Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) mahabbah dalam al-Qur’an ialah mengikuti segala perintah
Allah dan menjauhi segala larangannya, serta mengikuti ajaran yang dibawa Rosŭlullah dengan hati yang
ikhlas dan dengan akhlaq orang yang mencintai Allah. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-‘Imran ayat
31-32, (2) Haqiqat cinta hamba kepada Allah di dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan meninggalkan semua
hal yang bersifat duniawi yang menjadi penghalang ber-mahabbah kepada Allah guna untuk meraih cinta
yang sempurna. Tercantum dalam surat at-Taubah ayat 24. (3) dengan berusaha mendekatkan diri kepada
Tuhan yang Mulia dengan menyucikan jiwa dari berbagai macam kotoran yang melekat pada setiap jiwa
serta hati yang tulus.
Dari penelitan yang dilakukan diperolehlah konsep mahabbah dalam Tafsir al-Jilani dengan makna
ketaatan, keridhaan kepada Allah dan Rasulnya. Kemudiian juga ditemukan makna mahabbah berupa
pahala atau balasan yang baik dan balasan yang buruk. Dan yang terakhir bermakna mahabbah akan
kehidupan duniawi, kesenangan-kesenangan yang menjajdi fitrah manusia sejak azali dan lahir. Mahabbah
dalam tafsir ini dijelaskan bahwa murni pemberian karunia dari Allah kepada hamba-Nya karena mereka
yang menjalankan syariat-Nya dalam sehari-hari dan menjalankan sunatullah ketika menuju Allah.
Mahabbah dalam tafsir ini digolongkan ke dalam maqamat jika berdasarkan pernyataan diatas karena
murni datang dari Allah. Penemuan konsep mahabbah dalam tafsir ini saling melengkapi konsep
mahabbah dalam karya-karya Syekh 'Abdul Qadir al-Jilani, walaupun konsep yang ditemukan dalam tafsir
ini kurang panjang, luas dalam pembahsannya. Sehingga tidak lengkap seperti dalam karyanya yang lain,
tetapi semuanya saling melengkapi dan tetap sama esensi yang di dalamnya.
Konsep mahabbah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal, Rabi'atul
Adawiyah. Menurutnya, mahabbah atau cinta yang suci murni tersebut lebih sempurna dari
pada rasa takut (khauf) ataupun rasa pengharapan (raja') karena cinta yang suci murni tidak
mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridha-Nya.
Tokoh tasawuf tersebut mengatakan, mahabbah merupakan cetusan dari perasaan rindu
dan pasrah kepada-Nya sehingga Adawiyah sendiri rela mengorbankan seluruh hidupnya
untuk mencintai Allah. Bahkan, begitu cintanya kepada Allah ia menolak untuk menikah
selama hidupnya.
Cinta kepada Allah juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan
kepada seluruh alam semesta. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil syara', baik dalam Alquran
maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan mahabbah.