terjadinya fertilisasi. Fertilisasi atau pembuahan pada telur terjadi ketika sperma
dan sel telur bertemu. Ketika sel telur dan sperma bertemu, selanjutnya telur
terdapat dua tipe, yaitu homolecithal dan telolechital. Pada telur ikan zebra
(Danio rerio) merupakan telur meroblastic (parsial) dimana kuning telur tidak ikut
membelah. Menurut Effendie (2002), terdapat dua tipe pembelahan telur yaitu
pada telur ikan homoletichal dimana kuning telur ikut membelah. Sedangkan
pembelahan meroblastic yang terdapat pada telur ikan teloletichal dimana kuning
telur tidak ikut membelah tetapi hanya kepingan protoplasma yang terdapat pada
kutub anima.
dengan inti sel telur dalam sitoplasma sehingga membentuk zigot disebut dengan
lubang microphyle yang terdapat pada chorion. Pada saat telur terbuahi, terlihat
adanya lapisan korion, ruang perivitelin, dan kuning telur (Gambar 10).
Korion
Kuning Telur
Ruang Perivitelin
Gambar 10. Telur ikan zebra yang terbuahi (Dokumentasi Pribadi, 2018).
Pada saat telur sudah terbuahi, telur akan mengalami perkembangan dan
terjadi fase pembelahan sel (cleavage) secara terus – menerus hingga menuju
fase-fase berikutnya yaitu fase pembelahan sel 2, sel 4, sel 6, sel 8, sel 16, sel
ikan zebra merupakan tipe telur meroblastic (parsial) dimana kuning telur tidak
ikut membelah yang membelah hanya protoplasma pada kutub anima (Gambar
11). Menurut Iswahyudi (2013), fase cleavage dimulai pada saat mitosis pertama
terjadi pada kutub anima. Pada kutub anima telur terbentuklah blastodisk yang
nantinya akan membelah menjadi banyak. Perkembangan sel yaitu dimulai dari
Kutub Anima
Kuning Telur
Blastomer
Ruang Perivitelin
Korion
besar yang sama namun memiliki ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya atau
dua sel yang terdapat pada kutub anima. Sel terus membelah dari 2 sel,
membelah menjadi 4 sel, 4 sel membelah menjadi 6 sel, lalu 6 sel membelah
menjadi 8 sel, dan begitu seterusnya hingga 16 sel (Gambar 12). Menurut
Aryulina et al. (2004), pada fase ini zigot mengalami perubahan berkali-kali.
Pembelahan sel dimulai dari satu menjadi dua, dua menjadi empat dan
33
yang sama besar pada ikan zebra terjadi dalam waktu 45 menit setelah
pembuahan.
Korion
2 Blastomer
4 Blastomer
Kuning Telur
Ruang Perivitelin
8 Blastomer
16 Blastomer
Gambar 12. Pembelahan sel (2-16 blastomer) telur ikan zebra (Dokumentasi
Pribadi, 2018)
32 blastomer (32 sel) dan kemudian menjadi unit-unit kecil atau banyak sel
(Gambar 13). Pada perlakuan kontrol terjadi pada waktu 117 menit setelah
proses pembuahan, pada dosis 100 ppm terjadi dalam 110 menit, pada dosis
200 ppm terjadi dalam 114 menit, pada dosis 300 ppm terjadi dalam menit dan
pada dosis 400 ppm terjadi pada 118 menit. Menurut Sukra (2000), stadia morula
merupakan stadia dimana jumlah blastomer sangat padat hingga blastomer yang
ada sangat kecil dan sulit untuk dilihat atau dihitung jumlahnya. Menurut Sedjati
(2002), pada stadia morula ini ukuran sel mulai beragam dengan ciri-ciri awal
yaitu terbentuknya 64-128 sel. Pada stadia morula sel membelah secara
melintang dan mulai terlihat samar pada kutub anima. Stadia morula berakhir
sama akan tetapi ukuranya lebih kecil dan sel tersebut menjadi blastodisk kecil.
34
Kuning Telur
32-64 Blastomer
Ruang Perivitelin
Gambar 13. Stadia Morula Telur Ikan Zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018).
pembelahan secara aktif dan di perkirakan sel mencapai hingga 128 sel sampai
lebih. Pada perlakuan kontrol terjadi pada kurun waktu 184 menit setelah
pembuahan, Pada perlakuan dosis 100 ppm terjadi pada waktu 207 menit, pada
dosis 200 ppm terjadi dalam 255 menit, pada dosis 300 ppm terjadi dalam 294
menit, pada dosis 400 ppm terjadi dalam 261 menit. Menurut Aryulina et al.
(2004), pada fase blastula terjadi pembagian sitoplasma ke dalam ke dua kutub
yang di bentuk pada fase morula. Konsentrasi sitoplasma pada kedua kutub
tersebut berbeda. Pada kutub anima terdapat sitoplasma yang lebih sedikit
Kutub anima dan kutub vegetatif telah selesai dibentuk. Hal ini di tandai
dengan dibentuknya rongga di antara kedua kutub yang berisi cairan dan disebut
semakin kecil. Sehingga fase ini disebut dengan fase blastulasi setelah morula.
Pada fase blastula, sel-sel akan tetap membelah, hal utama dari fase ini yakni
muncul rongga diantara blastomer yang berisi cairan (Buzollo et al., 2011).
35
Blastoderm
Blastocoel
Periblast
Kuning Telur
Gambar 14. Stadia Blastula telur ikan zebra (Dokumentasi Pribadi, 2018)
pembelahan gastrula. Fase gastrula ini mulai terlihat bentuk dari kepala dan
bakal ekor pada calon embrio (Gambar 15). Pada perlakuan K dengan dosis 0
ppm terjadi pada kurun waktu 345 menit setelah pembuahan, pada perlakuan A
dengan dosis 100 ppm terjadi pada waktu 398 menit, pada perlakuan B dengan
dosis 200 ppm terjadi dalam 447 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300 ppm
terjadi dalam 478 menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi dalam
bakal organ yang sudah terbentuk pada saat blastulasi. Bagian-bagian yang
terbentuk nantinya akan menjadi suatu organ atau suatu bagian dari organ. Awal
dari gastrulasi ini terjadi ketika stadium blastula selesai. Proses pembelahan sel
dengan pergerakannya berjalan lebih cepat dari pada stadium blastula. Pada
stadia ini hampir seluruh permukaan kuning telur tertutup oleh blastoderma.
Dalam garis besarnya proses pergerakan sel dalam stadium gastrula ada dua
Menurut Sukra (2000), pada fase ini terbentuklah 3 lapisan yaitu lapisan
sel menutupi seluruh permukaan kuning telur dan bagian tepi blastoderm mulai
menebal membentuk sebuah lingkaran seperti cincin (germ ring) yang akan
memanjang dan menebal pada salah satu sisinya hingga mengelilingi sepanjang
permukaan kuning telur yang pada akhirnya membentuk suatu perisai embrio.
36
Blastoderm
Ruang Perivitelin
Epiboly
Kuning Telur 45%
Menutupi
Kuning
Telur
Stadia neurula terjadi ketika stadia gastrula telah berakhir (Gambar 16).
Pada perlakuan K dengan dosis 0 ppm terjadi pada kurun waktu 683 menit
setelah pembuahan, pada perlakuan A dengan dosis 100 ppm terjadi pada waktu
785 menit setelah proses pembuahan (Gambar 16), pada perlakuan B dengan
dosis 200 ppm terjadi dalam 825 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300 ppm
terjadi dalam 871 menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi dalam
882 menit. Menurut Chumaidi et al. (2009), Perkembangan embrio awal pada
stadia neurula ini dimulai setelah berbentuk seperti huruf C dan berbentuk calon
mata dan beberapa somit sudah mulai telihat. Perkembangan calon embrio
berakhir pada stadia gastrula akhir sedangkan untuk tingkat selanjutnya sudah
pusat dari ektoderm. Pada stadia neurula ditandai dengan terbentuknya bagian
mengelilingi kuning telur ruas-ruas pada telur seperti notokhord, somit dan bintik
mata (Cindelaras et al. 2015). Menurut Sukra (2000), stadia neurula merupakan
stadia dimana terbentuknya susunan syaraf pusat dari ektoderm. Pada stadia
neurula ditandai dengan terbentuknya bagian kepala dan ekor, embrio semakin
segmen yang mulai muncul disepanjang tubuh embrio (Zalina et al., 2012).
37
Mata Jantung
Kepala
Somit
Ekor Notochord
organ tubuh yang mulai sempurna secara berturut-turut seperti kepala, mata,
jantung dan ekor. Pada perlakuan K dengan dosis 0 ppm terjadi pada kurun
waktu 1.161 menit setelah pembuahan, pada perlakuan A dengan dosis 100 ppm
terjadi pada waktu 1.192 menit, pada perlakuan B dengan dosis 200 ppm terjadi
dalam 1.213 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300 ppm terjadi dalam 1.358
menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi dalam 1.376 menit.
dengan terbentuknya kepala, mata, notochord dan somit yang masih terlihat
transparan. Selanjutnya diikuti dengan terlihat jantung yang mulai berdetak dan
terbentuknya badan, ekor serta tengkorak kepala. Pada stadia ini di dalam sel
telur, embrio sudah mulai bergerak. Terlihat ruang perivitelin juga semakin sempit
Kepala
Notochord
Ekor Somit
38
Telur yang menetas terjadi akibat menipisnya lapisan chorion, sehingga
embrio keluar dari cangkang (Gambar 18). Pada perlakuan K dengan dosis 0
ppm terjadi pada kurun waktu 3.011 menit setelah pembuahan, pada perlakuan A
dengan dosis 100 ppm terjadi pada waktu 3.443 menit, pada perlakuan B dengan
dosis 200 ppm terjadi dalam 3.473 menit, pada perlakuan C dengan dosis 300
ppm terjadi dalam 3.571 menit, pada perlakuan D dengan dosis 400 ppm terjadi
dalam 3.731 menit. Pada saat telur akan menetas, embrio sering mengubah
akan lembek semakin lama akan pecah. Gusrina (2014), juga menambahkan
Penetasan telur terjadi apabila embrio telah menjadi lebih panjang daripada
lingkaran kuning telur dan telah berbentuk sirip ekor. Hal ini sesuai dengan yang
sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya. Pada
menjauhi kuning telur di dalam khorion hingga lapisan khorion menjadi lembek
hingga pecah.
Ekor
Kepala
Mata
Kuning Telur
perlakuan A yaitu dengan dosis tembakau rokok sebesar 100 ppm. Selanjutnya
39
pada perlakuan B, C, dan D masing-masing memiliki dosis sebesar 200 ppm,
300 ppm, dan 400 ppm. Pada dosis 400 ppm terlihat jelas bahwa larva
kecacatan pada saat berkembang terdapat pada tulang yang bengkok lordosis.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 19. Larva Ikan Zebra yang mengalami lordosis (a) dosis
tembakau rokok 100 ppm, (b) dosis tembakau rokok 200
ppm, (c) dosis tembakau rokok 300 ppm, (d) dosis
tembakau rokok 400 ppm.
pengaruh racun yang dalam hal ini nikotin, sehingga menghambat embrio untuk
Pada perlakuan A sebesar 25%, B sebesar 30%, C sebesar 20%, dan D sebesar
20%. Menurut Wirawan (2005), embrio sangat rentan terhadap adanya bahan
penetasan dimana kulit telur mulai pecah, kemudian setelah menetas. Pada
40
tahap ini akan menyebabkan tingginya mortalitas dan bertambahnya larva cacat
1 Telur setelah
terfertilisasi
2 Zigot
3 Pembelahan 1
(2 sel)
4 Pembelahan 2
(4 sel)
5 Pembelahan 3
(8 sel)
41
6 Pembelahan 4
(16 sel)
7 Morula (64-128
sel)
8 Blastula
9 Gastrula
10 Neurula
11 Organogenesis
12 Menetas
42
4.2 Pengaruh Nikotin Terhadap Lama Penetasan Telur Ikan Zebra
masing perkembangan embrio seperti yang dilihat pada Gambar 20. Lama
penetasan embrio, yaitu semakin tinggi dosis tembakau rokok maka semakin
rokok menjadi lebih lama embrio menetas. Telur ikan zebra dapat dikatakan
menetas ketika embrio yang berada di dalam telur telah keluar dari cangkang
telur, hal ini dikarenakan ketika terjadi pergerakan embrio sebelum menetas telah
43
terhadap penetasan telur ikan zebra. Dosis yang diberikan besar kecilnya juga
Total 863.70
dikarenakan memiliki dosis tembakau rokok yang lebih tinggi yaitu 400 ppm
nikotin yang termasuk dalam golongan pestisida memiliki sifat toksik atau
berkembang dan menetas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Liem (2010), nikotin
44
Data hasil penelitian dilakukan uji kenormalitasan data dengan SPSS.
Hasil uji kenormalitasan data daya tetas telur menyatakan data normal dan dapat
dilihat pada lampiran 3. Hasil uji kenormalitasan data lama penesatan telur
menyatakan data normal. Berdasarkan analisa sidik ragam daya tetas telur Ikan
Total 14 214,05
bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penetasan telur ikan zebra.
Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada penelitian ini
adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT
Tabel 5. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Lama Penetasan Telur Ikan
Zebra
45
Tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan D merupakan perlakuan
yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap lama penetasan telur ikan
zebra. Hal ini dikarenakan pada perlakuan D memiliki dosis tembakau rokok yang
tinggi yakni 400 ppm yang mengakibatkan lamanya penetasan telur. Sedangkan
penetasan telur tercepat pada perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm.
pengaruh yang sangat nyata terhadap lama waktu penetasan telur ikan zebra,
media penetasan yang berbeda terhadap lama penetasan telur ikan zebra. Untuk
lebih jelasnya mengenai hasil analisa polinomial ortogonal dapat dilihat pada
Lampiran 3. Grafik regresi lama penetasan telur ikan zebra disajikan pada
Gambar 21.
70
60
Waktu Penetasan (jam)
50 y = 52.761 + 0.0241x
R² = 0.8138
40
30
20
10
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)
penetasan telur terhadap lama penetasan telur ikan zebra pada gambar diatas
46
perhitungan sidik ragam, uji BNT dan polinomial orthogonal secara lengkap dapat
terhadap lama penetasan telur ikan zebra. Dalam perhitungan analisa regresi,
perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm memiliki hasil terbaik dalam
bahkan dapat merusak dan mematikan telur sebelum menetas. Hal ini dapat
Menurut Thomson (1971), besar kecilnya toksisitas pestisida satu dengan yang
lainnya berbeda-beda tergantung dari bahan aktif yang terkandung, ukuran dan
kondisi ikan uji, kualitas media uji, dosis pemberian serta lamanya waktu
terkontaminasi.
Ulangan
Perlakuan Total Rerata (%)
1 2 3
K 100% 100% 100% 300 100%
A 80% 85% 80% 245 82%
B 75% 100% 100% 275 92%
C 90% 65% 85% 240 80%
D 5% 30% 0% 35 12%
Total 1.095
menghasilkan hasil terbaik adalah perlakuan K karena memiliki nilai rata – rata
47
keberhasilan selama penelitian yakni 100%. Selanjutnya diikuti perlakuan B dan
A dengan nilai rata – rata keberhasilan selama penelitian yakni 91,67% dan
81,67%. Pada perlakuan D penetasan telur ikan zebra cukup rendah dikarenakan
memiliki dosis tembakau rokok yang lebih tinggi yaitu 400 ppm jika dibandingkan
dengan perlakuan yang lain. Dosis yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi
kestabilan kerja dari enzim yang berada di dalam telur, sehingga menyebabkan
tembakau rokok dengan konsentrasi yang melebihi dari kemampuan ikan untuk
Telur ikan zebra dapat dikatakan menetas ketika embrio yang berada di
dalam telur telah keluar dari cangkang telur, hal ini dikarenakan ketika terjadi
Hatching Rate
120.00
Rerata Daya Tetas (%)
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
K (0 ppm) A (100 ppm) B (200 ppm) C (300 ppm) D (400 ppm)
Hatching Rate 100.00 81.67 91.67 80.00 11.67
Berdasarkan data di atas dapat diketahui hubungan nilai daya tetas telur
ikan zebra dengan pengaruh dosis tembakau rokok yang berbeda. Dari data
48
tabel 6 diatas maka dapat dilihat perlakuan yang menghasilkan data terbaik
menghasilkan daya tetas telur yang paling besar yaitu sebanyak 100%.
Sedangkan daya tetas telur paling rendah yaitu pada perlakuan D dengan dosis
tembakau rokok 400 ppm sebesar 11,67%. Hal ini disebabkan karna banyaknya
telur yang mati atau rusak sebelum menetas yang menyebabkan daya tetas telur
sangat rendah. Semakin tinggi dosis maka semakin banyak telur yang tidak
terlebih dahulu data tersebut dilakukan uji kenormalan data. Hasil uji
kenormalitasan data daya tetas telur menyatakan data normal dan dapat dilihat
pada lampiran 4. Berdasarkan analisa sidik ragam daya tetas telur ikan zebra
Total 14 16190
bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penetasan telur ikan zebra.
Embrio merupakan fase awal dari kehidupan dimana sangat dipengaruhi oleh
penelitian ini adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
49
Tabel 8. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Daya Tetas Telur Ikan Zebra
D 11,67 0,00 a
yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap daya tetas telur ikan
zebra. Hal ini dikarenakan pada perlakuan C memiliki dosis tembakau rokok
lethal yakni 300 ppm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaffar (2010), Median
Lethal Concentration (LC50) pada tembakau rokok terhadap ikan berada pada
dosis 200-300 ppm dan waktu pemaparan selama 96 jam. Pada dosis 300 ppm,
terjadi banyak kerusakan dan kematian sel dalam telur sehingga telur mati
sebelum waktunya menetas. Kematian telur terjadi sekitar 50%. Sedangkan pada
dosis 400 ppm, terdapat banyak telur yang rusak dan mati sebelum menetas
sehingga presentase daya tetas telur sebesar 11,67%. Hal ini sangat berbeda
oleh lingkungan. Bila lingkungan buruk atau terdapat zat toksik maka bisa
(1978), yang menyatakan bahwa saat tahap perkembangan embrio yang sedang
telur akan mengalami kekurangan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang yang
50
menyebabkan telur rusak dan mati sebelum menetas. Setelah dilakukan uji BNT
paparan dosis tembakau rokok yang berbeda terhadap daya tetas telur ikan
zebra. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil analisa polinomial ortogonal dapat
dilihat pada Lampiran 4. Grafik regresi daya tetas telur ikan zebra disajikan pada
Gambar 23.
120.00
y = 108.67 - 0.1783x
100.00
R² = 0.5893
Hatching Rate (%)
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)
ragam, uji BNT dan polinomial orthogonal secara lengkap dapat dilihat pada
dilihat pada Lampiran 4. Uji normalitas dilakukan untuk menguji kenormalan data.
51
Tabel 9. Frekuensi Denyut Jantung Larva Ikan Zebra
Ulangan Rata-Rata
Perlakuan Total
1 2 3 (denyut/menit)
A (Kontrol) 132 138 134 404 135
B (100 ppm) 160 155 162 477 159
C (200 ppm) 168 170 165 503 168
D (300 ppm) 172 175 173 520 173
E (400 ppm) 195 202 205 602 201
Total 2.506
tembakau rokok yang paling tinggi yaitu 400 ppm memiliki denyut jantung yang
dengan dosis 300 ppm, 200 ppm, dan 100 ppm dengan denyut jantung sebesar
dengan dosis tembakau rokok 0 ppm didapatkan denyut jantung sebesar 134,67
kapasistas kardiorespirasi.
aliran darah adalah peningkatan pulsasi denyut jantung dan tekanan darah.
52
media hidupnya tercemar oleh racun sehingga denyut jantung meningkat dan
metabolisme.
jantung. Dengan diberikan paparan tembakau rokok yang bersifat toksik dan
termasuk pestisida, frekuensi denyut jantung ikan zebra menjadi lebih cepat 20x
jantung larva ikan zebra pada masing – masing perlakuan dapat dilihat pada
Gambar 24.
Denyut Jantung
250.00
Rerata Denyut Jantung (/menit)
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
K (0 ppm) A (100 ppm) B (200 ppm) C (300 ppm) D (400 ppm)
Series1 134.67 159.00 167.67 173.33 200.67
larva ikan zebra dengan dosis tembakau rokok yang berbeda. Dari data tabel 9
diatas maka dapat dilihat perlakuan yang menghasilkan data terbaik adalah
terlebih dahulu data tersebut dilakukan uji kenormalan data. Hasil uji dapat dilihat
pada lampiran 5. Berdasarkan analisa sidik ragam denyut jantung ikan zebra
53
Tabel 10. Data Sidik Ragam Denyut Jantung Ikan Zebra
Total 14 6964,93
bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap denyut jantung ikan zebra.
Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada penelitian ini
adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT
Tabel 11. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Denyut Jantung Larva Ikan Zebra
K 134,67 0,00 a
yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap denyut jantung ikan zebra.
Hal ini dikarenakan pada perlakuan D memiliki dosis tembakau rokok yang tinggi
yakni 400 ppm yang mengakibatkan denyut jantung ikan zebra sangat cepat. Hal
54
ini sesuai dengan pernyataan Fukho et al. (2015), jantung akan berkerja lebih
darah lebih banyak lagi. Sehingga dapat mempercepat denyut jantung bahkan
pengaruh yang sangat nyata terhadap frekuensi denyut jantung ikan zebra,
rokok yang berbeda terhadap denyut jantung ikan zebra. Untuk lebih jelasnya
mengenai hasil analisa polinomial ortogonal dapat dilihat pada Lampiran 5. Grafik
250.00
Denyut Jantung (Denyut/menit)
200.00
y = 137.8 + 0.1463x
150.00
R² = 0.92234
100.00
50.00
0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)
frekuensi denyut jantung pada gambar diatas dapat diketahui bahwa pola grafik
(koefisien determinasi) = 0,92. Nilai perhitungan sidik ragam, uji BNT dan
55
4.5 Fluktuasi Konsumsi DO Ikan Zebra
Ulangan Rerata
Perlakuan Total
1 2 3 (ppm)
A 0,07 0,06 0,13 0,26 0,09
B 0,55 0,77 0,76 2,08 0,69
C 0,84 0,81 0,83 2,48 0,83
D 0,93 0,91 0,96 2,80 0,93
E 1,03 1,05 1,11 3,19 1,06
Total 10,81
tembakau rokok yang paling tinggi yaitu 400 ppm membutuhkan konsumsi
dengan dosis 300 ppm, 200 ppm, dan 100 ppm yang membutuhkan konsumsi
oksigen sebesar 0,93 ppm, 0,83 ppm, dan 0,69 ppm. Pada perlakuan K dengan
0,09 ppm. Jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain, maka ikan zebra yang
terpapar tembakau rokok dengan dosis 400 ppm membutuhkan lebih banyak
mengikat oksigen semakin kecil akibat keracunan bahan toksik, dimana akibat
oleh racun akan membuat ikan meningkatkan energi untuk mengeluarkan racun
dalam tubuh dan beradaptasi terhadap air media yang terkontaminasi. Pada
proses peningkatan energi, ikan akan membutuhkan oksigen terlarut yang lebih
56
Fluktuasi Konsumsi DO
1.20
1.00
Fluktuasi Oksigen (ppm)
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
K (0 ppm) A (100 ppm) B (200 ppm) C (300 ppm) D (400 ppm)
Series1 0.09 0.69 0.83 0.93 1.06
DO ikan zebra dengan pengaruh dosis tembakau rokok yang berbeda. Dari data
tabel 12 diatas maka dapat dilihat perlakuan yang menghasilkan data terbaik
adalah perlakuan K dengan dosis tembakau rokok 0 ppm. Hal ini bisa sebagai
indikasi adanya tingkat stress pada perlakuan tembakau rokok dengan dosis
tinggi. Menurut Royan et al. (2014), berbagai sumber stres baik berupa faktor
seimbangan.
terlebih dahulu data tersebut dilakukan uji kenormalan data dengan SPSS. Hasil
57
Tabel 13. Data Sidik Ragam Fluktuasi Konsumsi DO
Total 14 1,77
bahwa F hitung lebih besar daripada F tabel 5% dan F tabel 1%. Hal ini
oksigen adalah parameter fisiologis yang penting untuk menilai toksisitas racun.
Dengan demikian menunjukkan bahwa hipotesis yang diterima pada penelitian ini
adalah H1. Selanjutnya dilakukan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil uji BNT
Tabel 14. Hasil Uji Beda Nyata (BNT) Konsumsi DO Ikan Zebra
K 0,09 0,00 a
58
Tabel uji BNT diatas diketahui bahwa perlakuan A dengan dosis 100 ppm
terhadap fluktuasi konsumsi DO tetapi tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan
molekul yang merebut sisi aktif dari enzim yang bekerja pada daerah sinap.
bernafas lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang tidak diberikan perlakuan
atau ikan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi
kebutuhan oksigen bisa sebagai indikasi tingkat metabolisme dalam tubuh yang
pengaruh yang sangat nyata terhadap konsumsi oksigen ikan zebra, kemudian
konsumsi oksigen ikan zebra. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil analisa
59
polinomial ortogonal dapat dilihat pada Lampiran 6. Grafik regresi konsumsi DO
1.40
1.20
Fluktuasi DO (ppm)
1.00
y = 0.282 + 0.0022x
0.80 R² = 0.81598
0.60
0.40
0.20
0.00
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Perlakuan Dosis (ppm)
nilai R (koefisien determinasi) = 0,81. Nilai perhitungan sidik ragam, uji BNT dan
4.6.1 Suhu
60
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Data yang diperoleh selama
pengamatan pada media inkubasi dapat dikatakan bahwa nilai suhu masih dalam
4.6.2 pH
inkubasi disajikan pada Lampiran 7. Dari data tersebut di ketahui kadar pH cukup
ikan zebra berkisar 6-8. Hal ini sesuai dengan pendapat Piranti (2016), nilai pH
yang dibutuhkan ikan hias air tawar yakni 6,5 – 8,5 dan nilai DO yang dibutuhkan
Selama proses perkembangan embrio salah satu faktor luar lainnya yang
ppm – 5,15 ppm. Dari data tersebut dapat diketahui tidak terlalu baik untuk
perkembangan embrio ikan zebra. Data oksigen terlarut pada media inkubasi
Tatangindatu et al. (2013), kisaran oksigen terlarut untuk budidaya ikan adalah
61