Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan merupakan masa dimana seorang ibu perlu memperhatikan asupan berbagai

jenis zat gizi yang masuk demi menunjang perkembangan janin yang dikandungnya. Kendati

demikian, masih banyak ibu hamil yang belum memahami pentingnya fungsi nutrisi di

kehamilan, hal ini terbukti salah satunya dengan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia

sendiri pada tahun 2016 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) masih terbilang

cukup tinggi yaitu mencapai 25,5 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini didukung

dengan bahwa di Indonesia sendiri pada tahun 2010 angka kelahiran cacat mencapai 59.3 per

1000 kelahiran hidup. Apabila kelahiran di Indonesia tercatat 5 juta bayi lahir per tahun, maka

akan ada kurang lebih 295.000 bayi dengan kelainan bawaan (Kementerian Kesehatan, 2017).

Kedua angka ini menunjukan bahwa kualitas dalam perhatian terhadap ibu dan bayi di

Indonesia terutama di bidang kesehatan kehamilan masih perlu diperbaiki. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara memberikan edukasi yang baik dan kuat sebagai upaya promosi

kesehatan dalam langkah preventif mengurangi AKB di Indonesia.

Kondisi ideal dari pola konsumsi makanan dari ibu hamil adalah dengan memperhatikan

setiap nutrisi yang masuk per harinya, termasuk makronutrien, mikronutrien dan zat-zat lain.

Setiap komponen gizi diatas harus diperhatikan agar tepat guna dan tidak memberikan dampak

negatif baik untuk ibu maupun untuk janin. Salah satu zat yang perlu diperhatikan oleh ibu hamil

selama kehamilan adalah kafein. Kafein (1,3,7-trimethylxanthine) merupakan senyawa kimia

yang diproduksi oleh lebih dari 60 spesies tanaman dan merupakan zat psikoaktif yang paling

sering dikonsumsi di seluruh dunia (Vasconselos et al,. 2012).

Tingkat konsumsi kafein di dunia mengalami tren kenaikan dari tahun ketahun. Salah

satu faktor yang dapat dijadikan acuan adalah tingkat konsumsi masyarakat terhadap kopi. Hal
ini dikarenakan bahwa asupan asupan kafein pada masyarakat 54% berasal dari kopi, 43%

berasal dari teh, dan sisanya berasal dari sumber lain, seperti minuman berenergi (Gilbert,

1984). Hal ini diperkuat bahwa hampir 90% orang dewasa mengonsumsi kafein dalam pola

dietnya, termasuk didalamnya adalah ibu hamil (Burke, 2008; Weng, et al., 2008). Padahal,

kafein adalah senyawa yang bersifat hidrofobik sehingga menjadikan kafein dapat menembus

sawar darah otak, plasenta, cairan ketuban dan ASI (Nawrot et al.,, 2016; Yeh et al., 2012).

Kafein bersifat antagonis terhadap reseptor adenosine yang menyebabkan terjadinya

peningkatan sekresi katekolamin: adrenalin, dopamin, dan serotonin sehingga menjadikan

kafein bersifat vasokonstriktif terhadap pembuluh darah termasuk pembuluh darah

uteroplasenta pada ibu hamil (Temple, 2009; Gupta, 2007). Keadaan ini dapat membuat

keadaan hipoksia jaringan pada janin dan memicu timbulnya stress oksidatif yang bersifat

sebagai radikal bebas dan merusak sel tubuh (Gupta, 2007). Lebih lanjut, vasokonstriksi

uteroplacental kemudian akan mengakibatkan malformasi fetus, infertilitas pada ibu, keadaan

berat badan lahir rendah (BBLR), abortus spontan, dan dapat menimbulkan kelainan kongenital

pada bayi (Bech, et al., 2007). Salah satu kelainan bawaan yang dapat terjadi adalah kelainan

jantung kongenital dan limb deficiency (Momoi, et al., 2008; Chen et al., 2012).

Konsumsi kafein berlebihan pada ibu hamil (19-30 mg/kgBB/hari) dapat memberikan

dampak buruk pada janin yang dikandungnya. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat

melaporkan adanya tiga kasus bayi dengan ektrodaktili akibat konsumsi kopi berlebihan

(Santoso, 2004). Angka konsumsi ini cukup tinggi, mengacu pada Food and Drug

Administration (FDA), batas konsumsi kafein harian adalah sebanyak 200 mg/hari, sedangkan

pada ibu hamil adalah sebanyak 144 mg/hari (Chen, et al., 2008). Walaupun demikian, masih

terdapat pendapat pro dan kontra mengenai konsumsi kopi di masa kehamilan.

Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan jenis buah-buahan baik asli lokal

maupun interlokal hasil budidaya. Salah satu buah yang populer di Indonesia adalah buah

delima. Pohon delima merupakan salah satu pohon komoditas binaan Kementerian Pertanian
Republik Indonesia. Budidaya pohon delima terbilang mudah karena pohon delima dapat

tumbuh pada iklim subtropik hingga tropik. Dalam waktu dua tahun, pohon delima sudah dapat

menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya (Sudjijo, 2014).

Buah delima memiliki kandungan biokomponen seperti punicalagin, punicalin, gallagic

acid, asam askorbat dan ellagic acid. Biokomponen tersebut dapat berfungsi sebagai

antioksidan (Tzulker et al., 2007). Sifat antioksidan dari buah delima diketahui sangat tinggi,

mencapai dua sampai tiga kali aktivitas antioksidan apabila dibandingkan dengan anggur merah

dan teh hijau (Adrian et al., 2011). Kandungan biokomponen sebagai antioksidan dapat

menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal

bebas, dan memutus reaksi oksidasi berantai pembentukan radikal bebas. Dengan demikian,

biokomponen yang terkandung dalam delima dapat menetralkan oksidan menjadi bentuk yang

tidak reaktif (Changpraykal, 2016). Jika dibandingkan, sifat antioksidan dari buah delima

diketahui lebih tinggi hingga dua kali lipat ketimbang Vitamin C (Reza et al., 2011).

Sebagai komoditas yang memiliki daya konsumsi yang baik serta memiliki dampak yang

luar biasa, buah delima merupakan salah satu komoditas industri yang memiliki nilai ekonomi

yang baik. Namun, proses industri ini menimbulkan banyak sekali limbah dari buah delima

berupa kulit dan juga biji yang tidak digunakan (Tahany et al., 2015). Padahal, Jika

dibandingkan dengan dagingnya, kulit buah delima memiliki kandungan antioksidan seperti

lebih tinggi (Li et al., 2006).

Efek esktrak kulit buah delima dalam menghambat pengaruh kafein dalam kehamilan

dapat diteliti dengan menggunakan model zebrafish (Danio rerio). Zebrafish digunakan sebagai

model penelitian karena memiliki kesamaan genetik (70-75% sekuens DNA) dan jalur

metabolisme dengan mamalia (Howe et al., 2013).

Keuntungan lain dari penggunaan hewan ini adalah zebrafish dapat digunakan sebagai

hewan model untuk mengetahui kondisi fisiologis dan juga patologis dari hewan vertebrata
(Capiotti, 2014). Selain itu juga, dapat digunakan untuk mengamati toksikologi suatu zat

terhadap aspek neurobehavioral ikan (Chen et al., 2018).

Parameter kemampuan motorik dan respon taktil pada zebrafish memiliki kepentingan

yang cukup tinggi dalam memahami terjadinya permasalahan perkembangan sistem saraf pada

manusia. Zebrafish memiliki struktur yang cukup mirip dengan struktur anatomis sistem saraf

pada manusia, walaupun memiliki keterbatasan dalam memahami bagaimana peran Lower

Motor Neuron karena hewan ini tidak memiliki bagian kortikospinalis. Meskipun demikian,

hewan model ini masih representatif dalam menggambarkan perkembangan sistem saraf pada

manusia terutama dalam proses morfogenesis (Chen et al., 2012).

Urgensi dalam mengetahui kerusakan yang diakibatkan oleh kafein juga cukup tinggi

apabila mengacu pada penelitian oleh Souza pada tahun 2015 menggunakan tikus, konsumsi

kafein dalam dosis tinggi pada tikus secara kontinyu dapat menyebabkan penurunan fungsi

motorik pada anak yang dihasilkan. Dilaporkan bahwa tikus hamil yang diberi kafein dengan

dosis 0,3 g/L melahirkan anak yang memiliki peningkatan respon geotaxis negatif dan

penurunan aktivitas asetilkolin hipokampus (Souza et al., 2015).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis pengaruh ekstrak kulit buah delima

terhadap respon taktil dan kemampuan motorik zebrafish akibat paparan kafein.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dipaparkan sesuai dengan latar belakang yang telah

dijelaskan adalah:

1. Apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak kulit buah delima terhadap respon taktil pada

embrio zebrafish usia 48 hpf akibat paparan kafein?

2. Apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak kulit buah delima terhadap kemampuan

motorik pada larva zebrafish usia 120 hpf akibat paparan kafein?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisis pengaruh pemberian ekstrak kulit delima terhadap kemampuan

motorik pada larva zebrafish yang dipapar dengan kafein.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh ekstrak kulit buah delima terhadap respon taktil dan

kemampuan motorik embrio zebrafish usia 48 hpf yang dipapar dengan kafein.

2. Menganalisis kadar ekstrak kulit buah delima terhadap respon taktil dan

kemampuan motorik larva zebrafish usia 120 hpf yang dipapar dengan kafein.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

1. Penelitian ini dapat memberikan pengalaman baru bagi mahasiswa dalam

merencanakan penelitian, belajar dan mengenal dan menangani hewan coba

zebrafish, termasuk juga mengenal bahan alam dan proses ekstrasinya. Selain itu,

mahasiswa belajar untuk bekerja sama dalam satu tim serta menulis secara ilmiah.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan ilmiah mengenai potensi

ekstrak kulit buah delima sebagai antioksidan alami terhadap pengaruh paparan

kafein pada perkembangan awal zebrafish, khususnya respon taktil dan

kemampuan motorik hewan uji tersebut.

3. Metode dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dasar bagi

penelitian selanjutnya baik yang menggunakan ekstrak kulit buah delima atau
bahan alam lainnya yang berkaitan dengan perkembangan embrio dan zat-zat

teratogen baik pada zebrafish maupun hewan coba lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai potensi penggunaan ekstrak

kulit buah delima dalam mendukung perkembangan embrio-larva hewan coba,

khususnya respon taktil dan kemampuan motorik zebrafish.

Masyarakat diharapkan dapat memperoleh informasi ilmiah mengenai pengaruh kafein


terhadap perkembangan embrio-larva hewan coba khususnya respon taktil dan kemampuan
motorik zebrafish.

Anda mungkin juga menyukai