Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu faktor keberhasilan kebijakan pemerintah

yang berorientasi pelayanan kesehatan secara paripurna, sehingga diperlukan

dukungan secara maksimal baik dukungan sumber daya manusia maupun

anggaran kesehatan. Wujud nyata tertuang dalam besaran alokasi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bertujuan untuk pemenuhan

cakupan layanan kesehatan dan sistem pengelolaan jaminan sosial secara nasional.

Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dicanangkan oleh Pemerintah sejak tahun

2014.

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap

kesehatan, diupayakan secara berkesinambungan dan terarah, salah satunya

melalui penyelenggaraan program pelayanan kesehatan. Pemenuhan syarat

pelayanan kesehatan yang berkualitas, tertuang dari beberapa indikator layanan

diantaranya tersedia (available), menyeluruh (comprehensive), berkesinambungan

(countinues), terpadu (integrated), wajar (appropiate),dapat diterima (acceptable),

bermutu (quality), tercapai (accessible) serta terjangkau (affordable). (Azwar,

2010)

Seiring dengan terjadinya perkembangan perekonomian saat ini yang masih

dalam pengaruh pandemic covid 19 yang berakibat di semua sektor kehidupan,

maka akan juga berdampak terhadap kemampuan masyarakat dalam membayar

biaya pelayanan kesehatan. Pada umumnya kegiatan kualitas pelayanan

1
kesehatan masih berorientasi pelayanan sosial, sehingga kegiatan perawatan dan

pertolongan terhadap pasien dengan tanpa memandang status social, ekonomi

bahkan agama sekalipun, tetapi di pihak lain meskipun bersifat sosial diharapkan

juga adanya faktor ekonomi demi keberlangsungan dari fasilitas kesehatan itu

sendiri, sehingga diperlukan upaya nyata guna sinkronisasi melalui kegiatan

reformasi, reorientasi dan revitalisasi. (Setyawan, 2015)

Visi, misi, strategi dan paradigma baru pembangunan kesehatan yang

terwujud dalam paradigma sehat, merupakan hasil karya kebijakan reformasi

kebijakan pembangunan keehatan. Reformasi dalam Sistem Kesehatan Nasional

(SKN) telah memberikan nuansa dan cita-cita baru bagi perkembangan kesehatan

saat ini dan masa yang akan datang, dengan munculnya sub sistem upaya

kesehatan dan sub sistem pembiayaan kesehatan. (Gotama I, et al, 2010 dalam

Setyawan, 2018)

Penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya keuangan dalam

subsistem pembiayaan kesehatan dilakukan untuk membiayai upaya kesehatan

masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) penduduk miskin

dengan mobilisasi dan dari masyarakat, pemerintah dan public-private mix.

Sedangkan untuk penduduk mampu, pembiayaan kesehatan masyarakat terutama

dari masyarakat itu sendiri dengan mekanisme jaminan kesehatan baik wajib

maupun sukarela. (Gotama I, et al, 2010 dalam Setyawan, 2018)

Ibarat suatu rangkaian yang erat hubungannya, bahwa antara pelayanan

kesehtan dengan pembiayaan kesehatan tidak bisa dipisahkan, keduanya

merupakan suatu sistem yang saling terkait. Besaran alokasi anggaran kesehatan

2
yang harus dipersiapkan dalam upaya penyelenggaraan dan atau pemanfaatan

semua upaya kesehatan demi kepentingan individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat harus dipersiapkan secara matang. Atas dasar hal tersebut, maka

pengelompokkan biaya kesehatan dapat dikategorikan dari dua sisi yaitu

berdasarkan penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dan pemakai jasa

pelayanan (health consumer). Kementerian Kesehatan (2014), menyatakan bahwa

dengan pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan

memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan

dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di

suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses

(equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured

quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara

seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan

untuk menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity),

efisiensi (efficiency) dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu

sendiri. (Setyawan, 2018)

Mengacu Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dinyatakan

bahwa besaran proporsi alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN dan

10% dari Anggaran Belanja Pendapatan Daerah (APBD) (Kementerian Kesehatan

RI, 2009). Faktanya di Indonesia sudah mencapai 6,2% dari total APBN tahun

2021, sebesar 254 triliun, meskipun masih berada di bawah standart WHO

sebeser 15% APBN dan APBD (Supriyanto, et al, 2021). Secara spesifik anggaran

tersebut untuk mencapai indikator derajad kesehatan yang tertuang dalam

3
indikator capaian Standart Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (SPM-Bidkes)

yang berfokus kepada 12 pendekatan indikator keluarga sehat. (Kementerian

Kesehatan RI, 2019)

Provinsi Jambi merupakan salah satu propinsi yang mempunyai letak

strategis berada di wilayah tengah yang menghubungkan sumatera bagian selatan

dan utara, dengan jumlah penduduk 3.624.579 jiwa dengan komposisi laki-laki

1.848.854 (51,08%) dan perempuan 1.775.725 jiwa (48,92%) (BPS Provinsi

Jambi, 2020). Berbagai upaya dan langkah strategis yang dilakukan pemerintah

melalui pengembangan pola dan metode untuk pemenuhan Undang Undang

Nomor 36 tersebut sudah dan terus dilakukan, tetapi masih saja terkendala dengan

semakin meningkatnya harapan yang lebih baik dari masyarakat.

Didukung ketersediaan fasilitas sarana kesehatan masyarakat Puskesmas

sebanyak 235 unit dan Rumah Sakit yang hampir tersedia di setiap Kabupaten/

Kota dalam Provinsi Jambi, termasuk dukungan sumber daya manusia dalam

tenaga kesehatan. Jika diperinci berdasarkan profesinya masih didominasi profesi

perawat (7.011 orang), selanjutnya bidan (4.076 orang), sedangkan tenaga dokter

(1.136 orang), farmasi (555 orang) dan ahli gizi (220 orang). (Dinas Kesehatan

Provinsi Jambi, 2020)

Indikator lainnya yang sangat penting dalam capaian derajad kesehatan

melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan adanya kajian variabel

diantaranya umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.

IPM merupakan indikator yang digunakan untuk melihat perkembangan

4
pembangunan dalam jangka panjang. Secara berturut-turut capaian IPM di

Provinsi Jambi adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jambi 2014-2019

Kab/Kota 2014 2015 2016 2017 2018 2019


Kerinci 67,96 68,89 69,68 70,03 70,59 70,95
Merangin 66,21 67,15 67,86 68,30 68,81 69,07
Sarolangon 67,67 68,10 68,73 69,03 69,41 69,72
Batanghari 67,68 68,05 68,70 68,92 69,33 69,67
Muaro Jambi 65,71 66,66 67,55 67,86 68,34 69,01
Tanjab Timur 59,88 61,12 61,88 62,61 63,32 63,92
Tanjab Barat 64,04 65,03 65,91 66,15 67,13 67,54
Tebo 66,63 67,29 68,05 68,16 68,67 69,02
Bungo 67,93 68,34 68,77 69,04 69,42 69,86
Kota Jambi 74,86 75,58 76,14 76,74 77,41 78,26
Kota Sungai Penuh 72,48 73,03 73,35 73,75 74,67 75,36
Jambi 68,24 68,89 69,62 69,99 70,65 71,26
Sumber : BPS Provinsi Jambi, 2020

IPM Provinsi Jambi perlahan tapi pasti terus mengalami peningkatan

meskipun angka capaian kecil, ditandai kota Jambi mencapai 78,26 kategori IPM

tinggi. Disusul Kerinci dan Kota Sungai Penuh pada kategori yang sama,

sedangkan 8 Kabupaten lainnya dalam ketegori sedang ( 60 ≤ IPM < 70). Angka

capaian IPM tersebut merupakan salah kontribusi dari peran aktif perekonomian

masyarakat dalam bentuk pendapatan kepala keluarga, yang bisa dikaji dari

adanya trend kenaikan pendapatan keluarga di Provinsi Jambi.

Ditinjau struktur pendapatan kepala keluarga, bisa diukur konsumsi rumah

tangga dalam pengeluaran rumah tangganya, sehingga akan diketahui kemampuan

keluarga dalam membelanjakan pendapatannya terutama mengakses pelayanan

kesehatan di Provinsi Jambi. Penelitian Noerjoedianto (2016) menunjukkan

bahwa pengeluaran rumah tangga di Provinsi Jambi dalam bentuk kemampuan

membeli pelayanan kesehatan berkisar antara Rp 25.235 sampai Rp 110.044


5
(Noerjoedianto, 2016). Kemampuan membeli pelayanan kesehatan juga sangat

dipengaruhi dari kepemilikan terhadap jaminan kesehatan, baik yang sifatnya

wajib maupun yang sifatnya sukarela. Di Provinsi Jambi berdasarkan data BPJS

Kesehatan Cabang Jambi (2020) dan Dinas Kesehatan Provinsi Jambi,

kepemilikan jaminan kesehatan sampai keadaan dua tahun terakhir (2018-2019)

didominasi oleh BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran sebesar 21,70%

mengalami peningkatan sedikit dari tahun sebelumnya sebesar 21,29%, sedangkan

BPJS Kesehatan non penerima bantuan iuran mengalami peningkatan dari 20,6 %

menjadi 24,80 %, artinya masyarakat mampu sudah mulai memahami tentangnya

kepemilikan jaminan kesehatan bagi keluarganya. Kepemilikan jaminan dalam

bentuk lain bisa menggunakan jamkesda, asuransi swasta dan asuransi dari

perusahaan / kantor dengan kisaran 0,12 – 5,72 %. (BPJS Kesehatan Jambi, 2020)

WHO (2010) dalam Supriyanto, et al, (2018) menyatakan bahwa pola

pembiayaan kesehatan yang direkomendasikan pada suatu negara tergolong pada

6 pola yaitu pembiayaan dari pemerintah secara langsung (direct government

financing), asuransi kesehatan (health insurance), pembiayaan dari masyarakat

(community financing), pembiayaan dari saku pasien (user charge out of pocket),

pembiayaan dari organisasi pemerintah dan kerjasama dari luar (govermental

organization and external cooperation) dan pembiayaan sektor swasta (private

sector financing) dan metode pembiayaan kesehatan yaitu pembayaran sebelum

pelayanan (prospective payment system) : pembayaran berdasarkan diagnosa

penyakit (Diagnostic Related Groups), pembayaran berdasarkan tarif harian (per

diem/budget tarif), pembayaran di muka berdasarkan jumlah orang yang dilayani

6
(kapitasi), pembayaran berdasarkan anggaran total (global budget), pembayaran

berdasarkan gaji bulanan, dan pembayaran setelah pelayanan (retrospective

payment system) : pembayaran biaya langsung setelah pelayanan (fee for

services), dan penggantian pembayaran di muka (pre payment reimbursement).

Sumber pembiayaan di Indonesia melalui beberapa pengelompokan diantaranya

pajak (taxes), dana sehat, posyandu, asuransi wajib/sosial (comunity financing),

asuransi komersial (private payment), pembiayaan dari saku pasien (out of pocket)

dan dana perusahaan (voluntary constribution) serta bantuan dana luar

negeri/lembaga donor/sponsor (Supriyanto, et al, 2018). Pembiayaan dari saku

pasien di negara berkembang juga memiliki perbedaan, baik di negara maju

maupun negara miskin seperti yang disampaikan oleh Schieber G dkk (2007)

bahwa semakin maju suatu negara besaran pembiayaan dari saku pasien semakin

kecil, tetapi yang paling besar pembiayaan dari saku pasien negara miskin

(Schieber et al., 2007).

Upaya asuransi kesehatan (health insurance) yang sekarang sedang

diprioritaskan oleh pemerintah dalam bentuk Universal Health Coverage (UHC)

dengan target capaian 95% dari jumlah penduduk Indonesia (BPJS Kesehatan

Jambi, 2020), baru tercapai 78,3%. Pada sistem asuransi kesehatan ada yang

sifatnya asuransi sosial/wajib, sedangkan yang ekonomi menengah ke atas

menggunakan asuransi private atau komersial. Kelompok ekonomi tidak mampu

tetap ada pola alokasi dari pemerintah atau pemberi iuran melalui program

penerima bantuan iuran dan non penerima bantuan iuran yang setiap tahun

dilakukan update data secara periodik. Dalam proses metode pembayaran juga

7
dikenal dengan prospective payment yang berorientasi pembayaran sebelum

dilakukan pelayanan sedangkan menurut retrospektive payment dibayarkan

setelah pelayanan di fasilitas kesehatan baik fee for service maupun out of pocket.

Kesiapan keluarga untuk membiayai rumah tangganya sendiri sangat besar

pengaruh terhadap kemampuan membeli pelayanan kesehatan, sehingga kajian

pola dan metode pembiayaan kesehatan terhadap kemampuan membeli pelayanan

kesehatan sangat layak untuk dilakukan kajian dalam proposal penelitian ini.

1.2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang menjadi dasar secara filosofi dalam rancangan

penelitian disertasi ini adalah :

1. Bagaimana karakteristik responden di lokasi penelitian yang tersebar di

Kabupaten / Kota dalam Provinsi Jambi.

2. Apakah status sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap kemampuan

membeli pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi

3. Apakah pola pembiayaan kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan

membeli pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi

4. Apakah metode pembiayaan kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan

membeli pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi

5. Apakah status sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap kemampuan

membeli pelayanan kesehatan melalui pola pembiayaan kesehatan di Provinsi

Jambi

8
6. Apakah status sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap kemampuan

membeli pelayanan kesehatan melalui metode pembiayaan kesehatan di

Provinsi Jambi.

1.3. Tujuan Penelitian

Kajian terhadap fenomena rumusan masalah, maka perlu penetapan tujuan

penelitian yang akan mampu menjawab hal tersebut, terperinci dalam rumusan

tujuan dalam penelitian disertasi ini adalah :

1. Untuk menganalisis karakteristik responden di lokasi penelitian yang tersebar

di Kabupaten / Kota dalam Provinsi Jambi

2. Untuk mengetahui pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap

kemampuan membeli pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi

3. Untuk mengetahui pengaruh pola pembiayaan kesehatan terhadap kemampuan

membeli pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi

4. Untuk mengetahui pengaruh metode pembiayaan kesehatan terhadap

kemampuan membeli pelayanan kesehatan di Provinsi Jambi

5. Untuk mengetahui pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap

kemampuan membeli pelayanan kesehatan melalui pola pembiayaan kesehatan

di Provinsi Jambi

6. Untuk mengetahui pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap

kemampuan membeli pelayanan kesehatan melalui metode pembiayaan

kesehatan di Provinsi Jambi

9
1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan dari hasil kajian penelitian disertasi ini, bisa berdampak bagi

perkembangan sosial ekonomi terhadap kemampuan membeli pelayanan

kesehatan, sehingga penelitian ini dapat dimanfaatkan yaitu :

1.4.1 Manfaat Akademis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kajian atau teori

sistem pembiayaan kesehatan dalam layanan kesehatan di fasilitas pelayanan

kesehatan baik milik pemerintah, swasta maupun praktek mandiri, terutama

pengembangan pola pembiayaan kesehatan dan metode pembiayaan kesehatan

kesehatan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan

pembiayaan kesehatan yang berorientasi pada efisiensi dan efektifitas anggaran,

serta bagi masyarakat atau keluarga bisa membantu menjadikan pilihan dari

berbagai pola dan metode pembiayaan kesehatan, sesuai dengan kondisi atau

sumber daya keluarga yang dimiliki dalam mengakses ke fasilitas kesehatan

10

Anda mungkin juga menyukai