Anda di halaman 1dari 52

 

II-1

 
BAB II
 
TINJAUAN PUSTAKA
 
II.1 Gambaran Umum Tentang Pajak
 
II.1.1 Pengertian Pajak
  Menurut (UU No. 28 Tahun 2007)[1] Pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
 
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
 
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  Menurut Soemitro dalam Mardiasmo(2016)[2] mengenai pengertian pajak
  adalah sebagai berikut:
“pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi)
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum.”

II.1.2 Fungsi Pajak


Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang mempunyai dua fungsi.
Menurut Mardiasmo (2016)[2], fungsi pajak di antaranya :
1. Fungsi budgetair, pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi regulerend, pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Dari kedua definisi fungsi di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan pajak
sebuah Negara dapat memenuhi semua kebutuhannya dan membiayai seluruh
pengeluran-pengeluaran Negara, serta pajak juga berpengaruh dalam melaksanakan
kebijakan di bidang ekonomi dan sosial, yang artinya penerimaan pajak oleh
Negara juga berpengaruh terhadap besarnya peningkatan perekonomian di
Indonesia.
II.1.3 Jenis Pajak
Menurut Resmi (2015)[3] terdapat berbagai jenis pajak yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu pengelompokkan menurut golongan, menurut
sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.

II-1
 
  II-2

 
1. Menurut Golongan
 
Pajak dikelompokkan menjadi dua:
  a. Pajak Langsung, pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh
  Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang

 
lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban Wajib Pajak yang
bersangkutan.
 
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh dibayar atau ditanggung oleh
 
pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut.
  b. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau

  dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak tidak langsung
terjadi jika terdapat suatu kegiatan., peristiwa, atau perbuatan yang
 
menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang
atau jasa.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
2. Menurut Sifat
Pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Subjektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan
pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan
subjeknya.
Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b. Pajak Objektif, pajak yang pengenaannya memerhatikan objeknya baik
berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan
timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan
pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

3. Menurut Lembaga Pemungut


Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Negara (Pajak Pusat), pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umumnya.
Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.

 
  II-3

 
b. Pajak Daerah, pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik daerah
 
tingkat I (pajak provinsi) maupun daerah tingkat II (pajak
  kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah
  masing-masing.

 
Contoh: Pajak kendaraan bermotor.

 
II.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
 
Menurut Mardiasmo (2016)[2], sistem pemungutan pajak dibagi menjadi
tiga  sistem yaitu sebagai
1)   Official Assessment system
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
 
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
2) Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
3) With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

II.1.5 Definisi Wajib Pajak


Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 [1] Pasal 1 ayat 2 mendefinisikan
Wajib Pajak adalah Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan. Orang Pribadi
merupakan Subjek Pajak yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun
di luar Indonesia.

 
  II-4

 
II.1.6 Dasar Pemungutan Pajak
 
Pemungutan pajak yang harus memenuh persyaratan yang telah diuraikan
  juga didukung oleh beberapa teori dalam pemungutan pajak. Adapun teori dalam
pemungutan
  pajak menurut Mardiasmo (2016)[2], yaitu:
1.   Teori Asuransi
Menurut teori asuransi, Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda,
 
dan hak rakyatnya. Teori ini mendasari bahwa pajak diibaratkan sebuah
 
prem asuransi dengan timbal balik jaminan perlindungan tersebut.
2.   Teori Kepentingan

  Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan


masing-masing orang. Semakin besar kepentinan seseoran Negara maka
 
akan semakin besar jumlah pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Dalam mengukur
daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu pendekatan objektif
(didasari oleh tingkat penghasilan yang diterima) dan pendekatan subjektf
(didasari oleh besarnya kebutuhan materil).
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai wujud bakti rakyat terhadap negaranya, rakyat harus
menyadari bahwa membayar pajak adalah sebuah kewajiban.
5. Teori Azas Daya Beli
Dasr keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli rumah tangga masyarakat untuk
rumah tangga Negara. Selanjutnya Negara akan menalurkan kembali ke
masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

 
  II-5

 
II.1.7 Azas-azas Pengenaan Pajak
 
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau orang pribadi
  atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
Negara
  tersebut, tentu saja harus ada ketentuan yang mengaturnya.

 
Azas yang dapat digunakan oleh Negara sebagai azas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak. Azas utama yang paling sering digunakan
 
oleh Negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak menurut Sumarsan
 
(2013)[4], yaitu:
1.   Azas Domisili atau Kependudukan

  Negara akan mengenakan pajak atau suatu penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan tersebut merupakan penduduk atau
 
berdomisili di Negara itu. Azas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
2. Azas Sumber
Negara yang menganut azas sumber akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima
oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang
berada di Negara tersebut, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari Negara tersebut.
3. Azas Nasionalisasi atau Kebangsaan
Dalam azas ini yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status
kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan.
Dalam azas ini, tidak akan diperhatikan sumber penghasilan tersebut.

II.1.8 Manajemen Pajak


Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan
melalui manajemen pajak. Namun, perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak
tergantung dari instrument yang dipakai. Legelitas baru dapat diketahui secara pasti
setelah ada putusan pengadilan. Secara umum manajemen pajak dapat
didefinisikan: “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban
perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah

 
  II-6

 
mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan” Lumbatoruan
 
(1996)[5].
  Tujuan manajemen pajak dapat dbagi menjadi dua, yaitu:
1.   Menerapkan peraturan perpajakn dengan benar.
2.   Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya.
Disamping itu, tujuan manajemen pajak dapat dicapa melalui fungsi-sungsi
 
manajemen pajak yang terdiri dari:
 
1. Perencanaan pajak (tax planning)
2.   Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)
3.   Pengendalian pajak (tax control)

 
II.1.8.1 Perencanaan Pajak
Zain (2007)[6], secara garis besar, perencanaan pajak (tax planning) adalah
proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian
rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya,
berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.
Adapun pengertian perencanaan pajak (tax planning) menurut Nur Hidayat
dalam artikel Tax Planing Bukan Untuk Hindari Pajak (2005)[7] menyebutkan
bahwa: “Perencanaan pajak ( tax planning) adalah upaya menekan jumlah
kewajiban pajak dengan cara legal”.
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak
adalah upaya untuk mengatur pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban
pajak dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak
minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak atau
penghindaran pajak, bukan karena penyeludupan pajak yang tidak berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan perpajakan.

 
  II-7

 
II.1.8.2 Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Versus Penyeludupan Pajak
 
(Tax Evasion)
  Zain (2007)[6], penghindaran pajak yang juga disebut sebagai tax planning,
adalah
  proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan
pajak
 
yang tidak dikehendai. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang benar-
benar legal.
 
Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyeludupan
 
pajak mempunyai sasaran yang sama, yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi
cara  penyeludupan pajak jelas-jelas merupakan perbuatan elegal dalam usaha
mengurangi
  beban pajak tersebut.
Menurut Balter dalam Zain (2007)[6], penyeludupan pajak mengandung arti
 
sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak – apakah berhasil atau tidak – untuk
mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan
yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan.
Pengertian penyeludupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan
penggelapan saja, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan
yang disebabken oleh:
a. ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu
akan adanya ketentuan perundang-undangan perpajakan tersebut.
b. kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai
ketentuan peraturan perundang-undngan perpajakan, tetapi salah hitung
datanya.
c. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
d. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku
beserta bukti-buktinya secara lengkap.

11.1.8.3 Penghematan Pajak (Tax Saving)


Cara lain untuk mengefisiensikan beban pajak adalah melalui penghematan
pajak (tax saving), yaitu suatu cara yang dilakukan oleh wajib pajak dalam
mengelakkan utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli
produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya, pajak penjualannya atau

 
  II-8

 
dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya
 
sehingga penghasilannya menjadi kecil dan terhindar dari pengenaan pajak
  penghasilan yang besar. Dalam hal ini, aparat perpajakan tidak dapat berbuat apa-
apa,  karena hal tersebut berada di luar ruang lingkup pemajakan.

 
II.1.8.4 Jenis-jenis Perencanaan Pajak
 
Perencanaan pajak tidak hanya dilakukan di Indonesia saja, karena kadang-
 
kadang perusahaan juga harus berhubungan dengan negara di luar Indonesia untuk
menjalankan
  kegiatan perusahaannya. Untuk itu sebelum melakukan peruncanaan
pajak
  seorang perencana pajak harus mengetahui jenis-jenis perencanaan pajak
terlebih dahulu.
 
Menurut Suandy (2006)[8] jenis-jenis perencanaan pajak dapat dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Perencanaan pajak nasional (national tax planning)
2. Perencanaan pajak internasional (international tax planning)
Dari kedua jenis perencanaan pajak tersebut terdapat perbedaan yang
melekat antara perencanaan pajak nasional dan internasional, yaitu terletak pada
peraturan pajak yang akan digunakan. Dalam perencanaan pajak internasional
disamping undang-undang domestik juga harus memperhatikan perjanjian pajak
dan undang-undang dari negara-negara yang terlibat.

II.1.8.5 Tahapan dalam Membuat Perencanaan Pajak


Dalam melakukan perencanaan pajak tentunya tidak bisa dilakukan dengan
sembarangan, tetapi harus melalui tahapan-tahapan yang terperinci agar
perencanaan pajak yang dilakukan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan.
Adapun tahapan-tahapan dalam membuat perencanaan pajak menurut
Suandy (2006)[8] adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis informasi (basis data) yang ada.
Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah
menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu
proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus
ditanggung.

 
  II-9

 
Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-
 
masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total
  pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling
  efisien. Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya,

 
penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain diluar
pajak yang mungkin terjadi. Untuk manajer perpajakaan harus
 
memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal, yakni:
 
1) Faktor yang relevan
  Dalam arus globalisasi dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi,

  seorang manajer perusahaan dalam melakukan perencanaan pajak untuk


perusahaannya dituntut untuk benar-benar menguasai situasi yang
 
dihadapi, baik secara eksternal maupun internal.
2) Faktor pajak
Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam
penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang
berkaitan dengan faktor-faktor:
a. Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara
b. Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan baik undang-
undang domestik maupun kebijakan perpajakan.
3) Faktor non-pajak lainnya
Beberapa faktor non-pajak yang relevan untuk diperhatikan dalam
penyusunan suatu perencanaan pajak, antara lain:
a. Masalah badan hukum
b. Masalah mata uang dan nilai tukar
c. Masalah pengawan devisa
d. Masalah program insentif investasi
e. Masalah faktor non-pajak lainnya

b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak


Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas
tindakan-tindakan berikut :

 
  II-10

 
1) Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau
 
hubungan internasional.
  2) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau
  menjadi residen dari negara tersebut.

 
3) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
c. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak.
 
Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil
 
dari seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu
  dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu

  perencanaan pajak terhadap beban pajak yang harus dibayar oleh


perusahaan. Beban pajak tersebut akan dihitung dengan menggunakan
 
hipotesis sebagai berikut:
1) Bagaimana jika perencanaan pajak tidak dilaksanakan
2) Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan dan berhasil
dengan baik
3) Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan tetapi gagal.
Dari ketiga hipotesis tersebut akan mengeluarkan hasil yang berbeda.
Kemudian berdasarkan hasil tersebut barulah dapat ditentukan apakah
perencanaan pajak tersebut layak untuk dilaksanakan atau tidak.
d. Mencari kelemahan, kemudian memperbaiki rencana pajak.
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan baik atau tidak, tentu
harus dievaluasi melalui berbagai recana yang dibuat. Dengan demikian
keputusannya dapat diambil.

e. Memutakhirkan rencana pajak


Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan oleh proyek juga telah
berjalan, namun juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang
terjadi baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya di negara dimana
aktivitas tersebut dilakukan.

 
  II-11

  II.2 Pajak Penghasilan


II.2.1
  Definisi Pajak Penghasilan

 
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Direktorat
Jenderal Pajak, 2008)[9], Pajak Penghasilam adalah pajak yang dikenakan terhadap
 
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
 

 
II.2.2 Subjek Pajak

  Menurut Mardiasmo (2016)[2], yang menjadi Subjek Pajak adalah :


1. a. Orang Pribadi
 
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, perse-kutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi:
1) Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari ;
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
 Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus
berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu :
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
 Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

 
  II-12

 
 Pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD.
 
 Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat
 
atau pemerintah daerah.
   Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
  negara.
c. Subjek Pajak warisan, yaitu
 
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
 
yang berhak.
  2) Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari :
  a Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang

 
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia.
b Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari
Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui BUT di Indonesia.

Perbedaan Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri, antara lain
adalah:
Table II.1 Perbedaan Wajib Pajak dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri
 Dikenakan pajak atas  Dikenakan pajak hanya atas
penghasilan baik yang diterima penghasilan yang berasal dari
atau diperoleh dari Indonesia dan sumber penghasilan di Indonesia
dari luar indonesia.
 Dikenakan pajak berdasarkan  Dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan netto. penghasilan bruto

 
  II-13

 
 Tarif pajak yang digunakan  Tarif pajak yang digunakan
 
adalah tarif umum (tariff UU adalah tarif sepadan (tarif UU
  PPh pasal 17) PPh pasal 26)
  Wajib menyampaikan SPT  Tidak wajib menyampaikan

  SPT.

 
II.2.3 Objek Pajak Penghasilan
  Menurut Mardiasmo (2016)[2], Yang menjadi objek pajak adalah
penghasilan,
  yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
 
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau utnuk menambah kekayaan
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
1. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, grafitasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
8. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

 
  II-14

 
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
 
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
  14. Premi asuransi;
15.   Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang

 
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
 
dikenakan pajak;
 
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18.   Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang

  mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan


19. Surplus Bank Indonesia.
 

II.2.3.1 Tidak Termasuk Objek Pajak


Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang PPh [9] penghasilan yang
dikenakan PPh atau yang dikecualikan dari objek pajak tertera dibawah ini:
1. a. Bantuan atau sumbangan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dan instansi lainnya
seperti: badan pendidikan, badan sosial,koperasi dll
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham.
4. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib
pajak atau pemerintah
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa
6. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.

 
  II-15

 
b. Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen
 
paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus
  mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut
7.   Iuran yang diterima atau dana pensiun
8.   Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
9. Bagian laba yang diterima
 
10. Penghasilan yang diterima perusahaan modal berupa laba
 
11. Beasiswa
12.   Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
13.   Bantuan atau santunan

 
II.2.3.2 Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri).
2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan
oleh BUT di Indonesia (penghitungan berdasarkan pendekatan force of
attraction). Hal ini karena pada hakikatnya usaha atau kegiatan kantor pusat
di Indonesia tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha dan kegiatan
yang dapat dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap.
3. Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa
(imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan,
pensiunan/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat
(wajib pajak luar negeri) dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan
efektif antara BUT-nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan tersebut.

 
  II-16

 
II.3 Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
 
II.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
  Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 berdasarkan Peraturan
Direktur
  Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 (2015)[10] adalah pajak atas
penghasilan
 
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
 
dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.
 

 
II.3.2 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

  Menurut Resmi (2015)[3] pemotong PPh Pasal 21 adalaha setiap orang


pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
 
Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 dan terakhir
UU No. 36 Tahun 2008 untuk mmemotong PPh Pasal 21. Termasuk pemotong PPh
Pasal 21 dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252//KMK.03/2008 adalah:
1. Pemberi kerja yang terdiri atas:
a. Orang pribadi dan badan,
b. Cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau
seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan,
dan unit tersebut,
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau
pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
Negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri,
yang membayarkan gaji, upah, honorarium,tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan.
3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua.
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:

 
  II-17

 
a. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan
 
sehubungan dengan jasa dan / atau kegiatan yang dilakukan oleh orang
  pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga
  ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas

 
namanya sendiri, bukan utuk dan atas nama persekutuannya.
b. Honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain seebagai imbalan
 
sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
 
dengan status subjek pajak luar negeri.
  c. Honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,

  pelatihan, dan pegawai magang.


5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang
 
bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yan g membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib
pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan pemotongan pajak adalah:
1. Kantor perwakilan Negara asing
2. Organisasi-organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam pasal 3
ayat (1) huruf c UU Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
3. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata memperkejakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
4. Jika organisai internasional tidak memenuhu ketentuan tersebut, organisai
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban
melakukan pemotongan pajak.

II.3.3 Penerima Penghasilan (Wajib Pajak PPh Pasal 21)


Menurut Resmi (2015)[3] penerima penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Psal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:

 
  II-18

 
1. Pegawai.
 
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
  hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3.   Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan

 
dengan pemberian jasa, meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas
 
pengacara,akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
 
aktuaris.
  b. Pemain music, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,

  bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,


peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
 
seniman lainnya.
c. Olahragawan.
d. Penasihat, pngajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
f. Pemberi jasa, dalam segala bidang termasuk teknik computer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial
serta apemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
g. Agen iklan.
h. Pengawaas atau pengelola proyek.
i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara.
j. Petugas penjaja barang dagangan.
k. Petugas dinas luar asuransi.
l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak menangkap
sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
5. Mantan pegawai.
6. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:

 
  II-19

 
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan
 
olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
  perlombaan lainnya.
  b. Peserta rapat, konfesensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja.

 
c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitian sebagai penyelenggaraan
kegiatan tertentu.
 
d. Peserta pendidikan dan pelatihan
 
e. Peserta kegiatan lainnya.
 
II.3.4
  Tidak Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
Menurut Resmi (2015)[3] yang dimaksud tidak termasuk dalam pengertian
 
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

II.3.5 Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 (Objek PPh Pasal 21)
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 menurut Resmi (2015)[3] adalah sebagai
berikut:
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima Pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan atau penghasilan sejenisnya.

 
  II-20

 
3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
 
upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan
  secara bulanan.
4.   Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,

 
dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan.
 
5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
 
representasi, uang rapat, honorarium, hadia atau penghargaan dengan nama
  dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa pun.
6.   Penghsilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannyya
 
melewati jangka waktu 2 tahun sejak pegawai berhenti bekerja.
7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawasa yanag tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan
yang sama.
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan
lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai.
9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta rogram pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendirinya
telah disahkan oleh menteri keuangan.
10. Semua jenis penghasilan no. 1 s.d. 9 yang diterima dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diberikan oleh:
a. Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final, atau
b. Wajib Pajak yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit).
Dalam hal penghasilan tersebut diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri merupakan
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.

 
  II-21

 
II.3.6 Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 Final
 
Menurut Resmi (2015)[3] PPh bersifat final, artinya bahwa seluruh pajak
  yang telah dipotong/dipungut oleh pihak pemotong/pemungut dianggap final (telah
selesai)
  tanpa harus menunggu perhitungan dari pihak fiskus, atau dapat dikatakan
bahwa
 
pajak yang telah dipotong atau dibayar dianggap telah selesai
penghitungannya walaupun surat ketetapan pajak belum ada. Dalam pengertian
 
yang lebih spesfik, pemungutan PPh bersifat final berarti jumlah pajak yang telah
 
dibayarkan dalam tahun berjalan melalui pemotongan (oleh pemberi kerja atau
pemotong
  yang lain) tidak dapat dikreditkan dari total PPh yang terutang pada akhir
suatu
  tahun saat mengisi Surat Pemberitahuan (SPT).
Beberapa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat final
 
adalah:
1. Penghasilan berupa uang pesangon yang dibayar sekaligus oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Penghasilan berupa uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3. Penghasilan berupa honorarium, uang perangsang, uang siding, uang hadir,
uang lembur, imbalan prestasi kerja, dan imbalan lain dengan nama apa pun
yang diterima oleh pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota
TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari keuangan Negara atau
keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil
golongan II/d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu
Letnan Satu ke bawah dan Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.

II.3.7 Penghasilan yang PPh Pasal 21-Nya Ditanggung Pemerintah


Menurut Resmi (2015)[3], PPh ditanggung pemerintah adalah PPh yang
terutang oleh Wajib Pajak, yang pembayarannya dilakukan oleh pemerintah bukan
oleh Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak tidak perlu membayar pajak.
PPh ditanggung pemerintah terdiri atas:
1. PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oelh karyawan asing yang
bekerja pada kontraktor, konsultan, dan pemasok utama atas penghasilan

 
  II-22

 
yang diterima atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
 
pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah.
  2. PPh atas penghasilan pekerja pada kategori usaha tertentu.
 
II.3.8
  Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21 (Bukan Objek PPh
Pasal 21)
 
Resmi (2015)[3] mengatakan tidak termasuk penghasilan yang dipotong
 
PPh Pasal 21 (bukan Objek PPh Pasal 21) adalah:
1.   Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi

  sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,


asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
 
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apa
pun diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah (termasuk Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, maupun yang ditanggung
oeleh pemerintah), kecuali penghasilan yang diterima atau diperoleh
penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan
sejenisnya.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran
jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oeleh pemberi
kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau
lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pmerintah, atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
5. Beasiswa yang dipeoleh atau diterima oleh Warga Negara Indonesia dari
Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan tinggi,
yang tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris,
direksi, dan pengurus dari Wajib Pajak pemberi beasiswa. Komponen
beasisa terdiri atas biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition

 
  II-23

 
fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang
 
diambil, pembelian buku, dan biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah
  lokasi tempat belajar.
 
II.3.9
 
Tarif Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Menurut Mardiasmo (2016)[2], terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
 
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
 
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
  orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :

 
Table II.2 Tarif Pajak
 
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan 50 juta 5%
50 juta sampai dengan 250 juta 15%
250 juta sampai dengan 500 juta 25%
Diatas 500 juta 30%

2. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap


Sedangkan tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar
28%. Tariff pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, mulai berlaku sejak tahun pajak 2010, diturunkan menjadi 25%.
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham
yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi
persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima
persen) lebih rendah daripada tarif yang berlaku.
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp.50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar
50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00.

 
  II-24

 
II.3.10 Perhitungan PTKP
 
Menurut aturan PMK Nomor 101/PMK.010/2016 [11], berikut adalah
  PTKP untuk 2016 :
1. Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)
 
Table II.3 Tidak Kawin (TK)
  Uraian Status PTKP
Wajib Pajak TK0 54.000.000,-
  Tanggungan 1 TK1 58.500.000,-
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,-
 
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,-
 
2. Wajib Pajak Kawin
 
Table II.4 Wajib Pajak Kawin
  Uraian Status PTKP
WP Kawin K0 58.500.000,-
Tanggungan 1 K1 63.000.000,-
Tanggungan 2 K2 67.500.000,-
Tanggungan 3 K3 72.000.000,-

3. Wajib Pajak Kawin, penghasilan istri dan suami digabung

Table II.5 Wajib Pajak Kawin, Penghasilan Istri dan Suami digabung
Uraian Status PTKP
WP Kawin K/I/0 112.500.000,-
Tanggungan 1 K/I/1 117.000.000,-
Tanggungan 2 K/I/2 121.500.000,-
Tanggungan 3 K/I/3 126.000.000,-
Catatan:
 Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
 TK : Tidak Kawin
 K : Kawin
 K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung

II.3.11 Cara Menghitung Pajak Penghasilan PPh 21


Untuk menghitung pajak penghasilan Pph 21 langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut:
1. Hitung penghasilan bruto Anda dalam setahun, seperti gaji pokok ditambah
dengan tunjangan-tunjangan lainnya.
2. Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sesuai dengan status Anda.

 
  II-25

 
3. Hitung pengurang lainnya seperti : Tunjangan Biaya Jabatan 5% & Iuran
 
Pensiun 5% dari penghasilan bruto, catatan: Tunjangan Biaya Jabatan
  Maksimal Rp. 6 juta per tahun, dan Tunjangan Iuran Pensiun maksimal 2,4
  juta per tahun.
4.   Hitung Penghasilan netto Anda : Penghasilan Bruto – PTKP – Iuran Jabatan
& Pensiun.
 
5. Kalikan Penghasilan Netto dengan tarif Pajak Penghasilan yang berlaku.
 

 
II.3.12 Rekonsiliasi Objek PPh Pasal 21

  Pohan (2013)[12], Untuk menyakinkan bahwa atas seluruh objek PPh Pasal
21 telah dipotong pajaknya, perlu dlakukan rekonsiliasi antara data laporan
 
keuangan, baik yang berasal dari akun neraca maupun akun biaya. Jika
penghitungan PPh pasal 21 dilakukan oleh bagian SDM, maka rekonsiliasi juga
harus dilakukan data SDM (seperti payroll) dengan data yang ada di bagian
akuntansi/keuangan (seperti data ledger/buku besar0. Rekonsiliasi ini angat
berguna dalam rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh
objek PPh pasal 21 telah dipotong PPh-nya. Hal semacam ini akan mempermudah
wajib pajak ketika diperiska oleh petugas pajak nantinya.

Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum,


yaitu taxability-deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income
(penghasilan yang menjadi objek pajak PPh), di perusahaan menjadi deductible
expense (bukan biaya). Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang ditempuh
oleh perusahaan. Dengan prinsip tersebut, senantiasa akan terdapat pihak yang
dikenai pajak, apakah bagi karyawan dala bentuk PPh Pasal 21, atau di perusahaan
dalam bentuk PPh badan.

Namun demikian, terdapat beberapa penyimpangan dari prinsip umum


tersebut yang diatur secara khusus oleh ketentuan perpajakan. Misalnya terdapat
pembayaran kepada karyawan yang bersifat non taxable, tetapi bagi perusahaan
tetap merupakan deductible expense, atau terdapat pembayaran kepada karyawan
yang bersifat taxable, tetapi di perusahaan bersifat non deductible expense.

 
  II-26

 
II.3.13 Taxability dan Deductibility Objek PPh Pasal 21
 
Menurut Pohan (2013)[12], prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip
 
yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak dapat dikenai pajak
 
penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos-pos yang
dapat/tidak
  dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto), yang mekanismenya:
  jika pada pihak pemberi kerja pemberian imbalan/peghasilan dapt dibiayakan
(pengurang penghasilan bruto), maka pada phak karyawannya merupakan
 
penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan
 
pemberian imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada
  pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
pihak
 
Table II.6 Prinsip Taxability Deductibility Mengenai Imbalan (Natur/Uang)
Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi Perlakuan PPh Ps.21 Bagi
Perusahaan/pemberi kerja penerima
Imbalan dalam Deductible Taxable
bentu uang
Imbalan dalam Non Deductible Non taxable
bentuk natura

Table II.7 Daftar Objek Dan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21


No. Objek Pajak Tarif Sifat
I. PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang diterima oleh Pasal PKP=PB-(BJ+IP)-
pegawai tetap 17 UU PTKP
PPh
2. Uang pensiun bulanan yang Pasal PKP=(PB-BP)-
diterima pensiunan 17 UU PTKP
PPh
3. Pegawai tidak tetap yg Pasal PKP=(PB
penghasilannya dibayar secara 17 UU disetahunkan-PTKP
bulanan atau jumlah kumulatif PPh setahun)
penghasilan yg diterima dlm satu
bln kalender telah melebihi
Rp.2.025.000.

 
  II-27

 
No. Objek Pajak Tarif Sifat
4.   Upah yg diterima oleh tenaga
  kerja lepas berupa upah
harian/mingguan/satuan/borongan
  dan uang saku harian:
a. Upah/uang saku harian atau 0% Tidak teruatang
 
rata-rata upah/aung saku tidak PPh Pasal 21
  > Rp.200.000 dan jumlah
komulatif dlm satu bulan kalender
 
tidak > Rp.2.025.000.
  b. upah/uang saku harian atau 5% (upah/uang saku
rata-rata upah/uang saku tidak > harian atau rata-rata
  Rp.200.000, dan jumlah upah/uang saku
kumulatif dlm satu bulan kalender harian-Rp.200.000)
 
tidak > Rp.2.025.000
c. upah komulatif dalam bulan 5% (Upah/uang saku
kalender > Rp. 2.025.000 dan < harian atau rata-rata
Rp. 7 jt upah/uang saku
harian –PTKP
sebenernya/360)
d. penghasilan kumulatif dlm satu Pasal PKP disetahunkan
bulan kalender > Rp 7 juta 17 UU = (PB disetahunkan
PPh –PTKP setahun)
5. Honorarium yang diterima dewan Pasal Penghasilan bruto
komisaris/pengawas yg tidak 17 UU kumulatif satu
merangkap sebagai pegawai tetap PPh tahun kalender
6. Jasa Pasal Penghasilan bruto
produksi,tantiem,gratifikasi,bonus 17 UU kumulatif satu
yang diterima mantan pegawai PPh tahun kalender
7. Penarikan dana pada dana pensiun Pasal Penghasilan bruto
oleh pensiunan 17 UU kumulatif satu
PPh tahun kalender
8. Honorarium dan pembayaran lain Pasal Penghasilan bruto
yg diterima oleh tenaga ahli 17 UU kumulatif satu
(pengacara,akuntan,arsitek,dokter, PPh tahun kalender
konsultan,notaris penilai, dan
aktuaris) sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan
9. Imbalan yg sifatnya
berkesinambungan yg diterima

 
  II-28

  Objek Pajak
No. Tarif Sifat
  oleh orang pribadi dalam negeri
bukan pegawai selain tenaga ahli:
  a. Bagi yg telah memiliki NPWP Pasal PKP=PB-PTKP per
dan hanya menerima 17 UU bulan
 
penghasilan dari pemotong PPh
  pajak ybs.
b. bagi yg tidak memiliki NPWP Pasal Penghasilan bruto
 
atau menerima penghasilan dari 17 UU kumulatif satu
  selain pemotong pajak ybs. PPh tahun kalender
10. Imbalan yg tidak bersifat Pasal Penghasilan bruto
  berkesinambungan yg diterima 17 UU
oleh orang pribadi dalam negeri PPh
 
bukan pegawai selain tenaga ahli
11. Penghasilan yg diterima peserta Pasal Penghasilan bruto
kegiatan 17 UU untuk setiap
PPh pembayaran utuh
12. Uang tebusan pensiun, uang
THT/JHT, pesangon, uang
THT/JHT, pesangon yg diterima
pegawai/mantan
a. Rp. 0 jt s.d Rp. 50 jt 0% Penghasilan bruto Final
b. > Rp. 50 jt s.d Rp. 100 jt 5% Penghasilan bruto Final
c. > Rp. 100 jt s.d Rp. 500 jt 15% Penghasilan bruto Final
d. > Rp. 500 jt 25% Penghasilan bruto Final
13. Honorarium yang dananya dari 15% Penghasilan bruto Final
keuangan Negara/daerah yg
diterima oleh pejabat Negara,
PNS, anggota TNI/Polri, kecuali
PNS gol II/d ke bawah atau
anggota pembantu Letnan Satu
atau Ajun Inspektur Tingkat Satu
ke bawah
14. Penghasilan ari pekerjaan, jasa, Pasal PKP=(PB- (BJ+IP)-
dan kegioatan yang diterima oleh 17 UU PTKP
tenaga kerja asing (expatriate) PPh

 
  II-29

 
Table II.8 Daftar Biaya Fiskal
 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
Expense Deductible
 
1. Biaya untuk
  dikelusrkan untuk
mendapatkan,
 
menagih, dan
  memelihara
penghasilan
 
- Prinsip realisasi D Pasal 28 UU KUP
  - Konservatis/Penyis ND Pasal 28 UU KUP

  ihan
2. Biaya yg ND
 
dikeluarkan untuk
mendapatkan,menag
ih, dan memelihara
penghasilan yang
bukan objek pajak
atau pengenaan
PPh-nya fiskal
3. Gaji/upah D Objek PPh Pasal 6 huruf a UU
Ps 21 PPh
4. Tunjangan PPh Ps D Objek PPh Per-31/Pj./2012
21 Ps 21
5. PPh dibayar ND Pasal 9 huruf h UU
perusahaan PPh Per-31/PJ./2012
6. Premi asuransi jiwa D Objek PPh Pasal 9 huruf d UU
pegawai dibayar Pasal 21 PPh
perusahaan
sepanjang
menambah
penghasilan pegawai
7. Premi asuransi jiwa ND Pasal 9 huruf j UU
pemilik/pemegng PPh
saham
8. Iuran jamsostek PP No. 14 th 1993

 
  II-30

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  a. Jaminan D Objek PPh Pasal 9 huruf d UU


Kecelakaan Kerja Pasal 21 PPh
  (JKK)

  b. Jaminan Kematian D Objek PPh PP. No 14 tahun 1993


(JKM) Pasal 21
 
c. Jaminan Pelayanan D Objek PPh PP. No 14 tahun 1993
  Kesehatan Pasal 21
d. Iuran Jaminan Hari PP. No 14 tahun 1993
 
Tua (JHT)
  (Jamsostek):
- Dibayar D Pasal 6 huruf a UU
 
perusahaan PPh
- Dibayar pegawai D Per-31/PJ./2009 Jo.
(bagi pegawai 57/PJ./2009
untuk menghitung
PPh Pasal 21)
9. Iuran pensiun ke D Per-31/PJ./2009 Jo.
dana pensiun yang 57/PJ./2009
disahkan Menteri
Keuangan:
- Dibayar D Per-31/PJ./2009 Jo.
perusahaan 57/PJ./2009
- Dibayar pegawai D Per-31/PJ./2012
(bagi pegawai
untuk menghitung
PPh Pasal 21)
10. Iuran pensiun ke ND Pasal 6 huruf c UU
dana pensiun yg PPh
belum disahkan
menteri keuangan)
11. Tunjang hari raya D Objek PPh Pasal 6 huruf a UU
Pasal 21 PPh
12. Uang lembur D Objek PPh Pasal 6 huruf a UU
Pasal 21 PPh
13. Pengobatan: Pasal 6 huruf a UU
PPh

 
  II-31

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  a. Cuma-Cuma ND Pasal 6 huruf e UU


(langsung ke PPh
  rumah sakit)

  b. Penggantian D Objek PPh Per-31/PJ/2012


pengobatan Pasal 21
 
c. Tunjangan D Objek PPh Per-31/PJ/2012
  pengobatan Pasal 21
14. Pemberian imbalan ND Pasal 9 huruf e UU
 
dlm bentuk natura PPh
  atau kenikmatan
(missal makan/
 
minum, beras dsb)
15. Pemberian makan D PMK No.
kepada awak kapal 83/PMK.03/2009
dan pesawat dalam PER 51/PJ/2009 dan
perjalanan Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
2008
16. Pemberian dalam PMK No.
bentuk natura atau 83/PMK.03/2009
kenikmatan PER 51/PJ/2009 dan
Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
2008
a. Pengeluaran untuk D PMK No.
penyediaan 83/PMK.03/2009
makanan/minuman PER 51/PJ/2009 dan
bagi seluruh Psl. 9 ayat 1 huruf e
pegawai, termasuk UU No. 36 tahun
dewan komisaris di 2008
tempat kerja
b. Penggantian dalam PMK No.
bentuk natura atau 83/PMK.03/2009
kenikmatan di PER 51/PJ/2009 dan
daerah tertentu: Psl. 9 ayat 1 huruf e

 
  II-32

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  UU No. 36 tahun
2008
 
- Tempat D PMK No.
  tinggal/perumahaa 83/PMK.03/2009
n pegawai PER 51/PJ/2009 dan
 
sepanjang fasilitas Psl. 9 ayat 1 huruf e
  tersebut tidak UU No. 36 tahun

  tersedia 2008
- Pelayanan D PMK No.
  kesehatan 83/PMK.03/2009

  sepanjang fasilitas PER 51/PJ/2009 dan


tersebut tidak Psl. 9 ayat 1 huruf e
tersedia UU No. 36 tahun
2008
- Pendidikan D PMK No.
pegawai dan 83/PMK.03/2009
keluarganya PER 51/PJ/2009 dan
sepanjang fasilitas Psl. 9 ayat 1 huruf e
tersebut tidak UU No. 36 tahun
tersedia 2008
- Pengakutan bagi D PMK No.
83/PMK.03/2009
pegawai dan
PER 51/PJ/2009 dan
keluarganya Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
sepanjang fasilitas
2008
tersebut tidak
tersedia
- Olahraga bagi D PMK No.
83/PMK.03/2009
pegawai dan
PER 51/PJ/2009 dan
keluarganya Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
sepanjang fasilitas
2008
tersebut tidak
tersedia. Sarana
olahraga tidak
termasuk golf,
boating, pacuan
kuda.

 
  II-33

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  c. Dalam rangka dan PMK No.


83/PMK.03/2009
berkaitan dengan
PER 51/PJ/2009 dan
  pelaksanaan kerja Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
  2008
- Beban antar jemput D PMK No.
  83/PMK.03/2009
karyawan
PER 51/PJ/2009 dan
  Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
  2008
- Penyediaan D PMK No.
83/PMK.03/2009
  makan/minum
PER 51/PJ/2009 dan
untuk awak kapal Psl. 9 ayat 1 huruf e
  UU No. 36 tahun
dan pesawat
2008
d. Untuk D PMK No.
83/PMK.03/2009
keamanan/keselam
PER 51/PJ/2009 dan
atan kerja yg Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
diwajibkan,
2008
misalnya pakaian
dan peralatan bagi
pegawai pemadam
kebakaran, proyek,
pakaian seragam
pabrik,
hansip/satpam
e. Berkenaan dengan PMK No.
83/PMK.03/2009
situasi lingkunga,
PER 51/PJ/2009 dan
missal: Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
2008
- Pakaian seragam D PMK No.
83/PMK.03/2009
pegawai
PER 51/PJ/2009 dan
hotel/penyiar TV Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
2008
- Makan tambahan D PMK No.
83/PMK.03/2009
bagi operatos
PER 51/PJ/2009 dan
komputer/pengetik Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
2008

 
  II-34

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  - Makan/minum D PMK No.


83/PMK.03/2009
Cuma-Cuma bagi
PER 51/PJ/2009 dan
  pegawai restoran Psl. 9 ayat 1 huruf e
UU No. 36 tahun
  2008
17. Pembebanan yang D Pasal 6 ayat (1) UU
 
masa manfaatya lebih PPh
  dari satu tahun,
dengan cara
 
penyusutan sesuai
  pasal 11 UU No. 17
tahun 2000
 
18. Cuti pegawai
a. Diberikan uang D Objek PPh Penjelasan pasal 6
cuti Ps 21 ayat (1) Huruf a UU
PPh
b. Tunjangan cuti D Objek PPh Per-31/PJ./2012
Ps 21
c. Dibayar ND Pasal 9 huruf e UU
perusahaan PPh
19. Perjalanan dinas
pegawai:
a. Didukung bukti- D Penjelasan pasal 6
bukti yg ayat (1) Huruf a UU
sah/ditanggung PPh
jawabkan
b. Lumpsum (tidak ND Pasal 9 huruf e UU
didukung bukti- PPh
bukti)
c. Lumpsum D Objek PPh Penjelasan pasal 6
dianggap honor Ps 21 ayat (1) Huruf a UU
pegawai PPh
d. Honor/uang saku D Objek PPh Penjelasan pasal 6
Ps 21 ayat (1) Huruf a UU
PPh

 
  II-35

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  e. Fiskal luar negeri ND PP No. 2 tahun 2000


dibayar
  perusahaan,

  merupakan PPh
pasal 25 dibayar
 
dengan SSP, ditulis
  nama pegawai q.q.
nama perusahaan
 
dengan npwp
  perusahaan atau
ddengan tanda
 
bukti FLN
f. Biaya ND Pasal 9 huruf e UU
piknik/rekreasi PPh
20. Bonus atas prestasi D Objek PPh Per-31/PJ./2012
kerja yang Ps 21
dibebankan pada
tahun berjalan
21. Biaya seminar, D Pasal 6 ayat (1) UU
penataran, kursus PPh
(pendidikan) di
dalam negeri
22. Honor/uang saku D Objek PPh Pasal 6 ayat (1) UU
pegawai yang Ps 21 PPh
mengikuti seminar
dsb
23. Bea siswa: Per-31/PJ./2012; dan
PMK.No.246/PMK.0
3/2008 jo
PMK.No.154/PMK.0
3/2009
a. Penerima beasiswa Objek PPh
tida mempunyai Ps 21
hubungan istimewa
dengan
pemilik,komisaris,

 
  II-36

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

 
a. direksi, atau D
  pengurus, dari
wajib pajak
 
pemberi beasiswa
  b. Penerima beasiswa ND
mempunyai
 
hubungan istimewa
  dengan pemilik,
komisaris, direksi,
 
atau pengurus dari
  wajib pajak
pemberi beasiswa
24. Sumbangan ke D Objek PPh Penjelasan Pasal 6
karyawan dalam Ps 21 ayat (1) huruf a UU
bentuk uang PPh
25. Kendaraan Pasal 6 ayat (1) huruf
perusahaan yang b UU PPh
dibawa pulang dan
dikuasai pegawai:
a. Penyusutan ND
b. Biaya ND
reparasi/pemelihara
n
c. Bahan bakar/oli ND
dsb
26. Perumahan Penjelasan Pasal 6
perusahaan dan ayat (1) huruf a UU
srama: PPh jo penjelasan
pasal 6 ayat (1) huruf
a UU PPh
a. Pegawai yang
menempati tidak
diberi tunjangan
perumahan

 
  II-37

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  - Penyusutan rumah ND
- Biaya eksploitasi ND
 
rumah
  Pegawai yg
menempati diberi
 
tunjangan perumahan
  minimal sebesar
biaya penyusutan dan
 
biaya eksploitasi:
  - Tunjangan D Objek PPh
perumahan Ps 21
 
- Biaya penyusutran D Objek PPh
rumah Ps 21
- Biaya eksploitasi D Objek PPh
rumah Ps 21
27. Mess untuk transit,
pendidikan
(sementara):
a. Biaya penyusutan D
b. Biaya eksploitasi D
28. Sewa rumah pegawai ND Objek PPh Pasal 9 huruf e UU
yang tidak diberi Ps 21 PPh
tunjangan sewa
minimal sebesar sewa
rumah tersebut
29. PPh sewa rumah ND Penjelasan Pasal 6
dibayar perusahaan ayat (1) huruf a UU
PPh
30. Diberikan uang sewa D Objek PPh Penjelasan Pasal 6
rumah Ps 21 ayat (1) huruf a UU
PPh
31. Uang pesangon D Objek PPh
Ps 21

 
  II-38

 
No. Deductible Non Keterangan Dasar Hukum
  Expense Deductible

  32. Upah borongan D Objek PPh Penjelasan Pasal 6


pekerjaan ke orang Ps 21 ayat (1) huruf a UU
  pribadi PPh
33.  Imbalan ke pegawai D
yang merupakan
 
pemegang saham
  (25% ke atas)
a. Gaji yang wajar D Objek PPh Penjelasan Pasal 6
 
Ps 21 ayat (1) huruf a UU
  PPh
34. Beban litbang yang
 
dilakukan di
Indonesia dalam
jumlah yang wajar
untuk menemukan
teknologi/sistem baru
bagi pengembangan
perusahaan:
a. Gaji/honor D Objek PPh
pegawai Ps 21
Sumber: Softindo Exact Library Enterprise April 201 dalam (Pohan:2013)

D = Deductible ND = Non Deductible

Berdasarkan tabel diatas, maka prinsip taxability-deductibility tersebut dapat


dituangkan dalam daftar untuk beberapa transaksi yang menjadi objek PPh pasal
21 dan perlakuan pajaknya seperti terlihat dalam tabel berikut ini:

Table II.9 Prinsip Taxability-Deductibility


No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
1. Gaji, lembur, bonus, Deductible Taxable
intensif
2. Honorarium, upah, Deductible Taxable
uang saku dan
sejenisnya

 
  II-39

 
No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
  kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
  3. Tunjangan yang Deductible Taxable
diberikan dalam
 
bentuk uang
4.   Honorarium yang Deductible Taxable
diterima dewan
  komisaris/pengawas
yg tidak merangkap
  sebagai pegawai tetap
5. Pesangon Deductible Taxable Dipotong PPh
  Final
6. Premi jamsostek Deductible Taxable Bila tidak
 
JKK/JKM, asuransi dimasukan sbg
kesehatan, kecelakaan, penghasilan
 
kematian, beasiswa, karyawan maka
dan asuransi dwiguna merupakan ND
yang ditanggung
pemberi kerja
7. Pemberian natura atau Non Non Taxable Kecuali yang
kenikmatan Deductible diatur khusus,
mis: kenikmatan
didaerah
terpencil adalah
BD
8. PPh pasal 21 Non Non Taxable Kenikmatan
ditanggung Deductible yang diterima
perusahaan oleh pegawai
9. PPh pasal 21 di gross- Deductible Taxable
up oleh perusahaan
10. Iuran dana pensiun Deductible Non Taxable Dana pensiun
yang ditanggung telah disahkan
perusahaan oleh Menteri
Keuangan
11. JHT yang ditanggung Deductible Non Taxable Taxable pada
perusahaan (3,7%) saat JHT
diterima pegawai
ybs.
12. Pengobatan Cuma- Non Non Taxable
Cuma (langsung ke Deductible
rumah sakit)
13. Penggantian Deductible Taxable Bila dimasukkan
pengobatan sebagai
penghasilan
karyawan

 
  II-40

 
No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
  kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
  14. Tunjangan pengobatan Deductible Taxable Bila dimasukkan
sebagai
 
penghasilan
  karyawan
15. Pemberian Deductible Non Taxable KEP.51/PJ.2009,
  natura/kenikmatan Fasilitas Pajak
didaerah terpencil
  16. Pemberin makanan Deductible Non Taxable KEP.51/PJ.2009,
dan minuman kepada Fasilitas Pajak
  seluruh karyawan
ditempat kerja
17.  Biaya antar jemput Deductible Non Taxable KEP.51/PJ.2009,
karyawan Fasilitas Pajak
 
18. Biaya perjalanan dinas Deductible Taxable Hanya atas uang
saku, nila
diberikan dalam
lumpsum, maka
seluruhnya
menjadi objek
PPh pasal 21
19. Imbalan jasa Deductible Taxable Jika pemberi jasa
professional dan jasa adalah WP
lainnya badan makaa
objek PPh ps 23
20. Tantiem Non Taxable SE-
Deductible 06/PJ.44/1999
21. Bonus, gratifikasi, jasa Non Taxable SE-
produksi yang Deductible 06/PJ.44/1999
dibebankan ke laba
ditahan
22. Pemberian natura atau Non Taxable Ps 13 UU PPh
kenikmatan yang Deductible No. 36/2008
diberikan oleh WP yg
dikenai PPh final atau
WP yang menghitung
pajaknya berdasarkan
norma perhitungan
khusus (deemed profit
dan atau demand tax)
23. Kendaraan dinas yang Deductible Non Taxable KEP-
digunakan untuk (50%) 220/PJ/2002
pegawai tertentu
karena pekerjaan atau
jabatannya

 
  II-41

 
No. Objek PPh Pasal 21 Pemberi Pegawai Keterangan
  kerja (PPh (Taxable/Non
Badan) Taxable)*)
  24. Akun piutang atau Deductible Taxable
biaya yang dibayar (bertahap)
 
dimuka yang berkaitan
  dengan objek PPh
Pasal 21
  Sumber: Softindo Exact Library Enterprise April 201 dalam (Pohan:2013)
*) Taxable = Objek Pemotongan PPh Ps. 21
 
Non Taxable = Bukan Objek Pemotongan PPh Ps. 21
 

II.4  Perencanaan Pajak Penghasilan


  Perencanaan pajak merupakan salah satu bentuk dari fungsi manajemen
pajak dalam upaya melakukan penghematan pajak secra legal.
II.4.1 Manfaat Perencanaan Pajak
Beberapa manfaat dalam pelaksanaan perencanaan pajak yang dilakukan
secara cermat adalah sebagai berikut Daitin (2006)[13]:
2. Penghematan Kas Keluar
Apabila perusahaan menganggap pajak sebagai unsur pengurang laba atau
pajak sebagai biaya yang harus ditanggung perusahaan, maka dengan
meminimalkan biaya tersebut maka perusahaan mempunyai alokasi dana
yang dapat dipergunakan untuk transaksi lainnya dalam kegiatan usaha
perushaan.
3. Mengatur Aliran Kas Perusahaan
Dengan perencanaan pajak yang matang, dapat diestimasikan kebutuhan
kas yang nantinya akan dipergunakan untuk pembayaran pajak dan
menentukan saat pembayarannya sehingga perusahaan dapat lebih akurat
dalam menyusun anggarannya.

 
  II-42

 
II.4.2 Aspek-aspek dalam Perencanaan Pajak
 
Aspek formal dan administratif:
  1. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nmor Pokok Wajib Pajak
  (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
2.   Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
3. Memotong dan/atau memungut pajak
 
4. Membayar pajak
 
5. Menyampaikan surat pemberitahuan
Aspek
  Material:
Basis
  penghitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi
sumber dana, manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih
 
dan tidak kurang. Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.
Suandy (2008)[8].

II.4.3 Macam-Macam Metode Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21


1. Metode Gross
Menurut Gunarso (2010)[14] Gross Method adalah metode pemotongan
pajak di mana PPh Pasal 21 ditanggung oleh penerima penghasilan. Penghasilan
yang diterima karyawan akan dipotong sesuai besarnya pajak penghasilan terutang
masing-masing karyawan sehingga menjadikan take home pay karyawan
berkurang. Dalam metode ini, tidak menimbulkan beban bagi perusahaan dan tidak
mempengaruhi laba rugi, perusahaan hanya berkewajiban memungut, melaporkan
dan menyetor ke Kantor Pajak.

2. Metode Net
Menurut Gunarso (2010)[14] Metode Net adalah PPh Pasal 21 ditanggung
sendiri oleh pemberi penghasilan. Dalam hal ini, perusahaan akan menanggung
semua PPh Pasal 21 atas karyawan, sehingga akan diperlakukan sebagai beban
perusahaan, apabila dilakukan koreksi fiskal akan dikoreksi secara fiskal positif
karena bersifat nondeductable expenses menjadikan PPh perusahaan lebih besar.
Sementara itu penghasilan yang diterima oleh karyawan tidak berkurang besarnya

 
  II-43

 
karena tidak ada pemotongan untuk pajak dan fasilitas ini tidak termasuk dalam
 
perhitungan penghasilan.
  3. Metode Gross-Up
  Menurut Gunarso (2010)[14] Metode Gross-Up memberikan tunjangan
pajak
 
sebesar pajak penghasilan yang dipotong atas gaji karyawan. Untuk
menentukan besarnya tunjangan ada formula rumus yang digunakan agar tetap
 
sesuai yang dimaksud dalam aturan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, dasar
 
perhitungan rumus metode Gross-Up adalah penghasilan kena pajak (PKP)
sebelum
  ada tunjangan.

  Penggunaan metode ini berkaitan dengan penetapan besarnya tunjangan


pajak. Dengan penerapan ini, besarnya tunjangan akan ditambahkan kedalam
 
penghasilan karyawan (taxable). Bagi perusahaan, beban yang timbul atas
pemberian tunjangan merupakan biaya yang dapat dikurangkan atau bersifat
deductable expenses dapat mengefisienkan beban pajak perusahaan.
Formula untuk perhitungan besarnya tunjangan PPh Pasal 21 dalam Gross-
Up method dibagi ke dalam empat lapisan rentang PKP.
1. Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) sampai dengan Rp.50.000.000,- :

𝑃𝐾𝑃 × 5 %
Lapisan 1=
0.95

2. Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih dari Rp.50.000.000,- sampai


dengan Rp.250.000.000,- :
(𝑃𝐾𝑃 × 15%)−𝑅𝑝.5.000.000
Lapisan 2 =
0.85
3. Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih dari Rp.250.000.000,- sampai
dengan Rp.500.000.000,- :
(𝑃𝐾𝑃 × 25%)−𝑅𝑝.30.000.000
Lapisan 3 =
0.75

4. Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih dari Rp.500.000.000,- :


(𝑃𝐾𝑃 ×35%)−𝑅𝑝.55.000.000
Lapisan 4 =
0.70

 
  II-44

 
Efek Penerapan Metode Gross Up
 
Djuanda dan Lubis (2006)[15], menurut analisa para ahli perpajakan dan
 
pengamatan yang dilakukan, penerapan perhitungan metode Gross-Up memiliki
beberapa
  keuntungan, antara lain:

  4. Mempermudah pemberi kerja menuntukan tunjangan pajak yang diberikan


secara tepat.
 
Dalam praktik lapangan kondisi yang terjadi yaitu, perusahaan membuat
 
kebijakan pemberian tunjangan pajak yang kurang efektif, misalnya karena
  kesulitan menentukan besarnya tunjangan pajak yang diberikan agar sama
  dengan PPh pasal 21 karyawan terhutang, ditentukan dari sekian persen
pendapatan kena pajak per karyawan. Keadaan ini memungkinkan
terjadinya selisih antara PPh pasal 21 terhutang karyawan dengan tunjangan
pajak yang diberikan. Konsekuensi yang terjadi adalah karena perusahaan
telah sepakat untuk memberikan tunjangan pajak atau karyawan menerima
penghasilan bersih tanpa dipotong pajak, maka selisih tersebut menjadi
tanggungan perusahaan. Menurut UU Pasal 9 ayat (1) huruf (h) disebutkan
bahwa “Beban pajak Penghasilan adalah beban yang tidak dapat
dikurangkan dalam perhitungan PKP perusahaan”. Selain itu, pajak
penghasilan ditanggung pemberi kerja merupakan natura atau kenikmatan
yang diterima pegawai dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan
yang tidak boleh dikurangkan sebagai beban dalam perhitungan
Penghasilan Kena Pajak perusahaan. Metode Gross-Up memungkinkan
hasil perhitungan besarnya tunjangan pajak yang diberikan sama dengan
tunjangan pajak terhutang, sehingga perusahaan tidak akan mengalami
kesulitan dalam perhitungan tunjangan pajak karyawan karena tidak akan
terjadi selisih antara tunjangan dengan pajak terhutang karyawan yang harus
ditanggung pemberi kerja.
5. Memperbesar beban yang diperkenankan sebagai pengurang dalam
perhitungan Penghasilan Kena Pajak pemberi kerja.
Sebagaimana telah disinggung dalam angka (1), metode Gross-Up akan
menjadikan seluruh pemberian tunjangan pajak yang sebelumnya terdapat

 
  II-45

 
sejumlah rupiah yang menjadi tanggungan perusahaan, menjadi seluruhnya
 
berbentuk pemberian tunjangan pajak. Menurut UU PPh pasal 6 ayat (1)
  huruf (a) disebutkan bahwa “tunjangan merupakan pengurang yang
  diperkenankan dalam perhitungan PKP Perusahaan”. Hal ini dipertegas

 
dalam peraturan pelaksanaan yang diterbitkann oleh Dirjen Pajak No. Kep-
545/PJ./2000 tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan
 
pelaporan pajak penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
 
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi, Pasal 5 ayat (1) huruf (a)
  disebutkan bahwa penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah:

  “Penghasilan yang diterima secara teratur berupa gaji, uang pensiun


bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota komisaris atau
  anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan,
uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan
kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea
siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur
lainnya dengan nama apapun”.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa tunjangan pajak merupakan objek pajak


penghasilan karena merupakan penghasilan bagi karyawan yang diperkenankan
untuk dikurangkan dalam perhitungan PKP perusahaan. Jadi, seluruh tunjangan
pajak dapat diperlakukan sebagai beban yang dapat dikurangkan dalam perhitungan
PKP perusahaan atau dengan kata lain dapat memperbesar beban yang dapat
dikurangkan dalam perhitungan PKP perusahaan dibandingkan pada saat tidak
menggunakan metode Gross-Up.

II.4.4 Terapan Tax Planing Terkait dengan PPh Pasal 21


Berikut dijelaskan terapan tax planning terkait dengan PPh pasal 21
menurut Pohan (2013)[12]:
1. Klausul Pajak dalam Perjanjian/Kontrak Kerja
Dalam beberapa kasus timbul konflik dalam bisnis, dimana kewajiban
pemotongan PPh pasal 21 atau pasal 26 yang dilakukan darri penghasilan orang
pribadi penerima penghasilan, sewaktu dilaksanakan pemotongannya pihak, yang
dipotong pajak tidak menerima sehingga terjadinya dispute.

 
  II-46

 
Secara normative undang-undang perpajakan telah mewajibkan perusahaan
 
pemilik proyek atau pemberi kerja melaksanakan pemungutan atau pemotongan
  PPh Pasal 21 dari pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontrktor) tidak
bersedia
  dipotong pajaknya dengan alasan pada saat perjanjian atau kontrak kerja
disepakati,
 
masalah pajak tidak dibahas sehingga mereka bersikukuh bahwa harga
kontrak yang disepakati sudah tidak dipotong pajak lagi (net). Secara hukum, alasan
 
pihak kontraktor memiliki justifikasi hukum yang kuat, sehingga bila pada akhirnya
 
pemilik proyek atau pemberi kerja harus menanggung pajaknya, tentu ini menjadi
tambahan
  beban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tambahan beban bagi pemilik
proyek
  atau pemberi kerja tersebut adalah jumlah yang signfikan yang akan
mengerus keuntungan perusahaan.
 
Masalah perpajakan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan, antara lain meliputi:
 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris, dikenakan
tarif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto. Ini berlaku
bagi tenaga ahli yang melakukan peerjaan bebas, sehingga PPh pasal 21
yang dipotong sebesar 50% x Nilai Proyek x tariff PPh Pasal 17 ayat 1 huruf
a.
 Sehubungan dnegan pemberian jasa selain pegawai dan tenaga ahli, yang
dalam pemberian jasanya memperkejakan orang lain sebagai pegawainya
dan atau melakukan penyerahan material atau bahan, dikenai sebesar tariff
PPh pasal 17 ayat 1 huruf a dari nilai proyek.

Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan perjanjian atau kontrak


kerja yang tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu, sebelum
kontrak kerja ditandatangani harus dipastikan:
 Pemuatan klausul pajak dalam perjanjian atau kontrak kerja, yang
mensyaratkan pajak terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di
luar harga pokok barang), yakni dikenakan dari nilai bruto kontrak, dan
untuk PPh pasal 21 atau Pasal 26, pemberi kerja wajib memotong dari
pembayarannya.

 
  II-47

 
 Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggung
 
PPh pasal 21/pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan pemotongannya
  didasarkan pada klausul tersebut.
  Apabila perusaahaan pemilik proyek tidak memotong PPh Psal 21, dan
transaksi
  ini ditemukan oleh fiskus pada saat pemeriksaan pajak, maka perusahaan
akan dikenai kewajiban membayar PPh Pasal 21 yang terutang, ditambah denda
 
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
 
Dari kasus ini jelas bahwa tax planning memerlukan dukungan dari beberapa divisi
dalam
  perusahaan pemilik proyek atau pemberi kerja, antara lain divisi pengadaan

atau  logistic, divisi SDM, dan divisi hukum. Untuk menghindari timbulnya
kerugian di kemudian hari di luar anggaran yang direncanakan, semua divisi yang
 
terkait harus mempertimbangkan aspek perpajakan ats klausul perjanjian atau
kontrak kerja yang hendak dibuat seperti beban pajak yang terutang dan siapa yang
akan menanggung pajaknya.

2. Pajak Ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak secara Gross-up


Seringkali di dalam kontrak kerja ditemukan klausul yang menyatakan
bahwa nilai kontrak sudah “net”, tidak termsuk pajak, atau “pajak ditanggung
perusahaan/pemberi kerja”. Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati,
Karena akan berdampak pada pemotongan pajak dan pembebanan biaya di PPh
Badan.
 Tidak termasuk pajak, artinya pajak akan menjadi beban pemberi kerja, atau
ditangggung oleh perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini akan
mengakibatkan PPh yang ditanggung perusahaan atau pembri kerja tidak
dapat dibiayakan di SPT PPh Badan (non-deductible expense).
 Agar PPh yang ditanggung oleh pemberi kerja dapat dibiayakan, maka
penghitungan PPh harus menggunakan metode gross-up. PPh hasil
penghitungan gross-up tersebut dimasukkan ke dalam nilai kontrak
(termsuk invoice dan faktur pajak) atau menambah penghasilan dari pihak
yang memperoleh penghasilan. Dengan kata lain diberikan “tunjangan
pajak sebesar PPh yang terutang.”

 
  II-48

 
3. Pemberian Uang Saku Secara Lump-Sum atau Reimbursement
 
Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan,
  ataupun jenis pengeluaran perusahaan lainnya juga seringkali menimbulkan aspek
pajak
  berbeda.

  Pembayaran secara lump-sum akan mengakibatkan PPh pasal 21 dihitung


dari seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun didalamnya mungkin terdapat
 
biaya lainnya, missal transportasi, dan akomodasi.
 
Pengertian lump-sum, perusahaan memberikan sekaligus dalam jumlah
  tertentu yang meliputi uang saku, transport, akomodasi, atau unsur biaya
  lainnya, tanpa disertai dengan pertanggungjawaban dan bukti kas
penggunaannya.
 
 Sedangkan dalam prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan penggunaan dan dengan
meminta bukti pengeluaran. Apabila terjadi kelebihan, harus dikembalikan
ke perusahaan, apabila terjadi kekurangan dapat dimintakan kembali
(reimbursement). PPh Pasal 21 hanya akan dihitung dari uang saku atau
tunjangan berupa uang lainnya yang benar-benar diterima atau diperoleh
karyawan.

4. Pemberian Tunjangan Makan atau Menyiapkan Makan bersama


Sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan
sudah boleh dibiayakan di PPh Badan (deductible expense). Perlu dikaji, apakah
perusahaan masih hendak memberikan tunjangan makan?
Dari sisi PPh Badan, dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya
tidak menimbulkan pengaruh apa pun, karena sama-sama bisa dibiayakan, tetapi
pemberian tunjangan makan akan mengakibatkan bertambahnya PPh pasal 21.
Apabila hanya dipandang dari sisi fiskal, lebih menguntungkan jika
disiaapkan makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam
praktiknya harus menggunakan jas catering, harus diingat timbulnya kewajiban
pemotongan PPh Pasl 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruto.
Kajian harus dilakukan terhadap keseluruhan aspek perusahaan. Misalnya
dari sudut pandang psikologi karyawan, apakah akan menimbulkan gojolak atau

 
  II-49

 
tidak? Menguntungkan atau merugikan, tentu harus dilihat dari keseimbangan
 
seluruh sistem.
  5. Memberikan Tunjangan kesehatan atau Fasilitas Pengobatan
Untuk
  biaya kesehatan, perusahaan memiliki pilihan, memberikan tunjangan
kesehatan,
 
menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan, atau menggunakan
metode reimbursement biaya pengobatan.
 
 Bila perusahaan memilih memberikan tunjangan kesehatan, maka perlakuan
 
pajaknya bersifat taxable-deductible. Artinya, tunjangan kesehatan
  merupakan objek PPh Pasal 21 bagi karyawan (penghasilan) dan merupakan
  biaya bagi perusahaan.
 Bila perusahaan menyediakan fasilitas pengobatan, maka perlakuan
 
pajaknya bersifat non taxable-non deductible. Artinya hal itu bukan
penghasilan bagi karyawan dan bukan biaya bagi perusahaan.
 Bila menggunakan metode reimbursement maka perlakuan pajaknya:
- Bersifat non taxable-non deductible, bila persyaratan reimbursement
dapat dipenuhi, yaitu tidak boleh ada mark up, bukti asli diserahkan ke
perusahaan, bukti dibuat atas nama perusahaan atau atas nama karyawan
qq perusahaan, dan diatur dalam kontak kerja antara perusahaan dengan
karyawan.
- Bersifat taxable-deductilble, bila persyaratan reimbursement tidak dapat
dipenuhi. Dalam hal ini esensinya adalah karyawan menerima uang dari
perusahaan yang kemudian digunakan untuk membayar biaya
pengobatan.
Beberapa transaksi lain dalam hubungannya dengan kompensasi bagi
karyawan akandibahas juga di dalam perencanaan pajak yang berkaitan
dengan PPh Badan.
6. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)
Penerapan Tax Planing Dalam PPh Pasal 21, antara lain dengan cara :
1) Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifat final,
diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan
dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kinds), karena
pengeluaaran tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi

 
  II-50

 
perusahaan. Sebagai gantinya untuk kesejahteraan pegawai diberikan
 
dalam bentuk tunjangan, sehingga bisa dibiayakan (mengurangi profit).
  2) Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifat final,
  memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura atau

 
kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk menghindari lapisan
tariff maksimum PPh ps 21. Pilihan pemberian dala bentuk
 
kenikmatan/natura atau dalam bentu tunjangan tidak memengaruhi PPh
 
badan karena pendapatan perusahaan sudah dikenai PPh final,
  kenikmatan, atau dalam bentuk tunjangan tetap, bisa menjadi pengurang

  penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan bruto.


3) Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenai pajak bersifat final,
 
contohnya perusahaan jasa kontruksi, maka efisiensi PPh pasal 21
karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan semaksimal
mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan
yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu
pilihan untuk menghindari lapisan tarif maksimum PPh pasal 21, selain
itu pengeluaran untuk pemberian natura atau kenikmatan tersebut tidak
memengaruhi besarnya PPh badan. Contoh, pemberian makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai (pasal 9 ayat 1e UU PPh) dan
penyediaan bus antar jemput pegawai (Per-51/PJ/2009), kedua hal
tersebut dapat dibiayai tetapi tidak menambah beban PPh Pasal 21
karena tidak menambah pendapatan dalam perhitungan PPh pasal 21
karyawan.

 
  II-51

 
II.4.5 Alur Perencanaan Pajak PPh Pasal 21
 
Menurut Pohan (2013)[12] alur perencanaan pajak PPh pasal 21, yaitu
  sebagai berikut:
 

Gambar II.1 Alur Perencanaan Pajak PPh Pasal 21

Perlu dijelaskan disini, bahwa manajemen tidak bertujuan untuk


mengurangi kewajiban pajak yang sebenarnya terutang, tetapi hanya mengatur

 
  II-52

 
pajak yang dibayar tidak melebihi dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar
 
sehinggga efisien bagi wajib pajak tanpa melanggar ketentuan. Adanya manajemen
  dan perencanaan pajak dalam perusahaan akan membantu wajib pajak dalam
mengelola
  kewajibannya sehingga terhindar dari sanki-sanki yang timbul akibat
adanya
 
pelanggaran, serta merupakan salah saty alternatif bagi perusahaan untuk
mencapai efisiensi pembebanan perusahaan.
 

 
II.4.6 Strategi Perencanaan Pajak untuk Mengefisienkan Beban Pajak
  Menurut Pohan (2013)[12], agar perencanaan pajak sesuai dengan yang
diharapkan,
  perusahaan perlu melakukan analisis terhadap metode-metode dan
kebijakan-kebijakan yang akan digunakan, serta membuat strategi agar efisiensi
 
beban pajak dapat tercapai. Misalnya:
- Memberi tunjangan dalam bentuk uang atau natura atau kenikmatan, karena
pada dasarnya pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan dapat
dikurangkan sebagai penghasilan yang dikenai pajak penghasilan pasal 21
bagi pegawai yang menerimanya. Pemberian tunjangan semacam ini, selain
akan memberi kepuasan dan meningkatkan motivasi kerja pegawai juga
akan meningkatkan produktivitas mereka.
- Perusahaan memberi tunjangan kesejahteraan kepada pegawai dalam
bentuk fasilitas pengobatan. Apabila pemberian tunjangan kesehatan
kepada pegawai diberikan dalam bentuk uang, maka dari pihak perusahaan
tunjangan itu dapat diakui sebagai biaya, dan sebagai penghasilan bagi
pegawai sehingga dikenai PPh pasal 21.
- Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan dapat dilakukan
dengan cara memahami seluruh peraturan, menghitung pajak dengan tepat
dan benar, membayar pajak serta melaporkan SPT masa dan tahunan tepat
waktu.

Anda mungkin juga menyukai