Anda di halaman 1dari 31

GOVERNANCE & PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

DOSEN : Dr. Hj. Yessi Mutia Basri., SE., M.Si., Ak., CA., AAP

Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja


DISUSUN OLEH:

RASMON 1910247692

ZULFAN HERI 1910247713

MALAHAYATI 1810247087

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap instansi pemerintah diwajibkan untuk melakukan pelaporan keuangan serta

mempertanggungjawabkan pelaksanaan keuangannya sesuai dengan tugas pokok dan

fungsi yang telah ditetapkan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut diperlukan

penerapan sistem pelaporan keuangan yang tepat, jelas dan terukur sesuai dengan

prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sehingga pengembangan sistem pelaporan

akuntansi sangat diperlukan. Penyusunan laporan keuangan merupakan salah satu

kriteria dalam sistem reward dan punishment yang diterapkan kementrian keuangan

pada pemerintah daerah. Jadi, pemerintah daerah berkewajiban menyusun laporan

keuangan yang dapat menunjukkan kondisi sebenarnya.

Selain masalah pelaporan keuangan, persoalan penting lainnya yaitu dalam

pengelolaan sumber daya manusia (pegawai). Pengukuran kinerja dianggap sangat

penting dikarenakan dengan melaksanakan pengukuran kinerja dapat mengetahui

seberapa tepat pegawai telah melaksanakan fungsinya. Ketepatan pegawai dalam

melaksanakan fungsinya akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja organisasi

secara keseluruhan. Selain itu juga, hasil dari pengukuran kinerja pegawai akan

memberikan informasi penting dalam proses pengembangan pegawai yang akan

bermanfaat di masa yang akan datang sesuai dengan perkembangan teknologi.

Kinerja adalah suatu hasil dari program yang dilakukan sehubungan dengan

penggunaan anggaran dengan kualitas dan kuantitas terukur. Pengukuran kinerja adalah

suatu proses pengukuran yag dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah
kegiatan yang dilaksanakan tersebut telah mencapai visi dan misi dari organisasi

tersebut.

Sebagai mana diatur dalam UU No. 17 tahun 2013, pada rancangan undang-undang

dan peraturan daerah tentang laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah disertakan

informasi tambahan mengenai kinerja isntansi pemerintah. Hal ini seiring dengan

perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang ditetapkan dengan

mengidentifikasikan output dan outcome dari setiap program dengan jelas.

Di dalam pemerintahan pengukuran kinerja juga merupakan salah satu cara untuk

mewujudkan akuntabilitas. Akuntabilitas bukan hanya soal pembelanjaan uang publik

melainkan juga apakah uang publik tersebut telah digunakan secara ekonomis, efisien

dan efektif.

Di dalam penerapan pengukuran kinerja sering tidak sesuai disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya yaitu:

~ ketidak jelasan makna kinerja yang diterapkan

~ ketidak pahaman pegawai mengenai kinerja yang diharapkan

~ Ketidak akuratan instrumen pengukuran kinerja

~ Ketidak pedulian pimpinan organisasi dalam pengelolaan kinerja

Berdasarkan latar belakang di atas maka kelompok kami menyusun makalah

mengenai “Sistem Pelaporan Keuangan dan Pengukuran Kinerja”.


BAB II

PEMBAHASAN

SISTEM AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN

A. STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN (SAP)

Kedudukan SAP
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, SAP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.Setiap entitas pelaporan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menerapkan SAP. Selain itu,
diharapkan adanya upaya pengharmonisan berbagai peraturan baik di pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah dengan SAP.

Ruang Lingkup
SAP diterapkan di lingkup pemerintahan, yaitu pemerintah
pusat,pemerinta h daerah, dan satuan organisasi di lingkungan pemerintah
pusat/daerah, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi
dimaksud wajib menyajikan laporan keuangan. Keterbatasan dari penerapan
SAP akan dinyatakan secara eksplisit pada setiap standar yang diterbitkan.

Proses Penyiapan(Due Process) SAP

Proses penyiapan SAP merupakan mekanisme prosedural yang meliputi


tahap-tahap kegiatan yang dilakukan dalam setiap penyusunan Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) oleh Komite.Proses penyiapan SAP
yang digunakan ini adalah proses yang berlaku umum secara internasional
dengan penyesuaian terhadap kondisi yang ada di Indonesia. Penyesuaian
dilakukan antara lain karena pertimbanga n kebutuhan yang mendesak dan
kemampuan pengguna untuk memahami dan melaksanakan standar yang
ditetapkan. Tahap-tahap penyiapan SAP adalah sebagai berikut:

a. Identifikasi Topik untuk Dikembangkan Menjadi Standar.


Tahap ini merupakan proses pengidentifikasian topik-topik akuntansi dan
pelaporan yang berkembang yang memerlukan pengaturan dalam bentuk
pernyataan standar akuntansi pemerintahan.

b. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di dalam KSAP.


KSAP dapat membentuk pokja yang bertugas membahas topik-topik yang
telah disetujui. Keanggotaan Pokja ini berasal dari berbagai instansi yang
kompeten di bidangnya.
c. Riset Terbatas oleh Kelompok Kerja.
Untuk pembahasan suatu topik, Pokja melakukan riset terbatas terhadap literat
ur- literatur, standar akuntansi yang berlaku di berbagai negara, praktik-praktik
akuntansi yang sehat (best practices), peraturan-peraturan dan sumber-
sumber lainnya yang berkaitan dengan topik yang akan dibahas.

d. Penulisan draf SAP oleh Kelompok Kerja.


Berdasarkan hasil riset terbatas dan acuan lainnya, Pokja menyusun draf
SAP. Draf yang telah selesai disusun selanjutnya dibahas oleh Pokja secara
mendalam.

e. Pembahasan Draf oleh Komite Kerja.


Draf yang telah disusun oleh pokja tersebut dibahas oleh anggota Komite
Kerja. Pembahasan ini lebih diutamakan pada substansi dan implikasi
penerapan standar.
Dengan pendekatan ini diharapkan draf
tersebut menjadi standar akuntansi yang berkualitas. Dalam pembahasan ini
tidak menutup kemungkinan terjadi perubahanperubahan dari draf awal yang
diusulkan oleh Pokja. Pada tahap ini, Komite Kerja juga melakukan diskusi
dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyamakan persepsi.

f. Pengambilan Keputusan Draf untuk Dipublikasikan


Komite Kerja berkonsultasi dengan Komite Konsultatif untuk pengambilan
keputusan peluncuran draf publikasian SAP.

g. Peluncuran Draf Publikasian SAP (Exposure Draft)


KSAP melakukan peluncuran draf SAP dengan mengirimkan draf SAP
kepada stakeholders, antara lain masyarakat, legislatif, lembaga pemeriksa,
dan instans i terkait lainnya untuk memperoleh tanggapan.

h. Dengar Pendapat Terbatas (Limited Hearing) dan Dengar Pendapat Publik


(Public Hearings)
Dengar pendapat dilakukan dua tahap yaitu dengar pendapat terbatas dan
dengar pendapat publik. Dengar pendapat terbatas dilakukan dengan
mengundang pihak- pihak dari kalangan akademisi, praktisi, pemerhati
akuntansi pemerintahan untuk memperoleh tanggapan/masukan dalam rangka
penyempurnaan draf publikas ia n. Dengar pendapat publik merupakan proses
dengar pendapat dengan masyarakat yang berkepentingan terhadap SAP.
Tahapan ini dimaksudkan untuk meminta tanggapan masyarakat terhadap
draf SAP.

i. Pembahasan Tanggapan dan Masukan Terhadap Draf Publikasian.


KSAP melakukan pembahasan atas tanggapan/masukan yang diperoleh dari
dengar pendapat terbatas, dengar pendapat publik dan masukan lainnya dari
berbagai pihak untuk menyempurnakan draf publikasian. Finalisasi
Standar.
Dalam rangka finalisasi draf SAP, KSAP memperhatikan pertimbangan dari
BPK. Disamping itu, tahap ini merupakan tahap akhir penyempurnaan
substansi, konsistensi, koherensi maupun bahasa. Finalisasi setiap PSAP
ditandai dengan penandatanganan draf PSAP oleh seluruh anggota KSAP.

Laporan keuangan berdasarkan SAP.

Pemerintah indonesia, sebagai pemegang amanat rakyat mempunyai


kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBN dan APBD
dalam bentuk laporan keuangan. Hal ini telah di tegaskan dalam Undang-
Undang No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Dalam pasal 30 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 dinyatakan:
1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan
keuangan yang telah di periksa oleh Badan pemeriksa keuangan,
selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi laporan
keuangan realisasi APBN , neraca ,laporan arus kas ,dan catatan atas
laporan keuangan , yang di lampiri dengan laporan keuangan
perusahaan negara dan badan lainnya.
Sementara itu, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 secara senada
juga menyampaikan:
1) Gubernur /bupati /walikota menyampaikan rancangan peraturan
daerah tentang pertanggunjawaban pelaksanaan APBN kepada DPRD
berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh badan pemeriksa
keuangan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi laporan
realisasi APBND
, Neraca, laporan arus kas ,dan catatan atas laporan keuangan yang
dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Laporan keuangan yang dituntut oleh undang-undang nomor 17 tahun 2003 tersebut
merupakan laporan keuangan jenis general purpose financial statement (GPFS) ,yang
untuk selanjutnya kita sebut degan laporan keuangan umum.
Laporan keuangan umum adalah laporan keuangan yang dimaksud untuk memenuhi
kebutuhan pengguna . yang dimaksud dengan pengguna adalah masyarakat dewan perwakilan
rakyat(DPR)/ dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), investor/kreditor , manajemen
pemerintah ,dan lembaga internasional.

Penerapan sistem akuntansi pemerintahan dari suatu negara akan sangat bergantung
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada negara yang bersangkutan.
Ciri-ciri terpenting atau persyaratan dari sistem akuntansi pemerintah menurut PBB
dalam bukunya A Manual for Government Accounting, antara lain disebutkan bahwa:
 Sistem akuntansi pemerintah harus dirancang sesuai dengan konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu negara.
 Sistem akuntansi pemerintah harus dapat menyediakan informasi yang
akuntabel dan auditabel (artinya dapat dipertanggungjawabkan dan
di¬audit).
 Sistem akuntansi pemerintah harus mampu menyediakan informasi
ke¬uangan yang diperlukan untuk penyusunan rencana/program dan
evaluasi pelaksanaan secara fisik dan keuangan.

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) adalah sistem akuntansi yang


meng¬olah semua transaksi keuangan, aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah
pusat, yang menghasilkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang tepat waktu
dengan mutu yang dapat diandalkan, baik yang diperlukan oleh badan-badan di luar
pemerintah pusat seperti DPR, maupun oleh berbagai tingkat manajemen pada
pemerintah pusat. Menurut PMK nomor 213/2013, SAPP merupakan rangkaian
sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk
mewujudkan fungsi akuntansi sejak pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran
sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Pemerintah
Pusat.
Perkembangan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Modernisasi akuntansi keuangan di sektor pemerintah dimulai tahun 1982. Studi ini
dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan akuntabilitas keunagan negara oleh Badan
Akuntansi Negara (BAKUN), yang merupakan unit eselon 1 Departemen Keuangan,
melalui Proyek Penyempurnaan Sistem Akuntansi dan Pengembangan Akuntansi
(PPSAPA) dengan bantuan pembiayaan dari Bank Dunia. latar belakang proyek ini
bermula dari kondisi sistem akuntansi dan pencatatan yang masih menggunakan single
entry, sehingga terdapat beberapa kelemahan yaitu:
 Proses penyusunan lambat karena disusun dari sub sistem yang terpisah-
pisah dan tidak terpadu
 Sistem single entry tidak lagi memadai menampung kompleksitas
transaksi keuangan pemerintah
 Sulit dilakukan rekonsiliasi
 Tidak mendasarkan pada Standar akuntansi Keuangan Pemerintah
 Tidak dapat menghasilkan neraca pemerintah
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 476/KMK.O1/1991
tentang Sistem Akuntansi Pemerintah, sistem akuntansi pemerintah pusat telah
dikembangkan dan diimplementasikan secara bertahap. Tahap pertama dilak¬sanakan
mulai tahun anggaran 1993/1994, dan diikuti dengan tahap-tahap berikutnya, dan yang
pada tahun anggaran 1999/2000, implementasi SAPP telah mencakup seluruh
Departemen/Lembaga di seluruh propinsi.
Walaupun target jangka waktu bagi penerapan sistem ini adalah empat tahun,
dimulai untuk Anggaran 1993/1994, hingga tahun 2001 belum ada departemen/non-
departemen yang menerapkan SAPP secara penuh. Rendahnya penerapan sistem ini
pada tingkat daerah disebabkan, antara lain oleh kurangnya sosialisasi yang terencana,
kurangnya sumber daya manussia, resistensi dari pengguna sistem terhadap perubahan,
kurang koordinasi antarlembaga terkait, hingga UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, yang memberikan keleluasaan daerah untuk mengelola
keuangannya. Belum adanya Standar Akuntansi Pemerintah untuk menyamakan
persepai para penyusun neraca juga menjadi kendala bagi penerapannya, sehingga
penyusunan neraca pusat dan proses konsolidasi dengan pemerintah pusat belum dapat
dilakukan.
Berbagai perubahan dan penyempurnaan terus dilakukan oleh pernerintah dalam
rangka pengembangan sistem akuntansi pernerintah pusat. Pada tahun 2005, pemerintah
dalam hal ini Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan No 59/PMK.06/2005 tcntang
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan
Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-undang Nomor l Tahun 2004; tentang Perbendaharaan
Negara. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan
sistem akutansi dan pelaporan keuangan negara sehingga perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah
Pusat.
Kerangka Umum Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan kepada DPR sebagai
pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN. Sebelum disampaikan kepada DPR,
laporan keuangan pemerintah pusat tersebut diaudit terlebih dahulu oleh pihak
BPK. Laporan keuangan pemerintah pusat terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran
Konsolidasi Laporan Realisasi Anggaran dari seluruh Kementerian
Negara/Lembaga yang telah direkonsiliasi. Laporan ini menyajikan informasi
realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, sisa
lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing diperbandingkan dengan
anggaran dalam satu periode.
b. Neraca Pemerintah
Neraca Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi Neraca SAI dan Neraca SAKUN
(Sistem Akuntansi Kas Umum Negara). Laporan in menyajikan informasi posisi
keuangan pemerintah pusat berkaitan dengan aset, utang dan ekuitas dana pada
tanggal/tahun anggaran tertentu.
c. Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi Laporan Arus Kas dari
seluruh Kanwil Ditjen PBN. Laporan ini menyajikan informasi arus masuk dan
keluar kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas
operasi, investasi aset non keuangan, pembiayaan dan non anggaran.
d. Catatan atas Laporan Keuangan
Merupakan penjelasan atau perincian atau analisis atas nilai suatu pos yang tersaji
di dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca Pemerintah dan Laporan Arus Kas
dalam rangka pengungkapan yang memadai.

Dasar Hukum Penyelenggaraan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat


Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 8
menyatakan bahwa ”dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal,
Menteri Keuangan mempunyai tugas antara lain menyusun laporan keuangan yang
merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.” Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 9 menyatakan bahwa
”Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang
Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas antara lain
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga
yang dipimpinnya.”

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 30 ayat (2)
menyatakan bahwa ”Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan
yang meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan
atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya.”

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 7 ayat


(20) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
berwenang menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Negara.”

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 51


ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas
transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan
dan perhitungannya.”

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 51


ayat (2) menyatakan bahwa “Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja
perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas
transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan
dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.”

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55


ayat (1) menyatakan bahwa “Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam
rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.”
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55
ayat (2) menyatakan bahwa “dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang
meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan
dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian
negara/Lembaga masing-masing.”

Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa “agar informasi yang disampaikan
dalam laporan keuangan pemerintah dapat memenuhi prinsip transparansi dan
akuntabilitas, perlu diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP)
yang terdiri dari Sistem Akuntansi Pusat (SiAP) yang dilaksanakan oleh
Kementerian Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan
oleh kementerian negara/lembaga.”
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Tahun Anggaran 2005 Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa “setelah Tahun
Anggaran 2005 berakhir, Pemerintah menyusun Pertanggungjawaban atas
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005
berupa Laporan Keuangan.”
Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Pasal 60 ayat (1) menyatakan
bahwa “Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menyelenggarakan pertanggungjawaban
penggunaan dana bagian anggaran yang dikuasainya berupa laporan realisasi
anggaran dan neraca Kementerian Negara/Lembaga bersangkutan kepada Presiden
melalui Menteri Keuangan. Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan
Keputusan Presiden No. 72 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.”

A. Pedoman Pelaksanaan Sistem Akuntansi Pemeintah Pusat


Tujuan Pedoman Pelaksanaan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat adalah untuk
memberi petunjuk umum dalam menyelenggarakan :
1. Akuntansi Bendahara Umum Negara atas: transaksi penerimaan dan pengeluaran
negara pada KPPN, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, transaksi penerusan pinjaman,
penerimaan pengembalian penerusan pinjaman, dan posisi aset dari penerusan
pinjaman pada Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman, transaksi
penerimaan dan pengeluaran investasi dan posisi investasi pada Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara, transaksi penerimaan, pengeluaran dan posisi utang
serta hibah pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, transaksi khusus
(Pembayaran Subsidi, Pengeluaran Kerjasama nternasional, Pengeluaran
Perjanjian Hukum Internasional, Pengeluaran Koreksi dan Pengembalian,
Pembayaran Jasa Perbendaharaan, Pembayaran PFK, Pendapatan Jasa
Perbendaharaan dan Perbankan) pada unit-unit eselon I, dan transaksi transfer ke
daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, serta posisi aset/utang
pada Badan Lainnya;
2. Akuntansi Instansi atas transaksi pendapatan, belanja, dan posisi aset/utang pada
tingkat Satuan Kerja, Wilayah, Eselon-I, Kantor Pusat Kementerian
Negara/Lembaga, dan Satuan Kerja Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, serta
Koordinator Wilayah Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan termasuk transaksi
Badan Layanan Umum dan BAPP.

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) bertujuan untuk :


1. Menjaga aset Pemerintah Pusat dan instansi-instansinya melalui pencatatan,
pemrosesan, dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten sesuai dengan
standar dan praktik akuntansi yang diterima secara umum;
2. Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu tentang anggaran dan
kegiatan keuangan Pemerintah Pusat, baik secara nasional maupun instansi yang
berguna sebagai dasar penilaian kinerja, untuk menentukan ketaatan terhadap
otorisasi anggaran dan untuk tujuan akuntabilitas;
3. Menyediakan informasi yang dapat dipercaya tentang posisi keuangan suatu
instansi dan Pemerintah Pusat secara keseluruhan;
4. Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan, pengelolaan
dan pengendalian kegiatan dan keuangan pemerintah secara efisien.
Kerangka Umum SAPP dapat digambarkan sebagai berikut :

Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) terdiri dari:


1. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara
Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) dilaksanakan oleh
Kementerian Keuangan selaku BUN dan Pengguna Anggaran Bagian Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP). SA-BUN terdiri dari beberapa subsistem,
yaitu:
a. Sistem Akuntansi Pusat (SiAP), terdiri dari:
1) Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN);
2) Sistem Akuntansi Umum (SAU).
b. Sistem Akuntansi Utang Pemerintah dan Hibah (SA-UP&H);
c. Sistem Akuntansi Investasi Pemerintah (SA-IP);
d. Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman (SA-PP);
e. Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD);
f. Sistem Akuntansi Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (SA-
BAPP);
Sistem Akuntansi transaksi khusus;
g. Sistem Akuntansi Badan Lainnya (SA-BL).
Dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan BUN, pengolahan data
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan selaku BUN yang terdiri dari:
a. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara selaku Unit Akuntansi Kuasa
Bendahara Umum Negara Daerah (UAKBUN-D KPPN);
b. Kantor Wilayah DJPBN selaku Unit Akuntansi Kuasa Koordinator
Bendahara Umum Negara Kantor Wilayah (UAKKBUN-KANWIL);
c. Direktorat Pengelolaan Kas Negara selaku Unit Akuntansi Kuasa Bendahara
Umum Negara Pusat (UAKBUN-P);
d. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan selaku Unit Akuntansi
Pembantu Bendahara Umum Negara (UAPBUN) dan Unit Akuntansi
Bendahara Umum Negara (UABUN);
e. Direktorat Pengelolaan Penerusan Pnjaman selaku Unit Akuntansi Pembantu
Bendahara
f. Umum Negara (UAPBUN);
g. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara selaku Unit Akuntansi Pembantu
Bendahara Umum Negara (UAPBUN);
h. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang selaku Unit Akuntansi Pembantu
Bendahara Umum Negara (UAPBUN);
i. Direktorat Jenderal Anggaran selaku Unit Akuntansi Pembantu Bendahara
Umum
j. Negara (UAPBUN);
k. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Unit Akuntansi Pembantu
Bendahara Umum Negara (UAPBUN);
l. Badan Lainnya selaku Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara
(UAPBUN)
2. Sistem Akuntansi Instansi (SAI)
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dilaksanakan olehKementerian
Negara/Lembaga. Kementerian Negara/Lembaga melakukan pemrosesan data
untuk menghasilkan Laporan Keuangan. Dalam pelaksanaan SAI, Kementerian
Negara/Lembaga membentuk unit akuntansi keuangan (Sistem Akuntansi
Keuangan (SAK)) dan unit akuntansi barang (Sistem Informasi Manajemen dan
Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN)).
Unit akuntansi keuangan terdiri dari:
a. Unit Akuntansi Pengguna Anggaran (UAPA);
b. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran - Eselon1 (UAPPA-E1);
c. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran - Wilayah (UAPPA-W);
d. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA).
Unit akuntansi barang terdiri dari:
a. Unit Akuntansi Pengguna Barang (UAPB);
b. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang - Eselon1 (UAPPB-E1);
c. Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Barang - Wilayah (UAPPB-W);
d. Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Barang (UAKPB).

B. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (BUN)


Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) terdiri dari 2 (dua) subsistem
yaitu:
Sistem Akuntansi Instansi (SAI) dan Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara
(SA-BUN). Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) terdiri dari:
1. Sistem Akuntansi Pusat (SiAP);
2. Sistem Akuntansi Utang Pemerintah dan Hibah (SA-UP&H);
3. Sistem Akuntansi Investasi Pemerintah (SA-IP);
4. Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman (SA-PP);
5. Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD);
6. Sistem Akuntansi Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain (SA-BSBL);
7. Sistem Akuntansi Transaksi Khusus; dan
8. Sistem Akuntansi Badan Lainnya (SA-BL).

SA-BUN menghasilkan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara danl


aporan manajerial. Laporankeuangan BUN terdiri dari laporan realisasi anggaran,
neraca dan laporan arus kas. Laporan manajerial terdiri atas laporan posisi kas,
laporan posisi utang, laporan posisi penerusan pinjaman, ikhtisar laporan keuangan
badan lainnya, dan laporan posisi investasi pemerintah secara detail.
Dalam pelaksanaan SA-BUN, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara membentuk Unit Akuntansi Bendahara Umum Negara (UABUN) yang
terdiri dari:
1. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara–Akuntansi Pusat
dilaksanakan oleh:
a. KPPN sebagai Unit Akuntansi Kuasa Bendahara Umum Negara (UAKBUN)
Daerah.
b. Dit. PKN sebagai-Unit Akuntansi Kuasa Bendahara Umum Negara
(UAKBUN) Pusat.
c. Kanwil sebagai Unit Akuntansi Koordinator Kuasa Bendahara Umum Negara
(UAKKBUN).
d. Dit. APK sebagai Unit Akuntansi Pembantu BUN.
2. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara–Penerusan Pinjaman
dilaksanakan olehDirektorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan;
3. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara–Investasi Pemerintah
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
4. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara –Utang/Hibah dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (UAPBUN-DJPU);
5. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara-BAPP dan PNBP
Khususdilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Anggaran (UAPBUN-DJA);
6. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara -Transfer ke
Daerahdilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(UAPBUN-DJPK);
7. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara-Transaksi Lainnya;
8. Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara-Badan
Lainnyadilaksanakan oleh Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
(UAPBUN- BL).
SiAP dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q Direktorat
JenderalPerbendaharan (DJPBN), terdiri dari:
1. Sistem Akuntansi Kas Umum Negara (SAKUN) yang menghasilkan Laporan
Arus Kas (LAK) dan Neraca KUN;
2. Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang menghasilkan Laporan Realisasi
Anggaran dan Neraca SAU.
Pelaksanaan SiAP melibatkan unit pemroses data sebagai berikut:
1. KPPN;
2. Kanwil DJPBN;
3. Direktorat Pengelolaan Kas Negara
4. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK).
Prosedur pemrosesan data akuntansi pada sistem akuntansi pusat dilakukan
secara berjenjang, dimulai dari:
1. KPPN selaku UAKBUN-D KPPN memproses dokumen sumber untuk
menghasilkan Laporan Keuangan berupa Laporan Arus Kas, Neraca KUN, dan
Laporan Realisasi Anggaran termasuk penerimaan dan pengeluaran non
anggaran yang melalui rekening KPPN. KPPN selaku UAKBUN-D KPPN
melakukan rekonsiliasi Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca SAU beserta
data transaksi dengan seluruh satuan kerja di wilayah kerjanya. KPPN menyusun
Laporan Keuangan tingkat KPPN dan menyampaikannya beserta data akuntansi
berupa ADK ke Kanwil Ditjen PBN selaku UAKBUN-Kanwil. Khusus KPPN
yang memproses data pengeluaran Bantuan Luar Negeri (BLN) yang
membebani Rekening Khusus menyampaikan Laporan Keuangan besertaADK-
nya ke Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK).
2. Kanwil Ditjen PBN selaku UAKKBUN-Kanwil melakukan penyusunan Laporan
Keuangan berupa Laporan Arus Kas, Neraca KUN, Laporan Realisasi
Anggaran, dan Neraca SAU berdasarkan konsolidasi Laporan Keuangan dari
seluruh KPPN di wilayah kerjanya dan data dari unit khusus. Kanwil Ditjen
PBN selaku UAKKBUN-KPPN melakukan rekonsiliasi Laporan Realisasi
Anggaran dan Neraca SAU beserta data transaksi dengan UAPPA-W di wilayah
kerjanya. Kanwil Ditjen PBN mengirimkan Laporan Keuangan tingkat Kanwil
beserta ADKnya ke Dit. APK.
3. Direktorat Pengelolaan Kas Negara (Dit. PKN) selaku UAKBUN-P DPKN
memproses transaksi penerimaan dan pengeluaran BUN melalui Kantor Pusat
termasuk penerimaan dan pengeluaran non anggaran yang melalui
rekeningKUN, serta menyampaikan laporan beserta ADK kepada Dit. APK.
4. Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK) selaku UAPBUN
memproses data APBN, data dari Unit Khusus serta menerima data dari unit-
unitterkait dalam rangka menyusun laporan keuangan pemerintah pusat.
SA-UP&H diterapkan untuk menangani transaksi Pengelolaan Utang yang terdiri
dari:
1. Pembayaran Bunga Utang Dalam dan Luar Negeri;
2. Pembayaran Cicilan Utang Luar Negeri;
3. Pembayaran Cicilan Utang Dalam Negeri;
4. Penerimaan Utang Luar Negeri;
5. Penerimaan Utang Dalam Negeri;
6. Penerimaan Hibah.
SAUP dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. DJPU
memproses data transaksi utang, hibah, penerimaan dan pengeluaran pembiayaan
serta menyampaikan laporan beserta ADK kepada Dit. APK.
SA-IP diterapkan untuk menangani transaksi investasi pemerintah jangka
panjang. Investasi pemerintah Jangka Panjang terdiri dari Investasi Non Permanen
dan Investasi Permanen. SA-IP dilaksanakan oleh unit yang menjalankan
penatausahaan dan pelaporan investasi pemerintah (Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN)).
Sistem Akuntansi Penerusan Pinjaman (SA-PP) diterapkan untuk menangani
transaksi penerusan pinjaman dan pengembalian penerusan pinjaman termasuk
biaya atas penerusan pinjaman. Mekanisme penerusan pinjaman dapat dilakukan
melalui subsidiary loan agreement (SLA) dan dana bergulir. SLA atau perjanjian
penerusan pinjaman adalah perjanjian penerusan pinjaman yang dananya bersumber
dari pinjaman/hibah luar negeri oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
BUMN/BUMD dan unit organisasi non pemerintah. SA-PP dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. DirektoratSistem Manajemen Investasi.
Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD) diterapkan untuk menangani
transaksi transfer kepada pemerintah daerah berupa:Dana perimbangan; dan Dana
otonomi khusus dan penyeimbang. Dana perimbangan adalah belanja pembiayaan
pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi dan kebutuhan daerah. Dana perimbangan terdiri dari: Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana
otonomi khusus dan penyesuaian adalah belanja pembiayaan pemerintah dalam
kerangka pelaksanaan daerah otonomi khusus dan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. SA-TD dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
(DJPK).
SA-BSBL merupakan subsistem dari SA-BUN. SA-BSBL menghasilkan
LRA, Neraca, danCatatanatasLaporanKeuangan. SA-BSBL dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Anggaran selaku unit eselon I yang melaksanakan kewenangan
Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Belanja Subsidi dan Belanja Lain-
Lain.
SA-TK merupakan subsistem dari SA-BUN. SA-TK menghasilkan Laporan
Keuangan yang terdiri dari LRA, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
UAP BUN TK dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. SAPBL
merupakan subsistem dari SA-BUN. SAPBL menghasilkan Neraca dan Ikhtisar
Laporan Keuangan badan lainnya. SAPBL dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Perbendaharaan selaku UAPBUN-PBL. Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku
UAPBUN-PBL memproses data transaksi dari Unit-unit Badan Lainnya.
PENGUKUR KINERJA SEKTOR PUBLIK

A. PENGUKURAN KINERJA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

Levine dkk.(1990) dan dwiyanto (1995) mengemukakan tiga konsep yang

dapat dijadikan acuan untuk mengukur kinerja organisasi publik, yakni responsivitas

(reponsiveness), responsibilitas (responsibility), dan akuntanbilitas (accountability).

Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan

yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakt.

Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu

dilakukan dengan prinsip-prinsip yang implisit atau eksplist. Sedangkan akuntabilitas

mengacu pada seberapa besar pejabat politi dan kegiatan organisas publik tunduk

pada pejabat politik yang dipilih rakyat. Dalam konteks ini organisasi publik dinilai

baik apabila keseluruhnya, atau setidaknya sebgaian besar kegiatan, didasarkan pada

upaya- upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat.

Selain ketiga indikator kinerja tersebut , lazim juga dipergunakan indikator

lain yang bersifat lebih khusus (Mulyadi dan Setiawan, 1999) ,yaitu :

1. Membangun kepuasan pelanggan (custumer satisfaction)

2. Produktivitas kerja kayawan;

3. Menghasilkan financial returns yang memadai.

James B. Whittaker dalam bukunya The Government Performence Result Act

Of 1993 ,menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen

yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan


akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan

dan sasaran (goals and objectivis).

Definisi dari Whittaker dan Robert Simons tampaknya tidak jauh berbeda

dengan definisi yang tertuang dalam Reference Guide, Province of Alberta, Canada.

Dalam reference Guide itu disebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu

metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang

telah ditetapkan. Pengukuran kinerja tidak dimaksudkann untuk berperan sebagai

mekanisme dalam memberikan penghargaan/hukuman (reward/punishment), akan

tetapi pengukuran kinerja berperan sebagai alat komunikasi dan alat manajemen untuk

memperbaiki kinerja organisasi.

Mardiasmo (2002:196) mengemukakan bahwa tolak ukur kinerja organisasi

publik berkaitan dengan ukuran keberhasilan yang dapat dicapai oleh organisass i

tersebut. Satuan ukur yang relevan digunakan adalah efisien pengelolaan dana dan

tingkat kulaitas pelayanan yang dapat diberikan kepada publik.

Bastian (2001 :331-332) mengemukakan bahwa terlepas dari bedar , jenis, sektor

,atau spesialisasinya setiap organisasi beiasanya cenderung tertariik pada pengukuran

kinerja dalam aspek berikut:

1. Aspek finasial, meliputi anggaran rutin dalam pembangunan dari suatu instansi

pemerintah. Karena aspek finansial dapat dianalogikan sebgai aliran darah dalam tubuh

manusia, maka aspek finansial merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan

dalam pengukuran kinerja.

2. Kepuasan pelanggan , dimana dalam globalisasi perdagangan ,peran dan posisi

pelanggan sangat krusial dalam penentuan strategi perusahaan. Hal serupa juga terjadi
pada instansi pemerintah. Dengan demikian banyaknya tuntutan masyarakat akan

pelayanan yang berkualitas, maka instansi pemerintah dituntut untu terus-menerus memberikan

pelayanan yang berkualitas prima. Untuk itu, pengukuran kinerja perlu didesain sedemikian

rupa sehingga pimpinan dapat memperoleh informasi yang relavan mengenai tingkat

kepuasan pelanggan.

3. Operasi bisnis internal , diaman informasi operasi beisnis internal diperlukan untuk

memastikan bahwa seluruh kegiatan instansi pemerintah sudah in-concert

(seirama) untuk mencapai dan sasaran organisasi seperti yang tercantum dalam

rencana trategis. Disamping itu , informasi operasi bisnis internal diperlukan untuk

melakukan perbaikan secara terus menerus atas efisiensi dan efektivitas operasi

perusahaan.

4. Kepuasan pegawai , dimana dalam setiap organisasi pegawai merupakan aset yang

harus dikelola dengan baik. Apabila dalam perusahaan yang banyak melakukan

inovasi, peran strategis pegawai sungguh nyata . hal serupa juga terjadi padah

instansi pemerintah. Apabila pegawai tidak terkelola dengan baik maka kehancuran

instansi pemerintah akan sangat sulit dicegah.

5. Kepuasan komunitas dan stakeholder/shareholder, di mana instansi pemerinta h tidak

beroperasi in vacuum, artinya kegiatan instansi pemerintah berinteraksi dengan

berbagai pihak penaruh kepentingan terhadap keberadaanya. Untuk itu, informasi dari

pengukuran kinerja perlu didesain untuk mengakomodas ikan kepuasan para

stakeholder.

6. Waktu, dimana ukuran waktu juga merupakan variabel yang perlu diperhatika n dalam

desain pengukuran kinerja. Betapa sering kita membutuhkan infor masi tersebut lambat

diterima. Sebaliknya, informasi yang ada yang sering sudah tidak relavan.

Dwiyanto dkk. (2002:48-49) mengemukakan ukuran dari tingkat kinerja suatu


organisasi publik secara lengkap sebagai berikut:

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak ahnya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga

efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara

inpit dan output. Konsep produktivitas kemudian dirasa terlalu sempit dan General

Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang

lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang

diharapkan sebagai salah sati indikator kinerja yang penting.

2. Orientasi Kualitas Layanan kepada Pelanggan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam

menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang

terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpastian masyarakat

terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Keuntungan utama

menggunaka n kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi

mengenai kepuasan masyarakat sering kalitersedia secara mudah dan murah.

Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan sering kali dapat diperoleh

dari media massa atau diskusi publik. Karena akses informasi mengenai kepuasan

masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka ini bisa menjadi satu

ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan

masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.


3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan

masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan menegmbangkan

program- program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi

masyarakat. Secara singkat responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator

kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi

publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat. Responsivitas yang rendah ditujukan dengan ketidakselarasan antara

pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan

organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang

memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

4. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjukkan pada seberapa besar kebijakan dan

kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.

Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat,

dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks

ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar

kebijakan dan kegiatan organisasi publik dengan kehendak masyarakat banyak.

Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang

dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah seperti pencapaian target.

Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai- nilai dan norma

yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki

akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Berdasarkan ulasan dan pendapat dari pakar manajemen dan organisasi

dalam menjalankan misi yang dimilikinya yang dapat diukur dari tingkat produktivitas,

kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas, yang mana ukuran-

ukuran ini akan diterapkan pada pengukuran kinerja organisasi yang dicapai.

Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk

membantu menajer publik menilai mencapai suatu strategi memlalui alat ukur financ ia

l dan non fianansial. Sistem pengukuran kinerja dapat diajadikan sebagai alat

pengendalian organisasi , karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan

reward and punishment system.

Kinerja sektor publik bersifat multidimensional , sehingga tidak ada indikat or

tunggal yang dapat digunakan untuk menunjukkan kinerja secara komprensif.

Berbeda dengan sektor swasta , karena sifat output yang dihasilkan sektor publik

lebih banyak bersifat intagle output , maka ukuran finansial saja tidak cukup untuk

mengukur kiner ja sektor publik. Oleh karena itu , perlu dikembangkan ukuran

kinerja non-finansial.

Tujuan sistem pengukuran kinerja

Secara umum tujuan sistem pengukuran kinerja adalah;

a. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down dan bottom

up)

b. Untuk mengukur kinerja financial dan non-financial secara berimbang

sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian


c. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individu dan

kemampuan kolektif yang rasional.

Manfaat mengukur kinerja

a. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja

manajemen.

b. Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan

c. Untuk memonitor dan mengevaluasi pencapaian keinerja dan membandingkan dengan

target kinerjaserta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja

d. Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman ( reward & punishme nt)

secara obyektif atas pencapaian prestasi yang telah di ukur sesuai dengan sistem

pengukuran kinerja yang telah disepakati ;

e. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaik i

kinerja organisasi;

f. Membantu mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan telah terpenuhi

g. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah

h. Memastikan bahwa pengambil keputusan dilakaukan secara objektif.

B. INFORMASI YANG DIGUNAKAN UNTUK PENGUKURAN KINERJA

1. Informasi finansial

Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada angaran yang

telah dibuat. Penilaian tersebut dilakukan dengan menganalisis varians (selisih atau

perbedaan) antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan.


Analisis varian secara garis besar berfokus pada :

a. Varians pendapatan (reveneu varians )

b. Varians pengeluaran ( expenditure variance)

 Varian belanja rutin (recurent expenditure variance)

 Varians belanja investasi/modal (capital expenditure variance)

Setelah dilakaukan analisis varians , maka dilakuakan identifikasi sumber penyebab

terjadinya varians penelusur varians tersebut hingga kelevel manajemen paling bawah.

Hal tersebut dilakukan untuk untuk mengambil unit spesifik mana yang bertanggung

jawab terhadapa terjadinya varians sampai manajemen yang paling bawah .

Penguna analisis varians saja belum cukup untuk mengukur kinerja, karena analis is

varians masih mengandung keterbatasan (contrain). Keterbatasan analisis varians di

antaranaya terkait dengan kesulitan menetetapkan signifiakasi besarnya varians.

2. Informasi nonfinancial

Informasi nonfinancial dapat dijadikan sebgai tolak ukur lainnya. Informasi

nonfinansial dapat menambah keyakinan terhadap kualitas proses pengendalian

manajemen. Teknik pengukuran kinerja komperhensif yang banyak dikembangkan

oleh berbagai organisasi adalah balance scorecard. Dengan balance scorecard kinerja

organisasi diukur tidak hanya berdasarkan aspek financial saja, tetapi juga aspek

nonfinansial.empat aspek pengukuran metode balance scorecard yaitu :


1. Perspektif finansial

2. Perspektif pelanggan

3. Perspektif efisiensi proses internal

4. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan

Jenis informasi nonfinansial dapat dinyatakan dalam bentuk variabel kunci .

variabel kunci adalah variabel yang mengindenfikasikan faktor-faktor menjadi sebab

kesuksesan organisaisi. Jika terjadi perubahan yang tidak di inginkan , maka variabel ini

harus segera disesuaikan. Suatu variabel kunci memiliki beberapa karakteristik antara

lain

a. Menjelaskan faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan organisasi

b. Sangat volatile dan dapat berubah dengan cepat

c. Perubahan tidak dapat di prediksi;

d. Jika terjadi perubahan perlu diambil tindakan segera;

e. Variabel tersebut dapat diukur, baik secara langsung maupun melalui ukuran antara

(surrgate). Sebagai contoh , kepuasan konsumen tidak dapat di ukur secara langsung

;akan tetapi dapat dibuat ukuran di antaranya , misalnya ; jumlah aduan

,tuntutan dan demonstrasi dapat dijadikan sebgai variabel kunci.


C. PELAPORAN KINERJA

Informasi tentang kinerja manjadi informasi penting yang dibutuhkan di

setiap fase perjalanan organisasi sektor publik dalam mencapai visi dan misinya. Dalam

aspek perencanaan , informasi kinerja memberikan gambaran penting dan fundamental

tentang kondisi saat ini yang menjasi basis perencanaan. sebuah program

pembrantasan buta huruf misalnya , membutuhkan pencapaian tingkat buta huruf yang

ada. Tanpa informasi itu , pemerintah akan mnegalami kerancuan dalam meningkatkan

target keberhasilan dan menghitung sumber daya yang dibutuhkan.

Informasi tentang kinerja juga dibutuhkan pada saat pelaksanaan kegiatan.

Seperti layaknya indikator dan rambu saat berkendara , informasi kenierja berguna

bagi organisasi untuk mengetahui posisi dan keberadaannya sehingga dapat mengatur

strategi dan terobosan yang dibutuhkan.

Informasi kinerja dalam bentuk laporan pertanggungjawaban menjadi

infoermasi yang krusial untuk kepentingan evaluasi. Tanpa laporan kinerja dalam

proses pertanggungjawaban, siklus penggangaran berbasis kinerja menjadi tidak

lengkap perencanaan dan kinerja. Karena itu, penggunaan uang dan pencapaian

kinerja yang bersangkutan harus bertanggung jawab pada akhir periode penggangaan.

Proses audit pun seharusnya menjadi satu kesatuan antara audit laporan keuangan

dan audit kinerja.

Terdapat dua mekanisme pelaporan kinerja ;

1. Pelaporan secara ad hoc.

2. Pelaporan reguler.
Pelaporan kinerja secara ad hoc di lakukan diatas area tertentu secara mendalam

pada waktu yang tidak ditentukan sebelum sesuai kebutuhan. Pelaoran reguler di

jadwalkan secara rutin , misalnya tahunan. Kedua mekanisme ini saling melengkapi .

pelaporan ad hoc biasanya di lakukan sebagai respon adanya kebutuhan yang muncul

dari pelaksana pelaporan reguler.

Kemudian pertanyaan berikutnya muncul terkait dengan desain dan bentuk

laporan keuangan itu sendiri . sebagai sebuah media yang menyampaikan informasi

tentang kinerja ,informasi dalam laporan kinerja setidaknya memuat informasi

berikut :

1. Informasi tentang realisasi input

2. Analisis ekonomi

3. Informasi tentang realisasi output

4. Analisis efisiensi

5. Informasi tetang capaian outcome

6. Analisis efektive.
BAB III
KESIMPULAN

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 32


mengamanatkan bahwa bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Standar akuntansi pemerintahan tersebut disusun oleh Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan
keuangan yang dihasilkan dari penerapan SAP Berbasis Akrual dimaksudkan untuk
memberi manfaat lebih baik bagi para pemangku kepentingan, baik para pengguna
maupun pemeriksa laporan keuangan pemerintah, dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip akuntansi yaitu bahwa biaya yang
dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh.

Dalam rangka penyusunan laporan keuangan pemerintah sesum dengan Standar


Akuntansi Pemerintahan dan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah
pusat, entitas akuntansi/ pelaporan pemerintah menyelenggarakan akuntansi yaitu proses
identifikasi, pencatatan, pengukuran, pengklasifikasian, pengikhtisaran transaksi dan
kejadian keuangan, penyajian laporan serta penginterpretasian atas hasilnya.

Salah satu hal strategis dan kritikal untuk dapat memenuhi penyajian laporan
keuangan pemerintah sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan adalah pencatatan
transaksi dan kejadian keuangan. Entitas akuntansi/ pelaporan pemerintah dituntut untuk
dapat mencatat transaksi dan kejadian keuangan secara sistematis dan komprehensif
sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam penyajian laporan keuangannya,
yang mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial
berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan
pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam APBN.

Informasi kinerja dalam bentuk laporan pertanggungjawaban menjadi infoermasi yang


krusial untuk kepentingan evaluasi. Tanpa laporan kinerja dalam proses
pertanggungjawaban, siklus penggangaran berbasis kinerja menjadi tidak lengkap
perencanaan dan kinerja. Karena itu, penggunaan uang dan pencapaian kinerja yang
bersangkutan harus bertanggung jawab pada akhir periode penggangaan. Proses audit pun
seharusnya menjadi satu kesatuan antara audit laporan keuangan dan audit kinerja.

Anda mungkin juga menyukai