Anda di halaman 1dari 6

Manajemen

Kelompok Risiko Rendah

Pasien pada kelompok risiko rendah dapat dipulangkan dari IGD tanpa CT scan kepala bila
kriteria berikut terpenuhi:

 Pemeriksaan neurologis (terutama status mental dan cara berjalan) normal.


 Tidak ada kelainan pada radiografi tulang servikal.
 Seseorang yang bertanggung jawab dapat mengobservasi pasien selama 24 jam
kedepan, dengan instruksi untuk membawa pasien kembali ke IGD bila terjadi gejala
lanjutan.

Kelompok Risiko Sedang

Pada pasien yang mengalami gegar otak, temuan normal pada pemeriksaan neurologis
dan CT scan mengeksklusi kebutuhan untuk rawat inap. Pasien tersebut dapat dipulangkan
untuk diobservasi dirumah, bahkan bila terdapat keluhan seperti sakit kepala, mual, muntah,
pusing berputar, ataupun amnesia, karena risiko terjadinya lesi intrakranial signifikan
minimal. Kriteria rawat inap setelah trauma kepala dapat dilihat pada gambar 4.

Kelompok Risiko Tinggi

Setelah penilaian awal dan stabilisasi, seorang pasien dengan trauma kepala berat
harus segera dinilai ada-tidaknya indikasi untuk dilakukan operasi bedah saraf darurat. Bila
diputuskan untuk operasi, operasi harus dilakukan sesegera mungkin karena penundaan dapat
mengakibatkan kerusakan otak bertambah seiring berjalannya waktu.

Gambar 4. Kriteria Rawat Inap Setelah Trauma Kepala.

Manajemen pasien dengan trauma kepala berat harus dilakukan di ICU. Walaupun
tidak banyak yang dapat dilakukan di ICU untuk memperbaiki kerusakan karena trauma
awal, penanganan di ICU dapat menurunkan risiko kerusakan otak sekunder karena hipoksia,
hipotensi, dan peningkatan tekanan intrakranial.

Checklist Manajemen Trauma Kepala Berat di ICU

1. Nilai kembali jalan napas dan ventilasi


Secara umum, pasien stupor/coma (mereka yang tidak dapat mengikuti
perindah karena penurunan kesadaran) harus diintubasi untuk proteksi jalan napas.
Bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, parameter ventilator
perlu diatur untuk menjaga PCO2 pada 40 mmHg dan PO2 pada 90-100 mmHg.
2. Observasi tekanan darah
Bila pasien menunjukkan tanda-tanda instabilitas hemodinamik
(hipo/hipertensi), observasi lebih baik dilakukan dengan kateter arterial. Autoregulasi
seringkali terganggu pada trauma kepala akut, sehingga tekanan darah harus diatur
agar tidak hipotensi (MAP < 90 mmHg) karena dapat menyebabkan iskemi serebral,
atau hipertensi (MAP > 130 mmHg) karena dapat memperberat edema serebral.
3. Konsultasi dengan ahli bedah saraf untuk pemasangan monitor TIK pada pasien
dengan GCS 8 atau kurang
Peningkatan TIK berat (gelombang Lundberg A atau gelombang plateau)
dapat terjadi tiba-tiba dan tanpa peringatan, sehingga monitor perlu dipasang
walaupun pasien tidak menunjukkan tanda-tanda peningkatan TIK. Kateter
ventrikular disarankan bila terdapat perdarahan intraventrikular signifikan dengan
hidrosefalus. Tanpa kondisi tersebut, monitor parenkimal atau epidural disarankan
karena risiko infeksi lebih rendah.
4. Terapi cairan
Hanya cairan isotonik seperti normal saline atau ringer laktat yang dapat
diberikan pada pasien dengan trauma kepala, karena cairan seperti ½ NS atau D5W
memiliki molekul air bebas lebih banyak dan dapat memperburuk edema serebral.
5. Nutrisi
Trauma kepala berat dapat menyebabkan respon hipermetabolik dan katabolik
generalisata, sehingga kebutuhan kalori meningkat 50%-100% dibandingkan normal.
Diet enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal perlu dimulai secepat
mungkin (biasanya pada hari kedua perawatan).
6. Manajemen temperatur
Demam (temperatur lebih dari 101 derajat fahrenheit) memperburuk
kerusakan otak dan perlu diterapi secara agresif dengan asetaminofen atau selimut
pendingin.
7. Antikonvulsan
Fenitoin atau fosfenitoin (15-20 mg/kg IV loading, dilanjutkan dengan 300
mg/hari IV) menurunkan frekuensi kejang post-traumatik dini (satu minggu pertama)
sebanyak 4-14% pada pasien dengan perdarahan intrakranial tetapi tidak mencegah
kejang pada tahap lanjut. Bila pasien tidak mengalami kejang, fenitoin perlu
diberhentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin dalam darah perlu dimonitor karena
kadar subterapeutik fenitoin sering terjadi oleh karena hipermetabolisme fenitoin.
8. Steroid
Steroid tidak terbukti memberikan dampak baik pada pasien dengan trauma
kepala dan dapat meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lainnya.
Dosis steroid tinggi dapat meningkatkan risiko kematian karena komplikasi-
komplikasi tersebut. Oleh karena itu, steroid seperti deksametason tidak memiliki
peran dalam penanganan trauma kepala.
9. Profilaksis untuk DVT
Alat kompresi pneumatik digunakan secara rutin pada pasien imobilisasi untuk
melindungi dari trombosis vena dalam/deep vein thrombosis (DVT) ekstremitas
bawah beserta risiko tromboembolisme pulmoner yang disebabkan. Heparin 5000 U
subkutan setiap 12 jam atau enoxaparin 40 mg subkutan sekali sehari perlu dimulai 48
jam setelah trauma kepala walaupun terdapat perdarahan intrakranial.
10. Profilaksis ulkus gaster
Pasien yang sedang menggunakan ventilator mekanik atau memiliki
koagulopati mengalami peningkatan risiko stress ulcer dan perlu mendapatkan
pantoprazole 40 mg IV satu kali sehari atau sukralfat 1 g PO setiap 6 jam.
11. Antibiotik
Penggunaan rutin antibiotik profilaksis pada pasien dengan trauma kepala
terbuka masih menjadi kontroversi. Penisilin dapat menurunkan risiko meningitis
pneumokokal pada pasien dengan otorrhea, rhinorrhea CSF ataupun udara bebas
intrakranial, tetapi meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
12. CT-scan lanjutan
Secara umum, CT-scan perlu diulang 24 jam setelah trauma awal pada pasien
dengan perdarahan intrakranial untuk menilai progresi perdarahan ataupun terjadinya
perdarahan yang tertunda.

Komplikasi Daripada Trauma Kepala Berat

1. Kebocoran CSF
Kebocoran CSF disebabkan karena gangguan pada leptomeninges dan terjadi
pada 2-6% pasien dengan trauma kepala tertutup. Kebocoran CSF dapat berhenti
secara spontan pada 85% pasien setelah beberapa hari bila pasien diposisikan dengan
elevasi kepala; drainase lumbal dapat mempercepat proses tersebut dengan membatasi
aliran melalui fistula dural pada kasus-kasus kebocoran CSF persisten. Walaupun
pasien dengan kebocoran CSF mengalami peningkatan risiko meningitis (biasanya
karena pneumococci), penggunaan antibiotik profilaksis masih kontroversial.
Otorrhea atau rhinorrhea CSF persisten atau meningitis rekuren adalah indikasi untuk
pembedahan.
2. Fistula karotis kavernosus
Fistula karotis kavernosus, ditandai dengan triad eksoftalmus berpulsasi,
kemosis, dan bruit orbital, dapat terjadi segera atau beberapa hari setelah trauma.
Angiografi dibutuhkan untuk konfirmasi diagnosis. Oklusi endovaskuler
menggunakan balon adalah metode paling efektif untuk perbaikan dan dapat
mencegah buta permanen karena hipertensi vena retinal.
3. Diabetes insipidus
Diabetes insipidus dapat terjadi bila trauma terkena ke infundibulum pituitari,
menyebabkan hormon antidiuretik/antidiuretic hormone (ADH) tidak diproduksi.
Pasien akan mengekskresikan urin terdilusi dalam jumlah banyak, menyebabkan
hipernatremia dan kekurangan cairan. Vasopresin arginin (Pitressin) 5-10 U IV,
intramuskular, atau SC setiap 4-6 jam, atau desmopresin asetat (DDAVP) 2-4
mikrogram subkutan atau IV setiap 12 jam diberikan untuk mengontrol keluaran urin
kurang dari 200 ml/jam, dan cairan tubuh yang hilang diganti menggunakan cairan
hipotonik (D5W/0,45% saline) tergantung dari keparahan hipernatremia.
4. Kejang post-traumatik
Kejang post-traumatik dapat terjadi segera (dalam 24 jam), dini (dalam 1
minggu pertama), atau terlambat (setelah 1 minggu). Kejang yang terjadi segera tidak
meningkatkan risiko terjadinya kejang terlambat; kejang dini, di sisi lain,
mengindikasikan adanya peningkatan risiko kejang terlambat, sehingga pasien harus
diberikan antikonvulsan. Insidensi epilepsi post-traumatik terlambat (kejang rekuren,
tanpa pencetus) setelah trauma kepala tertutup secara keseluruhan adalah 5%; risiko
meningkat menjadi 20% pada pasien dengan perdarahan intrakranial ataupun fraktur
depresi tulang tengkorak.

Prognosis
Prognosis setelah trauma kepala merupakan suatu hal yang penting untuk dipertimbangkan,
terutama pada pasien dengan trauma kepala berat. Skor Skala Koma Glasgow/Glasgow Coma
Scale (GCS) pada saat pasien datang memiliki nilai prognostik besar: pasien dengan GSC 3-4
memiliki kemungkinan meninggal atau jatuh kedalam kondisi vegetatif sebesar 85%,
sedangkan risiko hanya 5-10% pada pasien dengan skor GCS 12 atau lebih. Sindrom
postkonkusi/postconcussion syndrome merupakan keluhan sakit kepala, kelelahan, pusing
berputar, gangguan konsentrasi, iritabel, dan perubahan kepribadian kronis yang terjadi pada
pasien setelah trauma kepala. Seringkali, terdapat tumpang-tindih dengan gejala depresi.

Anda mungkin juga menyukai