Anda di halaman 1dari 9

Désa Mahmud

Désa Mahmud mangrupa salasahiji kampung adat nu aya di Kabupatén Bandung . Tempatna di RW
04 Désa Mekar Rahayu, Kacamatan Margaasih, Kabupatén Bandung kidul . Jarakna kurang leuwih
6 km ti Soréang minangka ibukota kacamatan. Lokasina strategis, sabab ayana di tengah
Bandung jeung Soréang. Kaayaan alam anu cukup asri ayana di sisi Walungan Citarum sarta
dikurilingan ku amparan sawah anu lega . [1] Jumlah pendudukna kurang leuwih 1200 urang anu
dibagi jadi 1 RW jeung 4 RT. Sacara umum, mata pencaharian masarakatdi Kampung Mahmud
digawé jadi patani , padagang , supir jeung PNS atawa swasta . Kampung adat ieu ngabogaan ciri
dina cara hirupna anu dipandu ku agama anu pohara kuat. [2]

Gerbang Lebet Désa Mahmud.

Kecap Mahmud asalna tina kecap Arab Mahmuuda anu hartina puji . Kecap pupujian henteu
sarua hartina jeung pupujian, tapi miboga harti reueus (reueus) atawa deudeuh (kaasih pinuh
ku ihlas ) . [3]
Asalna

Kompleks Makam Désa Mahmud.

Kampung Mahmud didirikan sekitar abad ke-15. Tokoh pendirinya adalah Sembah Eyang Abdul
Manaf yang masih memiliki garis keturunan Syarif Hidayatullah. Mata rantai garis keturunan
dari Syarif Hidayatullah hingga pendiri Kampung Mahmud dapat diuraikan sebagai berikut.[4]

• Syarif Hidayatullah (Cirebon)

• Maulana Abdurahman

• Pangeran Atas Angin

• Dipati Ukur Sani (kedua)

• Dipati Ukur Salis (ketiga)

• Eyang Mayasari (Cimanganten, Garut)

• Eyang Naya Dirga (Sentap Dulang) di Sukamiskin, Kampung Cisebel

• Eyang Dalem H. Abdul Manaf [4]

Eyang Dalem H. Abdul Manaf lama meninggalkan kampung halamannya dan hidup di tanah suci
Mekah. Pada suatu ketika hendak kembali ke tanah kelahirannya, beliau merasakan satu
firasat bahwa negerinya akan dijajah oleh bangsa asing yaitu Belanda. Oleh karena itu,
sebelum pulang, dia berdoa dengan khusu di tempat yang disebut Gubah Mahmud. Gubah
tersebut sangat dekat dengan Masjidil Haram. Dalam doanya terbesit permohonan petunjuk
supaya bisa kembali ke tempat yang tidak akan terkena oleh penjajah. Petunjuk yang dianggap
sebagai ilham, mengisyaratkan bahwa dirinya akan bermukim di tempat yang berawa. Setelah
merasa yakin dengan ilham yang diterimanya, dia pun kembali ke negerinya sambil membawa
genggaman tanah karomah atau tanah yang berasal dari Mekah. Petunjuk yang didapatkan di
Gubah Mahmud yaitu harus segera menemukan sebuah rawa. Pencarian berakhir setelah lahan
rawa ditemukan di pinggiran Sungai Citarum. Oleh karena akan dijadikan lahan perkampungan,
rawa tersebut diurug. Di tempat itu pula, dia mengubur tanah karomah atau tanah yang
dibawanya dari Mekah. Kemudian lahan yang semula rawa itu berubah menjadi lahan yang layak
untuk sebuah perkampungan. Satu per satu rumah bermunculan sehingga membentuk sebuah
kampung.[5] Karena tanah rawa yang masih labil, maka ada ketentuan dilarang membangun
rumah bertembok dan berkaca serta menggali sumur. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari mereka memanfaatkan air dari Sungai Citarum. Kampung tersebut diberi nama
Mahmud yang sama dengan tempat Eyang Abdul Manaf ketika berdoa di Gubah Mahmud, Mekah.[4]

Ketika masa penjajahan Belanda, Kampung Mahmud kerap menjadi tempat persembunyian yang
cukup aman bagi para pejuang. Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 generasi penerus hingga
sekarang ini, yaitu (1) Eyang Sutrajaya, (2) Eyang Inu, (3) Eyang Mahmud Iyan, (4) Eyang Aslim,
(5) Eyang Kiai H. Zaenal Abidin, (6) Kiai H. Muhamad Madar, dan (7) H. Amin. Setelah wafat, Eyang
Abdul Manaf dimakamkan di kampung yang didirikannya. Makamnya tetap terpelihara hingga
saat ini, bahkan dikeramatkan oleh anak cucu keturunan warga Mahmud. Pada akhirnya makam
Eyang Dalem H. Abdul Manaf lebih dikenal dengan nama Makam Mahmud, seperti tulisan yang
tertera pada pintu gerbang memasuki Kampung Mahmud. Setelah dia meninggal, tampuk
kepemimpinan Kampung Mamud diteruskan oleh anak-anaknya. Kalaupun ada anak-anaknya yang
tidak menjadi ketua adat, mereka biasanya berperan sebagai tokoh agama.[6]

Sistem religi

Kehidupan religi warga Kampung Mahmud memiliki keyakinan kuat terhadap agama Islam dan
kepercayaan sepenuh hati pada keberadaan leluhur atau karuhun. Jika merujuk pada nama
Eyang Dalem Haji Abdul Manaf, beliau adalah pemeluk dan sangat menguasai ajaran agama
Islam. Sebagai salah satu turunan dari sembilan wali, derajat ketaatannya tidak diragukan
lagi. Beliau juga bertasawuf dengan menjauhi segala bentuk kemewahan duniawi dan lebih
mencintai kesederhanaan hidup untuk mencapai ridho Tuhan. Dengan karakter panutan seperti
itu, tidak salah anak cucunya mewarisi keyakinan atas kebeneran agama Islam. Ekspresi
keislaman tampak dalam berbagai aspek kehidupan baik dilihat dari segi desain tampilan,
kegiatan keagamaan, dan fasilitas pendukung berkehidupan masyarakat Kampung Mahmud
secara keseluruhan.[3]

Larangan

Kepercayaan terhadap leluhur bisa terlihat dari ketaatan menjalankan aturan-aturannya.


Beberapa aturan yang kemudian berkembang menjadi larangan atau tabu di kalangan
masyarakat setempat antara lain sebagai berikut.

dilarang membangun rumah yang bertembok dan berkaca;

dilarang memukul gong atau goong;

dilarang memelihara angsa; dan

dilarang membuat sumur.

Sebagian tabu memang diketahui latar belakangnya, dan sebagian lagi tidak diketahui asal-
usulnya. Misalnya,larangan memukul gong dan memelihara angsa erat kaitannya dengan masa
penjajahan Belanda. Konon, Kampung Mahmud dulunya menjadi salah satu tempat
persembunyian para pejuang dari kejaran kaum penjajah. Bunyi gong dan suara angsa
merupakan simbol keramaian dan adanya kehidupan. Oleh karena itu, leluhur mereka
menetapkan larangan tadi agar tempat tersebut bebas dari pantauan penjajah.[7]

Makam Leluhur

Makam Eyang Abdul Manaf.


Peninggalan berupa makam karomah di Kampung Mahmud terdapat tiga lokasi, yaitu:

1. Makam Eyang Abdul manaf

2. Makam Sembah Eyang Dalem Abdullah Gedug

3. Makam Sembah Agung Zaenal Arif.[8]

Tata tertib yang harus dipatuhi oleh pengunjung yang akan masuk ke dalam makam karomah ini
adalah harus dalam keadaan bersih dan suci dengan melaksanakan wudhu, pakaian harus
menutupi aurat dan sopan, setelah mengikuti doa yang dipandu oleh juru kunci, diserahkan
kepada pengunjung untuk melakukan doa masing-masing. Dulu, penziarah sangat menghormati
makam karomah tersebut. Bahkan untuk memasuki wilayah makam pun, terutama di dekat
masjid, sandal dan sepatu harus dilepas. Adapun sekarang, sandal dan sepatu cukup dibuka
ketika memasuki bangunan makam karomah saja. Masyarakat Kampung Mahmud sudah biasa
ziarah pada makam leluhurnya hanya pada hari Jumat yang dianggap sebagai hari ibadah,
mereka tidak melalukaknnya. Setiap bangunan makam karomah dijaga oleh juru lunci yang
berbeda. Dalam setiap bangunan telah disediakan tempat untuk sembahyang atau tafakur dan
berwuhdu. Dari ketiga bangunan tersebut, bangunan Makam Eyang Abdul manaf terlihat paling
besar. Di dalamnya ada tempat menyerupai bangsal yang mengitari makam dan berderet berupa
balai untuk sembahyang atau wiridan.[9]

Pemukiman

Rumah Panggung Kampung Mahmud.

Masayarakat yang bertempat tinggal di Kampung Mahmud memiliki adat istiadat dalam
membangun rumah yang berbeda dengan daerah lain di sekitarnya. Struktur tanah yang ada di
Kampung Mahmud bentuknya seperti endapan rawa dari sungai Citarum yang berada di
sekelilingnya. Sehingga sangat tidak diperbolehkan membangun rumah secara permanen,
karena dengan kondisi tanah yang tidak memungkinkan apabila dipaksakan akan mendatangkan
petaka. Pemukiman masyarakat merupakan kumpulan rumah panggung yang berkelompok dalam
satu wilayah dan memanfaatkan bahan bangunan dari kayu maupun bambu untuk bilik. Pemilihan
kayu sebagai bahan bangunan karena berkaitan dengan kekuatan dan kepercayaan bahwa sebuah
kayu akan memberikan kekuatan magis atau ajaib. Tetapi bagi kebanyakan masyarakat, hal itu
bukan menjadi kendala, tetap saja dapat membangun rumah dengan bahan dari albasiah (tanpa
ada kayu yang mengandung magis). Alasan tersebut bisa ditangani dengan tawasul atau
memanjatkan doa pada Tuhan Yang Maha Esa. Pada umumnya, rumah di daerah Kampung Mahmud
berbentuk memanjang atau memiliki atap yang panjang dan sering disebut rumah berbentuk
persegi panjang. Hal ini bertujuan untuk menampung jumlah anggota keluarga yang banyak.
Apabila dilihat dari luas bangunan, rumah di daerah Kampung Mahmud rata-rata berukuran
sangat besar, yaitu dengan rata-rata 4x8 meter sampai yang berukuran 10x20 meter berikut
halaman rumah yang cukup luas.[3]

Pola pemukiman

Dahulu, kawasan kampung Mahmud berupa delta yang terletak di belokan sungai Citarum. Delta
yang dimaksud berupa rawa yang labil dengan letak tanah lebih rendah bila dibandingkan
dengan daerah sekitarnya. Sungai Citarum kemudian diluruskan dengan cara membangun
saluran menuju sungai Citarum baru dan menimbun sungai Citarum yang lama terletak di
depan kawasan kampung Mahmud. Rumah penduduk dibuat secara berkelompok dan berada di
bagian selatan sungai Citarum baru. Selain rumah penduduk ada juga sekolah, masjid, balai,
kamar mandi cuci kakus, pekuburan, kebun dan jalan raya. Semuanya membentuk kesatuan pola
pemukiman yang sangan fungsional untuk penghuninya. Rumah penduduk adalah unsur yang
sangat dominan dalam perkampungan. Rumah terletak secara berkelompok, tidak ada aturan
tentang arah rumah. Rumah penduduk dibedakan menjadi tiga kategori yaitu rumah asli
sebagai kategori pertama yang terdiri dari rumah berbentuk panggung dengan bahan bangunan
utama berasal dari bambu, dinding terbuat dari bilik, jendela kayu, dan lantai palupuh.
Kategori kedua rumah asli dengan sentuhan modifikasi (lantai berbahan papan), dan rumah
permanen sebagai kategori ketiga. Bangunan rumah di Kampung Mahmud memiliki ciri khas
berbentuk huruf L dengan sumur tradisional sebagai pelengkap. Membuat sumur pada akhirnya
dapat dilaksanakan, karena sungai Citarum dewasa ini sudah dicemari oleh limbah. Sumur yang
dibuat di samping atau di belakang rumah dengan pengamanan pagar yang terbuat dari bambu.[3]

Upacara

Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup


Warga komunitas Kampung Mahmud masih melakukan berbagai upacara yang berkaitan dengan
lingkaran kehidupan. Upacara-upacara yang dimaksud adalah upacara kehamilan yang dilakukan
pada saat usia kehamilan tujuh bulan dan disebut dengan istilah upacara “nujuh bulan” atau
upacara “tingkeb”. Upacara yang berkaitan dengan kelahiran seperti upacara selamatan
pemberian nama dan upacara “ngubur bali” (mengubur ari-ari atau tembuni). Upacara masa
kanak-kanak bagi anak laki-laki biasa dilakukan upacara khitanan. Upacara yang berkaitan
dengan perkawinan seperti lamaran, akad nikah, dan lain-lain. Upacara yang berkaitan dengan
kematian, yaitu tahlilan selama 7 hari berturut-turut, upacara tileman, yaitu memperingati
hari kematian seseorang, dimulai pada hari ketiga (tiluna), hari ketujuh (tujuhna), hari
keempat puluh (matang puluh), hari keseratus (natus), hari keseribu (newu), dan mendak
atau tepung taun.[3]

Upacara Membangun Rumah

Masyarakat Kampung Mahmud masih melakukan upacara adat yang berkaitan dengan
pembangunan rumah. Sebelum dimulai membangung rumah, langkah pertama adalah bertawasul.
Tujuan tawasul untuk meminta izin atau berkah kepada leluhur yang telah membangun
wilayah agar mendapat keselamatan dalam membangun rumah. Selain itu, tawasul juga
memiliki tujuan untuk meminta keselamatan bagi penghuni yang akan menempati rumah
setelah selesai dibangun. Tawasul dilakukan di atas sebidang tanah yang akan dibangun rumah.
Waktunya bertepatan dengan peletakan batu pertama. Acara ini juga dihadiri oleh para
tetangga, pekerja bangunan, dan pemilik rumah. Mereka berdoa bersama untuk memohon
keselamatan dipimpin oleh seorang juru kunci. Setelah berdoa, dilanjutkan dengan makan
tumpeng bersama. Upacara kedua berlangsung ketika rumah dalam proses pembangunan, yaitu
pada saat naekkeun suhunan atau membuat rangka untuk atap rumah. Upacara ritual ketika
sedang berlangsungnya pembangunan rumah, yaitu pada waktu membuat suhunan rumah.
Biasanya diadakan semacam upacara kecil, yaitu menyediakan tumpeng dan menyembelih ayam.
Selain itu, disediakan pula bendera merah putih, yang nantinya dipasang/dikibarkan di tengah-
tengah suhunan rumah. Maksud dan tujuannya agar memerdekakan rumah tersebut.
Pelaksanaanya adalah, ketika suhunan‟ atap bangunan „ akan dipasang, maka diadakan
tawasulan dengan cara menyembelih ayam dan darah ayam tersebut dioleskan keseluruh tiang
suhunan tersebut. Mereka mempercayainya, bahwa dengan cara semacam itu, rumah akan kuat
dan kokoh. Ayam yang disembelih dianggap sebagai tumbal atau panolak bala. Setelah selesai
pembangunan rumah diadakan upacara lagi yang dinamakan salametan. Acara ini disebut
salametan, karena telah selesai membangun rumah dan selamat dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Biasanya upacara salametan disediakan tumpeng dan makanan kecil lainnya. Jalan
dan tata cara upacara selametan sama dengan tawasulan sebelum mendirikan rumah, dalam
upacara tersebut dipimpin oleh sesepuh atau kuncen Kampung Mahmud dan dihadiri oleh para
tetangga dekatnya.[3]
Upacara Memandikan Keris

Upacara memandikan keris dilaksanakan pada tanggal 12 Maulud. Tujuan upacara ini adalah
“ngalap barokah” (mengharap berkah) dari malam 12 Maulud yang diperingati sebagai hari lahir
Nabi Mumhammad saw. Tempat penyelenggaraan upacara di madrasah yang berdekatan dengan
rumah ketua adat. Perlengkapan upacara yang digunakan adalah keris-keris kepunyaan para
tokoh masyarakat maupun warga masyarakat, seperti keris atau alat kerja seperti golok,
pisau, cangkul dan lain-lain. Pemimpin upacara ini adalah ketua adat dibantu oleh tokoh
masyarakat lainnya. Selain mereka, warga Kampung Mahmud juga terlibat menjadi peserta
upacara.[3]

Kesenian

Kesenian di Kampung Mahmud kurang mengalami perkembangan dibandingkan dengan kesenian di


daerah sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat sangat patuh terhadap aturan-
aturan yang telah berlaku sebelumnya. Di samping itu, adanya hal yang dianggap tabu seperti
tidak boleh memukul gong membuat jenis kesenian yang bisa dimainkan sangat terbatas, yang
ada hanya genjringan dan kasidahan saja. Tidak sedikit masyarakat Kampung Mahmud
mengikuti arus globalisasi tetapi dengan catatan masih memegang teguh adat istiadatnya.
Indikasinya adalah Sistem organisasi sosial yang digunakan adalah sistem kokolot yang
berasal dari ajaran Islam . Artinya sistem ini mengajarkan masyarakat harus menghormati
para sesepuh dan karuhun mengamanatkan kepada anak cucunya agar tetap menjalankan
ajaran yang telah diwariskan termasuk adat istiadat walaupun zaman sudah berkembang
pesat. Untuk menjalankan organisasi kemasyarakatan pedoman yang dipakai adalah ajaran
agama Islam. Sehingga landasan budaya berpengaruh pada bentuk fisik pedesaan dan adat
istiadat yang menjunjung nilai keharmonisan serta keselarasan dalam menjalankan
kehidupan. Salah satu kesenian yang diwariskan adalah pencak silat. Perkembangan silat di
kampung ini pada zaman penjajahan Belanda sangag tertutup, mulai zaman kemerdekaan
sampai sekarang sudah terlihat dengan terbuka latihan silat di kampung mahmud ini. Budaya
Silat begitu melekat pada diri penduduk di kampung ini. Di kampung mahmud ada beberapa tokoh
silat yang mempunyai karakter gerakan yang berbeda. Salah satu bentuk gerakan yang paling
khas adalah “golek” yaitu gerakan perputaran ruas-ruas anggota tubuh untuk menghindari
atau melakukan sebuah serangan.[3] Selain silat, ada juga kesenian yang dijaga sampai
sekarang di kampung Mahmud adalah “Terbang”. Pada hari-hari besar dan peristiwa bersejarah
bagi kampung, kesenian terbang biasanya ditampilkan. Terbang adalah sajian kesenian
bernuansa Islam yang penuh dengan pesan dakwah dan nilai-nilai ajaran para sembilan wali.
Bentuk kesenian ini dapat berupa komposisi musik dan syair, seperti Qasidahan. Terbang
menggunakan alat musik pukul yang terdiri dari dogdog, kecrek, dan rebana dengan berbagai
ukuran. Setiap ukuran menghasilkan suara yang berbeda dan sangat khas. Salah satu grup
terbang yang terkenal adalah AL-Madar pimpinan H. Didin. Kini terbang dimainkan dalam acara
hajat khitanan atau acara pernikahan. Selain dipakai sebagai media dakwah, terbang juga
disajikan sebagai hiburan yang religius dan Islami.[10]

Referensi

Pranala luar

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Kampung_Mahmud&oldid=21576455"


Panungtungan diédit 29 poé ka tukang ku Sara (Yuuki)

Anda mungkin juga menyukai