Anda di halaman 1dari 31

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Embrio

Pengamatan embrio ikan zebra (Danio rerio) dimulai dari setelah

terjadinya fertilisasi. Fertilisasi atau pembuahan pada telur terjadi ketika sperma

dan sel telur bertemu. Ketika sel telur dan sperma bertemu, selanjutnya telur

akan mengalami perkembangan dan pembelahan. Pembelahan telur pada ikan

terdapat dua tipe, yaitu homolecithal dan telolechital. Pada telur ikan zebra

(Danio rerio) merupakan telur meroblastic (parsial) dimana kuning telur tidak ikut

membelah. Menurut Effendie (2002), terdapat dua tipe pembelahan telur yaitu

pembelahan holoblastic dan meroblastic. Pembelahan holoblastic yang terdapat

pada telur ikan homoletichal dimana kuning telur ikut membelah. Sedangkan

pembelahan meroblastic yang terdapat pada telur ikan teloletichal dimana kuning

telur tidak ikut membelah tetapi hanya kepingan protoplasma yang terdapat pada

kutub anima.

Pembelahan awal (zigot) ditandai dengan adanya pembelahan 1 sel yang

disebut blastomer. Menurut Setyono (2009), proses bergabungnya inti sperma

dengan inti sel telur dalam sitoplasma sehingga membentuk zigot disebut dengan

fertilisasi. Pada proses pembuahan, spermatozoa masuk ke dalam telur melalui

lubang microphyle yang terdapat pada chorion. Pada saat telur terbuahi, terlihat

adanya lapisan korion, ruang perivitelin, dan kuning telur (Gambar 10).

Korion

Kuning Telur

Ruang Perivitelin

Gambar 10. Telur ikan zebra yang terbuahi (Dokumentasi Pribadi, 2018).



Pada saat telur sudah terbuahi, telur akan mengalami perkembangan dan

terjadi fase pembelahan sel (cleavage) secara terus – menerus hingga menuju

fase-fase berikutnya yaitu fase pembelahan sel 2, sel 4, sel 6, sel 8, sel 16, sel

32, morula, blastula, gastrula, neurula, organogenesis, hingga menetas. Telur

ikan zebra merupakan tipe telur meroblastic (parsial) dimana kuning telur tidak

ikut membelah yang membelah hanya protoplasma pada kutub anima (Gambar

11). Menurut Iswahyudi (2013), fase cleavage dimulai pada saat mitosis pertama

hingga pembelahan kelima yakni pembelahan 2, 4, 6, 8, 16 dan 32 sel yang

terjadi pada kutub anima. Pada kutub anima telur terbentuklah blastodisk yang

nantinya akan membelah menjadi banyak. Perkembangan sel yaitu dimulai dari

stadia cleavage (pembelahan), stadia morula, stadia blastula, stadia gastrula,

stadia neurula, organogenesis hingga akhirnya menetas (Sumarianto, 2006).

Kutub Anima

Kuning Telur
Blastomer
Ruang Perivitelin
Korion

Gambar 11. Sel Telur Ikan Zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018).

Pada pembelahan pertama, terdapat dua blastomer, yaitu sel memiliki

besar yang sama namun memiliki ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya atau

dua sel yang terdapat pada kutub anima. Sel terus membelah dari 2 sel,

membelah menjadi 4 sel, 4 sel membelah menjadi 6 sel, lalu 6 sel membelah

menjadi 8 sel, dan begitu seterusnya hingga 16 sel (Gambar 12). Menurut

Aryulina et al. (2004), pada fase ini zigot mengalami perubahan berkali-kali.

Pembelahan sel dimulai dari satu menjadi dua, dua menjadi empat dan

seterusnya. Menurut Kimmel et al. (1995), terbentuknya dua buah blastomer


33

yang sama besar pada ikan zebra terjadi dalam waktu 45 menit setelah

pembuahan.
Korion

2 Blastomer
4 Blastomer

Kuning Telur

Ruang Perivitelin
8 Blastomer
16 Blastomer

Gambar 12. Pembelahan sel (2-16 blastomer) telur ikan zebra (Dokumentasi
Pribadi, 2018)

Pada stadia morula terjadi pada pembelahan ke lima yang menghasilkan

32 blastomer (32 sel) dan kemudian menjadi unit-unit kecil atau banyak sel

(Gambar 13). Pada perlakuan kontrol terjadi pada waktu 117 menit setelah

proses pembuahan, pada dosis 100 ppm terjadi dalam 110 menit, pada dosis

200 ppm terjadi dalam 114 menit, pada dosis 300 ppm terjadi dalam menit dan

pada dosis 400 ppm terjadi pada 118 menit. Menurut Sukra (2000), stadia morula

merupakan stadia dimana jumlah blastomer sangat padat hingga blastomer yang

ada sangat kecil dan sulit untuk dilihat atau dihitung jumlahnya. Menurut Sedjati

(2002), pada stadia morula ini ukuran sel mulai beragam dengan ciri-ciri awal

yaitu terbentuknya 64-128 sel. Pada stadia morula sel membelah secara

melintang dan mulai terlihat samar pada kutub anima. Stadia morula berakhir

apabila pembelahan sel sudah menghasilkan sejumlah blastomer berukuran

sama akan tetapi ukuranya lebih kecil dan sel tersebut menjadi blastodisk kecil.


34

Kuning Telur
32-64 Blastomer

Ruang Perivitelin

Gambar 13. Stadia Morula Telur Ikan Zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018).

Pada stadia blastula (Gambar 14) sel-sel akan terus melakukan

pembelahan secara aktif dan di perkirakan sel mencapai hingga 128 sel sampai

lebih. Pada perlakuan kontrol terjadi pada kurun waktu 184 menit setelah

pembuahan, Pada perlakuan dosis 100 ppm terjadi pada waktu 207 menit, pada

dosis 200 ppm terjadi dalam 255 menit, pada dosis 300 ppm terjadi dalam 294

menit, pada dosis 400 ppm terjadi dalam 261 menit. Menurut Aryulina et al.

(2004), pada fase blastula terjadi pembagian sitoplasma ke dalam ke dua kutub

yang di bentuk pada fase morula. Konsentrasi sitoplasma pada kedua kutub

tersebut berbeda. Pada kutub anima terdapat sitoplasma yang lebih sedikit

dibandingkan dengan kutub vegetatif. Konsentrasi sitoplasma yang berbeda

menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan hewan selanjutnya.

Kutub anima dan kutub vegetatif telah selesai dibentuk. Hal ini di tandai

dengan dibentuknya rongga di antara kedua kutub yang berisi cairan dan disebut

blastosol. Proses pembentukan blastosol ini disebut blastulasi. Menurut sedjati

(2002), pada stadia blastula kuning telur ditutupi blastoderma, kemudian

terbentuk blastosol. Blastosol ini terletak di antara blastoderma dan periblast.

Stadia blastula merupakan proses perkembangan morula menjadi blastula,

dimana blastomer pada morula membelah beberapa kali sehingga menjadi

semakin kecil. Sehingga fase ini disebut dengan fase blastulasi setelah morula.

Pada fase blastula, sel-sel akan tetap membelah, hal utama dari fase ini yakni

muncul rongga diantara blastomer yang berisi cairan (Buzollo et al., 2011).


35

Blastoderm
Blastocoel

Periblast
Kuning Telur

Gambar 14. Stadia Blastula telur ikan zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018)

Setelah proses pembelahan blastula selesai selanjutnya yaitu fase

pembelahan gastrula. Fase gastrula ini mulai terlihat bentuk dari kepala dan

bakal ekor pada calon embrio (Gambar 15). Pada perlakuan K dengan dosis 0

ppm terjadi pada kurun waktu 345 menit setelah pembuahan, pada perlakuan A

dengan dosis 100 ppm terjadi pada waktu 398 menit, pada perlakuan B dengan

dosis 200 ppm terjadi dalam 447 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300 ppm

terjadi dalam 478 menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi dalam

479 menit. Menurut Murtidjo (2001), Gastrulasi merupakan proses pembelahan

bakal organ yang sudah terbentuk pada saat blastulasi. Bagian-bagian yang

terbentuk nantinya akan menjadi suatu organ atau suatu bagian dari organ. Awal

dari gastrulasi ini terjadi ketika stadium blastula selesai. Proses pembelahan sel

dengan pergerakannya berjalan lebih cepat dari pada stadium blastula. Pada

stadia ini hampir seluruh permukaan kuning telur tertutup oleh blastoderma.

Dalam garis besarnya proses pergerakan sel dalam stadium gastrula ada dua

macam yaitu epiboly dan emboly (Effendi, 2002).

Menurut Sukra (2000), pada fase ini terbentuklah 3 lapisan yaitu lapisan

ektoderm, mesoderm, dan endoderm. ketika stadia gastrula berlangsung, lapisan

sel menutupi seluruh permukaan kuning telur dan bagian tepi blastoderm mulai

menebal membentuk sebuah lingkaran seperti cincin (germ ring) yang akan

memanjang dan menebal pada salah satu sisinya hingga mengelilingi sepanjang

permukaan kuning telur yang pada akhirnya membentuk suatu perisai embrio.


36

Blastoderm
Ruang Perivitelin
Epiboly
Kuning Telur 45%
Menutupi
Kuning
Telur

Gambar 15. Stadia Gastrula Ikan Zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018)

Stadia neurula terjadi ketika stadia gastrula telah berakhir (Gambar 16).

Pada perlakuan K dengan dosis 0 ppm terjadi pada kurun waktu 683 menit

setelah pembuahan, pada perlakuan A dengan dosis 100 ppm terjadi pada waktu

785 menit setelah proses pembuahan (Gambar 16), pada perlakuan B dengan

dosis 200 ppm terjadi dalam 825 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300 ppm

terjadi dalam 871 menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi dalam

882 menit. Menurut Chumaidi et al. (2009), Perkembangan embrio awal pada

stadia neurula ini dimulai setelah berbentuk seperti huruf C dan berbentuk calon

mata dan beberapa somit sudah mulai telihat. Perkembangan calon embrio

berakhir pada stadia gastrula akhir sedangkan untuk tingkat selanjutnya sudah

dinamakan perkembangan embrio yang mulai dari stadia neurula.

Stadia neurula merupakan stadia dimana terbentuknya susunan syaraf

pusat dari ektoderm. Pada stadia neurula ditandai dengan terbentuknya bagian

kepala dan ekor, dimana tubuh embrio semakin memanjang sehingga

mengelilingi kuning telur ruas-ruas pada telur seperti notokhord, somit dan bintik

mata (Cindelaras et al. 2015). Menurut Sukra (2000), stadia neurula merupakan

stadia dimana terbentuknya susunan syaraf pusat dari ektoderm. Pada stadia

neurula ditandai dengan terbentuknya bagian kepala dan ekor, embrio semakin

memanjang sehingga mengelilingi kuning telur. Somit merupakan ruas atau

segmen yang mulai muncul disepanjang tubuh embrio (Zalina et al., 2012).


37

Mata Jantung
Kepala
Somit

Ekor Notochord

Gambar 16. Stadia Neurula Telur Ikan Zebra (Dokumentasi Pribadi,


2018)

Pada stadia organogenesis terjadi saat proses pembentukan berbagai

organ tubuh yang mulai sempurna secara berturut-turut seperti kepala, mata,

jantung dan ekor. Pada perlakuan K dengan dosis 0 ppm terjadi pada kurun

waktu 1.161 menit setelah pembuahan, pada perlakuan A dengan dosis 100 ppm

terjadi pada waktu 1.192 menit, pada perlakuan B dengan dosis 200 ppm terjadi

dalam 1.213 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300 ppm terjadi dalam 1.358

menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi dalam 1.376 menit.

Menurut Sulistyowati (2005), perkembangan awal organogenesis ditandai

dengan terbentuknya kepala, mata, notochord dan somit yang masih terlihat

transparan. Selanjutnya diikuti dengan terlihat jantung yang mulai berdetak dan

terbentuknya badan, ekor serta tengkorak kepala. Pada stadia ini di dalam sel

telur, embrio sudah mulai bergerak. Terlihat ruang perivitelin juga semakin sempit

menjelang organogenesis akhir dan embrio bergerak memutar sesekali berusaha

untuk memecah cangkang telur.

Bintik Mata Kantung Kuning Telur

Kepala
Notochord

Ekor Somit

Gambar 17. Stadia Organogenesis Telur Ikan Zebra (Dokumentasi


Pribadi, 2018).


38

Telur yang menetas terjadi akibat menipisnya lapisan chorion, sehingga

embrio keluar dari cangkang (Gambar 18). Pada perlakuan K dengan dosis 0

ppm terjadi pada kurun waktu 3.011 menit setelah pembuahan, pada perlakuan A

dengan dosis 100 ppm terjadi pada waktu 3.443 menit, pada perlakuan B dengan

dosis 200 ppm terjadi dalam 3.473 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300

ppm terjadi dalam 3.571 menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi

dalam 3.731 menit. Pada saat telur akan menetas, embrio sering mengubah

posisinya dengan berputar ke kiri dan kekanan karena kekurangan ruang di

dalam cangkang. Dengan pergerakan-pergerakan tersebut bagian cangkang

akan lembek semakin lama akan pecah. Gusrina (2014), juga menambahkan

bahwa semakin aktif embrio bergerak semakin cepat penetasan terjadi.

Penetasan telur terjadi apabila embrio telah menjadi lebih panjang daripada

lingkaran kuning telur dan telah berbentuk sirip ekor. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukan Effendie (2002), menetas merupakan saat terakhir pengeraman

sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Pada

saat akan terjadinya penetasan, embrio akan melakukan pergerakan-pergerakan

menjauhi kuning telur di dalam khorion hingga lapisan khorion menjadi lembek

hingga pecah.

Ekor
Kepala

Mata
Kuning Telur

Gambar 18. Larva Ikan Zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018)

Pada saat penelitian berlangsung, ditemukannya telur yang mengalami

kecacatan atau malformasi. Kecacatan atau malformasi ditemukan dimulai dari

perlakuan A yaitu dengan dosis tembakau rokok sebesar 100 ppm. Selanjutnya


39

pada perlakuan B, C, dan D masing-masing memiliki dosis sebesar 200 ppm,

300 ppm, dan 400 ppm. Pada dosis 400 ppm terlihat jelas bahwa larva

mengalami kecacatan berupa tulang yang melengkung (Gambar 19). Terjadinya

kecacatan pada saat berkembang terdapat pada tulang yang bengkok lordosis.

Lordosis (bengkok ke arah depan )

Skoliosis (bengkok ke arah samping)

(a) (b)

Skoliosis (bengkok ke arah samping)


Skoliosis (bengkok ke arah samping)

(c) (d)

Gambar 19. Larva Ikan Zebra yang mengalami lordosis (a) dosis
tembakau rokok 100 ppm, (b) dosis tembakau rokok 200
ppm, (c) dosis tembakau rokok 300 ppm, (d) dosis
tembakau rokok 400 ppm.

Terjadinya lordisis atau pembengkokan tulang disebabkan karna terkena

pengaruh racun yang dalam hal ini nikotin, sehingga menghambat embrio untuk

berkembang bahkan menimbulkan kecacatan bahkan kematian. Racun

menginfeksi telur yang sedang berkembang, sehingga dapat mengalami

perlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang menyebabkan embrio gagal

tumbuh dan berkembang sehingga embrio mati dalam telur. Berdasarkan

penelitian didapatkan larva yang mengalami malformasi pada tiap perlakuan.

Pada perlakuan A sebesar 25%, B sebesar 30%, C sebesar 20%, dan D sebesar

20%. Menurut Wirawan (2005), embrio sangat rentan terhadap adanya bahan

beracun dalam suatu lingkungan (media) pada saat mendekati periode

penetasan dimana kulit telur mulai pecah, kemudian setelah menetas. Pada


40

tahap ini akan menyebabkan tingginya mortalitas dan bertambahnya larva cacat

yang baru. Terjadinya pembengkokan tulang disebabkan oleh pemaparan zat

beracun yaitu tembakau rokok yang mengandung nikotin. Pemaparan dengan

zat beracun menyebabkan terjadinya cacat (malformasi) pada ikan jika

pemaparan tersebut terjadi pada tahap awal perkembangan suatu organ.

Tabel 2. Hasil pengamatan terhadap embrio Zebra Danio (Kimmel et al.,


1995).

No Fase Gambar Literatur Gambar Pengamatan

1 Telur setelah

terfertilisasi

2 Zigot

3 Pembelahan 1

(2 sel)

4 Pembelahan 2

(4 sel)

5 Pembelahan 3

(8 sel)


41

6 Pembelahan 4

(16 sel)

7 Morula (64-128

sel)

8 Blastula

9 Gastrula

10 Neurula

11 Organogenesis

12 Menetas


42

4.2 Pengaruh Nikotin Terhadap Lama Penetasan Telur Ikan Zebra

Untuk mengetahui dampak pemberian tembakau rokok terhadap

keseluruhan fase embrio dapat diketahui dengan membandingkan lama masing-

masing perkembangan embrio seperti yang dilihat pada Gambar 20. Lama

masing-masing perkembangan sampai dengan penetasan dibuat grafik untuk

membandingkan antar lima perlakuan (K, A, B, C, D).

Gambar 20. Diagram Batang Lama Penetasan Telur Ikan Zebra

Berdasarkan data di atas dapat diketahui perendaman embrio dengan

dosis tembakau rokok yang berbeda memberikan pengaruh terhadap lama

penetasan embrio, yaitu semakin tinggi dosis tembakau rokok maka semakin

lama pula perkembangan embrio. Pada grafik di atas memperlihatkan bahwa

pada stadia 1 hingga stadia 4 waktu perkembangan embrio pada masing-masing

perlakuan tidak terlalu berbeda, namun pada stadia 5 (Neurula) hingga 7

(Menetas) terlihat adanya perbedaan dimana semakin tinggi dosis tembakau

rokok menjadi lebih lama embrio menetas. Telur ikan zebra dapat dikatakan

menetas ketika embrio yang berada di dalam telur telah keluar dari cangkang

telur, hal ini dikarenakan ketika terjadi pergerakan embrio sebelum menetas telah

mengakibatkan pecahnya selaput chorion pada telur tersebut. Lama tidaknya

waktu penetasan juga mempengaruhi pengaruh paparan media inkubasi


43

terhadap penetasan telur ikan zebra. Dosis yang diberikan besar kecilnya juga

memperngaruhi perkembangan embrio. Untuk mengetahui rerata lama

penetasan pada masing – masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rerata Lama Penetasan Telur Ikan Zebra

Perlakuan Ulangan Total Rerata


1 2 3 (menit)
K (0 ppm) 51,13 50,38 50,18 151.69 50.56

A (100 ppm) 58,25 57,38 57,67 173.30 57.77

B (200 ppm) 58,03 57,88 58,37 174.28 58.09

C (300 ppm) 60,17 59,52 60,20 179.89 59.96

D (400 ppm) 61,08 61,28 62,18 184.54 61.51

Total 863.70

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang

menghasilkan hasil terbaik adalah perlakuan K. Perlakuan K memiliki nilai rata –

rata lama penetasan telur selama penelitian sebesar 50,56/menit. Selanjutnya

diikuti perlakuan C, B dan A dengan nilai rata – rata keberhasilan selama

penelitian sebesar 57,77/menit, 58,09/menit, dan 59,96/menit. Pada perlakuan D

rerata lama penetasan telur ikan zebra mengalami keterlambatan penetasan

dikarenakan memiliki dosis tembakau rokok yang lebih tinggi yaitu 400 ppm

sebesar 61,51/menit . Keterlambatan penetasan telur ikan zebra ini dikarenakan

nikotin yang termasuk dalam golongan pestisida memiliki sifat toksik atau

beracun terhadap makhluk hidup yang menyebabkan keterlambatan dalam

berkembang dan menetas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Liem (2010), nikotin

merupakan racun syaraf berbahaya (neurotoksik) yang biasa digunakan dalam

bahan dasar insektisida. Nikotin memiliki daya karsinogenik yang dapat

menghambat perkembangan sel hingga mematikan sel sebelum menetas.


44

Data hasil penelitian dilakukan uji kenormalitasan data dengan SPSS.

Hasil uji kenormalitasan data daya tetas telur menyatakan data normal dan dapat

dilihat pada lampiran 3. Hasil uji kenormalitasan data lama penesatan telur

menyatakan data normal. Berdasarkan analisa sidik ragam daya tetas telur Ikan

zebra dapat diperoleh hasil pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Data Sidik Ragam Lama Penetasan Telur Ikan Zebra

Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1%

Perlakuan 4 212,05 53,01 264,78** 3,48 5,99

Acak 10 2,00 0,200

Total 14 214,05

Keterangan **: Berbeda Sangat Nyata

Dari hasil perhitungan analisa sidik ragam pada Tabel 4 menunjukkan

bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan tembakau rokok dengan dosis yang berbeda

memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penetasan telur ikan zebra.

Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada penelitian ini

adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT

dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Lama Penetasan Telur Ikan
Zebra

Rerata Perlakuan K A B C D Notasi


50,56 57,77 58,09 59,96 61,51
K 50,56 0,00 a
A 57,77 7,20** 0,00 b
B 58,09 7,53** 0,33ns 0,00 b
C 59,96 9,40** 2,20** 1,87** 0,00 c
D 61,51 10,95** 3,75** 3,42** 1,55* 0,00 d
Keterangan : ns (tidak berbeda nyata)
* (Berbeda nyata)
** (Berbeda sangat nyata)


45

Tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan D merupakan perlakuan

yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap lama penetasan telur ikan

zebra. Hal ini dikarenakan pada perlakuan D memiliki dosis tembakau rokok yang

tinggi yakni 400 ppm yang mengakibatkan lamanya penetasan telur. Sedangkan

penetasan telur tercepat pada perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm.

Setelah dilakukan uji BNT yang diketahui bahwa perlakuan memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap lama waktu penetasan telur ikan zebra,

kemudian dilakukan analisa polinomial ortogonal untuk mengetahui bentuk grafik

regresi dan mengetahui hubungan pengaruh paparan dosis tembakau rokok

media penetasan yang berbeda terhadap lama penetasan telur ikan zebra. Untuk

lebih jelasnya mengenai hasil analisa polinomial ortogonal dapat dilihat pada

Lampiran 3. Grafik regresi lama penetasan telur ikan zebra disajikan pada

Gambar 21.

70
60
Waktu Penetasan (jam)

50 y = 52.761 + 0.0241x
R² = 0.8138
40
30
20
10
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)

Gambar 21. Grafik Regresi Lama Penetasan Telur Ikan Zebra

Berdasarkan hubungan antara perbedaan dosis tembakau rokok media

penetasan telur terhadap lama penetasan telur ikan zebra pada gambar diatas

dapat diketahui bahwa pola grafik membentuk linier dengan persamaan y =

52,761 + 0,0241x dengan nilai R. (koefisien determinasi) = 0,81. Nilai


46

perhitungan sidik ragam, uji BNT dan polinomial orthogonal secara lengkap dapat

dilihat pada Lampiran 3.

Perbedaan dosis tembakau rokok yang berbeda memberikan pengaruh

terhadap lama penetasan telur ikan zebra. Dalam perhitungan analisa regresi,

perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm memiliki hasil terbaik dalam

penelitian ini. Menurut Saminan (2016), nikotin dapat merusak dan

memperlambat perkembangan embrio. Zat beracun tersebut menyebabkan

metabolisme telur bekerja lebih lambat sehingga perkembanganpun terhambat

bahkan dapat merusak dan mematikan telur sebelum menetas. Hal ini dapat

mempengaruhi waktu penetasan telur menjadi lebih lambat untuk menetas.

Menurut Thomson (1971), besar kecilnya toksisitas pestisida satu dengan yang

lainnya berbeda-beda tergantung dari bahan aktif yang terkandung, ukuran dan

kondisi ikan uji, kualitas media uji, dosis pemberian serta lamanya waktu

terkontaminasi.

4.3 Hatching Rate Ikan Zebra

Hasil pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata daya tetas

telur pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Presentase Daya Tetas Telur Ikan Zebra

Ulangan
Perlakuan Total Rerata (%)
1 2 3
K 100% 100% 100% 300 100%
A 80% 85% 80% 245 82%
B 75% 100% 100% 275 92%
C 90% 65% 85% 240 80%
D 5% 30% 0% 35 12%
Total 1.095

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang

menghasilkan hasil terbaik adalah perlakuan K karena memiliki nilai rata – rata


47

keberhasilan selama penelitian yakni 100%. Selanjutnya diikuti perlakuan B dan

A dengan nilai rata – rata keberhasilan selama penelitian yakni 91,67% dan

81,67%. Pada perlakuan D penetasan telur ikan zebra cukup rendah dikarenakan

memiliki dosis tembakau rokok yang lebih tinggi yaitu 400 ppm jika dibandingkan

dengan perlakuan yang lain. Dosis yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi

kestabilan kerja dari enzim yang berada di dalam telur, sehingga menyebabkan

metabolisme telur bekerja lebih lambat. Menurut Rudiyanti (2010), ekstrak

tembakau rokok merupakan pestisida yang tergolong berdaya racun sedang.

Kematian pada ikan dikarenakan adanya pengaruh dari pemberian ekstrak

tembakau rokok dengan konsentrasi yang melebihi dari kemampuan ikan untuk

mentolerir zat asing yang masuk kedalam tubuh.

Telur ikan zebra dapat dikatakan menetas ketika embrio yang berada di

dalam telur telah keluar dari cangkang telur, hal ini dikarenakan ketika terjadi

pergerakan embrio sebelum menetas telah mengakibatkan pecahnya selaput

chorion pada telur tersebut. Untuk mengetahui keberhasilan penetasan pada

masing – masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 22.

Hatching Rate
120.00
Rerata Daya Tetas (%)

100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
K (0 ppm) A (100 ppm) B (200 ppm) C (300 ppm) D (400 ppm)
Hatching Rate 100.00 81.67 91.67 80.00 11.67

Gambar 22. Diagram Daya Tetas Telur Ikan Zebra

Berdasarkan data di atas dapat diketahui hubungan nilai daya tetas telur

ikan zebra dengan pengaruh dosis tembakau rokok yang berbeda. Dari data


48

tabel 6 diatas maka dapat dilihat perlakuan yang menghasilkan data terbaik

adalah perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm. Perlakuan K

menghasilkan daya tetas telur yang paling besar yaitu sebanyak 100%.

Sedangkan daya tetas telur paling rendah yaitu pada perlakuan D dengan dosis

tembakau rokok 400 ppm sebesar 11,67%. Hal ini disebabkan karna banyaknya

telur yang mati atau rusak sebelum menetas yang menyebabkan daya tetas telur

sangat rendah. Semakin tinggi dosis maka semakin banyak telur yang tidak

menetas atau rusak.

Sebelum data hasil penelitian dilakukan perhitungan analisis sidik ragam,

terlebih dahulu data tersebut dilakukan uji kenormalan data. Hasil uji

kenormalitasan data daya tetas telur menyatakan data normal dan dapat dilihat

pada lampiran 4. Berdasarkan analisa sidik ragam daya tetas telur ikan zebra

dapat diperoleh hasil pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Data Sidik Ragam Daya Tetas Telur Ikan Zebra

Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1%

Perlakuan 4 14890 3722,50 28,63** 3,48 5,99

Acak 10 1300 130

Total 14 16190

Keterangan **: Berbeda Sangat Nyata

Dari hasil perhitungan analisa sidik ragam pada Tabel 7 menunjukkan

bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan tembakau rokok dengan dosis yang berbeda

memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penetasan telur ikan zebra.

Embrio merupakan fase awal dari kehidupan dimana sangat dipengaruhi oleh

lingkungan. Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada

penelitian ini adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Hasil uji BNT dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.


49

Tabel 8. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Zebra

Rerata Perlakuan D C A B K Notasi


11,67 80,00 81,67 91,67 100,00

D 11,67 0,00 a

C 80,00 68,33** 0,00 b

A 81,67 70,00** 1,67ns 0,00 b

B 91,67 80,00** 1,67ns 10,00ns 0,00 b

K 100,00 88,33** 20,00ns 18,33ns 8,33ns 0,00 b

Keterangan: ns : tidak berbeda nyata


* : berbeda nyata
** : berbeda sangat nyata

Tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan C merupakan perlakuan

yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap daya tetas telur ikan

zebra. Hal ini dikarenakan pada perlakuan C memiliki dosis tembakau rokok

lethal yakni 300 ppm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaffar (2010), Median

Lethal Concentration (LC50) pada tembakau rokok terhadap ikan berada pada

dosis 200-300 ppm dan waktu pemaparan selama 96 jam. Pada dosis 300 ppm,

terjadi banyak kerusakan dan kematian sel dalam telur sehingga telur mati

sebelum waktunya menetas. Kematian telur terjadi sekitar 50%. Sedangkan pada

dosis 400 ppm, terdapat banyak telur yang rusak dan mati sebelum menetas

sehingga presentase daya tetas telur sebesar 11,67%. Hal ini sangat berbeda

jauh dengan perlakuan K yaitu 0 ppm.

Embrio merupakan fase awal dari kehidupan dimana sangat dipengaruhi

oleh lingkungan. Bila lingkungan buruk atau terdapat zat toksik maka bisa

berpengaruh kepada penetasannya seperti pendapat Anderson dan D’Appolonia

(1978), yang menyatakan bahwa saat tahap perkembangan embrio yang sedang

berdeferensiasi sangat sensitif terhadap bahan cemaran atau toksik. Sehingga

telur akan mengalami kekurangan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang yang


50

menyebabkan telur rusak dan mati sebelum menetas. Setelah dilakukan uji BNT

yang diketahui bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata

terhadap keberhasilan penetasan telur ikan zebra, kemudian dilakukan analisa

polinomial ortogonal untuk mengetahui bentuk grafik regresi dan pengaruh

paparan dosis tembakau rokok yang berbeda terhadap daya tetas telur ikan

zebra. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil analisa polinomial ortogonal dapat

dilihat pada Lampiran 4. Grafik regresi daya tetas telur ikan zebra disajikan pada

Gambar 23.

120.00
y = 108.67 - 0.1783x
100.00
R² = 0.5893
Hatching Rate (%)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)

Gambar 23. Grafik Regresi Daya Tetas Telur Ikan Zebra

Berdasarkan hubungan antara perbedaan dosis tembakau rokok media

penetasan telur terhadap keberhasilan penetasan pada gambar diatas dapat

diketahui bahwa pola kurva membentuk linier dengan persamaan y = 108,67 -

0,1783x dengan nilai R. (koefisien determinasi) = 0,58. Nilai perhitungan sidik

ragam, uji BNT dan polinomial orthogonal secara lengkap dapat dilihat pada

Lampiran 4. Sedangkan untuk uji normalitas data menggunakan SPSS dapat

dilihat pada Lampiran 4. Uji normalitas dilakukan untuk menguji kenormalan data.

4.4 Denyut Jantung Ikan Zebra

Hasil pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata denyut

jantung ikan zebra ada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 9.


51

Tabel 9. Frekuensi Denyut Jantung Larva Ikan Zebra

Ulangan Rata-Rata
Perlakuan Total
1 2 3 (denyut/menit)
A (Kontrol) 132 138 134 404 135
B (100 ppm) 160 155 162 477 159
C (200 ppm) 168 170 165 503 168
D (300 ppm) 172 175 173 520 173
E (400 ppm) 195 202 205 602 201
Total 2.506

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan D dengan dosis

tembakau rokok yang paling tinggi yaitu 400 ppm memiliki denyut jantung yang

paling cepat yaitu 200,67 detak/menit. Selanjutnya diikuti perlakuan C, B dan A

dengan dosis 300 ppm, 200 ppm, dan 100 ppm dengan denyut jantung sebesar

173,33 detak/menit, 167,67 detak/menit dan 159 detak/menit. Pada perlakuan K

dengan dosis tembakau rokok 0 ppm didapatkan denyut jantung sebesar 134,67

detak/menit. Didalam tembakau rokok, terdapat nikotin yang dapat

mempengaruhi saraf dan peredaran darah. Nikotin menyebabkan peningkatan

denyut jantung dan penyempitan pembuluh darah dikarenakan berkurangnya

aliran darah dan meningkatkan tekanan darah. Akibatnya terjadi penurunan

kapasistas kardiorespirasi.

Menurut Ario (2014), Di otak, nikotin berkerja dengan mengikat dan

mengaktivasi reseptor nicotinic acetylcholine (nAChRs) yang ditemukan di

system saraf tepi. Aktivasi dari nAChRs di medulla adrenal mengakibatkan

peningkatan katekolamin yang nantinya akan berpengaruh pada sistem

kardiovaskular. Efek yang terjadi dari nikotin terjadi pelepasan katekolamin di

aliran darah adalah peningkatan pulsasi denyut jantung dan tekanan darah.

Sehingga menyebabkan semakin tinggi pemberian dosis tembakau rokok yang

mengandung nikotin maka denyut jantung semakin cepat dikarenakan terjadinya

penyempitan pembuluh darah. Ikan mengalami stress dikarenakan lingkungan


52

media hidupnya tercemar oleh racun sehingga denyut jantung meningkat dan

perkembangan embrionya terganggu yang dapat berakibat terhadap

meningkatnya konsumsi oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk sistem

metabolisme.

Aliran darah yang berasal dari jantung dapat mempengaruhi denyut

jantung. Dengan diberikan paparan tembakau rokok yang bersifat toksik dan

termasuk pestisida, frekuensi denyut jantung ikan zebra menjadi lebih cepat 20x

dibandingkan dengan denyut jantung normal. Untuk mengetahui frekuensi denyut

jantung larva ikan zebra pada masing – masing perlakuan dapat dilihat pada

Gambar 24.

Denyut Jantung
250.00
Rerata Denyut Jantung (/menit)

200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
K (0 ppm) A (100 ppm) B (200 ppm) C (300 ppm) D (400 ppm)
Series1 134.67 159.00 167.67 173.33 200.67

Gambar 24. Diagram Denyut Jantung Telur Ikan Zebra

Berdasarkan data di atas dapat diketahui hubungan nilai denyut jantung

larva ikan zebra dengan dosis tembakau rokok yang berbeda. Dari data tabel 9

diatas maka dapat dilihat perlakuan yang menghasilkan data terbaik adalah

perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm.

Sebelum data hasil penelitian dilakukan perhitungan analisis sidik ragam,

terlebih dahulu data tersebut dilakukan uji kenormalan data. Hasil uji dapat dilihat

pada lampiran 5. Berdasarkan analisa sidik ragam denyut jantung ikan zebra

dapat diperoleh hasil pada tabel 10 berikut.


53

Tabel 10. Data Sidik Ragam Denyut Jantung Ikan Zebra

Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1%

Perlakuan 4 6850,27 1712,57 149,35** 3,48 5,99

Acak 10 114,67 11,467

Total 14 6964,93

Keterangan **: Berbeda Sangat Nyata

Dari hasil perhitungan analisa sidik ragam pada Tabel 10 menunjukkan

bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan tembakau rokok dengan dosis yang berbeda

memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap denyut jantung ikan zebra.

Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada penelitian ini

adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT

dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Denyut Jantung Larva Ikan Zebra

Rerata Perlakuan K A B C D Notasi

134,67 159,00 167,67 173,33 200,67

K 134,67 0,00 a

A 159,00 24,33** 0,00 b

B 167,67 33,00** 8,67* 0,00 c

C 173,33 38,67** 14,33** 5,67ns 0,00 c

D 200,67 66,00** 41,67** 33,00** 27,33** 0,00 d

Keterangan: ns : tidak berbeda nyata


* : berbeda nyata
** : berbeda sangat nyata

Tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan D merupakan perlakuan

yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap denyut jantung ikan zebra.

Hal ini dikarenakan pada perlakuan D memiliki dosis tembakau rokok yang tinggi

yakni 400 ppm yang mengakibatkan denyut jantung ikan zebra sangat cepat. Hal


54

ini sesuai dengan pernyataan Fukho et al. (2015), jantung akan berkerja lebih

cepat dan meningkatkan tekanan darah karena rokok mengandung nikotin.

Nikotin bekerja sama dengan CO dapat memaksa jantung untuk memompa

darah lebih banyak lagi. Sehingga dapat mempercepat denyut jantung bahkan

dapat menyebabkan kematian.

Setelah dilakukan uji BNT yang diketahui bahwa perlakuan memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap frekuensi denyut jantung ikan zebra,

kemudian dilakukan analisa polinomial ortogonal untuk mengetahui bentuk grafik

regresi dan mengetahui hubungan antar perlakuan paparan dosis tembakau

rokok yang berbeda terhadap denyut jantung ikan zebra. Untuk lebih jelasnya

mengenai hasil analisa polinomial ortogonal dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik

regresi denyut jantung ikan zebra disajikan pada Gambar 25.

250.00
Denyut Jantung (Denyut/menit)

200.00

y = 137.8 + 0.1463x
150.00
R² = 0.92234
100.00

50.00

0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)

Gambar 25. Grafik Regresi Denyut jantung Ikan Zebra

Berdasarkan hubungan antara perbedaan dosis tembakau rokok terhadap

frekuensi denyut jantung pada gambar diatas dapat diketahui bahwa pola grafik

membentuk linier dengan persamaan y = 137,8 + 0,1463x dengan nilai R.

(koefisien determinasi) = 0,92. Nilai perhitungan sidik ragam, uji BNT dan

polinomial orthogonal secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.


55

4.5 Fluktuasi Konsumsi DO Ikan Zebra

Hasil pengamatan yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata konsumsi

oksigen pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Fluktuasi Konsumsi DO Ikan Zebra

Ulangan Rerata
Perlakuan Total
1 2 3 (ppm)
A 0,07 0,06 0,13 0,26 0,09
B 0,55 0,77 0,76 2,08 0,69
C 0,84 0,81 0,83 2,48 0,83
D 0,93 0,91 0,96 2,80 0,93
E 1,03 1,05 1,11 3,19 1,06
Total 10,81

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan D dengan dosis

tembakau rokok yang paling tinggi yaitu 400 ppm membutuhkan konsumsi

oksigen rata-rata sebesar 1,06 ppm. Selanjutnya diikuti perlakuan C, B dan A

dengan dosis 300 ppm, 200 ppm, dan 100 ppm yang membutuhkan konsumsi

oksigen sebesar 0,93 ppm, 0,83 ppm, dan 0,69 ppm. Pada perlakuan K dengan

dosis tembakau rokok 0 ppm didapatkan konsumsi oksigen rata-rata sebesar

0,09 ppm. Jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain, maka ikan zebra yang

terpapar tembakau rokok dengan dosis 400 ppm membutuhkan lebih banyak

konsumsi oksigen. Menurut Fathuddin et al. (2002), kemampuan darah untuk

mengikat oksigen semakin kecil akibat keracunan bahan toksik, dimana akibat

keracunan tersebut, ikan akan mengalami gangguan pada proses pernafasan

dan metabolisme tubuhnya.

Menurut Ghufron dan Kordi (2008), pada perairan yang terkontaminasi

oleh racun akan membuat ikan meningkatkan energi untuk mengeluarkan racun

dalam tubuh dan beradaptasi terhadap air media yang terkontaminasi. Pada

proses peningkatan energi, ikan akan membutuhkan oksigen terlarut yang lebih

banyak. Untuk mengetahui rerata konsumsi DO yang dibutuhkan ikan zebra

dapat dilihat pada Gambar 26.


56

Fluktuasi Konsumsi DO
1.20

1.00
Fluktuasi Oksigen (ppm)

0.80

0.60

0.40

0.20

0.00
K (0 ppm) A (100 ppm) B (200 ppm) C (300 ppm) D (400 ppm)
Series1 0.09 0.69 0.83 0.93 1.06

Gambar 26. Rerata Fluktuasi Konsumsi DO Ikan Zebra

Berdasarkan data di atas dapat diketahui hubungan fluktuasi konsumsi

DO ikan zebra dengan pengaruh dosis tembakau rokok yang berbeda. Dari data

tabel 12 diatas maka dapat dilihat perlakuan yang menghasilkan data terbaik

adalah perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm. Hal ini bisa sebagai

indikasi adanya tingkat stress pada perlakuan tembakau rokok dengan dosis

tinggi. Menurut Royan et al. (2014), berbagai sumber stres baik berupa faktor

lingkungan maupun faktor biotik akan mempunyai dampak negatif terhadap

perubahan fisiologis tubuh hewan. Perubahan tersebut meliputi, gangguan

pertumbuhan, produktivitas dan semua aktivitas yang merupakan akibat dari

mekanisme homeostasis dalam tubuh yang terganggu atau mengalami ketidak

seimbangan.

Sebelum data hasil penelitian dilakukan perhitungan analisis sidik ragam,

terlebih dahulu data tersebut dilakukan uji kenormalan data dengan SPSS. Hasil

uji kenormalitasan data fluktuasi konsumsi DO menyatakan normal dan dapat

dilihat pada lampiran 6. Berdasarkan analisa sidik ragam fluktuasi konsumsi DO

ikan zebra dapat diperoleh hasil pada tabel 13 berikut.


57

Tabel 13. Data Sidik Ragam Fluktuasi Konsumsi DO

Sumber Keragaman DB JK KT Fhitung F 5% F 1%

Perlakuan 4 1,73 0,43 111,07** 3,48 5,99

Acak 10 0,04 0,004

Total 14 1,77

Keterangan **: Berbeda Sangat Nyata

Dari hasil perhitungan analisa sidik ragam pada tabel 13 menunjukkan

bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan tembakau rokok dengan dosis yang berbeda

memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap fluktuasi konsumsi DO ikan

zebra. Adanya peningkatan oksigen bisa dikarenakan oleh beberapa faktor,

diantaranya tingkat stress yang meningkat sehingga mempengaruhi kondisi

fisiologis. Menurut Maharajan et al. (2013), Peranan pernafasan dan konsumsi

oksigen adalah parameter fisiologis yang penting untuk menilai toksisitas racun.

Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada penelitian ini

adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT

dapat dilihat pada tabel 14 berikut ini.

Tabel 14. Hasil Uji Beda Nyata (BNT) Konsumsi DO Ikan Zebra

Rerata Perlakuan K A B C D Notasi

0,09 0,69 0,83 0,93 1,06

K 0,09 0,00 a

A 0,69 0,61** 0,00 b

B 0,83 0,74** 0,13* 0,00 c

C 0,93 0,85** 0,24** 0,11* 0,00 d

D 1,06 0,98** 0,37** 0,24** 0,13* 0,00 e

Keterangan: ns : tidak berbeda nyata


* : berbeda nyata
** : berbeda sangat nyata


58

Tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan A dengan dosis 100 ppm

memberikan pengaruh paling signifikan terhadap fluktuasi konsumsi DO ikan

zebra. Sedangkan untuk perlakuan K, B, C, dan D memberikan pengaruh

terhadap fluktuasi konsumsi DO tetapi tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Setyaningsih (2015), nikotin memiliki sifat nikotinik sehingga

mengganggu sistem syaraf untuk meneruskan impuls. Nikotin memiliki gugus

molekul yang merebut sisi aktif dari enzim yang bekerja pada daerah sinap.

Nikotinik juga dapat menyebabkan depolarisasi sel-sel yang menyebabkan

peningkatan frekuensi inspirasi dan ekspirasi sehingga menyebabkan otot-otot

pernafasan bekerja lebih cepat dari biasanya yang mengakibatkan konsumsi

oksigen yang dibutuhkan semakin banyak.

Ikan pada saat terkena zat beracun membutuhkan oksigen untuk

bernafas lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang tidak diberikan perlakuan

atau ikan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi

oksigen pada penambahan dosis perlakuan. Adanya peningkatan oksigen bisa

dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat stress yang meningkat

sehingga mempengaruhi kondisi fiologis. Menurut Putra (2015), bertambahnya

kebutuhan oksigen bisa sebagai indikasi tingkat metabolisme dalam tubuh yang

mengalami peningkatan. Selain itu peningkatan konsumsi oksigen juga

menunjukan adanya stress sehingga dibutuhkan banyak energi untuk

menyesuaikan diri dengan konsisi lingkungan.

Setelah dilakukan uji BNT yang diketahui bahwa perlakuan memberikan

pengaruh yang sangat nyata terhadap konsumsi oksigen ikan zebra, kemudian

dilakukan analisa polinomial ortogonal untuk mengetahui bentuk grafik regresi

dan mengetahui hubungan dosis tembakau rokok yang berbeda terhadap

konsumsi oksigen ikan zebra. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil analisa


59

polinomial ortogonal dapat dilihat pada Lampiran 6. Grafik regresi konsumsi DO

ikan zebra disajikan pada Gambar 27.

1.40

1.20
Fluktuasi DO (ppm)

1.00
y = 0.282 + 0.0022x
0.80 R² = 0.81598
0.60

0.40

0.20

0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)

Gambar 27. Grafik Regresi Fluktuasi Konsumsi DO Ikan Zebra

Berdasarkan hubungan antara perbedaan media fluktuasi konsumsi DO

terhadap keberhasilan penetasan pada gambar diatas dapat diketahui bahwa

pola grafik membentuk linier dengan persamaan y = 0,282 + 0,0022x dengan

nilai R (koefisien determinasi) = 0,81. Nilai perhitungan sidik ragam, uji BNT dan

polinomial orthogonal secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.6 Kualitas Air

4.6.1 Suhu

Suhu merupakan salah satu kualitas air yang mempengaruhi media

inkubasi pada perkembangan embrio ikan zebra. Selama penelitian, pengamatan

suhu dilakukan menggunakan thermometer. Menurut Supriyanto (2006),

perkembangan telur ikan juga memerlukan lingkungan yang suhunya optimal


O O
berkisar 20 C - 26 C dan relatif stabil. Proses perkembangan telur ikan

terhambat bila ditetaskan dalam media penetasan yang suhunya berfluktuasi.

Kisaran nilai suhu media inkubasi selama pengamatan berkisar antara

24,5OC – 26,3OC. Data suhu pada media inkubasi selama pengamatan


60

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Data yang diperoleh selama

pengamatan pada media inkubasi dapat dikatakan bahwa nilai suhu masih dalam

kisaran optimum, sehingga masih baik untuk perkembangan embrio.

4.6.2 pH

Nilai pH di dalam media inkubasi juga dapat mempengaruhi

perkembangan embrio ikan zebra. Selama penelitian, pengamatan

menggunakan pH pen. Menurut Gusrina (2014), adapun faktor luar yang

mempengaruhi perkembangan embrio antara lain suhu, okesigen, pH, salinitas,

dan intensitas cahaya.

Kisaran nilai pH pengamatan berkisar antara 6,8 – 8,41. Data media

inkubasi disajikan pada Lampiran 7. Dari data tersebut di ketahui kadar pH cukup

baik untuk perkembangan embrio . Menurut Lawrence (2007), kisaran pH pada

ikan zebra berkisar 6-8. Hal ini sesuai dengan pendapat Piranti (2016), nilai pH

yang dibutuhkan ikan hias air tawar yakni 6,5 – 8,5 dan nilai DO yang dibutuhkan

yakni >5 ppm.

4.6.3 DO (Dissolved Oxygen)

Selama proses perkembangan embrio salah satu faktor luar lainnya yang

mempengaruhi adalah kadar oksigen dalam media inkubasi. Menurut Djarijah

(2001), selama proses perkembangan, telur ikan mengkonsumsi oksigen dalam

jumlah relatif banyak. Konsumsi oksigen setiap fase perkembangan jumlahnya

(kualitas) bertambah sesuai dengan waktu perkembangannya.

Kisaran nilai DO media inkubasi selama pengamatan berkisar antara 2,06

ppm – 5,15 ppm. Dari data tersebut dapat diketahui tidak terlalu baik untuk

perkembangan embrio ikan zebra. Data oksigen terlarut pada media inkubasi

selama pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Menurut

Tatangindatu et al. (2013), kisaran oksigen terlarut untuk budidaya ikan adalah

lebih dari 4 mg/l.


61

Anda mungkin juga menyukai