Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI

INSTRUMENTAL
PENENTUAN KADAR LOGAM FE DARI SAMPEL AIR
DENGAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (SSA)-
NYALA

Kelompok 4 Kelas B

Citra Alvira Yulianti 200106041


Dava Aprianda Nugraha 200106046
Fayyaza Queentania Awanis 200106069
Fitri Oktaviani 200106073
Gani Mulyadi 200106074

Tanggal Percobaan :
9 Januari 2023

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2023
I. TUJUAN PRAKTIKUM

II. TEORI DASAR


Radiasi elektromagnetik adalah kombinasi medan listrik dan medan
magnet yang berosilasi dan merambat melewati ruang dan membawa energi
dari satu tempat ke tempat yang lain. Cahaya tampak adalah salah satu bentuk
radiasi elektromagnetik. Penelitian teoritis tentang radiasi elektromagnetik
disebut elektrodinamik, sub bidang elektromagnetisme. Jika ditinjau dari
muatan listrik, radiasi dapat dibagi menjadi radiasi pengion dan radiasi non
pengion. Yang termasuk ke dalam radiasi pengion adalah sinar-X, partikel
alfa (α), partikel beta (β), sinar gamma (γ), partikel neutron. Sedangkan yang
termasuk ke dalam radiasi non-pengion adalah gelombang radio, gelombang
mikro, inframerah, cahaya tampak dan ultraviolet (Wijaya, et al., 2019).
Pengertian spektroskopi dan spektrofotometri pada dasarnya sama yaitu di
dasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi elektromagnetik. Namun
pengertian spektrofotometri lebih spesifik atau pengertiannya lebih sempit
karena ditunjukan pada interaksi antara materi dengan cahaya (baik yang
dilihat maupun tidak terlihat). Sedangkan pengertian spektroskopi lebih luas
misalnya cahaya maupun medan magnet termasuk gelombang
elektromagnetik (Effendy, 2006).

III. ALAT DAN BAHAN


III.1 Alat

No. Alat Gambar Kegunaan


1. Batang pengaduk Untuk mengaduk dan
menghomogenkan zat
kimia

2. Botol vial Untuk menyimpan


larutan

3. Bulb Sebagai alat bantu


dalam penyedotan
larutan

4. Corong kaca Sebagai alat bantu


untuk memindahkan
atau memasukkan
larutan ke wadah

5. Gelas kimia Untuk mereaksikan


bahan atau untuk
menampung dan
melarutkan bahan

6. Gelas ukur Untuk mengukur


larutan

7. Kuvet Untuk mengukur


konsentrasi reagen
yang dibaca pada
spektrofotometer
8. Labu Erlenmeyer Untuk menampung
larutan yang akan
digunakan

9. Labu ukur Untuk


mengukurlarutan
secara spesifik dengan
ketelitian pengukuran
yang sangat tinggi

10. Mortir dan Untuk menggerus atau


stamper menumbuk obat

11. Pipet tetes Untuk memindahkan


cairan dalam volume
skala kecil

12. Pipet volume Untuk mengambil


cairan dengan volume
tertentu dengan
ketelitian lebih tinggi
13. Spatel Untuk mengambil
bahan kimia

14. Spektrofotometer Untuk mengukur


UV-Visible absorban suatu sampel
pada panjang
gelombang tertentu

15. Timbangan Untuk menimbang


analitik bahan atau zat kimia

III.2 Bahan

No. Bahan Kegunaan Precaution


1. Akuades (H2O) Sebagai pelarut -
2. Kertas perkamen Sebagai alas untuk -
menimbang
3. Metanol (CH3OH) Sebagai pelarut Iritasi kulit dan mata
4. Plastik wrap Untuk menutup -
botol vial
5. Serbuk standar Sebagai sampel Iritasi
parasetamol
6. Tablet parasetamol Sebagai sampel Iritasi
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
IV.1 Pembuatan Larutan baku logam besi, Fe 100 mg/L
Pertama-tama disiapkan alat dan bahan. Kemudian diambil 1 mL
larutan induk logam Fe 1000 mg/L ke dalam labu ukur 10 mL.
Selanjutnya ditambahkan larutan pengencer hingga tanda batas. Setelah
itu, dikocok perlahan hingga larutan homogen, lalu dimasukkan larutan
ke dalam botol vial 30 mL.

4.2 Pembuatan Larutan baku logam besi, Fe 25 mg/L


Pertama-tama disiapkan alat dan bahan. Kemudian diambil 25 mL
larutan induk logam Fe 100 mg/L ke dalam labu ukur 25 mL. Selanjutnya
ditambahkan larutan pengencer hingga tanda batas. Setelah itu, dikocok
perlahan hingga larutan homogen.

4.3 Pembuatan Larutan kerja logam besi, Fe


Pertama-tama disiapkan alat dan bahan. Kemudian dipindahkan
larutan baku logam besi Fe 10 ppm ke dalam labu takar 50 mL ke dalam
labu takar yang berbeda sesuai konsentrasi yaitu sebanyak 0,5 mL; 1 mL;
1,5 mL; 2 mL; dan 2,5 mL. Selanjutnya, diencerkan dengan larutan
pengencer hingga tanda batas, lalu dikocok perlahan hingga homogen.

4.4 Pembuatan Kurva kalibrasi dan kadar sampel


Pertama-tama disiapkan alat SSA dan dioptimasi dengan gas yang
digunakan yaitu asetilen. Kemudian dilakukan pengukuran larutan kerja
dengan konsentrasi yang berbeda dan sampel pada panjang gelombang
248,3 nm. Hasil pengukuran dibuat kurva kalibrasi untuk larutan kerja
serta dilakukan penentuan kadar pada sampel.

V. DATA PENGAMATAN

No. Prosedur Pengamatan


1. Pembuatan Larutan baku logam Larutan berwarna putih bening
besi, Fe 100 mg/L
- diambil 1 mL larutan
induk logam Fe 1000
mg/L ke dalam labu ukur
10 mL
- dikocok perlahan hingga
larutan homogen
- dimasukkan larutan ke
dalam botol vial 30 mL
2. Pembuatan Larutan baku logam Larutan baku logam besi, Fe 25
besi, Fe 25 mg/L ppm berwarna putih bening
- diambil 25 mL larutan
induk logam Fe 100 mg/L
ke dalam labu ukur 25 mL
- ditambahkan larutan
pengencer hingga tanda
batas
- dikocok perlahan hingga
larutan homogen.
3. Pembuatan Larutan kerja logam Larutan kerja logam, Fe 10 ppm
besi, Fe berwarna putih bening
- dipindahkan larutan baku
logam besi Fe 10 ppm ke
dalam labu takar 50 mL
ke dalam labu takar yang
berbeda sesuai konsentrasi
yaitu sebanyak 0,5 mL; 1
mL; 1,5 mL; 2 mL; dan
2,5 mL
- diencerkan dengan larutan
pengencer hingga tanda
batas
- dikocok perlahan hingga
homogen
4. Pembuatan Kurva kalibrasi dan
kadar sampel Konsentrasi Absorbansi
- disiapkan alat SSA (ppm)
- dioptimasi dengan gas 0 0
yang digunakan yaitu 0,5 0,0510
asetilen 1 0,1235
- dilakukan pengukuran 1,5 0,1393
larutan kerja dengan 2 0,1923
konsentrasi yang berbeda 2,5 0,2943
dan sampel pada panjang
gelombang 248,3 nm Pengukuran Absorbansi
- dibuat kurva kalibrasi 1 0,896
untuk larutan kerja 2 0,896
- dilakukan penentuan 3 0,883
kadar pada sampel. Rata – rata 0,892

 Absorbansi Larutan Standar Pada Deret Panjang Gelombang :

VI. PERHITUNGAN
1. Perhitungan Pembuatan Larutan Standar Paracetamol dengan Konsentrasi
4, 6, 8, 10, dan 12 ppm.
 Dik :
- V2 = 25 mL
- M1 = 100 ppm
- M2 = 4, 6, 7, 10, dan 12 ppm
 Dit : V1 = ?
 Jawab :
a. M2 = 4 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 4 ppm
100
V1 = = 1 mL
100
b. M2 = 6 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 6 ppm
150
V1 = = 1,5 mL
100
c. M2 = 8 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 8 ppm
200
V1 = = 2 mL
100
d. M2 = 10 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 10 ppm
250
V1 = = 2,5 mL
100
e. M2 = 12 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 12 ppm
300
V1 = = 3 mL
100
2. Grafik Konsentrasi vs Absorbansi Larutan Standar Parasetamol

3. Perhitungan Persamaan Regresi Linier Yang Didapatkan


 Diketahui :
A = 0,0063
B = 0,0018
Absorbansi = 0,0013
 Ditanyakan : x = ?
 Jawab :
Y = Bx + A
Y = 0,0018x + 0,0063
0,0013 = 0,0018x + 0,0063
0,0013−0,0063
X =
0,0018
= -2,7778
= -2,77 mg/L
 Faktor pengenceran :
50 mL
= -2,77 mg/L x
0,5 mL
= -277 mg/L
= -0,277 mg/mL
 Dalam 50 mL :
= - 0,277 mg/mL x 50 mL = -13,85 mg

4. Perhitungan Kadar Parasetamol Dalam Sampel


−13,85 mg
= x 100% = -27,7%
50 mg

VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan percobaan penetapan kadar sampel
parasetamol menggunakan spektrofotometer UV-Visible dengan tujuan
memahami prinsip kerja dari spektrofotometer UV-Visible, kemudian
menentukan panjang gelombang serapan maksimum dari sampel paracetamol,
serta menentukan kadar sampel paracetamol dengan spektrofotometer UV-
Visible.
Prinsip kerja dari spektrofotometer UV-Visible berdasarkan jika cahaya
(monokromatik maupun campuran) jatuh pada suatu medium homogen,
sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan, sebagian diserap dalam medium
itu, dan sisanya diteruskan. Nilai yang keluar dari cahaya yang diteruskan
dinyatakan dalam nilai absorbansi karena memiliki hubungan dengan
konsentrasi sampel. Spektrofotometri UV-Vis mengacu pada hukum
Lambert-Beer. Apabila cahaya monokromatik melalui suatu media (larutan),
maka sebagian cahaya tersebut akan diserap, sebagian dipantulkan dan
sebagian lagi akan dipancarkan (Yanlinastuti & Fatimah, 2016).
Prosedur pertama dilakukan pembuatan larutan blanko. Pertama-tama
disiapkan alat dan bahan. Kemudian diambil 75 mL metanol, lalu dimasukkan
ke dalam labu takar 500 mL. Selanjutnya ditambahkan akuades ke dalam labu
takar hingga tanda batas. Setelah itu, dikocok perlahan hingga larutan
homogen, lalu dimasukkan larutan ke dalam botol vial 30 mL. Fungsi larutan
blanko yaitu untuk membuat konsentrasi pelarut menjadi nol sehingga tidak
akan terukur oleh detektor dan tidak mengganggu pembacaan absorbansi
sampel dan dengan demikian dapat memperkecil kesalahan (DepKes RI,
2014).
Kemudian prosedur kedua dilakukan pembuatan larutan induk
parasetamol 100 ppm. Pertama-tama ditimbang parasetamol standar sebanyak
10 mg, lalu dilarutkan dalam 10 mL metanol dalam gelas kimia 100 mL.
Selanjutnya, diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga homogen,
lalu dimasukkan ke dalam botol vial 30 mL. Kemudian dilakukan pembuatan
larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 10 ppm. Pertama-tama
diambil sebanyak 5 mL larutan induk parasetamol 100 ppm dan dimasukkan
ke dalam labu takar 50 mL, lalu diencerkan dengan larutan blanko hingga
tanda batas. Selanjutnya, dikocok perlahan hingga homogen dan dimasukkan
ke dalam botol vial 30 mL.
Berikutnya prosedur keempat dilakukan penetapan panjang gelombang
serapan maksimum larutan parasetamol 10 ppm. Pertama-tama dimasukkan
larutan blanko ke dalam kuvet, lalu diatur nilai absorbansi menjadi 220 nm.
Selanjutnya diatur nilai absorbansi menjadi 0, lalu diukur absorbansi larutan
standar parasetamol 10 ppm pada panjang gelombang 220 nm. Setelah itu,
diukur absorbansi pada panjang gelombang 220 – 275 nm. Kemudian
ditetapkan panjang gelombang maksimum dari standar parasetamol. Panjang
gelombang maksimum (λ maks) merupakan panjang gelombang dimana
terjadi eksitasi elektronik yang memberikan absorbansi maksimum. Tujuan
dilakukan pengukuran pada panjang gelombang maksimum yaitu perubahan
absorbansi untuk setiap satuan kosentrasi yaitu paling besar pada panjang
gelombang maksimum, sehingga akan diperoleh kepekaan analisis yang
maksimum (Gandjar & Rohman, 2007). Secara teoritis serapan maksimum
untuk parasetamol adalah 244 nm (Tulandi, et al., 2015). Berdasarkan hasil
pengukuran didapatkan panjang gelombang serapan maksimun untuk larutan
paracetamol 10 ppm yaitu pada panjang gelombang 243 nm dengan nilai
absorbansi 0,776.
Selanjutnya prosedur kelima dilakukan pembuatan larutan standar
parasetamol dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm. Pertama-tama
dipindahkan larutan induk parasetamol 100 ppm ke dalam labu takar 50 mL
ke dalam labu takar yang berbeda sesuai konsentrasi dengan volume yang
telah dihitung sebelumnya yaitu 4 ppm sebanyak 1 mL; 6 ppm sebanyak 1,5
mL; 8 ppm sebanyak 2 mL; 10 ppm sebanyak 2,5 mL; dan 12 ppm sebanyak
3 mL. Selanjutnya, diencerkan dengan larutan blanko hingga tanda batas, lalu
dikocok perlahan hingga homogen. Setelah itu, dipindahkan masing-masing
larutan homogen tersebut ke dalam botol vial dan ditutup rapat.
Kemudian prosedur keenam dilakukan pembuatan kurva standar larutan
parasetamol. Absorbansi masing-masing larutan standar diukur pada panjang
gelombang 243 nm. Berdasarkan hasil pengukuran pada larutan standar
didapatkan nilai absorbandi pada konsentrasi larutan 0 ppm sebesar 0,007; 4
ppm sebesar 0,013; 6 ppm sebesar 0,017; 8 ppm sebesar 0,019; 10 ppm
sebesar 0,023; dan 12 ppm sebesar 0,029. Hasil pengukuran menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi larutan standar parasetamol yang diukur
maka semakin besar pula absorbansi yang diperoleh. Hal ini dikarenakan
pada konsentrasi yang semakin tinggi, tingkat kepekatan senyawa
parasetamol juga semakin tinggi. Selain itu, hukum Lambert-Beer
menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi suatu sampel tertentu akan
mengubah absorbansi pada tiap panjang gelombang dengan suatu faktor yang
konstan (Skoog & West, 1971). Selanjutnya, dibuat grafik absorbansi
terhadap konsentrasi larutan standar. Linieritas menunjukkan kemampuan
suatu metode analisis untuk memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan
konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran konsentrasi tertentu (Sayuthi &
Kurniawati, 2017). Kurva pada data pengamatan dapat dikatakan linier jika
nilai koefisien korelasi yang diperoleh telah memenuhi persyaratan yaitu ≤
0,9970 (Chan, et al., 2004). Berdasarkan hasil pengukuran serapan larutan
parasetamol dengan berbagai konsentrasi tersebut memberikan persamaan
linier y = 0,0018x + 0,0063 dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang
diperoleh sebesar 0,9802. Nilai range kurang linier yang diperoleh
menunjukkan hasil kurang baik untuk menentukan validasi metode penentuan
kadar parasetamol dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible.
Selanjutnya prosedur ketujuh dilakukan penetapan kadar sampel
parasetamol. Tablet parasetamol 500 mg ditumbuk halus sebanyak 4 tablet,
lalu ditimbang sebanyak 0,05 g. Selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas
kimia 50 mL dan ditambahkan methanol sebanyak 15 mL, serta diaduk
sampai larut. Setelah itu diambil 0,5 mL larutan sampel parasetamol tersebut
dengan pipet volume, lalu dipindahkan ke dalam labu takar 50 mL. Kemudian
ditambahkan larutan blanko hingga tanda batas, dan dikocok perlahan hingga
larut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam botol vial 30 mL. Setelah itu, diukur
absorbansi larutan sampel parasetamol tersebut dengan 3 kali pengulangan,
dan ditentukan kadar parasetamol dalam sampel tersebut. Berdasarkan hasil
pengukuran nilai absorbansi yang dilakukan pada sampel didapatkan hasil
pada pengukuran pertama sebesar 0,004; pengukuran kedua sebesar 0,002;
dan pengukuran ketiga sebesar -0,002 maka nilai rata-rata absorbansi sampel
paracetamol didapatkan sebesar 0,0013. Kemudian dilakukan penetapan
kadar paracetamol dalam sampel dengan nilai absorbansi yang didapatkan
dimasukkan ke dalam persamaan regresi linear didapatkan hasil x = -2,77
mg/L. Kemudian dikali dengan faktor pengenceran sebanyak 50 x didapatkan
hasil - 0,277 mg/mL. Lalu dihitung kadar dalam 50 mL larutan didapatkan
hasil -13,85 mg. Selanjutnya kadar paracetamol dalam 50 mL dihitung jika
dalam 50 mg didapatkan % kadar paracetamol dalam sampel sebesar - 27,7%.
Menurut persyaratan Farmakope Indonesia (FI) Edisi IV tahun 1995, bahwa
besarnya kadar zat aktif senyawa obat dalam sebuah obat yaitu tidak kurang
dari 90 % dan tidak lebih dari 110 %. Hasil yang diperoleh dari pengujian ini
menunjukkan ketidaksesuaian antara hasil pengujian dengan standar yang
telah ditetapkan. Faktor yang mempengaruhi ketidaksesuain hasil pengujian
yaitu terdapat pada pelarut yang digunakan dalam pengujian yaitu metanol.
Metanol termasuk dalam pelarut organik yang mudah menguap sehingga
sebelum pengukuran sampel dengan alat spketrofotometer dimungkinkan
sebagian zat aktif parasetamol dalam larutan sampel telah menguap bersama
dengan pelarut methanol tersebut yang menyebabkan hasil penyerapannya
berkurang serta kurangnya faktor pengocokkan sebelum larutan sampel
hendak diukur juga mempengaruhi hasil yang didapatkan dalam pengujian,
sebab larutan harus benar – benar homogen agar didapatkan hasil yang
maksimal dalam pengujian.

VIII. KESIMPULAN
8.1 Pinsip kerja spektrofotometri UV-Vis yaitu interaksi yang terjadi antara
energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi
berupa molekul. Besar energi yang diserap tertentu dan menyebarkan
elektron tereksitasi dari ground state ke keadaan terekstasi yang memiliki
energi lebih tinggi. Dan didasarkan dengan hukum Lambert-Beer.
8.2 Berdasarkan hasil dari praktikum yang sudah dilakukan, bahwa panjang
gelombang serapan maksimum pada paracetamol standar menggunakan
spektrofotometri UV-Vis diperoleh nilai panjang gelombang 243 nm
dengan nilai absorbansi sebesar 0,776.
8.3 Berdasarkan hasil praktikum kadar suatu sampel yang telah dilakukan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada pengukurannya diperoleh
nilai kadar paracetamol - 27,7%. Dengan begitu hasil dari pengukuran
memiliki nilai % tidak sesuai dengan literatur, karena menurut
persyaratan Farmakope Indonesia (FI) Edisi IV tahun 1995, bahwa
besarnya kadar zat aktif senyawa obat dalam sebuah obat yaitu tidak
kurang dari 90 % dan tidak lebih dari 110 %.
DAFTAR PUSTAKA

Brady, J., 2005. Kimia Universitas Asas dan Struktur. 5th ed. Jakarta: Binarupa.

Chan, Chun, Herman Lam, Y. & Zhang, X., 2004. Analitical Method Validation
and Instrument Performance Verification. New Jersey: John Willey &
sons, Inc Publication.

Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

DepKes RI, 2014. Farmakope Indonesia edisi V. Jakarta: Dirjen POM DEPKES
RI.

Effendy, 2006. Spektroskopi UV-Visible Senyawa Koordinasi. Malang :


Universitas Malang Press.

Gandjar, G. & Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Gandjar, I. & Rohman, A., 2012. Analisis Obat Secara Spektrofotometri dan
Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sayuthi, M. & Kurniawati, P., 2017. Validasi Metode Analisis Dan Penetapan
Kadar Parasetamol Dalam Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Uv-
Visible. Prosiding Seminar Nasional Kimia FMipa UNESA, pp. 190-202.

Skoog, D. & West, D., 1971. Principles of Instrumental Analysis. New York:
Holt, Rinehart and Winton, Inc.

Suharti, T., 2017. Dasar - Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrometri


Massa untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Lampung:
CV.Anugrah Utama Raharja.

Tim Kimia Dasar, 2011. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP Press.

Tulandi, G., Sudewi, S. & Lolo, W., 2015. Validasi Metode Analisis untuk
Penetapan Kadar Parasetamol dalam Sediaan Tablet Secara
Spektrofotometri Ultraviolet. Pharmacon, Volume 4, pp. 169-177.

Wijaya, N., Kartika, W. & Utari, A., 2019. Deteksi Radiasi Gelombang
Elektromagnetik dari Peralatan Medis dan Elektronik di Rumah Sakit.
Jurnal ECOTIPE, 6(2), pp. 102-106.

Yanlinastuti & Fatimah, S., 2016. Pengaruh Konsentrasi Pelarut untuk


Menentukan Kadar Zirkonium dalam Paduan U-Zr dengan Menggunakan
Metode Spektrofotometri UV-Visible. Jurnal Batan, 17(9), pp. 23-33.
LAMPIRAN

 Absorbansi Larutan Standar Pada Deret Panjang Gelombang :

Anda mungkin juga menyukai