Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan

upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya

domestik adalah Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014).

Program ini sebenarnya telah dicanangkan sejak tahun 2000, 2005, dan terakhir

tahun 2010 yang hasilnya belum seperti yang diharapkan karena banyak faktor

yang mempengaruhinya. Usaha peternakan sapi potong di Indonesia lebih kurang

80 % masih diusahakan oleh peternakan rakyat. Usaha peternakan rakyat

umumnya mempunyai segala keterbatasan terutama modal usaha dan sumber

daya manusia (SDM), sehingga wajar bila program swasembada daging sapi

hingga sampai saat ini belum dapat dicapai. Oleh karena itu program

pemberdayaan dan peningkatan kinerja para peternak sapi potong rakyat perlu

adanya upaya yang serius dari lembaga yang terkait agar PSDS-2014 dapat

terwujud.

Sejalan dengan program pemerintah pusat akan PSDS yang dimulai tahun

2000 hingga 2014 tersebut, pengembangan usaha peternakan sapi potong di

Kabupaten Fakfak sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1986, 1988, 1996 oleh

Dinas Peternakan, dan tahun 1999 oleh Departemen Transmigrasi dengan jenis

sapi Bali karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis sapi

potong lainnya. Berdasarkan data yang telah diolah dari Dinas Pertanian dan

Peternakan Kabupaten Fakfak dan Dinas Tenaga Kerja dan Trasmigrasi

1
Kabupaten Fakfak, jumlah ternak sapi yang telah disebar sejak tahun 1986 – 1999

lebih kurang 175 ekor, namun hasilnya belum menunjukan kinerja seperti yang

diharapkan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan daging dan sapi hidup di daerah.

Berdasarkan potensi pasar, kebutuhan daging dan sapi di Kabupaten

Fakfak dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Permintaan sapi untuk

hewan kurban pada tahun 2011 mencapai 175 ekor belum termasuk yang

dipotong untuk kebutuhan konsumsi setiap harinya (± 60 ekor per tahun).

Sedangkan dari sisi kelemahan, bahwa sistem pengembangan ternak sapi potong

yang diterapkan pada waktu lampau, yaitu sejak tahun 1986 - 1999 adalah sistem

mini rench yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat pribumi. Hasil

pengamatan di lapang menunjukan bahwa perkembangan ternak sapi potong

hingga sekarang ini belum dapat diidentifikasi secara baik, karena kondisi ternak

sapi telah menjadi liar dan hidup berkeliaran di hutan secara bebas, sehingga

status kepemilikannya juga menjadi tidak jelas. Hal serupa juga terjadi pada

kondisi ternak sapi potong yang dikelola oleh Departemen Transmigrasi waktu

itu. Ketidakberhasilan usaha sistem mini rench tersebut diduga kemampuan

petani peternak saat itu dalam hal manajemen pemeliharaan belum baik karena

latar belakang peternak sebelumnya adalah sebagai nelayan dan kurangnya

pendampingan dari petugas.

Belajar dari pengalaman tersebut, kebijakan baru pemerintah daerah

dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak Provinsi Papua

Barat, sejak tahun 2002 telah melakukan program pengembangkan usaha

peternakan sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving (sistem guliran)

kepada petani peternak di Distrik Bomberay. Sistem baru tersebut merupakan

2
wujud pola kemitraan antara pemerintah sebagai inti yang menyediakan sarana

input antara lain : bibit sapi, bibit rumput dan kandang kelompok serta sarana

penunjang lainnya. Para peternak sapi sebagai plasma yang akan mengelola atau

memproses sarana input dan sumberdaya lainnya menjadi produksi anak sapi.

Pola dan sistem ini bertujuan untuk meningkatkan populasi dan

meningkatkan produksi daging sapi yang saat ini kebutuhan daging dan sapi

hidup masih didatangkan dari luar daerah. Tujuan yang kedua adalah untuk

memberdayakan masyarakat transmigrasi yang sudah mulai enggan bertahan

hidup di lokasi permukiman transmigrasi. Selain itu, meningkatkan motivasi

petani peternak dan anggota keluarganya dalam rangka berusaha di bidang

pertanian tanaman pangan dan hortikultura karena adanya ketersedian pupuk

kandang diharapkan akan terjadi perbaikan kesuburan tanah. Harapan jangka

pendek, dengan program pengembangan sapi potong dapat menyerap tenaga

kerja yang lebih banyak di perdesaan. Dalam jangka menengah, diharapkan dapat

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak di wilayah KSP

tersebut.

Untuk keberlanjutan program, sejak itu pula Distrik Bomberay ditetapkan

oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak sebagai Kawasan Sentra

Produksi (KSP) peternakan khususnya sapi potong. Dijadikannya kawasan

tersebut sebagai KSP sapi potong karena mempunyai potensi sumberdaya alam

berupa padang penggembalaan yang cukup luas. Selain potensi sumberdaya alam

juga memiliki potensi sumberdaya manusia yang cukup berpengalaman dalam

hal beternak sapi potong, karena petani peternak ekstransmigrasi 60% berasal

3
dari Jawa, Madura, Sunda, NTT, dan NTB. 40% ekstransmigrasi lokal yang

telah mengalami proses transformasi pengetahuan walaupun secara informal.

Melalui dana APBD tahun 2002 dan Otsus (Otonomi Khusus) tahun 2002,

2003, 2004 dan 2007 telah dilakukan program pengembangan usaha peternakan

sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving kepada petani peternak di

Distrik Bomberay. Data penyebaran bibit sapi potong pola gaduhan sistem

revolving di Distrik Bomberay dapat dilihat pada Lampiran 01.

Program ini adalah pola kemitraan, berarti ada hak dan kewajiban yang

harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan calon penggaduh.

Kewajiban pemerintah adalah menyediakan input produksi antara lain: 1).

Melakukan identifikasi dan seleksi calon penggaduh dan calon lokasi (CPCL), ini

dilakukan untuk mencari calon penggaduh yang berpengalaman dan mempunyai

ketrampilan dalam beternak sapi ; 2). Melakukan kegiatan pelatihan calon

penggaduh (CP), ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan

serta motivasi calon penggaduh; 3). Menyediakan sarana input produksi berupa

bibit sapi potong, lahan HMT sebagai sumber bibit rumput, kandang sapi

kelompok dan obat-obatan. Kewajiban penggaduh adalah melakukan proses

produksi, yaitu merawat dan memelihara sapi gaduhan dengan baik agar bibit

sapi potong yang diterima dapat berproduksi dan berkembang dengan baik.

Hak pemerintah adalah memperoleh setoran dari penggaduh berupa anak

sapi atau pedet minimal umur satu tahun setelah masa kontrak lima tahun jatuh

tempo untuk digulirkan kepada petani peternak yang belum pernah mendapatkan

sapi potong. Hak penggaduh adalah mendapatkan semua sisa sapi setelah setoran

anak sapi dilunasi, bagi yang menggaduh satu ekor induk berkewajiban setor dua

4
anak sapi, sedangkan bagi yang menggaduh satu induk dan satu pejantan

berkewajiban setor tiga anak sapi.

Selama proses produksi yaitu selama masa kontrak berlangsung,

kewajiban pemerintah adalah melakukan pendampingan yang dilakukan oleh

petugas. Pendampingan bertujuan untuk pembinaan/ penyuluhan ke penggaduh,

pengawasan lalu lintas ternak, pengobatan ternak bila ada yang sakit dan

penarikan setoran anak sapi bila masa kontrak telah jatuh tempo. Selain itu,

selama proses produksi diharapkan ada perbaikan manajemen penanganan ternak,

sistem pemeliharan yang lebih baik, meningkatnya motivasi berusaha,

penyediaan lahan HMT yang intensif dan partisipasi anggota keluarga dalam

memelihara ternak sapi gaduhan, sehingga produksi dapat ditingkatkan dan

proses revolving dapat sesuai target yang telah ditetapkan.

Dengan berjalannya waktu, program sapi gaduhan sistem revolving telah

memasuki berakhirnya masa kontrak sejak akhir 2007, 2008 dan awal 2010.

Berdasarkan pengamatan penulis, bahwa perkembangan produksi usaha

peternakan sapi potong pola gaduhan di Distrik Bomberay belum pernah

dilakukan penelitian atau pengkajian terhadap kinerja kegiatan secara baik dan

mendalam, khususnya sapi gaduhan yang masa kontraknya telah jatuh tempo.

Berdasarkan data sekunder yang diolah bahwa proses revolving belum

seperti yang diharapkan, masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Target

setoran anak sapi secara keseluruhan sebanyak 458 ekor, tetapi realisasi sampai

dengan tahun 2010 baru mencapai 289 ekor, ini berarti baru mencapai 63,1%

secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 01. Kondisi ini dikawatirkan akan

berpengaruh pada program berikutnya, karena tidak ada ketegasan dari

5
pendamping atau pemerintah. Dampak selanjutnya, proses guliran yang kedua

kalinya dikawatirkan tidak akan berkelanjutan (sustainable).

Berdasarkan fenomena ini, penulis terdorong untuk mencoba melakukan

penelitian tesis yang bertema kinerja. Tolok ukur keberhasilan program

pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving di

Distrik Bomberay selama masa kontrak dapat dilihat dari prestasi kinerjanya,

yaitu kinerja output dan kinerja outcome. Tinggi rendahnya prestasi kinerja

output dan kinerja outcome sangat mungkin dipengaruhi oleh faktor input

produksi dan faktor proses produksi seperti yang telah diuraikan di atas. Hal ini

sesuai pendapat Rianto dan Purbowati (2010) keberhasilan bisnis usaha sapi

potong dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetis dan lingkungan.

Faktor genetis yaitu kualitas dari bibit sapi yang akan dipelihara, sedangkan

faktor lingkungan meliputi iklim, penyakit dan manajemen (penanganan ternak

sapi potong oleh peternak) yang merupakan faktor proses produksi.

Berdasarkan uraian di atas, untuk mengukur kinerja program

pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving di

Distrik Bomberay selama masa kontrak, pertama dianalisis dengan pendekatan

indikator kinerja. Menurut Mahsun (2009) pengukuran kinerja organisasi publik

meliputi aspek-aspek kelompok masukan (input), proses (process), keluaran

(output), hasil (outcomes), manfaat (benefit) dan kelompok dampak (impact).

Pendekatan yang kedua dengan teori produksi yaitu pendekatan input-output,

karena usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving yang

dilakukan oleh peternak merupakan usaha produksi. Inputnya adalah segala

sesuatu yang diperlukan untuk proses produksi sapi, sedangkan outputnya adalah

6
produksi anak sapi. Karena usaha ini adalah usaha kemitraan antara pemerintah

dengan peternak penggaduh, maka input produksinya berasal dari pemerintah dan

proses produksinya diserahkan ke penggaduh dengan menggunakan sumberdaya

yang dimilkinya.

Untuk memproduksi anak sapi diperlukan input-input produksi, yaitu

sumberdaya antara lain : dana atau anggaran, peralatan/ teknologi, sumberdaya

manusia, material (Mahsun, 2009). Dalam penelitian ini, identifikasi faktor input

produksi dibatasi pada ketepatan petugas dalam melakukan seleksi calon

penggaduh dan calon lokasi (CPCL), tingkat pemahaman hasil pelatihan calon

penggaduh (CP), kualitas bibit ternak sapi yang diterima oleh penggaduh.

Sedangkan faktor proses produksi dibatasi pada aspek kualitas pendampingan,

kualitas manajemen produksi, sistem pemeliharaan, motivasi berusaha, daya

dukung lahan HMT, dan partisipasi anggota keluarga dalam mengelola usaha

peternakan sapi potong gaduhan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah

penelitian tesis sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi potong

pola gaduhan dengan sistem revolving di Distrik Bomberay Kabupaten

Fakfak selama masa kontrak?

2. Apakah faktor input dan faktor proses serta faktor output mempunyai

pengaruh yang nyata terhadap kinerja outcome program pengembangan usaha

peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving yang diusahakan oleh

penggaduh di Distrik Bomberay Kabupaten Fakfak selama masa kontrak?

7
1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diinginkan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi

potong pola gaduhan sistem revolving yang selama ini dikembangkan oleh

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Fakfak di Distrik Bomberay

selama masa kontrak berdasarkan indikator input (masukan), process

(proses), output (keluaran), outcomes (hasil) dan benefit (manfaat).

2. Untuk menguji dan menganalisis faktor input dan faktor proses serta faktor

output yang dapat mempengaruhi kinerja outcome program pengembangan

usaha peternakan sapi potong pola gaduhan dengan sistem revolving di

Distrik Bomberay Kabupaten Fakfak selama masa kontrak.

1.4. Kegunaan Penelitian

Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :

1. Bahan informasi awal bagi semua pihak untuk penelitian lebih lanjut dan

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan usaha

peternakan sapi potong.

2. Bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan usaha

peternakan sapi potong khususnya di Kabupaten Fakfak dan Provinsi Papua

Barat maupun untuk daerah-daerah lainya.

8
1.5. Definisi / Batasan Istilah

Untuk menghindari penafsiran yang salah terhadap beberapa istilah dalam

penelitian ini, penulis membuat definisi atau batasan istilah sebagai berikut:

1. Kinerja program pengembangan usaha peternakan sapi potong pola gaduhan

sistem revolving adalah tolok ukur keberhasilan program yang diukur

berdasarkan pendekatan indikator kinerja yang meliputi analisis indikator

input (masukan), process (proses), output (keluaran), outcomes (hasil) dan

benefit (manfaat) selama masa kontrak berlangsung yaitu lima tahun.

2. Indikator input adalah ketepatan dalam penentuan seleksi CPCL, tingkat

pemahaman CP selama mengikuti pelatihan dan kualitas bibit sapi yang

diterima oleh penggaduh.

3. Indikator proses adalah kualitas pendampingan yang dilakukan oleh petugas,

kualitas manajemen produksi yang dilakukan oleh penggaduh, sistem

pemeliharaan ternak sapi yang diterapkan oleh penggaduh, motivasi

penggaduh untuk berusaha sapi, ketersediaan daya dukung lahan HMT dan

partisipasi anggota keluarga dalam membantu pemeliharaan ternak sapi

gaduhan selama masa kontrak.

4. Indikator output ialah produktivitas ternak sapi pokok dalam menghasilkan

anak sapi selama kurun waktu masa kontrak yaitu lima tahun.

5. Produktivitas ternak sapi pokok ialah kemampuan induk melahirkan sejumlah

anak sapi yang hidup dibagi dengan masa waktu lima tahun (masa kontrak)

dikalikan 100%.

9
6. Indikator outcome ialah hasil revolving dari pelunasan atas kewajiban

penggaduh untuk menyetor anak sapi kepada petugas atau pemerintah sampai

waktu masa kontrak jatuh tempo.

7. Indikator benefit ialah besarnya manfaat atas program pengembangan usaha

peternakan sapi potong dalam kontribusinya memenuhi kebutuhan daging dan

sapi di Kabupaten Fakfak selama lima tahun terakhir.

8. Sistem revolving ialah perguliran ternak sapi berupa anak sapi atau pedet

minimal berumur satu tahun dari penggaduh pertama ke penggaduh kedua

setelah masa kontrak lima tahun jatuh tempo. Peternak yang menggaduh satu

ekor bibit sapi betina wajib setor anakan sapi sebanyak dua ekor. Peternak

menggaduh satu ekor bibit betina dan satu ekor sapi jantan wajib setor anakan

sapi sebanyak tiga ekor. Proses guliran ini akan berlangsung terus setelah

masa kontrak lima tahun jatuh tempo.

9. Faktor input ialah input produksi yang dapat mempengaruhi kinerja usaha

sapi potong, yaitu identifikasi dan seleksi calon penggaduh dan calon lokasi

(CPCL), pelatihan calon penggaduh (CP), kualitas bibit sapi potong.

10. Faktor proses ialah kualitas pendampingan, kualitas manajemen produksi,

sistem pemeliharaan, motivasi berusaha, daya dukung lahan HMT dan

partisipasi anggota keluarga.

11. Faktor output ialah produktivitas bibit sapi pokok dalam menghasilkan anak

sapi hidup selama masa kontrak lima tahun.

10

Anda mungkin juga menyukai