Anda di halaman 1dari 9

Kasus 1

Seorang Ibu Primigravida dibantu oleh seorang bidan untuk bersalin. Proses
persalinannya telah lama karena lebih 24 jam bayi belum juga keluar dan keadaan ibu nya
sudah mulai lemas dan kelelahan  karena sudah terlalu lama mengejan. Bidan tersebut tetap
bersikukuh untuk menolong persalinan Ibu tersebut karena takut kehilangan komisi,
walaupun asisten bidan itu mengingatkan untuk segera di rujuk saja. Setelah bayi keluar,
terjadilah perdarahan pada ibu, baru kemudian bidan merujuk ibu ke RS. Ketika di jalan, ibu
tersebut sudah meninggal. Keluarganya menuntut bidan tersebut.

Pendapat dan Solusi

Ibu tersebut sudah mengalami partus yang lama karena lebih dari 24 jam, seharusnya
bidan bisa mengetahui penyebab partus lama, apakah ada malpresentasi pada janin, emosi
yang tidak stabil pada ibu atau panggul yang kecil sehingga bidan bisa bertindak secepatnya
untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi, bukan mementingkan komisi yang
membahayakan nyawa ibu dan bayi. Perdarahan itu disebabkan karena atonia uteri akibat
partus yang terlalu lama. Atonia uteri hanya bisa bertahan dalam waktu 2 jam setelah Post
Partum.
Dalam kasus tertentu justru Bidan dengan sengaja melakukanya demi uang, dan satu sisi
pasien juga tidak mengetahui tentang hak-hak apa yang dapat diperoleh pasien tentang
kondisi kesehatannya atau pasien sengaja tidak dikasih tahu informasi yang jelas tentang
resiko, tindakan serta prosedur persalinan yang yang seharusnya. Bidan tersebut telah
melanggar wewenangan bidan dan melakukan malpraktek.

Kasus 2

Pemerintah mengupayakan program kesehatan yang prima bagi seluruh masyarakat.


Tapi, sejauh ini program masih tersendat artinya belum dilaksanakan secara baik oleh petugas
kesehatan di lapangan. Seperti yang terjadi di Pekon Waysindi Kecamatan Karyapenggawa,
Kabupaten Lampung Barat (Lambar) yang disinyalir telah melakukan malpraktek yang
dilakukan oleh Bidan Desa Lidia Mispita terhadap Marisa Febiola yang berusia 3 bulan.
Akibat kecerobohan dan tidak ketelitiannya dalam menangani pasien berusia 3 bulan itu,
meninggal dunia.
Menurut keluarga yang ditemui Sergap di kediamannya, mengungkapkan kronologis
kejadian, yakni pada hari Kamis (23/5) pihak Puskesmas mengadakan kegiatan pemeriksaan
kesehatan Balita di Posyandu Balai Pekon, yang ditangani bidan.

Ketika itu Bidan Lidia Maspita memasukkan vaksin ke tubuh pasien Marisa melalui
suntikan pada paha kiri. Pada sore harinya bekas suntikan tersebut mengalami
pembengkakkan dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi Marisa. Sejak pembengkakkan itu,
Marisa tidak henti-hentinya menangis karena menahan rasa sakit yang ia alami. Tak hanya
itu, bahkan bekas suntikan itu mengeluarkan darah segar yang tiada henti-hentinya dan
pembengkakkan itu merata ke seluruh kaki sebelah kiri.

Upaya yang dilakukan pihak keluarga pada saat itu tepatnya hari Jum’at, mereka
telah memanggil bidan Lidia untuk mengecek atau melakukan penanggulangan atas derita
yang dialami pasien Marisa. Akan tetapi bidan Lidia tidak segera datang untuk memeriksa
pasien Marisa, bahkan bidan itu sempat berkata bahwa ia akan datang. Hingga menjelang
sorenya bidan itu ditunggu-tunggu tidak kunjung tiba, bahkan si bidan malah mengutus
pembantu rumah tangganya untuk menanyakan apakah pasien masih mengalami pendaharan
atau tidak lagi. Sore itu, pihak keluarga pasien menambahkan, pendarahan yang dialami
Marisa telah berhenti.

Keesokan harinya, Sabtu, bidan baru menjenguk pasien di kediamannya karena


pasien mengalami pendarahan kembali dan terus menangis. Pada akhirnya bidan itu
memberikan obat yang dibawa dari puskesmas.

Diakui pihak keluarga setelah diberi obat yang dibawa bidan itu, tangis anaknya
agak berkurang, tapi tidak mengurangi panasnya suhu paha sebelah kiri dan tidak mengurangi
kejang-kejang pada kaki kirinya. Minggu pukul 03 dini hari, Marisa akhirnya meninggal
dunia. Kuat dugaan anak tersebut mengalami infeksi disebabkan karena kelalaian dan
ketidakcermatan si bidan dalam menangani pasien karena dimana ada sebab disitu ada akibat.

Dikonfirmasi Sergap di kediamannya (26/5), Bidan Lidia Maspita mengatakan


dirinya tidak ada wewenang untuk memberikan keterangan mengenai hal itu, sebab semuanya
telah ia kuasakan terhadap pimpinannya.

“Saya tidak berhak memberikan penjelasan atas masalah ini, sebaiknya saudara
menemui Kepala Puskesmas saja,” katanya.
Sedangkan Kepala Puskesmas, dr. Edwin H. Ma’as disela kesibukannya
mengungkapkan bahwa permasalahan itu telah ia laporkan ke dinas terkait, dan mereka
segera akan turun untuk mengecek kebenaran dan penyebab dari peritiwa itu. “Ini masalah
kedinasan, jadi saya harus melaporkan kejadian tersebut secepatnya serta dirinya tidak
memihak kepada siapa-siapa,” tutur Edwin.

Selanjutnya imbuh Edwin, kemungkinan ada beberapa faktor masalah yang


menyebabkan tentang tragedi itu. Pertama, mungkin masalah obat yang diberikan, apakah
obat itu terlalu keras dengan kata lain dosisnya terlalu tinggi sehingga menimbulkan
pembengkakkan. Kedua, mungkin apakah anaknya mengidap penyakit tertentu dan ketiga hal
itu perlu diteliti.

Saat disinggung Sergap tentang versi kronologis dari pihak Puskesmas, Edwin
menambahkan pihaknya tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti, sebab hal itu sedang
dilakukan pedalaman tentang keterangan si bidan itu sendiri. Oleh karena itu pihaknya bukan
tidak mau memberikan pernyataan.

“Nanti akan dicocokkan keterangan dari pihak keluarga yang bersangkutan dengan
keterangan dari bidan itu sendiri, nanti juga kelihatan benang merahnya antara yang jujur
dengan yang tidak jujur, kita tunggu saja,” ungkapnya   (budi)***

Pendapat dan Solusi

Pada kasus diatas bisa kita ketahui bahwa kelalaian bidan dalam meberikan suntikan
vaksin yang tidak tepat berdampak negative pada klien. Vaksin merupakan bahan antigenik
yang diberikan sedini mungkin yang berguna untuk menghasilkan kekebalan aktif dalam
tubuh terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi
oleh organisme alami penyebab penyakit tersebut. Beberapa jenis vaksin diberikan pada
anak-anak, dengan tujuan untuk mencegah anak menderita suatu penyakit tertentu. Indonesia
sendiri merupakan negara yang sudah mewajibkan vaksinasi ini kepada masyarakat.
Vaksinasi dilakukan dengan gerakan imunisasi balita yang biasanya diadakan di posyandu.
Vaksin dan imunasasi merupakan dua hal yang sangat penting sehingga wajib dilaksanakan.
Vaksin yang biasanya diberikan kepada anak-anak kecil adalah Vaksin Hepatitis B, DTaP,
MMR, virus cacar air, Haemophilus influenza tipe B (Hib)/ Vaksin Meningitis, polio (IPV),
pneumococcal conjugate (PCV), influenza, rotavirus, hepatitis A, Meningokokus conjugate
(MCV4), Human papillomavirus (HPV). Semua pemberian vaksin bertujuan untuk
meningkatkan kekebalan tubuh balita. Jika terjadi perubahan yang negative setelah menerima
suntikan vaksin itu bisa disebabkan karena banyak factor. Perlu diketahui, bahwa reaksi
vaksin tidak hanya disebabkan oleh komponen aktif vaksin itu sendiri, tapi juga dapat
disebabkan oleh sebagian komponen vaksin, bahan pengawet, stabilisator atau komponen
lain. Sebagian besar reaksi vaksin umumnya bersifat ringan, sembuh sendiri dan tidak
mempunyai konsekuensi jangka panjang. Reaksi serius biasanya jarang terjadi dan
frekuensinya sangat rendah.

Bidan Lidia tidak menjalankan sesuai dengan perilaku professional bidan. Bidan Lidia
memang bertindak sesuai keahliannya yaitu menyuntikan vaksin kepada balita, tetapi Beliau
kurang hati-hati memberikan vaksinasi sehingga menyebabkan balita Marisa mengalami
peradangan. Bidan Lidia memiliki moral yang kurang baik karena dalam kasus ini seperti
menggampangkan keluhan klien, bidan Lidia tidak bersifat jujur dia berusaha
menyembunyikan kebenaran yang menyebabkan balita Marisa mengalami peradangan.
Dalam perilaku profersional bidan, bidan tidak boleh memberikan janji yang berlebihan disini
dapat dilihat bidan Lidia sudah dihubungi keluarga dan ia berkata ia akan datang, dalam
kenyataanya bidan Lidia tidak datang. Pastinya orang tua Marisa sangat kecewa dengan sikap
bidan Lidia Bukan hanya sampai disitu masalah ini,. Setelah Marisa benar-benar meninggal
dan orang tuanya meminta pertangung jawaban, semua pihak yang terlibat saling
mengamankan diri sendiri. Tidak ada yang berani untuk mempertangungjawabkan secara
langsung. Kalau sudah begitu siapa yang mau bertangungjawab. Sungguh miris kasus ini,
orang-orang yang berpendidikan dan orang-orang yang harusnya bertangugn jawab semuanya
melarikan diri. Bagaimana pandangan masyarakat tentang hal ini? Apa masih ada yang
percaya jika PUSKESMAS Balai Pekon mengadakan posyandu, yang ada masyarakat
berpikiran negatif pada bidan, kepala PUSKESMAS, dan mungkin orang-orang
PUSKESMAS yang tega membiarka seorang balita merasaka sakit karena peradangan setelah
vaksinasi sampai meninggal dunia

Kasus 3
KEDIRI - Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi Kediri. Novila Sutiana (21),
warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah
berusaha menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas setelah disuntik
obat perangsang oleh bidan puskesmas.
Peristiwa naas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi hasil
hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri.
Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil
hubungan gelap yang dilakukan Novila dan Santoso.
Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti. Namun karena sang istri
bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di
rumahnya. Karena itulah ketika bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di
Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya. Ironisnya, hubungan tersebut
berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat Novila hamil 3 bulan.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk menggugurkan janin
tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih
(40), yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri.
Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap
menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik.
Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan
keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000.
Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun
menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu
puskesmas di Kediri melakukan aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan
rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin
B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan
mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya.
"Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah
disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya," terang Kasat Reskrim
Polres Kediri AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008).
Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi
hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju
rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ
intimnya terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun
karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas
medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia
pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung menginterogasi Santoso di rumah
sakit. Setelah mengantongi alamat bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang
di rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah tinggalnya, petugas
menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso
diamankan di Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila.
Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan
kehamilan yang dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun
pacar. Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan
menghukum pelaku.
Akibat perbuatan tersebut, Endang diancam dengan pasal 348 KUHP tentang
pembunuhan. Hukuman itu masih diperberat lagi mengingat profesinya sebagai tenaga medis
atau bidan. Selain itu, polisi juga menjeratnya dengan UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992.
Belum diketahui secara pasti sudah berapa lama Endang membuka praktik aborsi tersebut.

Pendapat dan Solusi


Aborsi yang dilegalkan diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 15, sedangkan Pembaharuan Undang - Undang
Kesehatan yaitu UU No.36 tahun 2009  tentang Kesehatan, dijelaskan pula pada Pasal 75 ayat
2 dan pasal 76.
Pada kasus di atas dijelaskan  bahwa terjadi suatu aborsi tetapi jenis aborsi illegal.
Kasus diatas berawal dari pasangan yang melakukan hubungan gelap (perselingkuhan) yang
mengakibatkan sang wanita hamil, Pria dan wanita sepakat untuk menggugurkan kandungan
yang berumur 3 bulan itu ke bidan. Bidan menyanggupi untuk melakukan aborsi tersebut
dengan imbalan Rp 2.000.000,00.
Semua ahli madya kesehatan wajib mengucap sumpah janji ketika lulus dari
pendidikan. Salah satu isi sumpah janji tersebut yaitu untuk melaksanakan tugas sabaik-
baiknya menurut undang-undang yang berlaku.  Tetapi pada kasus ini bidan E melanggar
sumpah tersebut. Bidan dengan sengaja dan adanya niat memberikan suntikan oxytocin
duradril 1,5 cc yang dicampur dengan cynano balamin. Hal ini mengakibatkan perdarahan
hebat pada wanita tersebut dan berakhir dengan kematian.
Kasus aborsi di atas termasuk kasus pidana, karena adanya aduan dari ayah korban
yang meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan menghukum pelaku.
Kasus ini mengakibatkan bidan E terjerat pasal 348 KUHP tentang pembunuhan daan
melanggar Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 atau pada Undang-
undang yang baru yaitu Undang-undang Kesehatan No 36 tahun 2009.
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 bidan E bisa
dijerat dengan Pasal 80 dengan ketentuan dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),
sedangkan menurut pembaharuan Undang Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009
dijerat dengan pasal 194 dengan ketentuan dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
TUGAS ETIKA PROFESI
“MALPRAKTEK”

Nama: Khotimah
NIM : 15615604

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS KADIRI
2015-2016

Anda mungkin juga menyukai