Pasien pada kelompok risiko rendah dapat dipulangkan dari IGD tanpa CT scan kepala bila
kriteria berikut terpenuhi:
Pada pasien yang mengalami gegar otak, temuan normal pada pemeriksaan neurologis
dan CT scan mengeksklusi kebutuhan untuk rawat inap. Pasien tersebut dapat dipulangkan
untuk diobservasi dirumah, bahkan bila terdapat keluhan seperti sakit kepala, mual, muntah,
pusing berputar, ataupun amnesia, karena risiko terjadinya lesi intrakranial signifikan
minimal. Kriteria rawat inap setelah trauma kepala dapat dilihat pada gambar 4.
Setelah penilaian awal dan stabilisasi, seorang pasien dengan trauma kepala berat
harus segera dinilai ada-tidaknya indikasi untuk dilakukan operasi bedah saraf darurat. Bila
diputuskan untuk operasi, operasi harus dilakukan sesegera mungkin karena penundaan dapat
mengakibatkan kerusakan otak bertambah seiring berjalannya waktu.
Manajemen pasien dengan trauma kepala berat harus dilakukan di ICU. Walaupun
tidak banyak yang dapat dilakukan di ICU untuk memperbaiki kerusakan karena trauma
awal, penanganan di ICU dapat menurunkan risiko kerusakan otak sekunder karena hipoksia,
hipotensi, dan peningkatan tekanan intrakranial.
1. Kebocoran CSF
Kebocoran CSF disebabkan karena gangguan pada leptomeninges dan terjadi
pada 2-6% pasien dengan trauma kepala tertutup. Kebocoran CSF dapat berhenti
secara spontan pada 85% pasien setelah beberapa hari bila pasien diposisikan dengan
elevasi kepala; drainase lumbal dapat mempercepat proses tersebut dengan membatasi
aliran melalui fistula dural pada kasus-kasus kebocoran CSF persisten. Walaupun
pasien dengan kebocoran CSF mengalami peningkatan risiko meningitis (biasanya
karena pneumococci), penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial.
Otorrhea atau rhinorrhea CSF persisten atau meningitis rekuren adalah indikasi untuk
pembedahan.
2. Fistula karotis kavernosus
Fistula karotis kavernosus, ditandai dengan triad eksoftalmus berpulsasi,
kemosis, dan bruit orbital, dapat terjadi segera atau beberapa hari setelah trauma.
Angiografi dibutuhkan untuk konfirmasi diagnosis. Oklusi endovaskuler
menggunakan balon adalah metode paling efektif untuk perbaikan dan dapat
mencegah buta permanen karena hipertensi vena retinal.
3. Diabetes insipidus
Diabetes insipidus dapat terjadi bila trauma terkena ke infundibulum pituitari,
menyebabkan hormon antidiuretik/antidiuretic hormone (ADH) tidak diproduksi.
Pasien akan mengekskresikan urin terdilusi dalam jumlah banyak, menyebabkan
hipernatremia dan kekurangan cairan. Vasopresin arginin (Pitressin) 5-10 U IV,
intramuskular, atau SC setiap 4-6 jam, atau desmopresin asetat (DDAVP) 2-4
mikrogram subkutan atau IV setiap 12 jam diberikan untuk mengontrol keluaran urin
kurang dari 200 ml/jam, dan cairan tubuh yang hilang diganti menggunakan cairan
hipotonik (D5W/0,45% saline) tergantung dari keparahan hipernatremia.
4. Kejang post-traumatik
Kejang post-traumatik dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini (dalam 1
minggu pertama), atau terlambat (setelah 1 minggu). Kejang yang terjadi segera tidak
meningkatkan risiko terjadinya kejang terlambat; kejang dini, di sisi lain,
mengindikasikan adanya peningkatan risiko kejang terlambat, sehingga pasien harus
diberikan antikonvulsan. Insidensi epilepsi post-traumatik terlambat (kejang rekuren,
tanpa pencetus) setelah trauma kepala tertutup secara keseluruhan adalah 5%; risiko
meningkat menjadi 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial ataupun fraktur
depresi tulang tengkorak.
Prognosis
Prognosis setelah trauma kepala merupakan suatu hal yang penting untuk dipertimbangkan,
terutama pada pasien dengan trauma kepala berat. Skor Skala Koma Glasgow/Glasgow Coma
Scale (GCS) pada saat pasien datang memiliki nilai prognostik besar: pasien dengan GSC 3-4
memiliki kemungkinan meninggal atau jatuh kedalam kondisi vegetatif sebesar 85%,
sedangkan risiko hanya 5-10% pada pasien dengan skor GCS 12 atau lebih. Sindrom
postkonkusi/postconcussion syndrome merupakan keluhan sakit kepala, kelelahan, pusing
berputar, gangguan konsentrasi, iritabel, dan perubahan kepribadian kronis yang terjadi pada
pasien setelah trauma kepala. Seringkali, terdapat tumpang-tindih dengan gejala depresi.