Anda di halaman 1dari 99

Chapter 1

HARI-HARI pertamaku di Camp Cold Lake tidak bisa dibilang


asyik.
Aku gugup sekali ketika baru datang. Dan rasanya aku sempat
melakukan hal-hal konyol.
Habis, aku memang tidak berminat menghabiskan liburan
musim panas di perkemahan yang menempatkan olahraga air sebagai
atraksi utamanya.
Aku tidak suka berada di alam bebas. Aku tidak suka kalau
rumput menyerempet pergelangan kakiku. Aku bahkan tidak suka
menyentuh pohon. Dan yang paling penting, aku tidak suka basah-
basahan.
Memang sih, sekali-sekali aku juga senang berenang. Tapi
jangan setiap hari! Itu kan keterlaluan!
Aku suka berenang di kolam renang yang bersih. Jadi begitu
aku melihat danau di dekat perkemahan, aku langsung merinding.
Habis, danau itu pasti penuh makhluk mengerikan.
Pasti banyak makhluk seram yang mengintai di bawah
permukaan air sambil berpikir: "Ayo, Sarah Maas, kami sudah
menunggumu. Terjun dan berenanglah. Kami akan menggosokkan
tubuh kami yang berlendir ke kakimu, Sarah. Dan kami juga akan
menggigit jari kakimu sampai putus, satu per satu."
Hih! Siapa yang mau berenang di air berlendir?
Reaksi Aaron justru berlawanan. Saking gembiranya, ia seolah
mau meledak.
Ketika kami turun dari bus, ia melompat-lompat sementara
mulutnya menyerocos tanpa titik dan koma. Saking semangatnya, aku
sempat menyangka ia bakal buka baju dan langsung terjun ke danau.
Adikku memang senang perkemahan musim panas. Ia suka
olahraga dan kegiatan di alam bebas. Ia menyukai segala sesuatu dan
bisa akrab dengan semua orang.
Sebaliknya, semua orang juga menyukai Aaron. Soalnya ia
selalu penuh semangat dan selalu gembira.
Hei, jangan salah sangka—aku bukannya pemurung. Tapi
bagaimana kita bisa gembira kalau tidak ada mall, bioskop, atau
restoran untuk membeli piza atau kentang goreng?
Bagaimana kita bisa gembira kalau setiap hari harus berendam
di danau sedingin es? Di bumi perkemahan yang jaraknya
berkilometer-kilometer dari kota terdekat? Di tengah hutan lebat lagi?
"Wah, liburan di sini bakal heboh," seru Aaron. Ia menyeret
ranselnya dan bergegas untuk mencari pondoknya.
"Apanya yang heboh?" aku bergumam dengan lesu. Aku sudah
mulai berkeringat karena matahari bersinar cerah.
Apakah aku gampang keringatan? Tentu saja tidak.
Jadi kenapa aku datang ke Camp Cold Lake? Pertanyaan itu
bisa kujawab dengan empat kata: karena Mom dan Dad.
Mereka bilang aku akan tambah percaya diri kalau berlibur di
perkemahan olahraga air. Mereka bilang aku akan merasa lebih
nyaman di alam bebas.
Mereka juga bilang aku akan punya kesempatan bertemu
teman-teman baru.
Memang sih, aku agak sulit berteman. Aku bukan seperti
Aaron. Aku tidak bisa menghampiri seseorang, dan langsung
mengajaknya mengobrol dan bercanda.
Aku agak pemalu. Mungkin karena tubuhku lebih jangkung
dibanding anak-anak sebayaku pada umumnya. Aku satu kepala lebih
tinggi dari Aaron. Padahal usia kami cuma selisih satu tahun. Aaron
sebelas tahun, dan aku dua belas tahun.
Aku jangkung dan kurus sekali. Kadang-kadang aku dipanggil
si "Jangkrik" oleh Dad.
Terus terang aku sebal dengan julukan itu, sama sebalnya
dengan berenang di danau dingin yang penuh makhluk tersembunyi.
"Cobalah untuk menikmati pengalaman ini, Sarah," Mom
berpesan.
Aku cuma bisa menghela napas panjang.
"Ya, coba lihat dulu bagaimana keadaan di sana," Dad
menambahkan. "Siapa tahu kau menyukainya." Aku kembali
menghela napas panjang.
"Nanti, kalau tiba waktunya pulang, bisa-bisa kau malah
memohon-mohon untuk diajak berkemah lagi!" Dad berkelakar.
Aku hendak menghela napas panjang lagi—tapi tiga kali
berturut-turut rasanya terlalu banyak.
Aku cuma mendesah, merangkul Mom dan Dad, lalu menyusul
Aaron yang sudah naik ke bus.
Sepanjang jalan Aaron terus cengar-cengir. Ia sudah tidak sabar
untuk belajar main ski air. Dan ia juga terus bertanya apakah di bumi
perkemahan ada menara untuk belajar loncat indah.
Aaron mendapat tiga atau empat teman baru dalam perjalanan
ke perkemahan.
Aku memandang ke luar jendela, dan memperhatikan
pepohonan dan rumah-rumah petani yang kami lewati. Aku terus
memikirkan teman-temanku yang lebih beruntung. Mereka tetap di
rumah, dan bisa jalan-jalan ke mall.
Akhirnya kami tiba di Camp Cold Lake. Semua anak membawa
tas masing-masing. Semua tertawa dan bercanda gembira.
Rombongan kami disambut sekelompok pembina yang memakai T-
shirt hijau tua.
Perasaanku mulai lebih enak.
Hmm, mungkin aku bisa mendapat teman baru di sini, aku
berkata dalam hati. Mungkin ada anak-anak yang seperti aku—dan
kami bisa menikmati liburan musim panas bersama-sama.
Aku masuk ke pondokku. Aku melihat ketiga teman sekamarku,
lalu memandang berkeliling.
Dan kemudian aku berseru, "Oh, ini tidak bisa! Pokoknya, tidak
bisa!"
Chapter 2

AKu tahu reaksiku agak berlebihan.


AkU tahu baru muncul aku sudah memberi kesan buruk.
Tapi bagaimana lagi? Di dalam pondok ada dua tempat tidur
tingkat. Ketiga teman sepondokku semuanya cewek, dan mereka
sudah memilih tempat tidur. Jadi hanya ada satu yang tersisa—tepat di
depan jendela.
Dan jendela itu tidak ada kawat nyamuknya.
Berarti tempat tidurku akan dihinggapi serangga yang merayap-
rayap. Aku langsung tahu semalam suntuk aku bakal sibuk mengusir
nyamuk.
Di samping itu, aku tidak bisa tidur di bagian atas tempat tidur
tingkat. Aku selalu gulang-guling ke kiri-kanan saat tidur. Kalau aku
tidur di atas, aku pasti jatuh.
Aku harus tidur di bawah, di tempat tidur yang paling jauh dari
jendela.
"A-aku tidak bisa!" aku tergagap-gagap.
Ketiga teman sepondokku langsung menoleh. Satu berambut
pirang dikuncir. Di dekatnya berdiri cewek pendek gendut dengan
rambut panjang berwarna cokelat. Dan di tempat tidur yang
berseberangan dengan jendela duduk cewek keturunan Afrika yang
menatapku sambil mengerutkan kening.
Kurasa mereka ingin menyapaku dan memperkenalkan diri.
Tapi aku tidak memberi kesempatan kepada mereka.
"Salah satu dari kalian harus tukar tempat tidur denganku!" aku
memekik. Aku sebenarnya tidak bermaksud memekik. Tapi aku
benar-benar panik.
Pintu pondok membuka sebelum mereka sempat menyahut.
Pemuda berambut pirang pasir dengan T-shirt seragam hijau tua
masuk.
"Namaku Richard," katanya. "Aku bos di sini, alias pembina
kalian. Bagaimana, semuanya beres?"
"Tidak!" seruku.
Aku tidak sanggup menahan diri. Aku begitu gugup dan tegang.
"Aku tidak bisa tidur di situ!" ujarku. "Aku tidak mau di dekat jendela.
Dan aku harus tidur di tempat tidur bagian bawah."
Ketiga cewek lainnya tercengang melihat tingkahku.
Richard berpaling kepada anak cewek yang duduk di tempat
tidur di seberang jendela. "Briana, maukah kau bertukar tempat tidur
dengan..."
"Sarah," aku memberitahunya.
"Maukah kau bertukar tempat tidur dengan Sarah?" Richard
bertanya pada Briana.
Gadis itu langsung menggelengkan kepala dengan tegas.
"Tidak," katanya pelan.
Ia menunjuk gadis gendut dengan rambut panjang berwarna
cokelat. "Meg dan aku tidur sama-sama tahun lalu," kata Briana
kepada Richard. "Jadi tahun ini kami ingin bersama-sama lagi."
Meg mengangguk. Wajahnya yang bulat berkesan kekanak-
kanakan. Pipinya menggembung. Dan ia memakai kawat gigi
berwarna biru dan merah.
"Pokoknya aku tidak bisa tidur di depan jendela," aku berkeras.
"Sungguh. Aku takut serangga."
Richard menatap Briana dengan tajam. "Bagaimana?"
Briana menghela napas. "Oke... baiklah." Ia meringis kepadaku.
"Terima kasih," ujar Richard. Aku sadar ia sedang
mengamatiku.
Aku pasti dianggapnya tukang buat onar, kataku dalam hati.
Briana turun dari tempat tidur. Ia menyeret tasnya ke tempat
tidur di depan jendela. "Tuh, pakai saja tempat tidurku," ia bergumam.
Nada suaranya sama sekali tidak bersahabat.
Aku merasa tidak enak. Belum apa-apa aku sudah dibenci
teman-teman sekamarku.
Kenapa aku selalu begitu? Kenapa aku selalu gugup dan
memberi kesan awal yang buruk kepada orang lain?
Sekarang aku harus berusaha ekstra keras untuk berteman
dengan mereka, pikirku.
Tapi semenit kemudian, aku melakukan sesuatu yang sangat
bodoh.
Chapter 3

"HEI, terima kasih kau mau bertukar tempat tidur, Briana,"


kataku. "Kau baik sekali."
Ia mengangguk tapi tidak mengatakan apa-apa. Meg membuka
tasnya dan mulai memindahkan celana pendek dan T-shirt ke laci
lemari pakaian.
Anak cewek yang ketiga menatapku sambil tersenyum. "Hai!
Aku Janice," ia menyapa. Suaranya bernada parau. "Tapi semua orang
memanggilku Jan.
Jan tersenyum ramah. Rambutnya yang pirang dikuncir.
Matanya berwarna biru tua dan pipinya kemerahan. Seakan-akan ia
terus tersipu-sipu.
"Kau juga berlibur di sini waktu musim panas tahun lalu?" aku
bertanya padanya.
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Briana dan Meg memang
berlibur di sini. Tapi ini pertama kali aku kemari. Tahun lalu aku
berlibur di perkemahan tenis."
"Aku baru sekali ini berlibur di perkemahan," aku berterus-
terang. "Jadi aku agak gugup."
"Kau jago renang?" tanya Briana.
Aku angkat bahu. "Lumayan, sih. Tapi aku jarang berenang.
Aku kurang suka."
Meg berpaling dari lemari pakaian. "Kau tidak suka berenang,
tapi kau berlibur di perkemahan olahraga air?"
Briana dan Jan langsung tertawa.
Wajahku mendadak panas. Aku enggan mengaku bahwa aku
kemari karena disuruh orangtuaku. Kedengarannya payah banget.
Tapi aku tidak tahu harus berkata apa.
"Aku... ehm... aku suka kegiatan lain," aku tergagap-gagap.
"Oh—baju renangmu bagus sekali!" seru Briana. Ia mengambil
baju renang berwarna kuning terang dari tas Meg dan mengamatinya
dengan saksama. "Ya, keren lho."
Meg segera merebutnya. "Memangnya kau muat!" ia
bergumam. Kawat giginya beradu setiap kali ia bicara.
Di samping Briana yang jangkung dan anggun, Meg kelihatan
seperti bola boling.
"Apakah kau tambah kurus selama musim dingin?" Briana
bertanya padanya. "Kau tampak keren. Sungguh, Meg."
"Berat badanku memang turun sedikit," sahut Meg. Ia menghela
napas. "Tapi aku tidak tambah tinggi."
"Aku tambah tinggi sekitar tiga puluh senti tahun ini," aku
menimpali. "Aku anak cewek paling jangkung di sekolah. Semua
orang menoleh kalau aku lewat."
"Oh, kasihan," Meg berkomentar sambil meringis. "Mungkin
kau lebih suka jadi kurcaci seperti aku?"
"Ehm... tidak juga sih," jawabku.
Oops. Baru sekarang aku sadar aku seharusnya tidak berkata
begitu.
Meg tampak sakit hati.
Kenapa aku bilang begitu? aku bertanya dalam hati.
Kenapa aku selalu keseleo lidah?
Aku meraih ranselku yang masih tergeletak di lantai. Aku
membawanya ke tempat tidurku untuk kubongkar isinya.
"Hei—itu ranselku! Mau dibawa ke mana?" Jan bergegas
menghampiriku.
Aku menatap ransel yang kubawa. "Bukan, ini punyaku," aku
berkeras.
Aku menarik ritsletingnya—dan ransel itu jatuh dari tempat
tidur.
Setumpuk barang langsung berserakan di lantai pondok.
"Oh!" aku memekik tertahan. Barang-barang itu bukan milikku.
Aku melihat botol-botol obat. Dan alat pernapasan dari plastik.
"Obat asma?" seruku.
Jan cepat-cepat berlutut dan memungut barang-barangnya. Ia
menatapku dengan gusar. "Kenapa kau harus memberitahu semua
orang bahwa aku asma? Kenapa tidak sekalian saja kau
mengumumkannya saat acara api unggun nanti malam?"
"Sori," aku bergumam.
"Kan sudah kubilang itu ranselku," hardik Jan.
Meg membungkuk dan membantu mengumpulkan barang-
barang Jan. "Kau tidak perlu malu karena asma," katanya.
"Itu urusanku sendiri," balas Jan dengan ketus. Ia memasukkan
semua obat-obatan ke dalam kantong dan menarik ranselnya.
"Sori," aku berkata sekali lagi.
Mereka bertiga menatapku dengan tajam. Briana geleng-geleng
kepala. Meg berdecak-decak.
Mereka membenciku, aku berkata dalam hati. Aku sedih sekali.
Mereka membenciku, padahal ini baru hari pertama. Aku baru
satu jam berkenalan dengan mereka. Aku menghela napas dan duduk
di tempat tidur. Rasanya tidak ada keadaan yang lebih parah daripada
ini, pikirku.
Tapi ternyata aku keliru.
Chapter 4

MALAM itu pertama kali kami membuat api unggun di


lapangan luas di dekat hutan. Balok-balok kayu disusun melingkar
untuk digunakan sebagai bangku.
Aku mencari tempat kosong dan duduk membelakangi
pepohonan. Api unggun besar di hadapanku menari-nari dan
menerangi langit senja yang kelabu.
Apinya meretih-retih. Baunya enak sekali. Aku menarik napas
dalam-dalam.
Para pembina melemparkan lebih banyak ranting ke dalam api.
Dalam sekejap lidah apinya sudah lebih tinggi dari mereka.
Udara malam gerah dan kering. Pipiku seakan-akan membara
karena panas yang terpancar dari api unggun.
Aku berbalik dan memandang ke hutan. Pohon-pohon yang
gelap tampak berayun pelan karena tiupan angin. Dalam cahaya
remang-remang, aku melihat seekor tupai melintas di antara alang-
alang.
Aku bertanya-tanya, makhluk apa lagi yang mengintai di hutan
gelap itu. Pasti ada binatang yang lebih besar daripada tupai. Lebih
besar dan lebih berbahaya.
KRAK! Bunyi patahan api unggun membuatku tersentak kaget.
Seram juga di luar kalau sudah gelap, aku berkata dalam hati.
Kenapa api unggunnya tidak dibuat di dalam ruangan saja? Di tempat
perapian, misalnya?
Aku menepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku.
Ketika aku kembali berpaling ke api unggun, aku melihat
Briana dan Meg duduk di salah satu balok kayu. Mereka sedang
tertawa-tawa sambil mengobrol dengan dua anak cewek yang tidak
kukenal.
Aku melihat Aaron duduk di seberang api unggun. Ia sedang
bercanda dengan dua anak cowok. Mereka bergulat dan saling dorong.
Aku menghela napas. Aaron sudah mendapat teman-teman
baru, pikirku.
Semua sudah mendapat teman baru—kecuali aku.
Aaron melihat aku sedang memandang ke arahnya. Ia
melambaikan tangan, lalu kembali asyik bermain dengan teman-
temannya.
Di balok kayu sebelah tiga anak cewek duduk sambil
mendongakkan kepala. Mereka sedang menyanyikan lagu kebesaran
Camp Cold Lake.
Aku mendengarkan mereka sambil mencoba menghapalkan
syair lagu itu. Tapi di tengah jalan mereka mulai tertawa cekikikan
dan berhenti menyanyi.
Dua anak cewek yang lebih tua duduk di ujung balok yang
kududuki. Kelihatannya mereka berusia sekitar lima belas atau enam
belas tahun. Aku menoleh untuk menyapa mereka. Tapi mereka
terlalu asyik mengobrol berdua.
Richard, si kepala pembina, melangkah ke depan api unggun. Ia
memakai topi bisbol hitam yang diputar ke belakang. Celana
pendeknya yang gombrong tampak kotor akibat mempersiapkan api
unggun tadi.
Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Semua sudah
berkumpul?" ia berseru.
Suaranya nyaris tidak kedengaran. Semua anak masih asyik
mengobrol dan tertawa. Di balik api unggun aku melihat Aaron
bangkit dan menggeliat-geliut tak keruan.
Teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Salah satu dari
mereka mengajak Aaron ber-high five.
"Sudah bisa dimulai?" Richard berseru. "Acara api unggun
selamat datang sudah bisa dimulai?"
Sebuah balok kayu berderak dimakan api. Bunga api berwarna
merah beterbangan ke segala arah.
"Oh!" aku memekik ketika ada yang menyentuh pundakku.
"Siapa...?" Aku langsung berbalik. Dan melihat Briana dan
Meg.
Mereka berdiri di hadapanku. Raut muka mereka ketakutan.
"Sarah—lari!" Briana berbisik.
"Berdiri—cepat!" Meg menarik-narik lenganku. "Lari!"
"Kenapa? Ada apa, sih?" tanyaku kalang kabut.
Chapter 5

AKu cepat-cepat berdiri. "Ada apa, sih?"


"Anak-anak cowok itu," Meg berbisik. Ia menunjuk ke seberang
api unggun. "Mereka melempar petasan ke dalam api. Sebentar lagi
petasannya akan meledak!"
"Lari!" keduanya berseru.
Meg mendorongku dari belakang.
Aku terhuyung-huyung sejenak—lalu melesat maju. Sambil
berlari aku memejamkan mata rapat-rapat. Petasannya sudah mau
meledak!
Apakah aku masih sempat lari? Apakah Meg dan Briana juga
bisa meloloskan diri?
Aku mendadak berhenti ketika mendengar suara tawa.
Tawa berderai-derai.
"Hah?" Aku menelan ludah dan menoleh ke belakang.
Ternyata separuh peserta perkemahan sedang menertawakanku.
Meg dan Briana ber-high five.
"Oh, aduuuh," aku bergumam. Bisa-bisanya aku ketipu.
Dan tega-teganya mereka mempermainkanku seperti ini.
Mereka pasti telah menyuruh semua anak memperhatikanku.
Rasanya semua mata tertuju ke arahku ketika aku berdiri sendirian di
tepi hutan.
Aku mendengar anak-anak tertawa dan berkomentar macam-
macam.
Aku melihat Jan tertawa. Dan aku melihat Richard dan
beberapa pembina lain tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Aku tahu, aku tahu. Seharusnya aku ikut tertawa. Seharusnya
aku menganggap semuanya cuma lelucon saja.
Seharusnya aku tidak kesal.
Tapi sejak awal kedatanganku ke sini perasaanku sudah tidak
enak. Aku gugup sekali. Aku berusaha keras untuk tidak membuat
kesalahan lagi.
Pundakku mulai gemetaran. Dan mataku mulai berair.
Jangan! aku berkata dalam hati. Jangan menangis! Kau tidak
boleh menangis di depan seluruh peserta perkemahan.
Memang, kau pasti malu sekali, Sarah. Tapi sudahlah. Ini cuma
lelucon. Lelucon konyol.
Seseorang menggamit lenganku. Aku segera melepaskan diri.
"Sarah...." Aaron muncul di sampingku. Ia menatapku dengan
matanya yang cokelat.
"Aku tidak apa-apa," ujarku dengan ketus. "Pergilah!"
"Jangan sewot begitu, dong," ia berkata pelan. "Kenapa sih kau
susah benar diajak bercanda? Ini kan cuma lelucon. Kenapa kau harus
marah-marah gara-gara lelucon konyol?"
Kau tahu apa yang paling kubenci?
Aku paling benci kalau ucapan Aaron benar.
Maksudku, Aaron adikku, kan? Kenapa justru Aaron yang
selalu tenang dan kalem?
Aku benar-benar sebal kalau Aaron bersikap seakan-akan ia
kakakku.
"Jangan sok tahu," aku menggeram. "Sudah, ja-ngan ganggu
aku lagi." Aku mendorongnya ke arah api unggun.
Ia cuma angkat bahu dan kembali ke teman-temannya.
Aku berjalan lambat-lambat, tapi tidak kembali ke tempat
dudukku tadi. Balok itu terlalu dekat dengan api unggun—dan terlalu
dekat dengan Briana dan Meg.
Aku memilih balok kayu di dekat tepi hutan, yang tak
terjangkau cahaya api unggun. Kegelapan di sekelilingku terasa
menyejukkan dan sekaligus membantu menenangkan diriku.
Sejak tadi Richard terus berbicara. Aku baru sadar bahwa aku
sama sekali tidak memperhatikan apa yang dikatakannya.
Ia berdiri di depan api unggun. Suaranya besar dan lantang.
Tapi semua anak mencondongkan badan ke depan untuk mendengar
lebih jelas.
Aku memandang berkeliling. Wajah para peserta perkemahan
bersinar jingga karena memantulkan cahaya api unggun. Mata mereka
tampak berbinar-binar.
Dalam hati aku bertanya apakah ada di antara mereka yang mau
berteman denganku.
Aku tahu aku mengasihani diriku sendiri. Dan aku bertanya-
tanya, adakah di antara anak-anak yang baru sekali ini berkemah yang
merasakan perasaan yang sama.
Suara Richard terngiang-ngiang di telingaku. Ia mengatakan
sesuatu tentang bangunan utama. Lalu ia menyinggung soal jadwal
makan. Dan kemudian ia mulai bicara tentang handuk.
Aku mulai lebih memperhatikannya ketika ia memperkenalkan
koordinator kegiatan olahraga air. Namanya Liz.
Semua orang bertepuk tangan ketika Liz melangkah ke samping
Richard. Salah satu anak cowok malah bersuit-suit.
"Wow, boleh juga!" seru anak cowok lainnya. Semuanya
tertawa.
Liz pun tersenyum. Ia sadar penampilannya memang heboh. Ia
mengenakan celana pendek jeans dan kaus ketat berwarna biru tua. Ia
melambaikan tangan, meminta semua anak tenang.
"Kalian semua senang di sini?" ia berseru.
Semua peserta bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Beberapa
anak cowok kembali bersuit-suit.
"Nah, besok adalah hari pertama di danau," Liz mengumumkan.
"Tapi sebelum kalian masuk ke danau, ada beberapa peraturan yang
harus kalian ketahui."
"Misalnya, jangan minum air danau!" Richard menimpali.
"Kecuali kalau kalian benar-benar haus!"
Beberapa anak tertawa. Aku diam saja. Ih, mana mungkin ada
yang mau minum air kotor berlendir itu?
Liz juga tidak tertawa. Ia menatap Richard sambil mengerutkan
kening. "Kita harus serius," ia menegur rekannya.
"Aku memang serius!" Richard berkelakar.
Liz tidak menggubrisnya. "Kalau kalian kembali ke pondok
masing-masing nanti, kalian akan menemukan daftar peraturan di
tempat tidur," ia melanjutkan sambil menyibakkan rambutnya yang
panjang berwarna merah. "Ada dua puluh peraturan pada daftar itu.
Dan kalian harus menghapal semuanya."
Hah? Dua puluh peraturan? pikirku. Mana mungkin ada dua
puluh peraturan? Banyak amat.
Liburan musim panas kurang panjang untuk menghapalkan dua
puluh peraturan.
Liz mengangkat selembar kertas. "Kita akan membahas
semuanya satu per satu sekarang. Silakan tanya kalau ada yang kurang
jelas."
"Apakah kami sudah boleh berenang sekarang?" seru anak
cowok yang bermaksud melucu.
Sebagian besar anak tertawa.
Tapi Liz diam saja. Jangankan tertawa, tersenyum pun tidak.
"Itu peraturan nomor delapan," jawabnya. "Dilarang berenang pada
malam hari, meskipun kalian ditemani pembina."
"Jangan sekali-sekali berenang kalau ada pembina!" Richard
bergurau. "Soalnya mereka semua membawa kuman!"
Richard memang kocak, aku berkata dalam hati. Tapi Liz
kelihatan begitu serius.
Daftar peraturan yang dipegangnya melambai-lambai tertiup
angin. Ia menggenggamnya dengan dua tangan. Rambutnya yang
merah memantulkan cahaya api unggun.
"Peraturan paling penting di Camp Cold Lake adalah Sistem
Pasangan," Liz mengumumkan. "Setiap kali kalian bermain di danau,
kalian harus didampingi pasangan kalian."
Ia menatap para peserta yang duduk di sekelilingnya.
"Walaupun kalian cuma jalan-jalan di air semata kaki, kalian harus
didampingi pasangan," katanya. "Kalian bebas berganti pasangan
setiap kali. Atau bisa juga kalian memilih satu pasangan untuk
sepanjang liburan. Tapi kalian harus selalu punya pasangan."
Ia menarik napas dalam-dalam. "Ada pertanyaan?"
"Maukah kau jadi pasanganku?" seru salah satu anak cowok.
Semuanya tertawa. Aku juga. Canda anak itu memang benar-
benar pas.
Tapi sekali lagi. Liz tidak terpengaruh. "Sebagai koordinator
olahraga air, aku akan bertindak sebagai pasangan semua peserta
kemah," ia menjawab dengan serius.
"Sekarang, peraturan nomor dua," ia melanjutkan. "Jangan
berenang terlalu jauh dari perahu-perahu pengaman. Peraturan nomor
tiga—dilarang berteriak atau pura-pura mengalami kesulitan di dalam
air. Jangan bergurau. Jangan main-main. Peraturan nomor empat..."
Ia terus berbicara, sampai kedua puluh peraturan selesai
dibacakannya.
Aku menghela napas. Liz memperlakukan kami seperti anak-
anak lima tahun, aku berkata dalam hati.
Begitu banyak peraturan yang harus dihapal. "Aku akan
mengulang sekali lagi soal Sistem Pasangan...," Liz berkata.
Aku memandang lewat api unggun, dan melihat danau yang
gelap. Permukaannya tampak licin dan hitam dan tenang.
Di danau itu cuma ada riak kecil. Tak ada arus. Tak ada
gelombang pasang yang berbahaya.
Jadi kenapa harus ada begitu banyak peraturan? aku bertanya
dalam hati.
Apa yang harus ditakuti?
Chapter 6

LIZ bicara selama paling tidak setengah jam. Richard terus


melucu dan berusaha membuat rekannya tertawa. Tapi sia-sia. Bahkan
sekadar tersenyum pun Liz tampaknya enggan.
Ia kembali membahas setiap peraturan yang ada dalam
daftarnya. Kemudian ia menyuruh kami membaca daftar itu dengan
saksama setelah kami kembali ke pondok masing-masing.
"'Selamat berlibur semuanya!" ia berseru. "Sampai ketemu di
danau!"
Semua bersorak-sorai dan bersuit-suit ketika Liz menjauhi api
unggun. Aku menguap dan meluruskan tangan ke atas kepala. Ini
benar-benar membosankan, pikirku.
Baru sekarang aku tahu ada tempat yang punya begitu banyak
peraturan.
Aku kembali menepuk nyamuk yang hinggap di tengkukku.
Badanku mulai gatal-gatal. Begitulah akibatnya kalau aku berada di
alam bebas. Aku langsung gatal-gatal.
Api unggun telah padam. Bara berwarna ungu teronggok di
tanah yang gelap. Udara malam semakin dingin.
Untuk menutup acara api unggun, Richard meminta semua anak
berdiri dan menyanyikan lagu kebesaran Camp Cold Lake. "Para
peserta baru tentu belum tahu liriknya," ia berkata. "Kalian
beruntung!"
Semua tertawa. Kemudian Richard mulai bernyanyi, dan
semuanya langsung angkat suara.
Aku pun berusaha ikut. Tapi liriknya cuma kutangkap
sepenggal demi sepenggal....
"Wetter is better..."
"Get in the swim.
Show your vigor and vim..."
"Every son and daughter should be in the water, the cold, cold
water of Camp Cold Lake."

Wah, ternyata aku sependapat dengan Richard. Lirik lagu itu


memang konyol minta ampun!
Aku memandang ke seberang api unggun dan melihat Aaron
bernyanyi dengan sepenuh hati. Tampaknya ia sudah hapal seluruh
syairnya.
Bagaimana caranya? aku bertanya dalam hati sambil
menggaruk kakiku yang gatal. Kok ia bisa begitu cepat hapal? Dan
begitu mudah bergaul?
Setelah lagu itu berakhir, Richard mengangkat tangan supaya
semua tenang. "Masih ada beberapa pengumuman," ia berseru.
"Pertama, suara kalian semua sumbang! Kedua..."
Aku tidak mendengarkan sisanya. Aku menoleh dan melihat
Briana dan Meg berdiri di sampingku.
Aku langsung mundur selangkah. "Mau apa kalian?" tanyaku
dengan ketus.
"Kami ingin minta maaf," ujar Briana.
Meg mengangguk. "Yeah. Kami mau minta maaf karena
lelucon konyol tadi."
Richard masih terus berpidato di belakang kami. Briana
meletakkan sebelah tangan di pundakku. "Perkenalan kita kurang
enak," katanya. "Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi? Kau
setuju, Sarah?"
"Yeah, kita mulai dari awal saja," Meg menimpali. Aku
langsung mengembangkan senyum. "Setuju," kataku. "Setuju sekali."
"Oke!" ujar Briana. Ia juga tersenyum lebar.
Ia menepuk punggungku. "Mari kita mulai dari awal."
Richard masih sibuk memberikan pengumuman. "Jam setengah
lima sore besok, semua yang berminat pada selancar angin..."
Aaron pasti akan mencobanya, aku berkata dalam hati. Aku
memperhatikan Briana dan Meg berjalan menj auh.
Awal yang baru, pikirku. Perasaanku mendadak jauh lebih
enak.
Tapi perasaan gembira itu cuma bertahan sekitar dua detik.
Tiba-tiba punggungku gatal-gatal.
Aku berbalik ke api unggun dan melihat Briana dan Meg
memandang ke arahku. Keduanya tertawa cekikikan.
Anak-anak lain mulai mengalihkan perhatian dari Richard dan
menatapku.
"Ohhh." Aku mengerang ketika merasakan sesuatu yang hangat
menggeliat-geliut di punggungku.
Sesuatu yang hangat dan kering bergerak-gerak di balik T-shirt-
ku.
"Aduh."
Aku menyelipkan sebelah tangan ke balik bajuku. Apa itu? Apa
yang ditaruh Briana di punggungku tadi?
Aku menggenggamnya dan menariknya ke luar. Dan aku pun
langsung menjerit.
Chapter 7

ULAR itu menggeliat-geliut di tanganku.


Bentuknya seperti tali sepatu berwarna hitam. Dengan mata!
Dan mulut yang menyambar-nyambar, membuka dan menutup.
"Ahhh!" Aku menjerit sejadi-jadinya. Kemudian kulempar ular
itu dengan sekuat tenaga.
Ular itu terpental ke hutan.
Punggungku masih gatal-gatal. Aku masih bisa merasakan ular
tadi menggeliat-geliut di kulitku.
Aku berusaha menggaruk punggung dengan kedua tangan.
Anak-anak di sekitarku mulai tertawa. Berita mengenai
keisengan Briana menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut.
Aku tidak peduli. Aku terus menggaruk-garuk.
Seluruh tubuhku terasa gatal. Aku berteriak dengan gusar.
"Apa-apaan sih kalian?" aku menghardik Briana dan Meg. "Apa sih
yang kalian inginkan?"
Aaron menghampiriku. Ia pasti sudah siap untuk bersikap sok
tahu lagi.
Huh, menyebalkan.
"Sarah, kau digigit?" ia bertanya dengan suara pelan.
Aku menggelengkan kepala. "Rasanya ular itu masih merambat
di punggungku!" aku berseru. "Kaulihat, tidak? Panjangnya hampir
satu meter!"
"Tenang dulu," bisik Aaron. "Semua orang menoleh kemari."
"Kaupikir aku tidak tahu?" balasku dengan ketus.
"Hmm, itu kan cuma ular kecil," ujar Aaron. "Sama sekali tidak
berbahaya. Kau tidak perlu sewot begini."
"Aku—aku...," aku tergagap-gagap. Tapi aku terlalu emosi
hingga tak sanggup bicara.
Aaron menoleh ke arah Briana dan Meg. "Kenapa mereka terus
mengganggumu?" ia bertanya.
"Mana kutahu!" jawabku. "Karena... karena mereka memang
brengsek! Itu sebabnya!"
"Coba tenang dulu," kata Aaron. "Tubuhmu sampai gemetaran,
Sarah."
"Bagaimana aku tidak gemetaran? Kau pasti juga gemetaran
kalau ada ular di punggungmu!" aku menyahut. "Dan aku tidak butuh
nasihatmu, Aaron. Aku tidak butuh..."
"Ya, sudah," kata Aaron. Serta-merta ia berbalik dan kembali ke
tempat teman-temannya.
"Ada-ada saja," aku bergumam.
Ayah kami dokter, dan Aaron persis seperti Dad. Ia pikir ia
harus mengurusi semua orang di dunia.
Hah, aku bisa mengurus diri sendiri. Aku tidak butuh nasihat
dari adikku.
Richard belum juga selesai berbicara. Tapi aku tidak peduli.
Aku meninggalkan tempat api unggun dan kembali ke pondok.
Aku melewati jalan setapak yang menembus hutan dan menaiki
bukit. Suasananya benar-benar gelap.
Aku menyalakan senter dan mengarahkan sinarnya ke tanah di
depan kakiku. Sepatuku menginjak daun mati dan ranting kering.
Pohon-pohon di sekelilingku berdesir-desir.
Kenapa jadi begini? aku bertanya dalam hati. Kenapa Briana
dan Meg begitu benci padaku? Mungkin mereka memang konyol, aku
berkata dalam hati. Mungkin mereka bersikap seperti itu kepada
semua orang.
Mereka pikir mereka paling hebat karena tahun lalu sudah
kemari.
Tanpa sadar, aku menyimpang dari jalan setapak. "Hei...!" Aku
mengarahkan senter ke sekelilingku untuk mencari jalan itu.
Cahaya senter menyapu batang-batang pohon, rumpun ilalang,
dan sebatang pohon tumbang.
Aku mulai panik. Mana jalannya? Mana?
Aku maju beberapa langkah. Daun-daun kering bekersak-kersak
terinjak olehku.
Berikutnya kakiku terbenam dalam sesuatu yang lembek.
Pasir isap!
Chapter 8

BUKAN. Bukan pasir isap.


Pasir isap sebenarnya tidak ada. Buku IPA yang kubaca di kelas
lima menyatakan hal itu.
Aku mengarahkan senter ke bawah.
"Ohhhh." Ternyata lumpur. Lumpur yang kental dan lengket.
Sepatu ketsku terbenam dalam lumpur itu.
Aku mengangkat kaki sambil mengerang—dan nyaris jatuh
terjengkang.
Tenang saja, ini cuma lumpur, aku berkata dalam hati. Memang
menjijikkan—tapi bukan sesuatu yang aneh.
Tapi kemudian aku melihat gerombolan labah-labah itu.
Jumlahnya lusinan. Labah-labah paling besar yang pernah
kulihat.
Rupanya mereka bersarang di dalam lumpur.
Makhluk-makhluk itu merangkak melewati sepatuku, menaiki
kaki celanaku.
"Ya ampun! Idih!"
Lusinan labah-labah bergelantungan padaku. Aku mengayunkan
kaki. Keras-keras. Aku mulai menepis-nepis dengan tanganku yang
bebas.
"Aku benci perkemahan ini!" aku menjerit.
Beberapa labah-labah kusingkirkan dengan menggunakan
senter.
Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Apa salahnya kalau aku nlembalas perbuatan Briana dan Meg
padaku?
Mereka telah mempermalukanku di depan semua peserta
perkemahan. Padahal aku tidak berbuat apa-apa terhadap mereka.
Aku mengeluarkan baterai senter. Aku menarik napas dalam-
dalam, lalu aku membungkuk dan memasukkan segenggam labah-
labah ke dalam selongsong senter.
Ihhh. Aku sampai merinding. Sungguh.
Habis, bayangkan saja—aku harus memegang labah-labah!
Tapi aku tahu pengorbananku takkan sia-sia.
Aku mengisi senterku dengan makhluk-makhluk hitam yang
menggeliat-geliut tanpa henti. Setelah penuh, tutupnya kupasang lagi.
Kemudian aku mencari jalan pulang. Aku melangkahi pohon
tumbang. Dalam waktu singkat, jalan setapak sudah kutemukan
kembali. Sambil membawa senter dengan hati-hati, aku bergegas ke
pondokku.
Aku berhenti di depan pintu. Lampu-lampu di dalam masih
menyala.
Aku mengintip lewat jendela yang terbuka. Hmm, tidak ada
siapa-siapa.
Aku menyelinap masuk.
Aku menyibak selimut di tempat tidur Briana. Kemudian
kutuangkan setengah dari labah-labahku ke tempat tidurnya.
Selimutnya kurapikan kembali sampai licin.
Aku sedang menuangkan sisa labah-labah ke tempat tidur Meg
ketika terdengar suara langkah di belakangku. Cepat-cepat aku
merapikan selimut Meg dan berbalik.
Jan muncul di pintu. "Hei, ada apa?" ia menyapaku dengan
suaranya yang parau.
"Tidak ada apa-apa," jawabku sambil menyembunyikan senter
di belakang punggung.
Jan menguap. "Sepuluh menit lagi lampu-lampu harus
dimatikan," katanya.
Aku melirik ke tempat tidur Briana. Salah satu sudut selimutnya
belum sempat kubereskan. Tapi Briana takkan tahu, aku berkata
dalam hati.
Tanpa sadar aku mulai cengar-cengir. Tapi kemudian aku cepat-
cepat pasang tampang serius. Aku tidak ingin Jan bertanya macam-
macam.
Ia berbalik dan mengeluarkan baju tidur berwarna putih dari
laci lemari pakaiannya. "Besok kau ikut kegiatan apa?" ia bertanya.
"Renang Bebas?"
"Bukan. Dayung," jawabku.
Aku ingin naik perahu dayung yang kering dan aman. Aku tidak
berminat mondar-mandir di danau kotor yang penuh ikan dan
makhluk jorok lainnya.
"Hei, aku juga," kata Jan.
Aku hendak bertanya apakah ia mau jadi kawanku berdayung
besok, tapi Briana dan Meg keburu masuk.
Mereka melihatku—dan langsung tertawa terbahak-bahak.
"Seru benar sih tarian yang kaubawakan waktu api unggun
tadi," Briana mencemooh.
"Gayanya seperti kalau ada ular di punggungmu!" Meg
menimpali.
Mereka terus tertawa.
Biar saja, aku berkata dalam hati. Tertawalah sepuas-puasnya.
Beberapa menit lagi giliran aku yang tertawa. Aku sudah tidak
sabar.
Chapter 9

BEBERAPA menit kemudian Jan mematikan lampu. Aku


berbaring di kasurku yang keras, dan menatap kasur Meg di atasku.
Aku cengar-cengir. Dan menunggu....
Menunggu....
Meg berbalik di tempat tidur di atasku.
Aku mendengarnya menarik napas keras.
Dan kemudian Briana dan Meg mulai menjerit-jerit.
Aku tertawa keras-keras. Aku tidak sanggup menahan diri.
"Aku digigit! Aku digigit!" Briana melolong.
Lampu-lampu segera menyala lagi.
"Tolong!" Meg memekik. Ia melompat turun dari tempat tidur,
dan menginjak lantai dengan kaki telanjang. Kedengarannya seperti
ada gajah jatuh.
"Aku digigit!" Briana memekik.
Ia dan Meg melompat-lompat dan menggeliat-geliut. Mereka
menepuk-nepuk lengan, kaki, dan punggung masing-masing.
Aku sampai harus menggigit bibir untuk menahan tawa.
"Labah-labah! Mereka ada di mana-mana," Meg memekik.
"Aduh! Mereka menggigitku!" Ia menarik lengan baju tidurnya.
"Aduh! Sakit!"
Jan berdiri di samping sakelar lampu. Aku masih duduk di
tempat tidur, menonton Meg dan Briana menggeliat-geliut dan
melompat-lompat.
Tapi ucapan Jan menyingkirkan senyum dari wajahku.
"Sarah yang menaruh labah-labah di tempat tidur kalian," ia
memberitahu Briana dan Meg. "Aku memergokinya mengotak-atik
tempat tidur kalian waktu aku masuk tadi."
Dasar tukang ngadu. Mungkin ia masih marah padaku karena
aku menumpahkan obat asmanya. Hmm, seketika tamatlah
kegembiraanku.
Tampaknya Briana dan Meg ingin mencekikku. Mereka
terpaksa ke ruang P3K dan membangunkan perawat. Mereka harus
memastikan labah-labah itu tidak beracun.
Mana kutahu labah-labah jenis ini suka menggigit? Lagi pula,
ini kan cuma lelucon.
Aku mencoba minta maaf ketika mereka kembali dari ruang
P3K. Tapi mereka tidak mau bicara denganku. Begitu juga, Jan.
Ya sudah, aku berkata dalam hati. Kalau mereka tidak mau
berteman denganku, aku akan mencari teman lain....
************************

Keesokan pagi di bangsal asrama, aku sarapan seorang diri. Di


ruangan itu ada dua meja panjang yang membentang dari dinding ke
dinding. Satu untuk anak laki-laki, satu lagi untuk anak perempuan.
Aku duduk di ujung meja anak perempuan dan makan
cornflakes sambil membisu.
Semua anak cewek lainnya asyik bercerita. Briana dan Meg
menatapku sambil mendelik dari ujung meja.
Aku melihat Aaron di meja anak cowok. Ia dan teman-
temannya sedang asyik bercanda. Aaron menaruh sepotong panekuk
di keningnya, dan anak lain menepuknya sampai jatuh.
Paling tidak ada yang gembira, pikirku dengan getir.
Tiba-tiba saja aku ingin menghampiri Aaron dan
memberitahunya betapa tertekannya aku di sini. Tapi aku tahu ia pasti
akan menyuruhku jangan terlalu serius.
Karena itu aku tetap duduk di ujung meja dan mengunyah
sarapanku.
Apakah keadaan nanti akan bertambah baik dalam kegiatan
dayung?
Silakan tebak tiga kali.
Anak-anak yang lain sudah mulai mendorong perahu masing-
masing ke dalam air. Sepertinya semua sudah punya pasangan.
Liz menghampiriku. Baju renangnya yang putih tampak
berkilauan dalam cahaya matahari pagi.
Rambutnya yang merah disisir ke belakang dan dikuncir.
Ia melepas peluit perak yang semula terjepit di antara bibirnya.
"Siapa namamu?" ia bertanya sambil memandang ke danau.
"Sarah," jawabku. "Aku mendaftarkan diri untuk kegiatan
dayung, tapi..."
"Kau perlu pasangan," Liz menyela. "Cari pasangan dulu.
Perahu-perahu disimpan di sebelah sana." Ia menunjuk, lalu berjalan
menjauh.
Perahu demi perahu meluncur ke air. Gemercik air terdengar di
mana-mana.
Aku bergegas ke tempat perahu sambil mencari-cari pasangan.
Tapi semua anak sudah berpasangan.
Aku sudah mau menyerah ketika aku melihat Jan. Ia sedang
menyeret perahu ke air. "Kau sudah dapat pasangan?" seruku.
Ia menggelengkan kepala.
"Bagaimana kalau kita bergabung saja?" tanyaku. "Tidak usah,"
balasnya dengan ketus. "Jangan-jangan ada serangan labah-labah lagi
nanti."
"Ayo dong, Jan," aku berusaha membujuknya. "Kalian
berpasangan?" Liz tahu-tahu sudah muncul di belakang Jan dan aku.
"Tidak. Aku...," kata Jan.
"Aku ingin berpasangan dengan dia, tapi dia tidak mau," aku
menyela. Tanpa sadar aku merengek seperti anak kecil.
Jan meringis.
"Bawa perahu kalian ke air," Liz memerintahkan. "Tinggal
kalian yang masih di darat."
Jan hendak memprotes. Tapi akhirnya ia angkat bahu dan
menghela napas. "Oke, Sarah. Ayo."
Kami mengenakan jaket pelampung. Kemudian aku meraih
dayung dan memegang haluan perahu. Kami menyeretnya ke air.
Perahu kecil itu berayun-ayun. Arus air ternyata lebih deras dari
yang kuduga. Ombak kecil terus menjilat tepi danau yang ditumbuhi
rumput.
Jan masuk ke perahu dan mengambil tempat di depan. "Terima
kasih kau telah mempermalukanku di depan Liz," ia bergumam.
"Aku tidak bermaksud...," aku berusaha menjelaskan.
"Oke, dorong perahunya," ia menyela.
Aku melemparkan dayungku ke dalam perahu. Kemudian aku
membungkuk dan mendorong perahu keras-keras.
Perahu itu meluncur mulus. Aku melangkah ke air dan
memanjat masuk ke perahu.
"Aduh!" Perahu itu nyaris terbalik ketika aku berusaha menarik
tubuhku.
"Hei! Hati-hati!" Jan membentak. "Huh, dasar! Masa begini saja
tidak bisa, sih?"
"Sori," aku bergumam. Saking senangnya karena akhirnya
mendapat pasangan, aku tidak mau membuat masalah lagi.
Aku naik ke perahu dan duduk di belakang Jan. Perahunya
berayun-ayun ketika kami mulai mendayung. Permukaan danau
berkilau bagaikan perak karena memantulkan sinar matahari pagi yang
cerah. Kami membutuhkan waktu agak lama sebelum menemukan
irama yang tepat.
Jan dan aku sama-sama membisu.
Satu-satunya suara yang terdengar adalah gemercik air ketika
kami mengayuh dayung.
Danau tampak gemerlap seperti cermin raksasa berbentuk bulat.
Aku melihat beberapa perahu di depan. Jan dan aku tertinggal jauh.
Jaket pelampung yang kami kenakan membuat kami merasa
gerah. Kami melepaskan jaket pelampung, dan menaruh keduanya di
dasar perahu.
Kami mendayung dengan irama sedang, tidak terlalu cepat,
tidak terlalu pelan.
Aku menoleh ke belakang. Tepi danau tampak jauh sekali.
Aku langsung merinding. Aku tidak terlalu pintar berenang.
Mendadak aku ragu apakah aku bisa berenang ke tepi kalau sampai
terjadi sesuatu.
"Hei!" Ketika aku sedang memandang tepi danau, perahu kami
mendadak terombang-ambing.
"Aduuuh!" Aku berpegangan pada pinggiran perahu.
Aku menoleh—dan melihat Jan berdiri!
"Jan—berhenti! Sedang apa kau?" aku memekik. "Sedang apa
kau?"
Perahu kami semakin oleng. Aku mencengkeram tepi perahu
erat-erat.
Jan maju selangkah.
Perahu kami bertambah miring. Air membasahi kakiku.
"Jan—berhenti!" aku berseru sekali lagi. "Duduklah! Apa sih
maumu?"
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Selamat tinggal,
Sarah."
Chapter 10

PERAHU semakin miring ketika ia menapakkan sebelah kaki


ke pinggiran perahu. Ia membuka T-shirt yang menutupi baju
renangnya, lalu mencampakkannya ke dasar perahu.
"Jangan!" aku memohon. "Jangan tinggalkan aku di sini. Aku
bukan jago renang. Bagaimana kalau perahunya terbalik? Rasanya aku
tidak sanggup berenang ke tepi danau!"
"Gara-gara kau liburanku jadi kacau," tukas Jan dengan sengit.
"Gara-gara kau semua orang tahu aku menderita asma. Dan gara-gara
kau juga aku tidak boleh ikut perjalanan enam hari menjelajah danau
dengan perahu."
"T-tapi aku tidak sengaja...," aku tergagap-gagap. "Dan kau
juga mencari gara-gara dengan Briana dan Meg," Jan menambahkan
dengan gusar.
"Tidak. Tunggu...," aku berusaha menyela. "Aku sudah minta
maaf. Aku tidak bermaksud..."
Ia bergeser sedikit, sehingga perahu oleng ke arah berlawanan.
Kemudian ia bergeser ke arah semula. Sekali lagi. Dan sekali
lagi.
Ia sengaja membuat perahu oleng.
Ia sengaja menakut-nakutiku.
"Jangan, Jan. Nanti perahunya terbalik," aku memohon.
Tingkahnya malah semakin menjadi. Saking miringnya perahu,
aku sudah ngeri aku bakal jatuh ke air.
"Aku bukan jago renang," aku berkata sekali lagi.
"Rasanya aku tidak bisa..."
Ia mendengus dengan kesal. Kemudian ia menyibakkan rambut.
Mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Menekuk lutut. Bertolak kuat-kuat.
Dan terjun ke danau.
"Jangaaan!" aku memekik sementara perahu terombang-ambing
dengan hebat. Air bercipratan ke segala arah.
Perahu itu oleng... berayun-ayun.... dan akhirnya terbalik!
Aku terpental, dan disambut air danau yang dingin.
Saking kagetnya, aku tidak bisa bergerak.
Aku merasakan perahu terombang-ambing di permukaan danau.
Dan kemudian aku mulai terbatuk-batuk karena mulut dan
hidungku kemasukan air.
Aku mengayunkan tangan dan kaki.
Dengan susah-payah aku berhasil naik ke permukaan air.
Terbatuk-batuk, aku menarik napas dalam-dalam.
Satu kali, lalu sekali lagi.
Aku memandang berkeliling, dan melihat perahu mengapung
dalam posisi terbalik.
Sesaat kemudian napasku mulai normal, begitu juga detak
jantungku.
Aku berenang ke perahu, memeluknya dengan sebelah tangan,
dan berpegangan erat-erat.
Sambil memicingkan mata karena silau, aku menoleh ke kiri-
kanan untuk mencari Jan.
"Jan? Jan?" aku memanggil-manggil.
"Jan? Di mana kau?"
Aku berbalik dan memandang ke segala arah. Dadaku seakan-
akan dicengkeram tangan-tangan dingin.
"Jan? Jan? Kau bisa mendengarku?" aku berseru.
Chapter 11

SEBELAH tanganku berpegangan pada perahu, sementara


tanganku yang satu lagi melindungi mataku dari sinar matahari. "Jan?
Jan?" Namanya kupanggil-panggil sekeras mungkin.
Dan kemudian aku melihatnya.
Aku melihat rambutnya yang pirang berkilau-kilau dalam
cahaya matahari yang cerah. Aku juga melihat baju renangnya yang
berwarna merah. Lengannya bergerak dengan mantap. Tendangan
kakinya meninggalkan buih di permukaan air.
Ia sedang berenang ke tepi danau.
Ia berenang ke tepi dan meninggalkanku di sini, pikirku.
Aku berbalik dan mencari perahu-perahu lain. Sambil
memicingkan mata, aku melihat semua perahu jauh di depan. Terlalu
jauh untuk mendengar teriakanku.
Barangkali perahu ini bisa kutegakkan lagi, pikirku. Setelah itu
aku bisa naik dan mendayung ke tepi.
Tapi di mana dayungnya?
Aku memandang ke arah perkemahan—dan melihat Jan
berbicara dengan Liz. Ia. melambai-lambaikan tangan dan menunjuk-
nunjuk ke danau. Menunjuk-nunjuk ke arahku.
Anak-anak mulai berkerumun di sekeliling mereka. Aku
mendengar suara-suara bernada tegang.
Kemudian aku melihat Liz menyeret perahu ke air.
Ia mau menyelamatkanku, aku menyadari. Rupanya Jan
memberitahunya bahwa aku tidak sanggup berenang ke tepi.
Tiba-tiba saja aku jadi salah tingkah. Aku tahu semua anak di
tepi danau sedang memperhatikanku. Dan aku yakin mereka
menganggapku payah sekali.
Tapi aku tidak peduli. Yang kuinginkan hanya kembali ke
daratan yang aman dan kering.
Liz tidak butuh waktu lama untuk berdayung ke tempat aku
mengapung. Ketika aku naik ke perahunya, aku bermaksud segera
berterima kasih padanya.
Namun Liz tidak memberi kesempatan padaku. "Kenapa kau
melakukannya, Sarah?" ia segera bertanya.
"Melakukan apa?" aku balik bertanya.
"Membalikkan perahu?" Liz mendesak.
Sebenarnya aku ingin memprotes—tapi suaraku seakan-akan
tersangkut di tenggorokan.
Liz menatapku, sambil mengerutkan kening. "Jan bilang kau
sengaja membalikkan perahu. Masa kau tidak tahu betapa berbahaya
berbuat begitu, Sarah?"
"Tapi—tapi—tapi...!"
"Aku akan mengadakan pertemuan khusus karena kejadian ini,"
ujar Liz. "Keselamatan di air sangat penting. Semua peraturan harus
selalu ditaati. Camp Cold Lake takkan ada kalau para peserta tidak
mentaati semua peraturan."
"Kenapa malah jadi begini?" aku bergumam.
Liz mengadakan pertemuan di bangsal utama. Dan semua
peserta diwajibkan hadir.
Ia kembali membahas semua peraturan keselamatan. Satu per
satu.
Setelah itu ia memperlihatkan berbagai slide tentang Sistem
Pasangan. Slide yang diperlihatkannya banyak sekali, seolah tanpa
akhir.
Aku duduk sambil menundukkan kepala. Tapi setiap kali aku
menoleh, aku melihat Briana, Meg, dan Jan melotot dengan gusar ke
arahku.
Anak-anak lain juga menatapku sambil mendelik. Agaknya
mereka semua menganggap aku sebagai penyebab pertemuan yang
membosankan itu. Bisa jadi Jan sudah memberitahu semua anak
bahwa akulah yang membalikkan perahu.
"Aku minta kalian menghapal kedua puluh peraturan
keselamatan di air," kata Liz.
Semakin banyak peserta perkemahan yang melotot ke arahku.
Semua orang membenciku, aku berkata dalam hati. Aku
menggelengkan kepala dengan sedih. Dan tak ada yang bisa
kulakukan.
Lalu, tiba-tiba saja, aku mendapat ide.
Chapter 12

"AKU mau kabur," ujarku kepada Aaron.


"Selamat jalan," sahutnya dengan tenang. "Semoga berhasil."
"Aku serius!" aku berkeras. "Aku tidak main-main. Aku benar-
benar mau kabur dari perkemahan ini."
"Jangan lupa kirim kartu," kata Aaron.
Aku menyeretnya keluar dari bangsal utama seusai makan
malam. Aku perlu bicara dengannya. Aku menggiringnya ke tepi
danau.
Tak ada siapa-siapa di sini. Semua orang masih berkumpul di
bangsal utama.
Aku menoleh ke arah perahu-perahu yang ditumpuk tiga-tiga di
tepi air. Aku teringat rambut Jan yang pirang serta baju renangnya
yang merah. Aku teringat bagaimana ia berenang menjauh,
meninggalkanku di tengah danau.
Dan bagaimana ia berbohong pada Liz. Sehingga aku yang
mendapat masalah.
Aku mengguncang-guncang pundak Aaron. "Kenapa sih kau
tidak percaya? Aku serius nih!" aku berseru sambil mengertakkan
gigi.
Ia malah tertawa.
"Orang yang baru makan kenyang jangan diguncang-guncang,"
kata Aaron. Serta-merta ia bersendawa keras-keras.
"Ih, jorok," aku menggerutu.
Ia nyengir lebar. "Sudah tradisi."
"Jangan bercanda terus, dong," aku menghardik. "Aku benar-
benar tidak betah di sini, Aaron. Aku benci perkemahan ini. Di sini
tidak ada telepon yang bisa kita pakai. Aku tidak bisa menelepon
Mom dan Dad. Jadi aku terpaksa kabur."
Raut mukanya berubah. Ia baru sadar bahwa aku tidak main-
main.
Ia melempar batu pipih ke danau. Batu itu melompat-lompat di
permukaan air. Aku memperhatikan riak-riak menyebar, lalu
menghilang.
Permukaan danau memantulkan langit senja yang kelabu.
Segala sesuatu tampak kelabu. Tanah, langit, danau. Bayangan pohon-
pohon tampak gelap di permukaan air.
"Kau mau kabur ke mana?" tanya Aaron. Lagi-lagi ia berlagak
menjadi "kakak" yang bijaksana. Tapi kali ini aku tidak peduli.
Aku harus menceritakan rencanaku. Aku tidak bisa
meninggalkan perkemahan tanpa memberitahunya lebih dulu.
"Aku mau menerobos hutan," kataku sambil menunjuk. "Ada
sebuah kota di balik hutan itu. Aku akan menelepon Mom dan Dad
dari situ, supaya mereka bisa menjemputku."
"Jangan!" Aaron memprotes.
Aku menatapnya dengan sikap menantang. "Kenapa?"
"Kita dilarang masuk hutan," sahutnya. "Richard pernah bilang
hutan ini berbahaya—ya, kan?"
Aku kembali mendorong Aaron. Aku begitu gelisah, begitu
kesal, sehingga aku tidak bisa diam.
"Aku tidak peduli Richard bilang apa!" seruku. "Pokoknya, aku
mau kabur!"
"Jangan terburu-buru, Sarah," Aaron mendesak. "Kita belum
satu minggu di sini. Tunggu dulu, deh."
Aku benar-benar tidak tahan lagi.
"Aku paling sebal kalau melihatmu sok kalem seperti ini!"
teriakku.
Aku mendorongnya keras-keras. Dengan kedua tangan.
Aaron kaget. Ia kehilangan keseimbangan—dan jatuh ke
belakang.
Ia terempas ke lumpur di tepi danau.
"Aduh!"
"Sori," aku segera minta maaf. "Aku tidak sengaja, Aaron.
Aku..."
Ia bangkit dengan susah payah. Punggungnya kotor oleh lumpur
bercampur ganggang. Ia mengacungkan tinju sambil mencaci-maki.
Aku menghela napas. Sekarang adikku sendiri pun marah
padaku.
Apa yang harus kulakukan? aku bertanya dalam hati. Apa yang
bisa kulakukan?
Ketika aku kembali ke pondokku, sebuah rencana baru mulai
terbentuk dalam benakku.
Rencana yang benar-benar nekat.
Rencana yang benar-benar berbahaya.
"Besok," aku bergumam, "aku akan memberi pelajaran kepada
mereka semua!"
Chapter 13

KEESOKAN paginya aku terus memikirkan rencanaku.


Sebenarnya aku gugup sekali—tapi aku tahu aku tidak boleh mundur.
Acara kelompok kami pada sore itu adalah Renang Bebas.
Tentu saja semua orang sudah mendapat pasangan—kecuali aku.
Aku berdiri di tepi danau yang berlumpur dan memperhatikan
anak-anak lain masuk ke air. Awan-awan putih tercermin di
permukaan danau yang tenang.
Serangga-serangga kecil tampak meluncur di permukaan air.
Aku memperhatikan makhluk-makhluk itu sambil memikirkan kenapa
mereka tidak terbenam.
"Sarah, sudah waktunya berenang," seru Liz. Ia bergegas
menghampiriku. Ia mengenakan baju renang berwarna pink dan
celana tenis berwarna putih.
Aku membetulkan letak baju renangku. Tanganku gemetaran.
Aku benar-benar gugup.
"Kenapa kau tidak berenang?" tanya Liz. Ia menepis seekor
lalat yang hinggap di pundakku.
"A-aku belum dapat pasangan," ujarku tergagap-gagap.
Ia memandang berkeliling untuk mencari seseorang sebagai
pasanganku. Tapi semua anak sudah masuk ke air.
"Hmm...," Liz meringis. "Ya sudah, kau berenang sendirian
saja. Tapi jangan ke tengah. Aku akan mengawasimu dari pinggir."
"Oke. Thanks," ujarku. Aku pasang senyum, lalu segera menuju
ke tepi air.
Aku tidak ingin ia tahu bahwa bagiku ini bukan acara renang
biasa. Aku tidak ingin ia tahu bahwa aku telah merencanakan sesuatu
yang akan membuat heboh....
Aku melangkah ke air.
Ohh, dinginnya.
Segumpal awan melintas di depan matahari. Langit langsung
bertambah gelap dan suhu udara pun turun.
Kakiku terbenam dalam lumpur di dasar danau. Di depan aku
melihat ratusan serangga kecil meluncur di permukaan air.
Idih, pikirku. Kenapa aku harus berenang di air berlumpur yang
banyak serangganya?
Aku menarik napas dalam-dalam dan terus melangkah maju.
Ketika air yang dingin sudah hampir setinggi pinggang, aku
membungkuk dan mulai berenang.
Aku berenang berputar-putar. Aku harus membiasakan diri
dengan air yang dingin. Dan aku juga perlu mengatur napas.
Tidak jauh dariku Briana dan beberapa anak cewek lain sedang
mengadakan lomba renang estafet. Mereka tertawa dan bersorak-sorai.
Tampaknya mereka gembira sekali.
Sebentar lagi mereka bakal berhenti tertawa, pikirku dengan
getir.
Sekonyong-konyong wajahku terciprat air. Aku memekik kaget.
Sebelum aku sempat berbuat apa-apa, wajahku kembali dihujani
percikan air. Baru kemudian aku sadar bahwa itu cuma ulah Aaron.
Ia muncul di hadapanku—dan menyemburkan air ke wajahku.
"Idih! Bagaimana mungkin kau memasukkan air jorok ini ke
dalam mulut!" aku berseru.
Aaron cuma tertawa, lalu berenang menghampiri pasangannya.
Sebentar lagi ia juga akan berhenti tertawa, aku berkata dalam
hati. Mulai hari ini sikapnya akan lain padaku.
Semua orang akan bersikap lain.
Tiba-tiba saja aku dihantui rasa bersalah. Seharusnya
kuceritakan rencanaku kepada Aaron. Bukan Aaron yang menjadi
sasaranku. Aku cuma ingin memberi pelajaran kepada semua anak
lain.
Tapi seandainya aku sempat menceritakan rencanaku kepada
Aaron, ia pasti akan membujukku untuk membatalkannya. Atau ia
akan memberitahu Liz, agar Liz bisa mencegahku.
Hah... tak ada yang bisa mencegahku, aku bersumpah dalam
hati.
Kau sudah menebak rencanaku?
Rencananya sederhana sekali.
Aku bermaksud tenggelam.
Ehm... bukan benar-benar tenggelam.
Aku bermaksud menyelam ke dasar danau, lalu tetap di sana
untuk waktu lama.
Biar semua orang menyangka aku tenggelam.
Aku sanggup menahan napas untuk waktu lama.
Soalnya aku biasa main suling. Paru-paruku sudah terlatih.
Aku bisa menyelam selama dua atau mungkin malah tiga menit.
Cukup lama untuk membuat semua orang ketakutan.
Semua bakal panik. Termasuk Briana, Meg, dan Jan.
Semua akan menyesal karena telah bersikap begitu jahat
padaku.
Dengan begitu aku bisa memulai semuanya dari awal. Setelah
kejadian di danau, semua orang di perkemahan ini akan bersikap
ramah padaku.
Semua akan mau menjadi pasanganku.
Jadi... tunggu apa lagi?
Sekali lagi aku menatap anak-anak yang asyik tertawa dan
bersorak-sorai.
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam. Dan menyelam ke
dasar danau.
Chapter 14

AIR danau masih dangkal di bagian tepi. Tapi setelah itu dasar
danau langsung curam.
Aku mengayunkan kaki keras-keras untuk menjauhi para
perenang lain. Kemudian aku menegakkan badan dan menurunkan
kaki.
Oke.
Aku merapatkan tangan ke sisi badan dan membiarkan diriku
meluncur ke bawah.
Turun, turun.
Aku membuka mata ketika aku meluncur ke dasar danau.
Sekelilingku serbahijau. Hanya sedikit cahaya yang sanggup
menerobos sampai ke bawah air.
Aku serasa mengapung di dalam batu jamrud, aku berkata
dalam hati. Aku melayang-layang di dalam batu permata berwarna
hijau.
Aku teringat batu jamrud yang menghiasi cincin yang dipakai
Mom setiap hari. Cincin tunangannya. Aku membayangkan betapa
sedihnya Mom dan Dad kalau aku benar-benar tenggelam.
Seharusnya Sarah jangan dikirim ke perkemahan olahraga air,
mereka akan berkata dengan perasaan menyesal.
Kakiku menginjak dasar danau yang lunak.
Segelembung udara lolos dari mulutku. Aku merapatkan bibir
untuk menahan udara.
Perlahan-lahan aku, naik ke permukaan.
Aku memejamkan mata. Aku sengaja tidak bergerak untuk
menimbulkan kesan aku tenggelam.
Aku membayangkan kengerian di wajah Liz ketika ia melihat
tubuhku melayang-layang di bawah permukaan air.
Aku nyaris tertawa ketika membayangkan Liz melompat ke
danau untuk menyelamatkanku. Ia akan terpaksa mengorbankan
celana tenisnya yang putih bersih.
Aku memaksakan diri untuk tidak bergerak.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dan memikirkan Briana,
Meg, dan Jan.
Mereka akan merasa bersalah. Mereka akan menyesal seumur
hidup karena bersikap buruk padaku.
Gara-gara kejadian ini, mereka akan sadar betapa jahatnya
mereka terhadapku. Lalu mereka akan mau bersahabat denganku.
Kami semua akan menjadi sahabat karib.
Dan kami akan menikmati liburan musim panas yang benar-
benar asyik.
Dadaku mulai terasa sesak. Tenggorokanku mulai serasa
terbakar.
Aku membuka mulut dan melepaskan beberapa gelembung
udara.
Tapi tenggorokanku tetap serasa terbakar, begitu juga dadaku.
Aku melayang dalam posisi tengkurap. Kakiku terjulur lurus ke
belakang, sementara lenganku tergantung lemas di sisi badanku.
Aku pasang telinga untuk mendengar teriakan panik.
Mestinya sudah ada yang melihatku.
Aku menunggu teriakan minta tolong. Teriakan yang
memanggil-manggil Liz.
Tapi aku tidak mendengar apa-apa selain keheningan yang
menguasai dunia bawah air.
Aku kembali melepaskan gelembung udara. Dadaku benar-
benar sesak sekarang. Rasanya seperti mau meledak.
Aku membuka mata. Apakah ada orang di dekatku? Apakah ada
yang datang untuk menyelamatkanku? Tapi yang kelihatan cuma
warna hijau.
Ke mana semuanya? aku bertanya-tanya. Mestinya Liz sudah
melihatku. Tapi kenapa aku belum juga diangkatnya dari air?
Aku kembali membayangkan Liz dengan celana tenisnya yang
putih. Aku membayangkan tangan dan kakinya yang kecokelatan
karena sinar matahari. Aku membayangkan rambutnya yang merah.
Liz—di mana kau?
Liz—kau tidak melihat bahwa aku sedang tenggelam? Katanya
kau akan mengawasiku dari tepi danau?
Aku sudah tidak tahan.
Dadaku sudah nyaris meledak. Seluruh tubuhku serasa ditusuk-
tusuk. Kepalaku serasa mau pecah.
Masa belum ada yang melihatku, sih?
Pelipisku berdenyut-denyut.
Aku memejamkan mata, tapi kepalaku tetap pening.
Aku mengembuskan sisa udara yang masih tersimpan di paru-
paruku.
Habislah napasku, pikirku. Aku kehabisan napas....
Lengan dan kakiku mulai nyeri.
Dadaku serasa terbakar.
Aku melihat titik-titik berwarna kuning cerah, walaupun mataku
terpejam rapat. Titik-titik itu berputar-putar. Bertambah cerah...
menari-nari di sekelilingku.
Mengelilingi tubuhku yang seperti terbakar.
Dadaku... meledak... meledak....
Aku kedinginan. Tiba-tiba saja aku amat kedinginan.
Titik-titik kuning tadi semakin terang, seterang lampu sorot.
Berputar-putar di sekeliling tubuhku yang kaku.
Aku menggigil kedinginan.
Menggigil.
Air dingin dan kotor masuk ke mulutku.
Aku sadar aku menyelam terlalu lama.
Tak ada yang datang. Tak ada yang menyelamatkanku.
Terlalu lama... terlalu lama.
Aku berusaha melihat sekelilingku. Tapi titik-titik kuning itu
terlalu terang.
Aku tidak bisa melihat. Tidak bisa melihat.
Aku menelan seteguk air danau.
Tidak bisa melihat. Tidak bisa bernapas.
Aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Aku berjuang untuk muncul di permukaan. Tapi rasanya berat
sekali. Kepalaku mendadak seberat satu ton.
Harus naik....
Tidak bisa bernapas.
Sambil mengerahkan segenap kekuatan, aku menggerakkan
bahu ke atas.
Menegakkan kepala.
Begitu berat... begitu berat. Rambutku basah kuyup. Begitu
berat. Air mengalir di wajahku.
Masuk ke mataku.
Aku berpaling ke tepi danau. Aku memicingkan mata karena
titik-titik kuning yang menyilaukan, dan karena air yang mengalir di
wajahku.
Aku memicingkan mata....
Tapi tidak ada siapa-siapa.
Aku menoleh ke arah lain. Mataku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang berenang. Tak ada yang
berdiri di tepi danau.
Ke mana mereka semua? aku bertanya-tanya. Aku menggigil.
Gemetaran. Ke mana mereka semua?
Chapter 15

DENGAN susah payah aku berenang ke tepi danau. Kakiku


mati rasa. Aku tidak merasakan lumpur di dasar danau ketika aku
keluar dari air.
Aku menggosok-gosok lengan. Sentuhan tanganku tidak terasa
di kulitku. Aku juga tidak merasakan air yang mengalir turun lewat
punggungku.
Aku tidak merasakan apa pun.
"Hei, di mana kalian?" aku berseru.
Tapi apakah aku memang bersuara? Apakah aku masih punya
suara?
Entahlah, aku tidak mendengar apa-apa.
Aku berjalan ke rumput dan menggoyangkan seluruh tubuh.
Persis seperti anjing yang sedang mengeringkan bulunya.
"Ke mana orang-orang?"
Aku maju terhuyung-huyung sambil memeluk diriku. Aku
berhenti ketika melihat tempat penyimpanan perahu. Semua perahu
tampak berjajar dan terikat dalam posisi terbalik di tepi danau.
Bukankah semua perahu sedang dipakai tadi?
"Hei!" aku berseru.
Tapi kenapa aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri?
"Di mana kalian?"
Tak ada siapa pun di tepi danau.
Aku cepat-cepat berbalik, dan nyaris kehilangan keseimbangan.
Ternyata di air juga tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada seorang pun di sekitarku.
Aku melewati tumpukan ban dan perahu karet. Semuanya
ditutup terpal.
Kok tidak dipakai? aku bertanya dalam hati. Kenapa semuanya
ditutup terpal?
Dan kenapa sudah tidak ada siapa-siapa di danau?
Aku menggigil kedinginan ketika menuju ke bangsal utama.
Aku terperanjat ketika melihat pohon-pohon.
Semua daun telah gugur. Seperti di musim dingin.
"Ahhhhh!" aku memekik tanpa bersuara.
Aku tidak tahu apakah ada yang mendengarku. Kenapa daun-
daun telah gugur? aku bertanya dalam hati. Ini kan masih pertengahan
musim panas. Aku mulai menyusuri jalan setapak ke bangsal utama.
Aku kedinginan. Amat kedinginan.
Sesuatu yang dingin mengenai pundakku.
Salju?
Ya. Butir-butir salju turun dari langit, tertiup angin.
Pohon-pohon yang gundul berderak-derak.
Aku menepis salju yang menempel pada rambutku yang basah.
Salju?
Tapi itu kan tidak mungkin!
Semuanya tidak masuk akal.
"Heiiii!" Teriakanku bergema di antara pohon-pohon. Paling
tidak, kusangka begitu.
Apakah ada yang mendengarnya?
"Tolooong!" teriakku. "Tolooong!"
Tak ada suara apa pun selain suara dahan-dahan yang berderak-
derak di atasku.
Aku berlari. Kakiku yang telanjang tak bersuara di tanah yang
dingin.
Pondok-pondok bumi perkemahan mulai kelihatan ketika aku
keluar dari hutan. Semua atap tertutup lapisan salju tipis.
Tanah sama suramnya dengan langit. Semua pondok tampak
gelap. Segala sesuatu serba kelabu. Aku berada di dunia yang dingin
dan kelabu.
Aku membuka pintu pondok pertama yang kulewati. "Hei—aku
butuh bantuan!" seruku.
Aku memandang ke sebuah ruangan kosong.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada barang maupun pakaian yang
berserakan.
Pandanganku beralih ke tempat tidur tingkat yang dirapatkan ke
dinding. Selimut, seprai—bahkan kasur—semuanya telah diangkat.
Rupanya pondok ini tidak dipakai, pikirku.
Aku keluar lagi, lalu berlari menyusuri deretan pondok.
Semuanya gelap dan sunyi.
Pondokku sendiri terletak di kaki bukit. Sambil menarik napas
lega, aku bergegas menghampirinya dan membuka pintu.
"Briana? Meg?"
Kosong. Dan gelap.
Kasur-kasur telah diangkat. Poster-poster telah dicopot. Tak ada
pakaian. Tak ada tas atau ransel.
Tak ada tanda-tanda bahwa tempat ini pernah dihuni manusia.
"Di mana kalian?" aku berseru.
Lalu, "Di mana aku?"
Di mana barang-barangku? Di mana tempat tidurku?
Aku memekik ketakutan dan berlari keluar.
Dingin. Begitu dingin. Aku berlari menembus hawa dingin
dengan baju renangku yang basah.
Aku melewati seluruh bumi perkemahan. Aku membuka pintu
demi pintu. Aku mengintip ke pondok demi pondok. Aku memanggil-
manggil siapa saja yang bisa menolongku.
Aku masuk ke gedung utama. Teriakanku bergema dari langit-
langit yang tinggi.
Rasanya sih begitu. Tapi jangan-jangan suaraku sama sekali
tidak keluar?
Kenapa aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri?
Aku menyerbu ke ruang makan. Bangku-bangku kayu yang
panjang telah ditumpuk-tumpuk di atas meja. Dapur tampak gelap dan
kosong.
Kenapa jadi begini? aku bertanya-tanya dengan tubuh
gemetaran,
Ke mana mereka semua? Kenapa mereka pergi? Bagaimana
mungkin mereka pergi begitu cepat? Dan mana mungkin sekarang
sudah turun salju?
Aku kembali ke luar. Gumpalan-gumpalan kabut kelabu
melayang rendah di atas permukaan tanah. Aku merangkul diri sendiri
supaya lebih hangat.
Aku jadi ngeri dan bingung. Aku berjalan dari satu bangunan ke
bangunan berikut. Rasanya seperti berenang, berenang dalam kabut
tebal.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Sebuah suara. Suara anak cewek.
Ia sedang bernyanyi.
Bernyanyi dengan suara melengking.
"Aku tidak sendirian!" seruku.
Aku mendengarkan nyanyiannya. Lagunya sedih dan
dilantunkan dengan lembut.
Dan kemudian aku memanggilnya, "Di mana kau? Aku tidak
bisa melihatmu! Di mana kau?"
Chapter 16

KUIKUTI suara itu sampai ke gedung utama. Di sana aku


melihat seorang anak cewek duduk di tangga teras yang terbuat dari
kayu.
"Hei!" seruku. "Hei! Dari tadi kucari-cari! Kau bisa
menolongku?"
Ia terus bernyanyi, seakan-akan tidak melihatku. Ketika aku
mendekat, aku sadar bahwa ia sedang rnenyanyikan lagu kebesaran
Camp Cold Lake dengan suaranya yang kecil.
Rambutnya panjang dan berwarna pirang hampir putih.
Wajahnya cantik, halus, dan pucat. Pucat sekali.
Ia mengenakan T-shirt putih tanpa lengan dan celana pendek
yang juga berwarna putih. Butir-butir salju masih terus berjatuhan.
Aku menggigil, tapi tampaknya ia tidak kedinginan.
Ia bernyanyi sambil mengayunkan kepala ke kiri-kanan.
Matanya yang biru menatap langit.
Aku menghampirinya sambil menepis butir-butir salju dari
keningku.
Ia baru berpaling padaku setelah lagunya selesai.
Kemudian ia tersenyum. "Hai, Sarah." Suaranya lembut sekali.
"D-dari mana kautahu namaku?" aku tergagap-gagap.
Senyumnya bertambah lebar. "Aku sudah menunggumu,"
jawabnya. "Namaku Della."
"Della—aku kedinginan sekali," ujarku.
Ia bangkit. Berbalik. Dan mengeluarkan sesuatu dari balik
tangga.
Jubah mandi berwarna putih.
Ia merentangkannya dan menaruhnya di pundakku yang
gemetaran.
Tangannya begitu ringan. Sentuhannya nyaris tak terasa.
Ia membantuku mengikat tali pinggang. Kemudian ia mundur
dan kembali tersenyum. "Aku sudah menunggumu, Sarah," katanya.
Suaranya pelan sekali, bagaikan bisikan angin.
"Apa?" seruku. "Menunggu...?"
Ia mengangguk. Rambutnya berkibar-kibar setiap kali ia
menggerakkan kepala. "Aku tidak bisa pergi tanpamu, Sarah. Aku
perlu pasangan."
Aku menatapnya dengan kening berkerut.
"Mana yang lainnya?" aku berseru. "Ke mana mereka? Kenapa
cuma kita yang ada di sini?" Aku menyeka sebutir salju yang
menempel di alisku. "Della, kenapa tiba-tiba sudah musim dingin?"
"Kau mau jadi pasanganku—ya kan, Sarah?" Ia menatapku
dengan matanya yang biru. Rambutnya seakan-akan bercahaya di
sekeliling wajahnya yang pucat.
Aku mengedipkan mata. "Aku tidak mengerti," ujarku. "Tolong
jawab pertanyaanku."
"Kau mau berpasangan denganku, kan?" ia bertanya sekali lagi,
sambil menatapku dengan pandangan memohon. "Sudah begitu lama
aku menunggu seseorang yang mau berpasangan denganku, Sarah.
Lama sekali."
"Tapi, Della..."
Ia mulai bernyanyi lagi.
Aku memasukkan tangan ke saku jubah mandi. Aku menggigil.
Aku tetap kedinginan. Tubuhku terus gemetaran.
Kenapa ia begitu sedih saat menyanyikan lagu kebesaran Camp
Cold Lake?
Kenapa ia tidak mau menjawab pertanyaanku? Dari mana ia
tahu namaku? Dan kenapa ia bilang bahwa ia sudah menungguku?
"Della, tolonglah...," aku mencoba membujuk.
Sambil terus bernyanyi ia melayang ke teras gedung utama.
Rambutnya berkilau keemasan dalam cahaya yang suram. Gumpalan-
gumpalan kabut bergeser sedikit setiap kali ia bergerak.
"Oh!" aku memekik ketika sadar pandanganku bisa menembus
tubuhnya.
"Della?"
Ia melayang ke teras sambil mengayunkan kepala ke kiri dan ke
kanan, seirama dengan lagu yang dinyanyikannya.
"Della...?"
Ia terdiam dan kembali tersenyum padaku. Butir-butir salju
tersangkut di rambutnya yang pirang. Ia masih dikelilingi kabut.
"Sarah, mulai sekarang kau pasanganku," ia berbisik. "Aku
butuh pasangan. Setiap orang di Camp Cold Lake perlu pasangan."
"Tapi—tapi kau sudah mati!" seruku.
Della sudah mati, aku baru sadar.
Dan aku pasangannya.
Berarti....
Berarti aku sendiri juga sudah mati!
Chapter 17

DELLA melayang-layang di atasku. Rambutnya berkibar-kibar


karena tiupan angin.
"Kau sudah mati," aku bergumam. "Dan aku juga." Aku
langsung merinding ketika mengucapkan kata-kata itu.
Aku mulai paham. Aku mulai mengerti apa yang telah terjadi.
Rupanya Della tenggelam di sini, di danau ini.
Itulah sebabnya semua orang di perkemahan begitu serius soal
peraturan keselamatan di air.
Pantas saja Liz selalu berceramah panjang-lebar. Pantas saja
daftar peraturannya begitu panjang. Pantas saja para pembina selalu
menekankan bahwa semua peserta kemah harus berpasang-pasangan
di danau.
Soalnya Della tenggelam di sini.
Dan sekarang aku menjadi pasangannya.
Aku jadi pasangannya—karena aku juga tenggelam.
"Ahhhhhhhh!" Aku memekik panjang. Aku tidak mau percaya.
Aku mendongak dan meraung-raung bagaikan hewan. Aku
meraung-raung untuk melampiaskan kesedihanku.
Della memperhatikanku sambil terus melayang-layang. Ia
menunggu aku tenang. Ia tahu apa yang sedang kupikirkan. Ia tahu
aku sudah memahami seluruh kejadian ini.
Ia menunggu dengan sabar. Sudah berapa lama ia menungguku?
Menunggu seseorang sebagai pasangannya? Pasangan yang sama-
sama sudah mati?
Sudah berapa lama ia menunggu gadis malang lainnya
tenggelam?
"Tidak!" aku mengerang. "Aku tidak mau, Della! Aku tidak
mau jadi pasanganmu! Tidak mau!"
Aku berbalik. Saking peningnya kepalaku, aku nyaris terjatuh.
Langsung saja aku kabur. Jubah mandiku terbuka dan
mengepak-ngepak bagaikan sepasang sayap ketika aku lari menjauhi
Della.
Dengan kaki telanjang aku melintasi salju di tanah. Menembus
gumpalan kabut. Menerobos suasana yang serbakelabu.
"Jangan pergi, Sarah!" aku mendengar Della memanggil.
"Kembalilah! Kau harus jadi pasanganku! Aku terperangkap di sini.
Arwahku tidak bisa meninggalkan perkemahan—aku tidak bisa masuk
ke duniaku yang baru—sebelum aku dapat pasangan!"
Tapi aku tidak berhenti. Aku terus berlari melintasi
perkemahan. Melewati pondok-pondok. Melewati gudang persediaan
di tepi hutan.
Aku terus menjauhi suara Della yang begitu menyeramkan.
Aku tidak mau jadi pasangannya, aku berkata dalam hati. Aku
tidak mau jadi hantu!
Aku menerobos hujan salju. Menyusup di antara pohon-pohon
gundul tanpa daun yang berderak-derak. Berlari tanpa menoleh ke
belakang.
Aku baru berhenti setelah sampai di tepi danau. Aku baru
berhenti setelah kakiku terbenam dalam air danau yang dingin.
Air yang dingin dan suram.
Aku megap-megap. Dadaku serasa terbakar, seakan-akan mau
meledak.
Aku menoleh dengan napas tersengal-sengal—dan melihat
Della melayang di antara pohon-pohon. Ia melayang ke arahku.
Matanya bersinar-sinar bagaikan api biru.
"Kau tidak bisa pergi tanpa aku, Sarah!" ia berseru. "Kau tidak
bisa pergi!"
Aku berpaling darinya. Berpaling ke arah air. Dadaku.
Kepalaku.
Semuanya terasa sakit.
Aku tidak bisa bernapas.
Dadaku sudah mau meledak.
Aku terjatuh ke lumpur.
Dan keadaan serbakelabu di sekelilingku berubah menjadi
hitam pekat.
Chapter 18

TITIK-TITIK cahaya yang terang benderang tampak menari-


nari di atasku.
Aku teringat kunang-kunang yang beterbangan di lapangan
rumput pada malam hari.
Titik-titik itu semakin terang. Bulat, seperti berkas cahaya
senter.
Semakin terang.
Hingga aku seolah tengah menatap bola emas yang berkilauan.
Aku mengedipkan mata.
Baru setelah beberapa lama aku akhirnya sadar bahwa aku
sedang menatap matahari.
Aku memalingkan wajah.
Tiba-tiba aku merasa berat. Aku bisa merasakan tanah di
bawahku. Aku bisa merasakan bobot tubuhku yang ditopang oleh
tanah.
Tubuhku. Tubuhku kembali seperti semula.
Aku mengerang. Sesuatu bergerak di atasku.
Aku berkedip beberapa kali. Dan melihat Liz.
Wajahnya merah. Tampangnya tegang.
"Ohhh," Aku mengerang ketika ia menekan dadaku dengan dua
tangan. Ia melepaskan tangannya, lalu kembali menekan.
Aku merasakan air mengalir dari mulutku yang terbuka.
Aku terbatuk-batuk. Semakin banyak air mengalir lewat
daguku.
"Dia mulai siuman," Liz berkata. Sekali lagi dadaku ditekannya
keras-keras. "Dia selamat!" Liz berseru.
Di belakangnya terlihat kaki-kaki telanjang. Baju-baju renang.
Anak-anak peserta perkemahan.
Aku kembali mengerang. Liz terus menanganiku dengan cara
yang sama.
Aku sadar aku telentang di tanah. Aku telentang di tepi danau.
Liz sedang memberi napas buatan padaku.
Aku dikelilingi anak-anak. Mereka semua menonton. Menonton
Liz menyelamatkan nyawaku.
"Aku—SELAMAT!" Kata itu terlontar dengan nyaring dari
tenggorokanku.
Aku duduk tegak. Dan memandang berkeliling.
Semuanya sudah kembali! aku menyadari. Sekarang sudah
musim panas lagi. Pohon-pohon kelihatan hijau. Matahari bersinar
cerah.
Dan semuanya sudah kembali. Termasuk aku!
Liz menghela napas, lalu berlutut di sampingku. "Sarah, kau
tidak apa-apa?" ia bertanya dengan napas terengah-engah.
"Kurasa aku baik-baik saja," aku bergumam.
Mulutku terasa masam. Kepalaku masih agak pusing.
Beberapa anak di belakang Liz bersorak-sorai dan bertepuk
tangan.
"Kami sempat kuatir kau celaka." Liz mendesah. "Napasmu
berhenti. Wah, seram sekali!"
Dua pembina lain membantuku berdiri. Aku menggoyangkan
kepala untuk mengusir rasa pusing. "Aku baik-baik saja!" seruku.
"Berkat kau, Liz. Kau—kau menyelamatkanku."
Aku memeluk Liz. Kemudian aku berbalik dan memeluk
Aaron.
Briana dan Meg berdiri di dekatku. Keduanya kaget ketika
mereka pun kupeluk.
Aku begitu gembira karena masih hidup! Aku begitu gembira
karena bisa lolos dari musim dingin yang serbakelabu. Dan lolos dari
si gadis hantu di bumi perkemahan yang kosong.
"Sarah—apa yang terjadi?" Liz bertanya sambil menaruh
sebelah tangan ke pundakku yang masih basah. Dengan lembut ia
menyibakkan rambutku.
"Aku tidak tahu," sahutku. "Aku benar-benar tidak tahu."
Liz gemetaran. "Ketika napasmu berhenti, aku... aku ketakutan
sekali."
"Aku sudah tidak apa-apa sekarang," ujarku sambil tersenyum.
"Berkat kau."
"Dia cuma mau cari perhatian," aku mendengar seseorang
bergumam.
Aku langsung menoleh—dan melihat Jan berbisik-bisik kepada
anak cewek di sebelahnya. "Sekarang semua orang harus merasa
kasihan padanya," Jan mencemooh. "Kita semua harus bersikap lebih
ramah padanya."
Aku sakit hati. Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu
kepada Jan.
Tapi aku begitu gembira karena aku bisa kembali, karena aku
bisa selamat, sehingga aku diam saja.
Aku memegang pundak Aaron yang lalu mengantarku ke
pondokku. "Aku akan menikmati sisa liburan ini," aku berkata kepada
adikku. "Sungguh."
Petugas P3K memeriksaku dengan saksama. Setelah itu aku
beristirahat sepanjang sore. Aku tidur lama sekali.
Perutku terasa sangat lapar ketika aku bangun. Baru sekarang
aku sadar bahwa aku belum makan apa-apa dari pagi.
Langsung saja aku memakai celana jeans dan sweter seragam
perkemahan, lalu menuju ke api unggun. Bau hot dog dan hamburger
tercium jelas ketika aku menuju lapangan di tepi hutan.
Richard menyambutku. "Sarah, kau sudah segar lagi!" ia
berseru. "Aku sudah dengar tentang... tentang apa yang terjadi di
danau tadi siang...."
"Aku sudah tidak apa-apa sekarang," ujarku.
"Hei—jangan sampai kejadian seperti itu terulang lagi," ia
menegurku. "Atau kau akan kusuruh berenang di kolam balita saja."
"Aku akan lebih hati-hati," aku berjanji.
"Sebaiknya begitu—soalnya di sini tidak ada kolam balita!"
Richard berkelakar.
Aku tertawa.
"Duduklah," ia berkata sambil menunjuk batang-batang kayu
yang disusun mengitari api unggun. "Ayo, semuanya duduk!" ia
berseru. "Kita mengadakan pertemuan dulu sebelum makan!"
Sebagian besar peserta telah mengambil tempat. Aku
memandang berkeliling untuk mencari tempat kosong.
"Sarah...?" sebuah suara memanggilku.
"Sarah—sebelah sini."
Aku memekik kaget ketika aku melihat Della. Della. Ia duduk
sendirian di batang kayu di dekat tepi hutan. Rambutnya yang pirang
berkilau-kilau.
Cahaya senja yang kemerahan menembus tubuhnya. "Ohhh!"
aku mengerang.
"Kemarilah, Sarah!" Della memanggil. "Ayo—temani aku. Kita
kan berpasangan!"
Chapter 19

AKU menempelkan tangan ke pipi dan menjerit sejadi-jadinya.


"Tidak mungkin! Kau tidak mungkin di sini!" aku memekik.
"Kau hantu! Tempatmu bukan di sini! Aku masih hidup! Aku masih
hidup!"
Aku berbalik dan melihat Richard dan Liz bergegas ke arahku.
Aaron pun bangkit dan berlari menghampiriku dari seberang api
unggun. "Sarah—ada apa? Ada apa?" ia berseru.
"Masa kalian tidak melihatnya?" ujarku dengan suara
melengking. Aku menunjuk balok kayu di tepi hutan. "Dia hantu!
Tapi aku masih hidup!"
Liz segera merangkulku. "Tenang dulu, Sarah," ia berbisik.
"Kau tidak apa-apa."
"Tapi—tapi dia duduk di situ!" aku tergagap-gagap. Semuanya
menoleh ke balok kayu itu.
"Tidak ada siapa-siapa di situ," ujar Richard. Ia menatapku
sambil memicingkan mata.
"Kau masih bingung karena kejadian tadi," Liz berkata dengan
lembut. "Itu wajar saja."
"Tapi—tapi...," aku tergagap-gagap.
Aku melihat Briana, Meg, dan Jan berkumpul sambil berbisik-
bisik. Mereka terus memperhatikanku.
Apa yang sedang mereka katakan tentang aku? aku bertanya
dalam hati.
"Kau mau diantar ke pondok?" Richard menawarkan.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak usah. Aku lapar sekali!"
Liz tertawa. "Mungkin itu masalahmu. Saking laparnya kau
mulai melihat yang bukan-bukan. Ayo, biar kuambilkan hot dog
untukmu."
Aku memang mulai merasa lebih enak setelah makan beberapa
potong hot dog. Pertemuan api unggun dibuka. Aku duduk bersama
beberapa anak cewek dari pondok lain.
Sementara Richard bicara, aku memperhatikan wajah para
peserta perkemahan yang tampak kemerahan karena memantulkan
cahaya api unggun. Kuamati semuanya satu per satu. Di mana Della?
Della si arwah penasaran....
Apakah ia masih di sini? Masih mengawasiku? Masih
menunggu agar aku berpasangan dengannya?
Aku duduk dengan tegang. Seluruh tubuhku terasa kaku.
Mataku mencari-cari wajahnya yang pucat.
Tapi ia telah lenyap.
Untuk sementara.
Liz menggantikan Richard di depan. Hampir semua peserta
mengeluh ketika ia mulai berceramah lagi tentang keselamatan di air.
"Kita mengalami kejadian yang tidak diinginkan hari ini," Liz
berkata. "Salah satu teman kita nyaris celaka."
Aku tahu semua orang langsung menoleh ke arahku. Wajahku
mendadak terasa panas. Aku menatap lidah api yang menari-nari.
Ketika aku menoleh, aku melihat Briana, Meg, dan Jan di balok
kayu sebelah. Mereka masih juga berbisik-bisik. Tentang aku?
"Peraturan keselamatan air sangat penting di Camp Cold Lake,"
kata Liz. "Di antara kalian ada yang menganggap bahwa banyaknya
peraturan di sini merupakan kutukan bagi Camp Cold Lake."
Ia berdiri sambil bertolak pinggang, menatap semua anak satu
per satu. "Tapi seperti yang kita lihat tadi sore," ia melanjutkan,
"Sistem Pasangan bukan kutukan—melainkan cara yang ampuh untuk
menjaga keselamatan."
Sebuah wajah muncul di balik api unggun.
Aku menahan napas.
Della!
Bukan. Ternyata anak cewek dari pondok lain yang mau
mengambil makanan lagi.
Aku menarik napas lega.
Aku harus pergi dari sini, ujarku dalam hati. Aku takkan bisa
bergembira di sini. Aku pasti waswas terus karena terbayang-bayang
wajah Della.
Liz kembali menjelaskan semua peraturan.
Richard membacakan beberapa pengumuman. Lalu semua
bernyanyi bersama.
Sehabis acara api unggun, aku langsung bangkit dan menuju ke
pondokku. Aku baru berjalan beberapa langkah ketika terdengar suara
langkah di belakangku. Aku juga mendengar seseorang memanggil
namaku.
Jangan-jangan si hantu?
Aku menoleh dan melihat Aaron berlari menyusulku. "Kenapa
kau jerit-jerit tadi?" ia bertanya. "Kau benar-benar percaya kau
melihat hantu?"
"Kenapa aku harus menjelaskannya padamu?" aku menyahut
ketus. Aku terus menyusuri jalan setapak dengan langkah-langkah
panjang. "Paling-paling kau cuma menertawakan aku nanti."
"Coba dulu," kata Aaron. "Aku takkan tertawa deh. Aku janji."
"Aku melihat anak cewek yang sudah jadi hantu," aku
memberitahunya. "Sungguh. Dia memanggilku. Dia ingin aku menjadi
pasangannya."
Aaron tertawa. "Ah, yang benar saja. Jangan bercanda, dong."
"Aku serius!" seruku. "Aku mau pergi dari sini, Aaron. Aku
harus pergi. Aku harus cari telepon untuk menghubungi Mom dan
Dad. Malam ini juga. Aku akan menelepon mereka dan minta
dijemput."
"Jangan!" sahut Aaron. Ia meraih lenganku dan memaksaku
berhenti. Anak-anak lain mulai menoleh ke arah kami.
"Mom dan Dad pasti tidak mau dua kali kemari. Kalau kau
menelepon mereka, aku pasti disuruh pulang sekalian," Aaron
memprotes. "Padahal aku tidak mau pulang. Aku senang di sini!"
"Kau tidak mengerti," kataku. "Aku tidak bisa tinggal di sini.
Aku tidak..."
"Tolong dong, Sarah," ia memohon. "Coba lagi, deh. Kau masih
bingung karena kejadian di danau tadi sore. Tapi sebentar lagi kau
pasti sudah lupa."
Aku tidak bilang ya, aku juga tidak bilang tidak.
Aku cuma mengucapkan selamat malam kepada Aaron lalu
menuju ke pondokku.
Aku berhenti di depan pintu. Semua lampu masih menyala. Aku
mendengar Briana, Meg, dan Jan mengobrol pelan-pelan.
Ketiga-tiganya langsung mendelik ketika aku masuk. Wajah
mereka tegang dan tiba-tiba mereka bergerak dengan cepat.
Dalam sekejap saja aku sudah terkepung.
"Ada apa ini?" aku berseru. "Kalian mau apa?"
Chapter 20

"KAMI mau minta maaf," ujar Briana.


"Kami memang agak keterlaluan selama ini," Jan
menambahkan dengan suaranya yang parau. "Kami menyesal."
"Kami sempat membahas masalah ini," kata Briana. "Kami..."
"Kami merasa kami tidak adil padamu," Meg menyela.
"Maafkan kami, Sarah."
Ini benar-benar di luar dugaanku. Saking terkejutnya, aku nyaris
tidak bisa berkata apa-apa.
"Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi?" Briana
mengusulkan. Ia meraih tanganku. "Mari berkenalan, Sarah. Namaku
Briana."
"Yeah. Kita mulai dari awal!" seru Jan.
"Thanks. Aku senang sekali," kataku. Dan aku memang
bersungguh-sungguh.
Jan berpaling kepada Briana. "Kapan kau mencat kuku seperti
itu?"
Briana tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan.
Kukunya berwarna ungu cerah. "Ini warna baru," katanya. "Aku
mencat kuku sehabis berenang tadi."
"Warna apa sih itu?" tanya Meg.
"Grape Juice, kalau tidak salah," sahut Briana. "Nama cat kuku
selalu aneh-aneh." Ia mengeluarkan sebotol kuteks dari tas dan
menyerahkannya padaku. "Mau coba?"
"Ehm... boleh," jawabku.
Kami berempat tidak peduli bahwa waktu untuk mematikan
lampu telah lewat. Kami terlalu asyik mencat kuku.
Beberapa saat kemudian aku berbaring di tempat tidur sambil
tersenyum. Aku telah mendapat tiga orang teman.
Mereka benar-benar membuatku gembira.
Tapi senyumku langsung meredup ketika aku mendengar
bisikan dalam gelap. "Sarah... Sarah...." Aku menahan napas.
Tahu-tahu suara perlahan itu sudah begitu dekat... begitu dekat
dengan telingaku.
"Sarah. Kukira kita berpasangan, Sarah. Kenapa kau
meninggalkanku?"
"Jangan—jangan...," aku memohon.
"Sarah, aku sudah menunggu begitu lama," suara seram itu
berbisik. "Ikutlah denganku. Ikutlah denganku, Sarah...."
Dan tiba-tiba pundakku digenggam tangan yang sedingin es.
Chapter 21

"OHHH!"
Aku langsung duduk tegak. Dan menatap mata Briana yang
gelap.
Ia melepaskan pundakku dari pegangannya.
"Sarah? Ada apa? Kau merintih-rintih tadi."
"Hah? Apa?" Suaraku gemetar. Jantungku berdegup kencang.
Aku bermandikan keringat.
"Kau merintih-rintih," Briana mengulangi. "Jadi kupikir lebih
baik kau dibangunkan saja."
"Ehm... terima kasih," ujarku. "Mungkin gara-gara mimpi
buruk."
Briana mengangguk dan kembali ke tempat tidurnya.
Aku tidak bergerak. Aku terus duduk sambil menatap kegelapan
di sekelilingku.
Mimpi buruk?
Rasanya bukan....
Ebukulawas.blogspot.com
********************
"Kau tidak perlu ikut acara renang jarak jauh hari ini," Liz
memberitahuku waktu sarapan keesokan pagi. Ia membungkuk di
belakangku ketika aku sedang melahap cornflakes. Aku bisa mencium
bau pasta gigi yang segar.
"Ehm...." Aku terdiam. "Seberapa jauh kita harus berenang?"
"Kita berenang sampai ke tengah danau," jawab Liz. "Sampai
ke tengah, lalu kembali lagi. Aku akan naik perahu ke tengah.
Jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi kalau kau ragu-ragu..."
Aku menaruh sendok. Aku melihat Meg dan Briana
memperhatikanku dari ujung meja. Di sampingku, Jan sedang
berjuang untuk menelan wafel beku yang setengah matang.
"Ayolah. Ikut saja," Briana mendesak.
"Biar aku yang jadi pasanganmu," kata Jan. "Aku akan
berenang bersamamu, Sarah."
Aku teringat kejadian mengerikan di perahu dayung. Aku
kembali teringat bagaimana Jan terjun ke air. Ia membalikkan perahu,
dan meninggalkanku seorang diri.
Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Kami sudah
berteman. Aku harus melupakan kejadian di perahu dayung. Aku
harus melupakan bahwa perkenalan kami pada awalnya kurang mulus.
"Oke," kataku. "Thanks, Jan. Aku akan berpasangan
denganmu." Aku berpaling kembali pada Liz. "Aku siap ikut
berenang."
Matahari pagi masih rendah di langit, dan berulang kali tertutup
awan kelabu. Setiap kali matahari menghilang, udara langsung
sedingin air danau.
Dan air danau benar-benar dingin pada pagi hari!
Ketika aku melangkah ke air, aku mendadak sadar kenapa
danau itu dinamakan "Cold Lake" alias Danau Dingin.
Para peserta tampak enggan memasuki air. Semuanya
menggigil dan mengeluh. Aku pun berhenti di air sedalam mata kaki
dan menunggu sampai aku terbiasa dengan dinginnya air.
Aku menoleh ketika mendengar suara perahu motor. Liz sedang
menuju ke tempatnya di tengah danau. Begitu sampai, ia langsung
mematikan mesin. Kemudian ia meraih megafon.
"Ayo, pemanasan dulu semuanya!" ia memberi instruksi.
Kami malah tertawa. "Pemanasan? Bagaimana caranya?
Udaranya begitu dingin!"
Dua anak cewek di bagian tepi mulai saling menciprat.
"Hei, stop! Ih, dingiiin!" salah satu dari mereka memekik.
Aku maju beberapa langkah lagi sambil merapikan baju
renangku yang berwarna biru. "Mestinya kita pakai baju penyelam,"
kataku kepada Jan.
Ia mengangguk, lalu maju ke air sedalam pinggang. "Ayo,
Sarah. Kita tidak boleh berpencar." Ia memberi isyarat agar aku
mengikutinya.
Aku menarik napas dalam-dalam—dan terjun ke dalam air.
Hawa dingin menyerang dari segala arah. Tapi aku tetap
meluncur di bawah permukaan dan berenang beberapa meter.
Kemudian aku menyembulkan kepala dan berpaling kepada Jan.
"Tukang pamer," ia bergumam. Ia mencelupkan kedua tangan
ke dalam air.
Aku tertawa. "Segar, kok!" seruku sambil menyibakkan
rambutku yang basah. "Ayo, terjun saja. Kau bakal lebih cepat
terbiasa."
Jan mengikuti saranku. Sebagian besar peserta sudah berada di
dalam air sekarang. Ada yang berenang berputar, ada yang
mengapung, ada juga yang menggerakkan kaki seperti mengayuh
sepeda.
"Silakan ambil posisi semuanya!" Liz memberi aba-aba dari
perahunya. Suaranya terdengar keras sekali dan memantul pada
pepohonan di belakang kami. "Berbaris dua-dua! Ayo, cepat!"
Kami butuh waktu agak lama sebelum semuanya siap. Jan dan
aku berada di baris kedua.
Pasangan pertama berangkat, dua anak cewek. Yang satu
berenang dengan mantap, yang satu lagi membuat air bercipratan ke
segala arah.
Yang lainnya bersorak-sorai untuk memberi semangat kepada
mereka.
Jan dan aku menunggu sekitar dua menit. Kemudian kami
menyusul.
Aku berusaha meniru gaya renang anak cewek yang pertama.
Aku tidak ingin kelihatan serbakikuk. Aku tahu aku diperhatikan
semua anak lain. Tapi terus terang saja, sampai kapan pun aku tak
bakal jadi perenang kelas Olimpiade.
Jan segera menduluiku. Sambil berenang, ia berulang kali
menoleh ke belakang untuk memastikan aku tidak ketinggalan terlalu
jauh.
Titik untuk berbalik arah terletak di dekat perahu motor Liz.
Aku terus menatap titik itu sementara aku berjuang untuk mengikuti
Jan. Rasanya jauh sekali!
Jan berenang semakin cepat. Lenganku mulai pegal, padahal
aku masih lumayan jauh dari perahu.
Huh, ternyata kondisiku payah betul, aku berkata dalam hati.
Mulai sekarang aku harus lebih sering berolahraga.
Perahu Liz berayun-ayun di hadapan kami. Liz sedang
menyerukan sesuatu melalui megafon. Tapi aku tidak bisa
mendengarnya karena suara percikan air di sekelilingku.
Jan semakin jauh.
"Hei—jangan cepat-cepat!" aku berseru. Tapi ia tidak mungkin
mendengarku.
Aku mengabaikan rasa pegal di lenganku dan berusaha
mengejar Jan. Aku mengayunkan kaki lebih keras, sehingga air pun
bercipratan ke segala arah.
Matahari kembali menghilang di balik awan tebal. Langit
menjadi gelap, dan air danau langsung bertambah dingin.
Aku sudah hampir sampai di perahu yang dinaiki Liz.
Pandanganku tertuju pada Jan. Aku memperhatikan ayunan kakinya
yang berirama. Rambutnya mengapung di permukaan air, bagaikan
sejenis makhluk penghuni laut.
Kalau Jan berbalik, aku juga ikut, pikirku.
Aku berenang sedikit lebih cepat. Ayo, balik dong, aku berkata
dalam hati. Perahu Liz sudah lewat.
Kami sudah boleh berbalik.
Tapi di luar dugaanku, Jan terus mengayunkan tangan dan
berenang lurus ke depan. Kepalanya terbenam. Lengannya bergerak
dengan ringan dan anggun, dan aku tertinggal semakin jauh.
Jan...?"
Lenganku sudah berat sekali. Dadaku serasa terbakar.
"Hei, Jan—kita sudah boleh balik!"
Ia terus berenang.
Aku mengerahkan segenap tenaga untuk menyusulnya. "Jan,
tunggu...," aku berseru. "Kita harus balik!"
Ia berhenti.
Apakah ia mendengarku?
Napasku terengah-engah ketika aku menghampirinya.
Ia berpaling padaku.
"Jan...?" Aku memekik tertahan.
Bukan. Bukan Jan.
Ternyata bukan Jan. Ternyata Della!
Matanya yang biru tampak berseri-seri ketika ia
mengembangkan senyum.
"Ayo, berenang,terus, Sarah," bisiknya. "Kita harus berenang
lebih jauh. Dan lebih jauh lagi. Kau sudah jadi pasanganku sekarang."
Chapter 22

IA meraih lenganku.
Aku berusaha membebaskan diri, dan hampir berhasil
melepaskan lenganku yang basah dari genggamannya.
Tapi kemudian ia mencengkeram pergelangan tanganku, dan
menariknya keras-keras.
"Aduh!"
Ia cukup kuat. Kuat sekali malah, untuk anak cewek yang
tampak begitu rapuh.
Maksudku, hantu yang tampak begitu rapuh. "Lepaskan aku!"
aku memekik.
Aku meronta-ronta. Menendang-nendang. Menggeliat-geliut
dan berputar-putar.
"Della—aku tidak mau ikut denganmu!"
Aku berbalik—dan berhasil melepaskan diri. Kepalaku
terbenam dalam air. Terbatuk-batuk aku mengangkat kedua tangan
dan naik ke permukaan. Di mana Della?
Di mana?
Apakah ia persis di belakangku? Apakah ia sudah siap
menyeretku ke tengah danau, supaya aku tidak bisa berenang ke tepi?
Dengan kalang kabut aku memandang ke segala arah.
Awan-awan di atas seakan-akan melintas dengan kecepatan
tinggi.
"Sarah... Sarah...?" Apakah ia memanggilku? Kenapa aku tidak
bisa melihatnya?
Aku kembali berbalik. Pandanganku tertuju pada perahu motor.
Ya. Perahu motor.
Tanpa menghiraukan jantungku yang berdetak kencang, tanpa
mempedulikan lenganku yang pegal, aku mulai melesat maju.
Aku harus mencapai perahu sebelum... sebelum Della kembali
menyeretku.
Aku mengerahkan segenap tenagaku yang masih tersisa untuk
berenang ke perahu motor. Tanganku menjangkau... menjangkau...
Dan berhasil meraih pinggiran perahu. Terbatuk-batuk aku
berusaha naik.
"Liz—tolong!" aku memohon dengan suara parau. "Liz—bantu
aku naik!"
Matahari muncul dari balik awan. Aku menatap cahaya
keemasan yang menyilaukan. "Liz—tolong...."
Aku melihat sepasang tangan terulur ke arahku. Ia
membungkuk untuk menarikku naik ke perahu.
Ia mencondongkan badan ke depan. Dan menarikku ke atas.
Mataku berkedip-kedip ketika aku menatap wajahnya.
Tidak!
Yang kulihat bukan wajah Liz!
Tapi wajah Della!
Della—Della yang menarikku naik ke perahu. "Ada apa,
Sarah?" ia berbisik sambil menarikku. "Jangan kuatir, Sarah. Kau
tidak apa-apa."
Chapter 23

"LEPASKAN aku!" aku menjerit.


Aku membebaskan diri dari pegangannya. Mataku berkedip-
kedip karena silau.
Dan kemudian aku melihat wajah Liz di hadapanku.
Bukan wajah Della, tapi wajah Liz. Wajahnya berkerut-kerut
karena cemas.
"Sarah, kau tidak apa-apa," ia berkata sekali lagi.
"Tapi...." Aku menatapnya dengan mata terbelalak. Kusangka
wajahnya akan berubah lagi. Kusangka ia akan menjelma kembali
sebagai Della.
Mungkinkah aku salah lihat tadi? Mungkinkah aku salah lihat
karena silau akibat sinar matahari?
Aku menghela napas dan membiarkan diriku ditarik naik.
Aku berlutut di perahu yang terayun-ayun. Liz menatapku
sambil memicingkan mata. "Apa yang terjadi?" ia bertanya.
Sebelum aku sempat menjawab, aku mendengar bunyi gemercik
di samping perahu.
Della?
Aku langsung diam seperti patung.
Ternyata bukan. Jan memanjat ke perahu. Ia menyibakkan
rambutnya yang basah. "Sarah—kau tidak mendengarku memanggil-
manggil tadi?" ia bertanya.
"Jan, aku tidak melihatmu. Kupikir kau..." Suaraku tersekat di
tenggorokan.
"Kenapa kau meninggalkanku?" tanya Jan. "Kita kan harus
berpasangan!"
Liz mengantarku ke tepi danau. Aku berganti baju, lalu
menemui Richard. Ia berada di ruang kerjanya, sebuah ruangan kecil
di gedung utama.
Ia sedang duduk sambil menaikkan kaki ke meja dan
menggigit-gigit tusuk gigi.
"Hei, Sarah—ada apa, nih?" Ia tersenyum ramah dan memberi
isyarat agar aku duduk di kursi lipat di depan mejanya.
Aku sadar bahwa ia mengamatiku dengan saksama.
"Aku dengar ada sedikit masalah lagi di danau," katanya dengan
lembut. Tusuk gigi di mulutnya berpindah dari sudut kiri ke sudut
kanan. "Ada apa sebenarnya?"
Aku menarik napas dalam-dalam.
Apakah aku harus berterus terang bahwa aku diikuti arwah
seorang gadis? Arwah penaasaran yang menginginkan aku sebagai
pasangannya?
Richard pasti akan menganggap aku sudah gila, aku berkata
dalam hati.
"Kau mengalami kejadian yang sangat mengejutkan kemarin,"
ujar Richard. "Kami sempat menyangka kau tenggelam."
Ia menurunkan kaki dari meja dan mencondongkan badan ke
arahku. "Barangkali kau terlalu cepat kembali ke danau," katanya.
"Barangkali kau seharusnya menunggu dulu."
"Mungkin juga," aku bergumam.
Dan kemudian aku melontarkan apa yang selama ini
menghantui pikiranku. "Richard, tolong ceritakan tentang anak
perempuan yang tenggelam di sini."
Richard langsung melongo. "Hah?" Tusuk giginya sampai jatuh
ke pangkuannya.
"Aku tahu bahwa ada anak perempuan yang tenggelam di sini,"
aku berkeras. "Aku ingin tahu apa yang terjadi."
Richard menggelengkan kepala. "Belum pernah ada anak
perempuan yang tenggelam di Camp Cold Lake," jawabnya. "Belum
pernah."
Aku tahu ia bohong.
Aku punya bukti. Aku telah melihat Della. Dan aku bahkan
sempat bicara dengannya.
"Richard...," aku memohon. "Aku perlu tahu. Tolong ceritakan
tentang dia."
Ia mengerutkan kening. "Kenapa kau tidak percaya, Sarah? Aku
tidak bohong. Belum pernah ada peserta perkemahan yang tenggelam
di sini. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan."
Di belakangku terdengar suara mendesah.
Aku melirik ke arah pintu yang terbuka—dan melihat Della
berdiri di situ.
Aku kaget setengah mati. Serta-merta aku berdiri dan
menunjuk. "Richard!" aku memekik. "Itu anak perempuan yang
kumaksud! Dia berdiri di situ! Masa kau tidak melihatnya?"
Richard menoleh ke arah pintu. "Ya," katanya pelan. "Aku
melihatnya."
Chapter 24

"HAH?" Aku memekik tertahan dan memegang tepi meja. "Kau


melihatnya?" aku berseru, "kau benar-benar melihatnya?"
Richard mengangguk. Raut mukanya serius. "Kalau itu bisa
membuatmu lebih tenang, Sarah, maka akan kubilang bahwa aku
melihatnya."
"Tapi kau tidak benar-benar melihatnya?" aku mendesak.
Richard menggaruk-garuk rambutnya yang berwarna kuning
pasir. "Tidak. Aku tidak melihat apa-apa."
Aku kembali berpaling ke ambang pintu. Della menatapku
sambil tersenyum lebar.
"Duduklah," Richard berkata. "Kadang-kadang kita bisa
dikelabui oleh daya khayal kita sendiri. Terutama kalau kita baru saja
mengalami sesuatu yang sangat menakutkan."
Aku tetap berdiri. Aku berdiri di depan meja Richard dan
menatap Della. Pandanganku menerobos tubuhnya yang tembus
pandang.
"Aku tidak mengada-ada! Dia ada di situ!" aku berseru. "Dia
berdiri di pintu, Richard. Namanya Della. Dia tenggelam di danau
perkemahan ini. Dan sekarang dia berusaha membuatku celaka. Dia
ingin aku juga tenggelam!"
"Sarah—coba tenang dulu," Richard berkata dengan lembut. Ia
berjalan mengitari meja dan meletakkan sebelah tangan di pundakku.
Kemudian ia menggiringku ke pintu.
Aku berhadap-hadapan dengan Della.
Ia menjulurkan lidah padaku.
"Tuh. Tidak ada siapa-siapa, kan?" ujar Richard. "Tapi—
tapi...," aku tergagap-gagap.
"Bagaimana kalau kau tidak usah ke danau dulu selama
beberapa hari," Richard mengusulkan. "Kau bisa bersantai di
perkemahan."
Della meniru ucapan Richard dengan gerakan bibir tanpa suara.
Aku memalingkan wajah.
Della tertawa cekikikan.
"Tidak pergi ke danau?" aku bertanya pada Richard.
Ia mengangguk. "Ya. Beristirahatlah selama beberapa hari. Aku
yakin kau akan merasa jauh lebih enak nanti."
Aku tahu cara itu takkan berguna. Aku tahu Della tetap akan
membuntutiku ke mana pun aku pergi untuk menjadikanku
pasangannya.
Aku menghela napas. "Rasanya sih, percuma," ujarku.
"Kalau begitu aku ada ide lain," Richard berkata.
"Bagaimana kalau kaupilih olahraga baru, olahraga yang belum
kaucoba, Sarah? Sesuatu yang benar-benar sulit. Ski air, misalnya."
"Aku tidak mengerti," sahutku. "Untuk apa?"
"Karena kau akan begitu sibuk sehingga tidak sempat
memikirkan soal hantu."
Aku geleng-geleng. "Yeah. Pasti," ujarku sinis.
"Aku cuma mau membantu," ujar Richard dengan ketus.
"Ehm... terima kasih," jawabku. Aku tidak tahu harus berkata
apa lagi. "Kurasa sudah waktunya makan siang."
Aku meninggalkan ruang kerjanya yang sempit. Setelah berada
di luar, aku menarik napas dalam-dalam. Udaranya jauh lebih sejuk di
sini.
Aku menuju ke bangsal utama di bagian depan. Tapi ketika aku
sedang menyusuri lorong, aku kembali mendengar suara Della di
belakangku.
"Kau takkan bisa lolos, Sarah. Kau pasanganku. Percuma saja
kau berusaha kabur. Kau akan selalu menjadi pasanganku."
Aku merinding ketika mendengar bisikan itu—yang diucapkan
begitu dekat dengan telingaku. Tiba-tiba aku kehilangan kendali diri.
"DIAM!" aku memekik. "DIAM! DIAM! DIAM—DAN
JANGAN GANGGU AKU LAGI!"
Aku berbalik untuk melihat apakah ia mendengarku.
Dan mataku langsung terbelalak lebar.
Chapter 25

BRIANA berdiri di belakangku.


Saking kagetnya, ia sampai melongo. "Oke, oke, aku pergi,
deh," katanya sambil mundur teratur. "Jangan marah-marah begitu,
dong. Aku kan cuma mau tanya bagaimana keadaanmu."
Aduh. Perasaanku langsung tidak enak.
Briana pasti mengira ia yang dicaci-maki olehku. "Aku—
aku...," aku tergagap-gagap.
"Kupikir kita berteman," kata Briana ketus. "Aku tidak bilang
apa-apa tadi. Tapi kau langsung membentak-bentak!"
"Bukan kau yang kuajak bicara tadi!" aku berusaha menjelaskan
duduk perkaranya. "Aku lagi bicara dengan dia!"
Aku menunjuk Della, yang bersandar pada dinding di belakang
kami. Della melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
Sinar matahari yang masuk lewat sebuah jendela terbuka
membuat rambut Della yang pirang tampak berkilauan. Jendela itu
tampak jelas lewat tubuhnya yang tembus pandang.
"Aku lagi bicara dengan dia!" ujarku sekali lagi. Briana
menoleh ke arah jendela, lalu mengerutkan kening.
Raut mukanya berubah jadi aneh sekali.
*********************
Keesokan pagi aku makan telur dadar untuk sarapan. Kemudian
aku menuju ke dermaga.
Jangan tanya kenapa aku memutuskan untuk mencoba ski air.
Aku sendiri tidak tahu sebabnya.
Bisa jadi aku melakukannya karena kasihan pada Aaron.
Semalam ia kembali memohon-mohon agar aku jangan menelepon
Mom dan Dad.
Aaron betul-betul tidak mau pulang. Menurutnya inilah liburan
musim panas paling asyik yang pernah dialaminya.
Yeah, pikirku. Kau memang bisa menikmati liburan ini. Kau
tidak terus dibuntuti hantu ke mana pun kau pergi.
"Cobalah sekali lagi," Aaron membujuk.
Aku takkan pergi ke danau, aku berkata dalam hati. Aku akan
tetap di pondok dan membaca.
Tapi keesokan paginya aku sadar bahwa rencanaku tidak
sehebat yang kukira.
Mana berani aku seorang diri di pondok sementara semua orang
berada di danau. Aku takkan bisa melindungi, diriku terhadap Della.
Ya, aku tahu pikiranku sudah agak kacau.
Saking tegangnya, aku nyaris tidak bisa berpikir sama sekali!
Seharusnya aku menjauhi danau.
Tapi aku benar-benar tidak ingin sendirian. Karena itu aku
mengikuti saran Richard. Aku pergi ke dermaga dan memberitahu Liz
bahwa aku ingin belajar ski air.
"Bagus, Sarah!" Liz berseru sambil tersenyum lebar. "Kau
sudah pernah mencobanya? Main ski air sebenarnya lebih mudah dari
yang kita sangka."
Aku menjawab bahwa aku belum pernah mencobanya.
Liz mengambil jaket pelampung berwarna kuning dan sepasang
ski air dari gudang perlengkapan.
Kemudian ia memberi kursus singkat padaku. Ia
memperlihatkan bagaimana aku harus mencondongkan badan ke
belakang dan menekuk lutut.
Tak lama kemudian aku sudah berada di air sambil menunggu
giliran ditarik perahu motor. Meg sedang melaju dengan kencang.
Baju renangnya yang berwarna jingga tampak berkilauan dalam
cahaya pagi.
Dengung mesin perahu bergema. Gelombang yang ditimbulkan
perahu itu menjilat-jilat tepi danau.
Meg berseru keras-keras dan melepaskan tali penarik ketika
perahu melesat melewati dermaga. Ia menjatuhkan diri ke air, lalu
segera melepaskan ski-nya. Kemudian ia naik ke darat.
"Habis ini giliranku," aku bergumam.
Dengan susah payah aku memasang ski di kakiku. Kemudian
aku meraih tali penarik, dan menggenggamnya dengan kedua tangan.
Mesin perahu terbatuk-batuk.
Aku bersiap-siap. Aku mengambil posisi seperti yang
dicontohkan Liz tadi. Lalu menarik napas dalam-dalam.
"Siap!" aku berseru.
Mesin perahu kembali terbatuk-batuk—dan kemudian meraung-
raung.
Perahu itu melesat begitu kencang, sehingga tali yang
kugenggam nyaris terlepas dari tanganku.
"Heiiii!" Aku memekik nyaring ketika aku mulai terangkat dari
air.
Yes! Kedua ski yang kupakai meluncur di permukaan. Aku
menekuk lutut dan menggenggam tali penarik erat-erat.
Aku berhasil! pikirku. Aku bisa main ski air!
Perahu meluncur semakin kencang. Kami melesat lurus
melintasi danau yang berkilau-kilau. Wajah dan rambutku basah
terkena percikan air danau yang dingin.
Aku mulai kehilangan keseimbangan, tapi lalu berhasil
menegakkan badan lagi. Aku menggenggam tali penarik dan terus
melesat dengan kencang.
"Yesss!" aku berseru keras-keras. Rasanya asyik sekali!
Tapi kemudian pengemudi perahu motor menoleh ke belakang.
Dan aku mengenali senyum Della yang bengis.
Rambut Della yang pirang hampir putih melambai-lambai
tertiup angin. Matanya yang biru bersinar-sinar bagaikan permukaan
danau.
Senyumnya semakin lebar ketika ia melihat ketakutan yang
terlukis di wajahku.
"Kembali! Kembali ke tepi," aku memohon.
Ia membelokkan perahu dengan tajam.
Aku nyaris terjatuh. Tali penarik kucengkeram erat-erat.
Kedua ski di kakiku menampar-nampar permukaan air.
Tubuhku basah kuyup terkena percikan air dingin.
Aku megap-megap seraya berusaha menarik napas.
Della mendongakkan kepala dan tertawa. Tapi suara tawanya
ditenggelamkan oleh deru mesin perahu.
Aku bisa melihat langit lewat tubuhnya yang tembus pandang.
Tubuhnya diterobos sinar matahari.
"Kembalilah!" teriakku. "Stop! Aku mau dibawa ke mana? Ke
mana?"
Chapter 26

DELLA tidak menyahut. Ia kembali menghadap ke depan,


rambutnya berkibar-kibar karena tiupan angin.
Perahunya melompat-lompat, meninggalkan gelombang buih
dan percikan air di belakangnya.
Gelombang itu menerjangku. Aku menggigil kedinginan. Aku
tidak bisa melihat, sebab terhalang oleh gelombang.
Saking paniknya, aku perlu waktu lama untuk menyadari bahwa
sebenarnya ada cara mudah untuk meloloskan diri.
Aku tinggal melepaskan tali penarik.
Aku segera mengangkat tangan, dan talinya pun jatuh ke air.
Aku meluncur sejenak dengan tangan melambai-lambai.
Kemudian aku jatuh dan tenggelam.
Jaket pelampung yang kukenakan membawaku kembali ke
permukaan. Aku megap-megap dan menyemburkan air yang sempat
masuk ke mulutku. Jantungku berdegup kencang.
Kepalaku pening sekali. Aku seakan-akan dikelilingi cahaya
matahari yang terang benderang. Di mana permukaan air? Di mana
tepi danau?
Aku berbalik dan melihat perahu motor melaju di kejauhan.
"Kali ini kau tidak berhasil!" aku berseru kepada Della.
Tapi aku segera terdiam ketika perahu itu mulai berputar. Della
membelokkan perahu dan menuju tepat ke arahku.
Aku menahan napas ketika mendengar mesin perahu meraung-
raung.
Aku terapung-apung di permukaan, tak berdaya sama sekali.
Perahu motor mulai melesat kencang.
Ia datang, pikirku. Ia mau menjadikanku sebagai pasangannya
untuk selama-lamanya.
Aku terperangkap di sini.
Ia mau menabrakku.
Chapter 27

AKU mengayunkan kaki di dalam air. Dengan mata terbelalak


aku memperhatikan perahu motor yang melesat ke arahku.
Aku harus menyelam, ujarku dalam hati. Satu-satunya cara
untuk lolos adalah melalui bawah air.
Aku menarik napas dalam-dalam. Setiap otot di tubuhku
menegang. Aku sadar aku harus menunggu saat yang tepat untuk
menyelam.
Perahu motor semakin dekat. Raungan mesinnya semakin keras.
Aku melihat Della mengarahkan perahu.
Perahu itu dibidikkannya ke arahku.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam. Tapi tiba-tiba aku
sadar bahwa aku tidak bisa menyelam.
Jaket pelampung yang kupakai—jaket pelampung itu
menahanku di permukaan.
Sambil memekik nyaring aku meraih bagian depan jaket
pelampung dengan kedua tanganku.
Dan menariknya keras-keras.
Aduh, tidak bisa. Aku tidak bisa melepaskannya!
Permukaan danau kian bergolak ketika perahu motor semakin
dekat. Rasanya seluruh danau ikut bergoyang dan berputar.
A-aku akan tercabik-cabik! pikirku.
Kutarik jaket pelampung itu. Kutarik dan kudorong terus.
Moga-moga bisa lepas!
Tak ada waktu lagi. Tak ada waktu.
Aku tidak bisa menyelam!
Raungan mesin perahu mengalahkan jeritanku.
Sambil mengerahkan segenap tenaga, aku berhasil menarik
jaket pelampung ke atas. Melewati pundakku.
Tapi terlambat.
Haluan perahu melesat melewatiku.
Detik berikutnya, baling-baling perahu serasa memancung
kepalaku.
Chapter 28

AKU menunggu rasa sakit yang akan menyerangku. Aku


menunggu kegelapan yang akan menyelubungiku.
Tapi air di sekelilingku cuma bergolak hebat dan berubah
warna. Mula-mula biru, lalu hijau.
Aku muncul di permukaan sambil terbatuk-batuk. Aku megap-
megap dan terombang-ambing mengikuti alunan gelombang.
"Jaket pelampung!" seruku.
Baling-baling perahu telah memotong jaket itu menjadi dua.
Aku mencampakkan kedua potongan itu. Dan tertawa.
"Aku hidup!" aku memekik keras-keras. "Aku masih hidup!"
Aku berbalik dan melihat perahu motor melaju melintasi danau.
Della pasti menyangka aku sudah mati.
Tapi aku tidak peduli. Aku mengamati sekelilingku untuk
mencari tepi danau, lalu segera berenang menepi.
Aku seakan-akan mendapat energi baru. Arus _ yang deras ikut
mendorongku ke arah perkemahan.
Beberapa anak cewek memanggil-manggilku ketika aku naik ke
darat. Aku melihat Liz bergegas menghampiriku.
"Sarah...!" ia berseru. "Sarah—tunggu!"
Aku tidak menggubrisnya. Semua orang tidak kuhiraukan.
Aku malah mulai berlari.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus pergi dari Camp
Cold Lake. Aku harus pergi sejauh mungkin.
Aku takkan aman di sini. Aku takkan aman selama Della
menginginkanku sebagai pasangannya. Selama Della ingin agar aku
juga tenggelam.
Aku tahu takkan ada yang percaya padaku. Semua bilang
mereka mau membantu. Tapi tak ada yang bisa menolongku—tak ada
yang sanggup melawan hantu!
Aku menyerbu ke pondokku dan segera berganti baju. Baju
renang yang basah kucampakkan ke lantai, kemudian kupakai celana
pendek dan T-shirt.
Aku menyibakkan rambut, lalu mengenakan kaus kaki dan
sepatu kets.
"Aku harus pergi, harus pergi," aku terus bergumam.
Apa yang harus kulakukan? Ke mana aku harus pergi?
Aku akan menerobos hutan dan menuju ke kota di seberangnya,
kataku dalam hati. Aku akan menelepon Mom dan Dad. Aku akan
memberitahu mereka bahwa aku bersembunyi di kota. Aku akan
meminta mereka datang untuk menjemputku.
Aku berhenti di pintu pondok.
Perlukah aku memberitahu Aaron dulu?
Tidak. Tidak usah, aku memutuskan.
Adikku itu pasti akan berusaha mencegahku.
Aaron akan kuberi kabar setelah aku sampai di kota, pikirku.
Aku akan memberitahunya kalau aku sudah berada di tempat aman.
Kalau aku sudah jauh dari sini.
Aku melongok dari pintu dan memandang ke kiri-kanan untuk
memastikan keadaan di luar aman. Kemudian aku melangkah keluar
dan menyelinap ke belakang pondok.
Dan bertabrakan dengan Briana.
Ia mengamati wajahku sambil memicingkan mata. "Kau mau
pergi?" ia bertanya.
Aku mengangguk. "Ya, aku mau pergi."
Sekali lagi raut muka Briana berubah. Sorot matanya seakan-
akan mati.
"Semoga berhasil," bisiknya.
Chapter 29

KENAPA ia bersikap begitu aneh? aku bertanya dalam hati.


Aku tidak sempat memikirkannya. Aku melambaikan tangan
kepada Briana, lalu bergegas memasuki hutan.
Sewaktu menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon, aku
menoleh ke belakang dan melihat Briana masih berdiri di belakang
pondok. Ia memandang ke arahku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian aku berbalik dan
bergegas melangkah.
Pohon-pohon di kiri-kanan jalan setapak menghalangi sebagian
besar sinar matahari. Semakin lama keadaan semakin gelap dan
dingin.
Duri tajam pada semak belukar menggores-gores lengan dan
kakiku yang telanjang. Aku menyesal karena tidak memakai celana
panjang jeans dan baju berlengan panjang.
Sepatu ketsku tergelincir karena menginjak lapisan daun mati.
Berulang kali aku harus melewati dahan-dahan tumbang dan rumpun
ilalang berduri.
Akar-akar pohon tumbuh melintang di jalan setapak.
Akhirnya aku tiba di jalan bercabang. Aku berhenti sejenak—
napasku terengah-engah—untuk menentukan jalan yang akan
kulewati.
Apakah kedua cabang jalan itu menuju ke kota? Aku menahan
napas ketika mendengar suara bernyanyi.
Seekor burung?
Bukan? Suaranya lembut sekali. Suara anak cewek. "Oh," aku
mengerang. Aku menoleh ke arah sumber suara itu, dan melihat Della
duduk di sebuah dahan pohon yang rendah. Ia bernyanyi sambil
memiringkan kepala ke kiri-kanan. Matanya yang biru tampak
berkilau-kilau ketika menatapku.
"Kau—kau membuntutiku!" aku tergagap-gagap. "Bagaimana
kau bisa tahu bahwa aku..." Suaraku tersekat di tenggorokan.
Ia tertawa cekikikan. "Kau pasanganku," sahutnya. "Kita harus
selalu bersama-sama."
"Tidak! Tidak bisa!" teriakku. "Kau kalah, Della. Aku tidak
akan jadi pasanganmu. Soalnya aku takkan pernah lagi pergi ke danau.
Aku tidak akan tenggelam seperti kau!"
Senyum Della lenyap. "Tenggelam?" Ia menggelengkan kepala.
"Sarah, kenapa kau berpikiran begitu? Tampaknya kau bingung sekali.
Aku tidak tenggelam."
"Hah?" Aku sampai tercengang karena terkejut.
"Jangan bengong, Sarah. Nanti kemasukan lalat." Della
menengadahkan kepala dan tertawa.
Kemudian ia kembali menggelengkan kepala. "Mana mungkin
ada yang tenggelam di Camp Cold Lake?" ujarnya. "Setiap lima menit
ada ceramah tentang keselamatan di air! Belum pernah ada yang
tenggelam di Camp Cold Lake!"
"Kau tidak tenggelam?" aku memekik. "Kalau begitu,
bagaimana kau mati?"
Della mencondongkan badan ke depan dan menunduk
menatapku. Pandanganku menerobos tubuhnya yang tembus pandang.
Daun-daun di belakangnya tampak bergoyang karena tiupan angin.
"Mau tahu?" ia bertanya. "Oke. Suatu malam pada waktu acara
api unggun, aku tidak tahan lagi mendengarkan ceramah tentang
keselamatan di air. Karena itu aku menyelinap ke hutan."
Ia menyibakkan rambutnya ke belakang. "Tapi aku melakukan
satu kesalahan," ia melanjutkan. "Aku tidak tahu bahwa hutan ini
penuh ular beracun yang mematikan."
Aku memekik tertahan. "Di hutan ini ada ular?"
Della mengangguk. "Hampir tidak mungkin ada yang bisa
melintasi hutan ini tanpa digigit," ia berkata sambil mendesah. "Aku
mati karena digigit ular, Sarah."
"Tapi—tapi...," aku tergagap-gagap. "Tapi kau selalu ada di
danau. Kenapa kau selalu muncul di sana?"
"Masa kau belum mengerti juga?" sahutnya. "Itu memang
sengaja. Aku sengaja membuat kau takut terhadap danau, Sarah.
Soalnya aku tahu kau akan berusaha kabur melalui hutan. Aku tahu
kau akan lari ke hutan dan mati seperti aku—lalu jadi pasanganku."
"Tidak...!" aku memprotes. "Aku tidak mau. Aku..."
"Sarah, lihat!" Della menunjuk ke tanah.
Aku menoleh—dan melihat seekor ular gendut berwarna hitam
melingkar di kakiku.
Chapter 30

"KITA akan jadi pasangan abadi," Della berkata dengan


gembira. "Pasangan abadi."
Aku berdiri seperti patung. Tanpa berkedip aku memperhatikan
ular gendut itu melilit di kakiku.
"Ahhh!" aku mengerang ketika ular itu mengambil ancang-
ancang untuk memagutku.
"Sakitnya tidak seberapa, kok," Della menjelaskan. "Rasanya
seperti disengat tawon, Sarah. Cuma begitu saja."
Ular itu mendesis nyaring. Mulutnya menganga lebar.
Tubuhnya semakin kencang melilit kakiku.
"Pasangan abadi," Della bersenandung. "Pasangan abadi...."
"Bukan! Sarah bukan pasanganmu!" sebuah suara berseru.
Aku hendak berpaling ke arah suara itu. Tapi aku tidak bisa
bergerak. Lilitan ular di kakiku terlalu keras.
"Briana!" aku berseru. "Sedang apa kau di sini?"
Dengan gerakan gesit ia meraih ular di kakiku. Ia menariknya
sampai terlepas, lalu melemparnya ke antara pohon-pohon.
Briana menoleh ke arah Della. "Sarah tidak akan jadi
pasanganmu, soalnya dia pasanganku!" seru Briana.
Della membelalakkan mata. Ia memekik kaget. Ia segera
berpegangan pada dahan pohon agar tidak sampai jatuh.
"Kau!" ia berseru. "Kenapa kau ada di sini?"
"Ya, aku!" balas Briana. "Aku datang lagi, Della!" "Tapi—tapi
bagaimana kau...," Della bergumam.
"Kau berusaha mencelakakan aku tahun lalu," ujar Briana.
"Sepanjang musim panas kau berusaha menjadikan aku sebagai
pasanganmu. Kau terus menakut-nakutiku—ya kan, Della."
Briana mendengus karena gusar. "Kau pasti tidak menyangka
bahwa aku akan kembali. Tapi aku datang lagi. Aku datang lagi...
untuk melindungi korbanmu berikutnya!"
"Tidak bisa!" Della meraung.
Akhirnya aku mengerti. Aku menghampiri Briana dan berdiri di
sampingnya. "Briana pasanganku!" kataku dengan tegas. "Dan tahun
depan aku akan kembali untuk melindungi korban berikutnya!"
"Jangan! Jangan! Jangaaan!" Della meratap. "Kau tidak boleh
begitu! Aku sudah menunggu begitu lama! Begitu lamaaa!"
Ia melepaskan dahan pohon dan mengacungkan tinju ke arah
Briana dan aku.
Tahu-tahu ia kehilangan keseimbangan.
Ia berusaha meraih dahan pohon. Tapi meleset. Tanpa suara ia
terempas ke tanah.
Dan langsung lenyap.
Hilang.
Aku bangkit sambil menghela napas. Aku menggelengkan
kepala. "Apakah dia pergi untuk selama-lamanya?" aku bergumam.
Briana angkat bahu. "Entahlah. Aku tidak tahu."
Aku berpaling kepada Briana. "Kau—kau telah menyelamatkan
aku!" aku berseru. "Terima kasih, Briana! Terima kasih!"
Aku menghampirinya sambil bersorak gembira. Aku ingin
memeluknya karena ia telah menyelamatkanku.
Tapi tanganku menembus tubuhnya.
Aku menahan napas. Aku meraih bahunya, tapi tanganku tidak
merasakan apa pun.
Serta-merta aku melompat mundur.
Briana menatapku sambil memicingkan mata. "Della
membunuhku waktu liburan musim panas tahun lalu, Sarah," ia
berkata dengan suara pelan. "Pada hari terakhir. Tapi aku tidak mau
berpasangan dengannya. Aku tidak suka anak itu."
Ia mulai melayang ke arahku.
"Tapi aku perlu pasangan," bisiknya. "Semua orang harus punya
pasangan. Kau mau jadi pasanganku, Sarah?"
Aku melihat ular mendesis-desis di tangannya.
Tapi aku tidak bisa bergerak.
"Kau mau jadi pasanganku—ya, kan?" Briana bertanya sekali
lagi. "Kau akan menjadi pasanganku untuk selama-lamanya."END

Anda mungkin juga menyukai