Cerpen Perempuan
Cerpen Perempuan
Kutub selatan pindah ke sini,” celetukku sembari meraih kamera dan syal dari dalam
tenda.
Guci masih subuh dan suhunya hanya lima derajat Celcius, cukup untuk sekadar
membuat telapak kakiku beku . Tapi aku harus bergegas meninggalkan tenda demi bisa
menyaksikan golden sunrise di Bukit slamet , Padahal jika sedang di rumah , sepagi ini
aku pasti masih meringkuk di balik selimut , dan berkali-kali mematikan alarm yang sibuk
berteriak membangunkanku dari mimpi panjang .
“Kita kesiangan nggak, sih?” tanyaku pada seno yang berjalan beberapa langkah di
depanku .
“Mungkin , soalnya rombongan yang ada di depan kita tadi sudah jauh di depan sana ”
sahutnya sembari menunjuk jauh ke dalam kegelapan yang ada di hadapannya , Jalan
setapak serupa lorong hitam yang entah berujung di mana .
Gelap , hanya itu yang bisa kulihat . Tapi aku mengangguk , seolah mengiyakan apa yang
dikatakan Seno , yang aku tahu jalan yang sedang kami lalui ini akan mengantarkan kami
ke puncak Bukit slamet .
Jalanan yang mulus perlahan berubah menjadi terjal dan menanjak , Seno mendahului
langkahku , mengulurkan tangannya untuk membantuku yang padahal sama sekali tidak
kesulitan .
Karena perempuan yang nanti kerjanya di dapur?” aku balik bertanya , menghentikan
langkahku sembari melemparkan tatapan tajam ke arah Seno . Meskipun tentu tidak
terlihat dengan jelas dalam kegelapan .
“Kamu tahu Seno? Aku benci laki-laki yang menganggap enteng perempuan.”
“Pendidikan itu sangat penting bagiku , Karena aku ini perempuan , yang nantinya akan
menjadi guru pertama bagi anak-anakku , jadi aku mau anak-anakku mendapatkan yang
terbaik .”
Aku berhenti sejenak memasang sarung tangan yang sedari tadi hanya kusimpan di
dalam saku jaket .
“Memangnya kenapa?
Kamu penganut paham perempuan pendidikannya nggak boleh lebih tinggi dari laki-laki?
Kamu takut diremehkan?
Takut jadi suami yang gajinya nggak lebih tinggi dari istri? Lucu!”
entah karena apa aku sendiri berlari-lari kecil saat melihat puluhan manusia sudah duduk
berjajar di puncak Bukit slamet . Aku memilih berada di jalur tengah , bermaksud
menghindari jurang karena medan yang masih tertutup kabut . Sementara Seno berdiri di
hadapanku , mulai sibuk memotret dengan ponselnya .
Aku melirik jam di tangan kanan dia , baru pukul 05.10 WIB. Artinya , masih dua puluh
menit lagi untuk bisa menyaksikan matahari terbit . Meskipun meragukan karena kabut
cukup tebal dan belum ada tanda-tanda matahari akan menampakkan diri , hanya gelap
dan suhu sudah mencapai -2 derajat Celcius , Cukup untuk membuat tubuhku yang
dibalut tiga buah jaket perlahan menggigil .
Aku berkali-kali mengubah posisi duduk setelah memastikan arah matahari terbit melalui
kompas yang ada di ponsel dia . Naik ke tempat yang lebih tinggi , merebut posisi
beberapa rombongan yang memutuskan untuk turun karena putus asa . Lima menit
sebelum semburat keemasan mulai menampakkan diri dari balik kabut
tebal. sunrise slamet!
Seketika kameraku berduet dengan ponsel dia untuk mengabadikan setiap inci cahaya
matahari yang tampak , perlahan tapi pasti . Kabut mulai menghilang dan Gunung Slamet
tampak tinggi menjulang , gagah bersanding dengan matahari yang sudah tampak bulat .
Aku hanya mengekor di belakangnya , sambil sesekali memotret hal-hal menarik yang
secara tidak sengaja kutemui . Sementara Seno terlihat begitu serius memperhatikan
jalanan yang sebenarnya tadi sudah kami lewati , bedanya saat ini tampak lebih jelas
karena sudah terang .
“Nanti beli gucezz sama tempe ireng dulu ya, Ndri.”
“Oh iya , Soal yang tadi , sepertinya aku nggak bisa menikah sama kamu” , ucap Seno
tiba-tiba , masih tanpa melihat ke arahku .
Aku tetap diam . Ingin rasanya aku menanggapinya dengan gelak tawa . Karena bagiku
bukan masalah jika dia memilih untuk meninggalkanku hanya karena opini yang sedari
tadi kulontarkan . Toh, jika benar seperti itu , Tuhan sudah menunjukkan bahwa dia
bukanlah lelaki yang cintanya patut kuperjuangkan .
“Seenggaknya sampai kamu berhasil meraih apa yang kamu inginkan . Tapi aku cuma
bisa mendukungmu dengan cara seperti sekarang ini , tidak lebih.”