Anda di halaman 1dari 22

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH (bab III)

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah
Peradaban Islam

Dosen Pengampu :
Dr. H. Masrof M.Pd

Disusun Oleh
PAI 7C
Riqzi Firmansyah (21.01.00.025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALHIKMAH JAKARTA
YAYASAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ALMAHBUBIYAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas


limpahan rahmat dan hidayahNya makalah yang berjudul “Dinasti Buwaihi“ ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari zaman kegelapan
menuju zaman yang terang benderang, yakni agama islam.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh untuk dikatakan
sempurna. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang
membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata, penyusun sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan memberi masukan dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai
akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin

Jakarta, 14 Desember 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii

Daftar Isi............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................3
C. Tujuan Pembahasan .......................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pembentukan Dinasti Buwaihi.......................................................................4


B. Kondisi Dinasti Buwaihi................................................................................6
C. Kemajuan Dinasti Buwaihi ............................................................................10
D. Kemunduran Dinasti Buwaihi .......................................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................15
B. Saran .............................................................................................................16

Daftar Pustaka ...................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, umat Islam telah mencapai
puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan
kekuasaannya. Menurut asal usul penguasanya selama masa 508 tahun
Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani
Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk. Posisi Daulah Abbasiyah ketika di
bawah kekuasaan Bani Buwaihi, keadaan Kekhalifahanya lebih buruk
ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut
aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai
yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi
kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan
negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai
wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Selama abad kekuasaan mereka
(masa-masa kejayaan mereka) yaitu tahun 945-1055, Dinasti buwaihi
menaikkan dan menurunkan kholifah sekehendak hatinya. Irak sebagai
sebuah provinsi di perintah dari ibukota Buwaihi, syiraz di Faris. 1
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4
Hijriah. Bani Buwaihi yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah
Abbasiyah pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu Ali,
Al Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah putra dari seorang yang bernama
Buwaihi. 2
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri
bernama Dailam. Ia adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-
harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya pada mulanya juga
mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka
berasal dari keluarga miskin, namun mereka terkenal dengan keberaniannya.

1
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995) hal 210
2
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher, 2009), hal. 155
1
2

Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang
bergelar Abu Suja’, yang berarti bapak pemberani. Di dalam diri ketiga
putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini terbukti setelah
ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni Ali Ibn Buwaihi karena keberanian dan
kecakapannya diangkat menjadi komandan tentara. Ia membawa kedua
adiknya pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah Abbasiyah Baghdad.
Sebagai tentara yang punya keberanian tinggi ketiga bersaudara ini
mengabdikan diri kepada orang-orang penting dalam Daulah Abbasiyah
untuk melindungi mereka dari bahaya yang mengancam. Berkat langkah maju
yang ditempuh oleh Ali Ibnu Buwaihi akhirnya dapat masuk ke dalam pusat
kekuasaan khalifah. Berawal dari perjuangan inilah ia berhasil mengangkat
nama negeri Dailam ke kawasan Timur dan Barat. Pada gilirannya mereka
menjadi penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka di kenal di
dunia Islam Timur dan Barat.
Itulah asal usul keluarga Buwaihi yang pada mulanya berasal dari
keluarga miskin di negeri Dailam kemudian menjadi penguasa di dalam
Daulah Abbasiyah selama hampir satu seperempat abad. 3
Kekuasaan Buwaihi mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan
‘Adud Al Dawlah (949-983), putra Rukn Al Dawlah. ‘Adud Al Dawlah
bukan hanya seorang penguasa Buwaihi yang paling unggul., tetapi ia juga
yang paling masyhur pada zamanya. Di bawah kendalinya, pada 977 dia
berhasil mempersatukan beberapa kerajaan kecil yang sudah muncul sejak
periode kekuasaan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu
Negara yang besarnya hampir menyerupai Imperium.
Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al Dawlah dalam dukunganya
terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra antara lain
memperindah Baghdad, memperbaiki kanal-kanal yangs sudah using dan di
beberapa kota-kota lain, mendirikan sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung

3
Taufik Abdullah dkk , Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), hal 69
3

-gedung publik, sebagaimana di catat sejarawan (Ibnu maskawaih) yang


menjadi bendahara ‘Adud Al Dawlah. Teladan yang di perlihatkan ‘Adud Al
Dawlah ini juga di ikuti oleh putranya yang bernama Syaraf al Dawlah (983 -
989). Untuk meniru Al Makmun, maka Syaraf al Dawlah, setahun sebelum
kematiaanya membangun sebuah observatorium terkenal. 4 Inilah kekuasaan
Dinasti Buwaihi atas Dinasti Abbasiyah yang berlangsung dari tahun 945 -
1055 M.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembentukan Dinasti Buwaihi?
2. Bagaimana Kondisi Dinasti Buwaihi?
3. Bagaimana Kemajuan Dinasti Buwaihi?
4. Bagaimana Kemunduran Dinasti Buwaihi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pembentukan Dinasti Buwaihi
2. Untuk mengetahui Kondisi Dinasti Buwaihi
3. Untuk mengetahui Kemajuan Dinasti Buwaihi
4. Untuk mengetahui Kemunduran Dinasti Buwaihi

4
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hal 600
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembentukan Dinasti Buwaihi


Dinasti Buwaihi terbentuk semenjak Ahmad Ibn Buwaihi memasuki
kota Baghdad dan diserahi kekuasaan oleh Khalifah Al-Mustakfiy sebagai
pelindungnya dari bahaya orang Turki. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12
Jumadil Awwal 334 H. Kemudian lima hari setelah itu oleh khalifah Al-
Mustakfiy, Ahmad ibn Buwaihi dipercaya memegang jabatan atas nama
khalifah. Inilah titik awal terbentuknya Dinasti Buwaihi di dalam Daulah
Abbasiyah.5
Sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa di dalam Daulah Abbasiyah, yang
berkuasa adalah orang-orang keturunan Turki. Penguasa yang terakhir dari
orang-orang Turki adalah Mardawij, pada masa inilah ketiga putra Buwaihi
datang untuk bekerja di bawah pimpinan Mardawij. Oleh Mardawij mereka
diterima dengan baik, karena mereka memiliki kecakapan yang tinggi dan
ketiganya diangkat menjadi panglima untuk wilayah-wilayah yang luas, dan
kepada mereka diberi gelar sultan. 6
‘Ali ibn Buwaihi putra Buwaihi yang tertua diberi kekuasaan untuk
seluruh wilayah Persia, Al-Hasan adik ‘Ali diberi kekuasan untuk wilayah
Ray, Hamadzan dan Isfahan, sedangkan Ahmad ibn Buwaihi adik ‘Ali yang
paling muda diberikan kekuasaan untuk wilayah Ahwaz dan Kirman.
Dengan diberikan wilayah kekuasaan yang luas kepada Bani Buwaihi
mulailah terbuka celah bagi mereka untuk mendapatkan kemungkinan
merebut kekuasaan nantinya. Selain menguasai wilayah, mereka juga
sekaligus menjadi panglima. Karena itu kekuasaan militer juga berada di
tangan mereka yang pada suatu ketika bisa dimanfaatkan. Ahmad Ibn
Buwaihi yang pada waktu itu ibu kota Baghdad berada dalam kekuasaannya

5
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 119
6
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah dalam Ensiklopedi Tematis, (Jakarta : PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 81
4
5

selalu mencari peluang yang baik untuk menduduki Baghdad yang menjadi
tempat kedudukan khalifah. Kota ini dikawal ketat oleh sejumlah pengawal yang
dipimpin oleh Tauzon, seorang diktator militer yang bergelar Amir al-Umara’.
Pada masa khalifah al-Muttaqiy, Ahmad ibn Buwaihi pernah diminta oleh
khalifah datang ke Baghdad guna melindungi dirinya, karena pada waktu itu
terjadi keretakan hubungan antara khalifah dengan Tauzon. Pada tahun 332 H ia
berangkat menuju Baghdad, namun sebelum masuk kota itu ia dicegat oleh
Tauzon, sehingga ia gagal masuk ke sana.
Pada tahun 334 H Tauzon meninggal dunia, sedangkan wakilnya yang
bernama Ibn Syairazad sedang berada di luar kota Baghdad. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh Ahmad ibn Buwaihi untuk memasuki Baghdad, kehadirannya
diterima baik oleh Khalifah al-Mustakfiy yang ketika itu menghadapi bahaya
besar dari orang-orang Turki. Dalam kondisi ini yang terbaik baginya adalah
meminta perlindungan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang terkenal gagah dan
berani dengan cara mengangkatnya sebagai penguasa atas nama khalifah.
Sehingga orang-orang Turki yang dianggap berbahaya tidak berpeluang merebut
kedudukan khalifah. 7
Sebagai penghargaan terhadap keluarga Buwaihi, khalifah memberikan
gelar kepada Ahmad Ibn Buwaihi dengan Mu’iz al-Daulah (Penegak Negara),
kepada Ali ibn Buwaihi dengan Imad al-Daulah (Tiang Negara) dan
kepada Hasan ibn Buwaihi dengan Rukn al-Daulah (Penopang Negara). Mulai
saat itu resmilah keluarga Buwaihi sebagai pemegang kekuasaan dalam Daulah
Abbasiyah. Selanjutnya kekuasaan dipegang secara turun temurun oleh keluarga
ini hingga mereka dijatuhkan oleh Bani Saljuk pada tahun 447 H/ 1055 M.8
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yang memerintah
sebanyak 11 orang yaitu:
1. Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’iz al-Daulah) tahun 334-356 H
2. Bakhtiar (’Izz al-Daulah) tahun 356-367 H
3. Abu Suja’ Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4. Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5. Abu al-Fawaris (Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H

7
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di ... hal. 134
8
Taufik Abdullah dkk , Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah..., hal 75
6

6. Abu Nash Fairuz (Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H


7. Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8. Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9. Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10. Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahim ) tahun 440-447 H.9
B. Kondisi Dinasti Buwaihi
1. Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri
seperti halnya Bani Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa
sebagai Amir al-Umara’ di bawah kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat
selama Bani Buwaihi menjadi Amir al-Umara’ mereka berada di bawah
pimpinan lima khalifah Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-945 M), al-Mu’ti
(945-973 M), Al-Ta’i (973-991 M), Al-Qadir (991-1031 M) dan al-Qha’im
(1031-1074 M). Meskipun mereka hanyalah Amir al-Umara’, namun mereka
memegang kekuasaan secara defacto pada dinasti Abbasiyah. Bahkan pada
masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir al-Umara’ dan
menggantinya menjadi Malik (raja).10
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi
penting di pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak
obahnya seperti boneka. Segala kebijakan berada di tangan Amir.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai berkuasa
sejak Mu’iz al-Daulah diserahi memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh
al-Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah
berusaha menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpaham Sunni
menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat
reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah
dengan mengganti khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan mengangkat
khalifah Al-Mu’ti. Dengan diangkatnya al-Mu’ti sebagai khalifah, Muiz a-
Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan kekuasaannya. Karena ia

9
Su'ud, Abu. Islamologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hal 72
10
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran ... hal. 166
7

yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah sesuka


hatinya.
Selama Mu’iz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh
kemajuan yang berarti. Ia banyak disibukkan menghadapi pemberontakan
dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan Dinasti Buwaihi yang
berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’iz al-Daulah adalah puteranya Izz al-Daulah. Izz al-
Daulah berusaha menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah
mendapatkan kendala yang lebih besar. Tidak hanya menghadapi kaum
Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari sepupunya sendiri
yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang berambisi
merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang
mengakibatkan Izz al-Daulah terbunuh pada tahun 367 H.11
Setelah Izz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik
menggantikannya. Ia memegang kekuasaan dari tahun 367-372 H. pada masa
inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa dinasti Buwaihi memimpin.
Di antara keberhasilan yang beliau capai di bidang politik pemerintahan
–yang tidak pernah berhasil dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
a. Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari amir al-
umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil beliau lakukan setelah ia menjalin
hubungan dekat dengan khalifah al-Tha’i.
b. Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-
wilayah yang luas.12
Satu hal yang mesti digaris bawahi, bahwa stabilitas politik dinasti
Buwaihi cukup terkendali hanya pada masa 3 anak Buwaihi dan Adhdu al-
Daulah. Khusus setelah masa 3 anak Buwaihi, kondisi politik banyak
diwarnai pertikaian dan perebutan kekuasaan sesama keturunan Buwaihi. Dan
hal ini pulalah nantinya yang akan menyebabkan kehancuran Dinasti
Buwaihi. Ketika Penguasa Kuat seperti Mu’iz a-Daulah dan Adhdu al-
Daulah maka semua dapat dikendalikan, namun ketika penguasa lemah maka
tampaklah tanda-tanda kehancuran Buwaihi. Faktor lain yang menyebabkan
11
Taufik Abdullah dkk , Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah..., hal 78
12
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, (Semarang:
CV. Wicaksana,2002), hal 59
8

rumitnya situasi politik waktu itu adalah timbulnya pertentangan di tubuh


militer antara bangsa Dailam dan Turki, serta adanya serangan-serangan
gencar dari Bizantium ke Wilayah Islam. Hal ini menyebabkan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di
Baghdad. Di antara dinasti itu adalah: Iksidiah di Mesir dan Syria, Hamdan di
Aleppo dan Lembah Furat, Ghaznawiy di Ghazna dan dinasti Saljuk yang
berhasil merebut kekuasaan dari dinasti Buwaihi. 13
2. Ekonomi
Untuk menopang perekonomian masyarakat pada masa dinasti Buwaihi
dikembangkan berbagai usaha yang meliputi :
a. Perdagangan.
b. Pertanian, untuk menopang pertanian pada waktu itu telah dibangun
kanal-kanal dan saluran irigasi.
c. Industri, diantara bentuk industri yang dikembangkan pada waktu itu,
yang paling besar adalah industri permadani. Untuk kesehatan masyarakat
dibangun rumah sakit besar di Baghdad dan di Syiraj.
d. Satu hal yang mesti dicatat pada masa Adhdu al-Daulah
berkuasa, kesejahteraan imam masjid diperhatikan, para penulis dan
tokoh agama serta ilmuan diberi honorarium yang cukup besar. 14
3. Iptek dan Kesenian
Sebagaimana Para khalifah Abbasiyah pada periode awal, para penguasa
Buwaihi mencurahkan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh terhadap
ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa Bani Buwaihi ini banyak
bermunculan ilmuan besar, di antaranya Al-Farabiy (w. 950 M), Ibn Sina
(980-1037 M), Al-Farghani, Abd al-Rahman al-Shufiy (w.986 M), Ibn
Miskawaih (w.1030 M), Abu al-A’la al-Ma’ariy (973-1057 M), serta
kelompok Ikhwan al-Shafa. Kemajuan di masa Bani Buwaihi semakin tampak
jelas dengan dibangunnya masjid-masjid, rumah sakit, kanal-kanal dan
bangunan umum lainnya, salah satunya adalah Dar al-Mamlakah yang
terdapat di kota Baghdad. 15

13
Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah ..., hal 61
14
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2013), hal. 266
15
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah dalam ... hal. 92
9

Kemajuan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat pada masa ini


terjadi karena banyak faktor, menurut analisa penulis ada beberapa hal yang
menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Buwaihi, di
antaranya adalah:
a. Warisan tradisi dari Dinasti Abbasiyah awal yang mendorong para
pemikir abad berikutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
seperti banyaknya penterjemahan, penulisan karya ilmiah serta pen-
tahqiq-an kitab-kitab sebelumnya pada masa Harun al-Rasyid dan al-
Makmun.
b. Perhatian khalifah dan amir yang begitu besar terhadap pengembangan
ilmu pengetahuan. Ini dapat kita lihat pada masa Adhdu al-Daulah yang
memberikan honorarium yang besar terhadap para Fuqaha’, Muhadditsin,
mutakallimin dan ahli Nahwu, pujangga, sastrawan, dokter, ahli hisab,
arsitek dan lain-lain. Pada masa beliau, istana digunakan sebagai tempat
pertemuan ilmuan, sastrawan, cendikiawan dan ulama. Di sini menjadi
kesempatan untuk para penulis untuk menulis buku dalam berbagai
cabang ilmu. Di antara buku yang ditulis pada masa itu adalah: “Al-Idhah
wa al-Takmilah fi al-Nahw” karangan Syekh Abu ‘Ali al-Farisiy,
dan Taji fi Akhbariy Baniy Buwaihi” yang ditulis oleh Ishaq al-Shabihy. 16
4. Pemikiran Filsafat dan Pemahaman Keagamaan
Masalah keagamaan pada masa Bani Buwaihi diwarnai oleh perseteruan
antara paham Syi’ah yang di bawa oleh dinasti Buwaihi dengan paham Sunni
yang dianut oleh masyarakat Abbasiyah secara umum. Bahkan pada masa
Mu’iz al-Daulah, beliau berusaha merubah paham kekhalifahan dari Sunniy
menjadi Syi’ah. Namun usaha itu gagal karena mendapat reaksi dari
masyarakat.
Tetapi pada masa Adhdu al-Daulah toleransi/tasamuh antara kedua
paham dapat terwujud. Sehingga baik Bani Abbas maupun Bani Buwaihi
tidak ada yang memaksakan pahamnya masing-masing. Keduanya berjalan
secara serasi dan harmonis. Hanya saja Pada masa Baha’ al-Daulah sempat
terjadi insiden berdarah antara kaum Sunni dan Syi’ah.

16
Su'ud, Abu. Islamologi.., hal 85
10

Sedangkan Pemikiran filsafat sangat berkembang pada masa ini. Ini


ditandai dengan kebanyakan tokoh yang muncul waktu itu adalah para filosof
seperti kelompok Ikhwan al-Shafa, Ibn Sina, Al-Farabiy dan Ibn Miskawaih.

5. Sistem Pendidikan Islam Masa Dinasti Buwaihi.

Sistem pendidikan Islam pada masa Bani Buwaih merupakan kelanjutan


dari perkembangan pemikiran pendidikan dan juga perkembangan lembaga
pendidikan Islam pada zaman sebelumnya, yaitu zaman Bani Umayyah, dan
Zaman Bani Abbas I dan II. Mewarisi kegemilangan peradaban Bani Abbas I
dan II yang sudah mempunyai banyak kuttab, banyak masjid, juga beberapa
rumah sakit yang juga tempat pendidikan secara praktik bagi mahasiswa
yang mempelajari kedokteran, dan Baitul Hikmah perpustakaan yang
paling megah di zamannya. Meskipun pada masa tersebut kondisi politik
tidak stabil dan silih bergantinya penguasa, tetapi perkembangan dari segi
ilmu pengetahuan dan filsafat tetap berkembang. Pada masa dinasti Buwaih,
paham syi‟ah menjadi paham Negara. Rakyatnya sendiri sebagian besar
menganut paham Sunni. Ada kemungkinan pengajar-pengajar masjid Khan
berpaham syi‟ah. Tokoh-tokoh filosof yang terkenal seperti ibnu sina,
ayahnya adalah seorang syi‟ah ismailiyah. 17 Ibnu Sina sendiri sedari kecil
kental didikannya dengan guru-guru yang berpaham syiah. Ada
kemungkinan juga, masjid-masjid Khan mengajarkan kalam syi‟ah.
Lembaga pendidikan masjid Khan yang dibangun oleh Badr Bin
Hasanawayh adalah inovasi lembaga pendidikan pada masa itu yang menjadi
fenomena, dibangun dalam skala besar-besaran. Sebuah tempat komplek
pendidikan yang di dalamnya terdapat masjid, penginapan gratis untuk
pelajarnya, dan bahkan ada juga perpustakaan. Sungguh suatu kawasan yang
ideal untuk lembaga pendidikan yang terintegrasi dalam satu kawasan. Kita
dapat melihat contoh sekarang di kompleks Masjid Sabilal Muhtadin
Banjarmasin, terdapat masjid di sana, perpustakaan, sekolah (namun tidak
gratis), dan juga aula, bahkan ada juga kantor LPOM MUI Kalsel yang

17
Al Ismailiah adalah golongan syi‟ah yang dinamakan menurut sisilah keimaman dari

keturunan Ismail bin Ja‟far Ash Shodiq,


11

kesemuanya itu tidak lain tidak bukan sebagai wujud aktivitas keagamaan
yang terintegrasi. Salah satu yang menarik pada masa dinasti Buwaihi ini
adalah adanya organisasi rahasia yang bergerak di bawah tanah, yang mereka
namakan dirinya dengan Ikhwan Al Shafa. Yaitu sekelompok filosof yang
mengembangkan pemikiran-pemikiran mereka secara sembunyi-sembunyi,
dalam artian, nama anggota-anggotanya tidak dibeberkan. Dalam konteks
sekarang, di Indonesia juga terdapat organisasi wadah berkumpulnya
cendikiawan-cendikiawan muslim yaitu ICMI yang didirikan oleh Bpk.
Prof.H. BJ.Habibi. Namun, ICMI dalam kegiatannya tidak sembunyi-
sembunyi seperti Ikhwan Al Shafa. ICMI berusaha. memberikan sumbangsih
untuk kemajuan NKRI dan bekerja sama dengan pemerintah. Sistem
pemikiran dan pola pendidikan Islam pada masa Dinasti Buwaih tidak
terlepas dari pemikiran tokoh-tokoh filsafat pada masa itu, seperti Ibnu Sina,
Ibnu Maskawaih, Khawarizmi; dapat dibahas sebagai berikut:

1. Tujuan Pendidikan

Mahmud Yunus dalam bukunya,Sejarah Pendidikan Islam,menyebutkan


bahwa tujuan pendidikan pada masa bani Abbasiyah hal itu bearti juga
termasuk masa Bani Buwaih, telah lebih kompleks dibandingkan tujuan
pendidikan Islam pada masa bani Umayyah yang hanya terbatas pada tujuan
keagamaan saja.18 Tujuan-tujuan tersebut yaitu:tujuan keagamaan dan akhlak,
tujuan kemasyarakatan, cinta ilmu pengetahuan, dan tujuan kebendaan.

Tujuan keagamaan dan akhlak tetap menjadi prioritas utama, karenanya


ditanamkan sejak pendidikan dasar, anak-anak dididik dan diajarkan
membaca/menghapal Al Qur‟an, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam
agama, supaya mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu
juga mereka diajar ilmu tafsir, hadits, dan sebagainya adalah tidak lain tidak
bukan hanyalah karena tuntutan agama. 19

18
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Hida Karya Agung,1963,hal. 46
19
Ibid
12

Tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar menuntut ilmu,


supaya mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat
yang penuh kejahilan menjadi masyarakt yang bersinar ilmu pengetahuan,dari
masyarakat yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur. 20
Tujuan selanjutnya yaitu cinta ilmu pengetahuan, pemuda-pemuda belajar tidak
mengharapkan keuntungan apa-apa, selain dari pada berdalam-dalam dalam
ilmu pengetahuan. Dan mereka melawat ke seluruh Negara Islam, untuk
menuntut ilmu, tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan. Tujuan
mereka tidak lain adalah memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu
pengetahuan.21 Adapun mengenai tujuan kebendaan, menurut Ibnu Sina, jika
anak telah selesai belajar Al Qur‟an dan menghapal dasar-dasar gramatika, saat
itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaannya, maka arahkanlah ia
ke jalan itu. Jika ia menginginkan menulis maka hubungkanlah dengan
pelajaran bahasa surat menyurat, bercakap-cakap dengan orang lain serta
berbincang-bincang dengan mereka dan sebagainya. Kalau problem
matematika, caranya harus mengerjakan bersamanya, membimbing, dan
menuliskannya. Dan jika ia ingin yang lain, maka bawalah ia ke sana. 22Tujuan-
tujuan pengajaran tersebut, dapat diusahakan ketercapaiannya dengan
menggunakan berbagai macam metode. Metode pengajaran yang spesifik pada
masa Bani Buwaih tidak ditemukan, sehingga diasumsikan bahwa metode yang
digunakan guru adalah sama dengan metode yang umumnya digunakan pada
pendidikan Islam klasik, yaitu metode hapalan, metode repetisi, metode imla‟.
Begitu pula halnya dengan pola hubungan guru dan murid,seperti hubungan
orang tua dan anak, guru bersifat penyayang dan mendidik murid seperti anak
sendiri. Murid dengan penuh takzim menjaga adab dan bahkan membantu
pekerjaan rumah tangga gurunya.

C. Kemajuan Dinasti Buwaihi


Kemajuan yang dicapai pada pemerintahan dinasti Buwaihi sangat
banyak. Adud al-Daulah (367-372 H putra Ahmad bin Buwaih) adalah seorang

20
Ibid hal 47
21
Ibid
22
Ali Al Jumbulati dan Abdul Futuh Al Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun Fit

Tarbiyyatil Islamiyyah diterjemahkan oleh Arifin, Cet ke-2, Jakarta: Asdi mahasatya, 2002,hal. 118
13

penguasa dinasti Buwaih dianggap paling berhasil mencapai banyak kemajuan.


Ia berhasil menyatukan dinasti-dinasti kecil (di Irak, Persia Selatan, dan Oman)
di bawah komando dinasti Buwaihi. Ia adalah penguasa yang cinta keadilan
dan kebenaran, bahkan sangat terkenal kedermawanannya. Ia membangun kota
Bagdad hingga menjadi lebih megah, mendirikan masjid, dan sejumlah
bangunan lainnya.23
Pada bidang ilmu pengetahuan, muncullah ilmuan-ilmuan dan filosof-
filosof kenamaan antara lain: al-Kohi seorang ilmuwan di bidang fisikan, Abdul
Wafa ilmuwan di bidang matematika, al-Farabiy, Abd. Rahman Sufi, Umar bin
Khattab seorang filosof Islam dan tabib kenamaan. Kemajuan lain dicapai pada
masa Syaraf al-Daulah (376 H/987 M) dan Baha’ al-Daulah (379 H/989 M) yaitu
pembangunan gedung peneropong bintang dengan nama Dar al-Rasyid, serta
kemajuan-kemajuan pada bidang lain.
Ada beberapa faktor yang mendukung tercapainya kemajuan-kemajuan
pada dinasti Buwaihi, di antaranya:

1. Dinasti ini memberikan motivasi yang cukup terhadap perkembangan agama,


ilmu pengetahuan, dan filsafat.

2. Memberikan kebebasan warga negaranya untuk menganut aliran apa saja,


Sunni atau Syi`ah. 24

D. Kemunduran Dinasti Buwaihi


Setelah Adhd al-Daulah meninggal pada tahu 372 H, ia digantikan oleh
putranya yang bernama Abu Kalyajar al-Marzuban yang bergelar Sham-sham al-
Daulah. Pada waktu Sham-sham al-Daulah menggantikan ayahnya hubungan
baik dengan khalifah masih dapat dipertahankan. Namun tidak lama kemudian
suatu hal yang menggoncang kekuasaannya terjadi yaitu terjadi sengketa dengan
saudaranya sendiri bernama Abu al-Fawaris yang bergelar Syaraf al-Daulah yang
berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Meskipun ia berusaha mengadakan
perdamaian dengan saudaranya tersebut tetapi tidak berhasil. Pada tahun 736 H
Syaraf al-Daulah berhasil merebut kekuasaan dari tangan Sham-sham al-Daulah,

23
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta Rajawali Pers,2010), hal. 67
24
E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam, (Tangerang, :Pon-pest DaaEl-
Qolam), hal 46
14

dan menahannya sampai meninggal dunia pada tahun 376 H. Setelah memegang
kekuasaan selama 3 tahun 11 bulan, sejak terjadinya sengketa antara Sham-sham
al-Daulah dengan Syaraf al-Daulah inilah Dinasti Buwaihi mulai mengalami
kemunduran.
Pada Masa kekuasaan Syaraf al-Daulah keadaan politik mulai memburuk
karena jalan kekerasan yang ditempuhnya mendapat kebencian dari keluarga
Bani Buwaihi sendiri. Namun kebetulan ia tidak lama memegang kekuasaan,
karena meninggal pada tahun 379 H, dalam usia 28 tahun setelah berkuasa
selama 2 tahun 8 bulan. Kemudian ia digantikan oleh saudaranya Abu Nashr
yang bergelar Baha’ al-Daulah setelah, mendapat persetujuan dari khalifah Al-
Tha’i di Baghdad. 25
Berbeda dengan beberapa penguasa sebelumnya Baha’ al-Daulah telah
mulai memberikan kesempatan kepada orang-orang Turki untuk jabatan penting.
Bahkan ia sampai mengabaikan keluarganya sendiri yang merupakan sendi
kekuatan Bani Buwaihi. Tindakan lain yang dilakukannya adalah dengan
menangkap seorang penguasa wilayah (gubernur) Ali ibn Syaraf al-Daulah
karena dianggapnya akan menjadi saingan. Ali Adalah Putra saudaranya sendiri.
Karena terlalu khawatir, maka Ali dibunuhnya. Tindakan ini membawa dampak
yang negatif. 26
Kemudian sewaktu terjadi sengketa antara orang-orang Turki dengan
orang-orang Dailam, Baha’ al-Daulah segera menghimpun orang-orang Turki
dengan maksud supaya dapat melemahkan kekuatan orang-orang Dailam.
Tindakan ini menimbulkan pergolakan, salah seorang keluarga Bani Buwaihi
yang bergelar Fakhr al-Daulah yang waktu itu menjabat gubernur wilayah Ray,
Hamadzan dan Isfahan bertekad menguasai wilayah Iraq. Dan ia berusaha
mendapatkan peluang untuk menduduki Baghdad. Ketika ia berangkat bersama
tentaranya menuju Baghdad berita tentang keberangkatannya diketahui oleh
Baha’ al-Daulah, ia segera mengirim pasukan untuk mematahkannya,
pertempuran tidak dapat dielakkan pasukan Baha’ al-Daulah berhasil memukul
mundur Fakhr al-Daulah. Dengan demikian Baha’ al-Daulah masih dapat

25
E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah... hal 51
26
Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang : UIN-Malang Press, 2008), hal. 56
15

mempertahankan kekuasaannya, namun kesatuan Bani buwaihi telah mulai


terpecah.27
Pada tahun 381 H terjadi keretakan hubungan antara Baha’ al-Daulah
dengan khalifah Al-Tha’i. Pada tahun itu juga khalifah ditangkap dan
dipenjarakannya. Kemudian beliau mengangkat Al-Qodir sebagai penggantinya,
dan semua harta benda yang berharga dirampasnya. Dengan diangkatnya Al-
Qodir menjadi khalifah sesuai dengan persetujuan Baha’ al-Daulah, maka ia
dapat bertindak sesuka hatinya. Semenjak itulah khalifah hanyalah sebagai
lambang kekuasaan saja dan semua wewenang dan kekuasaan sepenuhnya berada
di tangan Baha’ al-Daulah. Dominasi Baha’ al-Daulah semakin tampak setelah ia
menikahkan anaknya dengan khalifah Al-Qodir.28
Masa Baha’ al-Daulah ini memang menjadi masa suram Dinasti Buwaihi,
Bahkan seorang penulis yang bernama Abu Mahasin mengatakan bahwa Baha’
al-Daulah adalah seorang penguasa yang zalim, yang hampir tidak ada
meninggalkan karya positif bagi negara dan rakyatnya. Selain hal di atas ada
beberapa peristiwa dan catatan penting bagi perjalanan kekuasaan Baha’ al-
Daulah yaitu:
1. Terjadinya insiden Baghdad antara kaum Syi’ah dan kaum Sunni, yang dipicu
oleh sikap fanatik Bani Buwaihi terhadap ajaran Syi’ah. Insiden ini hampir
merenggut nyawa seorang ulama terkenal yaitu abu Hamid al-Asfahaniy.
2. Penunjukan putra mahkota yang bermuara kepada perebutan kekuasaan anak-
anaknya pada periode berikutnya, bahkan sampai akhir kekuasaan Bani
Buwaihi. 29
Dari uraian ini dapat disimpulkan Bahwa di antara faktor-faktor penyebab
kemunduran Dinasti adalah:
1. Terjadinya perebutan kekuasaan sesama keluarga Buwaihi.
2. Rusaknya Hubungan Khalifah dengan penguasa.
3. Pemberian jabatan penting kepada orang Turki (Saljuk) dan mulai
mengabaikan orang-orang Dailam sendiri (khususnya di bidang politik).
4. Terjadinya pertikaian antara Syi’ah dan Sunni.
5. Ketidakmampuan penguasa mengendalikan stabilitas politik. 30
27
Ibid., hal. 62
28
Taufik Abdullah dkk , Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah..., hal 82
29
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di ... hal. 136
16

Peperangan antara Baha’, Syaraf dan saudara ketiga mereka, Shamsham al-
Daulah, juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan untuk menentukan
penerus mereka serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga
sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab
penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja Saljuk yang
bernama Thughril Beg memasuki Baghdad dan megakhiri riwayat kekuasaan
Buwaihi. Raja yang terakhir dari dinasti ini di Irak yang bernama al-Malik al-
Rahim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam kurungan.31

30
E. Abdul Aziz Tibrizi, Diktat II Sejarah... hal 57
31
Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur..., hal 599
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian dalam pembahasan tentang Dinasti Buwaihi di atas dapat di
simpulkan bahwa, menurut asal usul penguasanya selama masa 508 tahun
Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani
Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk.
Ketika berada di bawah kekuasaan Dinasti Buwaihi kedudukan
Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji.
Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga
bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan
menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz,
Wasit dan Baghdad.
Banyak kemajuan-kemajaun yang terjadi di zaman Dianasti Buwaihi,
terutama ketika kepemimpinan ‘Adhd Al Daulah. Dalam dukunganya
terhadap pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan sastra beliau
melakukan pengembangan antara lain memperindah Baghdad, memperbaiki
kanal-kanal yang sudah usang dan di beberapa kota-kota lain, mendirikan
sejumlah masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, observatorium
terkenal dan lain-lain.
Dalam perjalanan berikutnya, karena adanya peperangan antara
pembesar-pembesar dinasti Buwaihi antara lain Baha’, Syaraf dan saudara
ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, dan juga pertikaian antar anggota-
anggota kerajaan untuk menentukan penerus mereka, serta fakta bahwa
Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-
orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan
dinasti Buwaihi. Selain itu dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah
Abbasiyah menggeser kekuasaan Dinasti Buwaihi. Kehadiran Bani Saljuk ini
adalah atas ''undangan'' Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi
di baghdad. Dan inilah akhir dari kekuasaan Dinasti Buwaihi.

17
18

B. Saran
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadikan
kita semua golongan orang-orang yang terus belajar. Karena semakin kita
banyak belajar, maka kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi kita
juga orang lain. Dengan mempelajari dan mengetahui sejarah peradaban
Islam tentang Dinasti Buwaihi yang ada dalam makalah ini, kita semakin bisa
untuk berfikir lebih maju dalam menyikapinya, karena pengetahuan yang kita
dapat dari makalah ini dapat dijadikan sebagai pegangan dan bahan referensi
dalam kehidupan kita selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dkk. 2002. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve

Abu Bakar, Istianah. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang : UIN-Malang


Press

Hasjmy, A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang


Hitti, Philip K. 1997. Dinasti-Dinasti di Timur. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta :


Pustaka Book Publisher

Lubis, Nur Ahmad Fadhil. 2002. Dinasti Abbasiyah dalam Ensiklopedi Tematis.
Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve

Misbah, Ma'ruf dkk. 2002. Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III.
Semarang: CV. Wicaksana
Munir, Samsul. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah

Su'ud, Abu.2003. Islamologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta


: PT Raja Grafindo Persada

Tibrizi, E. Abdul Aziz. Diktat II Sejarah Kebudayaan Islam. Tangerang :Pon-pest


DaaEl- Qolam

Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Rajawali Pers

19

Anda mungkin juga menyukai