INSTRUMENTAL
PENENTUAN KADAR LOGAM FE DARI SAMPEL AIR
DENGAN SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (SSA)-
NYALA
Kelompok 4 Kelas B
Tanggal Percobaan :
9 Januari 2023
III.2 Bahan
V. DATA PENGAMATAN
VI. PERHITUNGAN
1. Perhitungan Pembuatan Larutan Standar Paracetamol dengan Konsentrasi
4, 6, 8, 10, dan 12 ppm.
Dik :
- V2 = 25 mL
- M1 = 100 ppm
- M2 = 4, 6, 7, 10, dan 12 ppm
Dit : V1 = ?
Jawab :
a. M2 = 4 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 4 ppm
100
V1 = = 1 mL
100
b. M2 = 6 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 6 ppm
150
V1 = = 1,5 mL
100
c. M2 = 8 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 8 ppm
200
V1 = = 2 mL
100
d. M2 = 10 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 10 ppm
250
V1 = = 2,5 mL
100
e. M2 = 12 ppm
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 100 ppm = 25 mL x 12 ppm
300
V1 = = 3 mL
100
2. Grafik Konsentrasi vs Absorbansi Larutan Standar Parasetamol
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan percobaan penetapan kadar sampel
parasetamol menggunakan spektrofotometer UV-Visible dengan tujuan
memahami prinsip kerja dari spektrofotometer UV-Visible, kemudian
menentukan panjang gelombang serapan maksimum dari sampel paracetamol,
serta menentukan kadar sampel paracetamol dengan spektrofotometer UV-
Visible.
Prinsip kerja dari spektrofotometer UV-Visible berdasarkan jika cahaya
(monokromatik maupun campuran) jatuh pada suatu medium homogen,
sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan, sebagian diserap dalam medium
itu, dan sisanya diteruskan. Nilai yang keluar dari cahaya yang diteruskan
dinyatakan dalam nilai absorbansi karena memiliki hubungan dengan
konsentrasi sampel. Spektrofotometri UV-Vis mengacu pada hukum
Lambert-Beer. Apabila cahaya monokromatik melalui suatu media (larutan),
maka sebagian cahaya tersebut akan diserap, sebagian dipantulkan dan
sebagian lagi akan dipancarkan (Yanlinastuti & Fatimah, 2016).
Prosedur pertama dilakukan pembuatan larutan blanko. Pertama-tama
disiapkan alat dan bahan. Kemudian diambil 75 mL metanol, lalu dimasukkan
ke dalam labu takar 500 mL. Selanjutnya ditambahkan akuades ke dalam labu
takar hingga tanda batas. Setelah itu, dikocok perlahan hingga larutan
homogen, lalu dimasukkan larutan ke dalam botol vial 30 mL. Fungsi larutan
blanko yaitu untuk membuat konsentrasi pelarut menjadi nol sehingga tidak
akan terukur oleh detektor dan tidak mengganggu pembacaan absorbansi
sampel dan dengan demikian dapat memperkecil kesalahan (DepKes RI,
2014).
Kemudian prosedur kedua dilakukan pembuatan larutan induk
parasetamol 100 ppm. Pertama-tama ditimbang parasetamol standar sebanyak
10 mg, lalu dilarutkan dalam 10 mL metanol dalam gelas kimia 100 mL.
Selanjutnya, diaduk dengan menggunakan batang pengaduk hingga homogen,
lalu dimasukkan ke dalam botol vial 30 mL. Kemudian dilakukan pembuatan
larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 10 ppm. Pertama-tama
diambil sebanyak 5 mL larutan induk parasetamol 100 ppm dan dimasukkan
ke dalam labu takar 50 mL, lalu diencerkan dengan larutan blanko hingga
tanda batas. Selanjutnya, dikocok perlahan hingga homogen dan dimasukkan
ke dalam botol vial 30 mL.
Berikutnya prosedur keempat dilakukan penetapan panjang gelombang
serapan maksimum larutan parasetamol 10 ppm. Pertama-tama dimasukkan
larutan blanko ke dalam kuvet, lalu diatur nilai absorbansi menjadi 220 nm.
Selanjutnya diatur nilai absorbansi menjadi 0, lalu diukur absorbansi larutan
standar parasetamol 10 ppm pada panjang gelombang 220 nm. Setelah itu,
diukur absorbansi pada panjang gelombang 220 – 275 nm. Kemudian
ditetapkan panjang gelombang maksimum dari standar parasetamol. Panjang
gelombang maksimum (λ maks) merupakan panjang gelombang dimana
terjadi eksitasi elektronik yang memberikan absorbansi maksimum. Tujuan
dilakukan pengukuran pada panjang gelombang maksimum yaitu perubahan
absorbansi untuk setiap satuan kosentrasi yaitu paling besar pada panjang
gelombang maksimum, sehingga akan diperoleh kepekaan analisis yang
maksimum (Gandjar & Rohman, 2007). Secara teoritis serapan maksimum
untuk parasetamol adalah 244 nm (Tulandi, et al., 2015). Berdasarkan hasil
pengukuran didapatkan panjang gelombang serapan maksimun untuk larutan
paracetamol 10 ppm yaitu pada panjang gelombang 243 nm dengan nilai
absorbansi 0,776.
Selanjutnya prosedur kelima dilakukan pembuatan larutan standar
parasetamol dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm. Pertama-tama
dipindahkan larutan induk parasetamol 100 ppm ke dalam labu takar 50 mL
ke dalam labu takar yang berbeda sesuai konsentrasi dengan volume yang
telah dihitung sebelumnya yaitu 4 ppm sebanyak 1 mL; 6 ppm sebanyak 1,5
mL; 8 ppm sebanyak 2 mL; 10 ppm sebanyak 2,5 mL; dan 12 ppm sebanyak
3 mL. Selanjutnya, diencerkan dengan larutan blanko hingga tanda batas, lalu
dikocok perlahan hingga homogen. Setelah itu, dipindahkan masing-masing
larutan homogen tersebut ke dalam botol vial dan ditutup rapat.
Kemudian prosedur keenam dilakukan pembuatan kurva standar larutan
parasetamol. Absorbansi masing-masing larutan standar diukur pada panjang
gelombang 243 nm. Berdasarkan hasil pengukuran pada larutan standar
didapatkan nilai absorbandi pada konsentrasi larutan 0 ppm sebesar 0,007; 4
ppm sebesar 0,013; 6 ppm sebesar 0,017; 8 ppm sebesar 0,019; 10 ppm
sebesar 0,023; dan 12 ppm sebesar 0,029. Hasil pengukuran menunjukkan
bahwa semakin besar konsentrasi larutan standar parasetamol yang diukur
maka semakin besar pula absorbansi yang diperoleh. Hal ini dikarenakan
pada konsentrasi yang semakin tinggi, tingkat kepekatan senyawa
parasetamol juga semakin tinggi. Selain itu, hukum Lambert-Beer
menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi suatu sampel tertentu akan
mengubah absorbansi pada tiap panjang gelombang dengan suatu faktor yang
konstan (Skoog & West, 1971). Selanjutnya, dibuat grafik absorbansi
terhadap konsentrasi larutan standar. Linieritas menunjukkan kemampuan
suatu metode analisis untuk memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan
konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran konsentrasi tertentu (Sayuthi &
Kurniawati, 2017). Kurva pada data pengamatan dapat dikatakan linier jika
nilai koefisien korelasi yang diperoleh telah memenuhi persyaratan yaitu ≤
0,9970 (Chan, et al., 2004). Berdasarkan hasil pengukuran serapan larutan
parasetamol dengan berbagai konsentrasi tersebut memberikan persamaan
linier y = 0,0018x + 0,0063 dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang
diperoleh sebesar 0,9802. Nilai range kurang linier yang diperoleh
menunjukkan hasil kurang baik untuk menentukan validasi metode penentuan
kadar parasetamol dengan menggunakan spektrofotometer UV-Visible.
Selanjutnya prosedur ketujuh dilakukan penetapan kadar sampel
parasetamol. Tablet parasetamol 500 mg ditumbuk halus sebanyak 4 tablet,
lalu ditimbang sebanyak 0,05 g. Selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas
kimia 50 mL dan ditambahkan methanol sebanyak 15 mL, serta diaduk
sampai larut. Setelah itu diambil 0,5 mL larutan sampel parasetamol tersebut
dengan pipet volume, lalu dipindahkan ke dalam labu takar 50 mL. Kemudian
ditambahkan larutan blanko hingga tanda batas, dan dikocok perlahan hingga
larut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam botol vial 30 mL. Setelah itu, diukur
absorbansi larutan sampel parasetamol tersebut dengan 3 kali pengulangan,
dan ditentukan kadar parasetamol dalam sampel tersebut. Berdasarkan hasil
pengukuran nilai absorbansi yang dilakukan pada sampel didapatkan hasil
pada pengukuran pertama sebesar 0,004; pengukuran kedua sebesar 0,002;
dan pengukuran ketiga sebesar -0,002 maka nilai rata-rata absorbansi sampel
paracetamol didapatkan sebesar 0,0013. Kemudian dilakukan penetapan
kadar paracetamol dalam sampel dengan nilai absorbansi yang didapatkan
dimasukkan ke dalam persamaan regresi linear didapatkan hasil x = -2,77
mg/L. Kemudian dikali dengan faktor pengenceran sebanyak 50 x didapatkan
hasil - 0,277 mg/mL. Lalu dihitung kadar dalam 50 mL larutan didapatkan
hasil -13,85 mg. Selanjutnya kadar paracetamol dalam 50 mL dihitung jika
dalam 50 mg didapatkan % kadar paracetamol dalam sampel sebesar - 27,7%.
Menurut persyaratan Farmakope Indonesia (FI) Edisi IV tahun 1995, bahwa
besarnya kadar zat aktif senyawa obat dalam sebuah obat yaitu tidak kurang
dari 90 % dan tidak lebih dari 110 %. Hasil yang diperoleh dari pengujian ini
menunjukkan ketidaksesuaian antara hasil pengujian dengan standar yang
telah ditetapkan. Faktor yang mempengaruhi ketidaksesuain hasil pengujian
yaitu terdapat pada pelarut yang digunakan dalam pengujian yaitu metanol.
Metanol termasuk dalam pelarut organik yang mudah menguap sehingga
sebelum pengukuran sampel dengan alat spketrofotometer dimungkinkan
sebagian zat aktif parasetamol dalam larutan sampel telah menguap bersama
dengan pelarut methanol tersebut yang menyebabkan hasil penyerapannya
berkurang serta kurangnya faktor pengocokkan sebelum larutan sampel
hendak diukur juga mempengaruhi hasil yang didapatkan dalam pengujian,
sebab larutan harus benar – benar homogen agar didapatkan hasil yang
maksimal dalam pengujian.
VIII. KESIMPULAN
8.1 Pinsip kerja spektrofotometri UV-Vis yaitu interaksi yang terjadi antara
energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi
berupa molekul. Besar energi yang diserap tertentu dan menyebarkan
elektron tereksitasi dari ground state ke keadaan terekstasi yang memiliki
energi lebih tinggi. Dan didasarkan dengan hukum Lambert-Beer.
8.2 Berdasarkan hasil dari praktikum yang sudah dilakukan, bahwa panjang
gelombang serapan maksimum pada paracetamol standar menggunakan
spektrofotometri UV-Vis diperoleh nilai panjang gelombang 243 nm
dengan nilai absorbansi sebesar 0,776.
8.3 Berdasarkan hasil praktikum kadar suatu sampel yang telah dilakukan
menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada pengukurannya diperoleh
nilai kadar paracetamol - 27,7%. Dengan begitu hasil dari pengukuran
memiliki nilai % tidak sesuai dengan literatur, karena menurut
persyaratan Farmakope Indonesia (FI) Edisi IV tahun 1995, bahwa
besarnya kadar zat aktif senyawa obat dalam sebuah obat yaitu tidak
kurang dari 90 % dan tidak lebih dari 110 %.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, J., 2005. Kimia Universitas Asas dan Struktur. 5th ed. Jakarta: Binarupa.
Chan, Chun, Herman Lam, Y. & Zhang, X., 2004. Analitical Method Validation
and Instrument Performance Verification. New Jersey: John Willey &
sons, Inc Publication.
Depkes RI, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
DepKes RI, 2014. Farmakope Indonesia edisi V. Jakarta: Dirjen POM DEPKES
RI.
Gandjar, G. & Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gandjar, I. & Rohman, A., 2012. Analisis Obat Secara Spektrofotometri dan
Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuthi, M. & Kurniawati, P., 2017. Validasi Metode Analisis Dan Penetapan
Kadar Parasetamol Dalam Sediaan Tablet Secara Spektrofotometri Uv-
Visible. Prosiding Seminar Nasional Kimia FMipa UNESA, pp. 190-202.
Skoog, D. & West, D., 1971. Principles of Instrumental Analysis. New York:
Holt, Rinehart and Winton, Inc.
Tim Kimia Dasar, 2011. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP Press.
Tulandi, G., Sudewi, S. & Lolo, W., 2015. Validasi Metode Analisis untuk
Penetapan Kadar Parasetamol dalam Sediaan Tablet Secara
Spektrofotometri Ultraviolet. Pharmacon, Volume 4, pp. 169-177.
Wijaya, N., Kartika, W. & Utari, A., 2019. Deteksi Radiasi Gelombang
Elektromagnetik dari Peralatan Medis dan Elektronik di Rumah Sakit.
Jurnal ECOTIPE, 6(2), pp. 102-106.