Anda di halaman 1dari 13

Laporan Journal Reading Ilmu Kedokteran Gigi Masyarakat

PENGARUH PENGGUNAAN AIR SUNGAI MARTAPURA DAN AIR SUMUR


BOR TERHADAP INDEKS DMF-T

Disusun oleh:
ANDHI DAVID MAHENDRA (2110027002)

Dosen Pembimbing:

drg. Nisa Muthi'ah, M.Kes

drg. Listyawati, MARS

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
terselesaikannya journal reading ini. Laporan ini dibuat sesuai dengan literatur
yang saya baca.
Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam proses pembuatan laporan ini. Terima kasih saya ucapkan kepada drg. Nisa
Muthi'ah, M.Kes dan drg. Listyawati, MARS selaku dokter pembimbing yang
memberikan masukkan dan arahan kepada saya dalam penyusunan laporan ini.
Serta kepada teman-teman yang banyak membantu dalam pembelajaran.
Akhir kata saya sadar bahwa kesempurnaan tidak ada pada manusia oleh
sebab itu, saya mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan di kemudian
hari. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai referensi atau
perkembangan pengetahuan.

Samarinda, Agustus 2022


Hormat Saya,

Andhi David Mahendra

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

2.1 Laporan Kasus....................................................................................................2

2.2 Pembahasan........................................................................................................4

BAB III PENUTUP................................................................................................9

3.1 Kesimpulan........................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerusakan gigi terutama karies atau gigi berlubang adalah penyakit yang
paling sering kita jumpai di dalam rongga mulut dan merupakan masalah utama
yang mengganggu kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat. Prevalensi
masyarakat yang memiliki masalah kesehatan gigi dan mulut di qIndonesia
sebesar 57,6% dengan persentase di Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 60%
berdasarkan Riskesdas tahun 2018. Persentase tersebut meningkat jika
dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2013 yang mana masyarakat yang memliki
masalah kesehatan gigi dan mulut sebesar 25,9% dan di Provinsi Kalimantan
Selatan sebesar 36,1%. Masalah kesehatan gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan
Selatan dengan prevalensi tertinggi berada di Kabupaten Barito Kuala dan
Kabupaten Banjar sebesar 48,6%. Apabila dibandingkan dengan tingkat
keparahan kerusakan gigi atau indeks DMF-T di Provinsi Kalimantan Selatan
termasuk dalam kategori tertinggi kedua setelah Provinsi Bangka Belitung yaitu
dengan skor 7,2. Ada 5 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan dengan
prevalensi tingkat keparahan tertinggi yaitu di daerah Hulu Sungai Utara (8,97),
Balangan (8,59), Hulu Sungai Tengah (8,50), Banjar (7,80), dan Hulu Sungai
Selatan (7,76). Usia 25-34 tahun termasuk dalam tiga ketegori prevalensi tertinggi
yang mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut yaitu 41,3% dengan indeks
DMF-T 6,9.1,2,3,4,5 Status kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat dapat
dipengaruhi dari beberapa faktor menurut teori Blum, seperti perilaku, pelayanan
kesehatan, keturunan dan lingkungan. Faktor lingkungan seperti lahan basah yang
merupakan wilayah lahan atau tanah jenuh dengan air, baik secara permanen atau
musiman. Jenis lahan basah seperti sungai memiliki peran penting bagi
masyarakat yang bertempat tinggal dipinggiran sungai yang secara tidak langsung
mempengaruhi
pola hidup pada masyarakat tersebut. Umumnya masyarakat di daerah Martapura
menggunakan air sungai Martapura sebagai kebutuhan sehari-hari seperti mandi
sekaligus menyikat gigi, mencuci pakaian, mimum, dan memasak. Mereka

1
menyikat gigi di sungai dikarenakan beberapa hal seperti masih kurangnya
pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang pengaruh air sungai terhadap
kesehatan gigi dan mulut, sehingga masih banyak masyarakat yang melakukan
aktivitas menyikat gigi menggunakan air sungai.6,7,8,9,10 Wilayah perairan
seperti sungai maupun lahan gambut biasanya menghasilkan pH yang asam,
akibat dari terdekomposi bahan organik yang akan membentuk senyawa fenolat
dan karboksilat, dengan pH yang rendah antara 2-5. Kondisi asam inilah yang
akan mendorong terhadap proses kerusakan gigi, penggunaan air yang bersifat
asam untuk menyikat gigi dapat mengakibatkan menurunnya kekerasan
permukaan enamel gigi yang dapat menyebabkan terjadinya karies. Karies
disebabkan oleh empat faktor utama yang saling berinteraksi yaitu host (gigi dan
saliva), substrat/diet (makanan), mikroorganisme (Streptococus mutan yang
terakumulasi pada gigi) dan waktu yaitu durasi demineralisasi pada host.7,11
Selain empat faktor utama penyebab terjadinya karies, lingkungan juga dapat
berpengaruh. Desa bincau merupakan daerah yang dikelilingi oleh lingkungan air,
seperti sungai. Hasil survei di Desa Bincau menunjukkan bahwa banyak
masyarakatnya yang masih menggunakan air sungai untuk kebutuhan hidup
sehari-hari seperti menggosok gigi, mandi, mencuci pakian, dan sebagainya
dengan persentese yang menggunakan air sungai sekitar 40% dan yang
menggunakan air sumur bor kira-kira sekitar 60%. Hal ini salah satunya
dikarenakan minimnya informasi tentang kesehatan gigi dan mulut yang
dikarenakan fasilitas untuk memperoleh informasi yang masih terbatas dan
jarangnya dilakukan penyuluhan di daerah ini.Tujuan dari peneltian ini adalah
untuk menganalisis pengaruh penggunaan air sungai Martapura dan air sumur bor
terhadap indeks DMF-T di Desa Bincau Kecamatan Martapura Kota Kabupaten
Banjar

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Metode
Penelitian ini adalah cross sectional study yang disetujui oleh komite etik
penelitian universitas Federal dos Vales do Jequitinhonha e Mucuri (Brazil)

2
(nomor referensi 1.952.362) pada 7 maret 2017 dan dilakukan berdasarkan
penyataan Strengthening the Reporting of Observasional Studies in Epidemiology
(STROBE). Semua metode dilakukan dengan berdasarkan pada guidelines dan
aturan yang relevan. Semua radiografi yang digunakan pada penelitian ini
diperoleh dari arsip pasien di klinik universitas dengan informed consent yang
telah ditanda tangani oleh seluruh pasien sebelum intervensi dilakukan yaitu
menitikberatkan pada kemungkinan penggunaan data hasil pemeriksaan untuk
tujuan penelitian. Pengukuran jumlah sampel dilakukan berdasarkan rumus
confidence interval proporsi populasi. Prevalensi rate daru periodontal pocket
distal gigi molar ke-2 dan ke-3 disekitarnya adalah 13, dengan assuming value
25% (0,25), admitting an error of 5% oleh sebab itu 288 periapikal radiografi
dibutuhkan pada penelitian ini.
Catatan pasien yang berisi radiografi periapikal berkualitas tinggi yang
menunjukkan kontras tinggi dan memuaskan hubungan antara gigi molar ke-2 dan
molar ke-3 mandibula yang erupsi sebagian (termasuk akar dan mahkota), dan
ramus mandibula asendens, dimasukkan dalam sampel. Radiografi dengan
paparan dan fiksasi yang tidak memadai dieksklusi, seperti yang collimated dan
dengan distorsi. Radiografi dari gigi molar ke-3 mandibula yang erupsi atau
terkena dampak atau menunjukkan tumpang tindih email dan restorasi pada gigi
molar ke-2 yang berdekatan yang akan menyulitkan untuk menganalisis variabel
juga dianggap tidak memadai untuk penelitian.
Pemilihan radiografi dilakukan dari analisis rekam gigi pasien yang menjalani
pembedahan pencabutan gigi molar ke-3 mandibula di Klinik Bedah Mulut dari
universitas yang dirujuk. Catatan klinis dinilai sampai jumlah total 288 radiografi
tercapai. Untuk mencapai sampel, 1326 catatan klinis dari 1999 hingga 2018,
dianalisis. Sejak 288 radiografi yang memenuhi kriteria inklusi menjadi sampel
yang diperlukan, pengacakan tidak diperlukan.
Variabel dependen adalah perubahan puncak tulang alveolar antara gigi molar ke-
3 dan gigi molar ke-2 dan radiolusensi antara aspek distal mahkota gigi molar ke-
3 dan ramus mandibula (daerah rongga perikoronal/kantung folikel). Diantara gigi
molar ke-3 dan gigi molar ke-2, status puncak tulang dikategorikan dengan tidak
adanya atau adanya perubahan. Ini penting aspek untuk memverifikasi karena

3
mungkin merupakan tanda dari proses awal penyakit periodontal. Perubahan
terdiri dari adanya aspek tulang yang kabur, kerusakan tulang horizontal, atau
kerusakan tulang vertikal. Radiolusensi antara aspek distal mahkota gigi molar ke-
3 dan ramus mandibula menurut kategori berikut: 0 sampai 1,99 mm dan 2,00
hingga 4,10 mm. Meskipun demikian kolaboratif dalam literatur, nilai 2 mm
digunakan sebagai batas titik untuk analisis setelah area radiolusen yang lebih
lebar dari 2 mm dapat terjadi dengan proses patologis.
Variabel independen adalah: jenis kelamin, usia, sudut antara gigi molar ke-3 dan
gigi molar ke-2, sisi gigi molar ke-3 (kanan dari kiri); jarak antara cementoenamel
junction (CEJ) dan tingkat puncak tulang alveolar distal hingga gigi molar ke-2,
lebar ligamen periodontal, radiolusen pada permukaan distal gigi molar ke-3;
Klasifikasi Pell dan Gregory, klasifikasi Winter, jarak dari CEJ aspek mesial gigi
molar ke-3 ke CEJ aspek distal gigi molar ke-2 yang berdekatan. Pemeriksaan
yang dikalibrasi sebelumnya (ICC: 0,65–0,99; kappa: 0,72–0,99) bertanggung
jawab untuk mengumpulkan variabel. Radiografi dievaluasi menggunakan
negatoscope.
Untuk mengukur angulasi antara gigi molar ke-2 dan gigi molar ke-3, radiografi
dipindai, dan pengukuran dilakukan melalui dua garis yang digambar di
PowerPoint (Microsof Office 2016, Microsof, Albuquerque, NM, US). Garis yang
ditarik sejajar dengan bidang oklusal gigi molar ke-3, menyentuh ujung cusp dan
dilacak sepanjang sumbu mesiodistal gigi, digunakan sebagai acuan. Garis serupa
ditarik sejajar dengan bidang oklusal gigi molar ke-2 yang berdekatan memotong
garis referensi dan membentuk sudut. Sudut yang terbentuk pada perpotongan
kedua garis adalah diukur menggunakan busur derajat (Faber-Castell, Stein,
Jerman). Sudut negatif terkait dengan kecenderungan gigi molar ke-3 untuk disto-
angulasi, dan yang positif terkait dengan yang cenderung mesio-angulasi. Variabel
dependen dan jarak antara CEJ gigi molar ke-2 dan gigi molar ke-3 dinilai dengan
caliper digital yang dibantu oleh kaca pembesar. Dalam proses pengumpulan data,
setiap 30 menit evaluasi radiografi, pemeriksa beristirahat selama 15 menit untuk
menghindari gangguan penglihatan.

4
Untuk menganalisis data, program R (versi 3.6.2, R Core Team, Wina, Austria,
www.r-project.org) digunakan, menggunakan paket "caret" dan "mtest". Model
regresi logistik univariat digunakan untuk memverifikasi hubungan antara
variabel independen dan dependen, dan nilai p ditetapkan pada <0,20 untuk
memasukkan variabel dalam analisis multivariat. Pemilihan variabel dan model
multivariat yang paling tepat dilakukan dengan analisis bertahap mundur dan
maju untuk mengeksplorasi lebih lanjut variabel-variabel yang secara signifikan
terkait dengan status puncak tulang alveolar dan radiolusen antara aspek distal
mahkota 3M bawah dan rahang bawah ramus. Model dibandingkan menggunakan
kriteria informasi Akaike (AIC). Variabel te yang dipertahankan pada langkah
terakhir model dilaporkan dalam hal rasio odds (OR) dan kepercayaan 95% yang
sesuai interval (CI).

2.2 Hasil dan Pembahasan


Rata rata usia pasien adalah 23.10 tahun( +- 5.55; range 15-57) radiolusensi pada
aspek distal dari gigi molar ke-3 mandibula adalah 0.87 mm (+- 0.96: range 0-
4.10). Lebar ligamen periodontal distal dari gigi molar ke-2 adalah 0.08 mm (+-
0.03; range 0-0.2). Rata-rata angulasi (+-SD) diantara molar ke-2 dan gigi molar
ke-3 adalah 8.5 derajat (+- 30.16; range 27 hingga 99), dan rata rata jarak diantara
keduanya adalah 3.41 mm (+-2.36; range 0.51-12.09). Rata-rata tingkat tulang
marginal distal dari gigi molar ke-2 adalah 1.83 mm (+- 1.81; range 0-10.44).
Pada regresi univariat menggunakan perubahan tulang alveolar crest sebagai
variabel dependen. Variabel jenis kelamin (p=0.053), usia (p<0.001), sudut
diantara gigi molar ke-3 dan gigi molar ke-2 (p<0.001) klasifikasi Pell dan
gregory untuk ramus mandibula (p=0.019) dan planus oklusal (p=0.012)
dimasukan kedalam analisis multivariat. Regresi multivariat menunjukkan
semakin besar usia (OR 1.15; CI 1.08-1 24; p<0.001) dan sudut yang terbentuk
diantara gigi molar ke-3 dan sekitar gigi molar ke-2 (OR 1.03; CI 1.01-1.04;
p<0.001) meningkatkan peluang terjadinya perubahan alveolar bone crest.
Disisi lain, hanya usia (p = 0.031) dan pada mesioangular winters position (p =
0.022) berhubungan dengan radiolusensi pada aspek distal gigi molar ke-3
mandibula pada univariat regresi.

5
Analisis regresi multivariabel menunjukkan hanya satu faktor yang secara
signifikan berhubungan dengan radiolusensi yaitu usia (OR 1.05; CI 1.01-1.11; p
= 0.036).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara pasien dengan erupsi parsial gigi
molar ke-3 mandibula usia lanjut, dan sudut yang lebar diantara gigi molar ke-3
dan gigi molar ke-2 adalah faktor independen yang mempengaruhi kehilangan
tulang horizontal, aspek yang buram pada tulang, atau kehilangan tulang vertikal
pada alveolar bone crest diantara gigi molar ke-3 dan gigi molar ke-2. Sebagai
tambahan semakin tua usia berhubungan secara positif terhadap radiolusenzi pada
aspek distal gigi molar ke-3 mandibula.
Walaupun terdapat bukti yang menunjukkan gigi molar ke-2 disekitar gigi molar
ke-3 dapat menunjukkan masalah periodontal seperti inflamasi gingival,
periodontal pocket, resorbsi tulang alveolar, sepengetahuan penulis, tulisan ini
merupakan tulisan pertama yang mendemonstrasikan status hubungan antara usia
dan alveolar bone crest. Pemeriksaan radiografik yang menilai tingkat alveolar
bone crest yang sangat berguna dalam menegakkan diagnosis pada pemeriksaan
klinis periodontal. Penyakit periodontal memiliki beberapa tanda radiografik yang
biasanya dimulai dengan aspek tulang yang radiolusen atau diskontinuitas lamina
dura pada regio alveolar bone crest.
Menurut hasil statistik, setelah mengendalikan faktor pengganggu, untuk setiap
tahun meningkat di usia individu, kemungkinan perubahan puncak tulang alveolar
meningkat sebesar 15%. Oleh karena itu, usia harus dipertimbangkan menjadi
prediktor penting untuk perubahan puncak tulang dan, akibatnya, alasan penting
untuk mempertimbangkan profilaksis pencabutan gigi molar ke-3. Di sisi lain,
ruang yang cukup di lengkung gigi harus dipertimbangkan untuk pengambilan
keputusan pada pencabutan gigi molar ke-3 mandibula.
Keputusan pencabutan sebagai profilaksis gigi molar ke-3 mandibula masih
menjadi topik diskusi luas. Ahli bedah mulut sering memiliki kesulitan dalam
pengambilan keputusan: pencabutan gigi molar ke-3 sebagai pendekatan
profilaksis atau tunggu sampai pengembangan patologi terkait sebagai alasan
untuk pencabutan. Beberapa penelitian menjelaskan alasan untuk
mengindikasikan pencabutan gigi molar ke-3, seperti: seperti karies, periodontitis,

6
dan nyeri. Tinjauan sistematis saat ini menyimpulkan bahwa bukti yang
membandingkan pencabutan profilaksis dari gigi molar ke-3 mandibula yang
terkena dampak dengan retensinya sangat terbatas. Meskipun bukti yang cukup
tidak adequat, penulis menyarankan bahwa pencabutan profilaksis mungkin
merupakan strategi yang paling hemat biaya. Namun, ini hasilnya terkait dengan
gigi impaksi dan tinjauan sistematis yang mengevaluasi efektivitas pencabutan
sebagian gigi erupsi tidak ditemukan. Jadi, kurangnya bukti yang dapat
diandalkan menghambat proses pengambilan keputusan. Di dalam akal, penelitian
ini menjelaskan temuan baru berdasarkan analisis radiografi periapikal dari
puncak tulang alveolar di regio molar ke-3 mandibula. Temuan penelitian ini
merupakan pertimbangan tambahan untuk ahli bedah mulut dan pasien ketika:
memutuskan secara profilaksis apakah akan mencabut atau mempertahankan gigi
molar ke-3 mandibula.
Saat melakukan pemeriksaan radiografi di regio gigi molar ke-3 tanpa gejala,
setidaknya tiga tanda radiografi yang dapat menentukan perubahan jaringan keras
dan menunjukkan perlunya operasi pengangkatan gigi: kehilangan tulang
marginal aspek distal dari gigi molar ke-2 yang berdekatan; peningkatan area
radiolusen di sekitar mahkota gigi molar ke-3; dan resorpsi tulang di gigi molar
ke-2 yang berdekatan. Sudut yang lebih besar antara gigi molar ke-3 dan ke-2
mendorong jarak yang lebih jauh antara gigi dan menyebabkan terjadinya impaksi
makanan. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan resorpsi tulang yang dapat
diamati secara klinis. Studi ini menunjukkan bahwa untuk setiap peningkatan
derajat dalam angulasi gigi molar ke-3, peluang kerusakan puncak tulang
meningkat sebesar 3%. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa sebagian
besar perubahan patologis disajikan dalam radiografi panoramik dikaitkan dengan
mesioangular dan berdampak horizontal, mengingat Winter's classifcation, yang
menguatkan hasil penelitian ini. Beberapa penelitian di bidang ini
menggambarkan angulasi gigi molar ke-3 sebagai variabel kontinu. Namun,
literatur menyarankan kelayakan menggunakan pengukuran objektif metode untuk
meminimalkan kesalahan yang diperkenalkan oleh interpretasi pengamat.
Secara khusus, perubahan patologis pada radiografi sebagai radiolusensi
perikoronal lebih dari 2,0 mm pada aspek distal, merupakan alasan yang diterima

7
secara umum untuk ekstraksi molar ke-3 mandibula yang impaksi. Penelitian ini
menunjukkan bahwa hanya variabel usia yang secara signifikan berhubungan
dengan radiolusensi antara aspek distal mahkota gigi molar ke-3 mandibula dan
ramus mandibula dalam model regresi multivariabel akhir. Jadi pasien yang lebih
tua menunjukkan radiolusensi yang lebih luas pada aspek distal mahkota gigi
molar ke-3 yang lebih rendah jika dibandingkan dengan usia yang lebih muda.
Menurut untuk studi sebelumnya, yang lebih awal mendiagnosis kebutuhan untuk
pencabutan gigi molar ke-3 yang menyebabkan perubahan periodontal distal gigi
molar ke-2 yang berdekatan, semakin besar kemungkinan untuk mengurangi
aktivitas inflamasi lokal. Sebuah studi menunjukkan bahwa aktivitas yang
merusak ini dapat menurun dari 77% sebelum operasi menjadi 23% setelah
pencabutan gigi molar ke-3 pada usia muda pasien. Jadi, pemeriksaan radiografi
sebelumnya sebagai pelengkap pemeriksaan klinis pada kondisi periodontal akan
membantu memandu rekomendasi asertif klinis, terutama mempertimbangkan gigi
molar ke-3 yang asimtomatik.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulannya, pasien yang lebih tua, dan angulasi yang lebih besar
antara gigi molar ke-3 dan gigi molar ke-2 yang berdekatan lebih mungkin untuk
menyebabkan perubahan puncak tulang alveolar di regio ini. Juga, usia dikaitkan
dengan radiolusensi yang lebih luas diaspek distal mahkota gigi molar ke-3
mandibula. Disarankan bahwa karakteristik ini harus dipertimbangkan ketika
mengevaluasi gigi molar ke-3 mandibula untuk ekstraksi karena implikasi masa
depan. Hipotesis nol yang diajukan ditolak, dan asosiasi antara kehadiran gigi
molar ke-3 mandibula yang erupsi sebagian dan perubahan pada struktur tulang
lokal telah dikonfirmasi oleh studi ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

Andriani I, Chairunnisa FA, Periodontitis Kronis dan Penatalaksaan Kasus


dengan Kuretase, Insisiva Dental Journal. 2019; 8(1): 25-30.
Arifiana VD dan Prandita N. Penatalaksanaan Periodontitis Kronis pada
Penderita Diabetes Mellitus, Stomatognatic (J.K.G Unej). 2019; 16(2): 59-
63.
Bhuvaneswari P, Gowri T, Ram Kumar GD., dan Vanitha M. Periodontal
splinting: A review before planning a splint, International Journal of
Applied Dental Sciences. 2019; 5(4): 315-9
Chaudhary N dan Tyaghi N. Diabetes Mellitus : An Overview, Chaudhary, N.,
dan Tyaghi, N., Diabetes Mellitus : An Overview, International Journal of
Research and Development in Pharmacy & Life Science. 2018; 7(4):
3030-3.
Ermawati T., Periodontitis dan Diabetes Mellitus, Stomatognatic (J.K.G Unej).
2012; 9(3): 152-4.
Fishcer D, Treister S, Pinto A. Risk Assessment and Oral Diagonostics in
Clinical Dentistry, Wiley, USA. 2013.
Kinane DF, Stathopoulou PG., dan Papapanou PN, Periodontal Disease, Nature
Review Diasese Primer. 2017; 3(17038): 1-14.
Newman MG, Takei HH., Klokkevold PR. Carranza’s Clinical Periodontology
13th Edition, Saunders Elsevier, Missouri, 2019.
Surachman A, Paramita M., Kurniawan AA. Laporan Kasus: Manajemen
Perawatan Gigi pada Pasien dengan Periodontitis Kronis disertai Diabetes
Mellitus, Stomatognatic (J.K.G Unej). 2019; 16(1): 1-6.

10

Anda mungkin juga menyukai