Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bengkoang (Pachyrhizus erosus) termasuk dalam famili

Leguiminoseae

(tanaman berbunga kupu-kupu atau polong-polongan). Umbi tanaman bengkoang


dimanfaatkan sebagai buah atau bagian dari beberapa jenis masakan. Selain itu
bengkoang juga mengandung isoflavon yang berfungsi menjaga konsistensi
tulang dan gigi, juga menghambat penuaan.Isoflavon berguna untuk mencegah
kanker prostat pada kaum laki- laki. (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Perbanyakan tanaman Bengkoang dapat dilakukan secara vegetatif buatan
melalui umbi dapat juga melalui teknik budidaya modern yang baru dikalangan
petani, yaitu Kultur Jaringan .
Kultur jaringan tumbuhan merupakan usaha perbanyakan tanaman secara
vegetatif modern dengan membudidayakan suatu jaringan tanaman dalam media
padat atau cair pada keadaan steril. Dasar dari kultur jaringan yaitu kemampuan
totipotensi dari sel, dimana sel dapat tumbuh menjadi tanaman yang sempurna
apabila berada dalam lingkungan yang sesuai.
Dibidang farmasi, teknik kultur jaringan tumbuhan sangat menguntungkan
karena dapat menghasilkan metabolit sekunder untuk keperluhan obatobatan
dalam jumlah besar dan waktu yang relatif lebih singkat melalui teknik ini,
metabolit skunder yang dihasilkan dalam jaringan tanaman utuh dapat juga
dihasilkan dalam selsel yang dipelihara pada media buatan secara aseptik
(Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Setiap tanaman membutuhkan nutrisi berupa garam-garam organik maupun
anorganik untuk menunjang pertumbuhanya.

Nutrisi dalam kultur jaringan

tumbuhan diberikan melalui media agar, yaitu meliputi unsur makro (yang
diberikan dalam jumlah besar) berupa karbon, hydrogen oksigen, nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium, sulfur, dan magnesium. Unsur mikro (yang diberikan dalam
jumlah sedikit, akan tetapi harus tersedia) seperti klor, mangan, besi, tembaga,
seng, bron dan molybdenum.

Substansi organik yang ditambahkan kedalam


1

media meliputi: gula, mioinositol, vitamin, asam-asam amino, dan zat pengatur
tumbuh dan gula sebanyak 2% - 5 % sebagai sumber karbon (Hendaryono dan
Wijayani, 1994).
Kultur jaringan mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan
perbanyakan vegetative secara konvensional. Keuntungan tersebut antara lain:
dapat dibentuk senyawa bioaktif dalam kondisi terkontrol dan waktu yang relatif
lebih singkat, bebas dari kontaminasi mikroba, setiap sel dapat diperbanyak untuk
menghasilkan senyawa metabolit sekunder tertentu, pertumbuhan sel dan proses
metabolismenya dapat diatur secara rasional, tidak tergantung kepada kondisi
lingkungan seperti keadaan geografis, iklim, dan musim (Dahana, 2007).
Karbohidrat digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena
umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan
mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman kultur jaringan
membutuhkan karbohidrat yang cukup sebagai sumber energi.
Hasil-hasil penelitian di berbagai bidang kesehatan telah membuktikan
bahwa konsumsi produk-produk kedelai berperan penting dalam menurunkan
resiko terkena berbagai penyakit degeneratif. Ternyata, hal tersebut salah satunya
disebabkan adanya zat isoflavon dalam kedelai. Isoflavon merupakan faktor kunci
dalam kedelai sehingga memiliki potensi memerangi penyakit tertentu.
Isoflavon kedelai dapat menurunkan resiko penyakit jantung dengan
membantu menurunkan kadar kolesterol darah. Protein kedelai telah terbukti
mempunyai efek menurunkan kolesterol, yang dipercaya karena adanya
isaoflavon di dalam protein tersebut. Studi epidemologi juga telah membuktikan
bahwa masyarakat yang secara teratur mengkonsumsi makanan dari kedelai,
memiliki kasus kanker payudara, kolon dan prostat yang lebih rendah. Isoflavon
kedelai juga terbukti, melalui penelitian in vitro dapat menghambat enzim tirosin
kinase, oleh karena itu dapat menghambat perkembangan sel-sel kanker dan
angiogenesis. (Alrasyid,2007). ,
Selain pada kedelai isovlavon juga ditemukan pada bengkoang penelitian ini
merupakan

penelitian lanjutan dari penelitianIndarwati, Arijanti, Ribkahwati,

(2006) pada kalus Pachyrhizus erosus dengan perlakuan 20% glukosa pada media
MS pada bengkoang menghasilkan kalus ,dengan kandungan isoflafon yang lebih
banyak pada kalus Bengkoang.

Selain itu menambah nilai ekonomis dari

tanaman bengkoang
Pada penelitian ini dicoba sumber karbohidrat dari fruktosa yang
dibandingkan dengan glukosa dalam menghasilkan isoflavon yang lebih baik.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan isoflavon pada kalus
bengkong (Pachyrhizus erosus) dengan penambahan konsentrasi fruktosa pada
media MS (Murashige and Skoog) dan media VW (Vacin and Went) secara
invitro.
1.3. Hipotesa
1. Diduga dengan penambahan fruktosa 20% mampu menghasilkan kualitas dan
kuantitas kalus lebih baik.
2. Diduga dengan penambahan fruktosa 20% mampu menghasilkan kandungan
isoflavon terbaik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sistematika Tanaman Bengkoang ( Pachyrhisus erosus )


Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) Bengkoang diklasifikasikan
sebagai berikut:

Gambar 1: Tanaman Bengkoang (P. erosus) (Anonymous, 2004(a))

Kingdom

: Plantae

Division

: Spermathopyta

Sub Diviso

: Angiospermae

Class

: Dialypetalae

Ordo

: Rosales

Genus

: Pachyrhizus

Spesies

: Pachyrhizus erosus

2.2 Morfologi Tanaman Bengkoang


Tanaman bengkoang adalah tanaman yang tumbuh di dataran rendah. Daun
tanaman bengkoang berbentuk majemuk beranak daun 3; bertangkai 8,5-16 cm,
anak daun bundar telur melebar, dengan ujung runcing dan bergigi besar,
berbentuk belah ketupat 7-21 x 6-20 cm, dapat juga dikatakan Daun tanaman
bengkoang selalu bersifat trifoliatie, artinya tiga lembar daun dalam satu
tangkai. Batang tanaman bengkoang tidak berkayu dengan warna hijau saat
muda coklat pada saat tua. Bunga bengkoang memiliki bulu halus pada kelopak

bunganya dengan jumlah 4-11 bunga per tangkai. Merupakan bunga sempurna
dengan panjang tangkai antara 8-45 cm, bunga berwarna putih campuran biru.
Biji bengkoang sangat spesifik, warnanya hijau tua sampai coklat atau coklat
kemerahan. Bagian akar dari bengkoang terdiri dari peridermis berwarna putih
atau hitam kecoklatan dan daging buahnya berwarna putih segar, mengandung
tepug ( Dahana, 2007 ).
2.3 Manfaat Tanaman Bengkoang
Efek farmakologis tanaman Bengkoang adalah manis, dingin, sejuk
dan berkhasiat mendinginkan. Kandungan vitamin B1 dan vitamin C dalam
bengkoang dapat mengobati penyakit sariawan. Sedangkan kandungan Posfor
dan Kalsium dalam saripati bengkoang mempunyai efek mendinginkan kulit
sehingga banyak diolah untuk keperluan kosmetik (Anonymous, 2004(a))
2.4 Kandungan Isoflavon
Isoflavonoid adalah senyawa 15 karbon yang mirip seperti flavonoid
hanya saja cincin B pada isoflavonoid tertempel pada atom karbon posisi
ketiga pada cincin karbon di tengah. Isoflavonoid terutama terdapat pada
anggota Papilionoideae, seperti kedelai (Glycine max) dan klover (Trifolium
spp).(Anonymous, 2011(b))
Tanaman Bengkoang juga mempunyai kandungan senyawa isoflavon.
Senyawa isoflavon adalah salah satu senyawa golongan senyawa metabolit
sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan khususnya dari
golongan Legumineceae

dan diketahui sangat bermanfaat bagi kesehatan

manusia antara lain dapat menurunkan penyakit jantung, menurunkan kadar


kolesterol darah, kanker payudara, mengatasi kanker dan menurunkan
osteoporosis dan gejala menopause pada wanita.

Senyawa isoflavon ini

mempunyai aktifitas biologis yang mirip dengan estrogen pada mamalia


sehingga disebut sebagai fitoestrogen (Koswara, 2008).

Kadungan senyawa isoflavon sendiri dalam tanaman sangat rendah


yaitu 0,25% senyawa-senyawa tersebut pada umumnya dalam keadaan terikat
atau terkonjugasi dengan senyawa isoflavon terdisrtibusi secara liar pada
bagian-bagian baik pada akar, daun, maupun buah, sehingga senyawa ini
secara tidak disadari juga terikat tidak membahayakan bagi tubuh manusia
dan bahkan sebaliknya dapat memberikan manfaat pada kesehatan, sedangkan
senyawa isoflavon belakangan ini semakin tinggi, apalagi dewasa ini
pengobatan hormonal melalui terapi sulin hormon (THS) untuk wanita
menopause sangat popular. (Sukmaningrum, 2005)
Senyawa

isoflavon tersebut

pada

umumnya

berupa

senyawa

kompleks atau konjugasi dengan senyawa ikatan glukosa. Selama proses


pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi,
senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses
hidrolisa, sehingga dapat diperoleh senyawa senyawa isoflavon bebas yang
disebut aglikon (Mulyaningsih, 2012).
Golongan senyawa isoflavon mempunyai peluang untuk dipakai
alternatif terapi sulih hormon karena terbukti bahwa isoflavon mempunyai
aktifitas estrogen yang lebih tinggi di bandingkan stillbestron yang biasa di
gunakan dalam terapi sulih pada wanita menopause (Sukmaningrum, 2005)
oleh karena itu, prospek wirausaha baik para petani, tanaman bengkoang
(Pachyrhizus erosus L) semakin baik di sisi lain, kualitas dan kuantitas harus
lebih di tingkatkan melalui kerjasamaa dengan berbagai pihak, dalam rangka
memenuhi permintaan isoflavon yang semakin meningkat, maka harus
diimbangi dengan produk lainya. Salah satu cara untuk meningkatkatkan
produksi isoflavon yang terdapat dalam tanaman bengkoang (Pachyrhizus
erosus L) adalah dengan metode kultur jaringan dengan penambahan
senyawa-senyawa prekusor akan merangsang akan isoflavon. (Subhan, 2008)
Bahan pangan secara alamiah memiliki kandungan isofloavonic
phyroestrogens (isoflavones, subkelas dari flavonoid); mempunyai kandungan
mencapai 5,15,5 mg isoflavon total/gram protein. Satu porsi hidangan

makanan tradisional dapat memberikan sekitar 2560 mg isoflavon


(Alrasyid,2007).

AA

Trikarboksilat

Acetyl Co A

Isoflavon

Gambar 2: Bagan Metabolit Sekunder (Vickry dan Vickrey, 1981)


2.5 Perbanyakan Tanaman Bengkoang
Perbanyakan tanaman bengkoang

dilakukan secara generatif yaitu

melalui biji/umbi. Adapun perbanyakan tanaman Bengkoang secara vegetatife


melalui Kultur Jaringan belum banyak dilakukan, hanya sebatas penelitian.
(Hendaryono dan Wijayani , 1994)
2.5.1 Kultur Jaringan
Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang
mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka kultur jaringan berarti
membudidayakan suatu jaringan

tanaman menjadi tanaman kecil yang

mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Kultur jaringan akan lebih
besar prosentase keberhasilanya bila menggunakan jaringan meristem.
Jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari sel-sel yang aktif

membelah. Pelaksanaan kultur jaringan ini berdasarkan

teori sel yang

dikemukakan oleh Schleidcon dan Schwan, yaitu bahwa sel mempunyai


kemampuan totipotensi.

Totipotensi adalah kemampuan tiap sel apabila

diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh, menjadi


tanaman sempurna ( Ribkahwati, 2002).
Kultur jaringan merupakan teknik menumbuh kembangkan bagian
tanaman baik berupa sel, jaringan organ dalam kondisi aseptik secara in-vitro
(Yusnita,2003)
2.5.2 Teknik Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu teknik perbanyakan tanaman dengan cara
menumbuhkan jaringan atau sel secara aseptic pada media buatan dari dalam
botol untuk menghasilkan tanaman baru dengan jumlah yang besar dan
memiliki sifat yang sama dengan induknya. Tergantung dari bahan tanam
yang akan digunakan untuk eksplan, terdapat beberapa teknik kultur jaringan
tanaman antara lain:
1. kultur ujung batang (Shoottip Culture) apabila eksplan yang
digunakan adalah potongan ujung batang.
2. Kultur akar (Root tip Culture) apabila eksplan berasal dari ujung
akar.
3. Kultur Daun (Leaf Culture) eksplan bersal dari potongan daun.
4. Kultur kuncup bunga dan segmen tangkai bunga (Flower bud
and Segment Culture).
5. Kultur batang (Steam Culture) eksplan berasal dari batang yang
masih muda.
6. Kultur bunga eksplan berasal dari tangkai bunga dan bunga yang
masih muda.
7. Kultur protoplas diambil dari protoplas daun.
2.5.3

Manfaat Kultur Jaringan

Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan


tanaman baru dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu yang relative
singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama dengan tanaman
induknya. Dari teknik kultur jaringan ini diharapkan memperoleh tanaman
baru yang bersifat unggul ( Rahardjo, 1998).
Menurut Feby (2008) dengan kultur jaringan dapat membentuk
tanaman baru yang tahan penyakit atau toleran terhadap lingkungan, dapat
diperoleh Hibridisasi baru dalam waktu yang pendek, persilangan hibrida
somatic dapat dikerjakan antar genus, antar spesies atau antar varietas.
Keunggulan kultur jaringan jika dibandingkan dengan perbanyakan
secara generatif maupun vegetatif konvensional adalah:
1. Dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dan dalam
waktu yang relatif pendek.
2. Dapat membentuk tanaman yang bebas hama dan penyakit.
3. Membantu bidang pemulihan tanaman untuk menghasilkan
tanaman yang unggul.
4. Tidak tergantung pada waktu, iklim dan musim sehingga
penanaman dapat dilakukan setiap saat.
5. Perbanyakan dalam rangka koleksi tanaman langka untuk
pelestariannya.
6. Memberi banyak kemudahan yang tidak memerluhkan karantina
dalam pertukaran tanaman didunia internasional.
7. Menghasilkan bahan baku farmasi.

2.5.4

Media Tumbuh Kultur Jaringan


Keberhasilan kultur jaringan dintaranya ditentukan oleh media tanam.
Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin
pertumbuhan eksplan (Rahardjo,1998).
Media kultur jaringan yang memenuhi syarat adalah: mengandung
unsur hara makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu, sumber
energy seperti sukrosa, vitamin, asam amino, dan zat pengatur tumbuh.

Unsur makro adalah unsur yang diperlukan dalam jumlah banyak


antara lain C,H,O,N,S,P,K, Ca dan Mg. Unsur mikro adalah unsur yang
diperluhkan dalam jumlah sedikit tetapi harus tersedia bagi tanaman antara
lain Cl,B,Mo, Zn dan Cu.

10

Tabel 1: Komposisi Media MS


Bahan

Kebutuhan (mg/l)

1. Unsur hara makro:


KNO3

1900.000

NH4NO3

1650.000

CaCl2.2H2O

440.000

MgSO4.7H2O

370.000

KH2PO4

170.000

2. Unsur hara mikro


MnSO4.7H2O

22.300

ZnSo4.7H2O

8.600

H3BO3

6.200

Kl

0.830

CuSO4.5H2O

0.025

NaMoO4.2H2O

0.250

CaCl2.6H2O

0.025

FeSO4.7H2O

27.800

NaEDTA.2H2O

37.300

3. Vitamin
Mio-inositol

100.000

Thamin HCl

0.100

Nikotinik acid

0.500

Piridoksin HCl

0.500

Glisin

2.000

4. Karbohidrat

30.000 + sesuai perlakuan

Sumber : Hendaryono dan Wijayani , 1994

11

Tabel 2: Komposisi Media VW


N
o

BAHAN

KEBUTUHAN ( mg / L )

Unsur Hara Makro


(NH4)2 SO4

500
525
250
250

KNO3
MgSO4.7H2O
KH2PO4
2

Unsur Hara Mikro


Fe3 Tartrat
Mn SO4.4H2O

28,0
7,5

Karbohidrat
Glukosa

20.000 + sesuai perlakuan

Sumber : Hendaryono dan Wijayani , 1994


2.5.5

Lingkungan Tumbuh Kultur Jaringan


Menurut Gunawan (1995), lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi
regenerasi tanaman meliputi:
1. Temperature
Pada umumnya dalam pembudidayaan, membutuhkan temperatur
berkisar antara 250C280C. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994),
temperatur yang dibutuhkan agar terjadinya yang optimal umumnya
adalah berkisar antara 200C300C.
2. Penyinaran
Penyinaran kultur biasanya diberikan dengan menggunakan lampu TL
(neon). Intensitas berkisar antara 600 1000 lux, intensitas yang tinggi
dapat menghambat pembentukan pucuk dan lama penyinaran dapat
berlangsung 10 -24 jam, biasanya diberikan 16 jam.
3. Keasaman atau pH
Sel sel yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai
toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5.0 -6.0.
4. Kelembapan atau RH

12

Kelembapan atau RH lingkungan biasanya mendekati 100% dan RH


disekeliling kultur mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
eksplan atau kalus.
2.6.

Zat Pengatur Tumbuh


Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan kultur, jenis zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah
dari golongan auksin dan sitokinin.
Auksin mempunyai peranan penting dalam kultur jaringan sebagai zat
pengatur tumbuh yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kultur jaringan
sebagai zat pengatur tumbuh yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis. Auksin pada umumnya digunakan untuk induksi kalus dari
eksplan. Walaupun demikian kadang-kadang 0,5 ml dapat mempengaruhi
variabilitas genetik. Golongan auksin yang sering ditambahkan dalam media
kulturr jaringan adalah 2,4 Diklorofenoksi aetat (2,4 D), Idol Asam Asetat
(IAA), Naftalen Asam Asetat ( NAA), Asam Idol Butirat (IBA) (Hendaryono
dan Wijayani, 1994)
Auksin digunakan secara meluas dalam kultur jaringan untuk merangsang
pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ.

Pemilihan jenis auksin dan

konsentrasinya, tegantung dari :


1. Tipe pertumbuhan yang dikehendaki.
2. Level auksin endogen.
3. Kemampuan jaringan mensintesa auksin
4. Golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan.
Sitokinin mempunyai peranan penting dalam kultur jaringan sebagai zat
pengatur tumbuhan yang berfungsi sebagai pengatur pembelahan sel dan
morfogenesis. Golongan sitokinin yang sering ditambahkan dalam media kultur
jaringan antara lain kinetin, zetin, dan Benzlamina Purin ( BAP ) ( Hendaryono
dan Wijayanti, 1994).
Pada media dasar sering ditambahkan media air kelapa karena didalam air
kelapa mengandung Dipenil urea, 1,3 Difenilmea Zeatin, Zeatin Glukosida dan

13

Zeatin Ribosida. Yang mempunyai aktifitas seperti sitokinin yaitu mempunyai


aktifitas pembelahan sel (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
2.6.1 Glukosa
Glukosa sering ditambahkan pada media kultur jaringan sebagai sumber
energi yang diperluhkan untuk induksi kalus. Dari unsur gula sebagai sumber
energy dan karbon glukosa dianggap paling baik digunakan dari pada unsur-unsur
gula lainnya.
Hasil penelitian terdahulu pada penambahan glukosa pada kalus Pachyrhizus
erosus dengan perlakuan 20% glukosa pada media MS mampu menghasilkan
kalus dengan kandungan isoflafon yang lebih banyak.
Indarwati, Dkk (2010).

Gambar 3: Struktur Kimia Glukosa (Anonymous, 2010)


2.6.2 Fruktosa
Fruktosa (bahasa Inggris fructose, levulose), atau gula buah, adalah
monosakarida yang ditemukan di banyak jenis tumbuhan dan merupakan salah satu
dari tiga gula darah penting bersama dengan glukosa dan galaktosa yang bisa
langsung diserap ke aliran darah selama pencernaan Fruktosa ditemukan oleh
kimiawan Perancis Augustin Pierre Dubrun faut pada tahun 1847. Fruktosa murni
rasanya sangat manis, warnanya putih, berbentuk kristal padat, dan sangat mudah
larut dalam air. Fruktosa ditemukan pada tanaman, terutama pada madu pohon buah,
bunga, beri dan sayuran. Di tanaman, fruktosa dapat berbentuk monosakarida dan
sebagai komponen dari sukrosa. Sukrosa merupakan molekul disakarida yang

14

merupakan gabungan dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa
adalah polihidroksi keton dengan 6 atom karbon. Fruktosa merupakan isomer dari
glukosa keduanya memiliki rumus molekulyang sama (C6H12O6) namun memiliki
struktur yang berbeda.(Anonymous, 2014(c))

Gambar 4: Struktur Kimia fruktosa (Anonymous, 2014(c))


2.7

Membentukan Kalus
Keberhasilan kultur jaringan salah satunya adalah ditandai dengan
terjadinya kalus.

Kalus ialah proliferasi massa jaringan yang belum

terdiferensiasi. Kalus biasanya muncul dari daerah meristematik, sepanjang


tulang daun atau diantara tulang daun (Hendaryono dan Wijayani,
1994).Terbentuknya kalus juga disebabkan adanya rangsangan beberapa luka,
serangan serangga dan mikroorganisme.

Rangsangan tersebut akan

menyebabkan kesetimbangan pada dinding sel berubah arah, sebagian


protoplas mengalir keluar sehingga mulai terbentuk kalus (Dewi, 2004).
Kalus terjadi pada seluruh permukaan irisan eksplan yang merupakan
jaringan penutup luka, juga pada bagian yang tidak berhubungan dengan
media dan biasanya pertumbuhan yang cepat terjadi di daerah perifer eksplan.
Pembentukan kalus juga dipengaruhi adanya zat-zat terentu dalam media dan
cara sterilisasi media (Dewi, 2004).

15

Sel tanaman punya perbedaan potensial dalam pertumbuhan dan


perkembangan serta penyempurnaan tanaman, begitu juga dalam pengambilan
organ sebagai eksplan.

Dalam proses regenerasi, spesies tanaman dapat

mengadakan pertumbuhan dan perkembangan. Prosesnya dapat dipengaruhi


oleh adanya zat pengatur tumbuh seperti sitokinin yang sangat merangsang
pembentukan pucuk, auksin yang akan menghasilkan akar, serta rendahnya
konsentrasi sitokinin khususnya BAP akan membentuk kalus pada permukaan
daun.

Kadangkala kalus terbentuk dengan tidak adanya penambahan zat

pengatur tumbuh (Nurhayati, 2003).


Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang diberikan dengan
perbandingan

yang

tepat

dapat

menginduksi

pembelahan

sel

dan

menghasilkan kalus (Dewi, 2004). Nugroho (2004) melaporkan bahwa NAA


merupakan auksin yang paling aktif dalam menginduksi kalus dengan
konsentrasi 0,2 mg/L yang dikombinasikan dengan BAP 1 mg/L.
Kalus selain ditumbuhkan menjadi tanaman melalui organogenesis
maupun embryogenesis, dapat juga ditujukan untuk menghasilkan metabolit
sekunder, misalnya idol alkaloid dari kultur kalus Catharantus roseus
(Nurhayati, 2003)
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur jaringan
adalah golongan auksin yaitu 2,4 Dichlophenoxy Acetic Acid, (2,4 D). Indole
Acenti Acid (IAA) dan Naphthalene Acetic Acid (NAA), Indole Acetic Acid.
Adapula golongan dari sitokinn dan kinetin, BAP (Benzil Amino purin),
Zeatin, Ribosol. Hormon NAA dan BAP juga ditambahkan, karena hormon
tersebut mempunyai unsur yang dapat digunakan sebagai zat tambahan
misalnya karbohidrat, vitamin A dan vitamin B.
2.7.1 Pertumbuhan Kalus
Menurut Daisy (2008), perumbuhan dinyatakan sebagai pertambahan
ukuran, secara teoristis semua ciri dari pertumbuhan tersebut biasa diukur
sebagai pertambahan panjang, lebar atau luas, tetapi dapat pula diukur
berdasarkan pertambahan volume, massa atau berat (basah atau kering).

16

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan hasil dari tiga peristiwa


yang sederhana pada tingkat sel, yaitu: (1) pembelahan sel: satu sel dewasa
menjadi dua sel terpisah, yang tidak selalu serupa satu sama lain, karena sel
dapat membelah kearah yang berbeda-beda. Bila dinding baru di antara kedua
sel anak berada pada bidang yang hampir sejajar dengan permukaan terdekat
dari tumbuhan, sel tersebut membelah secara periklinal. Bila dinding baru
terbentuk tegak lurus terhadap permukaan terdekat dari tumbuhan,
pembelahan disebut antiklinal, (2) pembelahan sel: salah satu antara kedua sel
anak tersebut membesar volumenya, (3) deferensiasi sel: sel barangkali sudah
mencapai volume tertentu.
Pertumbuhan tanaman secara in vitro yang paling mempengaruhi ialah
faktor interaksi dan keseimbangan antara penyediaan zat pengatur tumbuh
dalam media dan produksi zat pengatur tumbuh secara endogen oleh sel
kultur. Untuk mengetahui pertumbuhan pada kalus dapat dilakukan dengan
mmenghitung lama waktu induksi kalus (hari), kualitas dan kuantitas kalus
(Nugroho,2004).
Di dalam kultur jaringan, eksplan yang di pergunakan bagian kecil
dari tanaman, dan tidak merupakan suatu system yang lengkap. Untuk banyak
bahan-bahan organik yang harus di tambahkan media, untuk mendukung
pertumbuhan yang optimal. Karbohidrat merupakan komponen yang selalu
ada dalam media

tumbuh, kecuali dalam media untuk tujuan khusus.

Perkembangan pemilihan jenis karbohidrat yang di mulai tahun 1946 oleh


Guatheret dengan membandingkan pengaruh berbagai jenis-jenis gula dalam
media kultur jaringan, sukrosa yang dianggap paling baik (Mulyaningsih dan
Nikmatulah, 2008)
Pada umumnya pertumbuhan dan perkembangan eksplan in vitro akan
meningkat sering dengan meningkatkan konsentrasi gula.

Peningkatan

tersebut terjadi hingga titik konsentrasi tertentu, oleh karena itu penambahan
gula kendala media di lakukan pada konsentrasi yang tepat (Hendaryono dan
Wijayanti,2006).

17

2.7.2 Syarat Keberhasilan Kultur Jaringan


Kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang
diperluhkan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi beberapa hal berikut:
a. Pemilihan eksplan
Sebaiknya eksplan dipilih dari bagian tanaman yang masih muda yang
diketahui asal-usul dan varietasnya, tidak terinfeksi penyakit, dan jenisnya
unggul. Meskipun pada prrinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, tetapi
sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda agar mudah tumbuh
(Nugroho,2004). Bagian yang mudah tumbuh yaitu bagian meristem.
Meristem adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai sifat selalu membelah,
sel-selnya kecil, inti sel besar, penuh plasma, vakuola kelihatan kecil dan
dinding sel tipis, masing-masing dinding sel tersusun atas zat pectin (Dewi,
2004).
b. Penggunaan media yang cocok.
c. Keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik (Arijanti, 2002).
Beberapa macam teknik kultur jaringan yang telah dikenal antara lain
sebagai berikut:
1. Meristem culture, yaitu teknik kultur jaringan dengan menggunakan
eksplan dari jaringan muda atau meristem.
2. Pollen atau Anther culture, yaitu teknik kultur jaringan dengan
menggunakan eksplan dari serbuk sari atau benang sari.
3. Protoplast culture, yaitu teknik kultur jaingan dengan menggunakan
eksplan dari protoplasma
4. Chloroplast culture, yaitu teknik kultur jaringan dengan mnggunakan
eksplan kloroplas untuk keperluan memperbaiki sifat tanaman dengan
membuat varietas baru.
5. Somatic cross atau silangan protoplasma, yaitu penyilangan dua macam
protoplasma menjadi satu kemudian dibudidayakan hingga menjadi
tanaman kecil yang mempunyai sifat baru (Arijanti, 2002)

18

BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas
Pertanian Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Penelitian dimulai pada
bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015.
3.2. Bahan dan Alat

19

a. Bahan
Bahanbahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplan
daun muda bengkoang (P. erosus), media MS (tabel 1), media VW (tabel 2),
air kelapa, glukosa, fruktosa, alkohol 90%, aquades, agar-agar, Clorox,
spirtus, tissue, betadine, 2,4 D dan kinetin

Gambar 5: Daun Muda Bengkoang (P.erosus) (Ribkahwati,2014)

b. Alat
Peralatan yang dibutuhkan selama penelitian antara lain:
1. Timbangan Sartorius, untuk menimbang bahan bahan yang dibutuhkan.
2. Autoclave, untuk mensterilkan alat alat yang terbuat dari gelas.
3. Oven , untuk mensterilkan botol-botol kultur.
4. pH meter, untuk mengatur derajat keasaman media tanam sehingga dapat
diselesaikan dengan kebutuhan Kultur Jaringan.
5. Laminar Air Flow, sarana untuk penanaman eksplan ke botol kultur dalam
kondisi aseptic.
6. Tempat Pendingin, untuk menyimpan garam-garam anorganik makro
maupun mikro, bahan organik dan hormon yang sifatnya mudah rusak jika
terkena panas.
7. Pinset, utuk mengambil dan memasukkan eksplan kedalam botol kultur.
8. Skapel, untuk memotong eksplan yang digunakan sebagai bahan tanam.

20

9. Alat-alat dari gelas, seperti erlenmeyer, gelas ukur, pipet ukur, labu lilin,
cawan petri, spatula dan botol kultur.
10. AC (Air Conditioner), untuk mengatur suhu dalam ruangan pengkulturan.
11. Rak- rak tabung kultur

Gambar 6: Bahan dan Alat (Ribkahwati,2014)

3.3. Metode Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Faktorial, yang terdiri 2 faktor: factor I konsentrasi
karbuhidrat dan faktor II jenis media.Sehingga terdapat kombinasi 8
perlakuan dengan 3 ulangan dan masing-masing ulangan terdapat 5 sampel.
Adapun perlakuan sebagai berikut:
Faktor I : konsentrasi Karbohidrat
F0

= 20% glukosa

F1

= 20% fruktosa

F2

= 25 % fruktosa

F3

= 30 % fruktosa

Faktor II: Jenis Media


M1

= MS (Murashige and Skoog)

M2

= VW (Vacin and Went )


21

3.4. Parameter Pengamatan


3.4.1

Kualitas Kalus
Diamati dengan interval 1 mnggu sekali secara visual dengan
menggunakan scoring:

1
2
3

= Belum ada kalus


= Kalus Kompak
= Kalus friable

3.4.2 Kuantitas Kalus


Diamati dengan interval 1 minggu sekali secara visual dengan
menggunakan scoring:
1
2

= Belum ada kalus


= Eksplan membengkak

= Kalus sedikit ( < 1 kali ukura eksplan )

= Kalus sedang ( 1 2 kali ukuran eksplan )

5 = Kalus banyak ( >2 kali ukuran eksplan )


3.5. Pelaksanaan Percobaan
3.5.1. Sterilisasi Alat
Peralatan yang digunakan dicuci bersih dan dikeringkan,
selanjutnya alat alat seperti: pisau, scalpel dan pinset dibungkus
dengan kertas coklat kemudian disterilkan di oven dengan suhu 121 C
selama 30 menit, Sedangkan tabung kultur dan media tanam ditutup
dengan aluminium foil kemudian disterilisasi di autoclave dengan
tekanan 17 psi selama 20 menit.
3.5.2. Tahapan Pembuatan Media
Media dasar MS dan media VWyang ditambah ZPT 2 ppm 2,4
D dan 1 ppm kinetin beserta glukosa dan fruktosa sesuai perlakuan.
Media diusahakan mencapai pH 5,8 dengan menambahkan HCL 0,1 N

22

atau NaOH 0,1 N dan dimasak hingga mendidih, dimasukkan botol/


tabung kultur. Kemudian disterilkan dengan autoclave 17 Psi selama
25 menit disebut sterilisasi basah
3.5.3. Bahan Tanam
Bahan tanam (eksplan) yang digunakan berasal dari tunas daun
muda

Bengkoang

dimana

tunas

daun

ini

mempunyai

sifat

pertumbuhan yang cepat karena didalamnya terdapat jaringan


jaringan meristem yang aktif dalam pembelahan.

3.5.4 Penanaman
Eksplan dari tunas daun muda bengkoang disterilkan dengan
hipoklorit 20 % ditambah tween 20 1 tetes selama 5 menit, dilanjutkan
hipoklorit 10 % ditambah tween 20 1 tetes selama 10 menit dan
hipoklorit 5 % selama ditambah tween 20 1tetes selama 20 menit.
Kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali.
Adapun cara penanaman eksplan ke dalam botol kultur adalah
sebagai berikut :
a. LAF sebelum digunakan terlebih dahulu disemprot dengan alcohol
70 % dan lampu UV dinyalakan + 1 jam.
b. Bahan dan alatalat yang akan digunakan dimasukkan kedalam LAF.
c. Sebelum dilakukan penanaman eksplan, peralatan tanam disterilkan
diatas api busen.
d. Bahan eksplan dari tunas daun muda bengkoang diletakkan di Petridis
dan dipotong dengan ukuran 0,5 cm dengan menggunakan pinset dan
scapel. Sebelumnya eksplan di sterilkan dengan hipoklorit 20%,10%,
dan 5%.

23

e. Bahan

tanam/eksplan

yang

sudah

dipotongpotong

kemudian

dimasukan ke dalam campuran air steril dan betadine ( sebelum


ditanam ).
f. Eksplan di tanam pada media tanam sesuai dengan perlakuan
kemudian ditutup dengan aluminum foil dan plastic warp dan dibubuhi
label.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kuantitas
Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap, parameter kuantitas kalus secara
visual dengan interval satu seminggu sekali sampai umur 70 hari setelah tanam
menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan terhadap faktor konsentrasi fruktosa
dan media (lampiran 9-17)
Tabel 3. Rata-rata pengaruh pemberian glukosa dan fruktosa, pada media VW
dan MS terhadap kuantitas kalus pada berbagai umur pengamatan
(hari setelah tanam).
PERLAKUAN

Umur (HST)
7

F0MI
(20% glukosa)
F0M2
(20% glukosa)
F1M1
(20%
fruktosa)
F1M2
(20%
fruktosa)

1,0
0
1,0
0
1,0
0
1,0
0

14

21
c

1,00

2,4

28

1,00

2,27

3,47

2,33

3,07

2,4

1,33

1,87

1,33

1,87

35

42

3,00

4,13

3,00

bc

3,47

49

3,00

4,20

3,00

cd

56

63

70

4,00

4,00

4,38

ab

4,91

5,00

5,00

3,83

4,17

4,37

4,35

4,80

4,80

3,00
4,48

3,00

ab

4,00

4,00

24

F2M1

1,0

(25%
fruktosa)
F2M2
(25%
fruktosa)
F3M1
(30%
fruktosa)
F3M2
(30%
fruktosa)
LSD 5%

0
1,0
0
1,0
0
1,0
0

2,00

1,80

1,80

1,73

2,00

1,80

1,80

TN

3,07

bc

3,47

3,33

ab

3,87

3,13

2,73

1,73

2,87

cd

4,00

ab

4,00

ab

4,22

3,82

3,53

bc

4,06

4,31

4,58

4,60

4,86

4,86

5,00

3,39

4,08

4,38

4,55

3,91

4,31

4,63

4,83

5,00

TN

TN

TN

Ket : TN = Tidak Nyata


N = Nyata

Pada Tabel 3. Menunjukkan bahwa hasil analisis perlakuan dengan


penambahan fruktosa maupun glukosa pada media VW menghasilkan kuantitas kalus
cenderung lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini diduga
pemberian penambahan fruktosa memberikan pengaruh pada pembelahan sel,
sehingga pertumbuhan hampir sama (Aitana, 2009).
Di dalam kultur jaringan eksplan yang dipergunakan dari bagian kecil dari
tanaman, dan tidak merupakan suatu system yang lengkap. Sehingga membentuk
banyak bahan-bahan organk yang harus ditambahkan media, untuk mendorong
pertumbuhan yang optimal.

Karbohidrat merupakan komponen yang selalu ada

dalam media tumbuh , kecuali dalam media untuk tujuan khusus. Perkembangan
pemilihan jenis karbohidrat yang dimulai tahun 1946 oleh Guatheret dengan
membandingkan jenis-jenis gula dalam media kultur jaringan seperti halnya fruktosa.
Menurut Rahmawati (2006) fruktosa merupakan monosakarida sehingga cepat di
serap oleh sel dan segera mengalami glikolisis sehingga mempercepat pertumbuhan
kalus. pada umumnya pertumbuhan dan perkembangan sel eksplan in vitro akan
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula. Peningkatan tersebut

25

terjadi hingga titik konsentrasi tertentu, oleh karena itu penambahan gula kedalam
media dilakukan pada konsentrasi yang tepat (Hendaryono dan Wijayanti, 2006).

4.2 Kualitas
Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap, parameter kualitas kalus secara
visual dengan interval satu minggu sekali sampai umur 70 hari setelah tanam, perlu
diketahui mulai umur 7-21 hst data pengamatan tidak berbeda nyata sehingga tidak
dilakukan analisis ragam sedangkan mulai umur 28 hst pengamatan menunjukan
perubahan hasil pada pengamatan parameter kualitas sehingga dilakukan analisis
ragam. Hal ini setelah dilakukan analisis menunjukkan bahwa diduga nyata pada
interaksi pengamatan umur 35 hst. Hal ini pada pertumbuhan eksplan umur tertentu
media digunakan untuk pembelahan sel tapi pada umur yang lain dimaksimalkan
untuk pembentukan metabolit sekunder (lampiran 18-26)
Tabel 4. Rata-rata Pengaruh Pemberian Glukosa dan Fruktosa, pada Media
MS dan VW terhadap Kualitas Kalus pada berbagai Umur
Pengamatan.
PERLAKUA
N

Umur (HST)
7

14

21

28

1,00

1.00

1.00

1,27

1,00

1.33

1,73

2,47

1,00

1.00

1.00

1,20

1,00

1.00

1.73

2,13

ab

1,00

1.00

1.47

2,20

ab

1,00

1.00

1,80

2,13

ab

1,00

1.00

1,00

2,00

1,00

1.00

1,07

1,87

FOMI

35

(20% glukosa)
F0M2
(20% glukosa)
F1M1
(20%fruktosa)
F1M2
(20%fruktosa)
F2M1
(25%fruktosa)
F2M2
(25%fruktosa)
F3M1
(30%fruktosa)
F3M2
(30%fruktosa)

2,00

3,00

2,00

2,47
2,60

3,00

2,07

2,50

bc

42

49

2,0

2,8

3,0

3,0

0
2,0

0
2,0

0
3,0

0
3.0

0
3,0

0
3,0

0
3,0

0
3,0

0
2,5

0
3,0

0
3,0

0
3,0

56

63

70

2,80

3.00

3.00

3,00

3.00

3.00

3,00

3.00

3.00

3,00

3.00

3.00

2,83

3.00

3.00

3,00

3.00

3.00

3,00

3.00

3.00

3,00

3.00

3.00

26

LSD 5%

TN

TN

TN

TN

TN

TN

TN

Ket : TN = Tidak Nyata


N = Nyata

Pada tabel 4. Menunjukan bahwa perlakuan dengan penambahan fruktosa


yang menghasilkan kualitas kalus friabel mulai umur 35 HST.
Menurut Santoso dan Nursadi (2004), ciri kalus friabel adalah antara satu sel
dengan sel yang lain dapat dengan mudah di pisahkan atau bila kalus di ambil dengan
pinset, maka secara otomatis sel-sel kalus akan mudah menempel dengan pinset,
kalus friable merupakan cirri-ciri kalus embriogenik, sedangkan kalus kompak
merupakan ciri kalus organogenetik.
Kalus embrionik adalah kalus yang tumbuh dan berkembang membentuk
struktur-struktur yang mempunyai embrio, sedangkan kalus organogenik adalah kalus
yang pertumbuhan morfogenesisnya membutuhkan media, dengan konsentrasi auksin
dan sitokinin yang berbeda dengan pembentukan tunas maupun akar.
4.3 Kandungan Isoflavon pada Kalus
Hasil analisis yang dilakukan pada kandungan isoflavon Kalus Bengkoang
(P. erosus) dapat dilihat bahwa pada perlakuan media MS dan penambahan 25%
fruktosa menunjukan kandungan isoflavon cenderung lebih banyak dari perlakuan
yang lain. Kandungan isoflavon ini terbentuk pada kuantitas kalus yang lebih rendah
dari perlakuan lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Collin, Edwards dan Lerdau
dalam Rahmawati (2006), yang menyatakan bahwa diperlukan pertumbuhan yang
lambat bagi sel untuk terjadi sintesis metabolit sekunder yang maksimum dan adanya
kesetimbangan nutrisi karbon dalam proses metabolisme sel tanaman, dimana jika
ketersediaan nutrisi dalam tanaman berlebih maka akan digunakan oleh sel untuk
memproduksi metabolit sekunder. (lampiran 27)
Grafik 1. Kandungan Isoflavon pada kalus umur 70 hari

27

0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
kandungan (%)

0.05
0

Perlakuan

Table 5. Hasil Analisis Kandungan Isoflavon menggunakan Spectrophotometer


pada Panjang Gelombang 224 nm.
Perlakuan
Kandungan (%)
F0M1 (20% glukosa)
0,08
F0M2 (20% glukosa)
0,11
F1M1 (20% fruktosa)
0,14
F1M2 (20% fruktosa)
0,18
F2M1 (25% fruktosa)
0,24
F2M2 (25% fruktosa)
0,21
F3M1 (30% fruktosa)
0,22
F3M2 (30% fruktosa)
0,20
Isoflavon yang terkandung dalam Pachyrhizus erosus di analisis dengan
menggunakan Spektofotometer UV dengan panjang gelombang 224 nm.

hasil

penelitian menunjukan bahwa kandungan isoflavon kalus Bengkoang bervariasi


berdasarkan konsentrasi fruktosa yang ditambahkan media. Dalam kultur jaringan
produksi metaboolit sekunder berhubungan dengan pertumbuhan kalus, akan tetapi
hambatan pada pertumbuhan kultur jaringan mengarah pada naiknya konsntrasi
sukrosa. Bahwa perlakuan pertumbuhan yang lambat bagi sel untuk terjadi sintesis

28

metabolit sekunder yang maksimum. Adanya keseimbangan nutrisi karbon dalam


proses metabolisme sel tanaman, dimana jika ketersediaan nutrisi tanaman berlebih
maka

akan

digunakan

oleh

sel

untuk

memproduksi

metabolit

sekunder.

(Mulyaningsih dan Nikmatulah, 2008).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian kajian kandungan isoflavon pada kalus Bengkoang (P erosus)
dengan penambahan fruktosa pada media MS dan VW secara in vitro terhadap
parameter melalui kuantitas, kualitas dan analisis metabolit sekunder dengan
penambahan berbagai konsentrasi fruktosa adalah sebagai berikut:
1. Pada perlakuan media VW terhadap glukosa 20% (F0M2), Fruktosa 25 %
(F2M2), Fruktosa 30% (F3M2) menghasilkan kuantitas kalus lebih banyak
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
2. Semua perlakuan penambahan karbohidrat pada eksplan Bengkoang
(P. erosus) membentuk kualitas kalus yang friabel.
3. Perlakuan penambahan 25 % konsentrasi fruktosa pada media MS (F2M1)
menghasilkan kandungan isoflavon lebih tinggi.
5.2 Saran
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan pemberian jenis karbohidrat
yang lain (selain fruktosa) terhadap kalus Bengkoang (P. erosus ) hingga dapat

29

tumbuh dengan baik dan menghasilkan metabolit sekunder (isoflavon) yang


lebih tinggi.
2. Perlu diadakan penelitian lanjutan dengan perlakuan yang sama tetapi di
ekstrak pada umur 49 Hst.

DAFTAR PUSTAKA

Aitana, 2009. Kajian Kandungan Isoflavon dengan Penambahan Sukrosa pada Kalus
Bengkoang (Pachyrhizus erosus). Fakultas Bahasa dan Sains Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya. Surabaya
Alrasyid, 2007. Peranan Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan
Komorbid.https://www.google.com/search?
es_sm=122&q=jurnal+penelitian+tentang+isoflavon&spell=1&sa=X&ei=wX
qiVIb0CcqeugTAloDwCQ&ved=0CBsQBSgA. Diakses tanggal 30 Desember
2014
Anonymous(a), 2004. http: // Tanaman bengkoang.blogspot.com. pengertiantanaman- bengkoang. diakses tanggal 16 Oktober 2014
(b), 2011. anekatumbuhanherbal.blogspot.com/2011/08/manfaatkedelai- isoflavon-senyawa-multi.html. Diakses tanggal 16 februari 2015
(c), 2014.http://habibana.staff.ub.ac.id/files/2014/08/3.FRUKTOSA.pdf. Diakses tanggal 16 februari 2015.
Arijanti, S. 2002. Diklat Kultur Jaringan. Surabaya.

30

Dahana, W. K. 2007. Budidaya Bengkoang. CV. Sinar Cemerlang Abad. Jakarta


Daisy,. 2008. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit kanisius. Yogjakarta.
Dewi, K. 2004. Induksi dan Pertumbuhan Kalus secara In Vitro. Universitas Negeri
Surabaya. Surabaya.
Faby. 2008. Kajian Kalus Tanaman Kayu Putih (Melaluece Leucadendron Linh)
dengan Penambaha Glukosa pada media VW seara InVitro. Progdi Biologi
Fakultas Bahasa dan sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Gunawan, 1995. Teknik Kultur Jaringan In Vitro Dalam Hortikultura. Penebar
Swadaya. Jakarta
Hendaryono dan Wijayani 1994. Teknik Kultur Jaringan.Pengendalian dan Petunjuk
Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Modern. Kanisius, Yogyakarta.
Indarwati, Arijanti, Ribkahwati, 2006. Kajian Penggunaan Media VW Dan MS
Dengan Elisigator Glukosa Terhadap Kandungan Isoflavon Pada Kalus
(Pachyrhizus Esosus). Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Koswara. S, 2008. Isoflavon Senyawa Multi Manfaat dalam Kedelai. Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor.
Nugroho, 2004.Perbedaan pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan, Jakarta, Penebar
swadaya.
Nurhayati, 2003.MultiplikasiTunas Jati pada Berbagai Dosis Zat Pengatur Tumbuh.
Skripsi tidak dipulikasikan.Surabaya-Biologi-Universitas Airlangga.
Rahardjo. 1998. Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Penebar Swadaya
Jakarta

31

Rahmawati, 2006. Pengaruh Jenis Gula Terhadap Akumulasi Isoflavon pada


bengkoang (Pachyrhizus erosus). Universitas Brawijaya Malang. Malang
Ribkahwati. 2002. Pengaruh Konsentrasi Kinetin Terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Stek Mikro Kapok Randu (Ceiba pehtandra). Jurnal Ilmiah
Agrokusuma Vol. 1 No. 2 Feb 2002. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Ribkahwati. 2014. Koleksi foto kegiatan dan perlakuan laboratorium kultur jaringan
fakultas pertanian. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Soresen, M. 1996. Yam Bean (pachyrhizus erosus) Promoting the Conservation and
use of Underruhiliz ed and Negleted Crops 2. Instituteof plant genetic and
crop plant Research. Roma

Mulyaningsih. 2012. Pengaruh Isoflavon Kedelai Terhadap Kadar Hormon


Testosteron
Berat Testis
Diameter
Tubulus
Seminiferus
Dan
Spermatogenesis
Tikus
Putih Jantan (Rattus Norvegicus).
https://www.google.com/search?
es_sm=122&q=jurnal+penelitian+tentang+isoflavon&spell=1&sa=X&ei=w
XqiVIb0CcqeugTAloDwCQ&ved=0CBsQBSgA. Diakses tanggal 30
Desember 2014
Sukmaningrum. 2005. Pengaruh Ion Co2+ , Cu2+, dan Mn2+ terhadap akumulasi
Isoflavon pada kalus Bengkoang (Pachyrhizus esosus) Universitas Brawijaya
Malang. Malang
Subhan. 2008. Prospek dan Manfaat Ioflavon sebagai Fitoestroge bagi Kesehatan
UGM Yogjakarta
Vickery, M.L. and B. Vickery, 1981. Secondary Plant Metabolism University.
Park press. Baltimore,112-159

32

Lampiran 1. Kalus pada Media MS (FoM1) dengan penambahan glukosa 20%

Lampiran 2. Kalus pada Media MV (FoM2) dengan penambahan glukosa 20%

33

Lampiran 3. Kalus pada Media MS (F1M1) dengan penambahan fruktosa 20%

Lampiran 4. Kalus pada Media VW (F1M2) dengan penambahan fruktosa 20%

Lampiran 5. Kalus pada Media MS (F2M1) dengan penambahan fruktosa 25%

34

Lampiran 6. Kalus pada Media VW (F2M2) dengan penambahan fruktosa 25%

Lampiran 7. Kalus pada Media MS (F3M1) dengan penambahan fruktosa 30%

Lampiran 8. Kalus pada Media VW (F3M2) dengan penambahan fruktosa 30%

35

36

Lampiran 9. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 14 HST

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error
Total
Corrected Total
a.

Squares
3.718a
72.802
.285
1.042
2.392
.640

df
7
1
3
1
3
16

77.160

24

4.358

23

Mean Square
.531
72.802
.095
1.042
.797
.040

F
13.280
1820.042
2.375
26.042
19.931

Sig.
.000
.000
.108
.000
.000

R Squared = .853 (Adjusted R Squared = .789)

Lampiran 10. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 21 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error
Total
Corrected Total

Squares
3.718a
72.802
.285
1.042
2.392
.640

Df
7
1
3
1
3
16

77.160

24

4.358

23

Mean Square
.531
72.802
.095
1.042
.797
.040

F
13.280
1820.042
2.375
26.042
19.931

Sig.
.000
.000
.108
.000
.000

a. R Squared = .853 (Adjusted R Squared = .789)

37

Lampiran 11. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 28 HST

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error
Total
Corrected Total
a.

Squares
3.945a
200.682
.845
2.042
1.058
.933

df
7
1
3
1
3
16

205.560

24

4.878

23

Mean Square
.564
200.682
.282
2.042
.353
.058

Sig.

9.661
3440.257
4.829
35.000
6.048

.000
.000
.014
.000
.006

R Squared = .809 (Adjusted R Squared = .725)

Lampiran 12. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 35 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error
Total
Corrected Total

Squares
3.460a
285.660
.727
2.160
.573
.880

df
7
1
3
1
3
16

290.000

24

4.340

23

Mean Square
.494
285.660
.242
2.160
.191
.055

F
8.987
5193.818
4.404
39.273
3.475

Sig.
.000
.000
.019
.000
.041

a. R Squared = .797 (Adjusted R Squared = .709)

38

Lampiran 13. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 42 HST


Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error
Total
Corrected Total
a.

Squares
5.056a
340.582
1.322
2.338
1.397
.420

df
7
1
3
1
3
16

346.058

24

5.476

23

Mean Square
.722
340.582
.441
2.338
.466
.026

Sig.

27.511
12972.493
16.785
89.034
17.731

.000
.000
.000
.000
.000

R Squared = .923 (Adjusted R Squared = .890)

Lampiran 14. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 49 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error
Total
Corrected Total

Squares
7.928a
368.167
2.368
4.507
1.054
.320

df
7
1
3
1
3
16

376.415

24

8.248

23

Mean Square
1.133
368.167
.789
4.507
.351
.020

F
56.631
18408.33
39.458
225.333
17.569

Sig.
.000
.000
.000
.000
.000

a. R Squared = .961 (Adjusted R Squared = .944

39

Lampiran 15. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 56 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kuantitas
Source
Type III Sum of
Corrected Model
Intercept
F
M
f*m
Error

Squares
3.627a
452.923
.547
2.912
.168
.846

Total

7
1
3
1
3
16

457.396

24

4.473

23

Corrected Total
a.

Df

Mean Square
.518
452.923
.182
2.912
.056
.053

Sig.

9.798
8565.241
3.448
55.070
1.057

.000
.000
.042
.000
.395

R Squared = .811 (Adjusted R Squared = .728)

Lampiran 16. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 63 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kuantitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

.417

11.062

.000

496.223

496.223

13159.510

.000

.067

.022

.591

.630

2.594

2.594

68.787

.000

f*m

.259

.086

2.292

.117

Error

.603

16

.038

Total

499.747

24

3.523

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total
a.

2.920

R Squared = .829 (Adjusted R Squared = .754)

40

Lampiran 17. DATA KUANTITAS KALUS PADA UMUR 70 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kuantitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

1.670a

.239

16.364

.000

531.383

531.383

36437.671

.000

.191

.064

4.369

.020

1.446

1.446

99.120

.000

f*m

.034

.011

.773

.526

Error

.233

16

.015

Total

533.286

24

1.904

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = .877 (Adjusted R Squared = .824)

Lampiran 18. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 14 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

.042

6.250

.001

26.042

26.042

3906.250

.000

.125

.042

6.250

.005

.042

.042

6.250

.024

f*m

.125

.042

6.250

.005

Error

.107

16

.007

Total

26.440

24

.398

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

.292

a. R Squared = .732 (Adjusted R Squared = .615)

41

Lampiran 19. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 21 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

2.873

.410

7.244

.001

Intercept

43.740

43.740

771.882

.000

1.087

.362

6.392

.005

1.307

1.307

23.059

.000

f*m

.480

.160

2.824

.072

Error

.907

16

.057

Total

47.520

24

3.780

23

Corrected Total
a.

R Squared = .760 (Adjusted R Squared = .655)

Lampiran 20. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 28 HST


[Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

4.265a

.609

11.424

.000

Intercept

87.402

87.402

1638.781

.000

.765

.255

4.781

.015

1.402

1.402

26.281

.000

f*m

2.098

.699

13.115

.000

Error

.853

16

.053

Total

92.520

24

5.118

23

Corrected Total

a. R Squared = .833 (Adjusted R Squared = .760)

42

Lampiran 21. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 35 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

3.546a

.507

52.863

.000

144.550

144.550

15083.522

.000

1.198

.399

41.667

.000

1.984

1.984

207.000

.000

f*m

.365

.122

12.681

.000

Error

.153

16

.010

Total

148.250

24

3.700

23

Corrected Model
[Intercept

Corrected Total

a. R Squared = .959 (Adjusted R Squared = .940)

Lampiran 22. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 42 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

Df

Mean Square

Sig.

4.500a

.643

181.500

181.500

1.500

.500

1.500

1.500

f*m

1.500

.500

Error

.000

16

.000

Total

186.000

24

4.500

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

43

Lampiran 23. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 49 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

4.143a

.592

227.286

.000

182.878

182.878

70225.000

.000

1.383

.461

177.000

.000

1.378

1.378

529.000

.000

f*m

1.383

.461

177.000

.000

Error

.042

16

.003

Total

187.063

24

4.185

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = .990 (Adjusted R Squared = .986)

Lampiran 24. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 56 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

2.164a

.309

23.743

.000

196.940

196.940

15125.000

.000

.862

.287

22.067

.000

.440

.440

33.800

.000

f*m

.862

.287

22.067

.000

Error

.208

16

.013

Total

199.313

24

2.372

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = .912 (Adjusted R Squared = .874)

44

Lampiran 25. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 63 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

.000a

.000

216.000

216.000

.000

.000

.000

.000

f*m

.000

.000

Error

.000

16

.000

Total

216.000

24

.000

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total
b.

R Squared = . (Adjusted R Squared = .)

Lampiran 26. DATA KUALITAS KALUS PADA UMUR 70 HST


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:kualitas
Source

Type III Sum of


Squares

df

Mean Square

Sig.

.000a

.000

216.000

216.000

.000

.000

.000

.000

f*m

.000

.000

Error

.000

16

.000

Total

216.000

24

.000

23

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = . (Adjusted R Squared = .)

45

46

Anda mungkin juga menyukai