AIR danau masih dangkal di bagian tepi. Tapi setelah itu dasar
danau langsung curam.
Aku mengayunkan kaki keras-keras untuk menjauhi para
perenang lain. Kemudian aku menegakkan badan dan menurunkan
kaki.
Oke.
Aku merapatkan tangan ke sisi badan dan membiarkan diriku
meluncur ke bawah.
Turun, turun.
Aku membuka mata ketika aku meluncur ke dasar danau.
Sekelilingku serbahijau. Hanya sedikit cahaya yang sanggup
menerobos sampai ke bawah air.
Aku serasa mengapung di dalam batu jamrud, aku berkata
dalam hati. Aku melayang-layang di dalam batu permata berwarna
hijau.
Aku teringat batu jamrud yang menghiasi cincin yang dipakai
Mom setiap hari. Cincin tunangannya. Aku membayangkan betapa
sedihnya Mom dan Dad kalau aku benar-benar tenggelam.
Seharusnya Sarah jangan dikirim ke perkemahan olahraga air,
mereka akan berkata dengan perasaan menyesal.
Kakiku menginjak dasar danau yang lunak.
Segelembung udara lolos dari mulutku. Aku merapatkan bibir
untuk menahan udara.
Perlahan-lahan aku, naik ke permukaan.
Aku memejamkan mata. Aku sengaja tidak bergerak untuk
menimbulkan kesan aku tenggelam.
Aku membayangkan kengerian di wajah Liz ketika ia melihat
tubuhku melayang-layang di bawah permukaan air.
Aku nyaris tertawa ketika membayangkan Liz melompat ke
danau untuk menyelamatkanku. Ia akan terpaksa mengorbankan
celana tenisnya yang putih bersih.
Aku memaksakan diri untuk tidak bergerak.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Dan memikirkan Briana,
Meg, dan Jan.
Mereka akan merasa bersalah. Mereka akan menyesal seumur
hidup karena bersikap buruk padaku.
Gara-gara kejadian ini, mereka akan sadar betapa jahatnya
mereka terhadapku. Lalu mereka akan mau bersahabat denganku.
Kami semua akan menjadi sahabat karib.
Dan kami akan menikmati liburan musim panas yang benar-
benar asyik.
Dadaku mulai terasa sesak. Tenggorokanku mulai serasa
terbakar.
Aku membuka mulut dan melepaskan beberapa gelembung
udara.
Tapi tenggorokanku tetap serasa terbakar, begitu juga dadaku.
Aku melayang dalam posisi tengkurap. Kakiku terjulur lurus ke
belakang, sementara lenganku tergantung lemas di sisi badanku.
Aku pasang telinga untuk mendengar teriakan panik.
Mestinya sudah ada yang melihatku.
Aku menunggu teriakan minta tolong. Teriakan yang
memanggil-manggil Liz.
Tapi aku tidak mendengar apa-apa selain keheningan yang
menguasai dunia bawah air.
Aku kembali melepaskan gelembung udara. Dadaku benar-
benar sesak sekarang. Rasanya seperti mau meledak.
Aku membuka mata. Apakah ada orang di dekatku? Apakah ada
yang datang untuk menyelamatkanku? Tapi yang kelihatan cuma
warna hijau.
Ke mana semuanya? aku bertanya-tanya. Mestinya Liz sudah
melihatku. Tapi kenapa aku belum juga diangkatnya dari air?
Aku kembali membayangkan Liz dengan celana tenisnya yang
putih. Aku membayangkan tangan dan kakinya yang kecokelatan
karena sinar matahari. Aku membayangkan rambutnya yang merah.
Liz—di mana kau?
Liz—kau tidak melihat bahwa aku sedang tenggelam? Katanya
kau akan mengawasiku dari tepi danau?
Aku sudah tidak tahan.
Dadaku sudah nyaris meledak. Seluruh tubuhku serasa ditusuk-
tusuk. Kepalaku serasa mau pecah.
Masa belum ada yang melihatku, sih?
Pelipisku berdenyut-denyut.
Aku memejamkan mata, tapi kepalaku tetap pening.
Aku mengembuskan sisa udara yang masih tersimpan di paru-
paruku.
Habislah napasku, pikirku. Aku kehabisan napas....
Lengan dan kakiku mulai nyeri.
Dadaku serasa terbakar.
Aku melihat titik-titik berwarna kuning cerah, walaupun mataku
terpejam rapat. Titik-titik itu berputar-putar. Bertambah cerah...
menari-nari di sekelilingku.
Mengelilingi tubuhku yang seperti terbakar.
Dadaku... meledak... meledak....
Aku kedinginan. Tiba-tiba saja aku amat kedinginan.
Titik-titik kuning tadi semakin terang, seterang lampu sorot.
Berputar-putar di sekeliling tubuhku yang kaku.
Aku menggigil kedinginan.
Menggigil.
Air dingin dan kotor masuk ke mulutku.
Aku sadar aku menyelam terlalu lama.
Tak ada yang datang. Tak ada yang menyelamatkanku.
Terlalu lama... terlalu lama.
Aku berusaha melihat sekelilingku. Tapi titik-titik kuning itu
terlalu terang.
Aku tidak bisa melihat. Tidak bisa melihat.
Aku menelan seteguk air danau.
Tidak bisa melihat. Tidak bisa bernapas.
Aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Aku berjuang untuk muncul di permukaan. Tapi rasanya berat
sekali. Kepalaku mendadak seberat satu ton.
Harus naik....
Tidak bisa bernapas.
Sambil mengerahkan segenap kekuatan, aku menggerakkan
bahu ke atas.
Menegakkan kepala.
Begitu berat... begitu berat. Rambutku basah kuyup. Begitu
berat. Air mengalir di wajahku.
Masuk ke mataku.
Aku berpaling ke tepi danau. Aku memicingkan mata karena
titik-titik kuning yang menyilaukan, dan karena air yang mengalir di
wajahku.
Aku memicingkan mata....
Tapi tidak ada siapa-siapa.
Aku menoleh ke arah lain. Mataku memandang berkeliling.
Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang berenang. Tak ada yang
berdiri di tepi danau.
Ke mana mereka semua? aku bertanya-tanya. Aku menggigil.
Gemetaran. Ke mana mereka semua?
Chapter 15
"OHHH!"
Aku langsung duduk tegak. Dan menatap mata Briana yang
gelap.
Ia melepaskan pundakku dari pegangannya.
"Sarah? Ada apa? Kau merintih-rintih tadi."
"Hah? Apa?" Suaraku gemetar. Jantungku berdegup kencang.
Aku bermandikan keringat.
"Kau merintih-rintih," Briana mengulangi. "Jadi kupikir lebih
baik kau dibangunkan saja."
"Ehm... terima kasih," ujarku. "Mungkin gara-gara mimpi
buruk."
Briana mengangguk dan kembali ke tempat tidurnya.
Aku tidak bergerak. Aku terus duduk sambil menatap kegelapan
di sekelilingku.
Mimpi buruk?
Rasanya bukan....
Ebukulawas.blogspot.com
********************
"Kau tidak perlu ikut acara renang jarak jauh hari ini," Liz
memberitahuku waktu sarapan keesokan pagi. Ia membungkuk di
belakangku ketika aku sedang melahap cornflakes. Aku bisa mencium
bau pasta gigi yang segar.
"Ehm...." Aku terdiam. "Seberapa jauh kita harus berenang?"
"Kita berenang sampai ke tengah danau," jawab Liz. "Sampai
ke tengah, lalu kembali lagi. Aku akan naik perahu ke tengah.
Jaraknya tidak terlalu jauh. Tapi kalau kau ragu-ragu..."
Aku menaruh sendok. Aku melihat Meg dan Briana
memperhatikanku dari ujung meja. Di sampingku, Jan sedang
berjuang untuk menelan wafel beku yang setengah matang.
"Ayolah. Ikut saja," Briana mendesak.
"Biar aku yang jadi pasanganmu," kata Jan. "Aku akan
berenang bersamamu, Sarah."
Aku teringat kejadian mengerikan di perahu dayung. Aku
kembali teringat bagaimana Jan terjun ke air. Ia membalikkan perahu,
dan meninggalkanku seorang diri.
Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Kami sudah
berteman. Aku harus melupakan kejadian di perahu dayung. Aku
harus melupakan bahwa perkenalan kami pada awalnya kurang mulus.
"Oke," kataku. "Thanks, Jan. Aku akan berpasangan
denganmu." Aku berpaling kembali pada Liz. "Aku siap ikut
berenang."
Matahari pagi masih rendah di langit, dan berulang kali tertutup
awan kelabu. Setiap kali matahari menghilang, udara langsung
sedingin air danau.
Dan air danau benar-benar dingin pada pagi hari!
Ketika aku melangkah ke air, aku mendadak sadar kenapa
danau itu dinamakan "Cold Lake" alias Danau Dingin.
Para peserta tampak enggan memasuki air. Semuanya
menggigil dan mengeluh. Aku pun berhenti di air sedalam mata kaki
dan menunggu sampai aku terbiasa dengan dinginnya air.
Aku menoleh ketika mendengar suara perahu motor. Liz sedang
menuju ke tempatnya di tengah danau. Begitu sampai, ia langsung
mematikan mesin. Kemudian ia meraih megafon.
"Ayo, pemanasan dulu semuanya!" ia memberi instruksi.
Kami malah tertawa. "Pemanasan? Bagaimana caranya?
Udaranya begitu dingin!"
Dua anak cewek di bagian tepi mulai saling menciprat.
"Hei, stop! Ih, dingiiin!" salah satu dari mereka memekik.
Aku maju beberapa langkah lagi sambil merapikan baju
renangku yang berwarna biru. "Mestinya kita pakai baju penyelam,"
kataku kepada Jan.
Ia mengangguk, lalu maju ke air sedalam pinggang. "Ayo,
Sarah. Kita tidak boleh berpencar." Ia memberi isyarat agar aku
mengikutinya.
Aku menarik napas dalam-dalam—dan terjun ke dalam air.
Hawa dingin menyerang dari segala arah. Tapi aku tetap
meluncur di bawah permukaan dan berenang beberapa meter.
Kemudian aku menyembulkan kepala dan berpaling kepada Jan.
"Tukang pamer," ia bergumam. Ia mencelupkan kedua tangan
ke dalam air.
Aku tertawa. "Segar, kok!" seruku sambil menyibakkan
rambutku yang basah. "Ayo, terjun saja. Kau bakal lebih cepat
terbiasa."
Jan mengikuti saranku. Sebagian besar peserta sudah berada di
dalam air sekarang. Ada yang berenang berputar, ada yang
mengapung, ada juga yang menggerakkan kaki seperti mengayuh
sepeda.
"Silakan ambil posisi semuanya!" Liz memberi aba-aba dari
perahunya. Suaranya terdengar keras sekali dan memantul pada
pepohonan di belakang kami. "Berbaris dua-dua! Ayo, cepat!"
Kami butuh waktu agak lama sebelum semuanya siap. Jan dan
aku berada di baris kedua.
Pasangan pertama berangkat, dua anak cewek. Yang satu
berenang dengan mantap, yang satu lagi membuat air bercipratan ke
segala arah.
Yang lainnya bersorak-sorai untuk memberi semangat kepada
mereka.
Jan dan aku menunggu sekitar dua menit. Kemudian kami
menyusul.
Aku berusaha meniru gaya renang anak cewek yang pertama.
Aku tidak ingin kelihatan serbakikuk. Aku tahu aku diperhatikan
semua anak lain. Tapi terus terang saja, sampai kapan pun aku tak
bakal jadi perenang kelas Olimpiade.
Jan segera menduluiku. Sambil berenang, ia berulang kali
menoleh ke belakang untuk memastikan aku tidak ketinggalan terlalu
jauh.
Titik untuk berbalik arah terletak di dekat perahu motor Liz.
Aku terus menatap titik itu sementara aku berjuang untuk mengikuti
Jan. Rasanya jauh sekali!
Jan berenang semakin cepat. Lenganku mulai pegal, padahal
aku masih lumayan jauh dari perahu.
Huh, ternyata kondisiku payah betul, aku berkata dalam hati.
Mulai sekarang aku harus lebih sering berolahraga.
Perahu Liz berayun-ayun di hadapan kami. Liz sedang
menyerukan sesuatu melalui megafon. Tapi aku tidak bisa
mendengarnya karena suara percikan air di sekelilingku.
Jan semakin jauh.
"Hei—jangan cepat-cepat!" aku berseru. Tapi ia tidak mungkin
mendengarku.
Aku mengabaikan rasa pegal di lenganku dan berusaha
mengejar Jan. Aku mengayunkan kaki lebih keras, sehingga air pun
bercipratan ke segala arah.
Matahari kembali menghilang di balik awan tebal. Langit
menjadi gelap, dan air danau langsung bertambah dingin.
Aku sudah hampir sampai di perahu yang dinaiki Liz.
Pandanganku tertuju pada Jan. Aku memperhatikan ayunan kakinya
yang berirama. Rambutnya mengapung di permukaan air, bagaikan
sejenis makhluk penghuni laut.
Kalau Jan berbalik, aku juga ikut, pikirku.
Aku berenang sedikit lebih cepat. Ayo, balik dong, aku berkata
dalam hati. Perahu Liz sudah lewat.
Kami sudah boleh berbalik.
Tapi di luar dugaanku, Jan terus mengayunkan tangan dan
berenang lurus ke depan. Kepalanya terbenam. Lengannya bergerak
dengan ringan dan anggun, dan aku tertinggal semakin jauh.
Jan...?"
Lenganku sudah berat sekali. Dadaku serasa terbakar.
"Hei, Jan—kita sudah boleh balik!"
Ia terus berenang.
Aku mengerahkan segenap tenaga untuk menyusulnya. "Jan,
tunggu...," aku berseru. "Kita harus balik!"
Ia berhenti.
Apakah ia mendengarku?
Napasku terengah-engah ketika aku menghampirinya.
Ia berpaling padaku.
"Jan...?" Aku memekik tertahan.
Bukan. Bukan Jan.
Ternyata bukan Jan. Ternyata Della!
Matanya yang biru tampak berseri-seri ketika ia
mengembangkan senyum.
"Ayo, berenang,terus, Sarah," bisiknya. "Kita harus berenang
lebih jauh. Dan lebih jauh lagi. Kau sudah jadi pasanganku sekarang."
Chapter 22
IA meraih lenganku.
Aku berusaha membebaskan diri, dan hampir berhasil
melepaskan lenganku yang basah dari genggamannya.
Tapi kemudian ia mencengkeram pergelangan tanganku, dan
menariknya keras-keras.
"Aduh!"
Ia cukup kuat. Kuat sekali malah, untuk anak cewek yang
tampak begitu rapuh.
Maksudku, hantu yang tampak begitu rapuh. "Lepaskan aku!"
aku memekik.
Aku meronta-ronta. Menendang-nendang. Menggeliat-geliut
dan berputar-putar.
"Della—aku tidak mau ikut denganmu!"
Aku berbalik—dan berhasil melepaskan diri. Kepalaku
terbenam dalam air. Terbatuk-batuk aku mengangkat kedua tangan
dan naik ke permukaan. Di mana Della?
Di mana?
Apakah ia persis di belakangku? Apakah ia sudah siap
menyeretku ke tengah danau, supaya aku tidak bisa berenang ke tepi?
Dengan kalang kabut aku memandang ke segala arah.
Awan-awan di atas seakan-akan melintas dengan kecepatan
tinggi.
"Sarah... Sarah...?" Apakah ia memanggilku? Kenapa aku tidak
bisa melihatnya?
Aku kembali berbalik. Pandanganku tertuju pada perahu motor.
Ya. Perahu motor.
Tanpa menghiraukan jantungku yang berdetak kencang, tanpa
mempedulikan lenganku yang pegal, aku mulai melesat maju.
Aku harus mencapai perahu sebelum... sebelum Della kembali
menyeretku.
Aku mengerahkan segenap tenagaku yang masih tersisa untuk
berenang ke perahu motor. Tanganku menjangkau... menjangkau...
Dan berhasil meraih pinggiran perahu. Terbatuk-batuk aku
berusaha naik.
"Liz—tolong!" aku memohon dengan suara parau. "Liz—bantu
aku naik!"
Matahari muncul dari balik awan. Aku menatap cahaya
keemasan yang menyilaukan. "Liz—tolong...."
Aku melihat sepasang tangan terulur ke arahku. Ia
membungkuk untuk menarikku naik ke perahu.
Ia mencondongkan badan ke depan. Dan menarikku ke atas.
Mataku berkedip-kedip ketika aku menatap wajahnya.
Tidak!
Yang kulihat bukan wajah Liz!
Tapi wajah Della!
Della—Della yang menarikku naik ke perahu. "Ada apa,
Sarah?" ia berbisik sambil menarikku. "Jangan kuatir, Sarah. Kau
tidak apa-apa."
Chapter 23