Anda di halaman 1dari 12

RINGKASAN BAB I – V pernikahan.

Seolah-olah bahwa yang halal


lebih sukar dari pada yang haram.
Oleh karena itu, tradisi pemberian
BAB I : PENDAHULUAN doi menre dikalangan masyarakat Islam
Bugis Bone sangat menarik untuk diteliti
A. Latar Belakang dalam upaya memahami tinjauan hukum
Islam sangat menganjurkan Islam terhadap tradisi doi menre dalam
perkawinan karena perkawinan mempunyai perkawinan adat Bugis Kecamatan
nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah Taneteriattang Kabupaten Bone yang pada
kepada Allah SWT, dan mengikuti sunnah hakekatnya ada gejala yang tidak sesuai
Nabi Muhammad SAW. Selain itu, dengan syariat Islam. Maka, penulis sengaja
perkawinan adalah salah satu peristiwa yang menyusun penelitian ini dengan judul :
sangat penting dalam kehidupan masyarakat, Tradisi Doi Menre dalam Proses
karena perkawinan tidak hanya menyangkut Peminangan di Kalangan Masyarakat Bugis
kedua mempelai pria dan wanita saja, akan Kec. Taneteriattang Kab. Bone Perspektif
tetapi juga menyangkut pihak keluarga Fiqih.
mempelai masing-masing. Di dalam
perkawinan itu sendiri, mahar merupakan B. Rumusan Masalah
bagian yang tak terpisahkan dari Berdasarkan latar belakang masalah
perkawinan, yaitu pemberian seorang suami tersebut, dapat dirumuskan beberapa
kepada isterinya baik sebelum, sesudah atau permasalahan sebagai berikut :
pada waktu berlangsungnya akad nikah 1. Apa yang dimaksud dengan doi
sebagai pemberian wajib.1 menre dalam tradisi masyarakat
Di kalangan masyarakat Islam Bugis Bugis?
Kecamatan Taneteriattang Kabupatan Bone, 2. Bagaimana tinjauan fiqih dalam
terdapat beberapa tradisi dalam perkawinan proses penyerahan doi menre?
yaitu : 3. Mengapa terdapat tradisi doi menre?
Madduta (Peminangan). Madduta
merupakan bagian dari tradisi pra- C. Tujuan Penelitian
perkawinan masyarakat Bugis. Biasanya Adapun tujuan dari penelitian ini
pihak perempuan melakukan pertemuan adalah :
(musyawarah) atau massita-sita dengan 1. Untuk menjelaskan hakikat doi
keluarganya terkait prihal adanya lamaran menre dalam tradisi masyarakat
dari pihak laki-laki. Ketika pihak keluarga si Bugis.
perempuan tersebut sudah setuju untuk 2. Untuk menjelaskan tinjauan fiqih
melanjutkan pembicaraannya, maka utusan serta nilai-nilai dan etika sosial
dari pihak laki-laki tersebut langsung dalam tradisi doi menre.
menyampaikan maksud kedatangannya, 3. Untuk menjelaskan kajian
yaitu meminang si perempuan atau epistemologi dari tradisi doi menre.
mengutusan dari pihak laki-laki datang
untuk memperjelas maksud kedatangannya.
Seperti yang tertulis diawal tadi, BAB II : KAJIAN PUSTAKA
bahwa selain adanya pemberian uang mahar A. Penelitian Terdahulu
(sompa) kepada calon mempelai wanita Agar dapat lebih memahami
dalam suatu pernikahan, dikenal pula adanya penelitian ini, maka perlu dirasa untuk
tradisi pemberian doi menre (uang belanja) memberikan pemaparan terlebih dahulu
sebagai uang tebusan dalam tradisi terkait dengan penelitian serupa. Hal
pernikahan masyarakat Islam Bugis. Selain tersebut supaya dapat mengetahui letak
itu, tradisi pemberian doi menre ini perbedaan yang sangat substansial antara
dijadikan sebagai syarat utama yang penelitian ini dengan penelitian yang
mengikat bagi berlangsung atau tidaknya lainnya. Adapun penelitian terdahulu yang
pelaksanaan perkawinan adat Bugis di pernah dilakukan antara lain:
daerah Bone. Tradisi ini dinilai sangat Judarseno2 tahun 2007, dengan
memberatkan dan mengabaikan batas judul “Tradisi Hantaran dalam Peminangan
kemampuan dari segi ekonomi seseorang. Adat Melayu Sanggau Kalimantan Barat”,
Sehingga banyak sekali keluhan-keluhan penulis banyak mengupas tentang Tradisi
dalam pelaksanaan perkawinan bagi pihak Hantaran, yaitu barang-barang yang
laki-laki, yang pada akhirnya dapat memicu bawakan kepada pihak wanita ketika
terjadi penyelewengan dan kejahatan serta peminangan oleh masyarakat Melayu
ketidakbahagiaan dalam mengarungi bahtera
2
Judarseno, Tradisi Hantaran dalam Peminagan
1
Alhamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Armar, Adat Melayu Sanggau Kalimantan Barat (Malang,
1985), h. 100. UIN Malang, 2007)

1
Sanggau, serta menggali persepsi tau ugi (baca; Bugis), tau mangkasara
masyarakat Melayu terhadap tradisi (baca: Makassar), tau riaja (baca; Toraja).
Hantaran. Dalam kesimpulan, peneliti Menurut Lontara‟ Attoriolongnge ri
mengungkapkan bahwa agama tidak Pammana (buku Sejarah Pammana), bahwa
mengharuskan pada mulanya suku Bugis masih merupakan
apapun, agama tidak mewajibkan kita untuk bagian dari suku To Luwu‟. Di bawah
membawa sesuatu sebagai hadiah bagi pimpinan La Sattumpugi‟, sekelompok suku
wanita yang dipinang, sekalipun demikian, itu pindah ke daerah Cenrana (Bone
agama tidak melarang untuk sekarang), lalu sebagian pindah ke daerah
melaksanakan tradisi hantaran sepanjang Pammana (Wajo sekarang). Daerah Bone
kita tidak mewajibkannya. dinamakan Cina ri Lau‟ dan daerah Wajo
Ahmad Harris Alphaniar3 tahun dinamakan Cina ri Aja‟. La Sattumpugi‟-
2008, dengan judul “Mahar Perkawinan lah yang menjadi raja pertama dengan gelar
Adat Bugis ditinjau dari Perspektif Fiqh Datunna atau Opunna Cina. Sekelompok
Mazhab (Telaah tentang Mahar dalam orang yang berasal dari Luwu itu menyebut
Masyarakat Bugis di Bale-Kahu Kabupaten diri mereka Ugi atau Ogi to Cina , kemudian
Bone)”. Dalam penelitian ini, peneliti disingkat dengan Ugi. Nama itu diambil
mencoba memberikan informasi yang dari akhir kata nama La Sattumpugi. Putri
bertujuan untuk mendeskripsikan secara La Sattumpugi bernama We‟ Cudai Daeng ri
sistematis, faktual, akurat mengenai sompa Sompa dikawini oleh Lamaddukelleng
(mahar) dalam perkawinan adat Bugis di Sawerigading putra Datu Luwu‟ II, La
desa Balle, Kahu, Kabupaten Bone. Tiuleng Batara Lattu. Kemudian dari Cina,
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa status sebagian suku Bugis itu menyebar ke
sosial dari pihak mempelai wanita sangat daerah-daerah yang sekarang didiami oleh
menentukan jumlah mahar dan mayoritas suku Bugis. Daerah asal mereka dipecah lagi
masyarakat berpegang pada fiqh mazhab menjadi kerajaan –kerajaan, seperti: Bone,
Hanafiyah terkait pengaturan mahar. Wajo, Pammana, Timurung, Sailong,
Idrus Salam4 tahun 2008. Judul Mampu dan lain-lain.5
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Doi Kepercayaan orang Bugis sendiri,
Menre dalam Pernikahan Adat Bugis di sebelum menganut agama Islam, sangat sulit
Jambi (Studi Kasus di Desa Simbur Naik, diberikan penamaan secara definitif.
Kec. Muaro Sabak Kab. Tanjung Jabung Dikatakan demikian karena tidak ditemukan
Timur, Jambi)”. Dalam penelitian ini sejarah yang secara tegas menyatakan agama
membahas tentang Doi Menre ditinjau dari yang dianut oleh leluhur orang Bugis, seperti
hukum Islam. Penelitian ini menggunakan agama Hindu dan Budha. Oleh karena itu,
teknik Purposive Sampling terhadap tokoh- dapat dikatakan bahwa kepecayaan orang
tokoh Adat. Hasil penelitian ini menganggap Bugis dahulu memang mempunyai
doi menre sebagai tahsiniyyah dalam Islam. keunikan-keunikan tersendiri. Di samping
Doi menre berada dibawah hukum syar‟i itu, di dalam berbagai Lontara‟ (manuskrip
yang bisa membatalkan yang halal dala tua) tidak pernah disebut Brahma, Wisynu,
syar‟i. Maka doi menre dalam penelitian ini Syiwa dan Budha. Demikian pula konsep
hukumnya mubah (boleh). kekuasaan Hindu yang menyatakan raja
harus berkuasa mutlak dan kekuasaan raja
tidak boleh dibagi, tidak dikenal oleh orang
B. Kerangka Teori
Bugis seperti halnya di Jawa dengan
1. Tradisi Suku Bugis
Sumatera. Akan tetapi justru sebaliknya,
Masyarakat Bugis adalah kelompok
disebutkan bahwa kerajaan dan kekuasaan
etnis yang menempati bagian tengah dan
raja ditentukan lahir karena adanya rumusan
selatan Jazirah Sulawesi Selatan sebagai
perjanjian (kontrak sosial) antara rakyat
daerah asal dan tempat menetapnya. Secara
dengan calon raja yang dibacakan saat raja
universal Bugis dalam geografis adalah
tersebut dilantik.
salah satu suku yang terdapat di Sulawesi
Dalam kehidupan masyarakat Bugis;
Selatan yang terdiri dari 3 (tiga) corak, yakni
manusia menempati peranan sebagai subjek
yang aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
3
Ahmad Harris Alphaniar, Mahar Perkawinan Adat
Bukan sebagai objek yang menjadi sasaran
Bugis ditinjau dari Perspektif Fiqh Mazhab (Telaah penguasa. Begitu pentingnya posisi manusia
tentang Mahar dalam Masyarakat Bugis di Bale- Bugis dalam kehidupan bernegara tersebut
Kahu Kabupaten Bone) (Malang, UIN Malang, 2008)
4
Idrus Salam, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Doi 5
Hj. Andi Rasdiyanah, Integrasi Sistem
Menre dalam Pernikahan Adat Bugis di Jambi (Studi Pangngaderreng (Adat) Dengan Sistem Syari‟at
Kasus di Desa Simbur Naik, Kec. Muaro Sabak Kab. Sebagai Pandangan Hidup Orang Bugis Dalam
Tanjung Jabung Timur, Jambi) (Jogja, UIN Jogja, Lontarak Latoa “ Disertasi” (Yogyakarta: IAIN
2008) Sunan Kalijaga, 1995), h. 1.

2
dapat dilihat dari sebuah ungkapan salah
satu Lontara‟ seperti terlihat dalam kutipan
di bawah ini :
“Rusa‟ taro arung, tenrusa‟ taro ade‟
Rusa‟ taro ade‟, tenrusa‟ taro anang
Rusa‟ taro anang, tenrusa‟ taro tau maega”
Artinya : “Sesuatu ungkapan dari apa yang
Batal ketetapan raja, tidak batal terpendam dalam diri perkara yang
ketetapan adat berulang-ulang yang bisa diterima
Batal ketetapan adat, tidak batal oleh tabi'at (perangai) yang
ketetapan kaum sehat”.10
Batal ketetapan kaum, tidak batal Beberapa hadits Nabi SAW
ketetapan rakyat”.6 yang menguatkannya. Sehingga kaidah
tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para
ulama sepanjang sejarah hukum Islam,
2. Kaidah Fiqih akhirnya bisa menjadi kaidah yang mapan.11
Di antara hadits dari kaidah ini
a. Pengertian al-‘Adah adalah sabda Nabi SAW, yakni:
‫“ محكمة الع;;;ادة‬Adat kebiasaan dapat
dijadikan (pertimbangan) hukum”.
Pada saat agama Islam datang
membawa ajaran yang mengandung nilai-
nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. "Apa yang dipandang baik oleh
Beberapa di antaranya ada yang sesuai orang-orang Islam maka baik pula di
dengan ajaran Islam dan ada pula yang sisi Allah, dan apa saja yang
bertentangan dengan nilai-nilai dalam ajaran dipandang buruk oleh orang Islam
Islam. Disinilah kemudian ulama membagi maka menurut Allah pun
adat kebiasaan yang ada di masyarakat digolongkan sebagai perkara yang
menjadi al-adah as-shahihah (adat yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar,
shahih, baik, benar) dan ada pula adah al- Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari
fasidah (adat yang mafsadah, salah, rusak).7 Ibnu Mas'ud).12
Al-‟Adah yang bisa dipertimbangkan
dalam penetapan hukum adalah al-„Adah Hal ini tentu saja sepanjang tidak
as- Shahihah bukan al-„Adah al-Fasidah. tentangan dengan syariat Islam atau dalil-
Sehingga, kaidah ‫ محكمة الع;;;ادة‬tidak dapat dalil nash.
digunakan apabila:8 3. Khitbah
1) Adat bertentangan dengan nash baik Khitbah atau meminang mengandung
Al-Quran maupun Al-Hadits, arti permintaan, yang menurut Adat adalah
seperti: puasa terus-terusan atau bentuk pernyataan dari satu pihak lain
puasa 40 hari atau 7 hari siang dengan maksud untuk mengadakan ikatan
malam; berjudi; menyabung ayam. perkawinan.13 Allah menggariskan agar
2) Adat tersebut menyebabkan ke masing-masing pasangan yang mau kawin,
mafsadatan atau menghilangkan lebih dulu saling mengenal sebelum
kemaslahatan termasuk didalamnya t dilakukan akad nikah, sehingga pelaksanaan
idak mengakibatkan kesulitan atau perkawinan nanti benar-benar berdasarkan
kesukaran, seperti memboroskan pandangan dan penilaian yang jelas.
harta; hura-hura dalam acara Adapun nash yang berkaitan tentang
perayaan. khitbah, dalam al-Qurah surah al-Baqarah
Secara bahasa, al-'adah diambil dari ayat 235, yaitu:
kata al-'awud atau al-mu'awadah yang      y 
artinya berulang.9 Adapun definisi al-'adah    

menurut Ibnu Nuzhaim adalah:
       
    
 

7
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta:
6
Hamid Abdullah, Manusia Bugis Makassar, Kencana, 2006), h. 78.
(Jakarta: Inti Idayu, 1985), h. 94.
8
http://id.scribd.com/doc/45069938/RESUME-

3
Qawaid-Fiqhiyah, diakses tanggal 09 Juli 2014 10
Ibnu Nuzaim al-Hanafi dan Zyan al-„Abidin Ibn
9
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, h. 79. Ibrahim, al-Asybah wa al-Nazhair, Cet. I (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1983), h. 25.
11
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, h. 78.
12
Burhanudin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2001), h. 263.
13
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2005), h. 47

4
 halal dan haram masih tetap berlaku seperti
      biasa.
  
 

       BAB III : METODE PENELITIAN


    A. Pendekatan dan Jenis Penelitian



        Pendekatan yang digunakan dalam
   y  penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
 
        Dengan alasan karena penelitian ini
 berupaya untuk memahami fenomena yang
  

       Khitbah dalam ajaran Islam, seorang
wanita yang telah dilamar adalah milik si
     
pelamar walaupun kepemilikannya belum
mutlak, artinya terbatas pada pengakuan
“Dan tidak ada dosa bagi kamu saja. Pemberian dalam pinangan hanya
meminang wanita-wanita itu dengan disebut sebagai hadiah dan bukan sebagai
sindiran atau kamu Menyembunyikan mahar. Oleh karena itu, ketentuan antara

(keinginan mengawini mereka) dalam


hatimu. Allah mengetahui bahwa 14
Drs. Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqih Munakahat
kamu akan menyebut-nyebut mereka, Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984),
h. 15.
dalam pada itu janganlah kamu 15
Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, h. 47.
Mengadakan janji kawin dengan
mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada
mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah, sebelum
habis 'iddahnya. dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; Maka
takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun” (QS. Al-Baqarah:
235)
Dasar nash Hadits tentang khitbah,
yaitu Hadits dari Jabir bin Abdullah yang
diriwayatkan oleh Abu Daud:
“Kalau kamu meminang seorang
wanita, maka kalau bisa melihatnya
hendaklah ia melihat sebatas yang
mendorong untuk mengawini
perempuan tersebut”.14
Jumhur ulama mengatakan bahwa
khitbah itu tidak wajib, sedangkan Daud
Azh-Zhahiri mengatakan bahwa pinangan
itu wajib, sebab meminang adalah suatu
tindakan menuju kebaikan. Walaupun para
ulama mengatakan tidak wajib, khitbah
hampir dipastikan dilaksanakan, kecuali dala
keadaan mendesak atau dalam kasus-kasus
“kecelakaan”.15
5
terjadi pada perkawinan masyarakat Bugis
yang difokuskan pada informasi tentang
tradisi Doi Menre yang diperoleh dari data-
data yang dibutuhkan dan yang tidak perlu
dikuantifikasi lagi. Penelitian ini termasuk
dalam penelitian empiris yang data
diperoleh dari lapangan melalui observasi
dan wawancara.
Jika ditinjau dari jenis penelitian,
maka penelitian ini digolongkan ke dalam
penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan
secara tepat sifat-sifat individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan antara
suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat.16 Yang mana dalam penelitian
ini, peneliti melihat dan mengemukakan
fenomena tradisi penyerahan uang belanja
“Doi Menre” di luar uang mahar oleh calon
mempelai pria pada masyarakat Bugis
Kecamatan Tanete Riattang Kabupate Bone
dengan menghimpun fakta sosial yang ada.

B. Metode Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data yang
menunjang penelitian ini, maka peneliti
menggunakan metode pengumpulan data
yaitu:
1. Observasi
Yaitu proses di mana peneliti atau
pengamat melihat langsung obyek
penelitian. Sebagaiman yang diuraikan
17

dalam bukunya Amiruddin bahwa


pengamatan dalam penelitian harus
dilakukan dengan
memenuhi
persyaratanpersyaratan tertentu (validitas
dan reabilitas), sehingga hasil pengamatan
sesuai dengan kenyataan yang menjadi
sasaran pengamatan. Metode observasi ini
bertujuan untuk menjawab masalah
penelitian yang dapat dilakukan dengan
pengamatan secara sistematis terhadap
objek yang diteliti.18
Observasi ini juga dilakukan untuk
mengumpullkan data yang lebih
16
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h.
25.
17
Consuelo G Sevilla, dkk, Pengantar Metode
Penelitian (Jakarta: UI Perss, 1993), h. 198.
18
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan
Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h. 70.

6
mendekatkan peneliti pada lokasi penelitian, Dalam budaya perkawinan
sekaligus memberikan deskripsi secara lebih masyarakat bugis Bone, seorang laki-laki
lengkap terkait dengan tradisi pemberian melamar seorang perempuan yang tingkatan
uang belanja “Doi Menre” diluar uang starata sosialnya bangsawan, sedangkan dia
sompa (mahar) pada perkawinan masyarakat bukan bangsawan, maka doi menre yang
Bugis Kecamatan Tanete Riattang, diberikan harus tinggi, karena termasuk di
Kabupaten Bone dengan melibatkan peneliti dalamnya pangelli darah (pembeli darah),
melakukan pengamatan secara langsung sekalipun tidak dijelaskan secara transparan.
terhadap prosesi pemberian Doi Menre serta Demikian pula halnya dengan perempuan
pengamatan terhadap tokoh-tokoh yang berada, atau punya pangkat dan jabatan
masyarakat dan orang-orang yang terlibat serta terpandang di tengah-tengah
untuk selanjutnya akan dijadikan sampel masyarakat, maka doi menre-nya juga harus
melalui wawancara/interview. tinggi. Dengan demikian, ketika doi menre
2. Wawancara atau Interview yang dinaikkan oleh calon mempelai laki-
Wawancara atau interview yang laki tinggi, maka menjadi kebanggaan bagi
sering juga disebut kuisioner lisan adalah pihak keluarga perempuan. Demikian pula
sebuah dialog yang dilakukan oleh sebaliknya, jika doi menre agak rendah,
pewawancara (interviewer) untuk maka dinilai negatif atau menjadi
memperoleh informasi dari narasumber. pembicaraan.22
Sedangkan wawancara yang digunakan Untuk menghindari hal-hal yang
dalam penelitian ini adalah wawancara tak mungkin muncul di tengah-tengah
berstruktur, yaitu pedoman wawancara yang masyarakat, akibat kurangnya doi menre
memuat garis besar yang akan dijelaskan. 19 yang diberikan calon mempelai laki-laki
Wawancara seperti ini berlangsung apa kepada calon mempelai perempuan, sesuai
adanya seperti pada percakapan santai dengan kebiasaan yang berlaku di
sehari-hari. masyarakat Bugis Bone dalam pengamatan
peneliti dapat ditempuh beberapa cara, yaitu:
BAB IV : TRADISI DOI MENRE: a. Pada acara mapettu ada atau
FILOSOFI DAN MAKNA mappasiarekeng dilaksanakan, doi
A. Tradisi Doi Menre menre yang telah disepakati tidak
1. Pengertian Doi Menre disebutkan jumlahnya, langsung saja
Doi menre merupakan biaya yang diserahkan kepada pihak keluarga
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak calon mempelai perempuan tanpa
perempuan dalam rangka pelaksanaan pesta dipersaksikan kepada tamu yang
pernikahan yang akan diadakan.20 Doi hadir pada saat itu, kecuali sompa,
menre sebagai ketetapan ade‟ (adat), dalam tanra esso dan pakaian dan lain
budaya perkawinan masyarakat Bugis Bone sebagainya. Namun ada juga yang
disebut dengan istilah nanre api nalireng langsung dihitung dan dipersaksikan
cemme (habis termakan api). Oleh karena kepada tamu yang hadir pada waktu
itu, apabila terjadi perceraian sebelum itu.
hubungan seksual antara suami istri, doi b. Pada acara mapettu ada atau
menre tidak dikembalikan karena telah mappasiarekeng dilaksanakan, doi
dibelanjakan sehubungan dengan menre diumumkan jumlah yang telah
diadakannya upacara pesta perkawinan. Doi disepakati, namun penyerahannya
menre (uang belanja) di kalangan sebagian dinisbahkan kepada barang
masyarakat Bugis Bone sangat sensitif dan tak bergerak, seperti sawah, kebun
sangat menentukan diterima atau tidaknya dan lain-lain dalam bahasa Bugis
suatu lamaran dari seorang laki-laki kepada disebut Monro Angke dan
seorang perempuan. Bahkan doi menre sebagiannya diserahkan secara tunai
menjadi ukuran dari strata sosial calon dalam bahasa Bugis disebut Majjali.
mempelai perempuan dan menjadi ukuran Selain doi menre tersebut, terkadang
dari keadaan sehari-harinya (orang berada). pihak perempuan meminta tambahan berupa
Kendatipun demikian, jumlah doi menre beras, gula pasir dan terigu sesuai dengan
sangat relatif berdasarkan kesepakatan kesepakatan. Menurut Syarifuddin Husain
kedua belah pihak.21 bahwa: tambahan beras, gula pasir dan
terigu mengiringi doi menre tersebut untuk
meringankan beban pihak calon pengantin
19
Marzuki, Metodologi Riset, (Jogjakarta: PT. perempuan, di samping merealisasikan
Prasetia Widya Pratama, 2002), h. 56 ungkapan yang mengatakan:
20
Asmat Riady Lamallongeng, Dinamika
Perkawinan Adat Bone, h. 16.
21
Rahmatunnair, wawancara (Watampone, 01 22
Rahmatunnair, wawancara (Watampone,
Agustus 2014) 01 Agustus 2014)

7
”pappakarennu-rennuna jennannge, kerajaan Bone tidak serta merta langsung
pappakariona pannasue, pappakasennanna ikut menganut ajaran Islam yang dibawa
pabbeppae (untuk menyenangkan tukang oleh kerajaan Gowa-Tallo, salah satu alasan
masak, untuk menggembirakan orang yang penolakan adalah kekuasaan politik yang
memasak, untuk memuaskan pembuat diusung oleh kerajaan Gowa-Tallo
kue)”.23 memboncengi Agama. Pada saat itu rakyat
Sejatinya adanya penerapan ajaran Bone khawatir ajaran baru (syariat Islam)
Islam dalam tradisi perkawinan masyarakat yang diusung kerajaan Gowa-Tallo
Bugis Bone, dapat dilihat pada penetapan mempersulit rakyat Bone meninggalkan
doi menre. Doi menre dalam adat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
perkawinan masyarakat Bugis merupakan Sehingga dalam sejarah, kerajaan
syarat yang mengikat bagi berlangsung atau Bone pun tercatat sebagai kerajaan terakhir
tidaknya perkawinan. Sedangkan dalam yang memeluk ajaran Islam, setelah terjadi
Islam, doi menre tidak termasuk syarat yang pergejolakan perang diantara dua kerajaan
mengikat berlangsung atau tidaknya tersebut, selain alasan tersebut diatas
perkawinan. tentunya faktor budaya dan kepercayaan
Walaupun dalam Islam, doi menre yang sudah ada dalam masyarakat Bugis
bukan syarat dalam sistem perkawinan, akan Bone turut mempengaruhi alasan penolakan
tetapi tetap menjadi faktor penting dalam tersebut.26
perkawinan masyarakat Bugis karena Tradisi doi menre sendiri dalam
dianggap tidak bertentangan dengan prinsip- literatur maupun buku-buku tidak ada yang
prinsip ajaran Islam. Dengan demikian, doi menjelaskan secara lengkap. Bahkan
menre hanya dipandang sebagai hadiah dari beberapa manuskrip tua di perpustakaan
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. tidak menceritakan asal mula tradisi doi
Karena tidak bertentangan dengan syariat menre. Namun dapat dipastikan tradisi ini
Islam, tradisi doi menre dapat dikategorikan muncul sejak kebiasaan kawin-mawin
al-„Urf yang shahih atau al-„Adah as- masyarakat Bugis berlangsung, khusunya
Shahih. pada proses peminangan.
Tradisi doi menre atau doi balanca Tradisi doi menre ini terjadi karena
dalam sistem adat masyarakat Bugis Bone, tidak adanya batas perkawinan antara kaum
nominalnya ditentukan sendiri oleh pihak Bangsawan dan rakyat biasa. Sehingga
perempuan, akan tetapi berdasarkan ajaran Rahmatunnair menuturkan, doi menre
Islam bahwa status doi menre merupakan dulunya sebagai pangelli dara (pembeli
hadiah, maka jumlahnya tergantung pihak darah) bagi laki-laki biasa yang ingin
laki-laki sebagai pemberi hadiah. Oleh menikahi seorang perempuan keturunan
karena itu, untuk mempertemukan dua bangsawan. Namun sekarang, doi menre
perspektif yang berbeda, maka doi menre hanyalah (sekedar) bantuan pihak laki-laki
tidak dihilangkan akan tetapi jumlahnya kepada pihak perempuan untuk pengadaan
tergantung pada kesepakatan kedua belah pesta pernikahan (mappabotting) sesuai
pihak dengan menganut prinsip saling dengan kesepakatan kedua pihak. Jumlah
memudahkan.24 nominalnya doi menre pun dapat melampaui
jumlah sompa (mahar) tergantung seberapa
2. Sejarah Tradisi Doi Menre
besar pesta pernikahan yang ingin
Dalam catatan sejarah, Bone dikenal
diadakan.27
sebagai salah satu diantara kerajaan-
Andi Najmuddin menambahkan
kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang
bahwa tradisi doi menre atau doi balanca
tentunya memiliki sistem peradaban yang
dalam proses peminangan masyarakat Bugis
besar di dataran Sulawesi, sehingga ketika
Bone telah ada jauh sebelum ajaran Islam
Islam disyiarkan oleh kerajaan Gowa dan
masuk di Sulawesi. Masyarakat Bugis Bone
Tallo sebagai kerajaan Islam pertama (sejak
zaman dulu menyebut doi menre sebagai
Raja Tallo I Malingkaang Daeng Manyonri
tradisi Mette‟, yakni harta pangelli dara‟
Sultan Abdullah Awalul Islam, menerima
dimana ketika hendak melamar gadis
dan menganut Islam dan dimaklumkan
keturunan bangsawan, pihak laki-laki
sebagai agama resmi pada kedua kerajaan
memberi sarung sutera dan baju bodo atau
tersebut pada tahun 1605 M),25 maka
waju tokko‟ yang di dalamnya diselipkan

23
Syarifuddin Husain, wawancara (Watampone, 03 Pandang: IAIN Alauddin-Ujung Pandang, 1982), h.
Agustus 2014). 74.
24
Syarifuddin Husain, Wawancara (Watampone, 03 26
Andi Zainal Abidin, Lontara Sulawesi Selatan
Agustus 2014) sebagai Sumber Informasi Ilmiah, (Ujung Pandang:
25
Abu Hamid, Selayang Pandang Uraian Tentang IAIN Alauddin-Ujung Pandang, 1982), h. 71.
Islam dan Kebudayaan Orang Bugis-Makassar 27
Rahmatunnair, wawancara (Watampone, 01
“Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi” (Ujung Agustus 2014).
8
uang tunai atau rella‟ (mata uang Bugis yakni harta pangelli dara‟ (pembeli
Kuno). Peralihan tradisi mette‟ lalu berubah darah) dimana ketika hendak
penyebutan menjadi doi menre atau doi melamar gadis keturunan
balanca hingga mengalami akulturasi bangsawan, pihak laki-laki yang
dengan ajaran Islam, diperkirakan terjadi berasal dari keluarga biasa (rakyat
pada masa Raja Bone ke-13 La biasa) memberi sarung sutera dan
Maddaremmeng. Saat itu agama Islam terus baju bodo atau baju tokko yang di
berkembang dan sosialisasi ajaran Islam dalamnya diselipkan uang tunai atau
terhadap masyarakat Bugis Bone saat itu rella‟ (mata uang Bugis Kuno).
gencar dilakukan oleh kerajaan Gowa-Tallo. Peralihan tradisi mette‟ lalu berubah
Praktek mappenre doi seperti sekarang ini, penyebutan menjadi doi menre atau
merupakan hasil pertemuan antara ade‟ doi balanca hingga mengalami
(adat) dan syariat Islam. 28 akulturasi dengan ajaran Islam,
diperkirakan terjadi pada masa Raja
3. Prosesi Mappenre Doi
Bone ke-13 La Maddaremmeng.
Sebelum tahun lima puluhan, acara
Adanya doi menre menandakan tidak
mappetu ada atau mappasiarekeng
adanya batas pernikahan antara kaum
dilakukan secara terpisah dengan kegiatan
bangsawan dan rakyat biasa.
mappenre doi (menaikkan/memberi doi
3. Penyerahan doi menre dilakukan
menre), oleh karena penggunaan dan
dengan sistem/tata cara adat istiadat
pemaknaannya yang berbeda disertai dengan
tergantung hasil kesepakatan kedua
fanatisme ade‟ to riolo (adat pendahulu).
pihak mempelai. Zaman dulu, acara
Setelah terkikisnya fanatisme pada ade‟ to
mappetu ada atau mappasiarekeng
riolo, acara mappettu ada atau
dilakukan terpisah dengan kegiatan
mappasiarekeng dan mapenre doi disatukan.
mappenre doi (ritual
Dengan demikian, acara seperti ini
menaikkan/memberi doi menre),
biasanya cukup disebut dengan mappenre
oleh karena penggunaan dan
doi saja, terkadang juga disebut mappettu
pemaknaannya yang berbeda disertai
ada atau mappasiarekeng saja.
dengan fanatisme ade‟ to riolo (adat
Penggabungan ketiga kata/istilah
pendahulu). Setelah terkikisnya
tersebut didasarkan atas kesepakatan antara
fanatisme pada ade‟ to riolo, acara
pihak keluarga calon mempelai laki-laki
mappettu ada atau mappasiarekeng
dengan pihak keluarga calon mempelai
dan mapenre doi disatukan dengan
perempuan pada tahap-tahap peminangan,
alasan efisiensi waktu. Dengan
mengingat masalah efektifitas dan efisiensi
demikian, acara seperti ini biasanya
waktu serta resiko yang akan mungkin
cukup disebut dengan mappenre doi,
terjadi dapat terhindarkan.
terkadang juga disebut mappettu ada
atau mappasiarekeng.
BAB V : PENUTUP
Adapun tinjauan fiqih secara umum
A. Kesimpulan
terkait dengan tradisi Doi Menre
Dari beberapa pemaparan yang telah
dalam perkawinan masyarakat Bugis
dilakukan oleh peneliti di atas tentang tradisi
Bone ini masuk dalam al‟Urf yang
doi menre dalam proses peminangan adat
shahih atau al-„Adah as-Shahih
masyarakat Bugis Bone perspektif fiqih,
karena pada hakikatnya tradisi
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
pemberian doi menre (uang belanja)
1. Doi menre merupakan biaya bantuan
dalam peminangan tidak
pihak laki-laki kepada pihak
bertentangan dengan syariat Islam.
perempuan untuk pengadaan pesta
Bisa dilihat dari proses awal
pernikahan (mappabotting) sesuai
peminangan sampai kepada acara
dengan kesepakatan kedua pihak.
perkawinan, sarat dan tidak terlepas
Jumlah nominalnya doi menre pun
dari nilai-nilai ajaran Islam. Dengan
dapat melampaui jumlah sompa
demikian, keseluruhan budaya
(mahar) tergantung seberapa besar
perkawinan masyarakat Bugis Bone,
pesta pernikahan yang ingin
baik budaya yang telah di-
diadakan.
Islamisasikan maupun yang
2. Berdasarkan sejarah, bahwa tradisi
merupakan tambahan dari ajaran
doi menre atau doi balanca dalam
Islam, pada prinsipnya dapat
proses peminangan masyarakat
diakomodasi dalam sistem
Bugis Bone zaman dulu menyebut
perkawinan Islam. Itu artinya bahwa
doi menre sebagai tradisi Mette‟,
keseluruhan prosesi budaya
Andi Najmuddin, wawancara (Watampone, 03
28 perkawinan masyarakat Bugis Bone,
Agustus 2014)

9
dipandang tidak bertentangan dengan
Hukum Islam.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka peneliti mengajukan
beberapa saran kepada :
1. Masyarakat Bugis Bone
Agar lebih memahami bahwa
hakikatnya pengadaan pesta
perkawinan (melalui dana dari doi
menre) dianjurkan oleh agama
sangatlah sederhana dan tidak perlu
berlebihan, tidak membebankan bagi
pihak yang akan mengadakan
perkawinan terlebih lagi tidak
dianggap merugikan pihak laki-laki.
2. Pihak Pemerintah dan Tokoh
Adat/Agama
Agar tetap mendukung serta
mengawasi segala ketentuan adat
perkawinan masyarakat Bone, dan
berperan aktif menjaga, memelihara
mengembangkan adat tersebut
sebagai suatu nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia khusunya bagi
masyarakat Bugis di masa yang akan
datang. Selain itu, diharapkan
pemerintah dan para tokoh
masyarakat untuk saling menjaga
hubbungan dalamkehidupan sehari-
hari, sehingga interaksi antar
berbagai pihak dalam masyarakat
dapat berjalan dengan baik.

10
DAFTAR PUSTAKA Marzuki, Metodologi Riset. Jogjakarta: PT.
Al-Qur‟an al-Karim. Prasetia Widya Pratama, 2002.
Abdullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian
Jakarta: Inti Idayu, 1985. Kualitatif. Bandung: Remaja
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurat, Rosdakarya, 2006.
Sunan al-Tirmidzi jilid III. t.tt: Pabittei, Aminah. Adat dan Upacara
Muassasat al-Tarikh al-Ghazali, t.th. Perkawinan Daerah Sulawesi
Abidin, Andi Zainal. Lontara Sulawesi Selatan. Ujung Pandang:
Selatan sebagai Sumber Informasi Departemen Pendidikan dan
Ilmiah. Ujung Pandang: IAIN Kebudayaan, 1995.
Alauddin-Ujung Pandang, 1982. Rahman, Nurhayati, Suara-Suara dalam
Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial Lokalitas. Makassar: La Galigo
dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004. Press, 2012.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemahan Rasdiyanah, Andi. Integrasi Sistem
Lengkap Bulughul Maram. Jakarta: Pangngaderreng (Adat) Dengan
Akbar Media Eka Sarana, 2007. Sistem Syari‟at Sebagai Pandangan
Alhamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Hidup Orang Bugis Dalam Lontarak
Armar, 1985 Latoa “ Disertasi” Yogyakarta: IAIN
Ali, Muh. BONE Selayang Pandang. Sunan Kalijaga, 1995.
Watampone : t.p, 1986. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 6. Bandung:
Al-Hajjaj, Imam Abu Husain Muslim, Al-Ma‟arif, 1985.
Shahih Muslim Juz IV. t.t.: Maktabah Sati, Pakih. Panduan Lengkap Pernikahan.
Dahlan, t.th. t.t: Bening, 2011.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Sevilla, Consuelo G, dkk. Pengantar Metode
Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Penelitian. Jakarta: UI Perss, 1993.
Rajawali Pers, 2006. Silalahi, Gabriel Amin. Metode Penelitian &
Al-Asady, Fadli. Bone dalam Perspektif: Studi Kasus. Sidoarjo: Citra Media,
Membongkar Fakta Menuju Bone 2003.
Beradat. Cet. I; Jakarta : padamabo, Soetrisno, Eddy. Kamus Populer Bahasa
2005. Indonesia. Jakarta: Ladang Pustaka
Bugin, Burhan. Metodelogi Penelitian & Inti Media, t.th.
Sosial. Surabaya: Airlangga Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian
University Prees, 2001. Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
Burhanudin, Fiqih Ibadah. Bandung: CV Soemiyati, S.H. Hukum Perkawinan Islam
Pustaka Setia, 2001. & Undang-undang Perkawinan.
Faisal, “Makna dan Simbolis Dalam Yogyakarta: Liberty, 1999.
Upacara Adat Mappacci Pada Syafi‟i, Imam. Al-Umm, Jilid II. Riyadh:
Masyarakat Bugis, ”Boletin Triwulan Maktabah al-Ma‟arif, t.t.
Bosara, Media informasi Sejarah Syani, Abdul. Sosiologi dan Perubahan
dan Budaya Sulsel), 13 – 1999. Masyarakat. Cet-1; Jakarta: Dunia
Hanafi, Ibnu Nuzaim dan Zyan Abidin Ibn Pustaka Jaya, 1995.
Ibrahim, al-Asybah wa al-Nazhair. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II.
Cet. I, Damaskus: Dar al-Fikr, 1983. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan
Bandung: Pustaka Setia, 2000. Islam di Indonesia. Jakarta:
Hamid, Abu. Selayang Pandang Uraian Kencana, 2007.
Tentang Islam dan Kebudayaan Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan
Orang Bugis-Makassar “Bugis- Sosial. Jakarta: Prenada Media
Makassar dalam Peta Islamisasi”. Group, 2007.
Ujung Pandang: IAIN Alauddin- Tayyib, Anshari. Keluarga Muslim. Cet. I;
Ujung Pandang, 1982. Surabaya: Bina Ilmu, 1989.
Husain, Syarifuddin. Dinamika Hukum Tihami. Fiqh Munakat. Jakarta: Raja
Nikah Kontemporer di Indonesia Grafindo Persada, 2009.
Saat Ini, Watampone: PP al-Qur‟an Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa
Ar-Rahman, 2014. Indonesia. Surabaya: Reality
Nurnaga. N, Andi. Adat Istiadat Pernikahan Publisher, 2008
Masyarakat Bugis. Makassar: t.p, Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa, Kamus
2001 Besar Bahasa Indonesi Edisi ke-3.
Mattulada. LATOA Satu Lukisan Analisis Cet-1; Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Antropologi Politik Orang Bugis. Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam (Wa
Ujung Pandang: Hasanuddin Adillatuhu) #9. Jakarta: Gema Insani,
University Press, 1995. 2010.

11
Website

 http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi
diakses tanggal 06 September 2014
 Siti Nur Aryani, “Oposisi Paska
Tradisi: Islam agama perlawanan”,
http://Islamliberal.com/id/
indeks/2001/06/oposisi-paska-tradisi,
diakses tanggal 27 Agustus 2014.
 http://www.Bone.go.id/index.php?opti
on=com_content&view=article&id=25
3&Itemid=151, diakses tanggal 15
Maret 2014
 http://id.scribd.com/doc/45069938/RE
SUME-Qawaid-Fiqhiyah, diakses
tanggal 09 Juli 2014

12

Anda mungkin juga menyukai