Anda di halaman 1dari 101

PEDOMAN KERJA

KOMITE PPI

RS. PANTI WILASA “ Dr. CIPTO “


Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) Semarang

Jl. Dr. Cipto No. 50 Semarang - 50126


Telp. (024) 3546040 (hunting)/Facs. (024) 3546042
e-mail : rspwdc@indo.net.id // rspwdc@pantiwilasa.com //
Website: www.pantiwilasa.com
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR
RS. PANTI WILASA “Dr. CIPTO”
Nomor :
084/RSPWDC/SK.01/I/2018
Tanggal : 15 Januari 2018

BAB I
PENDAHULUHA
N

I.A. LATAR BELAKANG


Isu mengenai munculnya penyakit infeksi atau Emerging Infectious Diseases
timbul sejak dua tahun ini dengan adanya kekhawatiran akan terjadinya
pandemi flu, baik akibat virus strain burung maupun virus influenza lainya,
telah membuat sibuk para ahli virology,empidemiologi,pembuat
kebijakan,maupun pihak pers dan masyarakat. Keadaan seperti ini dapat
menimbulkan “ histeria “ yang tak beralasan dikalangan masyarakat maupun
komunitas tertentu, bila tidak dilakukan persiapan upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi. Komunitas dibidang kesehatan yang bekerja di fasilitas
kesehatan termasuk kelompok beresiko tinggi untuk terpajan oleh penyakit
infeksi yang berbahaya dan mengancam jiwa. Risiko tersebut meningkat
secara signifikan bila terjadi wabah penyakit pernafasan yang menular, seperti
SARS ( Severe Acute Respiratory Syndrome ), penyakit meningococus, flu
burung, dan lain – lain.

Untuk meminimalkan risiko terjadinya infeksi dirumah sakit dan fasilitas


pelayanan kesehatan lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian
infeksi ( PPI ), yaitu kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
pembinaan, pendidikan dan pelatihan, serta monitoring dan evaluasi.

Wabah atau Kejadian Luar Biasa ( KLB ) dari penyakit infeksi sulit
diperkirakan datangnya, sehingga kewaspadaan melalui surveilans dan
tindakan pencegahan serta pengendaliannya perlu terus ditingkatkan. Selain
itu infeksi yang terjadi dirumah sakit tidak saja dapat dikendalikan tetapi juga
dapat dicegah dengan melakukan langkah – langkah yang sesuai dengan
prosedur yang berlaku.

I.B. TUJUAN UMUM DAN TUJUAN KHUSUS


1. Tujuan Umum
Meningkatkan mutu layanan rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya melalui pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, yang
dilaksanakan oleh semua departemen / unit di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya, meliputi kualitas pelayanan, manajemen
risiko, clinical governance, serta kesehatan dan keselamatan kerja.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai pedoman bagi direktur rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam membentuk organisasi,
menyusun serta melaksanakan tugas, program, wewenang dan
tanggung jawab secara jelas.
b. Menggerakkan segala sumber daya yang ada di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya secara efektif dan efisien
dalam pelaksanaan PPI.
c. Menurunkan angka kejadian infeksi di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatam lainnya secara bermakna.
d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI.
I.C. TUGAS POKOK
Membantu Direktur dalam merencanakan, malaksanakan, membina,
mendidik, melatih, mengawasi, monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan
program-program pencegahan dan pengendalian infeksi.

I.D. KEANGGOTAAN
Komite PPI disusun minimal terdiri dari Ketua, Sekertaris dan Anggota
Ketua sebaiknya dokter (IPCO)/Infection Prevention and Control Officer),
mempunyai minat, kepedulian dan pengetahuan, pengalaman, mendalami
masalah infeksi, mikrobiologi klinik, atau epidemiologi klinik. Sekertaris
sebaiknya perawat senior (IPCN/Infection Prevention and Control Nurse),
yang disegani, berminat, mampu memimpin, dan aktif. Anggota yang dapat
terdiri dari :
a. Dokter wakil tiap SMF.
b. Dokter Patologi Klinik
c. Laboratorium.
d. Farmasi.
e. Perawat PPI/IPCN.
f. CSSD
g. Laundry
h. IPSRS
i. Sanitasi
j. Gizi
k. House keeping
l. K3RS
m. Petugas Kamar Jenasah

I.E. LANDASAN HUKUM


1. PERMENKES Republik Indonesia no 27 tahun 2017 tentang Pedoman
Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
2. SK Menkes No. 382/Menkes/SK/III/2007 tentang pelaksanaan PPI di RS
dan FPK lain. RS membentuk Komite PPIRS  upaya untuk memutus
siklus penularan & melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung
di fasilitas pelayanan kesehatan
3. SK Menkes No 270/Menkes/SK/III/2007 tentang Buku Pedoman PPI
4. Edaran Dirjen Yanmed Depkes tahun 2008 bahwa RS harus
membentuk Komite PPIRS yang bertanggungjawab langsung kepada
direktur
5. SK Menkes No. 129/SK/II/2008 tentang SPM RS
6. Sk Menkes 1165.A./Menkes/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi RS
7. UURI No. 23 Th. 1992 ttg Kesehatan (LNRI Th 1992 No. 100, TLNRI
No. 3495)
8. UU RI No. 8 Th. 1999 ttg Perlindungan Konsumen (LNRI Th. 1999 No.
42, TLNRI No. 3821)
9. UU RI No. 29 Th 2004 ttg Praktik Kedokteran (LNRI Th. 2004 No. 116,
TLNRI No. 4431);
10. PP No. 32 Th. 1996 ttg Tenaga Kesehatan;
11. Permenkes RI No. 159b/Menkes/Per/II/1988 ttg Rumah Sakit;
12. Permenkes No. 986/Menkes/Per/XI/1992 ttg Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit;
13. Permenkes RI No. 1333/Menkes/SK/XII/1999 ttg Standar Pelayanan
Rumah Sakit;
14. Permenkes RI No. 1575/Menkes/Per//2005 ttg Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Kesehatan.
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara RI No 3495)
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara RI No 4431)
17. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2001 tentang
Pedoman Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di
Lingkungan Departemen Kesehatan

BAB II
PENGORGANISASIAN KOMITE / TIM / PANITIA (PIMPINAN DAN STAF)

II.A. VISI, MISI, FALSAFAH, STANDAR PERILAKU


1. Visi, Misi, Motto, Falsafah, Standar Perilaku RS. Panti Wilasa
“Dr. Cipto” Semarang
Visi
Visi RS. Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang adalah rumah sakit bermutu
pilihan masyarakat.
RS. Bermutu : sebagai Rumah Sakit yang mampu
membeikan pelayanan kesehatan sesuai
standar pelayanan medis, keperawatan
dan penunjang medis secara
professional
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat.
RS. Pilihan Masyarakat : sebagai Rumah Sakit yang mampu
menjadi rujukan masyarakat yang memiliki
pelayanan berkualitas, penuh cinta kasih
yang tulus, hangat, dan bersahabat.

Misi
Dalam mengupayakan pencapaian visi rumah sakit, misi yang
ditetapkan adalah:
1. Meningkatkan nilai bagi stake holder
2. Menciptakan pengalaman bagi pelanggan
3. Meningkatkan system pelayanan
4. Meningkatkan kualitas SDM
5. Budaya cinta kasih dan bertanggung jawab sosial

Motto
RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang memiliki motto: “Kami menolong,
Tuhan menyembuhkan”.

Falsafah
Falsafah pelayanan RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang adalah:
1. Setiap pasien adalah sesama yaitu ciptaan Allah yang harus
dikasihi melalui pelayanan kesehatan yang berkualitas secara
professional dengan hati tulus, hangat dan bersahabat.
2. Pelayanan kesehatan diberikan secara holistik dalam bentuk
kerjasama yang dinamis dan sinergis dari seluruh civitas hospitalia
RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang

Standar Perilaku
Standar Perilaku karyawan dalam RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto”
Semarang dalam melayani pelanggan adalah:
1. Karakter Kristen :
a. Kasih
a.1. Ramah
a.2. Mendengarkan
a.3. Cepat tanggap
a.4. Tidak berprasangka
b. Benar
b.1. Asertif
b.2. Terpercaya
c. Bersyukur
c.1. Tahu berterima kasih
c.2. Suka menolong
c.3. Tidak mengeluh
d. Taat
d.1. Disiplin
d.2. Tertib
e. Bertanggung jawab
e.1. Konsekuen
e.2. Proaktif
e.3. Tuntas

f. Cinta Damai
f.1. Pendamai
f.2. Demokratis
f.3. Komunikatif
f.4. Tidak bermusuhan
2. Memelihara Keharmonisan :
a. Harmonis dengan sesama
Empati
b. Harmonis dengan lingkungan
b.1. Peduli lingkungan
b.2. Perilaku bersih, sehat dan aman
b.3. Hemat energi
c. Harmonis dengan diri sendiri
c.1. Berpikir positif
c.2. Percaya diri
c.3. Menghargai diri sendiri
c.4. Menghargai orang lain
c.5. Rasa memiliki
3. Mengembangkan Pelayanan Berkualitas :
a. Melaksanakan kegiatan sesuai standar dan prosedur
b. Dapat diandalkan
c. Dapat dipercaya
d. Taat pada aturan
e. Inovatif
f. Kreatif
g. Bersedia berkorban
4. Belajar Dalam Budaya Pembelajaran
a. Suka belajar
b. Cepat tanggap
c. Selalu ingin maju

2. Visi, Misi, Falsafah Dan Tujuan PPIRS


Visi
“Tidak terjadi Infeksi Nosokomial sehingga rumah sakit semakin bermutu
menjadi pilihan masyarakat”

Misi
1. Meningkatkan kualitas Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Nosokomial dan pengelolaan sarana
2. Meningkatkan kepuasan pelanggan terhadap tidak adanya infeksi
nosokimal
3. Meningkatkan sistem kerja PPIRS
4. Meningkatkan kualitas SDM tentang Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Nosokomial secara kontinue

Falsafah
Kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan
fasilitas pelayan kesehatan lainnya merupakan suatu standar mutu
pelayanan dan penting bagi pasien, petugas kesehatan maupun
pengunjung rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Pengendalian infeksi harus dilaksanakan oleh semua rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk melindungi pasien, petugas
kesehatan dan pengunjung dari kejadian infeksi dengan memperhatikan
cost effectiveness.

Tujuan
1. Umum
Meningkatkan mutu layanan RS. Panti Wilasa “Dr.Cipto”
Semarang melalui pencegahan dan pengendalian infeksi, yang
dilaksanakan oleh semua departemen / unit di rumah sakit,
meliputi kualitas pelayanan, manajemen risiko, clinical
governance, serta kesehatan dan keselamatan kerja, sehingga
LOS kurang dari 4 hari, tercapai angka infeksi nosokomial ≤ 9% .

2. Khusus
a. Sebagai pedoman bagi direktur rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam membentuk organisasi,
menyusun serta melaksanakan tugas, program, wewenang
dan tanggung jawab secara jelas.
b. Menggerakkan segala sumber daya yang ada di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya secara efektif dan
efisien dalam pelaksanaan PPI.
c. Menurunkan angka kejadian infeksi di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatam lainnya secara bermakna.
d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI sbb
:
d.1. Tercapai 75% pelaksanaan SPO cuci tangan
d.2. Tercapai 75% pembekalan bagi mahasiswa maupun
karyawan baru mengenai PPIRS
d.3. Tercapai 75% pengisian form surveilans dengan benar
d.4. Tercapai 75% pelaksanaan service rutin AC
d.5. Tercapai pelaksanaan pemeriksaan jamur dan bakteri
pada AC, pemeriksaan mikrobiologi air, dan
pemeriksaan kualitas fisik dan kimiawi air dua kali
dalam satu tahun.
d.6. Tercapai 75% pelaksanaan monitoring mutu sterilisasi.
d.7. Tercapai Survailens angka infeksi sbb :
i. Plebitis : ≤ 1‰
ii. Infeksi Luka operasi : ≤ 2%
iii. Infeksi Saluran Kemih : ≤ 4,7‰
iv. VAP : ≤ 5,8‰
v. IADP : ≤ 3,5‰

II.B. STRUKTUR ORGANISASI


1. Struktur Organisasi Rumah Sakit
2.2.1 Struktur Organisasi Komite PPIRS

dr. Daniel Budi Wibowo, M.Kes

Ketua Komite PPI

dr. Daniel Puguh Pramudyo, Sp.B


Sekretaris

Maryadi, S.Kep, Ns.

IPCN IPCO ANGGOTA KOMITE PPIRS


Maryadi, S.Kep, Nsdr. Daniel Puguh Pramudyo, Sp.B1. dr. Bambang S., Sp.AK : Dokter Anak
Memorya YK., S.Kep, Ns2. dr. Dyah W. MKes : Dokter Umum
dr. Tanto Sp.B FICS : Dokter Bedah
Tulang
4. Dr. Subroto SpPd : Dokter Peny.
IPCL Dalam
N
Titik Handayani, S.Kep,Ns Drg. Fredy.,Sp.Prost : Dokter Gigi
Dwi Indrati, AMd.Kep Spesialis
Loriza Hendritasari, AMd.Kep Prostodentil
Setiawati, AMd.Kep Yeti O., S.Kep,Ns : Manj.
Tusti Setyanti Budi, S.Kep,Ns Keperawatan
Sri Wahyuni, MSc., Apt : Apoteker /
Yoan Kristiana, AMd.Kep
CSSD
Erlita Ika Puspita, AMd.Keb
Dian Kristinawati, AMd.Keb Eko Joko P., SKM: Laboratorium
Wahyuningtyas, AMd.Kep Yulius A.P, Amd: Sanitasi/Laundry 10.Ristiani,
Elisabet Rimawati, AMK S.ST: Gizi
Maria Magdalena Jemikem., AMd.Kep 11.Tunggul A.B., S.Kom: UPS/Kamar
Sunarlin, AMd.Kep Jenazah
Ch. Sri Tanjung, AMd.Kep
Tri Atmaningsih, AMd.Kep
Yusnita Dwi Setiyowati, AMd.Kep
II.C. URAIAN TUGAS, TANGGUNG JAWAB, WEWENANG DAN PERAN
1. Direktur
Tugas dan Tanggungjawab atas :
a. Membentuk Komite PPIRS dengan Surat Keputusan
b. Bertanggung jawab dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap
penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial.
c. Bertanggung jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan
prasarana termasuk anggaran yang dibutuhkan.
d. Menetukan kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial.
e. Mengadakan evaluasi kebijakan pencegahan dan pengedalian
infeksi nosokomial berdasarkan saran dari Komite PPIRS.
f. Mengadakan evaluasi kebijakan pemakaian antibiotika yang
rasional dan disinfektan di rumah sakit berdasarkan saran dari
Komite PPI
g. Dapat menutup suatu unit perawatan atau instalasi yang dianggap
potensial menularkan penyakit untuk beberapa waktu sesuai
kebutuhan berdasarkan saran dari Komite PPIRS.
h. Mengesahkan Prosedur Tetap untuk PPIRS
i. Menfasilitasi pemeriksaan kesehatan petugas di fasilitas
pelayanan kesehatan, terutama bagi petugas yang berisiko tertular
infeksi minimal 1 tahun sekali, dianjurkan 6 bulan sekali

2. Komite PPI
Tugas dan Tanggungjawab atas :
a. Menetapkan definisi infeksi terkait pelayanan kesehatan di rumah
sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
b. Membuat metode pengumpulan data atau survailens
c. Menyusun dan membuat strategi serta mengevaluasi pelaksanaan
program PPI dan program pelatihan dan pendidikan PPI
d. Menerima laporan Tim PPI & membuat laporan kepada Direktur
e. Menetapkan indikator mutu Angka infeksi yang akan diukur
f. Membuat dan mengevaluasi kebijakan PPI - RS.
g. Terselenggaranya dan evaluasi program PPI
h. Penyusunan pedoman manajerial dan pedoman PPI
i. Tersedianya SPO PPI
j. Penyusunan dan penetapan serta mengevaluasi kebijakan PPI
k. Memberikan kajian KLB infeksi di RS
l. Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan PPI
m. Terselenggaranya pengkajian pencegahan dan pengendalian
resiko infeksi
n. Terselenggaranya pengadaan alat dan bahan yang terkait dengan
PPI
o. Terselenggaranya pertemuan berkala
p. Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPI-RS, agar dapat dipahami
dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan.
q. Melakukan investigasi masalah atau KLB infeksi nosokomial
r. Memberikan usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan
cara pencegahan infeksi nosokomial
s. Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI
t. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan sesuai dengan prinsip
PPI dan aman bagi yang menggunakan
u. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia ( SDM )
rumah sakit dalam PPI
v. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan.
w. Berkoordinasi dengan Unit dan tim terkait lain
w.1. Tim Pengendalian Resistensi Antimikroba (TPRA) dalam
penggunaan antibiotika yang bijak di rumah sakit
berdasarkan pola kuman dan resistensinya terhadap
antibiotika dan menyebarluaskan data resistensi kuman
w.2. Tim kesehatan kerja dan keselamatan kerja (Tim K3 RS)
untuk menyusun kebijakan.
w.3. Tim Keselamatan pasien dalam menyusun kebijakan clinical
governance dan patient safety
x. Mengembangkan, mengimplementasikan dan secara periodik
mengkaji kembali rencana manajemen PPI apakah telah
sesuai kebijakan manajemen rumah sakit.
y. Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan
pengadaan alat dan bahan kesehatan, renovasi ruangan, cara
pemrosesan alat, penyimpanan alat & linen sesuai dgn prinsip
PPI.
z. Menentukan sikap penutupan ruangan rawat bila diperlukan
karena potensial menyebarkan infeksi.
aa. Melakukan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang
menyimpang dari standar prosedur / monitoring surveilans proses
bb. Melakukan investigasi dan penanggulangan masalah/ KLB infeksi
nosokomial.

3. Ketua komite PPIRS dokter ( ICD )


Kualifikasi :
a. Dokter yang mempunyai minat dalam PPI
b. Pernah mengikuti pelatihan PPI

Tugas dan Tanggungjawab atas :


a. Terselenggaranya dan evaluasi program PPI
b. Penyusunan rencana strategis program PPI
c. Penyusunan pedoman manajerial dan pedoman PPI
d. Tersedianya SPO PPI
e. Penyusunan dan penetapan serta mengevaluasi kebijakan PPI
f. Memberikan kajian KLB infeksi di RS
g. Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan PPI
h. Terselenggaranya pengkajian pencegahan dan pengendalian
resiko infeksi
i. Terselenggaranya pengadaan alat dan bahan yang terkait dengan
PPI
j. Terselenggaranya pertemuan berkala
k. Melaporkan kegiatan Komite PPI kepada Direktur

4. Sekretaris Komite PPI


Kualifikasi :
a. Dokter/IPCN/tenaga kesehatan lain yang mempunyai minat dalam
PPI
b. Pernah mengikuti pelatihan dasar PPI
c. Purna waktu
Tugas :
a. Menfasilitasi tugas ketua komite PPI
b. Membantu koordinasi
c. Mengagendakan kegiatan PPI

5. Anggota Komite
Anggota Komite PPI, terdiri dari :
a. IPCN/Perawat PPI
b. IPCD/Dokter PPI :
- Dokter wakil dari tiap KSM ( Kelompok Staf Medik )
- Dokter ahli epidemiologi
- Dokter Mikrobiologi
- Dokter Patologi Klinik
c. Anggota komite lainnya, dari
- Tim DOTS
- Tim HIV
- Laboratorium.
- Farmasi.
- Sterilisasi
- Laundry
- IPS RS
- Sanitasi Lingkungan
- Gizi pengelolaan makanan
- K3
- Petugas kamar jenazah
- Bagian Rumah Tangga.

6. IPCD /Infection Prevention Control Doctor


Kualifikasi :
a. Dokter yang mempunyai minat dalam PPI
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
c. Memiliki kemampuan leadership
Tugas :
a. Berkontribusi dalam pencegahan, diagnosis dan terapi infeksi
yang tepat
b. Turut menyusun Pedoman penggunaan antibiotika dan survailens
c. Mengidentifikasi dan melaporkan pola kuman dan pola resistensi
antibiotika
d. Bekerjasama dengan IPCN /Perawat PPI melakukan monitoring
kegiatan survailens infeksi dan mendeteksi serta investigasi KLB.
Bersama komite PPI memperbaiki kesalahan yang terjadi,
membuat laporan tertulis hasil investigasi dan melaporkan kepada
pimpinan rumah sakit
e. Membimbing dan mengadakan pelatihan PPI bekerja sama
dengan bagian pendidikan dan pelatihan (Diklat) di rumah sakit
f. Turut memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat
pasien
g. Turut membantu semua petugas kesehatan untuk memahami PPI

7. IPCN (Infection Prevention and Control Nurse )


Kriteria :
a. Perawat dengan pendidikan minimal Diploma III Keperawatan
b. Mempunyai minat dalam PPI
c. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI dan IPCN
d. Memiliki pengalaman sebagai Kepala Ruangan atau setara
e. Memiliki kemampuan leadership dan inovatif
f. Bekerja purnawaktu
Tugas dan tanggungjawab IPCN :
a. Melakukan kunjungan kepada pasien yang beresiko di ruangan
setiap hari untuk mengidentifikasi kejadian infeksi pada pasien di
baik rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Memonitor pelaksaaan program PPI, kepatuhan penerapan SPO
dan memberikan saran perbaikan bila diperlukan
c. Melaksanakan survailens infeksi dan melaporkan kepada Komite
d. Turut serta melkukan kegiatan mendeteksi dan investigasi KLB
e. Memantau petugas kesehatan yang terpajan bahan infeksius /
tertusuk bahan tajam bekas pakai untuk mencegah penularan
infeksi
f. Melakukan desiminasi prosedur kewaspadaan isolasi dan
memberikan konsultasi tentang PPI yang diperlukan pada kasus
tertentu yang terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan
g. Melakukan audit PPI di seluruh wilayah fasilitas pelayanan
kesehatan dengan menggunakan daftar tilik
h. Memonitor pelaksanaan pedoman penggunakan antibiotika
bersama komite
i. Mendesain, melaksanakan, memonitor, mengevaluasi dan
melaporkan survailens infeksi yang terjadi di fasilitas pelayanan
kesehatan bersama komite
j. Memberikan motivasi kepatuhan pelaksanaan program PPI
k. Memberikan saran desain ruangan rumah sakit agar sesuai
dengan prinsip PPI
l. Meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung rumah sakit
tentang PPI
m. Memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan, pasien,
keluarga dan pengunjung tentang topik infeksi yang sedang
berkembang ( new-emerging dan re-emerging ) atau infeksi
dengan insiden tinggi
n. Sebagai coordinator antar departemen/unit dalam mendeteksi,
mencegah, dan mengendalikan infeksi di rumah sakit
o. Memonitor dan mengevaluasi peralatan medis single-use yang di
re-use

8. IPCLN (Infection Prevention and Control Link Nurse)


Kualifikasi :
a. Perawat dengan pendidikan min D3 yang mempunyai minat dalam
PPI
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
Tugas IPCLN
IPCLN sebagai perawat pelaksana hariang / penghubung bertugas :
a. Mencatat data survailens dari setiap pasien di unit rawat inap
masing – masing
b. Memberikan motivasi dan mengingatkan tentang pelaksanaan
kepatuhan PPI pada setiap personil ruangan di unitnya masing –
masing
c. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam
penerapan kewaspadaan isolasi
d. Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya
HAIs pada pasien
e. Bila terdapat infeksi potensial KLB melakukan penyuluhan bagi
pengunjung dan konsultasi prosedur PPI berkoordinasi dengan
IPCN
f. Memantau pelaksanaan penyuluhan bagi pasien, keluarga dan
pengunjung dan konsultasi prosedur yang dilaksanakan

9. Anggota lainya
Krieria :
a. Tenaga di luar dokter dan perawat yang mempunyai minat dalam
PPI
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
Tugas
a. Bertanggungjawab kepada ketua komite PPI dan koordinasi
dengan unit terkait lainnya dalam penerapan PPI
b. Memberikan masukan pada pedoman maupun kebijakan terkait
PPI
BAB III
SARANA DAN PRASARANA PENUNJANG (SUPPORTING SYSTEM)

III.A. SARANA KESEKRETARIATAN


1. Sarana Ruangan sekertariat dan tenaga sekertarisnya yang purna waktu
2. Komputer, printer, dan internet
3. Telepon dan Faksimili
4. ATK dan sarana kesekretariat lainya
5. Denah ruang

c d

a
a

Keterangan:
a : Meja kerja yang dilengkapi dengan fasilitas
computer b : Almari dokumen
c : Wastafel
d : Rak dokumen/ file

III.B. DUKUNGAN MANAJEMEN


Dukungan manajemen yang di berikan berupa :
a. Surat menyurat untuk komite PPIRS
b. Menyediakan anggaran untuk :
1. Pendidikan dan pelatihan (Diklat)
2. Pengadaan fasilitas pelayanan penunjang
3. Pelaksanaan program, monitoring, evaluasi, laporan dan rapat
rutin
4. Remunerasi / insentif /Tunjangan / penghargaan untuk Komite
PPIRS

III.C. KEBIJAKAN DAN PROSEDUR (SPO)


Kebijakan yang perlu dipersiapakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan adalah
:
a. Kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan PPI sekaligus
pengembangan SDM Komite PPI
b. Kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan untuk seluruh petugas di
fasilitas pelayanan kesehatan
c. Kebijakan tentang kewaspadaan isolasi meliputi kewaspadaan standar
dan kewaspadaan transmisi termasuk kebijakan tentang penempatan
pasien
d. Kebijakan tentang PPI pada pemakaian alat kesehatan dan tindakan
operasi
e. Kebijakan tentang kesehatan karyawan
f. Kebijakan tentang pelaksaaan survailens
g. Kebijakan tentang penggunaan antibiotik yang bijak
h. Kebijakan tentang pengadaan bahan dan alat yang melibatkan Komite
PPI
i. Kebijakan tentang pemeliharaan fisik dan sarana prasarana
j. Kebijakan penanganan kejadian luar biasa
k. Kebijakan tentang pelaksanaan audit PPI
l. Kebijakan tentang pengkajian resiko di fasilitas pelayanan kesehatan

SPO yang perlu dipersiapakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan antara lain :
a. Kewaspadaan Standar
a.1. Kebersihan tangan
a.2. Alat Pelindung Diri : sarung tangan, masker, kaca mata/pelindung
mata, perisai wajah, gaun, apron, sepatu bot/sandal tertutup
a.3. Dekontaminasi peralatan perawatan pasien
a.4. Kesehatan lingkungan
a.5. Pengelolaan limbah
a.6. Penatalaksanaan linen
a.7. Perlindungan kesehatan petugas
a.8. Penempatan pasien
a.9. Etika batuk dan bersin
a.10. Praktik menyuntik yang aman
a.11. Praktek lumbal pungsi yang aman
b. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
b.1. Kewaspadaan transmisi melalui kontak
b.2. Kewaspadaan transmisi melalui droplet
b.3. Kewaspadaan transmisi melaui airbone
c. Upaya pencegahan infeksi sesuai pelayanan di fasilitas pelayanan
kesehatan, anatara lain :
c.1. Pencegahan dan Pengendalian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP)
c.2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Aliran Darah (IAD)
c.3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Kemih (ISK)
c.4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Daerah Operasi (IDO)
c.5. Kebijakan tentang PPI lainnya misalnya (plebitis dan decubitus )

III.D. PENGEMBANGAN DAN PENDIDIKAN PELATIHAN (DIKLAT)


Untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi dibutuhkan
pendidikan dan pelatihan baik terhadap seluruh SDM pelayanan kesehatan
maupun pengunjung dan keluarga pasien. Bentuk pendidikan dan/ atau pelatihan
pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari komunikasi, informasi, edukasi
dan pelatihan PPI.

Pendidikan dan pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi diberikan oleh


pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi profesi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan, serta petugas fasilitas pelayanan
kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang PPI, termasuk Komite PPI.
Pendidikan dan pelatihan PPI bagi Komite PPI dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar dan lanjut serta
pengembangan pengetahuan PPI lainnya.
2. Memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga pelatihan sesuai ketentuan
peraturan perundang- undangan.
3. Mengembangkan diri dengan mengikuti seminar, lokakarya dan sejenisnya.
4. Mengikuti bimbingan teknis secara berkesinambungan.
5. IPCN harus mendapatkan tambahan pelatihan khusus IPCN tingkat lanjut.
6. IPCLN harus mendapatkan tambahan pelatihan PPI tingkat lanjut.
Pendidikan dan pelatihan bagi staf fasilitas pelayanan kesehatan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Semua staf pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan harus mengetahui
prinsip- prinsip PPI antara lain melalui pelatihan PPI tingkat dasar.
2. Semua staf non pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan harus dilatih
dan mampu melakukan upaya pencegahan infeksi meliputi kebersihan
tangan, etika batuk, penanganan limbah, APD (masker dan sarung tangan)
yang sesuai.
3. Semua karyawan baru, mahasiswa praktek, PPDS harus mendapatkan
orientasi PPI.
Pendidikan bagi pengunjung dan keluarga pasien berupa komunikasi, informasi
dan edukasi tentang PPI terkait penyakit yang dapat menular.
1. IPCN (Infection Prevention and Control Nurse)
a. Mengikuti pelatihan PPI tingkat dasar dan PPI tingkat lanjut
b. Mengikuti pelatihan IPCN dan IPCN tingkat lanjut
c. Mengembangkan ilmu pengetahuan terkait dengan PPI melalui
seminar, workshop, lokakarya dan lain sebagainya.
2. IPCLN
a. Mengikuti pelatihan PPI tingkat dasar dan PPI tingkat lanjut
b. Mengembangkan ilmu pengetahuan terkait dengan PPI melalui
seminar, workshop, lokakarya dan lain sebagainya.
3. Karyawan Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
a. Petugas medis dan penunjang medis
a.1. Mengetahui dan memahami tentang seluruh kewaspadaan
standart
a.2. Mengetahui dan memahami tentang kewaspadaan berdasarkan
transmisi
b. Petugas non medis
Mengetahui dan memahami kewaspadaan standar (Kebersihan
tangan, APD, Etika Batuk, Pengelolaan limbah dan pengendalian
lingkungan)
4. Karyawan baru
Setiap karyawan baru mendapatkan orientasi terkait pencegahan dan
pengendalian infeksi sebelum memulai bekerja
5. Mahasiswa praktek
Sebelum memulai praktek di Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto”
Semarang setiap mahasiswa praktek mendapatkan orientasi terkait PPI
6. Pasien, keluarga pasien dan pengunjung RS
Setiap pasien, keluarga pasien dan pengunjung RS mendapatkan edukasi
tentang kebersihan tangan dan etika batuk, serta terkait penyakit menular.
BAB IV
KEGIATAN DAN RINCIAN KEGIATAN

IV.A. KEGIATAN
1. Monitoring kewaspadaan isolasi
a. Kewaspadaan Standar
b. Kewaspadaan Transmisi
2. Melakukan survailens
3. Pendidikan dan pelatihan
4. Melaksanakan langkah – langkah pencegahan infeksi
5. Monitoring penggunaan antibiotik yang rasional
6. Melakukan investigasi out break
7. Membuat Infekasi Control Risk Asessment /ICRA

IV.B. RINCIAN KEGIATAN


A. Monitoring kewaspadaan isolasi
1. Kewaspadaan Standar
a. Kebersihan tangan
Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan
menggunakan sabun dan air mengalir bila tangan jelas kotor
atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkhohol (alcohol
– based handrub) bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas
harus selalu bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu,
tanpa memakai perhiasan/ assesoris di tangan (cincin, jam
tangan dan gelang).
a.1. Indikasi kebersihan tangan:
1. Sebelum kontak pasien
2. Sebelum tindakan aseptic
3. Setelah kontak darah dan cairan tubuh
4. Setelah kontak pasien
5. Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
a.2. Kriteria memilih antiseptik:
1. Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak
mikroorganisme secara luas (gram positif, gram
negatif, virus lipofilik, bacillus dan tuberculosis, fungi
serta endospora)
2. Efektifitas
3. Kecepatan efekstifitas awal
4. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk
merendam pertumbuhan
5. Tidak menyebabkan iritasi kulit
6. Tidak menyebabkan alergi
a.3. Macam cuci tangan
1. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
(handwash)
Waktu yang dibutuhkan adalah 40 – 60 detik
2. Cuci tangan dengan cairan antiseptic berbasis
alkhohol (Handrub)
Waktu yang dibutuhkan adalah 20 – 30 detik
a.4. 6 langkah cuci tangan
1. Melepas semua assesoris yang ada di tangan
(cincin, jam tangan dan gelang)
2. Basahi tangan dengan air bersih yang mengalir
dan tuangkan sabun cair 3 – 5 cc (jika cuci tangan
dengan handwash)
3. Tuangkan 2 – 3 cc antiseptic berbasis alkhohol ke
telapak tangan (jika cuci tangan dengan handrub)
4. Gosok kedua telapak tangan hingga merata
5. Gosok punggung dan sela- sela jari tangan kiri
dengan tangan kanan dan sebaliknya
6. Gosok kedua telapak dan sela- sela jari
7. Jari- jari sisi dalam dari kedua tangan saling
mengunci
8. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman
tangan kanan dan sebaliknya
9. Gosok dengan memutar ujung jari- jari tangan
kanan di telapak tangan kiri dan sebaliknya.
10. Bilas kedua tangan dengan air mengalir, keringkan
dengan tisu towel dan gunakan tissue towel
tersebut untuk menutup kran (jika cuci tangan
dengan handwash)

b. Alat Pelindung Diri (APD)


b.1. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD
1. APD adalah pakaian khusus atau peralatan yang
dipakai petugas untuk memproteksi diri dari bahaya
fisik, kimia, biologis/ bahan infeksius
2. APD terdiri dari sarung tangan, masker, pelindung
mata, pelindung wajah, kap penutup kepala, apron,
sepatu boot
3. Tujuan pemakaian APD adalah melindungi kulit dan
membrane mukosa dari resiko pajanan darah, cairan
tubuh, secret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lender dari pasien ke petugas dan
sebaliknya.
4. Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan
tindakan yang memungkinkan tubuh atau membran
mukosa terkena atau terpercik darah atau cairan
tubuh atau kemungkinan pasien terkontaminasi dari
petugas
5. Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah
selesai dilakukan
6. Tidak dibenarkan menggantung masker di leher,
memakai sarung tangan sambil menulis dan
menyentuh permukaan lingkungan
b.2. Jenis- jenis Alat Pelindung Diri
1. Sarung tangan:
 Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu
melakukan tindakan invasif atau pembedahan
 Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai
untuk melindungi petugas pemberi pelayanan
kesehatan sewaktu melakukan pemeriksaan atau
pekerjaan rutin
 Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu
memproses peralatan, menangani bahan- bahan
terkontaminasi dan sewaktu membersihkan
permukaan yang terkontaminasi.
Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan
lateks karena elastik, sensitif dan tahan lama serta
dapat dapat disesuaikan dengan ukuran tangan.
Bagi mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia
dari bahan sintetik yang menyerupai lateks, disebut
“nutril”. Sedangkan sarung tangan rumah tangga
terbuat dari karet tebal, tidak fleksibel dan sensitive,
tetapi memberikan perlindungan maksimum.

Kegiatan/ tindakan Perlu Jenis sarung


sarung tangan yang
tangan? dianjurkan
Pengukuran tekanan darah Tidak
Pengukuran suhu Tidak
Menyuntik Tidak
Penanganan dan Ya Rumah tangga
pembersihan alat- alat
Penanganan limbah Ya Rumah tangga
terkontaminasi
Membersihkan darah/ cairan Ya Rumah tangga
tubuh
Pengambilan darah Ya Pemeriksaan
Pemasangan dan pelepasan Ya Pemeriksaan
infus
Pemeriksaan dalam mukosa Ya Bedah
(vagina, rectum, mulut)
Pemasangan dan Ya Bedah
pencabutan implant, kateter
urine, AKDR dan lainnya
(terbungkus dalam paket
steril dan dipasang dengan
teknik tanpa sentuh)
Laparoscopy, persalinan per Ya Bedah
vaginam
Pembedahan Laparotomi, Ya Bedah
SC atau tulang

2. Masker
Masker digunakan untuk melindungi wajah dan
membran mukosa mulut dari cipratan darah dan
cairan tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan
udara yang kotor dan melindungi pasien atau
permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat
batuk atau bersin. Masker yang dugunakan harus
menutupi hidung dan mulut serta melakukan fit test
(penekanan di bagian hidung).
Terdapat tiga jenis masker:
 Masker bedah, untuk tindakan bedah atau
mencegah penularan melalui droplet
 Masker respiratorik, untuk mencegah penularan
melalui airbone
 Masker rumah tangga, digunakan dibagian gizi
atau dapur
Cara memakai masker:
 Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga
jika menggunakan kaitan tali karet atau simpulkan
tali di belakang kepala jika menggunakan tali
lepas)
 Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala
atau leher
 Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk
tulang hidung dengan kedua ujung jari tengah
atau telunjuk
 Membetulkan agar masker melekat erat pada
wajah dan di bawah dagu dengan baik
 Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker
telah melekat dengan benar.
Pemakaian respirator partikulat
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95
atau FFP2 (health care particular respirator),
merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi
untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran <
5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus
dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran. Masker ini membuat pernapasan
pemakai menjadi lebih berat. Sebelum memakai
masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit
test. Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit
test:
 Ukuran respirator perlu disesuaikan dengan
ukuran wajah
 Memeriksa sisi masker yang menempel pada
wajah untuk melihat adanya cacat atau lapisan
yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan
yang tidak utuh, maka tidak dapat digunakan dan
perlu diganti
 Memastikan tali masker tersambung dan
menempel dengan baik di semua titik sambungan
 Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam
dapat disesuaikan bentuk hidung petugas.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efekstif dan
kurang aman bila tidak menempel erat pada wajah.
Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan
keadaan demikian yaitu:
 Adanya janggut dan jambang
 Adanya gagang kacamata
 Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi
yang dapat mempengaruhi perlekatan bagian
wajah masker
Cara memakai:
 Genggamlah respirator dengan satu tangan,
posisikan sisi depan bagian hidung pada ujung
jari- jari anda, biarkan tali pengikat respirator
menjuntai bebas di bawah tangan anda
 Posisikan respirator di bawah dagu anda dan sisi
untuk hidung berada di atas
 Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan
posisikan tali agak tinggi di belakang kepala anda
di atas telinga. Tariklah tali pengikat respirator
yang bawah dan posisikan tali pada kepala
bagian atas (posisi tali menyilang)
 Letakkan jari- jari kedua tangan anda di atas
bagian hidung yang terbuat dari logam. Tekan sisi
logam tersebut (gunakan dua jari dari masing-
masing tangan) mengikuti bentuk hidung anda.
Jangan menekan respirator dengan satu tangan
karena dapat mengakibatkan respirator bekerja
kurang efektif
 Tutup bagian depan respirator dengan kedua
tangan dan hati- hati agar posisi respirator tidak
berubah
3. Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju
petugas dari kemungkinan paparan atau percikan
darah atau cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau
melindungi pasien dari paparan pakaian petugas
pada tindakan steril.
Jenis- jenis gaun pelindung:
 Gaun pelindung tidak kedap air
 Gaun pelindung kedap air
 Gaun steril
 Gaun non steril

Indikasi penggunaan gaun pelindung:


 Membersihkan luka
 Tindakan drainase
 Menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam
lubang pembuangan atau WC/ toilet
 Menangani pasien perdarahan massif
 Perawatan gigi
Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika
terkontaminasi cairan tubuh pasien dan darah.
Cara memakai gaun pelindung:
Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut,
lengan hingga bagian pergelangan tangan dan
selubungkan ke belakan punggung. Ikat di bagian
belakang leher dan pinggang.
4. Goggle dan perisai wajah
Harus terpasang dengan baik dan benar agar dapat
melindungi wajah dan mata.

Tujuan pemakaian goggle dan perisai wajah:


Melindungi mata dan wajah dari percikan darah,
cairan tubuh, sekresi dan ekskresi

Indikasi pemakaian goggle dan perisai wajah:


Pada saat tindakan operasi, pertolongan persalinan
dan tindakan persalinan, tindakan perawatan gigi dan
mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah,
penanganan linen terkontaminasi di laundry, di ruang
dekomentasi CSSD.
5. Sepatu pelindung
Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah
melindungi kaki petugas dari tumpahan, percikan
darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan
alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar
berfungsi optimal.

Jenis sepatu pelindung seperti sepatu boot atau


sepatu yang menutup seluruh permukaan kaki.

Indikasi pemakaian sepatu pelindung:


Penanganan pemulasaraan jenazah, penanganan
limbah, tindakan operasi, pertolongan dan tindakan
persalinan, penanganan linen, pencucian peralatan
di ruang gizi, ruang dekontaminasi CSSD
6. Topi Pelindung
Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk
mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di
rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat- alat/
daerah steril atau membran mukosa pasien dan juga
sebaliknya untuk melindungi kepala/ rambut petugas
dari percikan darah atau cairan tubuh dari pasien.

Indikasi pemakaian topi pelindung:


Tindakan operasi, pertolongan dan tindakan
persalinan, tindakan insersi CVL, intubasi trachea,
penghisapan lender massif, pembersihan peralatan
kesehatan.

Pelepasan APD:
Langkah- langkah melepaskan APD adalah sebagai
berikut:
1. Lepaskan sarung tangan
 Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung
tangan lainnya, kemudian lepaskan
 Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan
menggunakan tangan yang masih memakai
sarung tangan
 Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai
sarung tangan di bawah sarung tangan yang
belum dilepas di pergelangan tangan
 Lepaskan sarung tangan, di atas sarung tangan
pertama
 Buang sarung tangan ke tempat sampah yang
sesuai
2. Lakukan kebersihan tangan
 Lakukan kebersihan tangan dengan cara 6
langkah cuci tangan
3. Lepaskan perisai wajah (goggle)
 Pegang karet atau gagang goggle
 Letakkan di wadah yang sesuai
4. Lepaskan gaun
 Lepas tali pengikat gaun
 Tarik dari leher dan bahu dengan memegang
bagian dalam gaun pelindung saja
 Balik gaun pelindung
 Lipat dan gulung menjadi gulungan dan letakkan
di wadah yang sesuai
5. Lepaskan penutup kepala
 Lepas tali pengikat (bila ada)
 Pegang bagian dalam topi pelindung dan
lepaskan
 Letakkan di tempat yang telah disediakan dan
sesuai atau buang ke tempat sampah yang
sesuai
6. Lepaskan masker
 Lepaskan tali bagian bawah dan kemuadian tali/
karet bagian atas
 Buang ke tempat sampah yang sesuai
7. Lepaskan sepatu pelindung
 Lepaskan sepatu pelindung
 Letakkan di tempat yang telah disediakan dan
yang sesuai
8. Lakukan kebersihan tangan
 Lakukan kebersihan tangan dengan cara 6
langkah cuci tangan

c. Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien


Pada tahun 1968 Spulding mengusulkan tiga kategori resiko
berpotensi infeksi untuk menjadi dasar pemilihaan praktik atau
proses pencegahan yang akan digunakan (seperti sterilisasi
perlatan medis, sarung tangan dan perkakas lainnya) sewaktu
merawat pasien. Kategori Spaulding adalah sebagai berikut:
d.1. Kritikal
Bahan dan praktik ini berkaitan dengan jaringan steril
atau system darah sehingga merupakan resiko infeksi
tingkat tertinggi. Kegagalan manajemen sterilisasi dapat
mengakibatkan infeksi yang serius dan fatal.
d.2. Semikritikal
Bahan dan praktik ini merupakan terpenting kedua
setalah kritikal yang berkaitan dengan mukosa dan area
kecil di kulit yang lecet. Pengelola perlu mengetahui dan
memiliki ketrampilan dalam penanganan peralatan
invasive, pemrosesan alat, Desinfeksi Tingkat Tinggi,
pemakaian sarung tangan bagi petugas yang menyentuh
mukosa atau kulit tidak utuh.
d.3. Non- kritikal
Pengelolaan peralatan, bahan dan praktik yang
berhubungan dengan kulit utuh yang merupakan resiko
terendah. Walaupun demikian, pengelolaan yang buruk
pada bahan dan peralatan non- kritikal akan dapat
menghabiskan sumber daya dengan manfaat yang
terbatas (contohnya sarung tangan steril digunakan untuk
setiap kali memegang tempat sampah atau
memindahkan sampah).
Dekontaminasi peralatan perawatan pasien:
a. Rendam peralatan bekas pakai dalam air dan detergen
atau enzyme lalu dibersihkan dengan menggunakan
spons sebelum dilakukan desinfeksi tingkat tinggi (DTT)
atau sterilisasi
b. Peralatan yang telah dipakai untuk pasien infeksius harus
didekontaminasi dulu sebelum digunakan untuk pasien
lainnya
c. Pastikan peralatan sekali pakai, dibuang dan
dimusnahkan sesuai prinsip pembuangan sampah dan
limbah yang benar. Hal ini juga berlaku untuk alat yang
dipakai berulang, jika akan dibuang
d. Untuk alat bekas pakai yang akan dipakai ulang, setelah
dibersihkan dengan menggunakan spons, di DTT dengan
khlorin 0,5% selama 10 menit
e. Peralatan non kritikal yang terkontaminasi, dapat
didesinfeksi menggunakan alkhohol 70%. Peralatan
semikritikal didesinfeksi atau disterilisasi, sedangkan
peralatan kritikal harus didesinfeksi dan disterilisasi
f. Untuk peralatan yang besar seperti USG dan X-ray dapat
didekontaminasi permukaannya setelah digunakan di
ruangan isolasi
d. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain berupa upaya perbaikan kualitas udara, kualitas air,
permukaan lingkungan serta desain dan konstruksi bangunan,
dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme kepada
pasien, petugas dan pengunjung.
d.1. Kualitas udara
Tidak dianjurkan melakukan fogging dan sinar ultraviolet
untuk kebersihan udara, kecuali dry mist dengan H2O2
dan penggunaan sinar UV untuk terminal dekontaminasi
ruangan pasien dengan infeksi yang ditransmisikan
melalui airbone. Diperlukan pembatasan jumlah personil
di ruangan dan ventilasi yang memadai. Tidak
direkomendasikan melakukan kultur permukaan
lingkungan secara rutin kecuali bila ada outbreak atau
renovasi/ pembangunan gedung baru.
d.2. Kualitas air
Seluruh persyaratan kualitas air bersih harus dipenuhi
baik menyangkut bau, rasa, warna dan susunan
kimianya
termasuk debitnya sesuai ketentuan peraturan
perundangan mengenai syarat- syarat dan pengawasan
kualitas air minum dan mengenai persyaratan kualitas air
minum.
Kehandalan penyaluran air bersih ke seluruh ruangan
dan gedung perlu memperhatikan:
1. System jaringan, diusahakan ruangan yang
membutuhkan air yang bersih menggunakan jaringan
yang handal. Alternative dengan 2 saluran, salah
satu diantaranya adalah saluran cadangan.
2. Sistem stop kran dan valve
d.3. Permukaan lingkungan
Seluruh permukaan lingkungan datar, bebas debu, bebas
sampah, bebas serangga (semut, kecoa, lalat, nyamuk)
dan binatang pengganggu (kucing, anjing dan tikus) dan
harus dibersihkan secara terus- menerus. Tidak
dianjurkan menggunakan karpet di ruang perawatan dan
menempatkan bunga segar, tanaman pot, bunga plastik
di ruang perawatan.

Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat dan


melaksanakan SPO untuk pembersihan, desinfeksi
permukaan permukaan lingkungan, tempat tidur, perlatan
disamping tempat tidur dan pinggirannya yang sering
tersentuh.

Fasilitas pelayanan kesehatan harus mempunyai


desinfektan yang sesuai standar untuk mengurangi
kemungkinan penyebab kontaminasi.

Untuk mencegah aerosolisasi kuman pathogen penyebab


infeksi pada saluran napas, hindari penggunaan sapu ijuk
dan yang sejenis, tetapi secara basah (kain basah) dan
mop (untuk pembersihan kering/ lantai), bila
memungkinkan mop terbuat dari microfiber.

Mop untuk ruang isolasi harus digunakan tersendiri, tidak


digunakan untuk ruang lainnya.

Larutan disinfektan yang biasa dipakai yaitu natrium


hipoklorit 0,05 – 0,5%.

Bila ada cairan tubuh, alkhohol digunakan untuk area


sempit, larutan peroksida (H2O2) 0,5 – 1,4% untuk ruang
rawat dan 2% untuk permukaan kamar operasi,
sedangkan 5 – 35% (dry mist) untuk udara.
Ikuti aturan pakai cairan disinfektan, waktu kontak dan
cara pengencerannya.

Untuk lingkungan yang sering digunakan


pembersihannya dapat diulang menggunakan air dan
detergen, terutama bila lingkungan tersebut tidak
ditemukan mikroba multi resisten.
Pembersihan area sekitar pasien:
1. Pembersihan permukaan sekitar pasien harus
dilakukan secara rutin setiap hari, termasuk setiap
kali pasien pulang/ keluar dari fasyankes (terminal
dekontaminasi)
2. Pembersihan juga dilaksanakan terhadap barang
yang sering tersentuh tangan, misalnya nakas
disamping tempat tidur, tepi tempat tidur dengan bed
rails, tiang infuse, telpon, gagang pintu, permukaan
meja kerja, handle pintu, dan lain- lain.
3. Bongkaran pada ruang rawat dilakukan setiap 1
bulan atau sesuai dengan kondisi hunian ruangan.
d.4. Desain dan konstruksi bangunan
Desain harus mencerminkan kaidah PPI yang mengacu
pada pedoman PPI secara efekstif dan tepat guna.
Desain dari faktor berikut dapat mempengaruhi penularan
infeksi yaitu jumlah petugas kesehatan, desain ruang
rawat, luas ruangan yang tersedia, jumlah dan jenis
pemriksaan/ prosedur, persyaratan teknis komponen
lantai, dinding dan langit- langit, air, listrik dan sanitasi,
ventilasi dan kualitas udara, pengelolaan alat medis
resuse dan disposable, pengelolaan makanan, laundry
dan limbah.
1. Desain jumlah petugas kesehatan:
 Perencanaan kebutuhan jumlah petugas
kesehatan disesuaikan dengan jumlah pasien
 Pertimbangkan factor kelelahan bisa berakibat
kelalaian
 Tingkat kesulitan pelayanan terhadap pasien
berdasarkan tingkat resiko jenis penyakit
2. Desain ruang rawat
 Tersedia ruang rawat satu pasien untuk isolasi
pasien infeksius dan pasien dengan imunitas
rendah
 Jarak antar tempat tidur adalah  1 meter, bila
memungkinkan 1,8 meter
 Tiap kamar tersedia fasilitas alcohol- based hand
rub (ABHR), disarankan untuk ruang rawat intensif
tersedia ABHR di setiap tempat tidur.
 Tersedia toilet yang dilengkapi shower di setiap
kamar pasien
3. Luas ruangan yang tersedia
 Ruang rawat pasien disarankan mempunyai luas
lantai bersih antara 12 – 16 m2 per tempat tidur
 Ruang rawat intensif dengan model kamar
individual/ kamar isolasi luas lantainya 16 – 20 m2
per kamar.
 Rasio kebutuhan jumlah tempat duduk di ruang
tunggu bagi pengunjung pasien adalah 1 tempat
tidur pasien 1 – 2 tempat duduk
4. Jumlah, jenis pemeriksaan dan prosedur
 Kebutuhan ketersediaan alat medis dan APD
berdasarkan jenis penyakit yang ditangani
 Lokasi penyimpanan peralatan medis dan APD di
masing- masing unit pelayanan harus mudah
dijangkau, tempat penyimpanannya harus bersih
5. Persyaratan teknis komponen lantai, dinding dan
langit- langit
 Komponen lantai dan permukaan lantai meliputi:
1) Konstruksi dasar lantai harus kuat di atas
tanah yang sudah stabil, permukaan lantai
harus kuat dan kokoh terhadap beban.
2) Permukaan lantai terbuat dari bahan yang
kuat, halus, kedap air, mudah dibersihkan,
tidak licin, permukaan rata, tidak bergelombang
dan tidak menimbulkan genangan air.
Dianjurkan menggunakan vinyl dan tidak
dianjurkan menggunakan lantai keramik
dengan nat di ruang rawat intensif dan IGD
karena akan dapat menyimpan mikroba.
3) Permukaan lantai terbuat dari bahan yang
kuat, mudah dibersihkan secara rutin 2 kali
sehari atau kalau perlu dan tahan terhadap
gesekan dan tidak boleh dilapisi karpet.
4) Penutup lantai harus berwarna cerah dan tidak
menyilaukan mata
5) Lantai yang selalu kontak dengan air harus
mempunyai kemiringan yang cukup kea rah
saluran pembuangan limbah.
6) Pada daerah dengan kemiringan dari 70,
penutup lantai harus dari lapisan permukaan
yang licin.
7) Pertemuan antara lantai dengan dinding harus
menggunakan bahan yang tidak bersiku, tetapi
melengkung untuk memudahkan pembersihan
lantai.
8) Memiliki pola lantai dengan garis alur yang
menerus ke seluruh ruangan pelayanan.
 Komponen dinding meliputi:
1) Dinding harus mudah dibersihkan, tahan cuaca
dan tidak mudah berjamur.
2) Lapisan penutup dinding harus bersifat tidak
berpori sehingga dinding tidak menyimpan
debu.
3) Warna dinding cerah tetapi tidak menyilaukan
mata.
4) Pertemuan antara dinding dengan dinding
harus tidak bersiku, tetapi melengkung untuk
memudahkan pembersihan dan mikroba tidak
terperangkap di tempat tersebut.
 Komponen langit- langit meliputi:
1) Harus mudah dibersihkan, tahan terhadap
segala cuaca, tahan terhadap air, tidak
mengandung unsur yang dapat
membahayakan pasien, serta tidak berjamur.
2) Memiliki lapisan penutup yang bersifat tidak
berpori sehingga tidak menyimpan debu.
3) Berwarna cerah, tetapi tidak menyilaukan.
6. Air, Listrik dan Sanitasi
Air dan listrik di RS harus tersedia terus menerus
selama 24 jam. Air minum harus memenuhi standar
mutu yang ditetapkan oleh pemerintah, jadi harus
diperiksa secara teratur dan rutin setiap bulan sekali.
Pengelolaan air yang digunakan di unit khusus
(kamar operasi, unit hemodialisa, ICU (pasien
dengan kebutuhan air khusus)) harus bisa mencegah
perkembangan mikroba lingkungan (legionella sp,
pseudomonas, jamur dan lain- lain) dengan metode
reverse osmosis (didalamnya terjadi penyaringan
atau desinfeksi menggunakan sinar ultraviolet atau
bahan lainnya). Toilet dan wastafel harus dibersihkan
setiap hari.
7. Ventilasi dan kualitas udara
Semua lingkungan perawatan pasien diupayakan
seminimal mungkin kandungan partikel debu, kuman,
spora dengan menjaga kelembaban dan pertukaran
udara. Pertukaran udara dalam tiap ruangan berbeda
tekanan dengan selisih 15 pascal. Ruangan
perawatan biasa minimal 6x pergantian udara per
jam, ruang isolasi minimal 12 x dan ruang kamar
operasi minimal 20 x perjam. Perawatan pasien TB
Paru menngunakan ventilasi natural dengan
kombinasi ventilasi mekanik sesuai anjuran dari
WHO.
Pemanfaatan sistem ventilasi:
Sistem ventilasi adalah sistem yang menjamin
terjadinya pertukaran udara di dalam gedung dan
luar gedung yang memadai, sehingga konsentrasi
droplet nuclei menurun.
 Ventilasi alamiah: system ventilasi yang
mengandalkan pada pintu dan jendela terbuka,
serta skylight (bagian atas ruangan yang biasa
dibuka/ terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar
ke dalam dengan menciptakan aliran udara silang
(cross ventilation) dan perlu dipastikan arah angin
yang tidak membahayakan petugas/ pasien laian.
 Ventilasi mekanik: sistem ventilasi yang
menggunakan peralatan mekanik untuk
mengalirkan dan mensirkulasi udara di dalam
ruangan secara paksa untuk menyalurkan/
menyedot udara ke arah tertentu sehingga terjadi
tekanan udara positif dan negative termasuk
exhaust fan, kipas angin berdiri (standing fan)
atau duduk.
 Ventilasi campuran (hybrid): system ventilasi
alamiah ditambah dengan penggunaan peralatan
mekanik untuk menambah efektifitas penyaluran
udara.
Pemilihan jenis system ventilasi tergantung pada
jenis fasilitas dan keadaan setempat. Pertimbangan
pemilihan system ventilasi suatu fasyankes
berdasarkan kondisi local yaitu struktur bangunan,
iklim/ cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan
kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan
monitoring dan pemeliharaan secara periodic.

Ventilasi campuran:
Gedung yang tidak menggunakan system pendingin
udara sentral, sebaiknya menggunakan ventilasi
alamiah dengan exhaust fan atau kipas angin agar
udara luar yang segar dapat masuk ke semua
ruangan di gedung tersebut. Pintu, jendela maupun
langit- langit di ruangan di mana banyak orang
berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuat
maksimal.

System ventilasi campuran (alamiah dengan


mekanik), yaitu dengan penggunaan exhaust fan/
kipas angin yang dipasang dengan benar dan
dipelihara dengan baik, dapat membantu untuk
mendapatkan dilusi yang adekuat, bila dengan
ventilasi alamiah saja tidak dapat mencapai ventilasi
rate yang cukup. Ruangan dengan jendela terbuka
dan exhaust fan/ kipas angin cukup efektif untuk
mendilusi udara ruangan dibandingkan dengan
ruangan dengan jendela terbuka saja atau ruangan
tertutup. Penggunaan exhaust fan sebaiknya udara
pembuangnya tidak diarahkan ke ruang tunggu
pasien atau tempat lalu lalang orang. Bila area
pembuangan tidak memungkinkan, pembuangan
udara dihisap dengan exhaust fan, dialirkan melalui
ducting dan area pembuangnya dilakukan di luar
area lalu lalang orang ( 25 feet).

Dengan ventilasi campuran, jenis ventilasi mekanik


yang akan digunakan sebaiknya disesuaikan dengan
kebutuhan yang ada dan diletakkan pada tempat
yang tepat. Kipas angin yang dipasang pada langit-
langit (ceiling fan) tidak dianjurkan. Sedangkan kipas
angin yang berdiri atau diletakkan di meja dapat
mengalir udara kea rah tertentu, hal ini dapat
berguna untuk PPI TB bila dipasang pada posisi
yang tepat, yaitu dari pertugas kesehatan ke arah
pasien.

Pemasangan exhaust fan yaitu kipas yang dapat


langsung menyedot udara keluar dapat
meningkatkan ventilasi yang sudah ada di ruangan.
Sistem exhaust fan yang dilengkapi saluran udara
keluar, harus dibersihkan secara teratur, karena
dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu dan
kotoran, sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit
udara yang dapat dialirkan.

Optamilasasi ventilasi dapat dicapai dengan


memasang jendela yang dapat dibuka dengan
maksimal dan menempatkan jendela pada sisi
tembok ruangan yang berhadapan, sehingga terjadi
aliran udara silang (crossventilation). Meskipun
fasyankes mempertimbangkan untuk memasang
system ventilasi mekanik, ventilasi alamiah perlu
diusahakan semaksimalkan mungkin.
Yang direkomendasikan adalah ventilasi campuran:
 Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke
semua ruangan
 Dalam ventilasi campuran, ventilasi alami perlu
diusahakan semaksimal mungkin
 Penambahan dan penempatan kipas angin untuk
meningkatkan laju pertukaran udara harus
memperhatikan arah aliran udara yang dihasilkan.
 Mengoptimalkan aliran udara
 Menyalakan kipas angin selama masih ada orang-
orang di ruangan tersebut (menyalakan kipas
angin bila ruangan digunakan)
Pembersihan dan perawatan:
 Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu
dan kotoran dari kipas angin
 Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan
bertanggung jawab terhadap kondisi kipas
 Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal
sekali dalam sebulan)/ sesuai kebutuhan
 Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan

8. Pengelolaan alat medic reused dan disposable


Pengelolaan alat medic bersih dengan yang kotor
harus terpisah. Persiapan pemasangan infus dan
suntikan dilakukan di ruang bersih dan terpisah dari
ruang prosedur kotor (pencucian pispot pasien, alat
terkontaminasi dan lain- lain). Harus tersedia
ruangan sterilisasi alat medic. Semua alat steril harus
disimpan di almari/ wadah tertutup dan bebas debu
dan kuman. Alat disposable tidak boleh dip roses/ di
cuci, tetapi langsung dibuang di tempat sampah
sesuai jenis limbahnya, baik yang infeksius maupun
non infeksius.

9. Pengelolaan makanan
 Pengelolaan makanan pasien harus dilakukan
oleh tenaga terlatih. Semua permukaan di dapur
harus mudah dibersihkan dan tidak mudah
menimbulkan jamur
 Tempat penyimpanan bahan makanan kering
harus memenuhi syarat penyimpanan bahan
makanan, yaitu bahan makanan tidak menempel
ke lantai, dinding maupun ke atap
 Makanan hangat harus dirancang agar bisa
segera dikonsumsi pasien sebelum menjadi
dingin. Makanan dirancangan hygienis hinggap
siap dikonsumsi pasien.

10. Pengelolaan Limbah


 Resiko Limbah
Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lain sebagai sarana pelayanan kesehatan adalah
tempat berkumpulnya orang sakit maupun sehat,
dapat menjadi tempat sumber penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran
lingkungn dan gangguan kesehatan, juga
menghasilkan limbah yang dapat menularkan
penyakit. Untuk menghindari resiko tersebut maka
diperlukan pengelolaan limbah di fasilitas
pelayanan kesehatan.
 Jenis Limbah
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu
melakukan minimalisasi limbah yaitu upaya yang
dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah yang
dihasilkan dengan cara mengurangi bahan
(reduce), menggunakan kembali (reuse) dan daur
ulang limbah (recycle).
 Tujuan pengelolaan limbah
1) Melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung dan masyarakat sekitar fasilitas
pelayanan kesehatan dan penyebaran infeksi
dan cidera.
2) Membuang bahan- bahan berbahaya
(sitotoksik, radioaktif, gas, limbah infeksius,
limbah kimiawi dan farmasi) dengan aman
 Proses pengelolaan limbah dimulai dari
identifikasi, pemisahan, labeling, pengangkutan,
penyimpanan hingga pembuangan/ pemusnahan.

1) Indentifikasi jenis limbah


Limbah dibagi menjadi padat, cair dan gas.
Sedangkan kategori limbah medis padat
terdiri dari benda tajam, limbah infeksius,
limbah sitotoksik, limbah farmasi dan limbah
kimia.
2) Pemisahan limbah
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah
dihasilkan dengan memisahkan limbah
sesuai jenisnya.
Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya:
a). Limbah infeksius: limbah yang
terkontaminasi darah dan cairan tubuh,
masukkan ke dalam kantong palstik
berwarna kuning.
Contoh: sampel laboratorium, limbah
patologis (jaringan, organ, bagian dari
tubuh, otopsi, cairan tubuh, produk darah
(serum, plasma, trombosit dan lain- lain),
diapers dianggap limbah infeksius bila
bekas pakai pasien infeksi saluran cerna,
menstruasi dan pasien dengan infeksi
yang ditransmisikan lewat darah atau
cairan tubuh lainnya.
b). Limbah non infeksius: limbah yang tidak
terkontaminasi darah dan cairan tubuh,
masukkan ke dalam kantong plastic
berwarna hitam.
Contoh: sampah rumah tangga, sisa
makanan, sampah kantor.
c). Limbah benda tajam: limbah yang memiliki
permukaan tajam, masukkan ke dalam
wadah tahan tusuk dan air.
Contoh: jarum, spuit, ujung infuse, benda
yang berpermukaan tajam.
d). Limbah cair segera dibuang ke tempat
pembuangan/ spoelhoek.
3) Wadah tempat penampungan sementara
limbah infeksius berlambang biohazard.
Wadah limbah di ruangan:
a). Harus tertutup
b). Mudah dibuka dengan menggunakan
pedal kaki
c). Bersih dan dicuci setiap hari
d). Terbuat dari bahan yang kuat, ringan tidak
berkarat
e). Jarak antar wadah limbah 20 – 30 meter,
diletakkan di ruangan tindakan dan tidak
boleh di bawah tempat tidur pasien
f). Ikat kantong plastic limbah jika sudah terisi
¾ penuh
4) Pengangkutan
a). Pengangkutan limbah harus
menggunakan troli khusus yang kuat,
tertutup, mudah dibersihkan, tidak boleh
tercecer, petugas menggunakan APD
ketika mengangkut limbah.
b). Litf pengangkut limbah berbeda dengan litf
pasien, bila tidak memungkinkan atur
waktu pengangkutan limbah.
5) Tempat penampungan limbah sementara
a). Tempat penampungan sementara (TPS)
limbah sebelum dibawa ke tempat
penampungan akhir pembuangan
b). Tempatkan limbah dalam kantong plastik
dan diikat dengan kuat
c). Beri label pada kantong plastik limbah
d). Setiap hari limbah diangkat dari TPS
minimal 2 kali sehari
e). Mengangkut limbah harus menggunakan
kereta dorong khusus
f). Kereta dorong harus kuat, mudah
dibersihkan, tertutup, limbah tidak boleh
ada yang tercecer
g). Gunakan APD ketika menangani limbah
h). TPS harus di area terbuka, terjangkau
oleh kendaraan, aman dan selalu dijaga
kebersihannya dan kondisi kering
6) Pengelolaan limbah
a). Limbah infeksius dimusnahkan dengan
insenerator
b). Limbah non- infeksius dibawa ke tempat
pembuangan akhir (TPA)
c). Limbah benda tajam dimusnahkan
dengan insenerator
d). Limbah cair, darah dan komponen
darah di buang di spoelhoek setelah itu
kantong darah di buang di dalam
tempat sampah infeksius.
e). Limbah feces, urin, darah dibuang ke
tempat pembuangan (spoelhoek)
7) Penangangan limbah benda tajam/ pecahan
kaca
a). Jangan menekuk atau mematahkan
benda tajam
b). Jangan meletakkan limbah benda tajam
sembarang tempat
c). Segera buang limbah benda tajam ke
wadah yang tersedia (tahan tusuk, tahan
air dan tidak bisa dibuka lagi)
d). Selalu dibuang sendiri oleh pemakai
e). Tidak melakukan recapping
f). Wadah benda tajam diletakkan dekat
lokasi tindakan
g). Bila menangani limbah pecahan kaca
gunakan sarung tangan rumah tangga
h). Wadah penampung limbah benda tajam:
i). Tahan bocor dan tahan tusukan
j). Harus mempunyai pegangan yang dapat
dijinjing dengan satu tangan
k). Mempunyai penutup yang tidak dapat
dibuka lagi
l). Bentuknya dirancang agar dapat
digunakan dengan satu tangan
m). Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi
dengan limbah
n). Ditangani bersama limbah medis
8) Pembuangan benda tajam
a). Wadah benda tajam merupakan limbah
medis dan harus dimasukkan ke dalam
kantong medis sebelum insenerasi
b). Idealnya semua benda tajam dapat
diinsinersi, tetapi bila tidak mungkin dapat
dikubur dan dikapurisasi bersama limbah
lain
Apapun metode yang digunakan haruslah tidak
memberikan kemungkinan perlukaan

11. Penatalaksanaan Linen


Linen terbagi menjadi linen kotor dan linen
terkontaminasi. Linen terkontaminasi adalah linen
yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya,
termasuk juga benda tajam. Penatalaksanaan linen
yang sudah digunakan harus dilakukan dengan hati-
hati. Kehati- hatian ini mencakup penggunaan
perlengkapan APD yang sesuai dan membersihkan
tangan secara teratur sesuai pedoman kewaspadaan
standar.
 Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat
SPO penatalaksanaan linen. Prosedur
penanganan linen. Prosedur penanganan,
pengangkutan dan distribusi linen harus jelas,
aman dan memenuhi kebutuhan pelayanan.
 Petugas yang menangani linen harus
mengenakan APD (sarung tangan rumah tangga,
gaun, apron, masker dan sepatu tertutup).
 Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan
linen terkontaminasi cairan tubuh, pemisahan
dilakukan sejak dari lokasi penggunaannya oleh
perawat atau petugas.
 Minimalkan penanganan linen kotor untuk
mencegah kontaminasi ke udara dan petugas
yang menangani linen tersebut. Semua linen kotor
segera dibungkus/ dimasukkan ke dalam kantong
kuning di lokasi penggunanya dan tidak boleh
disortir atau dicuci di lokasi dimana linen dipakai.
 Linen terkontaminasi dengan darah atau cairan
tubuh lainnya harus dibungkus, dimasukkan
kantong kuning dan diangkut/ ditransportasikan
secara hati- hati agar tidak terjadi kebocoran.
 Buang terlebih dahulu kotoran ke spoelhoek dan
segera tempatkan linen terkontaminasi ke dalam
kantong kuning/ infeksius. Pengangkutan dengan
troli terpisah, pastikan kantong tidak bocor dan
lepas ikatan selama transportasi. Kantong tidak
perlu ganda.
 Pastikan alur linen kotor dan linen terkontaminasi
sampai laundry terpisah dengan linen yang sudah
bersih.
 Cuci dan keringkan linen di ruang laundry. Linen
terkontaminasi seyogyanya langsung masuk
mesin cuci yang segera diberi desinfekstan.
 Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius
pada linen dilakukan melalui 2 tahap yaitu
menggunakan detergen dan selanjutnya dengan
Natrium Hipoklorit (klorin) 0,5%. Apabila dilakukan
perendaman maka harus diletakkan di wadah
tertutup agar tidak menyebabkan toksik bagi
petugas.
e. Perlindungan Kesehatan Petugas
Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap
semua petugas baik tenaga kesehatan maupun tenaga non
kesehatan. Fasyankes harus mempunyai kebijakan untuk
penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau benda tajam bekas
pakai pasien, yang berisikan antara lain siapa yang harus
dihubungi saat terjadi kecelakaan dan pemeriksaan serta
konsultasi yang dibutuhkan oleh petugas yang bersangkutan.
Petugas harus selalu waspada dan hati- hati dalam bekerja
untuk mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum,
scapel dan alat tajam lain yang dipakai setelah prosedur, saat
membersihkan instrument dan saat membuang jarum.

Jangan melakukan penutupan kembali (recap) jarum yang telah


dipakai, memanipulasi dengan tangan, menekuk, mematahkan
atau melepas jarum dari spuit. Buang jarum, spuit, pisau, scapel
dan peralatan tajam habis pakai lainnya ke dalam wadah
khusus yang tahan tusukan/ tidak tembus sebelum dimasukkan
ke incinerator. Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan
yang baru untuk menghindari tercecer.

Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti


tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan
infeksius maka perlu pengelolaan yang cermat dan tepat serta
efektif untuk mencegah semaksimal mungkin terjadinya infeksi
yang tidak diinginkan.

Sebagaian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi


melalui darah yang terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan. HIV,
hepatitis B dan hepatitis C adalah pathogen melalui darah yang
berpotensi paling berbahaya dan kemungkinan pajanan
terhadap pathogen ini merupakan penyebab utama kecemasan
bagi petugas kesehatan di seluruh dunia.

Resiko mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah


seperti hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan
mendapatkan infeksi HIV. Sehingga tatalaksana pajanan
okupasional terhadap penyebab infeksi tidak terbatas pada PPP
HIV saja.

f. Penempatan Pasien
f.1. Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non
infeksius
f.2. Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi
infeksi penyakit pasien (kontak, droplet, airbone)
sebaiknya ruangan tersendiri
f.3. Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat
bersama pasien lain yang jenis infeksinya sama dengan
menerapkan sistem cohorting. Jarak antara tempat tidur
minimal 1 meter. Untuk menentukan pasien yang dapat
disatukan dalam satu ruangan, dikonsultasikan terlebih
dahulu kepada komite PPI.
f.4. Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda
kewaspadaan berdasarkan jenis transmisinya (kontak,
droplet, airbone)
f.5. Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau
lingkungannya seyogyanya dipisahkan tersendiri
f.6. Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya
melalui udara (airbone) agar dibatasi di lingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari
terjadinya transmisi penyakit yang tidak perlu kepada
yang lain.
f.7. Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan
pasien TB dalam satu ruangan tetapi pasien TB- HIV
dapat dirawat dengan sesame pasien TB.

g. Kebersihan pernapasan/ etika batuk dan bersih


Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus infeksi
dengan jenis transmisi airbone dan droplet. Fasilitas pelayanan
kesehatan harus menyediakan sarana cuci tangan seperti
wastafel dengan air mengalir, tisu, sabun cair, tempat sampah
infeksius dan masker bedah.

Edukasi/ penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) dan


fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat dilakukan melalui audio
visual, leaflet, poster, banner, video TV di ruang tunggu atau
lisan oleh petugas.
1. Menutup hidung dan mulut dengan tissue atau masker
atau lengan atas
2. Tissue dan masker dibuang ke tempat sampah dan
kemuadian mencuci tangan

h. Praktik Menyuntik yang Aman


Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap
suntikan, berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk
mencegah timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai
pada pasien lain. Jangan lupa membuang spuit dan jarum
suntik bekas pakai ke tempatnya dengan benar.
1. Menerapkan tehnik aseptic untuk mencegah kontaminasi
alat- alat injeksi.
2. Tidak menggunakan spuit yang sama untuk penyuntikan
lebih dari 1 pasien walaupun jarum suntiknya diganti.
3. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali
pakai untuk satu pasien dan satu prosedur.
4. Gunakan cairan pelarut hanya untuk satu kali.
5. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila
memugkinkan).
6. Tidak memberikan obat- obat single dose kepada lebih
dari satu pasien atau mencampur obat- obat sisa dari vial/
ampul untuk pemberian berikutnya.
7. Bila harus menggunakan obat- obat multi dose, semua
alat yang digunakan harus steril.
8. Simpan obat- obat multi dose sesuai dengan
rekomendasi dari pabrik yang membuat.
9. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1
pasien.

i. Praktik Lumbal Pungsi yang Aman


Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih,
sarung tangan steril saat melakukan tindakan lumbal pungsi,
anestesi spinal/ epidural/ pasang kateter vena sentral.

Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar


tidak terjadi droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan
meningitis bacterial.

2. Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi


Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan
kewaspadaan standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis
dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan
berdasarkan transmisi sebagai berikut:
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airbone)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara:
a. Kewaspadaan transmisi melalui kontak
Kewaspadaan ini bertujuan untuk menurunkan resiko timbulnya
Healthcare Associated Infection (HAIs), terutama resiko
transmisi mikroba yang secara epidemiologi diakibatkan oleh
kontak langsung atau tidak langsung.
a.1. Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan kulit
yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi.
Misalnya pada saat petugas membalikkan tubuh pasien,
memandikan, membantu pasien bergerak, mengganti
perban, merawat oral pasien Herpes Simplex Virus (HSV)
tanpa sarung tangan.
a.2. Transmisi kontak tidak langsung adalah kontak dengan
cairan sekresi pasien terinfeksi yang ditransmisikan
melalui tangan petugas yang belum dicuci atau benda
mati di lingkungan pasien; misalnya instrument, jarum,
kassa, mainan anak dan sarung tangan yang tidak
diganti.
a.3. Hindari menyentuh permukaan lingkungan lain yang tidak
berhubungan dengan perawatan pasien sebelum
melakukan aktivitas kebersihan tangan.
a.4. Petugas harus menahan diri untuk tidak menyentuh mata,
hidung, mulut saat masih memakai sarung tangan
terkontaminasi/ tanpa sarung tangan.

b. Kewaspadaan transmisi melalui droplet


Transmisi droplet terjadi ketika partikel droplet berukuran > 5 µm
yang dikeluarkan pada saat batuk, bersin, muntah, bicara,
selama prosedur suction, bronkhoskopi. Melayang di udara dan
akan jatuh dalam jarak < 2 m dan mengenai mukosa atau
konjungtiva, untuk itu dibutuhkan APD masker yang memadai,
bila memungkinkan masker 4 lapis atau yang mengandung
pembunuh kuman (germ decontaminator). Jenis transmisi
percikan ini dapat terjadi pada kasus antara lain common cold,
respiratory syncitial virus (RSV), adenovirus, H5N1, H1N1.

c. Kewaspadaan transmisi melalui udara (airbone)


Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila
seseorang menghirup percikan partikel nuclei yang berdiameter
1 – 5 µm (< 5 µm) yang mengandung mikroba penyebab
infeksi. Mikroba tersebut akan terbawa aliran udara > 2 m dari
sumber, dapat terhirup oleh individu rentan di ruang yang sama
atau yang jauh dari sumber mikroba. Penting mengupayakan
pertukaran udara > 12x/jam (12 Air Change per Hour/ ACH).
B. Melakukan Survailens
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan
terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit
atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk
memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien. Salah
satu dari bagian surveilans kesehatan adalah surveilans infeksi terkait
pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/ HAIs).

Surveilans infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated


Infections/ HAIs) adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus
menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi data
kesehatan yang penting di fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu
populasi spesifik dan didiseminasikan secara berkala kepada pihak-
pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan,
penerapan, serta evaluasi suatu tindakan yang berhububungan dengan
kesehatan.

Kegiatan survailans HAIs merupakan komponen penunjang penting


dalam setiap program pencegahan dan pengendalian infeksi. Informasi
yang dihasilkan oleh kegiatan surveilans berguna untuk mengarahkan
strategi program baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun
pada tahap evaluasi. Dengan kegiatan surveilans yang baik dan benar
dapat dibuktikan bahwa program dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Health Care Associated Infection (HAIs) adalah infeksi yang di dapatkan
penderita ketika penderita tersebut di rawat di Rumah Sakit. Suatu infeksi
dikatakan didapat di Rumah Sakit apabila:
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan
tanda- tanda klinik dari infeksi tersebut
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak dalam masa
inkubasi dari infeksi tersebut
3. Tanda- tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekarang kurangnya
setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya
5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda- tanda infeksi,
dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah
sakit yang sama pada waktu yang lalu serta belum pernah dilaporkan
sebagai HAIs.

Surveilans Healthcare Associated Infection (HAIs)


1. Infeksi Luka Operasi (ILO)
a. ILO superficial
Infeksi terjadi dalam 30 hari pasca bedah dan terjadinya pada
kulit dan subkutan disertai salah satu tersebut di bawah ini:
a.1. Keluar nanah dari luka operasi
a.2. Terisolasi kuman pada kultur yang diambil dari cairan atau
jaringan
a.3. Salah satu dari tanda berikut: nyeri, pembengkakan,
merah, lebih panas dan ahli bedah sengaja membuka
kecuali apabila kultur tidak menunjukkan adanya
pertumbuhan kuman
a.4. Rekomendasi dokter

b. ILO profunda
Infeksi terjadi 30 hari pasca bedah bila tanpa implant atau 1
tahun tahun pasca bedah bila ada implant dan infeksi ini
meliputi jaringan lebih dalam dari fisia. Disertai salah satu
tersebut dibawah ini:
b.1. Keluar nanah dari luka operasi
b.2. Terjadi dehisensi luka secara spontan atau luka sengaja
dibuka oleh dokter apabila disertai dengan salah satu dari
gejala panas (38C) atau nyeri local kecuali bila kultur
tidak menunjukkan adanya kuman
b.3. Adanya abses atau dibuktikan adanya abses di bawah
fascia pada operasi ulang atau pemeriksaan PA atau
radiologi menunjukkan gambaran infeksi
b.4. Rekomendasi dokter
c. ILO bersih terkontaminasi
Infeksi terjadi pada operasi bersih terkontaminasi dan
memenuhi kriteria ILO dalam operasi terkontaminasi atau
operasi kotor dinyatakan HAIs apabila dapat dibuktikan bahwa
penyebab infeksi adalah kuman yang berasal dari rumah sakit
atau ditemukan kuman strain lain dari kuman yang ditemukan
sebelum masuk rumah sakit.
Catatan:
1. Didalam penggunaan antibiotik yang irasional jika
ditemukan tanda peradangan maka dimasukkan kedalam
kemungkinan infeksi
2. Abses jahitan yang sembuh 3 hari setelah jahitan
diangkat bukan infeksi operasi

2. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)


VAP adalah infeksi saluran napas bawah, yang mengenai parenkim
paru setelah pemakaian ventilator mekanik lebih dari 48 jam, dan
sebelumnya tidak ditemukan tanda- tanda infeksi saluran napas.
Kriteria VAP:
a. Kriteria I:
Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau pekak
(dullness) pada perkusi, febris > 38C dan salah satu keadaan
berikut:
a.1. Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya
perubahan sifat sputum
a.2. Isolasi kuman positif biakan darah
a.3. Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea,
sikatan/ cuci bronkus atau biopsi

b. Kriteria II:
Foto thorax menunjukkan adanya infiltrate, konsolidasi, kavitasi,
efusi pleura baru atau progesif dan salah satu diantara keadaan
berikut:
b.1. Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya
perubahan sifat sputum
b.2. Isolasi kuman pathogen positif dari aspirasi trakea,
sikatan/ cuci baronkus atau biopsy
b.3. Virus dapat diisolasi atau terdapat antigen virus dalam
sekresi saluran nafas
b.4. Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4x lipat dalam 2 kali
pemeriksaan
b.5. Terdapat tanda- tanda pneumonia pada pemeriksaan
histopatologi

c. Kriteria III
Penderita berusia < 12 bulan dengan 2 tanda dari tanda- tanda
di bawah ini:
c.1. Apneu
c.2. Bradikardi
c.3. Wheezing
c.4. Brachipnea
c.5. Ronki atau batuk disertai salah satu dari keadaan

d. Kriteria IV
Pada anak berusia < 12 bulan yang pada foto thoraxnya
menunjukkan infiltrasi cara yang progesif, kavitas, konsolidasi
atau adanya “pleural effusion” disertai sesuai dengan salah satu
keadaan seperti criteria 3

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)


ISK merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluran kemih murni
(uretra dan permukaan kandung kemih) atau melibatkan bagian yang
lebih dalam dari organ- organ pendukung saluran kemih (ginjal, ureter,
kandung kemih, uretra dan jaringan sekitar retroperitoneal atau
rongga perinefrik) karena penggunaan kateter urine > 48 jam.
a. ISK Simptomatik
Seorang pasien dikatakan menderita ISK bila ditemukan satu
diantara 3 kriteria berikut:
Untuk orang dewasa dan anak > 12
bulan Kriteria I
Didapatkan salah satu dari gejala/ keluhan ini:
1. Disuria
2. Polakisuri
3. Nikuri (anyang-anyangan)
4. Nyeri supra pubik dan hasil biakan urine porsi tengah
(midstream) lebih dari 105 kuman per ml urine dengan
jenis kuman tidak lebih dari 2 species
Kriteria II:
1. Demam > 38C
2. Disuria
3. Polakisuri
4. Nyeri supra pubik dan salah satu dari hal berikut:
 Tes carik celup (diptick) positif untuk leukosit esterase
dan atau nitrit
 Piuri terdapat lebih dari 10 lekosit per ml atau
terdapat lebih dari 3 lekosit per LPB 45 kali dari urin
yang tidak dipusing
 Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari
urine yang tidak dipusing (decentrifuge)
 Biakan urine 2 kali berturut- turut menunjukkan jenis
kuman uropathogen yang sama, dengan jumlah lebih
dari 100 koloni kuman per ml urine yang diambil
dengan kateter
 Biakan urine menunjukkan 1 jenis urophatogen
dengan jumlah < 105 koloni per ml pada penderita
yang lelah mendapat pengobatan anti mikroba yang
sesuai
 Atau didiagnosa ISK oleh dokter yang menangani
 Telah mendapat pengobatan anti mikroba yang
sesuai oleh dokter yang menangani
Untuk bayi yang berumur < 12
bulan Kriteria I:
Ditemukan salah satu dari tanda/ gejala:
1. Deman 38C rectal
2. Hipotermi < 37C rectal
3. Apneu
4. Bradikardia < 100/ menit
5. Disuria
6. Letargi
7. Muntah- muntah dan hasil biakan urin > 105 kuman/ ml
urine dengan tidak lebih dari 2 jenis kuman
Kriteria II:
Ditemukan salah satu dari tanda/ gejala:
1. Hipotermi < 37C rectal
2. Apnea
3. Bradikardia < 100/ menit
4. Disuri
5. Muntah- muntah dan salah satu dari hal berikut:
 Test carik celup positif untuk leukosit esterase dan
atau nitrit
 Piuri > 10 kkosit/ mm3 atau > 3 kkosit perlapangan
pandang besar
 Perwarnaan grain urine tanpa dipusing menunjukkan
hasil positif
 Biakan urine 2 kali berturut- turut dengan jenis
kuman yang sama dengan jumlah > 100 kuman per
ml urine yang diambil dengan kateter
 Pada biakan urine ditemukan satu jenis urophatoben
dalam jumlah < 105 koloni kuman per ml pada
penderita yang telah diberi anti mikroba
 Didiagnosa ISK oleh dokter yang menangani
b. Bakteriusasi Asimptomatik
Seorang dikatakan menderita bakteriusasi asimptomatik bila
ditemukan satu diantara kriteria berikut:
Kriteria I:
Pasien pernah memakai kateter kandung kemih dalam waktu 7
hari sebelum biakan urine dan ditemukan biakan urine > 105
kuman per ml urine dengan jenis kuman maksimal 2 species
Tanpa gejala- gejala/ keluhan deman sushu > 380C, polakisuri,
nikuri, disuri, nyeri suprapubik

Kriteria II:
Pada pasien tanpa kateter kandung kemih menetap dalam 7
hari sebelum dibiakan pertama dari biakan urine 2 kali berturut-
turut ditemukan tidak lebih 2 jenis kuman yang sama dengan
jumlah > 105 per cm3
Tanpa gejala/ keluhan: demam, polakisuri, nikuri, disuri, nyeri
suprapubik

c. ISK lain
Seorang pasien dikatakan menderita ISK lain bila ditemukan
kriteria berikut:
Kriteria I:
Ditemukan kuman yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin
(jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi)

Kriteria II:
Adanya abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, baik
secara pemeriksaan langsung, selama pembedahan atau
melalui pemeriksaan histopatologi

Kriteria III:
Dua dari tanda berikut
1. Demam 380C
2. Nyeri lokal, nyeri tekan pada daerah yang dicurigai
terinfeksi, dan salah satu dari tanda/ gejala berikut:
 Keluar PUS atau aspirasi purulen dari tempat yang
dicurigai terinfeksi
 Ditemukan kuman pada biakan darah, pemeriksaan
radiologis memperlihatkan gambaran terinfeksi
 Didiagnosis infeksi oleh dokter yang menangni
3. Dokter yang menangani memberikan pengobatan
antimikroba yang sesuai
Untuk bayi berumur < 12 bulan
 Kriteria 4 ditemukan salah satu tanda/ gejala:
 Hipotermi < 370C rectal
 Apnea
 Bradikardi < 100/ menit
 Letargi
 Muntah- muntah dan salah satu diantara keadaan
berikut:
1) Keluar PUS dari lokasi terinfeksi
2) Biakan darah positif
3) Pemeriksaan radiologi memperlihatkan gambaran
infeksi
4) Didiagnosa infeksi oleh dokter yang menangani
5) Dokter yang menangani memberikan pengobatan
antimikroba yang sesuai

4. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) – Infeksi Luka Infus


(ILI)
Infeksi aliran darah primer adalah infeksi darah yang
timbul tanpa ada organ atau jaringan lain yang dicurigai
sebagai sumber infeksi

Gejala klinisnya, adalah sebagai berikut:


Kriteria infeksi aliran darah primer dapat ditetapkan
secara klinis dan laboratorik, dengan gejala/ tanda
sebagai berikut:
 Untuk dewasa dan anak > 12 tahun
Ditemukan salah satu diantara gejala berikut tanpa
penyebab lain:
1) Suhu > 380C axilla, bertahan minimal 24 jam
dengan atau tanpa pemberian antipiretik
2) Hipotensi, sistolik < 90mmHg
3) Oliguri, jumlah urin < 0,5
cc/KgBB/Jam Semua tanda/ gejala yang
disebut:
1) Tidak ada tanda- tanda infeksi di tempat lain
2) Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis
 Penderita usia < 12 bulan dengan salah satu tanda
di bawah ini:
1) Panas > 380C
2) Hipotermi < 370C
3) Apneu
4) Bradikardi < 100 x/menit
 Untuk neonates dinyatakan menderita Infeksi Aliran
Darah Primer, apabila terdapat 3 atau lebih diantara
6 gejala berikut:
1) Keadaan umum menurun : Hipotermi 370C,
Hipertermi 380C, sklerema, malas minum
2) Sistem kardiovaskuler: tanda rejatan yaitu
takikardi 160 x/menit, bradikardi 100 x/menit,
sirkulasi perifer buruk
3) Sistem pencernaan: distensi lambung, mencret,
muntah, hepatomegali
4) Sistem pernapasan: nafas tidak teratur, sesak
nafas, apneu, takipnea
5) Sistem saraf pusat: hipertomi otot, iritabel kejang
6) Manifestasi hematologi: pucat, kuning,
splenomegali dan perdarahan
Dan semua tanda/ gejala di bawah ini:
a) Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan
tetapi tidak ada pertumbuhan kuman
b) Tidak terdapat tanda- tanda infeksi di tempat
lain
c) Diberikan terapi anti mikroba sesuai dengan
sepsis
d) Telah memberikan anti mikroba yang sesuai
dengan infeksi
Untuk neonates digolongkan HAIs apabila:
1. Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3
hari
2. Terjadi 3 hari setelah partus patologik tanpa didapatkan pintu masuk
kuman
3. Pintu masuk kuman jelas, misalnya luka infeksi

Metode Surveilans
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Ken Saras menggunakan
metode surveilans komprehensif (Hospital wide/ Tradisional
Surveillance)
Adalah surveilans yang dilakukan di semua area perawatan untuk
mengidentifikasi pasien yang mengalami infeksi selama di rumah sakit.
Data dikumpulkan dari catatan medis, catatan keperawatan,
laboratorium dan perawat ruangan. Metode surveilans ini merupakan
metode pertama yang dilakukan oleh Center for Disease Control (CDC)
pada tahun 1970 namun memerlukan banyak waktu, tenaga dan biaya.

Langkah- langkah Surveilans


1. Perencanaan Survailans
a. Tahap 1: mengkaji populasi pasien
Tentukan populasi pasien yang akan dilakukan survey apakah
semua pasien/ sekelompok pasien/ pasien yang beresiko tinggi
saja
b. Tahap 2: menseleksi hasil/ proses surveilans
Lakukan seleksi hasil surveilans dengan pertimbangan kejadian
paling sering/ dampak biaya/ diagnosis yang paling sering
c. Tahap 3: penggunaan definisi infeksi
Gunakan definisi infeksi yang mudah dipahami dan mudah
diaplikasikan, Nosocomial Infection Surveillance System (NISS)
misalnya menggunakan National Health Safety Network
(NHSN), Center for Disease Control (CDC) atau kementerian
kesehatan.

2. Pengumpulan Data
Mengumpulkan data survailans
a. Mengumpulkan data surveilans oleh orang yang kompeten,
professional, berpengalaman dan dilakukan oleh IPCN
b. Memilih metode surveilans dan sumber data yang tepat
c. Data yang dikumpulkan dan dilakukan pencatatan meliputi data
demografi, faktor resiko, antimikroba yang digunakan dan hasil
kultur resistensi, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor
catatan medik dan tanggal masuk RS, Tanggal infeksi muncul,
lokasi infeksi, ruang perawatan saat infeksi muncul pertama kali
Faktor resiko: alat, prosedur, faktor lain yang berhubungan
dengan IRS, data radiology/ imaging: X-ray, CT scan, MRI dan
lain sebagainya
d. Metode observasi langsung merupakan gold standart

3. Analisa
Penghitungan dan stratifikasi
a. Incidence Rate
Numerator adalah jumlah kejadian infeksi dalam kurun waktu
tertentu.
Denumerator adalah jumlah hasil pemasangan alat dalam
kurun waktu tertentu atau jumlah pasien yang dilakukan
tindakan dalam kurun waktu tertentu
b. Menganalisis Incidence Rate Infeksi
Data harus dianalisa dengan cepat dan tepat untuk
mendapatkan informasi apakah ada masalah infeksi rumah
sakit yang memerlukan penanggulangan atau investigasi lebih
lanjut
c. Interpretasi
Interpretasi yang dibuat harus menunjukkan informasi tentang
penyimpangan yang terjadi. Bandingkan angka infeksi rumah
sakit apakah ada penyimpangan, dimana terjadi kenaikan atau
penurunan yang cukup tajam. Bandingkan rate infeksi dengan
NNIS/ CDC/ WHO. Perhatikan dan bandingkan kecenderungan
menurut jenis infeksi, ruang perawatan dan mikroorganisme
pathogen penyebab bila ada. Jelaskan sebab- sebab
peningkatan atau penurunan angka infeksi rumah sakit dengan
melampirkan data pendukung yang relevan dengan masalah
yang dimaksud.

4. Pelaporan
a. Laporan dibuat secara periodic, tergantung institusi bisa setiap
triwulan, semester, tahunan atau sewaktu- waktu jika diperlukan
b. Laporan dilengkapi dengan rekomendasi tindak lanjut bagi
pihak terkait dengan peningkatan infeksi
c. Laporan didesiminasikan kepada pihak- pihak terkait
d. Tujuan diseminasi agar pihak terkait dapat memanfaatkan
informasi tersebut untuk menetapkan strategi pengendalian
infeksi rumah sakit

5. Evaluasi
a. Langkah- langkah proses surveilans
b. Ketepatan waktu dari data
c. Kualitas data
d. Ketepatan analisa
e. Hasil penilaian: apakah sistem surveilans sudah sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.

Menghitung Insiden Rate


1. Insiden Rate ISK
Jumlah ISK

X 1000

Jumlah hari pemakaian kateter urine menetap dalam kurun waktu tertentu

2. Insiden Rate VAP

Jumlah VAP
X 1000
3. Insiden Rate IADP
Jumlah hari pemakaian Ventilasi Mekanik dalam kurun waktu tertentu

3. Inseden IADP
Jumlah IADP

X 1000

Jumlah hari pemakaian Kateter Vena Sentral dalam kurun waktu tertentu

4. Insiden Plebitis
Jumlah Plebitis
X 1000
Jumlah hari pemakaian Intra Vena Line dalam kurun waktu tertentu
5. Insiden IDO
Jumlah IDO

X 100

Jumlah kasus operasi dalam kurun waktu tertentu

Hasil pelaksanaan surveilans merupakan dasar untuk melakukan


perencanan lebih
lanjut. Jika terjadi peningkatan infeksi yang signifikan yang dapat
dikategorikan kejadian luar biasa, maka perlu dilakukan upaya
panggulangan kejadian luar biasa.

C. Pendidikan Dan Pelatihan


Untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi dibutuhkan
pendidikan dan pelatihan baik terhadap seluruh SDM pelayanan kesehatan
maupun pengunjung dan keluarga pasien. Bentuk pendidikan dan/ atau
pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari komunikasi,
informasi, edukasi dan pelatihan PPI.
Pendidikan dan pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi diberikan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi profesi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, serta petugas fasilitas
pelayanan kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang PPI, termasuk
Komite PPI. Pendidikan dan pelatihan PPI bagi Komite PPI dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar dan lanjut serta
pengembangan pengetahuan PPI lainnya.
2. Memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga pelatihan sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan.
3. Mengembangkan diri dengan mengikuti seminar, lokakarya dan
sejenisnya.
4. Mengikuti bimbingan teknis secara berkesinambungan.
5. IPCN harus mendapatkan tambahan pelatihan khusus IPCN tingkat
lanjut.
6. IPCLN harus mendapatkan tambahan pelatihan PPI tingkat lanjut.
Pendidikan dan pelatihan bagi staf fasilitas pelayanan kesehatan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Semua staf pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan harus
mengetahui prinsip- prinsip PPI antara lain melalui pelatihan PPI
tingkat dasar.
2. Semua staf non pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan harus
dilatih dan mampu melakukan upaya pencegahan infeksi meliputi
kebersihan tangan, etika batuk, penanganan limbah, APD (masker
dan sarung tangan) yang sesuai.
3. Semua karyawan baru, mahasiswa praktek, PPDS harus
mendapatkan orientasi PPI.
Pendidikan bagi pengunjung dan keluarga pasien berupa komunikasi,
informasi dan edukasi tentang PPI terkait penyakit yang dapat menular.
1. IPCN (Infection Prevention and Control Nurse)
a. Mengikuti pelatihan PPI tingkat dasar dan PPI tingkat lanjut
b. Mengikuti pelatihan IPCN dan IPCN tingkat lanjut
c. Mengembangkan ilmu pengetahuan terkait dengan PPI melalui
seminar, workshop, lokakarya dan lain sebagainya.
2. IPCLN
a. Mengikuti pelatihan PPI tingkat dasar dan PPI tingkat lanjut
b. Mengembangkan ilmu pengetahuan terkait dengan PPI melalui
seminar, workshop, lokakarya dan lain sebagainya.
3. Karyawan Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
a. Petugas medis dan penunjang medis
a.1. Mengetahui dan memahami tentang seluruh
kewaspadaan standart
a.2. Mengetahui dan memahami tentang kewaspadaan
berdasarkan transmisi
b. Petugas non medis
Mengetahui dan memahami kewaspadaan standar (Kebersihan
tangan, APD, Etika Batuk, Pengelolaan limbah dan
pengendalian lingkungan)
4. Karyawan baru
Setiap karyawan baru mendapatkan orientasi terkait pencegahan dan
pengendalian infeksi sebelum memulai bekerja
5. Mahasiswa praktek
Sebelum memulai praktek di Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto”
Semarang setiap mahasiswa praktek mendapatkan orientasi terkait
PPI
6. Pasien, keluarga pasien dan pengunjung RS
Setiap pasien, keluarga pasien dan pengunjung RS mendapatkan
edukasi tentang kebersihan tangan dan etika batuk, serta terkait
penyakit menular

D. Melaksanakan Langkah – Langkah Pencegahan Infeksi


Penerapan Bundles Healthcare Associated Infection (HAIs)
1. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
VAP merupakan infeksi pneumonia yang terjadi setelah 48 jam
pemakaian ventilasi mekanik baik pipa endotracheal maupun
tracheostomy. Beberapa tanda infeksi berdasarkan penilaian klinis
pada pasien VAP yaitu demam, takikardi, batuk, perubahan warna
sputum. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
jumlah leukosit darah dan pada rontgen didapatkan gambaran
infiltrat baru atau persisten. Adapun diagnosis VAP ditentukan
berdasarkan tiga komponen tanda infeksi sistemik, yaitu demam,
takikardi dan leukositosis yang disertai dengan gambaran infiltrate
baru ataupun perburukan di foto thorak dan penemuan bakteri
penyebab infeksi baru.
Bundles pada pencegahan dan pengendalian VAP adalah sebagai
berikut:
a. Membersihkan tangan setiap akan melakukan kegiatan
terhadap pasien, dengan menggunakan 6 langkah cuci tangan.
b. Posisikan tempat tidur antara 300 – 450 bila tidak ada
kontraindikasi.
c. Menjaga kebersihan mulut atau oral hygiene setiap 2 – 4 jam
dengan menggunakan bahan dasar antiseptic Chlorhexidine
0.02% dan dilakukan gosok gigi setiap 12 jam untuk mencegah
timbulnya flaque pada gigi, karena flaque merupakan media
tumbuh kembang bakteri pathogen yang pada akhirnya akan
masuk ke dalam paru pasien.
d. Manajemen sekresi oropharingeal dan trakeal yaitu:
d.1. Suctioning bila dibutuhkan saja dengan memperhatikan
teknik aseptic bila harus melakukan tindakan tersebut.
d.2. Petugas yang melakukan suctioning pada pasien yang
terpasang ventilator menggunakan APD.
d.3. Gunakan kateter suction sekali pakai.
d.4. Tidak sering membuka selang/ tubing ventilator.
d.5. Perhatikan kelembaban pada humidifier ventilator.
d.6. Tubing ventilator diganti bila kotor.
e. Melakukan pengkajian setiap hari sedasi dan extubasi:
e.1. Melakukan pengkajian penggunaan obat sedasi dan
dosis obat tersebut.
e.2. Melakukan pengkajian secara rutin akan respon pasien
terhadap pengunaan obat sedasi tersebut. Bangunkan
pasien setiap hari dan menilai responnya untuk melihat
apakah sudah dapat dilakukan penyapihan modus
pemberian ventilasi.
f. Peptic ulcer disease prophylaxis diberikan pada pasien- pasien
dengan resiko tinggi.
g. Berikan Deep Vein Trombosis (DVT) prophylaxis.

2. Infeksi Aliran Darah


Infeksi Aliran Darah (Blood Stream Infection/ BSI) dapat terjadi
pada pasien yang menggunakan alat sentral intra vaskuler (CVC
Line) setelah 48 jam dan ditemukan tanda atau gejala infeksi yang
dibuktikan dengan hasil kultur positif bakteri pathogen yang tidak
berhubungan dengan infeksi pada organ tubuh yang lain dan
bukan infeksi skunder, dan disebut sebagai Central Line
Associated Blood Straem Infection (CLABSI).
Bundles pencegahan dan pengendalian Infeksi Aliran Darah (IAD),
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan 6 langkah kebersihan tangan dengan menggunakan
sabun dan air atau cairan antiseptik berbasis alcohol, pada saat:
a.1. Sebelum dan setelah meraba area insersi kateter.
a.2. Sebelum dan setelah melakukan persiapan pemasangan
intravena.
a.3. Sebelum dan setelah melakukan palpasi area insersi.
a.4. Sebelum dan setelah memasukkan, mengganti,
mengakses, memperbaiki atau dressing kateter.
a.5. Ketika tangan diduga terkontaminasi atau kotor.
a.6. Sebelum dan sesudah melakukan tindakan invasif.
a.7. Sebelum menggunakan dan setelah melepas sarung
tangan.
b. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD pada tindakan invasif (tindakan membuka
kulit dan pembuluh darah), direkomendasikan pada saat:
b.1. Pada tindakan pemasangan alat intravena sentral maka
APD yang harus digunakan adalah topi, masker, gaun
steril dan sarung tangan steril. APD ini harus dikenakan
oleh petugas yang terkait memasang dan membantu
dalam proses pemasangan central line.
b.2. Penutup area pasien dari kepala samapai kaki dengan
kain steril dengan lubang kecil yang digunakan untuk area
insersi.
b.3. Kenakan sarung tangan bersih, bukan steril untuk
pemasangan kateter intravena perifer.
b.4. Gunakan sarung tangan baru jika terjadi pergantian
kateter yang diduga terkontaminasi.
b.5. Gunakan sarung tangan bersih atau steril jika melakukan
perbaikan dressing kateter intravena.

c. Antiseptik kulit
Bersihkan area kulit disekitar insersi dengan menggunakan
cairan antiseptic (alcohol 70% atau larutan chlorhexidine
glukonat alkhohol 2 – 4%) dan biarkan antiseptik mongering
sebelum dilakukan penusukan/ insersi kateter.
Pengunaan cairan antiseptic dilakukan segera sebelum
dilakukan insersi mengingat sifat cairan yang mudah menguap
dan lakukan swab dengan posisi melingkar dari area tengan ke
luar atau sekali usap.
Persyaratan memilih cairan antiseptik antara lain:
1. Aksi yang cepat dan aksi mematikan mikroorganisme
yang berkelanjutan.
2. Tidak menyebabkan iritasi pada jaringan ketika
digunakan.
3. Non- alergi terhadap subjek.
4. Tidak ada toksisitas sistemik (tidak diserap).
5. Tetap aktif dengan adanya cairan tubuh, misalnya darah
atau nanah.
d. Pemilihan lokasi insersi kateter
d.1. Pertimbangkan resiko dan manfaat pemasangan kateter
vena sentral untuk mengurangi komplikasi infeksi terhadap
resiko komplikasi mekanik.
d.2. Hindari menggunakan vena femoralis untuk akses vena
sentral pada pasien dewasa dan sebaiknya menggunakan
vena subclavia untuk mempermudah penempatan kateter
vena sentral.
d.3. Hindari penggunaan vena subclavia pada pasien
hemodialisis dan penyakit ginjal kronis.
d.4. Gunakan CVC dengan jumlah minimum port atau lumen
untuk pengelolaan pasien.
d.5. Segera lepas kateter jika sudah tidak ada indikasi lagi.
e. Observasi rutin keteter vena sentral/ perifer setiap hari
e.1. Raba dengan tangan setiap hari lokasi pemasangan
kateter, untuk mengetahui adanya pembengkakan.
e.2. Periksa secara visual lokasi pemasangan kateter untuk
mengetahui apakah adanya pembengkakan, demam
tanpa adanya penyebab yang jelas, atau gejala infeksi
lokal atau infeksi bakterimia.
e.3. Pada pasien yang memakai perban tebal sehingga susah
diraba atau dilihat, lepas perban terlebih dahulu, periksa
secara visual setiap hari dan pasang perban baru.
e.4. Sebaiknya menggunakan dressing transparan sehingga
mudah untuk mengobservasi.
e.5. Catat tanggal dan waktu pemasangan kateter di lokasi
yang dapat dilihat dengan jelas.
e.6. Jangan menyingkat prosedur pemasangan kateter yang
sudah ditentukan.

f. Perawatan luka kateter


f.1. Antiseptik kulit
1) Sebelum pemasangan kateter, bersihkan kulit di
lokasi dengan antiseptik yang sesuai, biarkan
antiseptic mongering pada lokasi sebelum
memasang.
2) Bila dipakai iodine tincture untuk membersihkan kulit
sebelum pemasangan kateter, maka harus dibilas
dengan alkhohol.
3) Jangan melakukan palpasi pada lokasi setelah kulit
dibersihkan dengan antiseptik.
4) Perban kateter
 Gunakan kasa steril atau dressing transparan
untuk menutup lokasi pemasangan kateter.
 Ganti perban bila alat dilepas atau diganti, atau
bila perban basah, longgar atau kotor.
f.2. Pemilihan dan penggantian alat intravaskuler
1) Pilih alat yang resiko komplikasinya relative rendah.
2) Lepas semua jenis peralatan intravaskuler bila sudah
tidak ada indikasi klinis.
f.3. Pengganti perlengkapan dan cairan intravena
1) Ganti selang IV, termasuk selang piggyback dan
stopcock, dengan interval yang tidak kurang dari 72
jam, kecuali bila ada indikasi klinis.
2) Ganti selang yang dipakai untuk memasukkan darah,
komponen darah atau emulsi lemak dalam 24 jam.
3) Waktu pemakaian cairan IV, termasuk juga cairan
nutrisi parenteral yang tidak mengandung lemak
sekurang- kurangnya 96 jam.
4) Infus harus diselesaikan dalam 24 jam untuk satu
botol cairan parenteral yang mengandung lemak.
5) Bila hanya emusi lemak yang diberikan, selesaikan
infus dalam 12 jam setelah botol emulsi mulai
digunakan.
g. Port injeksi intravena
Bersihkan port injeksi dengan alkhohol 70% sebelum
digunakan.
h. Persiapan dan pengendalian mutu campuran larutan intravena
h.1. Campurkan seluruh cairan parenteral di bagian farmasi
dalam laminar- flow hood menggunakan tehnik aseptic.
h.2. Periksa semua container cairan parenteral, apakah ada
kekeruhan, kebocoran, keretakan, partikel dan tanggal
kadaluwarsa dari pabrik sebelum penggunaan.
h.3. Pakai vial dosis tunggal aditif parenteral atau obat- obatan
bilamana mungkin.
h.4. Bila harus mengunakan vial multi dosisi
1) Dinginkan dalam kulkas vial multi dosis yang sudah
dibuka, bila direkomendasikan oleh pabrik.
2) Bersihkan karet penutup vial multi dosis dengan
alkhohol sebelum memasukkan alat ke vial.
3) Gunakan alat steril setiap kali akan mengambil cairan
dari vial multi dosis, dan hindari kontaminasi alat
sebelum menembus karet vial.
4) Buang vial multi dosis bila sudah kosong, bila
dicurigai atau terlihat adanya kontaminasi, atau bila
telah mencapai tanggal kadaluwarsa.

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Diagnosis Infeksi Saluran Kemih antara lain urine kateter
terpasang  48 jam, ada gejala klinis: demam; sakit pada
suprapubik dan nyeri pada sudut costovertebra, kultur urine positif
 105 CFU dengan 1 atau 2 jenis mikroorganisme dan nitrit dan/
atau leukosit esterase positif dengan carik celup (dipstick).
Diagnosis ISK akan sulit dilakukan pada pasien dengan
pemasangan kateter jangka panjang, karena bakteri tersebut
sudah berkolonisasi, oleh karena itu penegakkan diagnosis infeksi
dilakukan dengan melihat tanda klinis pasien sebagai acuan selain
hasil biakan kuman dengan jumlah > 10 2 – 103 CFU/ml dianggap
sebagai indikasi infeksi.
Faktor resiko yang bisa menyebabkan Infeksi Saluran Kemih
antara lain: lama pemasangan kateter > 6 – 30 hari beresiko
terjadi infeksi, gender wanita, diabetes; malnutrisi; renal
insuffiency, monitoring urine output, posisi drainage kateter lebih
rendah dari urine bag, kontaminasi selama pemasangan kateter
urin, inkontinensia fekal, rusaknya sirkuit kateter urine.
Beberapa indikasi pemasangan kateter urine menetap adalah:
retensi urine akut atau obstruksi, tindakan operasi tertentu,
membantu penyembuhan perineum dan luka sacral pada pasien
inkontinensia, pasien bedrest dengan perawatan paliatif, pasien
immobilisasi dengan trauma atau operasi, pengukuran urine output
pada pasien kritis.
Bundles pencegahan dan pengendalian Infeksi Saluran Kemih
a. Pemasangan kateter urine digunakan hanya sesuai indikasi,
misalnya ada retensi urine, obstruksi kandung kemih, tindakan
operasi tertentu, pasien bedrest, monitoring urine out put.
Lepaskan kateter urine sesegera mungkin jika sudah tidak
sesuai indikasi lagi.
b. Melakukan 6 langkah kebersihan tangan untuk mencegah
terjadi kontaminasi silang dari tangan petugas saat melakukan
pemasangan urine kateter.
c. Tehnik insersi
Tehnik aseptic perlu dilakukan untuk mencegah kontaminasi
bakteri pada saat pemasangan kateter dan gunakan peralatan
steril dan sekali pakai pada peralatan kesehatan sesuai
ketentuan.
d. Pengambilan spesimen
Gunakan sarung tangan steril dengan tehnik aseptik.
Permukaan selang kateter diswab dengan alkhohol kemudian
tusuk kateter dengan jarum suntik untuk pengambilan sample
urine (jangan membuka kateter untuk mengambil sample urine),
jangan mengambil sample urin dari urine bag.
e. Pemeliharaan kateter urine
e.1. Pertahankan kesterilan system drainase tertutup.
e.2. Lakukan 6 langkah kebersihan tangan sebelum dan
sesudah memanipulasi kateter.
e.3. Hindari sedikit mungkin melakukan buka tutup urine
kateter karena akan menyebabkan masuknya bakteri.
e.4. Jangan meletakkan urine bag di lantai.
e.5. Kosongkan urine bag secara teratur dan hindari
kontaminasi bakteri.
e.6. Menjaga posisi urine bag lebih rendah daripada kandung
kemih.
e.7. Hindari irigasi rutin.
e.8. Lakukan perawatan meatus dan jika terjadi kerusakan
atau kebocoran pada keteter lakukan perbaikan dengan
tehnik aseptik.
f. Melepaskan kateter
f.1. Sebelum membuka kateter urin keluarkan cairan dari
balon terlebih dahulu.
f.2. Pastikan balon sudah mengempes sebelum ditarik untuk
mencegah trauma.
f.3. Tunggu 30 detik dan biarkan cairan mengalir mengikuti
gaya gravitasi sebelum menarik kateter untuk dilepaskan.

4. Infeksi Daerah Operasi (IDO)


Pengendalian Infeksi Daerah Operasi (IDO) atau Surgical Site
Infection (SSI) adalah suatu cara yang dilakukan untuk mencegah dan
mengendalikan kejadian infeksi setelah tindakan operasi.
Paling banyak infeksi daerah operasi bersumber dari pathogen flora
endogenous kulit pasien, membrane mukosa. Bila membrane mukosa
atau kulit di insisi, jaringan tereksposur resiko dengan flora
endogenous. Selain itu terdapat sumber exogenous dari infeksi
daerah operasi, yaitu: tim bedah, lingkungan ruang operasi, peralatan;
instrument dan alat kesehatan, kolonisasi mikroorganisme, daya
tahan tubuh lemah, lama rawat inap pra bedah.
Kriteria Infeksi Daerah Operasi:
a. Infeksi Daerah Operasi Superfisial
Infeksi daerah operasi superficial harus memenuhi paling sedikit
satu kriteria berikut ini:
a.1. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30
hari pasca bedah dan hanya meliputi kulit, subkutan atau
jaringan lain di atas fascia.
a.2. Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut:
 Pus keluar dari luka operasi atau drain yang
dipasang di atas fascia
 Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka
jaringan yang diambil secara aseptic
 Terdapat tanda- tanda peradangan (paling sedikit
terdapat satu dari tanda- tanda infeksi berikut: nyeri,
bengkak local, kemerahan dan hangat local), kecuali
hasil biakan negative
 Dokter yang menangani menyatakan infeksi
b. Infeksi Daerah Operasi Profunda/ Deep Incisional
Infeksi daerah operasi profunda harus memenuhi paling sedikit
satu kriteria berikut ini:
b.1. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30
hari pasca bedah atau sampai satu tahun pasca bedah
(bila ada implant berupa non human derived implant yang
dipasang permanen) dan meliputi jaringan lunak yang
dalam (misal lapisan fascia dan otot) dari insisi.
b.2. Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut:
 Pus keluar dari luka insisi dalam tetapi bukan berasal
dari komponen organ/ rongga dari daerah
pembedahan.
 Insisi dalam secara spontan mengalami dehisens
atau dengan sengaja dibuka oleh ahli bedah bila
pasien mempunyai paling sedikit satu dari tanda-
tanda berikut: demam (>380C) atau nyeri lokal,
terkecuali biakan insisi negative.
 Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang
mengenai insisi dalam pada pemeriksaan langsung,
waktu pembedahan ulang, atau dengan pemeriksaan
histopatologis atau radiologis.
 Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
c. Infeksi Daerah Operasi Organ/ Rongga
Infeksi daerah operasi organ/ rongga memiliki kriteria sebagai
berikut:
c.1. Infeksi timbul dalam waktu 30 hari setelah prosedur
pembedahan, bila tidak dipasang implant atau dalam
waktu satu tahun bila dipasang implant dan infeksi
tampaknya adanya hubungannya dengan prosedur
pembedahan.
c.2. Infeksi tidak mengenai bagian tubuh manapun, kecuali
insisi kulit, fascia atau lapisan otot yang dibuka atau
dimanipulasi selama prosedur pembedahan.
Pasien paling sedikit menunjukkan satu gejala berikut:
1. Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka
tusuk ke dalam organ/ rongga
2. Diisolasi kuman dari biakan yang diambil secara aseptic
dari cairan atau jaringan dari dalam organ atau rongga:
 Abses dan bukti lain adanya infeksi yang mengenai
organ/ rongga yang ditemukan pada pemeriksaan
langsung waktu pembedahan ulang atau dengan
pemeriksaan histopatologis atau radiologis.
 Dokter menyatakan sebagai IDO organ/ rongga.

Bundles pencegahan dan pengendalian Infeksi Daerah Operasi


(IDO)
1. Pencegahan infeksi sebelum operasi (pra bedah)
a. Persiapan pasien sebelum operasi
1) Jika ditemukan tanda- tanda infeksi, sembuhkan
terlebih dahulu infeksinya sebelum hari operasi
elektif, dan jika perlu tunda hari operasi sampai
infeksi tersebut sembuh.
2) Jangan mencukur rambut, kecuali bila rambut
terdapat pada sekitar daerah operasi dan atau akan
mengganggu jalannya operasi.
3) Bila diperlukan mencukur rambut, lakukan dikamar
bedah beberapa saat sebelum operasi dan
sebaiknya menggunakan pencukur listrik (bila tidak
ada pencukur listrik gunakan silet baru).
4) Kendalikan kadar gula darah pada pasien diabetes
dan hindari kadar gula terlalu rendah sebelum
operasi.
5) Sarankan pasien untuk berhenti merokok, minimum
30 hari sebelum hari elektif operasi.
6) Mandikan pasien dengan zat antiseptic malam hari
sebelum hari operasi.
7) Cuci dan bersihkan lokasi pembedahan dan
sekitarnya untuk menghilangkan kontaminasi sbelum
persiapan kulit dengan antiseptik.
8) Oleskan antiseptik pada kulit dengan gerakan
melingkar mulai dari bagian tengah menuju ke arah
luar. Daerah yang dipersiapkan haruslah cukup luas
untuk memperbesar insisi, jika diperlukan membuat
insisi baru atau memasang drain bila diperlukan.
9) Masa rawat inap sebelum operasi diusahakan
sesingkat mungkin dan cukup waktu untuk persiapan
operasi yang memadai.
b. Antiseptik tangan dan lengan untuk tim bedah
10) Kuku selalu pendek dan tidak boleh memakai kuku palsu.
11) Lakukan surgical scrub dengan antiseptic yang sesuai.
12) Setelah cuci tangan, lengan harus tetap mengarah ke
atas dan dijauhkan dari tubuh supaya air mengalir dari
ujung jari ke siku. Keringkan tangan dengan handuk steril
dan kemudian pakailah gaun dan sarung tangan.
13) Bersihkan sela- sela di bawah kuku setiap hari sebelum
cuci tangan bedah yang pertama.
14) Jangan memakai perhiasan di tangan atau lengan.
15) Sebaiknya tidak menggunakan cat kuku.
2. Pencegahan Infeksi Selama Operasi
a. Ventilasi
16) Pertahankan tekanan lebih positif dalam kamar
bedah dibandingkan dengan koridor dan ruangan
disekitarnya.
17) Pertahankan minimum 15 kali pergantian udara per
jam, dengan minimum 3 diantaranya adalah udara
segar.
18) Semua udara harus disaring, baik udara segar
maupun udara hasil resirkulasi.
19) Semua udara masuk melalui langit- langit dan keluar
melalui dekat lantai.
20) Jangan menggunakan fogging dan sinar ultraviolet di
kamar bedah untuk mencegah IDO.
21) Pintu kamar bedah harus selalu tertutup, kecuali bila
dibutuhkan untuk lewatnya peralatan, petugas dan
pasien.
22) Batasi jumlah orang yang masuk dalam kamar
bedah.
b. Membersihkan dan disinfeksi permukaan lingkungan
23) Bila tampak kotoran atau darah atau cairan tubuh
lainnnya pada permukaan benda atau peralatan,
gunakan desinfektan untuk membersihkannya
sebelum operasi dimulai.
24) Tidak perlu mengadakan pembersihan khusus atau
penutupan kamar bedah setelah selesai operasi
kotor.
25) Jangan menggunakan keset berserabut untuk kamar
bedah ataupun daerah sekitarnya.
26) Pel dan keringkan lantai kamar bedah dan desinfeksi
permukaan lingkungan atau peralatan kamar bedah
setelah operasi terakhir setiap harinya dengan
desinfekstan.
27) Tidak ada rekomendasi mengenai disinfeksi
permukaan lingkungan atau peralatan dalam kamar
bedah diantara dua operasi bila tidak tampak adanya
kotoran.
c. Sterilisasi instrument kamar bedah
28) Sterilkan semua instrument bedah sesuai petunjuk.
29) Laksanakan sterilisasi kilat hanya untuk instrument
yang harus segera digunakan seperti instrument
yang jatuh tidak sengaja saat operasi berlangsung.
Jangan melaksanakan sterilisasi kilat dengan alasan
kepraktisan, untuk menghemat pembelian instrument
baru atau untuk menghemat waktu.
d. Pakaian bedah dan drape
30) Pakai masker bedah dan tutupi mulut dan hidung
secara menyeluruh bila memasuki kamar bedah saat
operasi akan dimulai atau sedang berjalan, atau
instrument steril sedang dalam keadaan terbuka.
Pakai masker bedah selama operasi berlangsung.
31) Pakai tutup kepala untuk menutupi rambut di kepala
dan wajah secara menyeluruh bila memasuki kamar
bedah (semua rambut yang ada di kepala dan wajah
harus tertutup).
32) Jangan menggunakan pembungkus sepatu untuk
mencegah IDO.
33) Bagi anggota tim bedah yang telah cuci tangan
bedah, pakailah sarung tangan steril. Sarung tangan
dipakai setelah memakai gaun steril.
34) Gunakan gaun dan drape yang kedap air.
35) Gantilah gaun bila tampak kotor, terkontaminasi
percikan cairan tubuh pasien.
36) Sebaiknya gunakan gaun yang disposable.
e. Teknik aseptic dan bedah
37) Lakukan teknik aseptic saat memasukkan peralatan
intravaskuler (CVP), kateter anastesi spinal dan
epidural atau bila menuang atau menyiapkan obat-
obatan intravena.
38) Siapkan peralatan dan larutan steril sesaat sebelum
penggunaan.
39) Perlakukan jaringan dengan lembut, lakukan
hemostatis yang efektif, minimalkan jaringan mati
atau ruang kosong (dead space) pada lokasi operasi.
40) Biarkan luka operasi terbuka atau tertutup tidak
rapat, bila ahli bedah menganggap luka operasi
tersebut sangat kotor atau terkontaminasi.
41) Bila diperlukan drainase, gunakan drain penghisap
tertutup. Letakkan drain pada insisi yang terpisah dari
insisi bedah. Lepas drain sesegera mungkin bila
drain sudah tidak dibutuhkan lagi.

3. Pencegahan infeksi setelah operasi


a. Lindungi luka yang sudah dijahit dengan perban steril
selama 24 sampai 48 jam paska bedah.
b. Lakukan kebersihan tangan sesuai ketentuan, sebelum
dan sesudah mengganti perban atau bersentuhan
dengan luka operasi.
c. Bila perban harus diganti gunakan tehnik aseptic.
d. Berikan pendidikan pada pasien dan keluarganya
mengenai perawatan luka operasi yang benar, gejala IDO
dan pentingnya melaporkan gejala tersebut.

4. Selain pencegahan infeksi daerah operasi di atas,


pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan penerapan
bundles IDO:
a. Pencukuran rambut, dilakukan jika mengganggu jalannya
operasi dan dilakukan sesegera mungkin sebelum
tindakan operasi.
b. Antibiotik profilaksis, diberikan satu jam sebelum tindakan
operasi dan sesuai dengan empirik.
c. Temperature tubuh, harus dalam kondisi normal.
d. Pertahankan kadar gula darah dalam kondisi normal

E. Monitoring Penggunaan Antibiotik Yang Rasional


Pemberian terapi antimikroba merupakan salah satu tata laksana penyakit
infeksi yang bertujuan membunuh dan menghambat pertumbuhan mikroba
di dalam tubuh. Mikroba melemah atau mati akibat antimikroba, akan
dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh secara alamiah. Jika mikroba
penyebab infeksi telah resisten terhadap antimikroba yang digunakan, maka
mikroba tersebut tetap bertahan hidup dan berkembang biak sehingga
proses infeksi terus berlanjut.

Suatu spesies bakteri secara alami dapat bersifat resisten terhadap suatu
antibiotik. Sifat resisten ini dapat terjadi misalnya karena bakteri tidak
memiliki organ atau bagian dari organ sel yang merupakan target kerja
antibiotik. Sifat resisten alami juga dapat terjadi karena spesies bakteri
memiliki dinding sel yang bersifat tidak permeable untuk antibiotic tertentu.
Suatu populasi spesies bakteri belum tentu mempunyai kepekaan yang
seragam terhadap suatu antibiotik. Terdapat kemungkinan bahwa dalam
suatu populasi spesies tersebut sebagaian kecil bersifat resisten parsial atau
komplet secara alami. Bila populasi yang heterogen tersebut terpapar
antibiotic maka sebagaian kecil populasi yang bersifat resisten akan
bertahan hidup dan berkembangbiak dengan cepat melebihi populasi
bakteri yang peka dan dapat berkembang biak di dalam tubuh pasien dan
dikeluarkan dari tubuh (misalnya melalui tinja) sehingga dapat menyebar ke
lingkungan. Keadaan ini yang disebut sebagai “selective pressure”. Sifat
resistensi suatu spesies atau strain bakteri dapat pula diperoleh akibat
perpindahan materi genetic pengkode sifat resisten, yang terjadi secara
horizontal (dari suatu spesies/ strain ke spesies/ strain lainnya) atau vertical
(dari sel induk ke anaknya).

Permasalahan resistensi yang terus meningkat diberbagai Negara termasuk


Indonesia terutama terjadi akibat pengunaan antimikroba yang kurang bijak.
Hal ini berdampak buruk pada pelayanan kesehatan terutama dalam
penanganan penyakit infeksi. Pelaksanaan program pengendalian resistensi
antimikroba di pelayanan kesehatan yang melibatkan Komite PPI sebagai
salah satu unsure diharapkan dapat mencegah muncul dan menyebarnya
mikroba resisten sehingga penanganan penyakit infeksi menjadi optimal.
Pencegahan munculnya mikroba resisten diharapkan dapat dicapai melalui
penggunaan antibiotic secara bijak dan pencegahan menyebarnya mikroba
resisten melalui pelaksanaan kegiatan PPI yang optimal.

Penggunaan antibiotic secara bijak dapat dicapai salah satunya dengan


memperbaiki perilaku para dokter dalam penulisan resep antibiotic.
Antibiotic hanya digunakan dengan indikasi yang ketat yaitu dengan
penegakkan diagnosis penyakit infeksi menggunakan data klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah tepi, radiologi,
mikrobiologi dan serologi. Dalam keadaan tertentu penanganan kasus
infeksi berat ditangani secara multidisiplin.
Pemberian antibiotic pada pasien dapat berupa:
1. Profilaksis bedah pada beberapa operasi bersih (misalnya kraniotomi,
mata) dan semua bersih terkontaminasi adalah penggunaan antibiotic
sebelum, selama dan paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus
yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan
mencegah terjadinya infeksi daerah operasi. Pada prosedur operasi
terkontaminasi dan kotor, pasien diberi terapi antibiotic sehingga tidak
perlu ditambahkan antibiotic profilaksis.
2. Terapi antibiotic empirik yaitu pengunaan antibiotik pada kasus infeksi
atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
Terapi antibiotic empiric ini dapat diberikan selama 3 – 5 hari.
Antibiotic lanjutan diberikan berdasarkan data hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologi. Sebelum pemberian terapi empiric
dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi.
Jenis antibiotic empiric ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan
kepekaan antibiotic stempat.
3. Terapi antibiotic definitive adalah penggunaan antibiotic pada kasus
infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan kepekaannya
terhadap antibiotic.
Penerapan program pengendalian resistensi antimikroba di RS secara rinci
dapat merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 8 tahun 2015 tentang
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di RS. Untuk itu,
Kementerian Kesehatan telah mengupayakan agar fasilitas pelayanan
kesehatan terutama rumah sakit menerapkan pengendalian resistensi
antimikroba.

F. Melakukan Investigasi Out Break


Bila didapatkan Kejadian Luar Biasa maka Rumah Sakit segera
membentuk Tim Pengendali KLB. Tim Pengendali ini diketuai oleh
dokter yang ditunjuk Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
dan beranggotakan :
 Komite PPI Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
 Infection Prevention and Control Nurse dan Link Nurse
 Direktur Pelayanan
 Komite Medik
 Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien
 Dokter Penanggung Jawab Pasien
 Dokter Spesialis Patologi Klinik
 Kepala Bidang Keperawatan
Tim Pengendali KLB ini bertugas untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi kasus. Sehingga tim bisa segera mengambil keputusan
berdasarkan pengamatan kasus per kasus sebelum terjadi KLB (angka
pra KLB) dan besar angka kejadian di atas nilai angka endemik (angka
kejadian KLB). Tujuannya adalah untuk mencegah, mengatasi dan
mengendalikan KLB sehingga KLB tidak terjadi lagi di masa yang akan
datang.

Langkah-langkah penanganan KLB adalah :


1. Investigasi
Tujuan dilaksanakannya investigasi :
 Menjelaskan situasi KLB dan penemuan kasus
 Menetapkan penyebab termungkin, sumber penularan, cara
penyebaran
 Memutus rantai penyebaran
 Mencegah terulangnya kejadian serupa
Sebelum dilakukan investigasi, Komite PPI dan para ahli
mempersiapkan bahan literatur, konsultasi dengan tim ahli terkait,
menganalisa masalah, konsultasi dengan bagian laboratorium
untuk jenis spesimen dan biaya, serta menyiapkan peralatan
kesekretariatan yang diperlukan (komputer, kamera, dll).
Investigasi KLB meliputi :
1. Diagnosa yang jelas
Memastikan bahwa diagnosa ditegakkan dengan benar
secara klinis dan laboratoris (jika memungkinkan) atau
diagnosa ditegakkan berdasarkan kriteria standart untuk
definisi kasus yang dipakai. Untuk menegakkan diagnosa ini
diperlukan pengumpulan informasi yang detail mengenai
gejala klinis dan kriteria diagnostik serta konsultasi dengan
dokter penanggung jawab pasien untuk mempertegas
penegakan diagnosa klinis. Dikonfirmasi apakah benar
terjadi infeksi dengan menilai kembali gejala klinik dan hasil
kultur dari laboratorium. Periksa kembali dengan petugas
laboratorium penyebab terjadi peningkatan infeksi untuk
memastikan diagnosa dan tidak terjadi kesalahan di
laboratorium. Selain itu dilakukan anamnesa penderita
mengenai etiologi, transmisi dan penyakit lain yang hampir
mirip.
2. Konfirmasi terjadi KLB
Setelah diagnosa tegak, dilakukan konfirmasi ulang
terjadinya KLB. Apakah kejadian ini dianggap sebagai
masalah, dengan membandingkan kasus yang yang diamati
dengan kasus yang terjadi infeksi/KLB, dari data surveilans,
laboratorium, rekam medik RS, angka kematian dan angka
kesakitan.
Pada KLB didapatkan peningkatan jumlah kasus/insidens
suatu penyakit. Angka ini didapatkan dengan cara
membandingkan kasus/insidens dengan jumlah
kasus/insidens pada minggu, bulan atau beberapa tahun
sebelumnya dalam periode waktu yang sama. Harus selalu
diingat bahwa peningkatan jumlah kasus insidens
dibandingkan periode waktu sebelumnya belum tentu
merupakan suatu KLB. Selain karena KLB peningkatan
seperti ini dapat disebabkan antara lain :
a. Perubahan sistem pelaporan, definisi kasus.
b. Peningkatan kualitas pelayanan yang menyebabkan
masyarakat lebih antusias untuk berobat.
c. Peningkatan kualitas diagnosa penyakit.
3. Definisi Kasus
Kasus yang ditentukan sebagai KLB dinilai kriteria
diagnosanya baik secara klinis maupun dengan menilai hasil
pemeriksaan laboratoriumnya. Setelah itu ditentukan
klasifikasi individu yang menderita infeksi. sebaiknya
dilakukan perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas
terhadap kultur kuman dan melakukan isolasi setiap sumber
yang diduga menyebabkan infeksi  cairan, alat medis.
Persyaratan definisi kasus :
a. Kriteria klinis
b. Bedakan menurut waktu , tempat, orang
c. Data laboratorium
d. Terapkan secara konsisten dan tanpa bias terhadap
seluruh kasus yang diteliti
e. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap individu
dengan faktor risiko misal dokter, perawat , petugas
kebersihan, keluarga pasien.
4. Epidemiologi Deskriptif
Tentukan informasi yang dikumpulkan pada tiap kasus :
a. Identifikasi Informasi :
 Ulang rekam medik jika timbul pertanyaan
 Hasil laboratorium
 Periksa untuk ada tidak duplikasi data
 Buat pemetaan lokasi tempat terjadi KLB
b. Demografi :
Tentukan karakteristik orang / petugas untuk populasi
definitif yang beresiko
Informasi ini didapatkan dari :
a. Penemuan klinis
 Definisi kasus jelas
 Waktu terjadinya kasus
 Data suplemen (kematian)
b. Informasi faktor resiko : dapat digunakan untuk
penyakit spesifik yang masih dalam pertanyaan
c. Informasi pelapor : identitas pembuat laporan

5. Membuat Hipotesa
Dalam membuat hipotesa, harus diketahui mengenai
karakteristik penyakit. Apa penyebabnya, bagaimana
transmisinya, apa reservoirnya dan faktor resiko apa yang
menyebabkan timbulnya penyakit. Hal-hal tersebut harus
ditanyakan pada pasien dan staff rumah sakit dan kemudian
gunakan epidemiologi deskriptif sebagai dasar pembuatan
hipotesa.
6. Uji Hipotesa
7. Pengawasan sumber penularan
8. Menyempurnakan Hipotesa
9. Membuat dan mendistribusi laporan KLB

2. Komunikasi
Saat KLB berlangsung dilakukan komunikasi mengenai terjadinya
KLB dengan prosedur :
a. Melaporkan kepada Direktur RS
b. Konsultasikan kepada Dokter Penanggung Jawab Pasien
c. Bila KLB bertambah banyak , lapor ke Dinas Kesehatan
d. Mengadakan pertemuan dengan media elektronik, jika perlu

3. Manajemen
Tindakan pencegahan dan penanggulangan KLB harus
dilaksanakan sedini mungkin sebenarnya pada saat diagnosa
telah diverifikasi. Dengan mengetahui diagnosa suatu penyakit,
tindakan pengobatan sudah dilaksanakan segera. Hal-hal yang
berkaitan dengan kebijakan anggaran perlu dibicarakan dengan
pihak manajemen Rumah Sakit.

4. Pengawasan
Pada proses pengawasan, Panitia PPI mengatur mengenai hal-hal
sebagai berikut :
a. Implementasikan peraturan mengenai isolasi
b. Memberikan Imunisasi jika diperlukan
c. Memberikan antibiotik profilaksis jika dibutuhkan
d. Definisikan indikasi rawat dan dirujuk
e. Definisikan pertemuan dengan anggota
f. Evaluasi pengawasan

5. KLB berakhir
Pada saat KLB berakhir, Komite PPI segera mengumumkan
bahwa KLB telah berakhir secepatnya. Kemudian Komite PPI
membuat laporan lengkap KLB kepada Direktur Rumah Sakit Panti
Wilasa “Dr.Cipto” Semarang.

PENANGANAN OUT BREAK

DIREKTUR RUMAH SAKIT

TIM PENGENDALI/PENANGANAN KLB

KOMITE PPI

INFECTION PREVENTION AND CONTROL


NURSE / IPCN

KETERANGAN :
Petugas Pelaksana / ICN keliling ruangan setiap hari untuk memonitor
pada pasien yang dilakukan tindakan invansif, sehingga Komite PPI bisa
mengetahui kejadian infeksi atau KLB secara dini. Selanjutnya bila
terjadi out break petugas pelaksana/ ICN melaporkan ke Komite PPI.
Kemudian Komite PPI mengecek kebenarannya ke tempat yang
melaporkan. Setelah itu, atas persetujuan Direktur Rumah Sakit, Komite
PPI membentuk Tim Pengendali KLB. Hasil investigasi Tim Pengendali
KLB selanjutnya dilaporkan pada Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa
“Dr.Cipto” Semarang.
DOKUMENTASI : Laporan penanganan KLB apabila terjadi kasus kejadian
luar biasa

G. PENINGKATAN MUTU
Kegiatan PPI serta Data terintegrasi dengan program PMKP
(Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien ) dengan menggunakan
indikator mutu yang secara epidemiologik penting bagi Rumah Sakit
Panti Wilasa “Dr.Cipto” Semarang
BAB V
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

V.A. MONITORING DAN EVALUASI


Monitoring dan evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan pelaksanaan kegiatan tetap pada jalurnya sesuai pedoman dan
perencanaan program dalam rangka pengendalian suatu program, selain juga
memberikan informasi kepada pengelola program akan hambatan dan
penyimpangan yang terjadi sebagai masukkan dalam melakukan evaluasi.

Dalam program PPI monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengukur


keberhasilan pelaksanaan program dan kepatuhan penerapan oleh petugas
serta evaluasi angka kejadian HAIs melalui ICRA, audit dan monitoring dan
evaluasi lainnya secara berkala yang dilakukan oleh komite PPI.
A. Pengkajian resiko infeksi (Infection Control Risk Assesment)
Salah satu program dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di
fasilitas pelayanan kesehatan adalah melakukan pengkajian
risiko.Pengkajian risiko sebaiknya dilakukan setiap awal tahun sebelum
memulai program dan dapat setiap saat ketika dibutuhkan.
1. Risiko adalah potensi terjadinya kerugian yg dapat timbul dari
proses kegiatan saat sekarang atau kejadian dimasa datang
(ERM,Risk Management Handbook for Health Care Organization).
2. Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk
mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas risiko, dengan
tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya.
Suatu proses penilaian untuk menguji sebuah proses secara rinci
dan berurutan, baik kejadian yang aktual maupun yang potensial
berisiko ataupun kegagalan dan suatu yang rentan melalui proses
yang logis, dengan memprioritaskan area yang akan di perbaiki
berdasarkan dampak yang akan di timbulkan baik aktual maupun
potensial dari suatu proses perawatan, pengobatan ataupun
pelayanan yang diberikan.
3. Pencatatan risiko adalah pencatatan semua risiko yang sudah
diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan pemeringkatan (grading)
untuk menentukan matriks risiko dengan kategori merah, kuning
dan hijau.
4. ICRA adalah proses multidisiplin yang berfokus pada pengurangan
infeksi, pendokumentasian bahwa dengan mempertimbangkan
populasi pasien, fasilitas dan program:
a. Fokus pada pengurangan risiko dari infeksi,
b. Tahapan perencanaan fasilitas, desain, konstruksi, renovasi,
pemeliharaan fasilitas, dan
c. Pengetahuan tentang infeksi, agen infeksi, dan lingkungan
perawatan, yang memungkinkan organisasi untuk
mengantisipasi dampak potensial.
ICRA merupakan pengkajian yang di lakukan secara kualitatif dan
kuantitatif terhadap risiko infeksi terkait aktifitas pengendalian
infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan serta mengenali
ancaman/bahaya dari aktifitas tersebut.

B. Tujuan adalah untuk mencegah dan mengurangi resiko terjadinya


HAIs pada pasien, petugas dan pengunjung RS dengan cara:
1. Mencegah dan mengontrol frekuensi dan dampak risiko terhadap :
a. Paparan kuman patogen melalui petugas, pasien dan
pengunjung
b. Penularan melalui tindakan/prosedur invasif yang dilakukan
baik melalui peralatan,tehnik pemasangan, ataupun
perawatan terhadap HAIs.
2. Melakukan penilaian terhadap masalah yang ada agar dapat
ditindak lanjuti berdasarkan hasil penilaian skala prioritas

C. Infection Control Risk Assesment terdiri atas:


1. External
a. Terkait dengan komunitas: Kejadian KLB dikomunitas yang
berhubungan dengan penyakit menular: influenza,
meningitis.
b. Penyakit lain yg berhubungan dengan kontaminasi pada
makanan, air seperti hepatitis A dan salmonela.
c. Terkait dengan bencana alam : tornado, banjir, gempa, dan
lain-lain.
d. Kecelakaan massal : pesawat, bus, dan lain-lain.
2. Internal
a. Risiko terkait pasien : Jenis kelamin, usia, populasi
kebutuhan khusus
b. Risiko terkait petugas kesehatan
b.1. Kebiasaan kesehatan perorangan
b.2. Budaya keyakinan tentang penyakit menular
b.3. Pemahaman tentang pencegahan dan penularan
penyakit
b.4. Tingkat kepatuhan dalam mencegah infeksi
(Kebersihan tangan, pemakaian APD , tehnik isolasi),
b.5. Skrening yang tidak adekuat terhadap penyakit
menular
b.6. Kebersihan tangan
b.7. NSI
c. Risiko terkait pelaksanaan prosedur
c.1. Prosedur invasif yang dilakukan :
 Pencampuran Obat suntik
Pencampuran Obat atau senyawa campuran
untuk mengurangi gejala untuk menyembuhkan
penyakit. Sediaan parenteral adalah salah satu
teknik pemberian obat. Keuntungan sediaan
parenteral yang diingikan adalah obat dapat
memeberikan efek lebih cepat dari obat sediaan
lain. Salah satu penyiapan obat parenteral adalah
dengan pencampuran , pencampuran obat suntik
dilakukan oleh apoteker dengan latar belakang
pengetahuan antara lain sterilitas, sifat fisikokimia,
stabilitas obat, dan ketidaktercampuran obat.
Selain itu diperlukan juga sarana dan prasarana
khusus yang menunjang pekerjaan hingga tujuan
sterilitas, stabilitas dan ketercampuran obat dapat
tercapai dengan baik. Cara pencampuran obat :
1. Penyiapan
a. Petugas farmasi melakukan screning
resep meliputi : kelengkapan resep / kartu
terapi dengan prinsip 7 benar
b. Memeriksa kondisi obat yang akan di
campur
c. Menghitung ksesuaian dosis
d. Memilih jenis pelarut yang sesuai
e. Menghitung volume pelarut
2. Pencampuran
Proses pencampuran obat suntik secara
aseptik maka dilakukan langkah langkah
a. Menggunakan alat pelindung diri (APD)
b. Melakukan desinfeksi sarung tangan
dengan alkohol 70%
c. Menghidupkan Laminer Air Flow sesuai
SPO
d. Menyiapkan kantong buangan sampah
dalam LAF untuk bekas obat
e. Mengambil alat kesehatan dan obat –
obatan dari box
f. Melakukan pencampuran secara aseptik

 Pemberian Suntikan
Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk
setiap suntikan, berlaku juga pada penggunaan vial
multidose untuk mencegah timbulnya kontaminasi
mikroba saat obat dipakai pada pasien lain. Jangan
lupa membuang spuit dan jarum suntik bekas pakai
ke tempatnya dengan benar.
1. Menerapkan tehnik aseptic untuk mencegah
kontaminasi alat- alat injeksi.
2. Tidak menggunakan spuit yang sama untuk
penyuntikan lebih dari 1 pasien walaupun jarum
suntiknya diganti.
3. Semua alat suntik yang dipergunakan harus
satu kali pakai untuk satu pasien dan satu
prosedur.
4. Gunakan cairan pelarut hanya untuk satu kali.
5. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila
memugkinkan).
6. Tidak memberikan obat- obat single dose
kepada lebih dari satu pasien atau mencampur
obat- obat sisa dari vial/ ampul untuk pemberian
berikutnya.
7. Bila harus menggunakan obat- obat multi dose,
semua alat yang digunakan harus steril.
8. Simpan obat- obat multi dose sesuai dengan
rekomendasi dari pabrik yang membuat.
9. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih
dari 1 pasien

 Terapi cairan
1. Ganti selang IV, termasuk selang piggyback dan
stopcock, dengan interval yang tidak kurang dari
72 jam, kecuali bila ada indikasi klinis.
2. Ganti selang yang dipakai untuk memasukkan
darah, komponen darah atau emulsi lemak
dalam 24 jam.
3. Waktu pemakaian cairan IV, termasuk juga
cairan nutrisi parenteral yang tidak mengandung
lemak sekurang- kurangnya 96 jam.
4. Infus harus diselesaikan dalam 24 jam untuk
satu botol cairan parenteral yang mengandung
lemak.
5. Bila hanya emusi lemak yang diberikan,
selesaikan infus dalam 12 jam setelah botol
emulsi mulai digunakan.

Port injeksi intravena


Bersihkan port injeksi dengan alkhohol 70% sebelum
digunakan.

Persiapan dan pengendalian mutu campuran


larutan intravena
1. Campurkan seluruh cairan parenteral di bagian
farmasi dalam laminar- flow hood menggunakan
tehnik aseptic.
2. Periksa semua container cairan parenteral,
apakah ada kekeruhan, kebocoran, keretakan,
partikel dan tanggal kadaluwarsa dari pabrik
sebelum penggunaan.
3. Pakai vial dosis tunggal aditif parenteral atau
obat- obatan bilamana mungkin.
4. Bila harus mengunakan vial multi dosisi
1) Dinginkan dalam kulkas vial multi dosis yang
sudah dibuka, bila direkomendasikan oleh
pabrik.
2) Bersihkan karet penutup vial multi dosis
dengan alkhohol sebelum memasukkan alat
ke vial.
3) Gunakan alat steril setiap kali akan
mengambil cairan dari vial multi dosis, dan
hindari kontaminasi alat sebelum menembus
karet vial.
4) Buang vial multi dosis bila sudah kosong, bila
dicurigai atau terlihat adanya kontaminasi,
atau bila telah mencapai tanggal kadaluwarsa

 Punksi lumbal
Semua petugas harus memakai masker bedah,
gaun bersih, sarung tangan steril saat melakukan
tindakan lumbal pungsi, anestesi spinal/ epidural/
pasang kateter vena sentral.
Penggunaan masker bedah pada petugas
dibutuhkan agar tidak terjadi droplet flora orofaring
yang dapat menimbulkan meningitis bacterial
c.2. Peralatan yang dipakai
c.3. Pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan
suatu tindakan
c.4. Persiapan pasien yang memadai
c.5. Kepatuhan terhadap tehnik pencegahan yang
direkomendasikan

d. Risiko terkait peralatan


Pembersihan, desinfektan dan sterilisasi untuk proses
peralatan:
d.1. Instrumen bedah
d.2. Prostesa
d.3. Pemrosesan alat sekali pakai
d.4. Pembungkusan kembali alat
d.5. Peralatan yang dipakai

e. Pengelolaan Kamar Jenazah


1. Kebersihan Ruangan dan peralatan dan upaya
pelayanan
1) 5 Moment hand hygien
2) Lantai bersih tidak licin
3) Permukaan tidak berdebu
4) Tidak ada lawa lawa
5) Tempat sampah tertutup
6) Wastafel cuci tangan selalu bersih dan bebas dari
peralatan
7) Keran selalu bersih dan tidak berkarat
8) Mobil jenazah bersih
9) Mobil jenazah di bersihkan setiap habis di pakai
10) Pembersihan lingkungan dengan disinfektan
setiap habis dipakai dan seminggu sekali sesuai
jadwal
11) Pengendalian lingkungan
12) Penanganan limbah
13) Pemulasaran jenazah
2. Fasilitas
1) Tersedia APD lengkap, (sarung tangan, masker,
googles, tutup kepala, celemek/apron, sepatu
boot)
2) Lat cuci tangan lengkap di ruangan, wastafel,
sabun antiseptik, tisue dan hundsrub
3) Tersedia handsrub di mobil jenazah
4) Tersedia Spillkiit di mobil jenazah
5) Temapt sampah infeksius dan non infeksius
6) Tempat linen kotor
7) Meja memandikan
8) Ruang pemulasaraan
9) Almari penyimpana BHP

f. Pemeriksaan alat terkait Resiko infeksi pada fasilitas dengan


pengendalian mekanis teknis ( mechanical dan enginering
control )
f.1. Kontrol monitoring sistem ventilasi tekanan positip di
Ruang Isolasi dan IBS
f.2. Biological safety cabinet
f.3. Laminary airflow hood
f.4. Monitoring termostat di lemari pendingin
f.5. Monitoring air untuk sterilisasi piring dan alat dapur.
g. Risiko terkait lingkungan
g.1. Pembangunan / renovasi
g.2. Kelengkapan peralatan
g.3. Pembersihan lingkungan
Pengkajian Risiko Infeksi (Infection Control Risk Assesment/ICRA)
terdiri dari 4 (empat) langkah, yaitu :
1. Identifikasi risiko
Proses manajemen risiko bermula dari identifikasi risiko dan
melibatkan:
a. Penghitungan beratnya dampak potensial dan kemungkinan
frekuensi munculnya risiko.
b. Identifikasi aktivitas-aktivitas dan pekerjaan yang
menempatkan pasien, tenaga kesehatan dan pengunjung
pada risiko.
c. Identifikasi agen infeksius yang terlibat, dan
d. Identifikasi cara transmisi.
2. Analisa risiko
a. Mengapa hal ini terjadi ?
b. Berapa sering hal ini terjadi ?
c. Siapa saja yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut ?
d. Dimana kejadian tersebut terjadi ?
e. Apa dampak yang paling mungkin terjadi jika tindakan yang
sesuai tidak dilakukan ?
f. Berapa besar biaya untuk mencegah kejadian tersebut ? 3.
3. Kontrol risiko
a. Mencari strategi untuk mengurangi risiko yang akan
mengeliminasi atau mengurangi risiko atau mengurangi
kemungkinan risiko yang ada menjadi masalah.
b. Menempatkan rencana pengurangan risiko yang sudah
disetujui pada masalah.
4. Monitoring risiko
a. Memastikan rencana pengurangan risiko dilaksanakan.
b. Hal ini dapat dilakukan dengan audit dan atau surveilans dan
memberikan umpan balik kepada staf dan manajer terkait.
Dalam bentuk skema langka-langkah ICRA digambarkan sebagai
berikut:

Sumber: Basic Consepts of Infection Control, IFEC, 2011


Di bawah ini ada tabel yang menerangkan cara membuat perkiraan
resiko, derajat keparahan dan frekuensi terjadinya masalah:
Peringkat Peluang Uraian
4 1 : 10 Hampir pasti atau sangat mungkin untuk
terjadi
3 1 : 100 Tinggi kemungkinannya akan terjadi
2 1 : 1000 Mungkin hal tersebut akan terjadi pada
suatu waktu
1 1 : 10000 Jarang terjadi dan tidak diharapkan untuk
terjadi

Tabel derajat keparahan


Peringkat Deskripsi Uraian Komentar
20 – 30 Tinggi atau Dampak yang besar Tindakan segera
mayor bagi pasien yang dapat sangat
mengarah kepada dibutuhkan
kematian atau dampak
jangka panjang
10 – 19 Menengah Dampak yang dapat Dibutuhkan
menyebabkan efek penanganan
jangka pendek
1–9 Rendah Dampak minimal Dinilai ulang
atau minor dengan/ tanpa efek secara berkala
minor

Tabel Keparahan dan Frekuensi Terjadinya Masalah


Keparahan 1 – keparahan 1 – keparahan tinggi
tinggi tinggi Frekuensi tinggi (infeksi dalam
Frekuensi rendah darah akibat penggunaan alat
(infeksi aliran darah dan jarum suntik ulang)
disebabkan oleh
kontaminasi akses
intravena)
Keparahan 4 – keparahan rendah 3 – keparahan rendah
rendah (infeksi dari linen rumah Frekuensi tinggi (infeksi
sakit) saluran kemih)
Frekuensi rendah Frekuensi tinggi
Jenis risiko dan tingkat risiko berbeda di setiap unit fasilitas pelayanan
kesehatan, seperti di IGD, ICU, instalasi bedah, rawat inap, laboratorium,
renovasi / pembangunan, dan lainnya. Pencatatan risiko adalah
pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi, untuk kemudian
dilakukan pemeringkatan (grading) untuk menentukan matriks risiko
dengan kategori merah, kuning dan hijau.

Pemeringkatan (grading) dalam bentuk table sebagai berikut:


Tabel Penilaian Probabilitas/ Frekuensi
Tingkat Deskripsi Frekuensi Kejadian
Risk
0 Never Tidak pernah
1 Rare Jarang (frekuensi 1 – 2 x/tahun)
2 Maybe Kadang (frekuensi 3 – 4 x/tahun)
3 Likely Agak sering (frekuensi 4 – 6 x/tahun)
4 Expectit Sering (frekuensi (> 6 – 12 x/tahun)

Tabel Penilaian Dampak Resiko


Tingkat Deskripsi Dampak
Resiko
1 Minimal Clinical Tidak ada cedera
2 Moderate Clinical1) Cidera ringan, misal luka lecet
2) Dapat diatasi dengan P3K
3 Prolonged Length 3) Cidera sedang, misal luka
of Stay robek
4) Berkurangnya fungsi motorik/
sensorik/ psikologis atau
intelaktual (reversible). Tidak
berhubungan dengan penyakit
5) Setiap kasus yang
memperpanjang perawatan
4 Temporer Loss of 6) Cidera luas/ berat, misalnya
Function cacar, lumpuh
7) Kehilangan fungsi motorik/
sensorik/ psikologis atau
intelektual (irreversible). Tidak
berhubungan dengan penyakit.
5 Katatropik Kematian yang tidak berhubungan
dengan perjalanan penyakit

Tabel Sistem Yang Ada


Tingkat Deskripsi Kegiatan
Resiko
1 Solid Peraturan ada, fasilitas ada,
dilaksanakan
2 Good Peraturan ada, fasilitas ada, tidak
selalu dilaksanakan
3 Fair Peraturan ada, fasilitas ada, tidak
dilaksanakan
4 Poor Peraturan ada, fasilitas ada, tidak
dilaksanakan
5 None Tidak ada peraturan

Untuk Kasus yang Membutuhkan Penanganan Segera Tindakan


Sesuai Tingkat dan Bands Resiko
Level/ Bands Tindakan
Ekstreem (sangat Resiko ekstreem, dilakukan RCA paling lama 45
tinggi) hari, membutuhkan tindakan segera, perhatian
sampai ke direktur, perlu pengkajian yang sangat
dalam.
High (Tinggi) Resiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari,
kaji dengan detail dan perlu tindakan segera serta
membutuhkan tindakan top manajemen, perlu
penanganan segera
Moderate Resiko sedang, dilakukan investigasi sederhana
(sedang) paling lama 2 minggu, manajer/ pimpinan klinis
sebaiknya menilai dampak terhadap bahaya dan
kelola resiko menggunakan monitoring audit spesifik
Low (rendah) Resiko rendah, dilakukan investigasi sederhana
paling lama 1 minggu, diselesaikan dengan prosedur
rutin.

Tindakan yang diperlukan, tingkat keterlibatan dan tindakan waktu


akan didasarkan pada tingkat resiko:
Resiko kritikal: stop aktivitas
1) Manajemen resiko harus diinformasikan kepada staf dimulai dari
staf administrasi senior
2) Rekomendasi tertulis disampaikan kepada direksi
3) Rencana tindakan dibuat tertulis dengan batas waktu tertentu
4) Rencana tindakan yang sudah dibuat segera dikerjakan
Resiko tinggi: stop aktivitas
5) Manajemen resiko harus diinformasikan kepada staf dimulai dari
staf administrasi senior
6) Rekomendasi tertulis disampaikan kepada direksi dalam waktu 48
jam
7) Rencana tindakan dibuat tertulis dengan batas waktu tertentu
8) Rencana tindakan yang sudah dibuat segera dikerjakan dalam
waktu 48 jam
Resiko Sedang
9) Rekomendasi tertulis dibuat kepada direksi
10) Membuat rencana tindak lanjut dalam bentuk time line
11) Rencana tindakan: 3 bulan
Resiko rendah
12) Rekomendasi tertulis untuk manejer
13) Membuat rencana tindak lanjut dalam bentuk time line
14) Rencana tindakan: 6 bulan atau waktu yang lama
Contoh Formulir Pengkajian Resiko Terhadap Infeksi
Kategori Akar Masalah Dampak (D) Probabilitas (P) Skor Resiko
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 DxP
Kebersihan tangan
Manajemen limbah
Manajemen linen
CSSD
Lain- lain

Pengkajian risiko pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan


kesehatan didapatkan melalui masukan dari lintas unit yaitu :
a. Pimpinan
b. Anggota Komite PPIRS, IPCN / IPCN-link
c. Staf medik
d. Perawat
e. Laboratorium
f. Unit Produksi Makanan
g. Unit Pelayanan Laundri
h. Unit Perawatan Intensif
i. Unit Rawat Jalan
j. Unit Sanitasi dan Lingkungan
k. Instalasi Sterilisasi Pusat
l. Instalasi Laboratorium
m. Instalasi Farmasi
n. Instalasi Jenazah
o. Koordinator lain yang diperlukan
p. Komite Mutu
q. Staf PPIRS
r. IPCD/IPCO/IPCN/IPCN-link
s. Petugas kesehatan lain
t. Staf medik
u. Bidang Keperawatan
v. Bidang Teknik
w. Administrasi

Infection Control Risk Assesment Renovasi/ Pembangunan Gedung


Penilaian Risiko Dampak Renovasi atau Konstruksi yang dikenal sebagai
Infection Control Risk Assessment (ICRA) adalah suatu proses
terdokumentasi yang dilakukan sebelum memulai kegiatan pemeliharaan,
perbaikan, pembongkaran, konstruksi, maupun renovasi untuk mengetahui
risiko dan dampaknya terhadap kualitas udara dengan mempertimbangkan
potensi pajanan pada pasien.
Sistem HVAC (heating, ventilation, air conditioning) adalah sistem pemanas,
ventilasi, dan pendingin udara di sarana pelayanan kesehatan yang dirancang
untuk: a) menjaga suhu udara dan kelembaban dalam ruangan pada tingkat
yang nyaman untuk petugas, pasien, dan pengunjung; b) kontrol bau, c)
mengeluarkan udara yang tercemar, d) memfasilitasi penanganan udara untuk
melindungi petugas dan pasien dari patogen airborne, dan e) meminimalkan
risiko transmisi patogen udara dari pasien infeksi. Sistem HVAC
mencakupudara luar inlet, filter, mekanisme modifikasi kelembaban (misalnya
kontrol kelembaban musim panas, kelembaban musim dingin), pemanas dan
pendingin peralatan, exhaust, diffusers, atau kisi-kisi untuk distribusi udara.
Penurunan kinerja sistem fasilitas kesehatan HVAC, inefisiensi filter,
pemasangan yang tidak benar, dan pemeliharaan yang buruk dapat
berkontribusi pada penyebaran infeksi airborne.
Ruang lingkup penilaian kriteria risiko akibat dampak renovasi atau konstruksi
menggunakan metode ICRA adalah:

1. Identifikasi tipe proyek konstruksi


Tahap pertama dalam kegiatan ICRA adalah melakukan identifikasi tipe
proyek konstruksi dengan menggunakan tabel di bawah ini.Tipe proyek
konstruksi ditentukan berdasarkan banyaknya debu yang dihasilkan,
potensi aerosolisasi air, durasi kegiatan konstruksi, dan sistem sharing
HVAC.
TIPE A Kegiatan pemeriksaan konstruksi dengan resiko rendah, termasuk
namun tidak terbatas pada:
a. Pemindahan plafon untuk pemeriksaan visual (debu minimal).
b. Pengecatan (bukan pemlesteran).
c. Merapikan pekerjaan listrik, pemasangan pipa kecil dan aktivitas lain
yang tidak menimbulkan debu atau mengakses ke langit- langit
selain untuk pemeriksaan visual.
TIPE B Kegiatan non invasive skala kecil, durasi pendek dengan resiko debu
minimal, termasuk namun tidak terbatas pada:
a. Instalasi kabel untuk telephone dan computer.
b. Mengakses “chase spaces”.
c. Pemotongan dinding atau plafon dimana penyebaran debu dapat
dikontrol.
TIPE C Kegiatan pembongkaran gedung dan perbaikan gedung yang
menghasilkan debu tingkat tinggi dengan resiko sedang sampai tinggi,
termasuk namun tidak terbatas pada:
a. Pemlesteran dinding untuk pengecatan atau melindungi dinding.
b. Pemindahan untuk pemasangan lantai dan plafon.
c. Konstruksi dinding baru.
d. Pekerjaan pipa kecil atau pemasangan listrik di atas plafon.
e. Kegiatan pemasangan kabel besar.
f. Kegiatan tipe A, B, atau C yang tidak dapat diselesaikan dalam satu
shift kerja.
TIPE D Kegiatan pembangunan proyek konstruksi dan pembongkaran gedung
dengan skala besar:
a. Kegiatan yang menuntut pembongkaran gedung secara besar-
besaran.
b. Adanya kegiatan pemasangan/ pemindahan sistem perkabelan.
c. Konstruksi baru atau pembangunan gedung baru.

2. Identifikasi Kelompok Pasien Beresiko


Selanjutnya identifikasi kelompok pasien beresiko yang dapat terkena
dampak konstruksi. Bila terdapat lebih dari satu kelompok pasien beresiko,
pilih kelompok beresiko yang paling tinggi. Pada semua kelas konstruksi,
pasien harus dipindahkan saat perkerjaan dilakukan.
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Area - Fisioterapi - Instalasi Gawat - Area untuk
perkantoran - Instalasi Rawat Darurat pasien
administrasi Jalan - VK immunocompro
- Instalasi Gizi - Laboratorium mised
- Poli Bedah - ICU
- Instalasi Bedah - NICU/ PICU
Sentral - Ruang Isolasi
- Ruang tekanan
perawatan negative
pasien - Onkologi
- Ruang Operasi

3. Menentukan Kelas Kewaspadaan dan Intervensi PPI


Kelas kewaspadaan ditentukan melalui pencocokan kelompok pasien
beresiko (R, S, T, ST) dengan tipe proyek konstruksi (A, B, C, D)
berdasarkan matriks pencegahan dan pengendalian infeksi.
KELOMPOK TIPE PROYEK KONSTRUKSI
PASIEN TIPE A TIPE B TIPE C TIPE D
BERESIKO
Rendah I II II III/IV
Sedang I II III IV
Tinggi I II III/IV IV
Sangat Tinggi II III/IV III/IV IV

4. Menentukan Intervensi Berdasarkan Kelas Kewaspadaan


Penentuan intervensi PPI dilakukan setelah kelas kewaspadaan
diketahui. Apabila kelas kewaspadaan berada pada kelas III dan IV,
maka diperlukan perizinan kerja dari komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi dan dilakukan identifikasi dampak lain daerah
sekitar area proyek
.
Selama Proyek Setelah Proyek
Konstruksi Konstruksi
Kelas I 1. Lakukan pekerjaan 1. Pembersihan
konstruksi dengan lingkungan kerja.
metode debu minimal.
2. Segera mengganti
plafon yang digunakan
untuk pemeriksaan
visual.
Kelas II 1. Menyediakan sarana 1. Bersihkan permukaan
aktif untuk mencegah kerja dengan
penyebaran debu ke pembersih/
udara. desinfektan.
2. Memberikan kabut air 2. Letakkan limbah
pada permukaan kerja kontruksi dalam wadah
untuk mengendalikan yang tertutup rapat
debu saat memotong. sebelum di buang.
3. Menyegel pintu yang Lakukan pengepelan
tidak terpakai dengan basah dan/ atau
lakban. vacuum dengan HEPA
4. Menutup ventilasi filter sebelum
udara. meninggalkan area
5. Letakkan dust mat kerja.
(keset debu) di pintu 3. Setelah pekerjaan
masuk dan keluar area selesai, rapikan
kerja. kembali sistem HVAC.
6. Menutup sistem
Heating Ventilation Air
Conditioning (HVAC)
Kelas III 1. Mengisolasi sistem 1. Pembatas area kerja
HVAC di area kerja harus tetap dipasang
untuk mencegah sampai proyek selesai
kontaminasi sistem diperiksa oleh Komite
saluran. K3, Komite PPI dan
2. Siapkan pembatas dilakukan pembersihan
area kerja atau oleh petugas
terapkan metode kebersihan.
control kubus (menutup 2. Lakukan
area kerja) sebelum pembongkaran bahan -
konstruksi dimulai. bahan pembatas area
3. Menjaga tekanan kerja dengan hati- hati
udara negative dalam untuk meminimalkan
tempat kerja dengan penyebaran kotoran
menggunakan unit dan puing- puing
penyaringan udara konstruksi.
HEPA. 3. Vakum area kerja
4. Letakkan limbah dengan penyaring
kontruksi dalam wadah HEPA.
yang tertutup rapat 4. Lakukan pengepelan
sebelum dibuang. basah dengan
5. Tutup wadah atau pembersih/
gerobak transportasi desinfektan.
limbah. 5. Setelah pekerjaan
selesai, rapikan
kembali sistem HVAC.
Kelas IV 1. Mengisolasi sistem 1. Pembatas area kerja
HVAC di area kerja harus tetap dipasang
untuk mencegah sampai proyek selesai
kontaminasi sistem diperiksa oleh K3,
saluran. Komite PPI dan
2. Siapkan pembatas dilakukan pembersihan
area kerja atau oleh petugas
terapkan metode kebersihan.
kontrol kubus (menutup 2. Lakukan
area kerja dengan pembongkaran bahan-
plastic dan menyegel bahan pembatas area
dengan vakum HEPA kerja dengan hati- hati
untuk menyedot debu untuk meminimalkan
keluar) sebelum penyebaran kotoran
konstruksi dimulai. dan puing – puing
3. Menjaga tekanan konstruksi.
udara negatif dalam 3. Letakkan limbah
tempat kerja dengan konstruksi dalam
menggunakan unit wadah yang tertutup
penyaringan udara rapat sebelum dibuang.
HEPA. 4. Tutup wadah atau
4. Menyegel lubang, pipa gerobak transportasi
dan saluran. limbah.
5. Membuat anteroom 5. Vakum area kerja
dan mewajibkan dengan penyaring
semua personel untuk HEPA.
melewati ruangan 6. Lakukan pengepelan
ini basah dengan
dan melepas APD
yang digunakan serta pembersih/
mengganti pakaian desinfektan.
kerja di ruang 7. Setelah pekerjaan
anteroom. selesai, rapikan
6. Semua personil kembali sistem HVAC.
memasuki tempat kerja
diwajibkan untuk
memakai penutup
sepatu. Sepatu harus
diganti setiap kali
keluar dari area kerja.

5. Identifikasi Area di Sekitar Area Kerja dan Menilai Dampak Potensial


Pada kelas kewaspadaan III dan IV, perlu dilakukan identifikasi daerah
sekitar proyek dan tingkat resiko lokasi tersebut. Identifikasi dampak
potensial lain dapat diketahui dengan mengisi tabel di bawah ini:

Melakukan identifikasi area dengan aktifitas khusus, misalnya kamar pasien,


ruang obat- obatan dan lain- lain
Melakukan identifikasi masalah yang berkaitan dengan ventilasi, pipa air, dan
kemungkinan pemadaman listrik akibat konstruksi
Melakukan identifikasi tindakan pembatasan, menggunakan penilaian
sebelumnya.
Apakah jenis pembatas yang digunakan? (misalnya dinding pembatas solid)
Apakah HEPA filter diperlukan? (catatan: area renovasi/ konstruksi harus
diisolasi dari area sekitarnya).
Pertimbangkan potensi resiko kerusakan air. Apakah ada resiko akibat
perubahan struktur? (misalnya dinding, plafon, atap)
Apakah perkerjaan dapat dilakukan diluar jam perawatan pasien?
Apakah perencanaan memungkinkan jumlah kamar isolasi/ tekanan negative
yang cukup?
Apakah perencanaan memungkinkan jumlah dan jenis wastafel untuk cuci
tangan?
Apakah PPI menyetujui jumlah minimal wastafel untuk proyek ini?
Apakah PPI setuju dengan rencana relative terhadap bersih dan kotor kamar
utilitas?
Lakukan perencanaan untuk membahas masalah pembatasan dengan tim
proyek?
Misalnya, arus lalu lintas, rumah tangga, pembuangan puing (bagaimana dan
kapan)?

Audit
Audit berarti melakukan pengecekan terhadap praktik aktual terhadap standar
yang ada, termasuk tentang membuat laporan ketidakpatuhan atau isu-isu
yang dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan lainnya atau oleh Komite PPI.
Pemberitahuan hasil audit kepada staf dapat membantu mereka untuk
mengidentifikasi dimana perbaikan yang diperlukan. Audit internal termasuk
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap efektifitas proses manajemen
risiko RS. Manajemen risiko dibuat untuk menciptakan obyektifitas kemudian
mengidentifikasi, melakukan analisis, dan respon terhadap risiko-risiko
tersebut yang secara potensial akan mempengaruhi kemampuan RS untuk
menyadari keobyektifannya. Auditor internal dapat memberikan nasihat dan
membantu mengidentifikasi risiko-risiko yang bersifat darurat.

Standar audit internal membutuhkan perkembangan suatu rencana dari


proyek audit berdasarkan pada pengkajian risiko yang diperbaharui setiap
tahun dengan memakai konsep PDSA yaitu Plan, Do,Study, dan Act. Siklus
PDSA merupakan cara pintas untuk mengembangkan suatu rencana untuk
melakukan pengetesan perubahan (Plan), melaksanakan rencana (Do),
mengobservasi dan belajar dari konsekuensi yang ada (Study), dan
menentukan modifikasi apa yang harus dibuat (Act).

Pedoman Audit PPI harus dibuat berdasarkan referensi terbaru, dapat


diterima dan mudah diterapkan, bertujuan untuk mengembangkan kebijakan
dan prosedur PPI. Umpan balik hasil audit PPI kepada staf diharapkan akan
mewujudkan perbaikan melalui perubahan pemahaman (mind set) dan
perilaku petugas yang secara tidak langsung akan berdampak pada upaya
perubahan perilaku pasien dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan.
Audit dapat dilakukan oleh Komite PPI atau petugas terpilih lainnya.

1. Metode Audit
Prioritas dilakukan pada area yang sangat penting di fasilitas pelayanan
kesehatan, antara lain area risiko tinggi, yang dievaluasi melalui hasil
surveilans atau KLB. Audit yang efektif terdiri dari suatu gambaran lay
out fisik, kajian ulang atau alur traffic, protocol dan kebijakan, makanan
dan peralatan dan observasi dari praktik PPI yang sesuai. Audit harus
dilaksanakan pada waktu yang sudah ditentukan, dapat dilakukan
dengan wawancara staf dan observasi keliling, audit ini sederhana
namun menghabiskan banyak waktu, sehingga disarankan
menggunakan siklus cepat rencana audit.

2. Persiapan Tim Audit


Semua tenaga kesehatan dan staf pendukung harus dimasukkan dalam
persiapan suatu audit. Tim harus diberi pemahaman bahwa tujuan audit
adalah untuk memperbaiki praktik PPI yang telah dilaksanakan.
Pertemuan sebelum audit sangat penting untuk menjelaskan dan
mendiskusikan target dan objektif dari audit, bagaimana hal tersebut
akan dilakukan, dan bagaimana hasilnya akan dilaporkan. Hal ini bukan
berarti untuk menghukum atau mencari kesalahan.
Staf harus memahami bahwa pendekatan objektif dan audit akan
dilakukan secara konsisten dan kerahasiaannya akan dilindungi. Tim
audit harus mengidentifikasi para pemimpin di setiap area yang di audit
dan terus berkomunikasi dengan mereka. Pengambil keputusan dan
pembimbing perlu untuk mendukung tim audit jika terdapat perubahan
yang diperlukan setelah audit.

Pengisian kuisioner oleh pegawai tentang praktik PPI yang aman harus
dibagikan dan disosialisasikan sebelum adanya audit.Kuisioner dapat
dikembangkan terus-menerus membantu penentuan praktik area yang
harus diaudit. Responden mencantumkan identitas dengan pekerjaan
(contoh: perawat, dokter, radiographer, costumer services). Kuisioner
bisa kembali tepat waktu. Satu orang pada setiap area survei harus
ditanyakan untuk memastikan kuisioner lengkap dan aman untuk
pengumpulan dan tabulasi oleh tim audit. Hasil dapat mempersilahkan
Komite PPI untuk menentukan dimana edukasi tambahan
diperlukan.Diseminasi hasil dan diskusi jawaban yang benar dapat
digunakan sebagai alat edukasi. dimodifikasi agar sesuai dengan
departemen atau area yang diaudit.Suatu tenggat waktu harus diberikan
sehingga kuisioner

3. Prinsip – prinsip dasar


Bundles adalah kumpulan proses yang dibutuhkan untuk perawatan
secara efektif dan aman untuk pasien dengan treatment tertentu dan
memiliki risiko tinggi. Beberapa intervensi di bundle bersama, dan ketika
dikombinasikan dapat memperbaiki kondisi pasien secara signifikan.
Bundles sangat berguna dan telah dikembangkan untuk VAP, ISK dan
IADP. Suatu set bundles termasuk:
a. Suatu komitmen pernyataan dari tim klinis.
b. Chart sebab akibat yang menggambarkan bukti untuk praktik yang
optimal dan digunakan juga untuk RCA dari ketidaksesuaian,
dalam hubungannya dengan standar.
c. SOP untuk bundle termasuk kriteria spesifik.
d. Lembar pengumpul data.
e. Penjelasan bundle kepada staf klinik (grup diskusi, presentasi slide).
Bundles secara khusus terdiri atas set kritikal kecil dari suatu prosedur
(biasanya 3-5), semuanya ditentukan oleh bukti kuat, dimana ketika
dilakukan bersama-sama menciptakan perbaikan yang bagus. Secara
sukses dalam melengkapi setiap langkah adalah suatu proses langsung
dan bisa diaudit.
Jenis audit:
a. Toolkit audit dari “the Community and Hospital Infection Control
Association” Kanada.
b. Toolkit audit WHO.
c. Audit dilaksanakan pada :
d. Kebersihan tangan (kesiapan dan praktik, suplai seperti sabun,
tissue, produk handrub berbasis alkohol).
e. Memakai kewaspadaan standar/praktik rutin.
f. Menggunakan kewaspadaan isolasi.
g. Menggunakan APD.
h. Monitoring peralatan sterilisasi.
i. Pembersihan, disinfeksi, dan sterilisasi peralatan pakai ulang
seperti bronkoskopi, dan instrument bedah.
j. Pembersihan area lingkungan perawatan.
k. Praktik HD, peralatan dan fasilitas.
l. Praktik PPI di OK,aseptik, dan antiseptik pra-bedah, kontrol alur,
persiapan kulit pasien, pencukuran (pada daerah khusus),
kebersihan tangan bedah, dan antibiotika profilaksis.
m. Praktik dan alat medis yang diproses ulang di klinik dan kantor
dokter.
n. Isu-isu keselamatan kerja seperti tertusuk benda tajam/jarum,
vaksinasi petugas.
o. Manajemen KLB.
p. Alat audit sendiri untuk Komite PPI.
Data audit dapat digunakan sebagai tujuan/target tahunan program PPI.
Juga dapat membantu dalam pengambilan keputusan pemenuhan
standar di fasyankes.
4. Laporan
Hasil audit yang telah lengkap dikaji ulang bersama pihak manajemen
dan staf di area yang diaudit sebelum dilaporkan. Di dalam laporan
harus diinformasikan bagaimana audit dilakukan, metode yang dipakai,
data kepatuhan, temuan, dan rekomendasi.
Laporan audit bisa tercakup di dalam :
a. Laporan mingguan: memberikan umpan balik yang cepat (contoh
selama KLB atau setelah terjadi kejadian tertusuk jarum).
b. Laporan Bulanan: berisikan tentang surveilans, hasil audit,
edukasi, pelatihan, dan konsultasi.
c. Laporan per empat bulan: merupakan laporan formal termasuk
rekomendasi.
d. Laporan tahunan: suatu ringkasan audit yang dilaksanakan
selama setahun dan menghasilkan perubahan atau perbaikan,
biasanya diilustrasikan dengan grafik.
Monitoring dan Evaluasi Berkala
1. Monitoring kejadian infeksi dan kepatuhan terhadap pelaksanaan PPI
dilakukan oleh IPCN dan IPCLN.
2. Monitoring surveilans menggunakan formulir terdiri dari : formulir pasien
pasien baru, formulir harian, dan formulir bulanan.
3. Kegiatan monitoring dilakukan dengan melaksanakan surveilans dan
kunjungan lapangan setiap hari oleh IPCN dan ketua komite jika
diperlukan.
4. Monitoring dilakukan oleh Komite/Tim PPI dengan frekuensi minimal
setiap bulan.
5. Evaluasi oleh Komite/Tim PPI minimal setiap 3 bulan.

V.B. PELAPORAN
1. IPCN membuat laporan rutin: 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun atau jika
diperlukan.
2. Komite/Tim PPI membuat laporan tertulis kepada pimpinan fasyankes
setiap bulan dan jika diperlukan

BAB VI
PENUTUP

Buku pedoaman Pencegahan dan Pengendalian Infekasi di Rumah Sakit Panti


Wilasa “ Dr.Cipto” Semarang ini di harapkan dapat menjadi acuan bagi semua pihak
yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
kesehatan, terutama dalam mewujudkan keselamatan pasien di Rumah Sakit Panti
Wilasa “Dr.Cipto” Semarang, serta melindungi para petugas, pengunjung dari
kemungkinan terpapar HAIs, sehingga penerapan PPI ini berdampak pada
peningkatan kualitas yang bermutu, efektif dan efisien serta tercapainya kendali
mutu dan biaya dalam pelayanan kesehatan

Penerapan PPI di Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr.Cipto” akan terlaksana dengan
optimal bila di dukung oleh komitmen para pengambil kebijakan dan seluruh
petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan

Dirketur,
RS. PANTI WILASA “Dr. CIPTO”

dr. Daniel Budi Wibowo, M.Kes

Anda mungkin juga menyukai