Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Zat Warna

Warna merupakan salah satu aspek penting dalam hal penerimaan konsumen terhadap

suatu produk pangan. Warna dalam bahan pangan dapat menjadi ukuran terhadap mutu, warna

juga dapat digunakan sebagai indicator kesegaran atau kematangan Winarno (1992) juga

menambahkan bahwa apabila suatu produk pangan memeliki nilai gizi yang baik, enak, dan

tekstur yang sangat baik akan tetapi jika memiliki warna yang tidak sedap dipandang akan

memberi kesan bahwa produk pangan tersebut telah menyimpang (Winarno, 1992).

Menurut International Food Information Council Foundation (IFIC) 1994, pewarna

pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan warna suatu produk

pangan, sehingga menciptakan image tertentu dan membuat produk lebih menarik. Definisi yang

diberikan oleh Depkes 1999 lebih sederhana, yaitu Bahan Tambahan Pangan (BTP) dapat

memperbaiki atau memberi warna pada pangan (Wijaya dan Mulyono, 2009).

Zat pewarna merupakan suatu bahan kimia baik alami maupun sintetik yang memberikan

warna. Berdasarkan sumbernya, zat pewarna untuk makanan dapat diklasifikasikan menjadi

pewarna alami dan sintetik (Winarno, 1992). Pewarna alami yaitu zat warna yang diperoleh dari

hewan sperti: warna merah muda pada flamingo dan ikan salem sedangkan dari tumbuh-

tumbuhan seperti: caramel, coklat dan daun suji. Pewarna buatan sering juga disebut dengan zat

arna sintetik. Proses pembuatan zat warna sintetik ini biasanya melalui perlakuan pemberian
asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang

bersifat racun (Winarno, 1994).

Umumnya zat warna alam terbentuk dari kombinasi tiga unsur, yaitu karbon, hydrogen,

dan oksigen, tetapi ada beberapa zat warna yang mengandung unsur lain seperti nitrogen pada

indigotin dan magnesium pada klorofil. Jaringan tumbuhan seperti bunga, batang, kulit, kayu,

biji, buah, akar dan kayu mempunyai warna-warna karakteristik yang disebut pigen dalam botani

(Lemmens & Soetjipto, 1992).

Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai

bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji, ataupun bunga. Pengrajin batik telah banyak

mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil bebrapa diantaranya adalah:

daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran

(Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), the (tea), akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit

soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), daun jambu biji (Psidium

guajava) (Robinson, 1991; Mariance, et al, 2013).

2.2 Pisang

Salah satu kekayaan Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai zat warna alam,

misalnya pisang. Pisang dikonsumsi bukan saja sebagai tambahan makanan pokok, akan tetapi di

beberapa negara, pisang dikonsumsi sebagai makanan pokok. Manusia telah mengkonsumsi

pisang sejak zaman dahulu kala. Kata pisang berasal dari bahasa Arab, yaitu musa yang oleh

Linneus dimasukkan ke dalam keluarga Musaceae, untuk memberikan penghargaan kepada

Antonius Musa, yaitu seorang dokter pribadi kaisar Romawi (Octaviani Agustinus) yang

menganjurkan untuk memakan pisang. Itulah sebabnya dalam bahasa latin, pisang disebut
sebagai Musa paradisiaca. Berdasarkan sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara yang oleh

para penyebar agama Islam disebarkan ke Afrika Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Selanjutnya pisang menyebar ke seluruh dunia, meliputi daerah tropis dan subtropis (Astawan,

2008; Suarsa, et al., 2011).

Menurut Cronquist (1981), pisang diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Plantae

Sub-Divisio : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Species : Musa paradisiaca L.

Batang pisang yang berupa batang semu berpelepah berwarna hijau sampai coklat.

Jantung pisang yang merupakan bunga pisang berwarna merah tua keunguan. Di bagian

dalamnya terdapat bakal pisang. Bonggol pisang, yakni bagian terbawah berwarna coklat dari

batang semu yang berada di dalam tanah, mengandung banyak cairan yang bersifat menyejukkan

dan berkhasiat menyembuhkan (Astawan, 2008). Batang pisang ditebang, sampai dekat

bonggolnya, kemudian pada bagian bonggol itu dikeruk seperti ceruk. Dibiarkan semalam,

besoknya sudah ada air menggenang. Air itulah yang digunakan untuk minum oleh orang Palue

(Annapurna, 2008). Bonggol pisang dimanfaatkan untuk menetralkan tanah yang tingkat

keasamannya tinggi. Bonggol pisang mengandung unsur kalsium sebanyak 49% (Sumanta,

2007).
Tanda kematangan pertama pada kebanyakan buah adalah hilangnya warna hijau.

Kandungan kklorofil buah yang sedang masak lambat laun berkurang. Pada umumnya sejumlah

zat warna hijau tetap terdapat dalam buah, terutama dalam jaringan bagian dalam buah.

Perubahan warna merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pemasakan. Di

samping terjadi perombakan kklorofil, dalam proses ini terjadi pula sintesa dari pigmen tertentu,

seperti karotenoid dan flavonoid. Karena terjadi perombakan/degradasi dari kklorofil, maka

karotenoid yang sudah ada tetapi tidak nyata menjadi nyata dan buah berubah menjadi berwarna

kuning. Terjadinya warna kuning pada pisang disebabkan karena hilangnya kklorofil dan

menyebabkan tampaknya warna karotenoid yang kuning (Apandi, l984).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah metode umum yang digunakan untuk mengambil produk dari bahan

alami, seperti jaringan tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan sebagainya. Ekstraksi dapat

dianggap sebagai langkah awal dalam rangkaian kegiatan pengujian aktivitas biologi tumbuhan

yang dianggap atau diduga mempunyai pengaruh biologi pada suatu organisme. Untuk menarik

komponen non polar dari suatu jaringan tumbuhan tertentu dibutuhkan pelarut non polar, seperti

petroleum eter atau heksana, sedangkan untuk komponen yang lebih polar dibutuhkan pelarut

yang lebih polar juga, seperti etanol atau metanol (Dadang dan Prijono 2008).

Pemabagian metode ekstraksi menurut DitJen POM (2000) yaitu ada du acara yaitu cara

dingin dan cara panas :

a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang

akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar

sel maka larutan terpekat didesak keluar.

b. Cara Panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu

tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut

relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2.4 Analisis Spektroskopi

Warna adalah salah satu kriteria untuk mengidentifikasi suatu objek. Pada analisis

spektrokimia, spektrum radiasi elektromagnetik digunakan untuk menganalisis spesies kimia dan

menelaah interaksinya dengan radiasi elektromagnetik. Persamaan Planck menunjukkan bahwa

E = hv, dimana E adalah energi foton, v adalah frekuensinya, sedangkan h adalah tetapan Planck

(6,624 x 10-27 erg detik). Suatu foton memiliki energi tertentu dan dapat menyebabkan transisi

tingkat energi suatu atom atau molekul. Karena tiap spesies kimia mempunyai tingkat-tingkat

energi yang berbeda, maka transisi perubahan energinya juga berbeda. Berarti suatu spektrum

yang diperoleh dengan memplot beberapa fungsi frekuensi terhadap frekuensi radiasi

elektromagnetik adalah khas untuk spesies kimia tertentu dan berguna untuk identifikasi.
Dasar analisis spektroskopi adalah interaksi radiasi dengan spesies kimia. Selama analisis

spektrokimia, perlu sekali digunakan cahaya dari satu panjang gelombang, yaitu radiasi

monokromatis (Khopkar, 1990).

Gambar 2. 1 Mekanisme Spektrofotometri UV-Vis

(Day & Underwood, 2004).

Pada metode kolorimetri merupakan salah satu metode yang didasarkan pada penyerapan

sinar tampak dengan energi radiasi lain oleh suatu larutan. Metode ini didasarkan atas hukum

Bouguer-Beer atau lebih dikenal dengan hukum Lambert-Beer.

2.4.1 Hukum Bouguer (Lambert)

Hubungan antara absorbsi radiasi dan panjang jalan melalui medium yang menyerap

pertama kali dirumuskan oleh Bouguer (1729), meskipun kadang-kadang berasal dari Lambert

(1768). Bila dibayangkan sebuah medium penyerap yang homogen, seperti suatu larutan kimia

menjadi lapisan-lapisan maya masing-masing dengan ketebalan yang sama. Jika suatu sinar

monokromatis (yaitu radiasi dari satu panjang gelombang tunggal) diarahkan melewati medium,

maka diketahui bahwa tiap lapisan menyerap bagian yang sama dari radiasi, atau tiap lapisan

mengurangi tenaga radiasi sinar dengan bagian yang sama. Umpamakan lapisan pertama
menyerap separuh dari radiasi yang jatuh diatasnya. Maka lapisan kedua akan menyerap separuh

dari radiasi yang keluar dari lapisan kedua ini akan bernilai seperempat dari tenaga semula dari

lapisan ketiga menjadi seperdelapan dan seterusnya.

Menurut Hukum Bouguer apabila kita meningkatkan tebal medium secara tak terhingga,

maka tenaga radiasi yang ditransmisikan harus mendekati nol. Tetapi tidak dapat turun menjadi

nol, jika sebagian yang nyata tidak diserap sama sekali (Day & Underwood, 2004).

2.4.2 Hukum Beer

Hukum Beer analog dengan hukum Bouguer dalam menguraikan pengurangan

eksponensial dalam tenaga transmisi dengan suatu peningkatan aritmatik dalam konsentrasi.

Hukum Beer dapat digunakan dengan tepat hanya untuk radiasi monokromatik dan sifat macam

zat yang menyerap ditetapkan di atas jangkauan konsentrasi yang bersangkutan (Day &

Underwood, 2004).

2.4.3 Hukum Bouguer-Beer

Hukum Bouguer dan Beer dapat dituliskan dengan rumus:

A=abc

Dengan A adalah absorbansi, a adalah absorptivitas, b adalah ketebalan medium, dan c

adalah konsentrasi sampel. Hukum tersebut dapat ditinjau sebagai berikut:

a. Jika suatu berkas radiasi monokromatik yang sejajar jatuh pada medium pengabsorpsi

pada sudut tegak lurus setiap lapisan yang sangat kecilnya akan menurunkan intensitas

berkas.

b. Jika suatu cahaya monokromatis mengenai suatu medium yang transparan, laju

pengurangan intensitas dengan ketebalan medium sebanding dengan intensitas cahaya.

c. Intensitas berkas sinar monokromatis berkurang secara eksponensial bila konsentrasi zat

pengabsorpsi bertambah (Khopkar, 1990).


2.4.4 Penyimpangan Hukum Bouguer-Beer

Menurut hukum Bouguer-Beer, suatu grafik dari absorbans terhadap konsentrasi molar

akan merupakan garis lurus. Akan tetapi seringkali pengukuran pada sistem kimia yang

sesungguhnya menghasilkan grafik yang tidak linier pada jangkauan konsentrasi yang diinginkan

(Day & Underwood, 2004).

Hukum ini dapat berlaku hanya bila berkas monokromatis yang digunakan. Sinar

polikromatis dapat menyebabkan makin melebarnya pita radiasi sehingga akan menjadi

penyimpangan yang lebih besar. Penyimpangan jelas akan teramati pada konsentrasi lebih besar

pada kurva absorbansi terhadap konsentrasi. Kurva akan mulai melengkung pada daerah

konsentrasi tinggi. Penyimpangan negatif dapat menyebabkan kesalahan relatif yang makin

membesar dari konsentrasi sebenarnya (Darmawangsa, 1986).

2.5 Tanin

Tanin merupakan senyawa aktif metabolit sekunder yang diketahui mempunyai beberapa

khasiat yaitu sebagai astringen, anti diare, anti bakteri dan antioksidan. Tanin merupakan

komponen zat organik yang sangat kompleks, terdiri dari senyawa fenolik yang sukar dipisahkan

dan sukar mengkristal, mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein

tersebut (Desmiaty et al., 2008). Tanin memiliki peranan biologis yang kompleks mulai dari

pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan

biologis (Hagerman, 2002).

Tanin adalah pigmen alami larut air yang secara alami terdapat pada berbagai jenis

tumbuhan, salah satunya pada buah Rhizopora mucronata. Tanin yang merupakan pigmen

pewarna alami berupa zat pewarna coklat, memiliki rasa pahit dan kelat, yang bereaksi dengan
dan menggumpalkan protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan

alkaloid. Semua jenis tanin dapat larut dalam air, kelarutannya besar dan akan bertambah besar

apabila dilarutkan dalam air panas (Rahim, 2007).

Tanin diklasifikasikan dalam 2 kelas, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.

Pada Gambar 1 dperlihatkan salah satu contoh rumus bangun tanin terhidrolisis dan tanin

terkondensasi

Gambar. 1 Rumus Bangun Tanin (Parker, 2006)

Ekstraksi tanin biasanya dilakukan secara batch yaitu ekstraksi yang dilakukan secara bertahap.

Cara ini merupakan cara yang paling sederhana, yaitu dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang

tidak bercampur dengan pelarut semula kemudian dilakukan pengadukan sehingga terjadi kesetimbangan

konsentrasi zat yang akan diekstraksi. (Sukardjo, 1978).

2.6 Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar ditemukan di alam (Harborne.,

1987). Flavonoid yang ditemukan Fowler dkk. (2009) menunjukkan aktivitas biokimia misalnya

antioksidan, antivirus, antibakteri, dan anti kanker. Senyawa- senyawa ini merupakan zat warna

merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh tumbuhan

(Markham, 1988). Golongan flavonoid memiliki kerangka karbon yang terdiri atas dua cincin

benzene tersubstitusi yang disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon. Pengelompokan
flavonoid berdasarkan pada cincin heterosiklik- oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang

tersebar (Robinson, 1995). Golongan terbesar flavonoid memiliki cincin piran yang yang

menghubungkan rantai tiga – karbon dengan salah satu cincin benzene (Harborne, 1987).

Senyawa flavonoid diturunkan dari unit C6-C3 (fenilpropana) yang bersumber dari asam

sikimat dan unit C6 yang diturunkan dari jalur poliketida. Fragmen poliketida ini disusun dari

tiga molekul malonil-KoA, yang bergabung dengan unit C6-C3 (sebagai koA tioester) untuk

membentuk unit awal triketida. Oleh karena itu, flavonoid yang berasal dari biosintesis gabungan

terdiri atas unit-unit yang diturunkan dari asam sikimat dan jalur poliketida (Heinrich, et al.,

2010). Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga,

buah dan biji. Flavonoid terdiri dari beberapa golongan utama antara lain antosianin, flavanol

dan flavon yang tersebar luas dalam tumbuhan. Sedangkan khalkon, auron, flavonol,

dihidrokhalkon, dan isoflavon penyebarannya hanya terbatas pada golongan tertentu saja

(Harborne, 1987).
DAFTAR PUSTAKA

Darmawangsa. 1986. Penuntun Praktikum Analisis Instrumental: Dasar-Dasar dan

Penggunaan. Grayuna. Jakarta.

Day R.A & Underwood, A.L. 2004. Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta. Cetakan

Keempat.

Desmiaty, Y.; Ratih H.; Dewi M.A.; Agustin R. Penentuan Jumlah Tanin Total pada Daun Jati

Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) dan Daun Sambang Darah (Excoecaria bicolor

Hassk.) Secara Kolorimetri dengan Pereaksi Biru Prusia. Ortocarpus. 2008. 8, 106-109.

Ditjen POM, Depkes RI , 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 9-11,16.

Fowler, L.Z., Mattheos, A., dan Koffas, 2009, Biosynthesis and biotechnological production of

flavanones : current state and perspectives, App microbial biotechnol (2009)83:799-808

Hagerman, A. E. Tannin Handbook. Department of Chemistry and Biochemistry, Miami

University. 2002.

Harborne, J., B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan

Terbitan Kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. ITB: Bandung.

Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., Williamson, E., M. 2010. Farmakognosi dan Fitoterapi.

Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta.

Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Diterjemahkan oleh A. Saptorahardjo. UI-

Press. Jakarta.

Markham, K.,R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavanoid. Terjemahan Kosasih Padmawinata,

Penerbit ITB: Bandung.


Rahim, A.A, Rocca, E., Steinmetz, J., Kassim, M.J., Adnan, R., and Ibrahim, M.S., (2007),

Mangrove Tannins and Their Flavanoid sMonomers as Alternative Steel Corrosion

Inhibitors in Acidic Medium, Corrosion Science, 49, 402 – 417

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan Kosasih Padmawinata.

ITB: Bandung.

Sukardjo, S., (1978), Some aspects of mangrove ecology, Training Materials for Forestry Officer,

FAO/UNDP/ BDG/84/056, Integrated Development of the Sundarbans Reserved Forest,

Rome, FAO

Anda mungkin juga menyukai