Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Etika Digital

2.1.1 Pengertian Etika Digital

Menurut Siberkreasi & Deloitte (2020) etika digital dapat diartikan sebagai

digital ethics merupakan kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan,

menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata

kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa menggunakan

media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi

kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan. Apalagi di Indonesia

yang multikultur, maka etika digital sangat relevan dipahami dan dipraktikkan oleh

semua warga Indonesia.

Pengertian lain dari etika digital dikemukakan oleh Himma dan Tavani (2008)

bahwa kekayaan intelektual, privasi, keamanan, kelebihan informasi, kesenjangan

digital, diskriminasi gender, dan sensor. Selaras dengan pengertian yang dikemukan

oleh Arifai, Mukhamad K (2020) bahwa etika internet (cyber ethics) adalah suatu

nilai-nilai yang disepakati bersama untuk dipatuhi dalam interaksi antar pengguna

teknologi khususnya teknologi informasi.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa etika digital

merupakan sikap ataupun perilaku dalam menggunakan media digital di kehidupan

sehari-hari. Etika berkaitan erat dengan baik buruknya perilaku seseorang yang

menggunakan media digital seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan media lainnya.
2.1.2 Aspek-aspek Etika Digital

Menurut Kominfo, Siberkreasi & Deloitte (2020) ada 4 (empat) aspek etika

digital, yaitu:

A. Etika berinternet

1) Mengetahui pentingnya menerapkan etika dalam berinternet

2) Mengetahui ragam standar komunitas yang ada di setiap platform media sosial

3) Memahami apa yang sebaiknya diunggah dan tidak ketika menggunakan media sosial

dan perangkat lainnya

B. Pengetahuan mengenai informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian,

pornografi, perundungan, dan konten negatif lainnya.

1) Mengetahui jenis informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, pornografi,

perundungan, dan konten negative lainnya

2) Memahami dampak ketika menjadi pembuat atau penyebar informasi yang

mengandung hoaks, ujaran kebencian, pornografi, perundungan, dan konten negatif

lainnya.

C. Pengetahuan dasar berinteraksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang digital yang sesuai

dengan kaidah etika digital dan peraturan yang berlaku

1) Mengetahui cara berinteraksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang digital sesuai kaidah

etika dan peraturan yang berlaku.


2) Memahami ragam peraturan yang berlaku ketika berinteraksi, partisipasi, dan

kolaborasi di ruang digital.

D. Pengetahuan dasar berinteraksi dan bertransaksi secara elektronik di ruang digital

sesuai dengan peraturan yang berlaku

1) Mengetahui jenis-jenis interaksi dan transaksi elektronik di ruang digital sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

2) Memahami bagaimana cara berinteraksi dan bertransaksi elektronik secara aman di

ruang digital.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari etika digital

ada 4, yaitu aspek etika berinternet, pengetahuan mengenai informasi yang mengandung

hoaks, ujaran kebencian, pornografi, perundungan, dan konten negatif lainnya,

pengetahuan dasar berinteraksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang digital yang sesuai

dengan kaidah etika digital dan peraturan yang berlaku, dan pengetahuan dasar

berinteraksi dan bertransaksi secara elektronik di ruang digital sesuai dengan peraturan

yang berlaku. Aspek-aspek tersebut yang nantinya akan digunakan peneliti dalam

membuat alat penelitian (skala) dengan alasan aspek-aspek yang dikemukakan Kominfo,

Siberkreasi & Deloitte (2020) sesuai dengan karakteristik subjek yang adan digunakan

dalam penelitian ini.

2.1.3 Prisip Etika Digital


Etika digital menjadi semakin jauh lebih penting ketika jumlah “penghuni” media digital

(warganet) semakin banyak. Amanda (2021) menyebutkan bahwa jumlah warganet di Indonesia

terus berkembang dari tahun ke tahun. Angka yang dikeluarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa

Internet Indonesia (APJII) pada semester pertama tahun 2020, mencatat kenaikan 8,9% jumlah

pengguna internet di Indonesia dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Data menunjukkan

bahwa 73,3% penduduk Indonesia adalah pengguna internet yang aktif. APJII juga mencatat

lebih dari separuh pengguna internet di Indonesia berada di Pulau Jawa yakni sebesar 56,4 %,

lalu diikuti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua.

Berdasarkan data APJII, 95,4% pengguna internet di Indonesia menggunakan telepon pintar atau

smartphone untuk mengakses internet.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat aktivitas yang paling

banyak dilakukan para pengguna internet di Indonesia adalah berinteraksi melalui aplikasi

chatting (29,3%) dan media sosial (24,7%). Aktivitas lain yang dilakukan internet adalah

mengakses berita, layanan perbankan, mengakses hiburan, jualan daring, belanja daring,

layanan informasi barang/jasa, layanan publik, layanan informasi pekerjaan, transportasi daring,

game, e-commerce, layanan informasi pendidikan, dan layanan informasi kesehatan (Bukalapak,

2020). Meningkatnya angka pengguna internet berdampak pada meningkatnya pengguna media

sosial dan transaksi online.

Untuk itu kita sepatutnya mengenal bagaimana karakteristik media sosial. Media sosial

memiliki lima karakteristik yakni (Banyumurti, 2019, dalam Amanda, 2021):


1. Terbuka: siapapun dimungkinkan untuk dapat memiliki akun media sosial dengan

batasan tertentu, seperti usia.

2. Memiliki halaman profil pengguna. Tersedia menu profil yang memungkinkan setiap

pengguna menyajikan informasi tentang dirinya sebagai pemilik akun.

3. User Generated Content. Terdapat fitur bagi setiap pengguna untuk bisa membuat

konten dan menyebarkannya melalui platform media sosial.

4. Tanda waktu di setiap unggahan. Setiap unggahan yang dibuat diberi tanda waktu,

sehingga bisa diketahui kapan unggahan tersebut dibuat.

5. Interaksi dengan pengguna lain. Media sosial menyediakan fitur agar kita dapat

berinteraksi dengan pengguna lainnya.

Kehidupan dalam media sosial harus diatur, baik melalui peraturan tertulis maupun

tidak tertulis. Dalam negara demokratis, memang sebaiknya kehidupan media sosial tidak perlu

terlalu banyak aturan tertulisnya. Nilai-nilai dan norma-norma dalam kehidupan digital akan

tetap terpelihara selama masyarakat digitalnya memiliki literasi dan etika yang memadai dalam

menggunakan media sosial.

Menurut Shina (2021), setidaknya ada empat (4) pilar literasi digital, yaitu:
1. Digital skills (kecakapan digital), yang salah satunya difokuskan kepada pengetahuan

dasar mengenai lanskap digital, yakni internet dan dunia maya.

2. Digital culture (budaya digital), yang salah satunya difokuskan kepada pengetahuan

dasar akan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital

dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.

3. Digital ethics (etika digital), yang salah satunya difokuskan kepada etika berinternet

(netiquette).

4. Digital safety (keamanan digital), yang salah satunya difokuskan kepada pengetahuan

dasar mengenai proteksi identitas digital dan data pribadi di platform digital.

Apabila keempat pilar literasi digital tersebut kuat tertanam dalam diri setiap pengguna

media sosial, maka kemungkinan kehidupan digital kita akan menjadi lebih baik dan lebih

beradab (civilized).

http://berita.upi.edu/etika-digital/

2.1.4 Fungsi Etika Digital

. 1. Sebagai Landasan Moral

Etika komunikasi membangun landasan moral antarmanusia. Misalnya berkomunikasi dengan bahasa

yang baik, berperilaku sopan saat berbicara, dan sebagainya.

2. Mempermudah Proses Penyampaian Pesan


Dengan menjalankan etika komunikasi, setiap orang akan lebih mudah dalam menyampaikan dan

menerima pesan. Sebab, penggunaan bahasa akan lebih mudah tersampaikan dari kedua belah pihak.

3. Sebagai Panduan Manusia Dalam Berkomunikasi

Fungsi lain etika komunikasi ialah sebagai panduan manusia dalam menjalin komunikasi. Panduan ini

meliputi penggunaan bahasa, baik komunikasi lisan maupun tertulis, hingga cara berperilaku

2.1.5 Indikator etika digital

Etika digital kini menjadi bahasan serius di tengah penggunaan digital di kehidupan

sehari-hari. Etika ini merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri

berperilaku di ruang digital. Pada etika digital ada indikator yang harus diperhatikan

para pengguna internet:

1. Mengetahui apa saja yang harus dilakukan dan boleh dilakukan di ruang digital.

Paham pengetahuan tentang informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian,

pornografi, perlindungan dan konten negatif lainnya. Paling tidak para pengguna

digital ini harus bisa membedakan mana berita yang benar dan yang bohong juga
bagaimana ujaran kebencian itu dilakukan kelompok-kelompok yang memang

sengaja untuk memecah-belah. Begitu juga dengan perlindungan konten negatif

lainnya seperti pornografi, judi online dan lainnya pun para pengguna digital harus

mengetahui bahayanya dan berusaha untuk menghindarinya,

2. pengetahuan dasar berinteraksi partisipasi dan kolaborasi di ruang digital yang

sesuai dengan kaidah etika dan peraturan yang berlaku. Bagaimana sesama

pengguna internet bisa saling berinteraksi satu sama lain dengan baik. Berpartisipasi

untuk menjaga keamanan digital juga kenyamanan bersama. Tidak ketinggalan,

berkolaborasi untuk menghasilkan sebuah karya atau konten yang bermanfaat

untuk semua pihak. Tentunya konten yang bisa membanggakan Indonesia di mata

dunia karena ruang digital ini begitu luas tanpa ruang batas. Hasil kolaborasi ini

sangat layak untuk ditonton warga digital dunia.

3. Pengguna internet juga harus mampu tahu bagaimana cara berinteraksi dan

bertransaksi secara elektronik di ruang digital sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Ruang ini bukan hanya untuk berjejaring namun juga dapat untuk

bertransaksi secara ekonomi sehingga lebih baik para warga digital dapat

mengetahui bagaimana cara yang aman dan tidak merugikan saat bertransaksi

(Hermawan, 2021, https://infobisnis.id/2021/10/06/memahami-indikator-etika-

digital/, 29 November 2022)

2.1.2 Kontrol Diri dalam Media Sosial

2.1.2.1 Pengertian Kontrol Diri dalam Media Sosial

Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca

situasi diri dan lingkungan, serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola
faktor perilaku yang sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri

dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilakunya.

Harahap, (2017:139) diri (self) merupakan suatu sistem diri dalam proses saling

berhubungan. Sistem ini meliputi berbagai komponen, satu diantaranya adalah

pengaturan diri (self regulation) yang memusatkan perhatian dan pengontrolan

diri (self control), dimana proses tersebut menjelaskan cara diri (self) mengatur

dan mengendalikan emosinya. Harahap,(2017:139) juga menjelaskan ada tiga

jenis kualitas kontrol diri yaitu :over control, under control dan appropriate

control. “Over control“ adalah kontrol yang berlebihan yang menyebabkan

seseorang banyak

menahan diri dalam beraksi terhadap stimulus. “Under Control” adalah

kecenderungan untuk melepaskan implus dengan bebas tanpa perhitungan

yang matang, sedangkan “Appropriate Control” adalah kontrol individu untuk

mengendalikan impulusnya secara tepat.

2.1.2.2 Perkembangan Kontrol Diri

Bandura (dalam Sarafino, 1990) mengungkapkan bahwa individu memiliki

kontrol terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidup mereka melalui dua hal,

pertama membuat penilaian dengan cara menggunakan berbagai macam

informasi dan pengetahuan yang individu dapatkan dari pengalaman mereka,

kedua melalui proses pembelajaran sosial dimana individu belajar dengan cara

mempelajari perilaku orang lain Pemahaman dan pengetahuan individu tentang

kontrol diri yang efektif merupakan kemajuan yang sesuai dengan tahap

perkembangannya. Oleh karena itu pada masa remaja, remaja diharapkan

sudah mampu menggunakan strategi yang efektif untuk mengontrol

kecenderungannya. Strategi tersebut menurut Hurlock (dalam Miladiyani, 2008)


adalah dengan mengganti konsep moral khusus di masa kanak-kanak dengan

prinsip moral yang berlaku umum, merumuskan konsep yang baru

dikembangkan tersebut kedalam kode moral sebagai pedoman perilaku, dan

melakukan pengendalian terhadap perilakunya. Sedangkan Piaget (dalam

Miladiyani, 2008) menjelaskan tahap perkembangan moral berdasarkan

perkembangan kognitif individu yang terbagi menjadi dua, yaitu moralitas

heteronomous dan moralitas autonomous. Pada masa ini, remaja telah

mencapai tahap berpikir operasional formal dimana saat ini remaja mampu

memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikan

masalahnya dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan sebagai dasar

pertimbangan. Selanjutnya menurut Young (dalam Miladiyani, 2008) kontrol

ditentukan oleh kemasakan dalam hubungan dengan orang lain yang menuntut

kebebasan dan tanggung jawab. Maksudnya adalah bagaimana tindakan

individu dikoordinasikan dengan impuls-impuls dan tuntutan moral dari luar

dimana moral dapat membantu dalam mencapai kesesuaian. Bagian dari

penyesuaian ini adalah belajar mengendalikan impuls (Miladiyani, 2008).

Perilaku bermain game online secara berlebihan merupakan wujud dari

dorongan yang harus segera dipenuhi oleh penggunanya karena bermain game

online dapat memberikan kepuasaan dan kenikmatan. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa usaha mengendalikan kecenderungan kecanduan game online

melibatkan moral seseorang.


2.1.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri

Dalam hal ini, kontrol diri sangatlah berperan penting bagi kehidupan remaja. Kontrol diri yang terdapat
pada dalam diri tidaklah sama, hal tersebut dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pembentukannya. Kontrol diri sebagai mediator psikologis dan berbagai perilaku. Kemampuan untuk
menjauhkan dari perilaku yang mendesak dan memuaskan keinginan adaptif, orang yang memiliki
kontrol diri yang baik maka individu tersebut dapat mengarahkan perilakunya, sebaliknya jika individu
yang memiliki kontrol diri yang rendah akan berdampak pada ketidakmampuan mematuhi perilaku dan
tindakan, sehingga individu tidak lagi menolak godaan dan implus. Menurut Marsela & Supriatna,
(2019:67) kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1. Faktor internal

Faktor internal yng ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Cara orang tua menegakkan disiplin, cara
orang tua merespon kegagalan anak, gaya berkomunikasi, cara orang tua mengekpresikan kemarahan
(penuh emosi atau mampu menahan diri) merupakan awal anak belajar kontrol diri, seiring dengan
bertambahnya usia anak, bertambah pula komunitas yang mempengaruhinya, serta banyak pengalaman
sosial yang dialaminya, anak belajar merespon kekecewaan, ketidak sukaan, kegagalan, dan belajar
untuk mengendalikannya, sehingga lama-kelamaan kontrol tersebut muncul dari dalam dirinya sendiri.
Menurut Marsela & Supriatna, (2019:67) mengemukakan bahwa faktor kognitif yaitu berkenaan dengan
kesadaran berupa proses-proses seseorang menggunakan pikiran dan pengetahuannya untuk mencapai
suatu proses dan cara-cara yang tepat atau strategi yang sudah dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang
menggunakan kemampuan diharapkan dapat memanipulasi tingkah laku sendiri melalui proses
intelektual. Jadi kemampuan intelektual individu dipengaruhi seberapa besar individu memiliki kontrol
diri.

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan dan keluarga, faktor lingkungan dan
keluarga merupakan faktor eksternal dari kontrol diri. Orang tua yang menentukan
kemampuan mengkontrol diri seseorang. Salah satunya yang diterapkan oleh orang tua
adalah disiplin, karena sifat disiplin dapat menentukan kepribadian yang baik dan dapat
mengendalikan prilaku pada individu. Kedisiplinan yang diterapkan pada kehidupan dapat
mengembangkan kontrol diri dalam self directions sehingga seseorang dapat
mempertanggungjawabkan dengan baik segala tindakan yang dilakukan.
Lebih lanjut faktor kontrol diri menurut Marsela & Supriatna, (2019:66) adalah sebagai
berikut:

a. Orang tua, hubungan dengan orang tua memberikan bukti bahwa ternyata orang tua mempengaruhi
kontrol diri anak-anaknya. Pada orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan keras dan otoriter akan
menyebabkan anak-anaknya kurang dapat mengendalikan diri serta kurang peka terhadap peristiwa
yang dihadapi. Sebaliknya orang tua sejak dini sudah mengajari anak intuk mandiri memberikan
kesempatan untuk menentukan keputusan sendiri, maka anak-anak akan lebih mempunyai kontrol diri
yang baik

b. Faktor budaya, setiap individu yang berada dalam salah satu lingkungan akan terkait budaya
lingkungan tersebut. Setiap lingkungan akan mempunyai budaya yang berbeda-beda dengan
budaya dari lingkungan lain. Hal demikian mempengaruhi kontrol diri seseorang sebagai anggota
lingkungan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu sangatlah dituntut dalam
mengendalikan dirinya sendiri. Hal tersebut karena manusia ialah makhluk sosial, yang tidak bisa
berdiri sendiri tanpa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang-orang dilingkungannya.
Kontrol diri sangat berperan penting dalam bersosialisasi tersebut. Individu yang memiliki
kontrol diri yang tinggi akan dapat bersosialisasi dengan baik dan dapat mengantisipasi stimulus
dari luar. Tinggi rendahnya kontrol diri pada individu dipengaruh oleh faktor internal dan
eksternal. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembentukan kontrol diri tidak
semata-mata dibangun secara praktis, namun secara berangsur dan berlanjut sehingga menjadi
sesuatu yang melekat ada individu. Menurut Marsela & Supriatna, (2019:66) ada tiga jenis
kualitas kontrol diri, yaitu over control, under control, dan approprivate control, Secara rinci
dijelaskan sebagai berikut:

1. . Over Control merupakan Kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang
menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus.

2. Under Control meruoakab suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impulsifitas


dengan bebas tanpa perhitungan yang matang.

3. Approprivate Control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls


secara tepat.
2.1.2.4 Aspek-aspek Kontrol Diri

Averill (1973) dalam Ghufron dan Risnawita (2012) menyebut kontrol diri dengan sebutan kontrol
personal, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan mengkontrol
keputusan (decesional control).

A. Kontrol perilaku (behavior control)

Kontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung
memengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Indikator :

1. Kemampuan mengatur pelaksanaan

Kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi/keadaan. Siswa dengan
kemampuan mengontrol diri yang baik mampu mengatur perilakunya

2. Kemampuan dalam mengatur stimulus

Kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.

B. Kontrol kognitif (cognitive control)

Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan
dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka
kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Indikator kontrol kognitif :

1. Memperoleh informasi

Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan,
individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan.

2. Melakukan penilaian

Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa
dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.

C. Mengkontrol keputusan (decisional control)

Mengkontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan
berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Indikator kontrol keputusan :

1. Kemampuan dalam mengambil keputusan

2. Kemampuan dalam memilih tindakan


Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kontrol diri menurut Averil ada
3, yakni kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan mengkontrol keputusan. Aspek-aspek tersebut yang
nantinya saya akan digunakan peneliti dalam membuat alat ukur penelitian (skala) dengan alasan aspek-
aspek yang dikemukakan oleh sesuai dengan karakteristik subjek yang akan digunakan dalam penelitian
ini.

2.2 Penelitian Lain yang Relevan

2.2.1 Penelitian A. Fikri Amirudin Ihsani dengan judul Etika Komunikasi Sebagai Kontrol Kesalehan Virtual

dalam Perilaku Bermedia Masyarakat di Era Digital

Penelitian ini membahas mengenai etika komunikasi sebagai kontrol kesalehan virtual dalam perilaku

bermedia masyarakat di era digital. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan,

menjelaskan, dan mengetahui peran etika komunikasi sebagai kontrol etika kesalehan virtual dalam

perilaku bermedia masyarakat di era digital. Konsep etika komunikasi yang digunakan berdasarkan

perspektif Haryatmoko dan dilengkapi oleh teori tindakan komunikasi Habermas. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan diskriptif. Teknik pengumpulan data

yang digunakan adalah observasi dan dokumentasi.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa etika komunikasi merupakan seperangkat norma, nilai, atau

ukuran tingkah laku yang baik dalam aktifitas komunikasi. Dalam hal ini, etika komunikasi sebagai

kontrol kesalehan virtual dalam perilaku bermedia masyarakat di era digital ini dimaksudkan untuk

menjamin pada tercapainya sifat-sifat umum akan norma-norma yang dapat diterima dalam kehidupan

masyarakat. Selain itu, menjamin pada otonomi individu melalui kemampuan emansipatoris sehingga

menghasilkan pembentukan kehendak bersama melalui perbincangan yang rasional. Dengan demikian,

etika komunikasi merupakan sebuah upaya untuk mengontrol proses komunikasi agar tercipta stabilitas

sosial dalam masyarakat yang plural di era digital

2.2.2 Penelitian ezra yora turnip dengan judul etika berkomunikasi dalam era media digital
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan etika berkomunikasi dalam era digital masa kini. Salah

satunya adalah keberadaan media sosial. Karena mudahnya penggunaan sosial media pada media

digital, para pengguna kerap kali lalai dalam menggunakan etika berkomunikasi. Penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif dan deskriptif.

Dari hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa etika dan norma kesopanan santunan sangat di

perlukan dalam berkomunikasi, terutama pada media digital. Etika berkomunikasi dapat di gali melalui

pemahaman tata bahasa yang baik, pendidikan dini tentang sopan santun, belajar mengerti dan

membatasi keingintahuan tentang privasi orang lain.

2.2.3 Penelitian Sariyani dengan judul hubungan antara kontrol diri dan intensitas penggunaan media

sosial dengan kemampuan sosial

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dan intensitas penggunaan

media sosial dengan kemampuan sosialisasi pada siswa SMA Negeri 5 Samarinda. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah 115 siswa kelas XI IPS di SMA Negeri

5 Samarinda yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Metode pengumpulan data

yang digunakan adalah skala kemampuan sosialisasi, kontrol diri, dan intensitas penggunaan media

sosial. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji analisis regresi linear berganda dengan bantuan

program statiscal package for Social Sciences (SPSS) 20.0 for windows.

Hasil penelitian menunjukan bahwa:

(1) hubungan positif dan signifikan kontrol diri dengan kemampuan sosialisasi dengan koefisien beta =

0,632 serta nilai t hitung > t tabel (8.766>1.661 dan nilai p = 0.000 (p<0.05).
(2) Ada pengaruh negatif dan signifikan intensitas penggunaan media sosial dengan kemampuan

sosialisasi dengan koefisien beta = 0,159, serta nilai t hitung > t tabel (2.206> 1.661) dan nilai p =

0.029 (p<0.05).

(3) Ada hubungan signifikan kontrol diri dan intensitas penggunaan media sosial dengan kemampuan

sosialisasi dengan nilai f hitung > f tabel (40.340> 3.077) dan nilai p = 0.000 (p<0.05). Kontribusi

kontrol diri dan intensitas penggunaan media sosial dengan kemampuan sosialisasi pada siswa

adalah sebesar 0.419 (42 persen) .

2.2.4 Penelitian mutiah dkk dengan judul etika komunikasi dalam menggunakan media sosial

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yang berupa deskriptif. Subyek dalam penelitian ini

adalah masyarakat Indonesia meliputi anak-anak, dewasa dan orang tua. Metode pengumpulan

data yang saya lakukan dalam penelitian ini dengan sebgai berikut metode observasi, metode

wawancara, metode study pustaka.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa:

1. Etika komunikasi dalam menggunakan media sosial ini meliputi etika komunikasi dalam konteks

waktu, isi pesan, dan komunikan,

2. Jenis media sosial yang digunakan adalah instagram.

2.2.5 Penelitian andriyani & hidayati dengan judul investigasi pelaksanaan bimbingan kelompok

tentang etika pergaulan siswa diera digital

Tujuan penelitian ini untuk memperoleh informasi secara objektif tentang:

1. Aspek etika pergaulan siswa kelas VII SMP

2. Faktor yang mempengaruhi etika pergaulan siswa kelas VII SMP


3. Pelaksanaan bimbingan kelompok tentang etika pergaulan siswa kelas VII SMP sekolah SMP

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, dengan bentuk penelitian ini adalah study

survey. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 77 siswa kelas VII SMP. Teknik pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan komunikasi langsung dan komunikasi tidak

langsung. Alat pengumpulan data yang digunakan ialah panduan wawancara dan skala

psikologis.

Hasil penelitian: Aspek pergaulan siswa kelas VII SMP tergolong "cukup",faktor yang

mempengaruhi etika pergaulan siswa meliputi faktor lingkungan keluarga, lingkungan

masyarakat, dan lingkungan sekolah, pelaksanaan bimbingan kelompok dengan tahap

pembentukan, peralihan, kegiatan dan pengakhiran.

Anda mungkin juga menyukai