KOMITE PPI
BAB I
PENDAHULUHA
N
Wabah atau Kejadian Luar Biasa ( KLB ) dari penyakit infeksi sulit
diperkirakan datangnya, sehingga kewaspadaan melalui surveilans dan
tindakan pencegahan serta pengendaliannya perlu terus ditingkatkan. Selain
itu infeksi yang terjadi dirumah sakit tidak saja dapat dikendalikan tetapi juga
dapat dicegah dengan melakukan langkah – langkah yang sesuai dengan
prosedur yang berlaku.
I.D. KEANGGOTAAN
Komite PPI disusun minimal terdiri dari Ketua, Sekertaris dan Anggota
Ketua sebaiknya dokter (IPCO)/Infection Prevention and Control Officer),
mempunyai minat, kepedulian dan pengetahuan, pengalaman, mendalami
masalah infeksi, mikrobiologi klinik, atau epidemiologi klinik. Sekertaris
sebaiknya perawat senior (IPCN/Infection Prevention and Control Nurse),
yang disegani, berminat, mampu memimpin, dan aktif. Anggota yang dapat
terdiri dari :
a. Dokter wakil tiap SMF.
b. Dokter Patologi Klinik
c. Laboratorium.
d. Farmasi.
e. Perawat PPI/IPCN.
f. CSSD
g. Laundry
h. IPSRS
i. Sanitasi
j. Gizi
k. House keeping
l. K3RS
m. Petugas Kamar Jenasah
BAB II
PENGORGANISASIAN KOMITE / TIM / PANITIA (PIMPINAN DAN STAF)
Misi
Dalam mengupayakan pencapaian visi rumah sakit, misi yang
ditetapkan adalah:
1. Meningkatkan nilai bagi stake holder
2. Menciptakan pengalaman bagi pelanggan
3. Meningkatkan system pelayanan
4. Meningkatkan kualitas SDM
5. Budaya cinta kasih dan bertanggung jawab sosial
Motto
RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang memiliki motto: “Kami menolong,
Tuhan menyembuhkan”.
Falsafah
Falsafah pelayanan RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang adalah:
1. Setiap pasien adalah sesama yaitu ciptaan Allah yang harus
dikasihi melalui pelayanan kesehatan yang berkualitas secara
professional dengan hati tulus, hangat dan bersahabat.
2. Pelayanan kesehatan diberikan secara holistik dalam bentuk
kerjasama yang dinamis dan sinergis dari seluruh civitas hospitalia
RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang
Standar Perilaku
Standar Perilaku karyawan dalam RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto”
Semarang dalam melayani pelanggan adalah:
1. Karakter Kristen :
a. Kasih
a.1. Ramah
a.2. Mendengarkan
a.3. Cepat tanggap
a.4. Tidak berprasangka
b. Benar
b.1. Asertif
b.2. Terpercaya
c. Bersyukur
c.1. Tahu berterima kasih
c.2. Suka menolong
c.3. Tidak mengeluh
d. Taat
d.1. Disiplin
d.2. Tertib
e. Bertanggung jawab
e.1. Konsekuen
e.2. Proaktif
e.3. Tuntas
f. Cinta Damai
f.1. Pendamai
f.2. Demokratis
f.3. Komunikatif
f.4. Tidak bermusuhan
2. Memelihara Keharmonisan :
a. Harmonis dengan sesama
Empati
b. Harmonis dengan lingkungan
b.1. Peduli lingkungan
b.2. Perilaku bersih, sehat dan aman
b.3. Hemat energi
c. Harmonis dengan diri sendiri
c.1. Berpikir positif
c.2. Percaya diri
c.3. Menghargai diri sendiri
c.4. Menghargai orang lain
c.5. Rasa memiliki
3. Mengembangkan Pelayanan Berkualitas :
a. Melaksanakan kegiatan sesuai standar dan prosedur
b. Dapat diandalkan
c. Dapat dipercaya
d. Taat pada aturan
e. Inovatif
f. Kreatif
g. Bersedia berkorban
4. Belajar Dalam Budaya Pembelajaran
a. Suka belajar
b. Cepat tanggap
c. Selalu ingin maju
Misi
1. Meningkatkan kualitas Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Nosokomial dan pengelolaan sarana
2. Meningkatkan kepuasan pelanggan terhadap tidak adanya infeksi
nosokimal
3. Meningkatkan sistem kerja PPIRS
4. Meningkatkan kualitas SDM tentang Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Nosokomial secara kontinue
Falsafah
Kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan
fasilitas pelayan kesehatan lainnya merupakan suatu standar mutu
pelayanan dan penting bagi pasien, petugas kesehatan maupun
pengunjung rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Pengendalian infeksi harus dilaksanakan oleh semua rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk melindungi pasien, petugas
kesehatan dan pengunjung dari kejadian infeksi dengan memperhatikan
cost effectiveness.
Tujuan
1. Umum
Meningkatkan mutu layanan RS. Panti Wilasa “Dr.Cipto”
Semarang melalui pencegahan dan pengendalian infeksi, yang
dilaksanakan oleh semua departemen / unit di rumah sakit,
meliputi kualitas pelayanan, manajemen risiko, clinical
governance, serta kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga
LOS kurang dari 4 hari, tercapai angka infeksi nosokomial ≤ 9% .
2. Khusus
a. Sebagai pedoman bagi direktur rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam membentuk organisasi,
menyusun serta melaksanakan tugas, program, wewenang
dan tanggung jawab secara jelas.
b. Menggerakkan segala sumber daya yang ada di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya secara efektif dan
efisien dalam pelaksanaan PPI.
c. Menurunkan angka kejadian infeksi di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatam lainnya secara bermakna.
d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI sbb
:
d.1. Tercapai 75% pelaksanaan SPO cuci tangan
d.2. Tercapai 75% pembekalan bagi mahasiswa maupun
karyawan baru mengenai PPIRS
d.3. Tercapai 75% pengisian form surveilans dengan benar
d.4. Tercapai 75% pelaksanaan service rutin AC
d.5. Tercapai pelaksanaan pemeriksaan jamur dan bakteri
pada AC, pemeriksaan mikrobiologi air, dan
pemeriksaan kualitas fisik dan kimiawi air dua kali
dalam satu tahun.
d.6. Tercapai 75% pelaksanaan monitoring mutu sterilisasi.
d.7. Tercapai Survailens angka infeksi sbb :
i. Plebitis : ≤ 1‰
ii. Infeksi Luka operasi : ≤ 2%
iii. Infeksi Saluran Kemih : ≤ 4,7‰
iv. VAP : ≤ 5,8‰
v. IADP : ≤ 3,5‰
2. Komite PPI
Tugas dan Tanggungjawab atas :
a. Menetapkan definisi infeksi terkait pelayanan kesehatan di rumah
sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
b. Membuat metode pengumpulan data atau survailens
c. Menyusun dan membuat strategi serta mengevaluasi pelaksanaan
program PPI dan program pelatihan dan pendidikan PPI
d. Menerima laporan Tim PPI & membuat laporan kepada Direktur
e. Menetapkan indikator mutu Angka infeksi yang akan diukur
f. Membuat dan mengevaluasi kebijakan PPI - RS.
g. Terselenggaranya dan evaluasi program PPI
h. Penyusunan pedoman manajerial dan pedoman PPI
i. Tersedianya SPO PPI
j. Penyusunan dan penetapan serta mengevaluasi kebijakan PPI
k. Memberikan kajian KLB infeksi di RS
l. Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan PPI
m. Terselenggaranya pengkajian pencegahan dan pengendalian
resiko infeksi
n. Terselenggaranya pengadaan alat dan bahan yang terkait dengan
PPI
o. Terselenggaranya pertemuan berkala
p. Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPI-RS, agar dapat dipahami
dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan.
q. Melakukan investigasi masalah atau KLB infeksi nosokomial
r. Memberikan usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan
cara pencegahan infeksi nosokomial
s. Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI
t. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan sesuai dengan prinsip
PPI dan aman bagi yang menggunakan
u. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia ( SDM )
rumah sakit dalam PPI
v. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan.
w. Berkoordinasi dengan Unit dan tim terkait lain
w.1. Tim Pengendalian Resistensi Antimikroba (TPRA) dalam
penggunaan antibiotika yang bijak di rumah sakit
berdasarkan pola kuman dan resistensinya terhadap
antibiotika dan menyebarluaskan data resistensi kuman
w.2. Tim kesehatan kerja dan keselamatan kerja (Tim K3 RS)
untuk menyusun kebijakan.
w.3. Tim Keselamatan pasien dalam menyusun kebijakan clinical
governance dan patient safety
x. Mengembangkan, mengimplementasikan dan secara periodik
mengkaji kembali rencana manajemen PPI apakah telah
sesuai kebijakan manajemen rumah sakit.
y. Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan
pengadaan alat dan bahan kesehatan, renovasi ruangan, cara
pemrosesan alat, penyimpanan alat & linen sesuai dgn prinsip
PPI.
z. Menentukan sikap penutupan ruangan rawat bila diperlukan
karena potensial menyebarkan infeksi.
aa. Melakukan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang
menyimpang dari standar prosedur / monitoring surveilans proses
bb. Melakukan investigasi dan penanggulangan masalah/ KLB infeksi
nosokomial.
5. Anggota Komite
Anggota Komite PPI, terdiri dari :
a. IPCN/Perawat PPI
b. IPCD/Dokter PPI :
- Dokter wakil dari tiap KSM ( Kelompok Staf Medik )
- Dokter ahli epidemiologi
- Dokter Mikrobiologi
- Dokter Patologi Klinik
c. Anggota komite lainnya, dari
- Tim DOTS
- Tim HIV
- Laboratorium.
- Farmasi.
- Sterilisasi
- Laundry
- IPS RS
- Sanitasi Lingkungan
- Gizi pengelolaan makanan
- K3
- Petugas kamar jenazah
- Bagian Rumah Tangga.
9. Anggota lainya
Krieria :
a. Tenaga di luar dokter dan perawat yang mempunyai minat dalam
PPI
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
Tugas
a. Bertanggungjawab kepada ketua komite PPI dan koordinasi
dengan unit terkait lainnya dalam penerapan PPI
b. Memberikan masukan pada pedoman maupun kebijakan terkait
PPI
BAB III
SARANA DAN PRASARANA PENUNJANG (SUPPORTING SYSTEM)
c d
a
a
Keterangan:
a : Meja kerja yang dilengkapi dengan fasilitas
computer b : Almari dokumen
c : Wastafel
d : Rak dokumen/ file
SPO yang perlu dipersiapakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan antara lain :
a. Kewaspadaan Standar
a.1. Kebersihan tangan
a.2. Alat Pelindung Diri : sarung tangan, masker, kaca mata/pelindung
mata, perisai wajah, gaun, apron, sepatu bot/sandal tertutup
a.3. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien
a.4. Kesehatan lingkungan
a.5. Pengelolaan limbah
a.6. Penatalaksanaan linen
a.7. Perlindungan kesehatan petugas
a.8. Penempatan pasien
a.9. Etika batuk dan bersin
a.10. Praktik menyuntik yang aman
a.11. Praktek lumbal pungsi yang aman
b. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
b.1. Kewaspadaan transmisi melalui kontak
b.2. Kewaspadaan transmisi melalui droplet
b.3. Kewaspadaan transmisi melaui airbone
c. Upaya pencegahan infeksi sesuai pelayanan di fasilitas pelayanan
kesehatan, anatara lain :
c.1. Pencegahan dan Pengendalian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP)
c.2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Aliran Darah (IAD)
c.3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Kemih (ISK)
c.4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Daerah Operasi (IDO)
c.5. Kebijakan tentang PPI lainnya misalnya (plebitis dan decubitus )
IV.A. KEGIATAN
1. Monitoring kewaspadaan isolasi
a. Kewaspadaan Standar
b. Kewaspadaan Transmisi
2. Melakukan survailens
3. Pendidikan dan pelatihan
4. Melaksanakan langkah – langkah pencegahan infeksi
5. Monitoring penggunaan antibiotik yang rasional
6. Melakukan investigasi out break
7. Membuat Infekasi Control Risk Asessment /ICRA
2. Masker
Masker digunakan untuk melindungi wajah dan
membran mukosa mulut dari cipratan darah dan
cairan tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan
udara yang kotor dan melindungi pasien atau
permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat
batuk atau bersin. Masker yang dugunakan harus
menutupi hidung dan mulut serta melakukan fit test
(penekanan di bagian hidung).
Terdapat tiga jenis masker:
Masker bedah, untuk tindakan bedah atau
mencegah penularan melalui droplet
Masker respiratorik, untuk mencegah penularan
melalui airbone
Masker rumah tangga, digunakan dibagian gizi
atau dapur
Cara memakai masker:
Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga
jika menggunakan kaitan tali karet atau simpulkan
tali di belakang kepala jika menggunakan tali
lepas)
Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala
atau leher
Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk
tulang hidung dengan kedua ujung jari tengah
atau telunjuk
Membetulkan agar masker melekat erat pada
wajah dan di bawah dagu dengan baik
Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker
telah melekat dengan benar.
Pemakaian respirator partikulat
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95
atau FFP2 (health care particular respirator),
merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi
untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran <
5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus
dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran. Masker ini membuat pernapasan
pemakai menjadi lebih berat. Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit
test. Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit
test:
Ukuran respirator perlu disesuaikan dengan
ukuran wajah
Memeriksa sisi masker yang menempel pada
wajah untuk melihat adanya cacat atau lapisan
yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan
yang tidak utuh, maka tidak dapat digunakan dan
perlu diganti
Memastikan tali masker tersambung dan
menempel dengan baik di semua titik sambungan
Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam
dapat disesuaikan bentuk hidung petugas.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efekstif dan
kurang aman bila tidak menempel erat pada wajah.
Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan
keadaan demikian yaitu:
Adanya janggut dan jambang
Adanya gagang kacamata
Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi
yang dapat mempengaruhi perlekatan bagian
wajah masker
Cara memakai:
Genggamlah respirator dengan satu tangan,
posisikan sisi depan bagian hidung pada ujung
jari- jari anda, biarkan tali pengikat respirator
menjuntai bebas di bawah tangan anda
Posisikan respirator di bawah dagu anda dan sisi
untuk hidung berada di atas
Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan
posisikan tali agak tinggi di belakang kepala anda
di atas telinga. Tariklah tali pengikat respirator
yang bawah dan posisikan tali pada kepala
bagian atas (posisi tali menyilang)
Letakkan jari- jari kedua tangan anda di atas
bagian hidung yang terbuat dari logam. Tekan sisi
logam tersebut (gunakan dua jari dari masing-
masing tangan) mengikuti bentuk hidung anda.
Jangan menekan respirator dengan satu tangan
karena dapat mengakibatkan respirator bekerja
kurang efektif
Tutup bagian depan respirator dengan kedua
tangan dan hati- hati agar posisi respirator tidak
berubah
3. Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju
petugas dari kemungkinan paparan atau percikan
darah atau cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau
melindungi pasien dari paparan pakaian petugas
pada tindakan steril.
Jenis- jenis gaun pelindung:
Gaun pelindung tidak kedap air
Gaun pelindung kedap air
Gaun steril
Gaun non steril
Pelepasan APD:
Langkah- langkah melepaskan APD adalah sebagai
berikut:
1. Lepaskan sarung tangan
Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung
tangan lainnya, kemudian lepaskan
Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan
menggunakan tangan yang masih memakai
sarung tangan
Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai
sarung tangan di bawah sarung tangan yang
belum dilepas di pergelangan tangan
Lepaskan sarung tangan, di atas sarung tangan
pertama
Buang sarung tangan ke tempat sampah yang
sesuai
2. Lakukan kebersihan tangan
Lakukan kebersihan tangan dengan cara 6
langkah cuci tangan
3. Lepaskan perisai wajah (goggle)
Pegang karet atau gagang goggle
Letakkan di wadah yang sesuai
4. Lepaskan gaun
Lepas tali pengikat gaun
Tarik dari leher dan bahu dengan memegang
bagian dalam gaun pelindung saja
Balik gaun pelindung
Lipat dan gulung menjadi gulungan dan letakkan
di wadah yang sesuai
5. Lepaskan penutup kepala
Lepas tali pengikat (bila ada)
Pegang bagian dalam topi pelindung dan
lepaskan
Letakkan di tempat yang telah disediakan dan
sesuai atau buang ke tempat sampah yang
sesuai
6. Lepaskan masker
Lepaskan tali bagian bawah dan kemuadian tali/
karet bagian atas
Buang ke tempat sampah yang sesuai
7. Lepaskan sepatu pelindung
Lepaskan sepatu pelindung
Letakkan di tempat yang telah disediakan dan
yang sesuai
8. Lakukan kebersihan tangan
Lakukan kebersihan tangan dengan cara 6
langkah cuci tangan
Ventilasi campuran:
Gedung yang tidak menggunakan system pendingin
udara sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi
alamiah dengan exhaust fan atau kipas angin agar
udara luar yang segar dapat masuk ke semua
ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun
langit- langit di ruangan di mana banyak orang
berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuat
maksimal.
9. Pengelolaan makanan
Pengelolaan makanan pasien harus dilakukan
oleh tenaga terlatih. Semua permukaan di dapur
harus mudah dibersihkan dan tidak mudah
menimbulkan jamur
Tempat penyimpanan bahan makanan kering
harus memenuhi syarat penyimpanan bahan
makanan, yaitu bahan makanan tidak menempel
ke lantai, dinding maupun ke atap
Makanan hangat harus dirancang agar bisa
segera dikonsumsi pasien sebelum menjadi
dingin. Makanan dirancangan hygienis hinggap
siap dikonsumsi pasien.
f. Penempatan Pasien
f.1. Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non
infeksius
f.2. Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi
infeksi penyakit pasien (kontak, droplet, airbone)
sebaiknya ruangan tersendiri
f.3. Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat
bersama pasien lain yang jenis infeksinya sama dengan
menerapkan sistem cohorting. Jarak antara tempat tidur
minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien yang dapat
disatukan dalam satu ruangan, dikonsultasikan terlebih
dahulu kepada komite PPI.
f.4. Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda
kewaspadaan berdasarkan jenis transmisinya (kontak,
droplet, airbone)
f.5. Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau
lingkungannya seyogyanya dipisahkan tersendiri
f.6. Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya
melalui udara (airbone) agar dibatasi di lingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari
terjadinya transmisi penyakit yang tidak perlu kepada
yang lain.
f.7. Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan
pasien TB dalam satu ruangan tetapi pasien TB- HIV
dapat dirawat dengan sesame pasien TB.
b. ILO profunda
Infeksi terjadi 30 hari pasca bedah bila tanpa implant atau 1
tahun tahun pasca bedah bila ada implant dan infeksi ini
meliputi jaringan lebih dalam dari fisia. Disertai salah satu
tersebut dibawah ini:
b.1. Keluar nanah dari luka operasi
b.2. Terjadi dehisensi luka secara spontan atau luka sengaja
dibuka oleh dokter apabila disertai dengan salah satu dari
gejala panas (38C) atau nyeri local kecuali bila kultur
tidak menunjukkan adanya kuman
b.3. Adanya abses atau dibuktikan adanya abses di bawah
fascia pada operasi ulang atau pemeriksaan PA atau
radiologi menunjukkan gambaran infeksi
b.4. Rekomendasi dokter
c. ILO bersih terkontaminasi
Infeksi terjadi pada operasi bersih terkontaminasi dan
memenuhi kriteria ILO dalam operasi terkontaminasi atau
operasi kotor dinyatakan HAIs apabila dapat dibuktikan bahwa
penyebab infeksi adalah kuman yang berasal dari rumah sakit
atau ditemukan kuman strain lain dari kuman yang ditemukan
sebelum masuk rumah sakit.
Catatan:
1. Didalam penggunaan antibiotik yang irasional jika
ditemukan tanda peradangan maka dimasukkan kedalam
kemungkinan infeksi
2. Abses jahitan yang sembuh 3 hari setelah jahitan
diangkat bukan infeksi operasi
b. Kriteria II:
Foto thorax menunjukkan adanya infiltrate, konsolidasi, kavitasi,
efusi pleura baru atau progesif dan salah satu diantara keadaan
berikut:
b.1. Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya
perubahan sifat sputum
b.2. Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea,
sikatan/ cuci baronkus atau biopsy
b.3. Virus dapat diisolasi atau terdapat antigen virus dalam
sekresi saluran nafas
b.4. Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4x lipat dalam 2 kali
pemeriksaan
b.5. Terdapat tanda- tanda pneumonia pada pemeriksaan
histopatologi
c. Kriteria III
Penderita berusia < 12 bulan dengan 2 tanda dari tanda- tanda
di bawah ini:
c.1. Apneu
c.2. Bradikardi
c.3. Wheezing
c.4. Brachipnea
c.5. Ronki atau batuk disertai salah satu dari keadaan
d. Kriteria IV
Pada anak berusia < 12 bulan yang pada foto thoraxnya
menunjukkan infiltrasi cara yang progesif, kavitas, konsolidasi
atau adanya “pleural effusion” disertai sesuai dengan salah satu
keadaan seperti criteria 3
Kriteria II:
Pada pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam 7
hari sebelum dibiakan pertama dari biakan urine 2 kali berturut-
turut ditemukan tidak lebih 2 jenis kuman yang sama dengan
jumlah > 105 per cm3
Tanpa gejala/ keluhan: demam, polakisuri, nikuri, disuri, nyeri
suprapubik
c. ISK lain
Seorang pasien dikatakan menderita ISK lain bila ditemukan
kriteria berikut:
Kriteria I:
Ditemukan kuman yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin
(jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi)
Kriteria II:
Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik
secara pemeriksaan langsung, selama pembedahan atau
melalui pemeriksaan histopatologi
Kriteria III:
Dua dari tanda berikut
1. Demam 380C
2. Nyeri lokal, nyeri tekan pada daerah yang dicurigai
terinfeksi, dan salah satu dari tanda/ gejala berikut:
Keluar PUS atau aspirasi purulen dari tempat yang
dicurigai terinfeksi
Ditemukan kuman pada biakan darah, pemeriksaan
radiologis memperlihatkan gambaran terinfeksi
Didiagnosis infeksi oleh dokter yang menangni
3. Dokter yang menangani memberikan pengobatan
antimikroba yang sesuai
Untuk bayi berumur < 12 bulan
Kriteria 4 ditemukan salah satu tanda/ gejala:
Hipotermi < 370C rectal
Apnea
Bradikardi < 100/ menit
Letargi
Muntah- muntah dan salah satu diantara keadaan
berikut:
1) Keluar PUS dari lokasi terinfeksi
2) Biakan darah positif
3) Pemeriksaan radiologi memperlihatkan gambaran
infeksi
4) Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
5) Dokter yang menangani memberikan pengobatan
antimikroba yang sesuai
Metode Surveilans
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Ken Saras menggunakan
metode surveilans komprehensif (Hospital wide/ Tradisional
Surveillance)
Adalah surveilans yang dilakukan di semua area perawatan untuk
mengidentifikasi pasien yang mengalami infeksi selama di rumah sakit.
Data dikumpulkan dari catatan medis, catatan keperawatan,
laboratorium dan perawat ruangan. Metode surveilans ini merupakan
metode pertama yang dilakukan oleh Center for Disease Control (CDC)
pada tahun 1970 namun memerlukan banyak waktu, tenaga dan biaya.
2. Pengumpulan Data
Mengumpulkan data survailans
a. Mengumpulkan data surveilans oleh orang yang kompeten,
professional, berpengalaman dan dilakukan oleh IPCN
b. Memilih metode surveilans dan sumber data yang tepat
c. Data yang dikumpulkan dan dilakukan pencatatan meliputi data
demografi, faktor resiko, antimikroba yang digunakan dan hasil
kultur resistensi, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor
catatan medik dan tanggal masuk RS, Tanggal infeksi muncul,
lokasi infeksi, ruang perawatan saat infeksi muncul pertama kali
Faktor resiko: alat, prosedur, faktor lain yang berhubungan
dengan IRS, data radiology/ imaging: X-ray, CT scan, MRI dan
lain sebagainya
d. Metode observasi langsung merupakan gold standart
3. Analisa
Penghitungan dan stratifikasi
a. Incidence Rate
Numerator adalah jumlah kejadian infeksi dalam kurun waktu
tertentu.
Denumerator adalah jumlah hasil pemasangan alat dalam
kurun waktu tertentu atau jumlah pasien yang dilakukan
tindakan dalam kurun waktu tertentu
b. Menganalisis Incidence Rate Infeksi
Data harus dianalisa dengan cepat dan tepat untuk
mendapatkan informasi apakah ada masalah infeksi rumah
sakit yang memerlukan penanggulangan atau investigasi lebih
lanjut
c. Interpretasi
Interpretasi yang dibuat harus menunjukkan informasi tentang
penyimpangan yang terjadi. Bandingkan angka infeksi rumah
sakit apakah ada penyimpangan, dimana terjadi kenaikan atau
penurunan yang cukup tajam. Bandingkan rate infeksi dengan
NNIS/ CDC/ WHO. Perhatikan dan bandingkan kecenderungan
menurut jenis infeksi, ruang perawatan dan mikroorganisme
pathogen penyebab bila ada. Jelaskan sebab- sebab
peningkatan atau penurunan angka infeksi rumah sakit dengan
melampirkan data pendukung yang relevan dengan masalah
yang dimaksud.
4. Pelaporan
a. Laporan dibuat secara periodic, tergantung institusi bisa setiap
triwulan, semester, tahunan atau sewaktu- waktu jika diperlukan
b. Laporan dilengkapi dengan rekomendasi tindak lanjut bagi
pihak terkait dengan peningkatan infeksi
c. Laporan didesiminasikan kepada pihak- pihak terkait
d. Tujuan diseminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan
informasi tersebut untuk menetapkan strategi pengendalian
infeksi rumah sakit
5. Evaluasi
a. Langkah- langkah proses surveilans
b. Ketepatan waktu dari data
c. Kualitas data
d. Ketepatan analisa
e. Hasil penilaian: apakah sistem surveilans sudah sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
X 1000
Jumlah hari pemakaian kateter urine menetap dalam kurun waktu tertentu
Jumlah VAP
X 1000
3. Insiden Rate IADP
Jumlah hari pemakaian Ventilasi Mekanik dalam kurun waktu tertentu
3. Inseden IADP
Jumlah IADP
X 1000
Jumlah hari pemakaian Kateter Vena Sentral dalam kurun waktu tertentu
4. Insiden Plebitis
Jumlah Plebitis
X 1000
Jumlah hari pemakaian Intra Vena Line dalam kurun waktu tertentu
5. Insiden IDO
Jumlah IDO
X 100
c. Antiseptik kulit
Bersihkan area kulit disekitar insersi dengan menggunakan
cairan antiseptic (alcohol 70% atau larutan chlorhexidine
glukonat alkhohol 2 – 4%) dan biarkan antiseptik mongering
sebelum dilakukan penusukan/ insersi kateter.
Pengunaan cairan antiseptic dilakukan segera sebelum
dilakukan insersi mengingat sifat cairan yang mudah menguap
dan lakukan swab dengan posisi melingkar dari area tengan ke
luar atau sekali usap.
Persyaratan memilih cairan antiseptik antara lain:
1. Aksi yang cepat dan aksi mematikan mikroorganisme
yang berkelanjutan.
2. Tidak menyebabkan iritasi pada jaringan ketika
digunakan.
3. Non- alergi terhadap subjek.
4. Tidak ada toksisitas sistemik (tidak diserap).
5. Tetap aktif dengan adanya cairan tubuh, misalnya darah
atau nanah.
d. Pemilihan lokasi insersi kateter
d.1. Pertimbangkan resiko dan manfaat pemasangan kateter
vena sentral untuk mengurangi komplikasi infeksi terhadap
resiko komplikasi mekanik.
d.2. Hindari menggunakan vena femoralis untuk akses vena
sentral pada pasien dewasa dan sebaiknya menggunakan
vena subclavia untuk mempermudah penempatan kateter
vena sentral.
d.3. Hindari penggunaan vena subclavia pada pasien
hemodialisis dan penyakit ginjal kronis.
d.4. Gunakan CVC dengan jumlah minimum port atau lumen
untuk pengelolaan pasien.
d.5. Segera lepas kateter jika sudah tidak ada indikasi lagi.
e. Observasi rutin keteter vena sentral/ perifer setiap hari
e.1. Raba dengan tangan setiap hari lokasi pemasangan
kateter, untuk mengetahui adanya pembengkakan.
e.2. Periksa secara visual lokasi pemasangan kateter untuk
mengetahui apakah adanya pembengkakan, demam
tanpa adanya penyebab yang jelas, atau gejala infeksi
lokal atau infeksi bakterimia.
e.3. Pada pasien yang memakai perban tebal sehingga susah
diraba atau dilihat, lepas perban terlebih dahulu, periksa
secara visual setiap hari dan pasang perban baru.
e.4. Sebaiknya menggunakan dressing transparan sehingga
mudah untuk mengobservasi.
e.5. Catat tanggal dan waktu pemasangan kateter di lokasi
yang dapat dilihat dengan jelas.
e.6. Jangan menyingkat prosedur pemasangan kateter yang
sudah ditentukan.
Suatu spesies bakteri secara alami dapat bersifat resisten terhadap suatu
antibiotik. Sifat resisten ini dapat terjadi misalnya karena bakteri tidak
memiliki organ atau bagian dari organ sel yang merupakan target kerja
antibiotik. Sifat resisten alami juga dapat terjadi karena spesies bakteri
memiliki dinding sel yang bersifat tidak permeable untuk antibiotic tertentu.
Suatu populasi spesies bakteri belum tentu mempunyai kepekaan yang
seragam terhadap suatu antibiotik. Terdapat kemungkinan bahwa dalam
suatu populasi spesies tersebut sebagaian kecil bersifat resisten parsial atau
komplet secara alami. Bila populasi yang heterogen tersebut terpapar
antibiotic maka sebagaian kecil populasi yang bersifat resisten akan
bertahan hidup dan berkembangbiak dengan cepat melebihi populasi
bakteri yang peka dan dapat berkembang biak di dalam tubuh pasien dan
dikeluarkan dari tubuh (misalnya melalui tinja) sehingga dapat menyebar ke
lingkungan. Keadaan ini yang disebut sebagai “selective pressure”. Sifat
resistensi suatu spesies atau strain bakteri dapat pula diperoleh akibat
perpindahan materi genetic pengkode sifat resisten, yang terjadi secara
horizontal (dari suatu spesies/ strain ke spesies/ strain lainnya) atau vertical
(dari sel induk ke anaknya).
5. Membuat Hipotesa
Dalam membuat hipotesa, harus diketahui mengenai
karakteristik penyakit. Apa penyebabnya, bagaimana
transmisinya, apa reservoirnya dan faktor resiko apa yang
menyebabkan timbulnya penyakit. Hal-hal tersebut harus
ditanyakan pada pasien dan staff rumah sakit dan kemudian
gunakan epidemiologi deskriptif sebagai dasar pembuatan
hipotesa.
6. Uji Hipotesa
7. Pengawasan sumber penularan
8. Menyempurnakan Hipotesa
9. Membuat dan mendistribusi laporan KLB
2. Komunikasi
Saat KLB berlangsung dilakukan komunikasi mengenai terjadinya
KLB dengan prosedur :
a. Melaporkan kepada Direktur RS
b. Konsultasikan kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien
c. Bila KLB bertambah banyak , lapor ke Dinas Kesehatan
d. Mengadakan pertemuan dengan media elektronik, jika perlu
3. Manajemen
Tindakan pencegahan dan penanggulangan KLB harus
dilaksanakan sedini mungkin sebenarnya pada saat diagnosa
telah diverifikasi. Dengan mengetahui diagnosa suatu penyakit,
tindakan pengobatan sudah dilaksanakan segera. Hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan anggaran perlu dibicarakan dengan
pihak manajemen Rumah Sakit.
4. Pengawasan
Pada proses pengawasan, Panitia PPI mengatur mengenai hal-hal
sebagai berikut :
a. Implementasikan peraturan mengenai isolasi
b. Memberikan Imunisasi jika diperlukan
c. Memberikan antibiotik profilaksis jika dibutuhkan
d. Definisikan indikasi rawat dan dirujuk
e. Definisikan pertemuan dengan anggota
f. Evaluasi pengawasan
5. KLB berakhir
Pada saat KLB berakhir, Komite PPI segera mengumumkan
bahwa KLB telah berakhir secepatnya. Kemudian Komite PPI
membuat laporan lengkap KLB kepada Direktur Rumah Sakit Panti
Wilasa “Dr.Cipto” Semarang.
KOMITE PPI
KETERANGAN :
Petugas Pelaksana / ICN keliling ruangan setiap hari untuk memonitor
pada pasien yang dilakukan tindakan invansif, sehingga Komite PPI bisa
mengetahui kejadian infeksi atau KLB secara dini. Selanjutnya bila
terjadi out break petugas pelaksana/ ICN melaporkan ke Komite PPI.
Kemudian Komite PPI mengecek kebenarannya ke tempat yang
melaporkan. Setelah itu, atas persetujuan Direktur Rumah Sakit, Komite
PPI membentuk Tim Pengendali KLB. Hasil investigasi Tim Pengendali
KLB selanjutnya dilaporkan pada Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa
“Dr.Cipto” Semarang.
DOKUMENTASI : Laporan penanganan KLB apabila terjadi kasus kejadian
luar biasa
G. PENINGKATAN MUTU
Kegiatan PPI serta Data terintegrasi dengan program PMKP
(Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien ) dengan menggunakan
indikator mutu yang secara epidemiologik penting bagi Rumah Sakit
Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
BAB V
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
Pemberian Suntikan
Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk
setiap suntikan, berlaku juga pada penggunaan vial
multidose untuk mencegah timbulnya kontaminasi
mikroba saat obat dipakai pada pasien lain. Jangan
lupa membuang spuit dan jarum suntik bekas pakai
ke tempatnya dengan benar.
1. Menerapkan tehnik aseptic untuk mencegah
kontaminasi alat- alat injeksi.
2. Tidak menggunakan spuit yang sama untuk
penyuntikan lebih dari 1 pasien walaupun jarum
suntiknya diganti.
3. Semua alat suntik yang dipergunakan harus
satu kali pakai untuk satu pasien dan satu
prosedur.
4. Gunakan cairan pelarut hanya untuk satu kali.
5. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila
memugkinkan).
6. Tidak memberikan obat- obat single dose
kepada lebih dari satu pasien atau mencampur
obat- obat sisa dari vial/ ampul untuk pemberian
berikutnya.
7. Bila harus menggunakan obat- obat multi dose,
semua alat yang digunakan harus steril.
8. Simpan obat- obat multi dose sesuai dengan
rekomendasi dari pabrik yang membuat.
9. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih
dari 1 pasien
Terapi cairan
1. Ganti selang IV, termasuk selang piggyback dan
stopcock, dengan interval yang tidak kurang dari
72 jam, kecuali bila ada indikasi klinis.
2. Ganti selang yang dipakai untuk memasukkan
darah, komponen darah atau emulsi lemak
dalam 24 jam.
3. Waktu pemakaian cairan IV, termasuk juga
cairan nutrisi parenteral yang tidak mengandung
lemak sekurang- kurangnya 96 jam.
4. Infus harus diselesaikan dalam 24 jam untuk
satu botol cairan parenteral yang mengandung
lemak.
5. Bila hanya emusi lemak yang diberikan,
selesaikan infus dalam 12 jam setelah botol
emulsi mulai digunakan.
Punksi lumbal
Semua petugas harus memakai masker bedah,
gaun bersih, sarung tangan steril saat melakukan
tindakan lumbal pungsi, anestesi spinal/ epidural/
pasang kateter vena sentral.
Penggunaan masker bedah pada petugas
dibutuhkan agar tidak terjadi droplet flora orofaring
yang dapat menimbulkan meningitis bacterial
c.2. Peralatan yang dipakai
c.3. Pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
suatu tindakan
c.4. Persiapan pasien yang memadai
c.5. Kepatuhan terhadap tehnik pencegahan yang
direkomendasikan
Audit
Audit berarti melakukan pengecekan terhadap praktik aktual terhadap standar
yang ada, termasuk tentang membuat laporan ketidakpatuhan atau isu-isu
yang dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan lainnya atau oleh Komite PPI.
Pemberitahuan hasil audit kepada staf dapat membantu mereka untuk
mengidentifikasi dimana perbaikan yang diperlukan. Audit internal termasuk
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap efektifitas proses manajemen
risiko RS. Manajemen risiko dibuat untuk menciptakan obyektifitas kemudian
mengidentifikasi, melakukan analisis, dan respon terhadap risiko-risiko
tersebut yang secara potensial akan mempengaruhi kemampuan RS untuk
menyadari keobyektifannya. Auditor internal dapat memberikan nasihat dan
membantu mengidentifikasi risiko-risiko yang bersifat darurat.
1. Metode Audit
Prioritas dilakukan pada area yang sangat penting di fasilitas pelayanan
kesehatan, antara lain area risiko tinggi, yang dievaluasi melalui hasil
surveilans atau KLB. Audit yang efektif terdiri dari suatu gambaran lay
out fisik, kajian ulang atau alur traffic, protocol dan kebijakan, makanan
dan peralatan dan observasi dari praktik PPI yang sesuai. Audit harus
dilaksanakan pada waktu yang sudah ditentukan, dapat dilakukan
dengan wawancara staf dan observasi keliling, audit ini sederhana
namun menghabiskan banyak waktu, sehingga disarankan
menggunakan siklus cepat rencana audit.
Pengisian kuisioner oleh pegawai tentang praktik PPI yang aman harus
dibagikan dan disosialisasikan sebelum adanya audit.Kuisioner dapat
dikembangkan terus-menerus membantu penentuan praktik area yang
harus diaudit. Responden mencantumkan identitas dengan pekerjaan
(contoh: perawat, dokter, radiographer, costumer services). Kuisioner
bisa kembali tepat waktu. Satu orang pada setiap area survei harus
ditanyakan untuk memastikan kuisioner lengkap dan aman untuk
pengumpulan dan tabulasi oleh tim audit. Hasil dapat mempersilahkan
Komite PPI untuk menentukan dimana edukasi tambahan
diperlukan.Diseminasi hasil dan diskusi jawaban yang benar dapat
digunakan sebagai alat edukasi. dimodifikasi agar sesuai dengan
departemen atau area yang diaudit.Suatu tenggat waktu harus diberikan
sehingga kuisioner
V.B. PELAPORAN
1. IPCN membuat laporan rutin: 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun atau jika
diperlukan.
2. Komite/Tim PPI membuat laporan tertulis kepada pimpinan fasyankes
setiap bulan dan jika diperlukan
BAB VI
PENUTUP
Penerapan PPI di Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” akan terlaksana dengan
optimal bila di dukung oleh komitmen para pengambil kebijakan dan seluruh
petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan
Dirketur,
RS. PANTI WILASA “Dr. CIPTO”