II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gambaran Umum Tentang Pajak
II.1.1 Pengertian Pajak
Menurut (UU No. 28 Tahun 2007)[1] Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Soemitro dalam Mardiasmo(2016)[2] mengenai pengertian pajak
adalah sebagai berikut:
“pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.”
II-1
II-2
1. Menurut Golongan
Pajak dikelompokkan menjadi dua:
a. Pajak Langsung, pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang
lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh
pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung
terjadi jika terdapat suatu kegiatan., peristiwa, atau perbuatan yang
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang
atau jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Subjektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan
pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan
subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Objektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik
berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan
timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan
pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
II-3
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah
tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak
kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
masing-masing.
Contoh: Pajak kendaraan bermotor.
II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2016)[2], sistem pemungutan pajak dibagi menjadi
tiga sistem yaitu sebagai
1) Official Assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
2) Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3) With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
II-4
II.1.6 Dasar Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak yang harus memenuh persyaratan yang telah diuraikan
juga didukung oleh beberapa teori dalam pemungutan pajak. Adapun teori dalam
pemungutan
pajak menurut Mardiasmo (2016)[2], yaitu:
1. Teori Asuransi
Menurut teori asuransi, Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda,
dan hak rakyatnya. Teori ini mendasari bahwa pajak diibaratkan sebuah
prem asuransi dengan timbal balik jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
II-5
II.1.7 Azas-azas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau orang pribadi
atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
Negara
tersebut, tentu saja harus ada ketentuan yang mengaturnya.
Azas yang dapat digunakan oleh Negara sebagai azas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak. Azas utama yang paling sering digunakan
oleh Negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak menurut Sumarsan
(2013)[4], yaitu:
1. Azas Domisili atau Kependudukan
Negara akan mengenakan pajak atau suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan tersebut merupakan penduduk atau
berdomisili di Negara itu. Azas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
2. Azas Sumber
Negara yang menganut azas sumber akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima
oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang
berada di Negara tersebut, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara tersebut.
3. Azas Nasionalisasi atau Kebangsaan
Dalam azas ini yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status
kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.
Dalam azas ini, tidak akan diperhatikan sumber penghasilan tersebut.
II-6
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan” Lumbatoruan
(1996)[5].
Tujuan manajemen pajak dapat dbagi menjadi dua, yaitu:
1. Menerapkan peraturan perpajakn dengan benar.
2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
Disamping itu, tujuan manajemen pajak dapat dicapa melalui fungsi-sungsi
manajemen pajak yang terdiri dari:
1. Perencanaan pajak (tax planning)
2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)
3. Pengendalian pajak (tax control)
II.1.8.1 Perencanaan Pajak
Zain (2007)[6], secara garis besar, perencanaan pajak (tax planning) adalah
proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian
rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya,
berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.
Adapun pengertian perencanaan pajak (tax planning) menurut Nur Hidayat
dalam artikel Tax Planing Bukan Untuk Hindari Pajak (2005)[7] menyebutkan
bahwa: “Perencanaan pajak ( tax planning) adalah upaya menekan jumlah
kewajiban pajak dengan cara legal”.
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak
adalah upaya untuk mengatur pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban
pajak dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak
minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak atau
penghindaran pajak, bukan karena penyeludupan pajak yang tidak berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan perpajakan.
II-7
II.1.8.2 Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Versus Penyeludupan Pajak
(Tax Evasion)
Zain (2007)[6], penghindaran pajak yang juga disebut sebagai tax planning,
adalah
proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan
pajak
yang tidak dikehendai. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang benar-
benar legal.
Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyeludupan
pajak mempunyai sasaran yang sama, yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi
cara penyeludupan pajak jelas-jelas merupakan perbuatan elegal dalam usaha
mengurangi
beban pajak tersebut.
Menurut Balter dalam Zain (2007)[6], penyeludupan pajak mengandung arti
sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak – apakah berhasil atau tidak – untuk
mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan
yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan.
Pengertian penyeludupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan
penggelapan saja, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan
yang disebabken oleh:
a. ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu
akan adanya ketentuan perundang-undangan perpajakan tersebut.
b. kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai
ketentuan peraturan perundang-undngan perpajakan, tetapi salah hitung
datanya.
c. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
d. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku
beserta bukti-buktinya secara lengkap.
II-8
dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya
sehingga penghasilannya menjadi kecil dan terhindar dari pengenaan pajak
penghasilan yang besar. Dalam hal ini, aparat perpajakan tidak dapat berbuat apa-
apa, karena hal tersebut berada di luar ruang lingkup pemajakan.
II.1.8.4 Jenis-jenis Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak tidak hanya dilakukan di Indonesia saja, karena kadang-
kadang perusahaan juga harus berhubungan dengan negara di luar Indonesia untuk
menjalankan
kegiatan perusahaannya. Untuk itu sebelum melakukan peruncanaan
pajak
seorang perencana pajak harus mengetahui jenis-jenis perencanaan pajak
terlebih dahulu.
Menurut Suandy (2006)[8] jenis-jenis perencanaan pajak dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Perencanaan pajak nasional (national tax planning)
2. Perencanaan pajak internasional (international tax planning)
Dari kedua jenis perencanaan pajak tersebut terdapat perbedaan yang
melekat antara perencanaan pajak nasional dan internasional, yaitu terletak pada
peraturan pajak yang akan digunakan. Dalam perencanaan pajak internasional
disamping undang-undang domestik juga harus memperhatikan perjanjian pajak
dan undang-undang dari negara-negara yang terlibat.
II-9
Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-
masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total
pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling
efisien. Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya,
penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain diluar
pajak yang mungkin terjadi. Untuk manajer perpajakaan harus
memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal, yakni:
1) Faktor yang relevan
Dalam arus globalisasi dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi,
II-10
1) Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau
hubungan internasional.
2) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau
menjadi residen dari negara tersebut.
3) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak.
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil
dari seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu
dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu
II-11
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Direktorat
Jenderal Pajak, 2008)[9], Pajak Penghasilam adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
II.2.2 Subjek Pajak
II-12
Pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD.
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat
atau pemerintah daerah.
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara.
c. Subjek Pajak warisan, yaitu
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak.
2) Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari :
a Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia.
b Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia.
Perbedaan Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri, antara lain
adalah:
Table II.1 Perbedaan Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri
Dikenakan pajak atas Dikenakan pajak hanya atas
penghasilan baik yang diterima penghasilan yang berasal dari
atau diperoleh dari Indonesia dan sumber penghasilan di Indonesia
dari luar indonesia.
Dikenakan pajak berdasarkan Dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan netto. penghasilan bruto
II-13
Tarif pajak yang digunakan Tarif pajak yang digunakan
adalah tarif umum (tariff UU adalah tarif sepadan (tarif UU
PPh pasal 17) PPh pasal 26)
Wajib menyampaikan SPT Tidak wajib menyampaikan
SPT.
II.2.3 Objek Pajak Penghasilan
Menurut Mardiasmo (2016)[2], Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau utnuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
1. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, grafitasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
II-14
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang
II-15
b. Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen
paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut
7. Iuran yang diterima atau dana pensiun
8. Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
9. Bagian laba yang diterima
10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal berupa laba
11. Beasiswa
12. Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
13. Bantuan atau santunan
II.2.3.2 Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).
2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan
oleh BUT di Indonesia (penghitungan berdasarkan pendekatan force of
attraction). Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat
di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan
yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
3. Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa
(imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan,
pensiunan/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat
(wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan tersebut.
II-16
II.3 Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
II.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan Peraturan
Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 (2015)[10] adalah pajak atas
penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
II.3.2 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21
II-17
a. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa dan / atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, bukan utuk dan atas nama persekutuannya.
b. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain seebagai imbalan
sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status subjek pajak luar negeri.
c. Honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,
II-18
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pemberian jasa, meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas
pengacara,akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris.
b. Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
II-19
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan
olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
perlombaan lainnya.
b. Peserta rapat, konfesensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitian sebagai penyelenggaraan
kegiatan tertentu.
d. Peserta pendidikan dan pelatihan
e. Peserta kegiatan lainnya.
II.3.4
Tidak Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
Menurut Resmi (2015)[3] yang dimaksud tidak termasuk dalam pengertian
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
II.3.5 Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 (Objek PPh Pasal 21)
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 menurut Resmi (2015)[3] adalah sebagai
berikut:
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima Pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan atau penghasilan sejenisnya.
II-20
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan
secara bulanan.
4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan.
5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadia atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun.
6. Penghsilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannyya
melewati jangka waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja.
7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawasa yanag tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan
yang sama.
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan
lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai.
9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta rogram pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendirinya
telah disahkan oleh menteri keuangan.
10. Semua jenis penghasilan no. 1 s.d. 9 yang diterima dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final, atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Dalam hal penghasilan tersebut diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri merupakan
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
II-21
II.3.6 Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 Final
Menurut Resmi (2015)[3] PPh bersifat final, artinya bahwa seluruh pajak
yang telah dipotong/dipungut oleh pihak pemotong/pemungut dianggap final (telah
selesai)
tanpa harus menunggu perhitungan dari pihak fiskus, atau dapat dikatakan
bahwa
pajak yang telah dipotong atau dibayar dianggap telah selesai
penghitungannya walaupun surat ketetapan pajak belum ada. Dalam pengertian
yang lebih spesfik, pemungutan PPh bersifat final berarti jumlah pajak yang telah
dibayarkan dalam tahun berjalan melalui pemotongan (oleh pemberi kerja atau
pemotong
yang lain) tidak dapat dikreditkan dari total PPh yang terutang pada akhir
suatu
tahun saat mengisi Surat Pemberitahuan (SPT).
Beberapa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat final
adalah:
1. Penghasilan berupa uang pesangon yang dibayar sekaligus oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Penghasilan berupa uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3. Penghasilan berupa honorarium, uang perangsang, uang siding, uang hadir,
uang lembur, imbalan prestasi kerja, dan imbalan lain dengan nama apa pun
yang diterima oleh pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota
TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari keuangan Negara atau
keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil
golongan II/d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu
Letnan Satu ke bawah dan Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.
II-22
yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah.
2. PPh atas penghasilan pekerja pada kategori usaha tertentu.
II.3.8
Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21 (Bukan Objek PPh
Pasal 21)
Resmi (2015)[3] mengatakan tidak termasuk penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 21 (bukan Objek PPh Pasal 21) adalah:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
II-23
fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang
diambil, pembelian buku, dan biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah
lokasi tempat belajar.
II.3.9
Tarif Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Menurut Mardiasmo (2016)[2], terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Table II.2 Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan 50 juta 5%
50 juta sampai dengan 250 juta 15%
250 juta sampai dengan 500 juta 25%
Diatas 500 juta 30%
II-24
II.3.10 Perhitungan PTKP
Menurut aturan PMK Nomor 101/PMK.010/2016 [11], berikut adalah
PTKP untuk 2016 :
1. Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)
Table II.3 Tidak Kawin (TK)
Uraian Status PTKP
Wajib Pajak TK0 54.000.000,-
Tanggungan 1 TK1 58.500.000,-
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,-
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,-
2. Wajib Pajak Kawin
Table II.4 Wajib Pajak Kawin
Uraian Status PTKP
WP Kawin K0 58.500.000,-
Tanggungan 1 K1 63.000.000,-
Tanggungan 2 K2 67.500.000,-
Tanggungan 3 K3 72.000.000,-
Table II.5 Wajib Pajak Kawin, Penghasilan Istri dan Suami digabung
Uraian Status PTKP
WP Kawin K/I/0 112.500.000,-
Tanggungan 1 K/I/1 117.000.000,-
Tanggungan 2 K/I/2 121.500.000,-
Tanggungan 3 K/I/3 126.000.000,-
Catatan:
Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
TK : Tidak Kawin
K : Kawin
K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung
II-25
3. Hitung pengurang lainnya seperti : Tunjangan Biaya Jabatan 5% & Iuran
Pensiun 5% dari penghasilan bruto, catatan: Tunjangan Biaya Jabatan
Maksimal Rp. 6 juta per tahun, dan Tunjangan Iuran Pensiun maksimal 2,4
juta per tahun.
4. Hitung Penghasilan netto Anda : Penghasilan Bruto – PTKP – Iuran Jabatan
& Pensiun.
5. Kalikan Penghasilan Netto dengan tarif Pajak Penghasilan yang berlaku.
II.3.12 Rekonsiliasi Objek PPh Pasal 21
Pohan (2013)[12], Untuk menyakinkan bahwa atas seluruh objek PPh Pasal
21 telah dipotong pajaknya, perlu dlakukan rekonsiliasi antara data laporan
keuangan, baik yang berasal dari akun neraca maupun akun biaya. Jika
penghitungan PPh pasal 21 dilakukan oleh bagian SDM, maka rekonsiliasi juga
harus dilakukan data SDM (seperti payroll) dengan data yang ada di bagian
akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar0. Rekonsiliasi ini angat
berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh
objek PPh pasal 21 telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan mempermudah
wajib pajak ketika diperiska oleh petugas pajak nantinya.
II-26
II.3.13 Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21
Menurut Pohan (2013)[12], prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip
yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat dikenai pajak
penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang
dapat/tidak
dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya:
jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/peghasilan dapt dibiayakan
(pengurang penghasilan bruto), maka pada phak karyawannya merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan
pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada
pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
pihak
Table II.6 Prinsip Taxability Deductibility Mengenai Imbalan (Natur/Uang)
Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi Perlakuan PPh Ps.21 Bagi
Perusahaan/pemberi kerja penerima
Imbalan dalam Deductible Taxable
bentu uang
Imbalan dalam Non Deductible Non taxable
bentuk natura
II-27
No. Objek Pajak Tarif Sifat
4. Upah yg diterima oleh tenaga
kerja lepas berupa upah
harian/mingguan/satuan/borongan
dan uang saku harian:
a. Upah/uang saku harian atau 0% Tidak teruatang
rata-rata upah/aung saku tidak PPh Pasal 21
> Rp.200.000 dan jumlah
komulatif dlm satu bulan kalender
tidak > Rp.2.025.000.
b. upah/uang saku harian atau 5% (upah/uang saku
rata-rata upah/uang saku tidak > harian atau rata-rata
Rp.200.000, dan jumlah upah/uang saku
kumulatif dlm satu bulan kalender harian-Rp.200.000)
tidak > Rp.2.025.000
c. upah komulatif dalam bulan 5% (Upah/uang saku
kalender > Rp. 2.025.000 dan < harian atau rata-rata
Rp. 7 jt upah/uang saku
harian –PTKP
sebenernya/360)
d. penghasilan kumulatif dlm satu Pasal PKP disetahunkan
bulan kalender > Rp 7 juta 17 UU = (PB disetahunkan
PPh –PTKP setahun)
5. Honorarium yang diterima dewan Pasal Penghasilan bruto
komisaris/pengawas yg tidak 17 UU kumulatif satu
merangkap sebagai pegawai tetap PPh tahun kalender
6. Jasa Pasal Penghasilan bruto
produksi,tantiem,gratifikasi,bonus 17 UU kumulatif satu
yang diterima mantan pegawai PPh tahun kalender
7. Penarikan dana pada dana pensiun Pasal Penghasilan bruto
oleh pensiunan 17 UU kumulatif satu
PPh tahun kalender
8. Honorarium dan pembayaran lain Pasal Penghasilan bruto
yg diterima oleh tenaga ahli 17 UU kumulatif satu
(pengacara,akuntan,arsitek,dokter, PPh tahun kalender
konsultan,notaris penilai, dan
aktuaris) sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan
9. Imbalan yg sifatnya
berkesinambungan yg diterima
II-28
Objek Pajak
No. Tarif Sifat
oleh orang pribadi dalam negeri
bukan pegawai selain tenaga ahli:
a. Bagi yg telah memiliki NPWP Pasal PKP=PB-PTKP per
dan hanya menerima 17 UU bulan
penghasilan dari pemotong PPh
pajak ybs.
b. bagi yg tidak memiliki NPWP Pasal Penghasilan bruto
atau menerima penghasilan dari 17 UU kumulatif satu
selain pemotong pajak ybs. PPh tahun kalender
10. Imbalan yg tidak bersifat Pasal Penghasilan bruto
berkesinambungan yg diterima 17 UU
oleh orang pribadi dalam negeri PPh
bukan pegawai selain tenaga ahli
11. Penghasilan yg diterima peserta Pasal Penghasilan bruto
kegiatan 17 UU untuk setiap
PPh pembayaran utuh
12. Uang tebusan pensiun, uang
THT/JHT, pesangon, uang
THT/JHT, pesangon yg diterima
pegawai/mantan
a. Rp. 0 jt s.d Rp. 50 jt 0% Penghasilan bruto Final
b. > Rp. 50 jt s.d Rp. 100 jt 5% Penghasilan bruto Final
c. > Rp. 100 jt s.d Rp. 500 jt 15% Penghasilan bruto Final
d. > Rp. 500 jt 25% Penghasilan bruto Final
13. Honorarium yang dananya dari 15% Penghasilan bruto Final
keuangan Negara/daerah yg
diterima oleh pejabat Negara,
PNS, anggota TNI/Polri, kecuali
PNS gol II/d ke bawah atau
anggota pembantu Letnan Satu
atau Ajun Inspektur Tingkat Satu
ke bawah
14. Penghasilan ari pekerjaan, jasa, Pasal PKP=(PB- (BJ+IP)-
dan kegioatan yang diterima oleh 17 UU PTKP
tenaga kerja asing (expatriate) PPh
II-29
Table II.8 Daftar Biaya Fiskal
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
1. Biaya untuk
dikelusrkan untuk
mendapatkan,
menagih, dan
memelihara
penghasilan
- Prinsip realisasi D Pasal 28 UU KUP
- Konservatis/Penyis ND Pasal 28 UU KUP
ihan
2. Biaya yg ND
dikeluarkan untuk
mendapatkan,menag
ih, dan memelihara
penghasilan yang
bukan objek pajak
atau pengenaan
PPh-nya fiskal
3. Gaji/upah D Objek PPh Pasal 6 huruf a UU
Ps 21 PPh
4. Tunjangan PPh Ps D Objek PPh Per-31/Pj./2012
21 Ps 21
5. PPh dibayar ND Pasal 9 huruf h UU
perusahaan PPh Per-31/PJ./2012
6. Premi asuransi jiwa D Objek PPh Pasal 9 huruf d UU
pegawai dibayar Pasal 21 PPh
perusahaan
sepanjang
menambah
penghasilan pegawai
7. Premi asuransi jiwa ND Pasal 9 huruf j UU
pemilik/pemegng PPh
saham
8. Iuran jamsostek PP No. 14 th 1993
II-30
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
II-31
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
II-32
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
UU No. 36 tahun
2008
- Tempat D PMK No.
tinggal/perumahaa 83/PMK.03/2009
n pegawai PER 51/PJ/2009 dan
sepanjang fasilitas Psl. 9 ayat 1 huruf e
tersebut tidak UU No. 36 tahun
tersedia 2008
- Pelayanan D PMK No.
kesehatan 83/PMK.03/2009
II-33
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
II-34
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
II-35
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
merupakan PPh
pasal 25 dibayar
dengan SSP, ditulis
nama pegawai q.q.
nama perusahaan
dengan npwp
perusahaan atau
ddengan tanda
bukti FLN
f. Biaya ND Pasal 9 huruf e UU
piknik/rekreasi PPh
20. Bonus atas prestasi D Objek PPh Per-31/PJ./2012
kerja yang Ps 21
dibebankan pada
tahun berjalan
21. Biaya seminar, D Pasal 6 ayat (1) UU
penataran, kursus PPh
(pendidikan) di
dalam negeri
22. Honor/uang saku D Objek PPh Pasal 6 ayat (1) UU
pegawai yang Ps 21 PPh
mengikuti seminar
dsb
23. Bea siswa: Per-31/PJ./2012; dan
PMK.No.246/PMK.0
3/2008 jo
PMK.No.154/PMK.0
3/2009
a. Penerima beasiswa Objek PPh
tida mempunyai Ps 21
hubungan istimewa
dengan
pemilik,komisaris,
II-36
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
a. direksi, atau D
pengurus, dari
wajib pajak
pemberi beasiswa
b. Penerima beasiswa ND
mempunyai
hubungan istimewa
dengan pemilik,
komisaris, direksi,
atau pengurus dari
wajib pajak
pemberi beasiswa
24. Sumbangan ke D Objek PPh Penjelasan Pasal 6
karyawan dalam Ps 21 ayat (1) huruf a UU
bentuk uang PPh
25. Kendaraan Pasal 6 ayat (1) huruf
perusahaan yang b UU PPh
dibawa pulang dan
dikuasai pegawai:
a. Penyusutan ND
b. Biaya ND
reparasi/pemelihara
n
c. Bahan bakar/oli ND
dsb
26. Perumahan Penjelasan Pasal 6
perusahaan dan ayat (1) huruf a UU
srama: PPh jo penjelasan
pasal 6 ayat (1) huruf
a UU PPh
a. Pegawai yang
menempati tidak
diberi tunjangan
perumahan
II-37
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
- Penyusutan rumah ND
- Biaya eksploitasi ND
rumah
Pegawai yg
menempati diberi
tunjangan perumahan
minimal sebesar
biaya penyusutan dan
biaya eksploitasi:
- Tunjangan D Objek PPh
perumahan Ps 21
- Biaya penyusutran D Objek PPh
rumah Ps 21
- Biaya eksploitasi D Objek PPh
rumah Ps 21
27. Mess untuk transit,
pendidikan
(sementara):
a. Biaya penyusutan D
b. Biaya eksploitasi D
28. Sewa rumah pegawai ND Objek PPh Pasal 9 huruf e UU
yang tidak diberi Ps 21 PPh
tunjangan sewa
minimal sebesar sewa
rumah tersebut
29. PPh sewa rumah ND Penjelasan Pasal 6
dibayar perusahaan ayat (1) huruf a UU
PPh
30. Diberikan uang sewa D Objek PPh Penjelasan Pasal 6
rumah Ps 21 ayat (1) huruf a UU
PPh
31. Uang pesangon D Objek PPh
Ps 21
II-38
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
II-39
No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
3. Tunjangan yang Deductible Taxable
diberikan dalam
bentuk uang
4. Honorarium yang Deductible Taxable
diterima dewan
komisaris/pengawas
yg tidak merangkap
sebagai pegawai tetap
5. Pesangon Deductible Taxable Dipotong PPh
Final
6. Premi jamsostek Deductible Taxable Bila tidak
JKK/JKM, asuransi dimasukan sbg
kesehatan, kecelakaan, penghasilan
kematian, beasiswa, karyawan maka
dan asuransi dwiguna merupakan ND
yang ditanggung
pemberi kerja
7. Pemberian natura atau Non Non Taxable Kecuali yang
kenikmatan Deductible diatur khusus,
mis: kenikmatan
didaerah
terpencil adalah
BD
8. PPh pasal 21 Non Non Taxable Kenikmatan
ditanggung Deductible yang diterima
perusahaan oleh pegawai
9. PPh pasal 21 di gross- Deductible Taxable
up oleh perusahaan
10. Iuran dana pensiun Deductible Non Taxable Dana pensiun
yang ditanggung telah disahkan
perusahaan oleh Menteri
Keuangan
11. JHT yang ditanggung Deductible Non Taxable Taxable pada
perusahaan (3,7%) saat JHT
diterima pegawai
ybs.
12. Pengobatan Cuma- Non Non Taxable
Cuma (langsung ke Deductible
rumah sakit)
13. Penggantian Deductible Taxable Bila dimasukkan
pengobatan sebagai
penghasilan
karyawan
II-40
No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
14. Tunjangan pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukkan
sebagai
penghasilan
karyawan
15. Pemberian Deductible Non Taxable KEP.51/PJ.2009,
natura/kenikmatan Fasilitas Pajak
didaerah terpencil
16. Pemberin makanan Deductible Non Taxable KEP.51/PJ.2009,
dan minuman kepada Fasilitas Pajak
seluruh karyawan
ditempat kerja
17. Biaya antar jemput Deductible Non Taxable KEP.51/PJ.2009,
karyawan Fasilitas Pajak
18. Biaya perjalanan dinas Deductible Taxable Hanya atas uang
saku, nila
diberikan dalam
lumpsum, maka
seluruhnya
menjadi objek
PPh pasal 21
19. Imbalan jasa Deductible Taxable Jika pemberi jasa
professional dan jasa adalah WP
lainnya badan makaa
objek PPh ps 23
20. Tantiem Non Taxable SE-
Deductible 06/PJ.44/1999
21. Bonus, gratifikasi, jasa Non Taxable SE-
produksi yang Deductible 06/PJ.44/1999
dibebankan ke laba
ditahan
22. Pemberian natura atau Non Taxable Ps 13 UU PPh
kenikmatan yang Deductible No. 36/2008
diberikan oleh WP yg
dikenai PPh final atau
WP yang menghitung
pajaknya berdasarkan
norma perhitungan
khusus (deemed profit
dan atau demand tax)
23. Kendaraan dinas yang Deductible Non Taxable KEP-
digunakan untuk (50%) 220/PJ/2002
pegawai tertentu
karena pekerjaan atau
jabatannya
II-41
No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
24. Akun piutang atau Deductible Taxable
biaya yang dibayar (bertahap)
dimuka yang berkaitan
dengan objek PPh
Pasal 21
Sumber: Softindo Exact Library Enterprise April 201 dalam (Pohan:2013)
*) Taxable = Objek Pemotongan PPh Ps. 21
Non Taxable = Bukan Objek Pemotongan PPh Ps. 21
II-42
II.4.2 Aspek-aspek dalam Perencanaan Pajak
Aspek formal dan administratif:
1. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nmor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
2. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
3. Memotong dan/atau memungut pajak
4. Membayar pajak
5. Menyampaikan surat pemberitahuan
Aspek
Material:
Basis
penghitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi
sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih
dan tidak kurang. Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.
Suandy (2008)[8].
2. Metode Net
Menurut Gunarso (2010)[14] Metode Net adalah PPh Pasal 21 ditanggung
sendiri oleh pemberi penghasilan. Dalam hal ini, perusahaan akan menanggung
semua PPh Pasal 21 atas karyawan, sehingga akan diperlakukan sebagai beban
perusahaan, apabila dilakukan koreksi fiskal akan dikoreksi secara fiskal positif
karena bersifat nondeductable expenses menjadikan PPh perusahaan lebih besar.
Sementara itu penghasilan yang diterima oleh karyawan tidak berkurang besarnya
II-43
karena tidak ada pemotongan untuk pajak dan fasilitas ini tidak termasuk dalam
perhitungan penghasilan.
3. Metode Gross-Up
Menurut Gunarso (2010)[14] Metode Gross-Up memberikan tunjangan
pajak
sebesar pajak penghasilan yang dipotong atas gaji karyawan. Untuk
menentukan besarnya tunjangan ada formula rumus yang digunakan agar tetap
sesuai yang dimaksud dalam aturan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, dasar
perhitungan rumus metode Gross-Up adalah penghasilan kena pajak (PKP)
sebelum
ada tunjangan.
𝑃𝐾𝑃 × 5 %
Lapisan 1=
0.95
II-44
Efek Penerapan Metode Gross Up
Djuanda dan Lubis (2006)[15], menurut analisa para ahli perpajakan dan
pengamatan yang dilakukan, penerapan perhitungan metode Gross-Up memiliki
beberapa
keuntungan, antara lain:
II-45
sejumlah rupiah yang menjadi tanggungan perusahaan, menjadi seluruhnya
berbentuk pemberian tunjangan pajak. Menurut UU PPh pasal 6 ayat (1)
huruf (a) disebutkan bahwa “tunjangan merupakan pengurang yang
diperkenankan dalam perhitungan PKP Perusahaan”. Hal ini dipertegas
dalam peraturan pelaksanaan yang diterbitkann oleh Dirjen Pajak No. Kep-
545/PJ./2000 tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan
pelaporan pajak penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi, Pasal 5 ayat (1) huruf (a)
disebutkan bahwa penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:
II-46
Secara normative undang-undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan
pemilik proyek atau pemberi kerja melaksanakan pemungutan atau pemotongan
PPh Pasal 21 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontrktor) tidak
bersedia
dipotong pajaknya dengan alasan pada saat perjanjian atau kontrak kerja
disepakati,
masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka bersikukuh bahwa harga
kontrak yang disepakati sudah tidak dipotong pajak lagi (net). Secara hukum, alasan
pihak kontraktor memiliki justifikasi hukum yang kuat, sehingga bila pada akhirnya
pemilik proyek atau pemberi kerja harus menanggung pajaknya, tentu ini menjadi
tambahan
beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan beban bagi pemilik
proyek
atau pemberi kerja tersebut adalah jumlah yang signfikan yang akan
mengerus keuntungan perusahaan.
Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan, antara lain meliputi:
Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris, dikenakan
tarif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto. Ini berlaku
bagi tenaga ahli yang melakukan peerjaan bebas, sehingga PPh pasal 21
yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x tariff PPh Pasal 17 ayat 1 huruf
a.
Sehubungan dnegan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli, yang
dalam pemberian jasanya memperkejakan orang lain sebagai pegawainya
dan atau melakukan penyerahan material atau bahan, dikenai sebesar tariff
PPh pasal 17 ayat 1 huruf a dari nilai proyek.
II-47
Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung
PPh pasal 21/pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya
didasarkan pada klausul tersebut.
Apabila perusaahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Psal 21, dan
transaksi
ini ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan
akan dikenai kewajiban membayar PPh Pasal 21 yang terutang, ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Dari kasus ini jelas bahwa tax planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi
dalam
perusahaan pemilik proyek atau pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan
atau logistic, divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya
kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang direncanakan, semua divisi yang
terkait harus mempertimbangkan aspek perpajakan ats klausul perjanjian atau
kontrak kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak yang terutang dan siapa yang
akan menanggung pajaknya.
II-48
3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum atau Reimbursement
Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan,
ataupun jenis pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek
pajak
berbeda.
II-49
tidak? Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dilihat dari keseimbangan
seluruh sistem.
5. Memberikan Tunjangan kesehatan atau Fasilitas Pengobatan
Untuk
biaya kesehatan, perusahaan memiliki pilihan, memberikan tunjangan
kesehatan,
menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, atau menggunakan
metode reimbursement biaya pengobatan.
Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan
pajaknya bersifat taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan
merupakan objek PPh Pasal 21 bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan
biaya bagi perusahaan.
Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan, maka perlakuan
pajaknya bersifat non taxable-non deductible. Artinya hal itu bukan
penghasilan bagi karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan.
Bila menggunakan metode reimbursement maka perlakuan pajaknya:
- Bersifat non taxable-non deductible, bila persyaratan reimbursement
dapat dipenuhi, yaitu tidak boleh ada mark up, bukti asli diserahkan ke
perusahaan, bukti dibuat atas nama perusahaan atau atas nama karyawan
qq perusahaan, dan diatur dalam kontak kerja antara perusahaan dengan
karyawan.
- Bersifat taxable-deductilble, bila persyaratan reimbursement tidak dapat
dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah karyawan menerima uang dari
perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya
pengobatan.
Beberapa transaksi lain dalam hubungannya dengan kompensasi bagi
karyawan akandibahas juga di dalam perencanaan pajak yang berkaitan
dengan PPh Badan.
6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)
Penerapan Tax Planing Dalam PPh Pasal 21, antara lain dengan cara :
1) Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final,
diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan
dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kinds), karena
pengeluaaran tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi
II-50
perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai diberikan
dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan (mengurangi profit).
2) Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final,
memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau
kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk menghindari lapisan
tariff maksimum PPh ps 21. Pilihan pemberian dala bentuk
kenikmatan/natura atau dalam bentu tunjangan tidak memengaruhi PPh
badan karena pendapatan perusahaan sudah dikenai PPh final,
kenikmatan, atau dalam bentuk tunjangan tetap, bisa menjadi pengurang
II-51
II.4.5 Alur Perencanaan Pajak PPh Pasal 21
Menurut Pohan (2013)[12] alur perencanaan pajak PPh pasal 21, yaitu
sebagai berikut:
II-52
pajak yang dibayar tidak melebihi dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar
sehinggga efisien bagi wajib pajak tanpa melanggar ketentuan. Adanya manajemen
dan perencanaan pajak dalam perusahaan akan membantu wajib pajak dalam
mengelola
kewajibannya sehingga terhindar dari sanki-sanki yang timbul akibat
adanya
pelanggaran, serta merupakan salah saty alternatif bagi perusahaan untuk
mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.
II.4.6 Strategi Perencanaan Pajak untuk Mengefisienkan Beban Pajak
Menurut Pohan (2013)[12], agar perencanaan pajak sesuai dengan yang
diharapkan,
perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metode-metode dan
kebijakan-kebijakan yang akan digunakan, serta membuat strategi agar efisiensi
beban pajak dapat tercapai. Misalnya:
- Memberi tunjangan dalam bentuk uang atau natura atau kenikmatan, karena
pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat
dikurangkan sebagai penghasilan yang dikenai pajak penghasilan pasal 21
bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian tunjangan semacam ini, selain
akan memberi kepuasan dan meningkatkan motivasi kerja pegawai juga
akan meningkatkan produktivitas mereka.
- Perusahaan memberi tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam
bentuk fasilitas pengobatan. Apabila pemberian tunjangan kesehatan
kepada pegawai diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan
tunjangan itu dapat diakui sebagai biaya, dan sebagai penghasilan bagi
pegawai sehingga dikenai PPh pasal 21.
- Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan
dengan cara memahami seluruh peraturan, menghitung pajak dengan tepat
dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat
waktu.