah:
a. Penetapan kebijakan dasar,
b. Penetapan asumsi makro,
c. Penetapan langkah-langkah perencanaan yang memadai,
d. Penentuan ketentuan-ketentuan pelaksanaan.
Sesuai dengan GBHN 1999-2004, kebijakan System Anggaran lebih
diarahkan kepada:
1. Menyehatkan anggaran pendapatan dan belanja Negara dengan mengurangi
defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran,
2. Mengurangi subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap,
3. Meningkatkan pajak progresif yang adil dan jujur,
4. Penghematan pengeluaran.

Optimalisasi pelaksanaan APBN juga sangat ditentukan oleh bagaimana


pelaksana/pengguna anggaran menetapkan langkah-langkah perencanaan yang
memadai dan melibatkan organisasi perencanaan anggaran (Departemen
keuangan, departemen/lembaga pemerintah nondepartemen teknis, dan
pemerintah daerah). Langkah-langkah yang dimaksud antara lain melalui
kebijakan dalam menerapkan System biaya, yaitu dalam melaksanakan belanja
Negara dilakukan standardisasi komponen kegiatan termasuk harga satuannya,
antara lain:
1. Standardisasi harga satuan sebagaimana dimaksud di atas digunakan untuk
menyusun pembiayaan kegiatan-kegiatan yang diusulkan dalam dokumen
anggaran,
2. Dalam penyusunan standardisasi harga satuan, sedapat mungkin
menggunakan data dasar yang bersumber dari penerbitan resmi Badan Pusat
Statistik (BPS), departemen/lembaga, dan pemerintah daerah.
3. Penetapan standardisasi perlu dilakukan secara berkala oleh:
a. Menteri keuangan dengan memperhatikan pertimbangan
menteri/pimpinan lembaga terkait untuk standardisasi harga satuan
umum, satuan biaya langsung personel dan non personel untuk
kegiatan konsultasi,
b. Menteri/pimpinan lembaga untuk standardisasi harga satuan pokok
kegiatan departemen/lembaga yang bersangkutan,
c. Gubernur/walikota/bupati dengan mempertimbangkan instansi
terkait untuk standardisasi harga satuan pokok kegiatan daerah
propinsi/kota/kabupaten yang bersangkutan,
d. Bupati/walikota untuk standardisasi harga satuan bangunan, gedung
Negara untuk keperluan dinas seperti kantor, rumah dinas, gudang,
rumah sakit,gedung sekolah, pagar, dan bangunan fisik lainnya.

Optimalnya pelaksanaan suatu anggaran ditentukan juga oleh bagaimana


pelaksana/pengguna anggaran yang menaati ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan, yang didalamnya antara lain diatur mengenai prinsip-prinsip,
organisasi, alur penyusunan anggaran, hal-hal yang dilarang dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan anggaran dan pendapatan Negara seringkali dijumpai bahwa
apa yang telah direncanakan dalam pelaksanaan dijumpai kesulitan-kesulitan
sehingga memerlukan perubahan-perubahan atau yang sering disebut revisi.

11.2. Kewenangan Menteri Keuangan dalam Anggaran Pembangunan


Untuk lebih meningkatkan pelaksanakan proyek baik di pusat maupun di
daerah, diatur ketentuan mengenai perubahan atau pergeseran Daftar Isian Proyek
(DIP) atau dokumen lain yang disamakan yaitu melalui Surat Edaran Direktur
Jenderal Anggaran tanggal 14 Oktober 2002 Nomor SE-176/A/2002 yang isinya
mengatur kewenangan dan ketentuan lain-lain mengenai revisi anggaran
pembangunan.

Kewenangan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran:


1. Apabila adanya tambahan dana termasuk tambahan dana yang bersumber dari
pinjaman/hibah luar negeri (PHLN).
2. Perubahan/pergerseran biaya yang mengakibatkan:
• Perubahan fungsi kegiatan atau tujuan/sasaran yang akan dicapai.
• Penambahan/pengurangan pagu rupiah murni baik karena realokasi
maupun Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
• Penambahan/pengurangan pagu dalam Daftar Isisan Proyek Perbantuan-
Luar Negeri (DIPP-LN).
• Penambahan rupiah murni pendamping.
3. Mengurangi dana pendamping PHLN, termasuk local cost.
4. Penambahan dana untuk gaji/upah, honorarium, dan perjalanan dinas.
Soal Latihan

1. Jelaskan hakikat efisiensi belanja negara ?


2. Sebutkan 4 (empat) alur efisiensi belanja negara !
3. Bagaimana hubungan antara Menteri Keuangan dengan Bupati /Walikota
dalam optimalisasi belanja negara di tingkat kabupaten/kota ?
4. Jelaskan Kewenangan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran
?
5. Sejauhamana penilaian Anda tentang optimalisasi pemanfaatan anggaran
di Indonesia ? Menurut Anda, sebaiknya Jabatan Menteri Keuangan
diserahkan kepada kalangan Akademisi atau Politisi ?
BAB XII
TEORI PEMUNGUTAN SUARA

Sistem keterwakilan lembaga legislatif yang dilakukan secara langsung dewasa ini, akan
benar-benar menjadi alat refresentasi kepentingan publik, apabila masyarakat secara
cerdas dan teliti memilih wakilnya yang benar-benar amanah dan profesional , bukan
didasari oleh pertimbangan emosional sesaat.

12.1. Beberapa Jenis Pemungutan Suara


Dalam teori pemungutan suara atau voting, terdapat beberapa sistem yang
umumnya dilakukan, yaitu:
1. Sistem pilihan berdasarkan suara bulat (aklamasi)
2. Sistem pilihan berdasarkan suara terbanyak
3. Sistem pilihan berdasarkan pilihan titik (point voting)
4. Sistem pilihan berdasarkan pilihan ganda (plurality voting)
5. Teori demokrasi perwakilan
Pilihan suara bulat (aklamasi) merupakan cara pemungutan suara dengan
suara bulat dimana 100 persen orang setuju akan diadakannya suatu proyek dan
merupakan cara yang paling baik. Ini disebabkan karena cara ini dapat melindungi
golongan minoritas dalam suatu masyarakat. Misalnya, pemerintah akan
melaksanakan suatu proyek pembangunan dam. Dari para pemilih, sebanyak 99
persen petani setuju adanya dam tersebut akan tetapi 1 persen penduduk tidak
setuju karena mereka akan tergusur dengan adanya dam tersebut. Dengan cara
aklamasi maka proyek dam tersebut tidak akan dapat dilaksanakan karena ada
golongan minoritas yang tidak setuju sehingga kepentingan mereka dalam cara
pemungutan suara aklamasi ini terjamin. Pemungutan suara dengan cara aklamasi
ini sangat sulit untuk dapat mencapai suatu keputusan, terutama apabila jumlah
pemungut suara besar sekali. Semakin besar jumlah orang akan semakin sulit
tercapai suatu persetujuan secara aklamasi.
Pilihan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila jumlah orang yang
setuju jumlahnya lebih besar daripada jumlah orang yang tidak setuju. Sistem ini
yang paling sederhana adalah 50 persen plus satu [(n/2)+1], atau sistem kuorum di
mana keputusan dilaksanakan apabila dua per tiga suara [(2/3)n] menyatakan
setuju. Jadi, apabila jumlah pemilik sebanyak 100 orang, maka proyek akan
dilaksanakan apabila 51 orang menyatakan setuju atau 75 orang menyatakan
setuju.

12.2. Pemilihan Suara Titik (Point Voting)


Pemilihan suara berdasarkan titik dilakukan dengan cara memberikan
angka tertentu kepada setiap pemilih yang dapat mengalokasikannya pada setiap
jenis proyek berdasarkan kesukaannya. Misalnya setiap pemilih diberikan nilai
100 yang dapat dialokasikan pada tiga jenis proyek. Pemilih yang sangat tidak
suka pada suatu proyek akan dapat memberikan nilai nol pada proyek tersebut dan
akan mengalokasikan semua nilainya untuk proyek yang sangat disukainya.
Dengan demikian sistem pemilihan suara titik mencerminkan derajat kesukaan
setiap pemilih atas berbagai jenis proyek.
Tabel 10.1. Distribusi Angka Berdasarkan Point Voting
Pilihan
Polisi Dam Jalan
Adil 60 40 0
Bei 6 4 90
Surya 25 40 35
Hasil 91 84 125

Pada tabel dapat dilihat bahwa Adil memberikan nilai 60 untuk proyek
polisi, nilai 40 untuk pembangunan dam, dan karena sama sekali tidak menyukai
proyek pembuatan jalan maka ia memberikan nilai nol untuk proyek tersebut.
Sebaliknya Bei tidak begitu suka akan proyek polisi dan dam, tetapi ia menyukai
proyek jalan sehingga ia member nilai 90 untuk proyek tersebut. Surya menyukai
ketiga proyek tersebut sehingga mengalokasikan nilai yang hampir sama untuk
ketiga proyek tersebut. Hasil keseluruhan menunjukkan bahwa proyek jalan
mendapat nilai tertinggi yang berarti merupakan proyek yang paling disukai oleh
ketiga orang tersebut walaupun program tersebut merupakan pilihan pertama dari
satu orang saja (Bei).
Dalam hal pemungutan suara berdasarkan pilihan titik, maka setiap
pemilih akan dapat memenangkan proyek yang disukainya dengan menggunakan
strategi. Misalnya, Surya menyukai proyek pembuatan dam. Apabila ia
menggunakan strategi dengan memperkirakan secara tepat nilai yang diberikan
oleh Adil dan Bei untuk setiap pilihan, maka Surya dapat mengalokasikan semua
nilainya pada suatu pilihan proyek sehingga hasilnya sesuai dengan preferensinya.
Dengan menganggap Adil dan Bei tidak mengubah penilaiannya, maka hasil
akhirnya akan menjadi seperti dalam tabel dibawah ini.
Tabel 10.2. Strategi Surya Untuk Memenangkan Pilihannya
Pilihan
Polisi Dam Jalan
Adil 60 40 0
Bei 6 4 90
Surya 10 90 0
Hasil 76 134 90

Dengan demikian dapat diketahui bahwa hasil akhir tergantung dari


strategi masing-masing pemilih agar hasil yang dicapai sesuai dengan skala
kesukaan mereka terhadap setiap pilihan.

12.3. Teori Demokrasi Perwakilan


Dalam kenyataan jarang terdapat cara pemungutan suara untuk
menetapkan proyek-proyek pemerintahan dengan melibatkan seluruh masyarakat.
Pada umumnya pemungutan suara dilakukan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya.
Model demokrasi perwakilan pertama kali dikemukakan oleh Joseph Schumpeter
dan kemudian dikembangkan oleh Anthony Downs. Model ini didasarkan pada
suatu asumsi bahwa masyarakat dan wakil-wakil rakyat bertindak secara rasional
yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi mereka masing-masing.
Tujuan para politisi atau wakil-wakil rakyat adalah mempertahankan
kedudukan mereka. Ini dapat dilakukan apabila mereka menyuarakan kehendak
masyarakat yang mereka wakili, sehingga tujuan wakil rakyat adalah
memaksimalkan jumlah suara yang memilih. Tujuan rakyat yang utama adalah
memaksimumkan manfaat yang diterima dari proyek-proyek pemerintahan dan
meminimumkan pembayaran pajak. Rakyat akan memilih wakil-wakil yang
merupakan orang yang dapat mewakili keinginan mereka. Sebaliknya, wakil-
wakil rakyat juga berusaha untuk memilih proyek-proyek yang diinginkan oleh
rakyat agar dapat tetap memperoleh pilihan dari rakyat sebagai wakil-wakil
rakyat.
Jadi menurut teori ini, adanya tujuan untuk memikirkan kepentingan diri
masing-masing individu menyebabkan proyek-proyek pemerintah yang
dilaksanakan adalah proyek-proyek yang diinginkan oleh rakyat walaupun mereka
tidak secara langsung mengadakan pemilihan suara, tetapi melalui wakil-wakil
mereka.
Soal Latihan
1. Apa yang Anda ketahui dengan pemilihan proyek berdasarkan suara bulat ?
2. Dan Jelaskan apa yang dimaksud dengan pemilihan proyek berdasarkan suara
terbanyak ?
3. Menurut Anda, apa kelebihan pemilihan berdasarkan suara titik (point voting) ?
4. Mengapa sering terjadi perebedaan kepentingan antara DPR dan Pemerintah
dalam penyediaan barang publik di dalam sebuah negara demokrasi ?
5. Sejauhmana Anda menilai kepekaan anggota DPR di Indonesia dalam melaksa-
nakan amanah rakyat yang telah memilihnya untuk duduk di lembaga legislatif?
DAFTAR PUSTAKA

Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan, Kebijakan Fiskal: Pemikiran,


Konsep, dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2004.

Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB. Modul MK. Ekonomi Umum. Edisi ke 4
(Bahan UTS). IPB Bogor. 2004.

. Modul MK. Ekonomi Umum (Bahan


UAS). IPB Bogor. 2007.

Mangkoesoebroto, G. Ekonomi Publik. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.


2001

Rahardja, P. dan Manurung, M.. Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar Edisi
Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI,. 1999.

. Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar.


Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI,. 2001.

Rosen, H. S.. Public Finance, Fifth Edition. Singapore: Mc. Graw-Hill Book.
1999.

Simarmata, DJ. A.. Analisa Proyek Publik dan Pemerataan. Jakarta: Lembaga
Penerbit FEUI. 1993

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan


Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.

Anda mungkin juga menyukai