Anda di halaman 1dari 2

Bulan Syawal 

–  Sahabat Pustakers, pada kesempatan kali ini Pustaka Sekolah akan berbagi artikel
memngenai Bulan Syawal, Bulan ini dalam penanggalan atau Kalender Hijriah islam, adalah bulan ke-10. Arti
kata syawal adalah naik, ringan, atau membawa (mengandung). Disebut demikian karena dahulu, ketika bulan-
bulan hijriyah masih ‘disesuaikan’ dengan musim (praktek interkalasi), suhu meningkat karena berada pada
musim panas seperti halnya Ramadhan. Selain itu, biasanya orang Arab mengamati bahwa pada bulan inilah
unta-unta mengandung atau menaikkan ekornya sebagai tanda tidak mau dikawini. Karenanya, orang Arab juga
memiliki kepercayaan bahwa bulan ini ‘tidak baik’ dan melihat pernikahan di bulan Syawal akan berakhir sial.
Kepercayaan ini dihapus oleh islam dengan peristiwa pernikahan Nabi Muhammad saw. di bulan tersebut (lihat
di bawah).

Puasa 6 hari di bulan Syawal


Hari pertama di bulan Syawal, tentu saja merupakan Hari Raya Idul Fitri bagi umat islam setelah puasa sebulan
penuh di bulan Ramadhan. Pada 1 Syawal, kaum muslimin keluar rumah untuk melaksanakan sholat Idul
Fitri. Hari-hari berikutnya di bulan Syawal merupakan kesempatan untuk ‘menyempurnakan’ puasa ramadhan
dengan Puasa Enam Hari di bulan Syawal. Dengan tambahan puasa enam hari ini, kaum muslimin bisa
memperoleh pahala setara dengan puasa satu tahun. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti
berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan
Syawal.
 Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal
bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya
lemah.
 Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan
dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
 Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan
dan minum. Namun, sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar,
Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat yang aneh.” (Lathaiful Ma’arif,
hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa
berurutan. Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz ditanya
tentang puasa Syawal, apakah harus berurutan?. Beliau menjelaskan, “Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah
sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa
Syawal, dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Barang siapa yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis
riwayat Muslim, dalam Shahih-nya) Bulan Syawal juga merupakan awal dimulainya bulan-bulan ibadah haji,
karena sejak bulan inilah diperbolehkan berniat ihram untuk melakukan ibadah haji. Umrah yang dilakukan pada
bulan ini juga bisa digabung dengan ibadah haji di bulan Dzulhijjah sehingga menjadi Haji Tammatu.

Peristiwa Sejarah di Bulan Syawal


 27 Syawal, Perjalanan Nabi saw. ke Thaif, tahun ke-10 kenabian.
 13 Syawal, kelahiran ahli hadits Imam Bukhari
 Syawal 1 H, Perang Bani Qainuqa
 17 Syawal 3 H, Perang Uhud
 Kelahiran Siti Aisyah dan pernikahannya dengan Nabi Muhammad saw. terjadi di bulan Syawal.
 29 Syawal, pernikahan Fatimah dengan Ali ra.
 Syawal 4 H, Pernikahan Nabi saw. dengan Ummu Salamah
 Syawal 4 H, Kelahiran cucu Nabi saw., Hussain.
 18 Syawal 5 H, Perang Khandaq (Ahzab, Parit)
 6 Syawal 8 H, Perang Hunain.
Amalan Sunah di Bulan Syawal
Shalat hari raya (id) di lapangan
Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru
baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”(HR. Al
Bukhari & Muslim)
i’tikaf
Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa
melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai
bentuk qadla sunnah.
Membangun rumah tangga (campur antara suami-istri)
A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau
tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung
dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Ahmad & Muslim)
Bid’ah di Bulan Syawal
 Anggapan sial terhadap bulan syawal. Orang jahiliyah menganggap bahwa bulan syawal adalah bulan
sial. Anggapan ini didasari kebiasaan onta yang tidak mau kawin ketika bulan Syawal. Onta betina menolak
dengan mengangkat ekornya ketika didekati onta jantan. Ummul Mukminin, A’isyah radliallahu ‘anha telah
membantah anggapan ini dengan menceritakan pernikahan beliau dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga setelah islam datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, menghilangkan tahayul
jahiliyah ini.
 Keyakinan sebagian orang akan dianjurkannya menghidupkan malam id. Sebagian kaum muslimin
meyakini dianjurkannya menghidupkan malam id. Mereka berdalil dengan sebuah hadist, “Barangsiapa yang
menghidupkan malam idul fitri maupun idul adha maka hatinya tidak akan mati, dimana semua hati itu mati.”
Hadis ini adalah hadis yang dlaif. Hadis ini memliki dua jalur, yang satu statusnya maudlu (palsu) dan satu
statusnya dlaif sekali, sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani.
 Mengkhususkan ziarah kubur ketika id. Perbuatan ini, disamping bertolak belakang dengan latar
belakang disyariatkannya hari raya -yaitu menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan- akan menimbulkan
duka dan rasa sedih, dan bertolak belakang dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebiasaan
ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya
(perayaan), sebagimana sabda beliau, “Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai id.” (HR. Abu Daud,
Ahmad dan dishahihkan Al Albani). Mengkhususkan ziarah kubur di waktu tertentu atau pada momen tertentu
termasuk bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya. Demikian penjelasan para ulama. (Ahkamul
Janaiz, hal. 219)

Anda mungkin juga menyukai