Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Tentang
HASIL PERTEMUAN DIPLOMAT AMERIKA SERIKAT ELLSWORTH BUNKER
DENGAN PEMERINTAH INDONESIA

Guru Pembimbing……………..

D
I
S
U
S
U
N
OLEH: KELOMPOK

SITI ROMADON
ERWIN RANGKUTI
TAMARA RIZKY
AMELIA PULUNGAN

SMA NEGERI 1 SIABU


KAB.MANDAILING NATAL
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang " HASIL PERTEMUAN
DIPLOMAT AMERIKA SERIKAT ELLSWORTH BUNKER DENGAN PEMERINTAH INDONESIA

".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal
jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah
hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.

Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.
BAB I PENDAHULUAN

HASIL PERTEMUAN DIPLOMAT AMERIKA SERIKAT


ELLSWORTH BUNKER DENGAN PEMERINTAH
INDONESIA
Ellsworth Bunker (1 Mei 1894 - 27 September 1984[1]) adalah seorang diplomat Amerika
Serikat. Ia berpendidikan sebagai pengacara, dan bekerja pertama kali di sektor swasta sebelum
menjadi akademisi. Ia lalu pindah ke pemerintahan selama kekuasaan Eisenhower. Pada tahun
1956, ia ditunjuk menjadi duta besar untuk India dan Nepal[2] di mana ia berperan penting dalam
persekutuan tersembunyi antara kedua kekuatan tersebut terhadap China. Ia digantikan oleh John
Kenneth Galbraith pada tahun 1961.

Ia juga berperan besar dalam usaha Indonesia membebaskan Irian Barat, karena ia yang
membuat Belanda mau berunding dengan Indonesia.

ISI POKOK KESEPAKATAN 15 AGUSTUS 1962

Perjanjian New York dilatarbelakangi oleh usaha Indonesia untuk merebut daerah Papua bagian
barat dari tangan Belanda. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag saat pengakuan
kedaulatan Indonesia oleh Belanda disebutkan bahwa masalah Papua bagian barat akan
diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB. Namun sampai tahun 1961, tak terselesaikan.

Amerika Serikat yang takut bila Uni Soviet makin kuat campur tangan dalam soal Papua bagian
barat, mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Belanda
dipimpin oleh Dr. van Roijen, E. Bunker delegasi dari Amerika Serikat menjadi perantaranya.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Soebandrio beserta anggota Adam Malik, Sudjarwo
Tjondronegoro, letjen Hidayat, Ganis Harsono, brigjen Djoehartono, Soegoro Atmoprasodjo
(PIB), Mayor J.A. Dimara (GRIB), M. Indey, Albert Karubuy (GRIB, PKII), Frits Kirihio
(Parna), Silas Papare (PKII) dan Efraim Somisu (Parna).[2]

Tanggal 15 Agustus 1962 diperoleh Perjanjian New York yang berisi penyerahan Papua
bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Kedudukan Papua bagian barat
menjadi lebih pasti setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, rakyat
Papua bagian barat memilih tetap dalam lingkungan RI.

Pada 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan Tiga Komando Rakyat (Trikora). Isi Trikora,
yakni: Gagalkan pembentukan negara Papua Kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat
Bersiap untuk mobilisasi umum untuk mempertahankan kemerdekaan dam kesatuan tanah air
dan bangsa. Berikut secara singkat pembentukan Trikora: Latar belakang Sejak terbentuknya
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masalah Irian Barat tidak sekalipun lepas
dari perhatian Presiden Soekarno.

Masalah Irian Barat bukan sekedar wilayah yang masih berada di tangan kolonialis, tapi juga
menyangkut harga diri sebuah negara berdaulat. Dikeluarkannya Trikora, menandakan bahwa
Presiden Soekarno meninggalkan usaha diplomasi dengan pihak Belanda. Indonesia siap dengan
segala resiko yang dihadapi. Masalah tersebut dilatarbelakangi jika Belanda tidak mau
membicarakan masalah Irian Barat. Karena jika merujuk pada salah satu keputusan Konferensi
Meja Bundar (KMB), 23 Agustus hingga 2 September 1949. Jika mengenai kedudukan Irian
Barat akan ditentukan selambat-lambatnya satu tahun setelah pengakuan kedaulatan. Tapi
kenyataannya setelah ditunggu-tunggu, Belanda tidak mau membicarakan. Siap perang
Persiapan untuk merebut Irian Barat, pada 2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan
keputusan Nomor 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.

Indonesia pun minta bantuan Amerika Serikat (AS) untuk menyelesaikan perselisihan antara
Indonesia dan Belanda. Tapi Amerika Serikat menolak . Presiden Soekarno pun menggunakan
kekuatan persenjataan dengan bantuan dari Uni Soviet. Ketegangan tersebut menarik perhatian
Amerika Serikat. Pada 1962, Amerika Serikat mulai menekan Belanda untuk menyelesaikan
sengketa, ini untuk mengantisipasi timbulnya terjadi peperangan. Desakan tersebut juga untuk
mencegah terseretnya Uni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di
Pasifik.

Akhirnya pada 15 Agustus 1962, ditandatangani Persetujuan New York antara Indonesia dan
Belanda. Isi perjanjian tersebut, yakni:

Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada penguasa pelaksana sementara PBB,
yaitu United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962.

Pada 1 Oktober 1962, bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera
Belanda. Selanjutnya akan diturunkan pada 31 Desember 1962 dan digantikan bendera
IndIndonesia mendampingi bendera PBB Pemerintah UNTEA berakhir pada 1 Mei 1963 dan
pemerintah selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.

Pemulangan orang-orang sipil dan militer Belanda harus selesai pada 1 Mei 1963. Rakyat Irian
Barat diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tetap di wilayah Indonesia atau
memisahkan diri. Kemudian diselenggarakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat).

Hasil Pepera disetujui pada 19 Desember 1969 dan membuktikan bawah Irian Barat bagian dari
Indoenesia.
Resmi jadi wilayah Indonesia Setelah dilakukan penandatangan tersebut, akhirnya secara resmi
Irian Barat berada dibawah pengawasan Idnonesia pada 1963. Bagi Presiden Soekarno itu
merupakan kemenangan besar dalam mempertahankan tanah air. Kembalinya Irian Barat ke
Indonesia menjadi suatu peristiwa yang membanggakan karena dengan diplomasi berhasil
mengembalikan Irian Barat tanpa penggunaan persenjataan yang lebih jauh. Walaupun Soekarno
pada waktu sudah mendapatkan bantuan senjata dari Uni Soviet namun tidak dipergunakan
sepenuhnya.

PEPERA(PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT)

Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) atau yang biasa disebut Pepera merupakan
pemilihan umum yang diadakan pada tanggal 14 Juli–2 Agustus 1969.

Pemilihan ini diselenggarakan untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua,
apakah milik Belanda atau Indonesia.

Sejumlah 1.025 laki-laki dan perempuan yang diseleksi oleh militer Indonesia secara aklamasi
memilih bergabung dengan Indonesia.
Hasil tersebut diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Resolusi 2504 (XXIV) Majelis
Umum.

Resolusi tersebut tidak mempertimbangkan apakah pelaksanaan Pepera mengikuti Perjanjian


New York sesuai Resolusi 1514 dan apakah Pepera tergolong "penentuan nasib sendiri" sesuai
dan Resolusi 1541 (XV).

Keabsahan hasilnya masih dipersoalkan oleh berbagai pihak hingga sekarang.

Referendum beserta pelaksanaannya dijabarkan dalam Perjanjian New York.

Pasal 17 menyatakan:

"Indonesia akan meminta Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang Wakil yang" .. "akan
mewakili Sekretaris Jenderal untuk memberikan saran, membantu, dan berpartisipasi dalam
persiapan penentuan pendapat rakyat yang akan menjadi tanggung jawab Indonesia.

Pada waktu yang tepat, Sekretaris Jenderal akan menunjuk Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa
agar ia dan stafnya melanjutkan dinas mereka di wilayah ini satu tahun menjelang penentuan
nasib sendiri." .. "Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan stafnya akan mendapatkan hak bebas
bepergian (freedom of movement) yang sama seperti personel yang dimaksud dalam Pasal
XVI".

Pasal 18 menyatakan:

Pasal XVIII

Indonesia akan melakukan persiapan, dengan bantuan dan partisipasi Utusan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan stafnya, untuk memberikan kesempatan memilih secara bebas kepada
masyarakat di wilayah ini.

Persiapan yang dimaksud diantaranya:

a. Konsultasi (musyawarah) dengan dewan perwakilan mengenai prosedur dan metode yang
harus diikuti untuk menjamin kehendak masyarakat yang dinyatakan secara bebas.

b. Penentuan tanggal pelaksanaan penentuan pendapat rakyat dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh Perjanjian ini.

c. Perumusan pertanyaan yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat untuk


memutuskan (a) apakah mereka ingin tetap dengan Indonesia; atau (b) apakah mereka ingin
memutus hubungan dengan Indonesia.

d. Kelayakan semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, yang bukan warga negara asing
untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan
praktik internasional, yang bertempat tinggal di wilayah ini pada saat Perjanjian ini
ditandatangani, termasuk penduduk yang pergi setelah 1945 dan pulang untuk tinggal di wilayah
ini setelah pemerintahan Belanda berakhir. 

Menurut pasal 17 dalam perjanjian New York, pemungutan suara baru bisa dilakukan satu tahun
setelah putusan PBB Fernando Ortiz-Sanz, Duta Besar Bolivia.
Fernando sendiri baru tiba di Papua Barat pada 22 Agustus 1968, yang artinya pada tahun 1969,
Pepera baru bisa diselenggarakan.

Dalam perjanjian New York dijelaskan bahwa semua laki-laki atau perempuan di Papua yang
bukan warga negara asing memiliki hak memilih dalam Pepera.

Jenderal Sarwo Edhi Wibowo memilih 1.025 laki-laki dan perempuan dari 800.000 penduduk
untuk mewakili suara rakyat Papua Barat.

Mereka diminta memilih dengan mengangkat tangan atau membaca kalimat yang sudah
disiapkan di hadapan pengamat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Secara terbuka, 1.025 rakyat
Papua Barat tersebut memilih untuk mendukung pemerintahan Indonesia.PBB menerima
hasilnya yang kemudian disahkan Resolusi 2504 di Majelis Umum.

Menurut salah satu wartawan, Hugh Lunn, pihak laki-laki yang dipilih sebagai peserta Pepera
diperas untuk menolak kemerdekaan dan mereka beserta keluarganya mendapat ancaman
kekerasan.Para diplomat Amerika Serikat juga mengatakan Indonesia tidak akan menang jika
pemilihannya dilakukan secara adil dan jujur.

Namun, Ortiz-Sanz menulis dalam laporannya bahwa Pepera telah dilangsungkan sesuai aturan
di Indonesia.Sebagai bagian dari perjanjian New York, Indonesia wajib menyelenggarakan
Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969.

Pada awal tahun 1969, pemerintah Indonesia mulai menyelenggarakan Pepera yang
terdiri dari 3 tahap, antara lain:

• Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 Maret 1969.

Dalam tahap ini diadakan konsultasi dengan dewan kabupaten di Jayapura perihal tata cara
penyelenggaraan Pepera.

• Tahap kedua, dilakukan pemilihan Dewan Musyawarah Pepera yang berakhir pada bulan Juni
1969.

• Tahap ketiga, diselenggarakan Pepera dari kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4
Agustus 1969 di Jayapura.

Utusan PBB juga ikut menyaksikan pelaksanaan Pepera ini, yaitu utusan dari Australia dan
Belanda.Ternyata hasil Pepera menunjukkan masyarakat Irian Barat menghendaki bergabung
dengan NKRI.Hasil Pepera itu kemudian dibawa ke sidang umum PBB, lalu pada tanggal 19
November 1969, sidang umum PBB menerima dan menyetujui hasil-hasil Pepera.Walaupun
hasil Pepera telah disahkan oleh PBB, pelaksanaan Pepera masih sering dianggap sebagai
Pemaksaan Pendapat Rakyat.

Ketika kepemimpinan presiden Soeharto jatuh pada tahun 1998, Uskup Agung Desmond Tutu
bersama sejumlah anggota parlemen Eropa dan Amerika Serikat meminta Sekjend PBB, Kofi
Annan agar meninjau ulang peran PBB dalam Pepera.Beberapa pihak meminta PBB agar
mengadakan referendumnya sendiri dengan kriteria pemilih yang telah tertulis dalam perjanjian
New York.
Selain itu, mereka juga memperhatikan izin tambang yang dijual Indonesia ke Freeport-
McMoran pada 1967 dengan masa kontrak 30 tahun sebagai dasar bahwa hasil Pepera 1969
tidak sah.

Kemudian, dalam Kongres Rakyat Papua Barat ke-3, pada 19 Oktober 2011, dinyatakan bahwa
perjanjian New York dan Pepera 1969 tidak sah.

Mereka juga meminta pengakuan dari PBB sebagai negara merdeka berdasarkan hukum
internasional dan hukum yang ada.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis peneliti


terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil temuan akhir ini merupakan
pandangan dan interpretasi peneliti tentang inti pembahasan penulisan

Anda mungkin juga menyukai