Anda di halaman 1dari 8

Cara mencapai keberkahan rumah tangga

MENIKAH dan berumah tangga merupakan salah satu sunnah Rosul. Hidup berumah tangga
merupakan ladang ibadah bagi setiap orang karena setiap amal baik yang dikerjakan bernilai ibadah
dan membawa keberkahan jika dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata untuk Allah SWT. Apa
saja rahasia keberkahan dalam kehidupan berumah tangga?

Inilah Rahasia Keberkahan Dalam Kehidupan Rumah Tangga, Berikut Penjelasannya!


Islam telah mengajarkan kepada setiap umatnya untuk membina rumah tangga yang harmonis dan
penuh kasih sayang karena di dalamnya terdapat keberkahan yang sangat besar. Kehidupan rumah
tangga dalam Islam telah diatur dengan baik sehingga akan tercipta kehidupan yang harmonis dan
tentram. Namun terkadang banyak sekali masalah yang harus dihadapi dalam kehidupan berumah
tangga sehingga tak sedikit dari pasangan yang sudah menikah malah bertengkar hingga
menimbulkan perceraian yang sangat dibenci Allah SWT.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menjalani kehidupan rumah tangga


sebagaimana di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri
kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu
berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam hidup berumah ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)

Motivasi bertujuan semata-mata untuk memuaskan kebutuhan biologis. Menikah


merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkapkan dalam
Alqur'an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga
merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang layak untuk
ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam
salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak
menikah maka ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena
nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara
(prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh
Rasul. Misalnya saat ingin menentukan pasangan hidup lebih mengutamakan kriteria ad
Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan
harta); dalam prosesi (walimatul 'urusy pernikahan) juga dihindari hal-hal yang
berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur
(ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan bersiaplah
mempersiapkan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menghargai kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang
yang telah menikah seharusnya lebih dari perangkap zina dan mampu mengendalikan
syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang
mengambil langkah ini; “Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah
satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian
dirinya.” (HR.Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah
islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, menjadikan keluarga sebagai ladang beramal
dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan yang akhlak Islam dalam segala
aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil
'alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim
pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud dan lingkungan masyarakat yang
sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima'
(bersenggama), padahal sebelum menikah adalah sesuatu yang diharamkan. Maka
hakikatnya kepribadian itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaansyu'ur),
pemikiran (fikrah), dan tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh
mengenal hakikat suami/isterinya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di
antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal tentang perasaan
dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi
seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak dengan pasangannya karena
pasangannya buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika
hal yang demikian terjadi hal yang demikian, menantu suami/isteri segera introspeksi
(bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih,
selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun jika perasaan tidak
enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat
dan berpotensi menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap Toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda di latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman
hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan perbedaan-perbedaan
dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara pandang/bertindak, juga
selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi
dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan
pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan
memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam
QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu tampil cantik, artinya berusaha
memupuk yang ada (capacity building);

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri
harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan
yang tidak boleh dilihat secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami
bermanfaat bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/kelemahan apapun yang ada
pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga
muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memperbaiki yang ada dan memperbaiki
kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut sikap mema'afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
(1) Al 'Afwu yaitu mema'afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu
mema'afkan orang lain walaupun tidak diminta , dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan
ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, sering melekat
sikap ini belum menjadi kebiasaan yang, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari
pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja
“mema'afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema'afkan
berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan


rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih
juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang


tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga
waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu
dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan
memberikan tanggapan berupa jawaban atau alternatif. Misalnya saat bersama setelah
menunaikan shalat berjama'ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat
bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi sehari-hari, baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa
surat, telepon, email, dsb.

Alqur'an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung


dalam keluarga Ibrahim Seperti yang dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu :
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan, insya Allah kamu akan termasukku termasuk orang-
orang yang sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal
balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu
meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat
atas Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan
tawakal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logistik tersebut dapat
terlaksana dengan kehendak Allah yang membangkitkan Ismail dengan seekor kibas
yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur'an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-
orang yang percaya, sesungguhnya istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-lah diantara kamu terhadap mereka. Dan jika kamu
mema'afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana dan tindak
tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang
musuh, misalnya dalam bentuk menahan halangi langkah dakwah walaupun tidak
langsung, belanja yang berharga di luar kemampuan, Perhatian dan waktu yang lebih,
merugikan terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang
diberikan adalahteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat permintaan anak
yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan diberikan. Jika hal-hal tersebut
tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan
membawa jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa teri dan anak-anak dapat menjadi musuh, maka
sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Bagian dari kesabaran adalah
kelemahan kita menerima/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu "paket",
dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima
secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan
kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal
yang fundamental (asasi) untuk mencapai pencapaian, sebagaimana ungkapan bijak
berikut: “Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka
yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah
tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum
wanita, karena mereka tidak berterima kasih kepada suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih kerja keras suami seberapapun
besarnya dan syukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan
suami orang lain, adalah modal mahal dalam kemenangan; begitupun syukur terhadap
keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal
masa depan yang harus dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi”, bukan “menuntut”, semangat,


akan meningkatkan surplus. Wujud menambahkan kenikmatan dari Allah, sebagaimana
firmannya: sesungguhnya jika inilah kamumat bersyukur, pasti Aku akan menambah
(nikmat), dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat
pedih (QS. Ibrahim sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk
mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang
menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa
mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjat do'a:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan
jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do'a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat
(muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan
Allah dalam Alqur'an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS .Al-Imran:38; QS.
Maryam:5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah
keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a'yun), yaitu keturunan yang memiliki
sifat dari penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih),
diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali). radhi), dan dekat
dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Begitulah harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, di
samping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat,
makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam
sehari-hari, dsb; kita selalu memanjatkan do'a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu'asyarah bil Ma'ruf)

Merawat cinta kasih dalam keluarga seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan
cinta kasih juga harus dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan
mu'asyarah bil ma'ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara
kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah
orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan
rumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang
demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan
pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” tidak semata-mata dapat diwujudkan


dengan fasilitas dan luasnya rumah tinggal, tetapi lebih disebabkan oleh suasana
interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika
kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya akan berdampak emosional
dan marah-marah, karena syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena
itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa
tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri
dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta'awudz billah), bila masih merasa
marah dengan berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena
orang lain, berusahalah untuk tetap menahan diri dan berilah ma'af, karena Allah
menyukai orang yang suka mema'afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur
marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma'af dan berbuat baiklah sehingga
kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan kemapanan ruhiyah sebagaimana Allah
tegaskan dalam QS. Ar-Ra'du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan
menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat
dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang hanya bergantung kepada Allah
saja (ta'alluq billah). Tanpa adanya kedekatan dengan Allah, maka seseorang dapat
mewujudkan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah. Rasulullah saw sendiri selalu
memanjat do'a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit
qolbiy 'alaa diinika wa'ala thoo'atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta' ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya
(ma'iyatullah) dan selalu merasa menemukan Allah dalam tindakannya
(muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilakukan dan ditumbuhkan dalam
lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah
secara bertahap dan dimutaba'ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum,
infaq, do'a, ma'tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana
menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota, dan yang penting
dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang
bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah pasti akan menciptakan jalan (solusi) dan
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang
bertawakal kepada Allah pasti Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga,
baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak
selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan serba
lux. Hati yang selalu tenang (muthma'innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman
adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa disesuaikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan akan semakin lengkap jika memang kita bisa sempurnakan dengan 4
(empat) hal seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu: (1) Isteri yang sholihah, (2)
Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa
memiliki, misalnya saat-saat rihlah, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan
dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi
kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah
menyediakan syrga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-
Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud
dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syura. Itulah hakikat
sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari-hari sajalah
pahalamu yang disempurnakan. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan


kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk ke dalam
syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-
Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang percaya dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
hidup, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di yurga), dan
Kami tiada mengurangi pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia berpikir dengan apa
yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21). Inilah keberkahan yang hakiki.

Anda mungkin juga menyukai