DISUSUN OLEH :
Kelompok 6
Muhammad Faiz 2003101010012
Farhan Bangsawan Ridwan 2003101010126
Raihan Nabila 2003101010160
Shiva Shack Maulina 2003101010303
Jihan Nabilah 2003101010411
Innayah Putri Tartila 2003101010040
DOSEN PENGAMPU :
DR. ISKANDAR A. GANI, S.H., M.HUM.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas pembuatan “Naskah Akademik tentang Reka Cipta
Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Perundang-Undangan Kelas D yang diampu oleh Bapak Dr. Iskandar A. Gani, S.H.,
M.Hum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menguraikan permasalahan tentang
pedagang kaki lima di Kota Banda Aceh serta untuk membentuk sebuah regulasi terkait dengan
penertiban dan penataan pedagang Kaki lima di Kota Banda Aceh.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Iskandar A. Gani, S.H., M.Hum,
selaku dosen mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan yang telah membimbing dan memberikan
pembelajaran dalam menulis dan memahami Naskah Akademik ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian sumber dan juga pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Kami
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam alinea ke IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mempunyai tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seuruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Sebagai implementasi dari amanat tersebut yaitu Negara Indonesia
menyelenggarakan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai
masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-
daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Tumbuhnya sector formal dan informal dalam kegiatan perekonomian
merupakan konsekuensi logis dari proses pembangunan. Kota yang dikenal sebagai
pusat pembangunan sector formal, menjadikan kota dipandang lebih menjanjikan bagi
masyarakat desa. Sehingga seringkali terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Kondisi tersebut dikenal dengan teori factor pendorong dan factor penarik dalam
urbanisasi.
Akan tetapi dalam realitanya kota tidak seperti apa yang diharapkan oleh kaum
migran. Tenaga kerja yang banyak tidak bisa sepenuhnya ditampung oleh sector formal,
sehingga tenaga kerja yang tidak tertampung dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya memilih sector informal. Dengan adanya sector informal ini kemungkinan
keresahan sosial sebagai akibat langkanya peluang kerja dapat meredam.
Salah satu sector informal yang menjadi fenomena di Kota Banda Aceh adalah
Pedagang Kaki Lima (PKL). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima dinyatakan bahwa pedagang kaki lima adalah
pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha
1
bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas
umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara
atau tidak menetap.1
Awal keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) disebabkan karena kurangnya
modal pedagang untuk menyewa sebuah tempat agar bisa berdagang atau berjualan dan
lebih praktis bagi pembeli dan penjual dalam melakukan transaksi. Para Pedagang Kaki
Lima (PKL) biasanya berdagang atau berjualan di pinggir jalan seperti trotoar maupun
badan jalan. Keberadaan Pedagang Kaki Lima kerap kali merusak keindahan dan
kebersihan kota bahkan menurunkan kualitas lingkungan hidup disekitarnya. Dan yang
paling krusial ialah terganggunya keamanan dan kenyamanan para pengguna jalan
yang melintas.
Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL kian marak terjadi.
Para PKL digusur oleh aparat pemerintah karena tidak memiliki izin usaha dan
berjualan di trotoar jalan bahkan di badan jalan. Dalam melihat fenomena keberadaan
PKL yang menjamur di Kota Banda Aceh, ternyata dapat dijadikan sebagai salah satu
potensi bagi pembangunan daerah yang pengembangannya juga harus diimbangi
dengan ketertiban dan penataan agar keberadaannya tidak merugikan pihak lain.
Pemerintah dalam hal ini telah melakukan penertiban terhadap Pedagang Kaki
Lima yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat di setiap daerah dengan
menugaskan aparat Pamong Praja. Namun sampai saat ini permasalahan pedagang kaki
lima masih belum tuntas. Begitu pula dengan penataannya, Pemerintah hanya
mengedepankan penertiban tanpa menata kembali tempat usaha pedagang kaki lima
tersebut.
Untuk menyikapi hal tersebut, diperlukan adanya ketentuan yang mengatur
tentang Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh. Dalam hal
ini berdasarkan latar belakang masalah yang telah djelaskan diatas, maka perlu kiranya
segera dibentuk perangkat hukum (Qanun) mengenai Penertiban dan Penataan
Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh.
Mengingat permasalahan diatas maka sekiranya diperlukan solusi terhadap
permasalahan pedagang kaki lima sehingga penataan bagi pedagang kaki lima dalam
menciptakan fungsi tata ruang kota dapat menjadi lebih optimal dan berjalan dengan
1
Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
2
baik seperti yang diharapkan. Dalam hal ini pemerintah bersama lembaga legislatif
memegang peranan penting untuk melakukan pengkajian kembali dengan melakukan
penyusunan suatu Naskah Akademik sebagai acuan dalam pembentukan Rancangan
Undang-Undang yang dimaksud.
1.2.Tujuan
Naskah Akademik ini bertujuan untuk memberikan kajian dan kerangka filosofis,
sosiologis, dan yuridis tentang Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota
Banda Aceh. Gambaran yang tertulis diharapkan dapat menjadi panduan bagi Dewan
Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh bersama Pemerintah Kota Banda Aceh untuk
mengkaji materi muatan Rancangan Qanun tentang Penertiban dan Penataan Pedagang
Kaki Lima di Kota Banda Aceh.
Tujuan dibuatnya Naskah Akademik ini adalah:
1. Memberikan landasan hukum dan kerangka pemikiran yang tepat bagi Rancangan
Qanun tentang Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh.
2. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang harus dimuat dalam
Rancangan Qanun tentang Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota
Banda Aceh.
Adapun materi sebagai dasar pengkajian meliputi:
Mengetahui dan memahami apa itu Pedagang Kaki Lima (PKL).
Mengkaji dan meneliti penyebab Pedagang Kaki Lima berjualan di bahu
atau pinggir jalan seperti Jl. Tengku Chik Pante Kulu No.847, Kp. Baru,
Kec. Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Jl. Jend. Ahmad Yani, Peunayong, Kec.
Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Jl. Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda
Aceh, Jl. Rama Setia, Merduati, Kec. Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Jl.
Lintas Sumatra 52, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Jl.
Sultan Iskandar Muda, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh.
Melihat bagaimana profil pedagang kaki lima di Kota Banda Aceh.
Mengetahui bagaimana dampak keberadaan pedagang kaki lima di Kota
Banda Aceh, dan peran yang harus dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh
dalam upaya mengatasi dan menertibkan pedagang kaki lima di Kota Banda
Aceh.
3
3. Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga
jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya.
4. Memberikan bahan dan data untuk menjadi bahan pembanding antara peraturan
perundang-undangan yang ada dalam merancang Rancangan Qanun tentang
Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh.
5. Menjadi pedoman dasar dalam penyusunan Rancangan Qanun Kota Banda Aceh
tentang Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh.
Lampiran : Berisi Legal Drafing atas Rancangan Qanun tentang Penertiban dan
Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh.
4
1.4.Metode Penulisan
Penulisan naskah akademik ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
hukum normatif. Artinya, penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
dan jurnal. Data dan informasi diperoleh dari hasil studi literatur tentang peraturan
perundang-undangan dan penelitian yang dideskripsikan secara terstruktur dan
sistematis.
Selanjutnya akan dilakukan analisa dari data dan informasi yang disajikan. Analisa
akan menyangkut isi dari data dan informasi yang disajikan serta keterkaitannya dengan
peraturan perundang-undangan yang berada pada level yang sama maupun peraturan
perundang-undangan yang berada diatasnya. Data dan informasi yang diperoleh
digolongkan dalam 2 jenis yaitu data primer dan data sekunder.
Bahan-Bahan Primer :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
7. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
9. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029
10. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
Bahan-bahan sekunder :
Wawancara dengan instansi pemerintahan
5
1.5. Teknis Analis Bahan
Bahan-bahan yang termuat dalam naskah akademik ini memuat kondisi nyata yang
dialami oleh masyarakat Kota Banda Aceh dan dianalisa secara kontekstual. Teknik
analisa ini terutama digunakan untuk menganalisa fakta-fakta sosiologis yang
mendasari pentingnya keberadaan Qanun tentang Penertiban dan Penataan Pedagang
Kaki Lima di Kota Banda Aceh. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa Qanun
tersebut memiliki landasan hukum yang jelas serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
6
BAB II
KAJIAN AKADEMIK
2
Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
7
2.2.Kajian Sosiologis
Landasan sosiologis diperlukan dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-
undangan agar kebutuhan masyarakat terhadap peraturan tersebut dapat berlaku dengan
efektif. Tujuan mendasar dibentuknya Qanun ini adalah untuk mencapai kemakmuran
rakyat dan pelayanan masyarakat yang lebih optimal. Dengan begitu, diharapkan setiap
aspirasi masyarakat Kota Banda Aceh dapat diwujudkan.
Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disingkat dengan PKL adalah istilah untuk
menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Secara etimologi atau bahasa,
pedagang biasa diartikan sebagai jenis pekerjaan yang berkaitan dengan jual beli.
Pedagang adalah orang yang bekerja dengan cara membeli suatu barang yang kemudian
barang tersebut dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi sehingga mendapat
keuntungan dari barang tersebut. Kaki lima diartikan sebagai lokasi berdagang yang
tidak permanen atau tetap. Dengan demikian, pedagang kaki lima dapat diartikan
sebagai pedagang yang tidak memiliki lokasi usaha yang permanen atau tetap. 3
Ada pandangan positif dari masyarakat Kota Banda Aceh dengan hadirnya para
pedagang kaki lima, antara lain masyarakat dapat membeli barang dengan harga yang
lebih murah karena para pedagang kaki lima tidak perlu menyewa toko sehingga harga
jual barang tidak begitu mahal. Tentu saja, dengan masih banyaknya pandangan positif
masyarakat terhadap PKL, maka para pedagang kaki lima Kota Banda Aceh akan
memilih berdagang di jalan yang ramai, seperti di Jl. Sultan Iskandar Muda dan
sejumlah tempat lainnya. Akan tetapi, tidak semua masyarakat Kota Banda Aceh
memiliki pandangan yang sama. Sebagian masyarakat merasa keberatan dengan adanya
pedagang kaki lima karena dapat menggangu kelancaran lalu lintas, kenyamanan para
pejalan kaki, kenyamanan untuk berolahraga, keindahan dan kebersihan kota semakin
menurun dan fungsi tata ruang kota semakin menurun serta jauh dari standar minimum
kota yang nyaman. Sehingga persoalan tersebut menjadi persoalan yang dilematis
dikalangan masyarakat.
Pemerintah Kota Banda Aceh melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
telah melakukan usaha yang maksimal demi terwujudnya ketertiban para pedagang
kaki lima. Dalam melaksanakan tugasnya, Sastpol PP menghadapi hambatan-hambatan
yang menyebabkan Satpol PP melanggar dari aturan yang telah ditetapkan yaitu Pasal
3
Dikutip dari https://www.academia.edu/11397299/Pedagang_Kaki_Lima, (diakses pada tanggal 20 November
2022, pukul 17.50 wib)
8
20 PP Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Pasal 20 tersebut
menyatakan bahwa pegawai negeri sipil Satpol PP wajib:
a) Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
b) Menaati peraturan perundang-undangan dan kode etik serta nilai agama dan
etika
c) Bertindak objektif dan tidak diskriminatif
d) Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa 4
Dalam hal ini, dikarenakan sulit untuk dikondusifkan penertiban pedagang
kaki lima sehingga seringkali Satpol PP bertindak tidak sesuai dengan yang tertuang
dalam aturan tersebut seperti melakukan penggusuran secara paksa serta menyita
barang dagangan para pedagang kaki lima. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Banda
Aceh harus mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Qanun untuk mengkonstruksi
kembali penertiban pedagang kaki lima yang lebih maksimal dan kemudian menata
tempat untuk pedagang kaki lima sebagai solusinya.
2.3.Kajian Yuridis
Tujuan adanya landasan yuridis adalah adalah agar sebuah Qanun yang akan
dibentuk memiliki landasan hukum yang kuat dan menjadi rujukan norma-norma yang
akan dituangkan untuk diimplementasikan di Kota Banda Aceh.
Berikut peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan dalam
penyusunan naskah akademik Qanun Kota Banda Aceh mengenai Penertiban dan
Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh antara lain:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembangunan. Artinya,
memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan
Peraturan lainnya.
4
Pasal 20 PP Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
9
lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, hubungan jalan dan pedagang kaki
lima sangat berkaitan dalam sektor ekonomi.
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang ini mengatur mengenai sanksi jika terjadi gangguan
fungsi jalan dan juga fasilitas pejalan kaki (trotoar).
10
Pasal 14 undang-undang ini menegaskan bahwa materi muatan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
5
Dikutip dari
https://docplayer.info/31832500-Naskah-akademik-rancangan-qanun-kabupaten-aceh-timur-tentang-penataan-
dan-pemberdayaan-pedagang-kaki-lima.html, (diakses pada tanggal 20 November 2022, pukul 19.00 wib)
11
9. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029
RTRW Kota Banda Aceh memuat tujuan, kebijakan, dan strategi
penataan ruang wilayah kota (penataan kota); rencana struktur ruang wilayah
kota; rencana pola ruang wilayah Kota Banda Aceh; penetapan kawasan
strategis Kota Banda Aceh; arahan pemanfaatan ruang wilayah Kota Banda
Aceh; dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Banda
Aceh.
10. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan
Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.
12
BAB III
SUBSTANSI
13
7. Bab VII, Pembinaan dan Pengawasan
Bagian ini akan termuat dalam Bab VII, dimana pada bagian ini akan menguraikan
kewajiban bagi pemerintah kota dalam hal melakukan pembinaan dan pengawasan
pedagang kaki lima di Kota Banda Aceh.
14
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari uraian bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
15
5.2 Rekomendasi
Untuk mendukung realisasi rancangan pembentukan Qanun tentang Penertiban
dan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banda Aceh terdapat beberapa hal yang
harus dicermati diantaranya:
Rancangan Qanun tentang Penertiban dan Penataan Pedagang Kaki Lima di
Kota Banda Aceh yang disusun dan dirancang berdasarkan Naskah Akademik ini perlu
untuk segera dibuat dan direalisasikan. Khususnya berkenaan dengan Batang Tubuh
Rancangan Qanun. Dan dalam pembentukan Qanun tersebut harus tetap
memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan. Serta hal-hal yang dimuat
dalam Qanun ini haruslah mencakup segala upaya pemerintah dalam mengatasi PKL
yang tetap mempertimbangkan landasan atau kajian filosofis, sosiologis dan yuridis.
Oleh karena itu, hal ini perlu untuk disosialisasikan sehingga mendapatkan tanggapan
dari masyarakat luas guna menjadi lebih sempurna dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
16
Lampiran
TENTANG
PENERTIBAN DAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Kota adalah Kota Banda Aceh.
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banda Aceh.
3. Walikota adalah Walikota Banda Aceh.
4. Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Kota
(DPRK) adalah DPRK Kota Banda Aceh.
5. Kepala Dinas Pasar adalah Kepala Dinas Pasar Kota Banda Aceh.
6. Pejabat adalah pejabat dinas terkait yang ditunjuk oleh Walikota.
7. Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah adalah Kantor Satuan.
8. Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.
9. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah adalah Kepala Satuan
Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh.
10. Satuan Polisi Pamong Praja adalah satuan yang bertugas melaksanakan
ketenteraman dan ketertiban umum serta penegakan Qanun, Keputusan
Walikota Banda Aceh, dan Peraturan Perundang-undangan terkait lainnya yang
berlaku.
11. Tim Terpadu adalah Tim Penertiban Umum yang terdiri dari berbagai
Dinas/Instansi terkait yang membantu Satuan Polisi Pamong Praja dalam
melaksanakan ketentraman dan ketertiban umum.
12. Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disebut PKL adalah penjual barang
dan/atau jasa yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu
yang bersifat tidak menetap/permanen dan biasanya menempati lokasi dan/atau
menggunakan lahan terbuka dan/atau tertutup yang diperuntukkan untuk
berdagang dan/atau menggunakan daerah milik jalan atau fasilitas umum,
dengan menggunakan sarana atau perlengkapan berdagang yang mudah
dipindahkan dan dibongkar pasang.
13. Ijin lokasi PKL adalah ijin yang wajib dimiliki oleh PKL untuk menjalankan
kegiatan usahanya pada jam dan lokasi tertentu.
14. Kawasan adalah batasan-batasan wilayah tertentu sesuai dengan pemanfaatan
wilayah tersebut yang dapat digunakan untuk lokasi PKL.
15. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi
segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas.
16. Trotoar adalah bagian dari jalan yang fungsi utamanya diperuntukan bagi
pejalan kaki.
17. Ruang milik jalan adalah sela-sela antara tempat untuk lalu lintas orang atau
kendaraan.
18. Penataan PKL adalah kegiatan yang bertujuan untuk memberikan lokasi baru
bagi PKL untuk berjualan secara tertib.
19. Retribusi adalah pungutan yang dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh kepada
PKL dalam wilayah Kota Banda Aceh.
20. Pembinaan dan pengawasan PKL adalah serangkaian kegiatan yang ditujukan
bagi PKL yang telah dilakukan penertiban, guna untuk dilatih kemampuannya
dan dilakukan pengawasan agar PKL tersebut tetap dapat tertib dalam berjualan.
21. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa yang
dilakukan dengan tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
22. Penggusuran adalah suatu kegiatan pemindahan objek yang melanggar
ketentuan dan/atau peraturan yang berlaku setelah dilakukan teguran baik
secara lisan maupun tulisan.
23. Pembongkaran adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh satuan/tim tertentu
yang diberi wewenang untuk melakukan pembongkaran terhadap objek yang
melanggar Qanun, Peraturan Walikota Banda Aceh dan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya yang berlaku.
BAB II
Pasal 2
(1) Penataan, pembinaan, dan pengawasan PKL dilakukan secara tertib, efisien, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan
kepatuhan.
(2) Dilakukannya penataan, pembinaan, dan pengawasan PKL ditujukan untuk mematuhi
dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
Pasal 3
(1) Pemerintah kota berwenang mengatur dan menata lokasi berjualan PKL sesuai dengan
RTRW kota.
(2) Tujuan dilaksanaknnya kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah untuk
penataan lokasi PKL berjualan, demi dapat terciptanya ketertiban, keamanan,
kenyamanan, dan keselamatan dalam masyarakat.
Pasal 4
(1) Penetapan lokasi ruang kota untuk PKL berjualan sebagaimana dimaksud dalam pasal
3, ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.
(2) Dalam menetapkan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Walikota harus
mempertimbangkan :
a. Kelancaran dan keselamatan dalam berlalu lintas.
b. Kelancaran pejalan kaki.
c. Kemudahan untuk akses pertokoan.
d. Waktu berjualan.
e. Fasilitas pendukung yang bertujuan untuk memberikan kemudahan masyarakat
dalam mengunjungi lokasi berjualan PKL yang telah ditertibkan.
(3) Penetapan lokasi PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan pada
tanah yang dikuasai oleh pemerintah kota atau tanah yamg dikuasai oleh pihak selain
pemerintah kota.
BAB IV
PERIZINAN
Pasal 5
(1) Setiap PKL yang ingin melakukan kegiatan usaha dan menggunakan lokasi ruang kota
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), wajib memiliki ijin penggunaan
lokasi dari Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Dalam pemberian ijin penggunaan lokasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1),
Walikota atau pejabat yang ditujuk harus mempertimbangkan kesesuaian antara jenis
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh PKL agar tidak tejadi persaingan usaha
tidak sehat.
Pasal 6
(1) Persyaratan PKL untuk mendapatkan izin melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan Walikota.
(2) Setiap PKL hanya dapat memiliki 1 (satu) ijin.
(3) Ijin berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kembali setelah memenuhi
persyaratan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1).
(4) Ijin dapat dicabut atau dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan pejabat yang
berwenang.
BAB V
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Pasal 7
Setiap orang dan/badan berhak :
a. menempati lokasi yang sudah mempunyai perizinan;
b. melakukan kegiatan usaha dilokasi yang sudah diizinkan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
c. mendapatkan akses fasilitas umum yang diperlukan untuk kegiatan usaha;
d. mendapatkan pembinaan kegiatan usaha dari pemerintah kota.
Pasal 8
Setiap orang dan/badan berkewajiban :
a. mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketertiban,
kebersihan, keindahan, keamanan, serta kesehatan lingkungan di lokasi usahanya;
b. menempatkan, menata barang dagangan dan peralatan dengan tertib dan teratur dengan
tidak menganggu lalu lintas dan kepentingan umum;
c. menempati sendiri lokasi usaha PKL sesuai dengan izin yang dimilikinya;
d. mengemas barang dan peralatan dagangan setiap kegiatan usaha selesai dilaksanakan;
e. menaati dan mematuhi terhadap perubahan lokasi berjualan;
f. menyerahkan tempat usaha PKL dengan tanpa meminta ganti rugi apapun, jikalau suatu
waktu pemerintah kota memerlukan lokasi yang menjadi tempat usaha PKL;
g. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh pemerintah kota.
Pasal 9
Setiap orang dan/badan dilarang :
a. menggunakan lahan Fasilitas umum tertentu untuk tempat usaha PKL;
b. melakukan kegiatan usaha dengan tempat usaha yang bersifat menetap;
c. berjualan dan/atau menempatkan barang-barang pada lokasi yang mengganggu
ketertiban umum;
d. menggunakan lahan melebihi ketentuan yang diizinkan dalam jangka waktu tertentu;
e. memindakan izin usaha PKL kepada pihak lain, tanpa memberitahukan atau
melaporkan kepada pejabat yang berwenang;
f. melakukan kegiatan usaha dengan merusak dan/atau merubah bentuk fasilitas umum
dan/atau bangunan sekitarnya.
Pasal 10
Izin PKL dapat dicabut apabila :
a. mengkosongkan tempat usaha selama 2 (dua) bulan, tanpa melapor kepada pejabat yang
berwenang;
b. melalaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
c. melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
d. melakukan usaha yang bertentangan dan/atau menganggu ketertiban umum dan
kesusilaan;
e. masa perizinan telah selesai dan/atau tidak diperpanjang oleh PKL yang bersangkutan.
BAB VI
RETRIBUSI
Pasal 11
(1) Atas pemanfaatan ruang untuk PKL dipungut Retribusi.
(2) Besaran jumlah dan mekanisme pembayaran Retribusi yang dibayarkan PKL pada
setiap bulannya, akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Walikota.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 12
(1) Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan PKL di
Kota Banda Aceh.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) ditujukan
terhadap PKL yang telah dilakukan penataan oleh pemerintah kota Banda Aceh.
(3) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Dinas Pasar dengan melibatkan Asosiasi Pedagang Kaki Lima.
(4) Dalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Dinas Pasar dapat bekerjasama dengan pihak swasta yang memiliki keahlian dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan PKL.
(5) Penentuan syarat atau kriteria pihak swasta yang dapat bekerjasama dengan Dinas
Pasar dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Walikota.
Pasal 13
Kegiatan pembinaan PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, meliputi:
(1) Kegiatan mendidik dan menginformasikan kepada PKL tentang pentingnya menjaga
dan menciptakan lingkungan yang bersih dan asri.
(2) Kegiatan pelatihan kepada PKL dalam mengembangkan kemampuan dibidang
pemanfaatan sampah atau limbah hasil dagangan.
Pasal 14
(1) Kegiatan pengawasan PKL sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 ialah suatu
kegiatan yang bertujuan untuk menilai keberhasilan dari penataan dan pembinaan
PKL.
(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan pengawasan PKL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
Walikota.
BAB VIII
TEGURAN
Pasal 15
(1) PKL yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 akan ditegur
secara lisan oleh Satuan Polisi Pamong Praja.
(2) Dalam hal setelah dilakukan teguran secara lisan 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) maka dapat dilakukan teguran secara tertulis.
Pasal 16
(1) Teguran sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 diatas setelah mendapat persetujuan
dari Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Banda Aceh;
(2) Limit waktu teguran secara lisan kesatu dan teguran kedua adalah selama 3 × 24 jam;
(3) Limit waktu teguran tertulis kesatu dan teguran kedua adalah selama 7 × 24 jam;
(4) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilaksanakan, maka
dapat dilakukan tindakan penggusuran dan/atau pemindahan.
Pasal 17
Setelah mendapat teguran lisan sebanyak 2 (dua) kali dan teguran tulisan sebanyak 2
(dua) kali, maka akan dilaksanakan pembongkaran terhadap objek dimaksud oleh Satuan
Polisi Pamong Praja atau Tim Terpadu Kota Banda Aceh.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 18
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak Pidana dibidang
Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan
dengan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan
tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak Pidana
Retribusi Daerah tersebut;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan
dengan Tindak Pidana dibidang Retribusi Daerah;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana dibidang Retribusi Daerah;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan
dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti
tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
dibidang Retribusi Daerah;
g. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang Retribusi Daerah menurut hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 19
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 diancam pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah);
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 20
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Qanun ini, Walikota berwenang
memerintahkan pejabat dari dinas atau instansi terkait untuk membongkar tempat usaha
dan/atau menyita barang dagangan dan/atau peralatan yang dipergunakan untuk usaha PKL,
serta mencabut ijin tempat usaha PKL.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Dengan disahkannya Qanun ini maka segala ketentuan yang mengatur Pedagang Kaki Lima
yang bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 22
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai ketentuan pelaksanaannya
akan ditetapkan oleh Walikota.
Pasal 23
ATAS
NOMOR…. TAHUN….
TENTANG
I. UMUM
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
● Skripsi :
A, Rasdiana. 2013. “Tinjauan Pedagang Kaki Lima Pasar Senggol dan Sekitarnya Di
Kota Parepare”. Skripsi. Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Hasanudin,
Makassar.
● Peraturan Perundang-undangan :
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012
tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
3. PP Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
4. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
5. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
6. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
7. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
10. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
● Website Internet :
- Kusnadi. Liana. 2016. Qanun Kabupaten Aceh Timur Nomor 11 Tahun 2014
Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
https://docplayer.info/36244133-Qanun-kabupaten-aceh-timur-nomor-11-
tahun-2014-tentang-penataan-dan-pemberdayaan-pedagang-kaki-lima.html
(diakes pada tanggal 20 November 2022, pukul 19.00 wib.