Anda di halaman 1dari 3

Oleh :

Muhammad Nabil Athallah

41820150

IK-4

Dosen :

Dra. Madihah Bajrie, M.I.Kom

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

TAHUN 2021
Tradisi Saprahan

Makan Saprahan merupakan adat istiadat budaya Melayu. Berasal dari kata "Saprah" yang artinya
berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan bersila di atas lantai secara
berkelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu kelompoknya. Dalam makan saprahan,
semua hidangan makanan disusun secara teratur di atas kain saprah. Peralatan dan
perlengkapannya mencakup kain saprahan, piring makan, kobokan beserta kain serbet, mangkok
nasi, mangkok lauk pauk, sendok nasi dan lauk serta gelas minuman. Untuk menu makanan
diantaranya, nasi putih atau nasi kebuli, semur daging, sayur dalca, sayur paceri nanas atau terong,
selada, acar telur, sambal bawang dan sebagainya. Kemudian untuk minuman yang disajikan
adalah air serbat berwarna merah. Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, menjelaskan,
saprahan merupakan satu diantara yang telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda.
Termasuk pula arakan pengantin, paceri nanas, meriam karbit dan lainnya. Ia berharap Pontianak
menjadi salah satu kota budaya yang harus terus ditingkatkan inovasi dan kreativitasnya. "Saya
berharap dengan lomba inovasi saprahan ini memberikan nilai edukatif bagi generasi muda untuk
terus kita pertahankan budaya ini," kata Edi melalui keterangan tertulisnya, Kamis sore. Lihat Foto
Tradisi makan bersama atau di kalangan masyarakat Melayu disebut Saprahan di Jalan Iman
Bonjol, Gang Ramadhan, Kelurahan Bansir Laut, Pontianak, Kalimantan Barat. Saat ini, lanjutnya,
banyak juga rumah makan dan restoran yang menghidangkan makan saprahan. Edi menekankan,
intinya, bagaimana pada saat makan bersama itu memiliki nilai atau filosofi dan kearifan lokal yang
memberikan nilai positif bagi semua. "Mudah-mudahan melalui kegiatan ini bisa
menumbuhkembangkan ekonomi kreatif dan pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi kuliner, fashion
dan kreativitasnya," ungkap dia. Menurutnya, makan saprahan diselenggarakan untuk menerima
tamu, sebagai penghormatan kepada tamu, acara pernikahan dan sebagainya. Makan saprahan
bersama dengan duduk bersila menjadikan silaturahmi semakin akrab. "Inilah budaya Melayu yang
patut kita pertahankan dan lestarikan," sebut Edi. Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan mengapresiasi
digelarnya Lomba Inovasi Saprahan sebagai upaya pelestarian budaya. Ia menyebut, ada banyak
makna filosofi yang terkandung dalam saprahan. Diantaranya untuk mempererat tali silaturahmi dan
tidak ada perbedaan status sosial dalam saprahan. "Semuanya sama, duduk sama rendah, berdiri
sama tinggi," ucapnya. Sebagai budaya nenek moyang, saprahan perlu dibudayakan. Apalagi sejak
ditetapkannya saprahan sebagai warisan budaya tak benda dan budaya kearifan lokal yang dimiliki.
Adanya penetrasi budaya modern masuk ke Indonesia, kata dia, tidak menutup kemungkinan
budaya-budaya kearifan lokal akan tergerus apabila tidak dilestarikan. "Kalau bukan kita yang
melestarikannya, siapa lagi. Saya kuatir, kalau ini tidak dilestarikan, takutnya anak cucu kita nanti
tidak tahu bagaimana budaya saprahan itu. Setidak-tidaknya kita lakukan di rumah kita sendiri,"
terangnya.

Anda mungkin juga menyukai