Anda di halaman 1dari 96

PERTIMBANGAN PERAWATAN DENTAL

DENGAN PENDEKATAN FARMAKOLOGI


PADA PENYANDANG SINDROM DOWN

i
Page | ii
PERTIMBANGAN PERAWATAN DENTAL
DENGAN PENDEKATAN FARMAKOLOGI
PADA PENYANDANG SINDROM DOWN

Penulis
Prof. Dr. Willyanti Soewondo, drg., SpKGA(K)

PENERBIT DreXa BANDUNG

Page | iii
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang keras memperbanyak, mengkopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.

©2023, Penerbit DreXa, Bandung


xii + 84 hlm; 14,8 x 21 cm

Judul Buku : Pertimbangan Perawatan Dental


dengan Pendekatan Farmakologi pada
Penyandang Sindrom Down
Penulis : Prof. Dr. Willyanti Soewondo,
drg., SpKGA(K)
Penelaah : Dr. Nanan Nuraeny, drg., Sp.PM(K)
Prof. Dr. Inne Suherna Sasmita,
drg., Sp.KGA, Subsp. KKA(K)
Editor : drg. Iwan Ahmad Musnamirwan,
Sp.KGA . KKA(K)
Penerbit : DreXa, CV
Email: drexa.bdg@gmail.com
Cetakan Kesatu : Januari 2023
ISBN : 978-623-491-057-5
Anggota IKAPI No. 329/JBA/2018

Page | iv
Kata Pengantar

Bismillahirrahmaanirrohim………
Alhamdullilah segala Puji bagi Allah dan syukur yang
tiada hentinya penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
telah mencurahkan rahmat dan karuniaNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul
Pertimbangan Perawatan Dental dengan Pendekatan
Farmakologi pada Penyandang Sindrom Down.
Buku ini ditulis dalam rangka membantu memberikan
informasi tentang pertimbangan pemilihan tehnik
Perawatan dental dengan pendekatan Farmakologi pada
penyandang Sindrom Down sehingga diperoleh kesehatan
gigi dan mulut yang baik, yang dapat meningkatkan
kualitas hidupnya.
Penyusunan buku ini dimulai dengan uraian singkat
mengenai Pendahuluan, Definisi, Epidemiologi, Tipe
Sindrom Down, Etiologi Diagnosa, Pertimbangan
Pemilihan tehnik pendekatan dengan farmakologi pada
penyandang Sindrom Down.

Bandung, Desember 2022

Page | v
Page | vi
Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................v


Daftar Isi ....................................................................vii
Daftar Gambar…………………………………………….ix
Daftar Tabel……………………………………………….xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sindrom Down Sebagai Salah Satu Penyandang
Disabilitas………………...………..………………..…1
1.2 Epidemiologi ...........................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sindrom Down .......................................9
2.2 Manifestasi Klinis Penyandang Sindrom Down ......10
2.3 Etiologi Sindrom Down .........................................17
2.3.1 Faktor Ibu ...........................................................18
2.3.2 Faktor Ayah .......................................................20
2.3.3 Mutasi Gen .........................................................21
2.3.4 Radiasi ...............................................................21
2.3.5 Obat-obatan ........................................................22
2.4 Patofisiologi Sindroma Down ................................22
2.5 Tipe Sindroma Down ............................................23
2.6 Diagnosa Sindroma Down .....................................23
2.6.1 Pemeriksaan Klinis .............................................24
2.6.2 Pemeriksaan Kromosom (Sitogenetik) .................24
2.7 Prognosis dan Harapan Hidup Penyandang Sindrom
Down…………………………………………………25
2.8 Kondisi Keparahan Sindrom Down .......................26
2.8.1 Kondisi Anak Sindrom Down Ringan .................27
2.8.2 Kondisi Anak Sindrom Down Sedang .................27
2.8.3 Kondisi Anak Sindrom Down Berat ….................28
2.8.4 Kondisi Anak Sindrom Down Sangat Berat ……..29

Page | vii
BAB III PERTIMBANGAN PERAWATAN DENTAL
DENGAN PENDEKATAN FARMAKOLOGI PADA
PERAWATAN DENTAL PENYANDANG SINDROM
DOWN
3.1 Sedasi ....................................................................34
1. Pengertian Sedasi...............................................34
2. Perbedaan Sedasi dengan Anestesi Umum..........36
3. Manajemen Sedasi dan Pertimbangannya...........36
4. Indikasi Sedasi...................................................40
5. Penilaian Pasien Presedasi/Pra Operasi..............41
6. Tingkatan Sedasi ...............................................43
7. Macam-macam Sedasi yang dapat Digunakan
untuk Disabilitas................................................47
8. Tipe Manajemen Sedasi.....................................51
9. Persiapan yang harus Dilakukan Sebelum Sedasi51
3.2 Anestesi Umum (General Anesthsia/GA)...............52
1. Pertimbangan Pemilihan Penggunaan Anestesi
Umum/GA pada Penyandang Sindrom Down...52
2. Anestesi Umum dalam Kedokteran Gigi Anak...58
1. Indikasi Penggunaan Anestesi umum General
Anaesthesi/GA pada Perawatan Dental.........58
2. Keterbatasan Penggunaan Anestesi Umum pada
Pasien Disabilitas..........................................63
3. Faktor yang Menjadi Pertimbangan dalam
Menentukan Jenis Pendekatan Perawatan Dental
dengan Pendekatan Farmakologis........................64
RINGKASAN ............................................................77
DAFTAR PUSTAKA .................................................79
TENTANG PENULIS….......…………………………..83

Page | viii
Daftar Gambar

Gambar 1. Gambaran kromosom pada Sindrom Down


(yaitu adanya ekstra kromosom pada kromosom 21).9
Gambar 2. Profil wajah Sindrom Down .......................12
Gambar 3. Garis Simian Crease pada penderita Sindrom
Down ...................................................................14
Gambar 4. Sandal Gap .................................................14
Gambar 5. Geographictongue pada penderita Sindrom ....17
Gambar 6. Hipoplasia email dan hipodontia pada pasien
Sindrom Down......................................................17
Gambar 7. Tonsil yang besar menyebabkan risiko
obstruksi jalan napas yang signifikan (alcaino)........40

Page | ix
Page | x
Daftar Tabel

Tabel 1. Perbedaan sedasi dan anestesi umum ..............36


Tabel 2. Tanda-tanda vital saat istirahat pada anak-anak
(alcaino) ................................................................42
Tabel 3. Indikasi dan justifikasi klinis untuk GA ...........60
Tabel 4. Pertimbangan untuk DGA pediatric.................62
Tabel 5. Kontraindikasi untuk penyediaan perawatan gigi
dengan penggunaan GA ........................................64

Page | xi
Page | xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Sindrom Down Sebagai Salah Satu Penyandang


Disabilitas
Special Health Care Needs/SHCN, anak berkebutuhan
khusus atau sekarang dikatakan disabilitas menurut
American Associations of Pediatric Dentistry (AAPD) adalah
adanya kelemahan perkembangan, mental, sensorik,
tingkah laku, kognitif maupun emosional atau kondisi
keterbatasan yang memerlukan penanganan medis,
intervensi kesehatan dan layanan atau program terapi.
Kondisi ini dapat bersifat kongenital, ataupun dapatan
karena penyakit, trauma atau karena faktor lingkungan.
Hal ini dapat mengakibatkan keterbatasan dalam
melakukan aktivitas merawat diri atau membatasi aktivitas
sehari-hari di dalam hidupnya.1
Menurut para pakar, individu/anak berkebutuhan
khusus/disabilitas adalah individu dengan kelainan fisik,
mental, kognisi, perilaku sosial, emosional maupun
dengan keterbatasan kesehatan dan umumnya pasien

Page | 1
dengan Special Health Care Need/SHCN berisiko tinggi
untuk terkena penyakit.1-3
Istilah lainnya untuk anak berkebutuhan khusus
adalah disability/disabilitas yaitu kurangnya kemampuan
untuk berpartisipasi secara normal dalam masyarakat.2,3
Beberapa kondisi yang menyebabkan seseorang
terbatas ialah adanya kelainan fisik yang memerlukan
tindakan ortopedik, penglihatan, bicara dan kelemahan
pendengaran, cerebral palsy, muscular distrophy, multiple
sclerosis, retardasi mental dan ketidakmampuan belajar
dengan spesifik, epilepsi, kanker, penyakit jantung,
diabetes, sakit jiwa, ketergantungan obat dan alkoholisme
Sindrom Down.3,5
Salah satu yang termasuk anak disabilitas adalah
penyandang Sindrom Down.1-5 Penyandang Sindrom
Down memiliki kelebihan kromosom pada kromosom 21,
hal ini mengakibatkan keterbatasan pada fungsi intelektual
yang terhambat, hipotonia dan keterbatasan motorik serta
ciri-ciri spesifik lainnya.
Adanya keterbatasan pada individu dengan keadaan
fisik, mental ataupun keduanya mengakibatkan individu
tersebut tidak dapat melakukan aktivitas kehidupan normal

Page | 2
sehari-hari secara mandiri melainkan harus dibantu secara
total oleh orang lain. Penyandang Sindrom Down tidak
mampu menjaga kesehatan gigi dan mulutnya dengan baik
hal ini akan mengakibatkan peningkatan risiko
peningkatan psenyakit gigi mulutnya yang berdampak
langsung terhadap kesehatan mulut umumnya sehingga
dapat menurunkan kualitas hidupnya. Menurut American
Academy of Pediatric Dentistry, spesialis terkait yang dilatih
untuk merawat kesehatan gigi dan mulut pasien
berkebutuhan khusus adalah pediatric dentist atau dokter
gigi spesialis kedokteran gigi anak (SPKGA).
Dokter gigi anak harus memiliki kemampuan
merawat rongga mulut anak berkebutuhan khusus secara
komprehensif baik secara emosi, fisik dan mental anak-
anak ini juga anak-anak dengan penyakit kronis sistemik.3,4
Perawatan kesehatan untuk penyandang Sindrom
Down memerlukan pengetahuan spesialistik yang
diperoleh dengan pelatihan tambahan tenaga medis
terkait.2,4
Tim kesehatan yang langsung berkaitan dengan
pemeliharaan kesehatan adalah dokter spesialis anak,
dokter gigi anak, dokter mata, THT, neurolog, ahli

Page | 3
jantung, psikolog, ahli terapi bicara, terapi okupasi dan ahli
rehabilitasi medik.3-5
Dalam melakukan perawatan dental dokter gigi anak
dapat melakukan perawatan dengan tehnik seperti tehnik
non farmakologi, yaitu pendekatan secara
psikologis/manajemen perilaku dan tehnik farmakologi
yaitu pendekatan perawatan dental dengan menggunakan
obat-obatan dapat dengan tehnik sedasi bahkan anestesi
umum.6-8
Penyandang Sindrom Down umumnya mempunyai
tingkat kecemasan yang lebih tinggi dari anak normal.
Ketika dokter gigi harus menangani pasien dengan tingkat
kecemasan tinggi yang membutuhkan perawatan dental
yang kompleks, harus diputuskan metode pendekatan
perawatan yang paling tepat untuk mengelola rasa sakit
dan kecemasan mereka.
Agar perawatan dental penyandang Sindrom Down
berhasil baik maka dokter gigi harus memahami kondisi
pasien secara komprehensif, lengkap dan juga memahami
rencana perawatan yang tepat, yang meliputi juga cara
pendekatannya. Dalam penggunaan pendekatan
perawatan dental dengan farmakologi terdapat berbagai

Page | 4
teknik yaitu tehik dengan sedasi sadar yang dapat
digunakan, bahkan dengan sampai anestesi umum.6-8
Umumnya penyandang Sindrom Down sebaiknya
ditangani secara dini oleh tim dokter secara multidisipliner
di unit Special Care Dentistry, yaitu suatu pelayanan dental
terpadu dengan dokter gigi anak dalam tim yang berperan
untuk mengevaluasi dan menangani keadaan intra oral dan
extra oral.9
Secara umum perawatan gigi dan mulut anak-anak
ini tidak dapat secara konvensional. Special care dentistry
tidak seperti spesialisasi gigi lainnya, disini pendekatan
perawatan tidak ditentukan oleh prosedur gigi, tetapi lebih
ditentukan oleh keadaan/kondisi pasien. Dalam hal ini
termasuk pasien dengan gangguan fisik, intelektual, medis,
emosional, sensorik, mental atau sosial, atau kombinasi
dari faktor-faktor tersebut. Untuk membuat keputusan
kapan sebaiknya memilih menggunakan sedasi atau
anastesi umum, di mana dapat dilakukan perawatan
apakah di tempat praktek atau di rumah sakit dan jenis
perawatan apa yang harus dilakukan.
Buku ini menjelaskan macam pendekatan
farmakologi yang ada dan faktor-faktor yang

Page | 5
dipertimbangkan yang memengaruhi proses pengambilan
keputusan tentang pendekatan perawatan yang akan
dilakukan oleh Dokter gigi. Dokter gigi umum (General
Dentist Practicioner) mungkin tidak dapat menawarkan
perawatan ini di tempat mereka, tetapi dengan mengetahui
lebih banyak proses dan informasi yang diperlukan dapat
membantu orang tua dan pasien untuk mengambil
keputusan dalam menentukan tipe pendekatan perawatan
dentalnya dengan tehnik farmakologis apakah dengan
sedasi oral, ataupun inhalasi, intravena atau anestesi
umum.
Didalam hal pendekatan farmakologi diperlukan
kerjasama secara multidisiplin dengan dokter spesialis
anestesi, dokter spesialis anak, sebagai informasi kesehatan
umum, dokter gigi anak yang mengevaluasi kesehatan gigi
dan mulut anak serta melakukan perawatan dentalnya.

1.2 Epidemiologi10-14
Jumlah penderita Sindrom Down di seluruh dunia
diperkirakan sekitar delapan juta orang. Sindrom Down
merupakan kondisi kelainan kromosom yang paling
umum didiagnosis, setiap tahunnya sekitar 6.000 bayi

Page | 6
yang lahir di Amerika Serikat memiliki Sindrom Down,
saat ini Sindrom Down terjadi pada sekitar satu dari setiap
700 kelahiran bayi.10 Berdasarkan data Indonesia Center for
Biodiversity and Biotechnology (ICBB) terdapat lebih dari
300.000 anak Sindrom Down di Indonesia.11
Di amerika serikat terdapat 400.000 penyandang
Sindrom Down, sedangkan data Riskesdas tahun 2013
terdapat 0,13 persen penyandang Sindrom Down di
Indonesia. Penelitian mengenai prevalensi Sindrom Down
di Priangan timur adalah sebesar 459 jiwa atau 0,07 persen
dari total populasi.12
Penelitian di RSUD Serang Indonesia pada tahun
2007-2010 ditemukan sekitar dua sampai empat kasus
setiap tahunnya.13 Sebuah penelitian yang dilakukan di
Yayasan Pembinaan Anak Cacat Palembang pada tahun
2012 melaporkan bahwa dari 112 siswa YPAC
Palembang, 33 siswa (29%) menderita Sindrom Down.
Jawa Barat memiliki prevalensi Sindrom Down tertinggi
di Indonesia, yaitu sekitar 50,90%.14

Page | 7
Page | 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sindrom Down


Istilah Sindrom Down diambil dari seorang dokter
Inggris yang bernama Langdon Down, memberikan
gambaran klinis dari penderita sindrom ini pada tahun
1866. Sindrom Down/Trisomi 21 ini mula–mula disebut
Mongolism, tapi kemudian istilah Mongolism ini dikritik oleh
banyak orang karena seolah–olah mengingatkan atau
melibatkan suatu ras bangsa tertentu. Penulis–penulis
Anglosaxon lebih sering memakai istilah “Down’s
Syndrome”.

Gambar 1. Gambaran Kromosom Pada Sindrom Down (yaitu


adanya ekstra kromosom pada kromosom 21) 5

Page | 9
Sindrom Down adalah suatu sindrom yang
disebabkan oleh adanya ekstra kromosom pada kromosom
21 baik salinan penuh atau sebagian. Hal ini dapat terjadi
saat perkembangan sperma atau ovum.2-6
Penyandang Sindrom Down berisiko lebih besar
untuk terinfeksi berbagai macam penyakit sistemik, selain
itu Sindrom Down adalah kondisi paling umum dari
retardasi mental.5,15

2.2 Manifestasi Klinis Penyandang Sindrom Down.1-


5,6,15

Manifestasi klinis Sindrom Down meliputi


manifestasi klinis secara umum, manifestasi oral dan
adanya penyakit penyerta seperti penyakit jantung bawaan,
kelainan saluran cerna, kelainan mata dan telinga, kelainan
endokrin, kelainan darah. Penyandang Sindrom Down
memiliki kekurangan fungsi chemotaksis neutrofil, adanya
penyakit saluran cerna yang sering terjadi adalah
konstipasi, nyeri perut dan nyeri saat buang air besar,
kondisi ini terjadi pada 50% Sindrom Down.6
Gejala yang paling utama pada penyandang Sindrom
Down adalah disabilitas intelektual dengan kurangnya

Page | 10
tingkat kecerdasan (IQ). Dengan menggunakan skala Binet
maupun skala Weshler IQ antara 50-70, terkadang bisa
mencapai 90. Ekstra kromosom 21 terdapat pada sel-sel
setiap anak yang Sindrom Down ras yang berlainan akan
mengakibatkan bentuk fisik anak akan serupa satu sama
lain.
Retardasi mental yang di derita memengaruhi tingkat
intelegensinya sehingga menyebabkan keterlambatan
perkembangan motorik dan kemampuan bicara.
Penyandang Sindrom Down memperlihatkan ciri-ciri
klinis umum seperti;2-6, 9,15
1. Kepala
Ukuran kepala anak Sindrom Down relatif kecil
(microcephali) dengan bagian belakang kepala yang
tampak mendatar (brachyphali) disertai dahi yang
menonjol. Anak Sindrom Down juga memiliki volume
otak yang lebih kecil dibandingkan dengan anak
normal.
2. Rambut
Anak Sindrom Down cenderung memiliki rambut yang
halus, lurus dan jarang.

Page | 11
3. Wajah
Wajah anak Sindrom Down terlihat bulat kecil apabila
dilihat dari depan dan profil wajah terlihat datar ketika
dilihat dari samping. Keadaan ini disebabkan karena
hipoplasia sepertiga tengah wajah pada anak Sindrom
Down.

Gambar 2. Profil wajah Sindrom Down2

4. Mata
Secara umum individu Sindrom Down memiliki
bentuk mata yang sipit dan sedikit miring ke atas
(upslanting eyes) serta terdapat lipatan kecil pada kulit
yang terletak vertikal diantara sudut bagian dalam
mata dengan batang hidung yang disebut dengan
brushfield spot yang menghilang setelah dewasa.

Page | 12
5. Hidung
Anak Sindrom Down memiliki hidung yang
cenderung kecil dengan batang hidung yang datar (flat
nasal bridge.
6. Telinga
Sindrom Down memiliki bentuk telinga yang
abnormal (displastic ear) dan anomali posisi telinga
yaitu terletak dibawah dari posisi telinga normal (low-
set-ear).
7. Leher
Bayi Sindrom Down memiliki kelebihan kulit di bagian
belakang leher (excessivennucal folds) ketika baru
dilahirkan, namun akan hilang pada saat mereka
tumbuh dewasa. Individu Sindrom Down juga
cenderung memiliki bentuk leher yang pendek dan
lebar.
8. Tangan
Tangan penyandang Sindrom Down sering terlihat
pendek dan lebar dengan jari-jari yang pendek dan
hanya memiliki satu ruas sendi.

Page | 13
Gambar 3. Garis Simian Crease pada penderita Sindrom Down4

9. Kaki
Jari kaki penyandang Sindrom Down biasanya pendek
dan cenderung gemuk dengan telapak kaki yang datar.
Diantara ibu jari dengan jari lainnya terdapat celah
lebar yang disebut dengan sandal gap.

Gambar 4. Sandal Gap

Page | 14
10. Kulit
Penyandang Sindrom Down cenderung memiliki kulit
yang kering dan terasa lebih kasar.
11. Hipotonia otot
Hipotonia atau kelemahan tonus pada penyandang
Sindrom Down dapat mengenai ekstrimitas dan otot
kraniofasial yang memengaruhi keterlambatan
perkembangan fisik dan kemampuan bicara. Hipotonia
otot-otot orofasial pada penyandang Sindrom Down
dapat menyebabkan terjadinya hipersalivasi (drooling),
masalah pengunyahan dan penurunan tingkat
kebersihan rongga mulut. Keadaan ini berdampak pada
kesulitan pembersihan gigi.
12. Immunodefisiensi
Penyandang Sindrom Down berisiko 12 kali lebih
tinggi dibandingkan orang normal untuk terkena infeksi
karena mereka mempunyai respon imun yang rendah
dari anak normal. Contohnya mereka sangat rentan
mendapat infeksi pneumonia.

Page | 15
Manifestasi Oral Penyandang Sindrom Down:2-6
1. Lidah protrusi dan membesar atau makroglosia atau
berfissura pada permukaan dorsal 2/3 anterior dengan
panjang dan kedalaman yang bervariasi, diikuti
dengan drooling.
2. Geographic tongue.
3. Permukaan dorsal lidah biasanya kering dan merekah
serta tepinya mempunyai pola cetakan gigi yang
dinamakan scalloped tongue.
4. Hipotonia otot termasuk otot mulut.
5. Palatum sempit dantinggi.
6. Mouth open Posture atau mulut terbuka.
7. Gigi konus, berbentuk lebih kecil dari gigi normal dan
sering ada yang tidak ada/missing.
8. Kelainanstruktur email gigi seperti adanya hipoplasia
dan hipokalsifikasi.
9. Terlambatnya erupsi dan eksfoliasi gigi.
10. Tingkat kebersihan mulut umumnya buruk, sering
terjadi periodontitis pada usia dini.
11. Mal oklusi.
12. Indek karies tinggi bagi yang mempunyai kesulitan
melakukan kebersihan mulut.

Page | 16
13. Prevalensi karies yang tinggi, bagi yang tidak ada
diastema dan juga tingkat kebersihan mulut yang
buruk sehubungan dengn hipotonia.

Gambar 5. Geographictongue pada penderita Sindrom2

Gambar 6. Hipoplasia email dan hipodontia


pada pasien Sindrom Down.2

2.3 Etiologi Sindrom Down


Penderita Sindrom Down mempunyai kelebihan 1
kromosom (3 Kromosom) 21 dalam tubuhnya yang disebut
dengan trisomi 21.

Page | 17
Penyebab tersering dari Sindrom Down ini adalah
trisomi tipe penuh 21 yaitu sekitar 92-95%, sedangkan
penyebab yang lain yaitu 4,8-6,3% karena tranlokasi.
Etiologi Sindrom Down adalah multifaktorial yaitu
adanya interaksi kelainan genetik berupa kelebihan salinan
kromosom 21 dan berbagai faktor risiko, seperti faktor ibu,
faktor ayah, radiasi dan obat-obatan3-5,6,15

2.3.1 Faktor Ibu 5,9,15,16


Faktor-faktor yang berperan pada terjadinya kelainan
kromosom adalah penuaan sel telur wanita. Pengaruh
intrinksik maupun ekstrinsik dalam sel induk yang
menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi
non-disjunction. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat
masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per
satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami
menstruasi.
Risiko terjadinya Sindrom Down meningkat seiring
meningkatnya usia ibu ketika hamil. Kelainan kehamilan
dan kelainan endokrin pada usia tua dapat mengakibatkan
infertilitas relatif. Kelainan ovarium juga memegang
peranan dalam terjadinya kelainan kromosom atau

Page | 18
Sindrom Down. Wanita berusia 30 tahun memiliki
kemungkinan melahirkan anak Sindrom Down 1:1000.
Kemungkinan tersebut meningkat menjadi 1:400 pada usia
35 tahun (Elsa, 2003). Wanita berusia 45 tahun, hampir 1
dari 30 kelahiran hidup melahirkan anak dengan Sindrom
Down. Insidensi kemungkinan munculnya Sindrom Down
semakin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan5.
Bertambahnya usia seorang wanita menyebabkan
risiko genetik karena ketika wanita menua, materi genetik
berupa sel telur juga menua. Usia di atas 35 tahun memiliki
risiko tinggi pada sel telur yang dapat menghasilkan
kelainan genetik. Penuaan materi genetik memungkinkan
terjadinya kesalahan saat pembelahan sel, yaitu selama
meiosis yang dapat mengakibatkan kekurangan atau
kelebihan kromosom. Sel telur wanita telah dibuat pada
saat wanita tersebut masih dalam kandungan yang akan
dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita
tersebut akil balik. Kondisi sel telur tersebut kadang-
kadang menjadi kurang baik dan pada waktu dibuahi oleh
sel telur laki-laki, sel benih ini mengalami pembelahan
yang kurang sempurna, dapat mengalami pembelahan
yang salah.

Page | 19
2.3.2 Faktor Ayah 5,9,15
Beberapa penelitian mengatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara usia ayah dengan kelahiran anak
Sindrom Down, namun penelitian lain mengatakan usia
ayah dapat memengaruhi kemungkinan melahirkan anak
dengan Sindrom Down. Orang tua dari anak dengan
Sindrom Down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra
kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya
tidak setinggi dengan usia ibu (Soetjiningsih, 2012). Risiko
memiliki anak Sindrom Down akan meningkat lebih tinggi
pada wanita berusia lebih dari 35 tahun yang menikah
dengan lelaki berusia lebih dari 55 tahun (Fisch, et al.,
2003). Penuaan sel spermatozoa laki-laki yaitu
pematangan sperma dalam alat reproduksi pria yang
berhubungan dengan akibat penurunan frekuensi
bersenggama dapat berperan dalam efek ekstra kromosom
21 yang berasal dari ayah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa paparan
bahan kimia dan bahan lain, misalnya radiasi dapat
menyebabkan mutasi pada sel germinativum pria.
Penelitian epidemiologis mengaitkan paparan merkuri,
timbal, alkohol, merokok, dan senyawa lain dari

Page | 20
lingkungan dan pekerjaan ayah berhubungan dengan
kelainan pada saat lahir. Usia ayah yang lanjut dapat
meningkatkan risiko Sindrom Down.

2.3.3 Mutasi Gen


Kelahiran anak sindroma Down dari wanita berusia
muda ini berhubungan dengan mutasi pada gen
methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR).13

2.3.4 Radiasi
Ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom Down
sekitar 30% pernah mengalami radiasi pada daerah perut
sehingga dapat terjadi mutasi gen pada anak.15 Radiasi
pengion mematikan sel-sel yang berproliferasi pesat
sehingga radiasi adalah teratogen kuat. Radiasi
menimbulkan hampir semua jenis kelainan pada saat lahir
bergantung pada dosis dan stadium perkembangan
konseptus pada saat paparan terjadi. Radiasi merupakan
agen mutagenik dan dapat menyebabkan perubahan
genetik pada sel germinativum dan malformasi
selanjutnya.15

Page | 21
2.3.5 Obat-obatan3,5,15
Obat antipsikotik dan anticemas, seperti fenotiazin,
litium, meprobamat, klordiazepoksid, dan diazepam dicurigai
menimbulkan malformasi kongenital. Pemakaian obat-
obatan selama kehamilan membawa risiko tinggi, selain
obat-obatan, alkohol juga merupakan penyebab utama
retardasi mental hingga kelainan struktural.15

2.4 Patofisologi Sindrom Down3,5


Semua oosit yang dibentuk berjumlah hampir 7 juta
apabila seorang perempuan dilahirkan. Oosit berada dalam
keadaan istirahat pada profase I dari meiosis, sejak sebelum
ia lahir sampai terjadi ovulasi sehingga oosit dapat tinggal
dalam keadaan istirahat untuk 12-45 tahun. Selama waktu
yang panjang tersebut, oosit dapat mengalami
nondisjunction, yaitu adanya virus, dan terkandung antibodi
tiroid tinggi, sel telur akan mengalami kemunduran apabila
setelah satu jam berada di dalam saluran fallopi tidak
dibuahi. Testis menghasilkan kurang lebih 200 juta
spermatozoa sehari dan meosis di dalam spermatosit
keseluruhannya membutuhkan 48 jam atau kurang.
Berhubungan dengan hal tersebut nondisjunction boleh

Page | 22
dikatakan tidak pernah berlangsung selama
spermatogenesis.

2.5 Tipe Sindrom Down3,5


Terdapat 3 tipe Sindrom Down yaitu berupa trisomi
21 tipe penuh, yaitu kelebihan ekstra kromosom 21 pada
seluruh sel mengandung 47 kromosom. Yang kedua adalah
tipe tanslokasi dan ketiga adalah tipe mosaik.
Sindrom Down yang paling banyak ditemukan
adalah 95% trisomi 21 penuh. Jenis Sindrom Down
mosaik 2-4%, translokasi robertsonian translokasi
resiprokal 1%.

2.6 Diagnosa Sindrom Down3,5,15


Diagnosa awal biasanya sudah dapat dibuat pada
awal kelahiran dengan melihat karakteristik dari fisik bayi
Sindrom Down yang khas. Diagnosa Sindrom Down dapat
dilakukan dengan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan kromosom atau sitogenetik.

Page | 23
2.6.1 Pemeriksaan Klinis
Sindrom Down tipe penuh memperlihatkan tanda
klinis yang lebih berat. Tanda–tanda klinis Sindrom Down
yaitu berat badan lahir rendah, pendek, 23 mikrocephali,
kepala datar, wajahdatar, low set ear, rambut halus lurus,
mata memperlihatkan up slanting of the eye, tangan
menunjukkan meta karpal dan phalanges, sindaktili,
klinodaktili simian crease kaki memperlihatkan adanya celah
(sandal gap) diantar jari pertama dan kedua. Tanda oral
yang paling umum adalah macroglosia fissured dan geographic
tongue, palatum tinggi dan hipotonia. Gigi memperlihatkan
adanya beberapa gigi yang hilang, terhambatnya erupsi gigi
sulung juga terhambatnya exfoliasi gigi. Hipotonia
mengakibatkan lidah terjulur, mulut cendrung terbuka, dan
drooling.

2.6.2 Pemeriksaan Kromosom (Sitogenetik)5,15


Pemeriksaan sitogenetik adalah studi tentang analisis
mengenai jumlah dan struktur umum dari 46 kromosom,
yang juga dikenal sebagai kariotip. Kromosom dari sel-sel
tubuh biasanya sel darah putih myeloid dan limfoid
dihitung jumlahnya normal atau tidak, kemudian struktur

Page | 24
kromosom dilihat apakah ada delesi atau duplikasi.
Pemeriksaan ini berperan untuk mendeteksi kelainan
bahan genetik yang diwariskan (herediter) maupun yang
terjadi secara spontan merupakan mutasi baru (de novo) dari
kelainan kromosom yang didapat setelah lahir (acquired)
akibat proses di dalam tubuh atau pengaruh
lingkungan.5,13,15.
Teknik sitogenetik digunakan untuk menilai jumlah
dan integritas kromosom. Teknik ini memerlukan sel yang
sedang membelah, yang berarti membuat biakan sel yang
dihentikan pada metafase dengan pemberian bahan kimia.
Kromosom diwarnai dengan Giemsa untuk
memperlihatkan pola pita terang dan gelap yang khas pada
setiap kromosom.

2.7 Prognosis Dan Harapan Hidup Penyandang


Sindrom Down
Prognosis Sindrom Down tergantung dari beratnya
kelainan yang diderita dalam hal ini adanya keparahan
penyakit sistemik yang menyertainya.
Angka kematian bisa setinggi 12% di tahun pertama,
terutama yang disebabkan oleh komplikasi jantung

Page | 25
kongenital. Dalam sebuah studi di Eropa pada tahun 1997,
pencapaian keterampilan self-help yang baik seperti self-
feeding dan mobilitas ditemukan sebagai petunjuk untuk
eksploitasi hidup sebesar 50%, 25% sedangkan dengan
keadaan yang buruk, hal ini dapat dikurangi menjadi 40%.
Semua anak dengan kondisi genetik, prognosisnya
tergantung pada tingkat keparahan malformasi organ
tubuh yang menyertainya. Banyak yang bisa dilakukan
secara osteopatik untuk pengembangan wajah, pernapasan
hidung, pendengaran dan ucapan serta interaksi sosial.
Bagian dari kesuksesan tersebut karena peningkatan tonus
otot, fungsi saluran pernapasan yang ditingkatkan.
Harapan hidup penderita Sindrom Down semakin baik
dengan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran. Harapan
hidup rata-rata kini mencapai 55 tahun.15

2.8 Kondisi Keparahan Sindrom Down


Dilihat dari derajat keparahannya Sindrom Down
dapat dikatagorikan dengan kondisi ringan, sedang, berat
sampai sangat berat. Menurut Wahyuningjati tahun 2015
menyebutkan karakteristik anak Sindrom Down menurut
tingkatan adalah sebagai berikut:

Page | 26
2.8.1 Kondisi Anak Sindrom Down Ringan
Penderita ini memiliki IQ antara 52-67 dan meliputi
bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa
IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.
Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja
normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan
kemampuan membuat 26 penilaian-penilaian. Mereka ini
edukabel atau dapat dididik. Kasus mereka diketahui sejak
dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari
orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar
biasa. Kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya
mendapatkan pendampingan dari orang tua serta
mendapatkan program pendidikan luar biasa. Sebagian
besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam
pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan
keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga
masyarakat yang mandiri.

2.8.2 Kondisi Anak Sindrom Down Sedang


Golongan ini memiliki IQ 36-51, sesudah dewasa IQ
mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Ada yang
agresif dan menunjukkan sikap bermusuhan terhadap

Page | 27
orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar
dan kemampuan mereka membentuk konsep sangat
terbatas, namun mereka trainable atau dapat dilatih.
Apabila kasus mereka diketahui secara dini, dan
mendapatkan latihan secukupnya, mereka dapat cukup
mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa produktif
secara ekonomi, baik dalam perawatan di rumah atau di
panti asuhan.

2.8.3 Kondisi Anak Sindrom Down Berat


Golongan ini memiliki IQ 20-35 atau sering disebut
“dependent retarded” atau penderita lemah mental yang
tergantung orang lain. Perkembangan motorik dan 27
kemampuan bicara mereka sangat terbelakang, sering
disertai gangguan sensorik dan motorik. Mereka dapat
dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka
juga dapat dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana,
sedangkan untuk semua hal lain yang lebih kompleks
mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.

Page | 28
2.8.4 Kondisi Anak Sindrom Down Sangat Berat
Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20 dan sering
disebut golongan “life support retarded”, golongan lemah
mental yang perlu didukung secara penuh agar dapat
bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka
sangat terbatas. Biasanya mereka memiliki kelainan fisik
berat dan mengalami patologi pada sistem saraf pusatnya
sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Mereka
sering mengalami kejang-kejang, tuli. Kesehatan
umumnya cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit,
sehingga biasanya tidak berumur panjang.

Page | 29
Page | 30
BAB III
PERTIMBANGAN PERAWATAN DENTAL
DENGAN PENDEKATAN FARMAKOLOGI
PADA PERAWATAN DENTAL
PENYANDANG SINDROM DOWN

Dalam praktek kedokteran gigi anak sering dihadapi


pasien yang tidak dapat dirawat secara konvensional
dengan optimal kecuali dilakukan dengan pendekatan
khusus agar pasien lebih kooperatif terhadap perawatan
dental baik secara emosional maupun fisik. Dalam
perawatan dental dapat digunakan pendekatan non
farmakologi/psikologi yaitu dengan manajemen perilaku
tanpa obat obatan dan dapat dengan pendekatan
farmakologis yaitu pendekatan perawatan dental dengan
menggunakan obat obatan.7,8
Umumnya anak dengan disabilitas mempunyai
ambang nyeri yang rendah dan umumnya penyandang
Sindrom Down mempunyai tingkat kecemasan yang lebih
tinggi daripada anak normal terhadap sesuatu atau hal baru
yang akan dihadapi termasuk perawatan dentalnya Pada
anak dengan tingkat kecemasan yang tinggi atau tidak
Page | 31
kooperatif biasanya digunakan pendekatan perawatan
dengan pendekatan farmakologis apabila tidak dapat
dengan pendekatan non farmakologis/pendekatan
perilaku.
Menangani pasien dengan tingkat kecemasan tinggi
yang membutuhkan perawatan gigi yang kompleks, akan
sulit untuk memutuskan cara yang paling tepat dalam
mengelola rasa sakit dan kecemasan mereka. Ada berbagai
pendekatan perawatan dental dengan teknik farmakologi
yaitu dengan sedasi sadar bahkan sampai dengan tehnik
anestesi umum yang mungkin diperlukan. Pendekatan
farmakologi dilakukan apabila pendekatan perilaku tidak
bisa dilakukan.
Umumnya perawatan dental pada anak penyandang
Sindrom Down dengan kecemasan tinggi dilakukan di unit
special care dentistry. Unit Special care dentistry tidak seperti
unit spesialisasi gigi lainnya; yaitu disini tidak ditentukan
oleh prosedur gigi, tetapi lebih ditentukan oleh kondisi
pasien. Dalam hal ini termasuk pasien dengan gangguan
fisik, intelektual, medis, emosional, sensorik, mental atau
sosial, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.8

Page | 32
Pasien disabilitas kemungkinan tidak dapat
memahami keperluan perawatan, mengkomunikasikan
perasaan, atau untuk duduk dan tetap tenang pada waktu
yang singkat atau lama. Beberapa pasien tidak dapat
menerima perawatan gigi karena beberapa keadaan seperti
rasa takut yang sangat, ambang nyeri batas rendah, rampan
karies, gangguan emosional, atau pengalaman perawatan
gigi sebelumnya. Pasien-pasien ini lebih mudah dirawat
dalam keadaan tersedasi bahkan dengan anestesi umum.
Untuk membuat keputusan kapan sebaiknya memilih
sedasi atau anastesi umum, di mana dapat dilakukan
perawatan dan perawatan apa yang harus dilakukan,
diperlukan beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan.
Dokter gigi anak berperan penting dalam
memutuskan pendekatan perawatan dan rencana
perawatan yang tepat. Untuk pasien disabilitas, termasuk
Sindrom Down terdapat keuntungan bila perawatan di
lingkungan familiar yang dekat dengan rumah dan dengan
anggota keluarga lainnya. Jika tidak dilakukan dengan tata
cara seperti itu, Dokter Gigi harus memberikan
pendekatan perawatan dengan tatacara lain.

Page | 33
Macam-Macam Pendekatan Dengan Tehnik
Farmakologi Pada Perawatan Dental Penyandang
Sindrom Down
Sebelum melakukan pendekatan dengan farmakologi
harus diketahui Risiko anaesthesi menurut American Society
of Anaesthesiologist (ASA) yaitu:3,7
ASA1; Pasien sehat.
ASA2; Pasien dengan penyakit sistemik ringn sampai
sedang.
ASA3; Pasien dengan penyakit sistemik berat.
ASA4; Pasien dengan gangguan sistemik yang mengancam
jiwa.
ASA5; Moribund patient/pasien gawat.
E: Pasien dengan gawatdarurat.
Pendekatan dengan tehnik farmakologi diantaranya;
3.1 Sedasi3,6-8
1. Pengertian Sedasi
Sedasi sadar adalah penekanan sistem saraf pusat
untuk mengurangi rasa cemas pasien yang ditandai
kurangnya kesadaran total, tidur secara anestetik jangka
pendek, sehingga perawatan dapat dilakukan dengan hasil
memuaskan. Reflex faring dan laring tidak teganggu

Page | 34
sehingga tidak mengganggu jalan nafas. Sifat utama
keadaan sedatif berkurangnya aktivitas fungsional Sistem
Saraf Pusat, idealnya tanpa mengganggu fungsi vital (Nadi,
Tensi, Respirasi).
Tujuan Sedasi
Tujuannya adalah menghilangkan kecemasan agar
mampu mengurangi psikologis sensasi nyeri,
menghasilkan pasien yang tenang untuk kualitas
perawatan terbaik. Sedasi dan/atau analgesia prosedural
menyiratkan bahwa pasien berada dalam keadaan toleransi
yang diinduksi obat terhadap prosedur diagnostik atau
intervensi medis, gigi atau bedah yang tidak nyaman atau
menyakitkan.
Sedasi menjadi pilihan pertama untuk pasien
disabilitas yang tidak dapat menerima perawatan dengan
anastesi lokal. Sedasi ini digunakan pada beberapa kasus
perawatan yang lebih kompleks daripada perawatan yang
dilakukan satu kali pertemuan dibawah anastesi umum. Di
Negara-negara Eropa biasanya sedasi lebih mudah
diperoleh daripada anastesi umum yang hanya disediakan
di lingkungan rumah sakit. Di Indonesia sudah mulai

Page | 35
terdapat unit Special care Dentistry di beberapa senter
pendidikan.

2. Perbedaan Sedasi Dengan Anestesi Umum


Perbedaan sedasi dan anestesi umum adalah dalam
tabel 1 di bawah ini:7

Tabel 1. Perbedaan sedasi dan anestesi umum


Sedasi Anestesi Umum
Kondisi pasien sadar Tidak sadar
Dapat mempertahankan jalan Tidak dapat mempertahankan
nafas jalan nafas
Dapat merespon rangsang dan Tidak dapat berkontak dengan
bereaksi terhadap petunjuk verbal kondisi sekeliling
Dapat membuat gerakan volunter Tidak ada gerakan volunter
mengikuti perintah dokter gigi
Waktu pemulihan singkat Waktu pemulihan lebih lama

3. Manajemen Sedasi dan Pertimbangannya3,7,8


Sering pasien tidak dapat dirawat optimal kecuali
dilakukan tindakan khusus agar lebih kooperatif terhadap
perawatan baik secara emosional maupun fisik. Beberapa
pasien tidak dapat menerima perawatan dental karena
beberapa keadaan, rasa takut, ambang batas rendah,

Page | 36
rampan karies, gangguan emosional, atau pengalaman
perawatan gigi sebelumnya. Penggunaan obat sedatif
terbukti merupakan cara paling efektif, untuk tercapainya
keberhasilan perawatan dental dengan berbagai keadaan
klinis. untuk hal ini. Indikasi manajemen sedatif pada
perawatan pasien disabilitas lebih sering dibandingkan
pada pasien normal.
Banyak penyandang disabilitas dapat menerima
perawatan gigi dengan anestesi lokal dalam tata cara
perawatan primer. Tetapi hal ini belum tentu terjadi pada
pasien lain, yang mungkin disebabkan oleh kecemasan,
kesulitan belajar, keterbatasan dalam bergerak tau
kombinasi dari beberapa faktor. Teknik sedasi dapat
digunakan untuk memberikan perawatan rutin, misalnya
perawatan periodontal non-bedah. Pasien dengan kondisi
medis, seperti epilepsi dan angina yang mungkin lebih
aman apabila pasien tersedasi terlebih dahulu
dibandingkan hanya dengan menggunakan anastesi lokal
saja (LA). Pemberian obat sedasi akan mengurangi risiko
kejang atau kecemasan yang mengarah ke serangan
iskemik.

Page | 37
Pertimbangan dalam hal melakukan manjemen
sedasi yaitu;
a. Manajemen sedasi dapat berhasil optimal dan efektif
jika terdapat hubungan kerjasama yang baik antara
dokter gigi dan pasien. Jika pasien sangat terbelakang
atau tidak dapat bekerja sama sehingga dokter gigi tidak
dapat bekerja sama dengan pasien, maka sedasi tidak
dapat dilakukan karena kedalaman sedatif dapat
dilakukan pada level berbahaya.
b. Adanya berbagai macam anomali anatomi seperti
retrognati, mikrostomia, dan makroglosia dapat
mempersulit pemeliharaan jalan nafas. Untuk pasien
dengan gangguan-gangguan tersebut, keadaan yang
menekan pernafasan harus dihindari kecuali ada
jaminan kapabilitas ventilatori melalui alat intubasi
endotrakhea, yang hanya dapat dilakukan selama
narkose umum.
c. Pada beberapa pasien, adanya hipersensitifitas atau
malfungsi organ, detoksifikasi obat yang biasa
digunakan dapat merupakan kontraindikasi. Pada
pasien lain, mungkin terdapat masalah medis kronis
sehingga obat hanya boleh diberikan di bawah

Page | 38
pengawasan di kamar operasi dan perawatan
pascaoperasi dari staf perawat profesional.
d. Terdapat Perbedaan anatomi pada saluran udara
pediatrik yaitu meliputi:
 Pita suara diposisikan lebih tinggi dan lebih
anterior.
 Bagian terkecil dari jalan napas pediatrik adalah
setinggi subglotis (di bawah tali pusat) setinggi
cincin krikoid.
 Anak-anak dengan lidah dan epiglotis yang relatif
lebih besar.
 Kemungkinan adanya massa tonsil/adenoid yang
besar (Gambar 7).
 Rasio ukuran kepala dan tubuh yang lebih besar
pada anak-anak.
 Mandibula yang kurang berkembang dan
retrognatik pada anak-anak dan bayi yang lebih
muda.
 Anak-anak dengan kapasitas paru-paru yang lebih
kecil dan laju metabolisme yang lebih tinggi, yang
menghasilkan cadangan oksigen yang lebih kecil.

Page | 39
Oleh karena itu, anak-anak mengalami desaturasi
lebih cepat daripada orang dewasa.

Gambar 7. Tonsil yang besar menyebabkan risiko obstruksi


jalan napas yang signifikan7

 Apabila dilakukan di klinik Special Care Dentistry


maka krieria pasien adalah pasien dengan kondisi
ASA 1, dan ASA II, apabila ASA3, maka harus
dilakukan di rumah sakit.

4. Indikasi Sedasi3,7
1. Pasien dengan ASA 1 dan ASA II.
2. Pasien dapat berkomunikasi, mengerti dan
menuruti instruksi dokter gigi dapat bersifat
kooperatif.
3. Anak yang gelisah dengan perkembangan kognisi
baik.

Page | 40
4. Pasien berbahasa verbal yang sama dengan dokter
gigi.

Kontra Indikasi Sedasi;


1. Pasien dengan kehamilam trimester 1.
2. Pasien disabilitas berat.
3. Pasien dengan infeksi saluran nafas, sinus, otak,
obstruksi bowel.

5. Penilaian Pasien Presedasi/Pra Operasi


Penilaian pra sedasi adalah salah satu faktor yang
paling penting ketika memilih macam tehnik sedasi.
Penilaian ini harus mencakup: tanda tanda vital pada anak
anak, riwayat medis, riwayat dental yang lengkap. Berat
badan lahir dan berat badan saat ini, ada tidaknya penyakit
respirasi/Infeksi saluran pernafasan atas saat ini.
a. Tanda Vital
Dokter harus menyadari bahwa anak-anak memiliki
tanda-tanda vital istirahat yang berbeda menurut usia
mereka (Tabel 2).

Page | 41
Tabel 2. Tanda-tanda vital saat istirahat pada anak-anak (alcaino)7
Usia Detak jantung Tekanan darah Frekuensi
(denyut/menit) (mmHg) pernapasan
(napas/menit)
Neonatus 120-170 75-85/45 45-60
2-4 tahun 110-130 90/50 40
4-6 tahun 100 100/60 30
10 tahun 90 110/60 25
15 tahun 80 120/65 12

b. Riwayat medis dan dental yang menyeluruh (termasuk


riwayat kelahiran dan neonatus, obat yang diminum
saat ini, riwayat rawat inap sebelumnya, dan operasi
sebelumnya).
c. Status medis pasien berdasarkan katagori ASA
dilakukan di tempat praktek adalah pasien dengan
criteria ASA 1, atau ASA 2. ASA 1 adalah pasien sehat,
ASA II adalah disertai penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
d. Perhatian lebih harus diambil dengan anak-anak di
bawah usia 5 tahun.
e. Berat badan pasien dan tanda-tanda vital.
f. Riwayat penyakit infeksi pernapasan atau penyakit
pernafasan baru-baru ini.

Page | 42
g. Penilaian jalan napas untuk menentukan kesesuaian
untuk sedasi atau anestesi umum.
h. Persyaratan puasa dan kemampuan orang
tua/pengasuh untuk mematuhi instruksi.
Keputusan untuk mensedasi seorang anak
memerlukan pertimbangan yang cermat oleh tim Spesial
Care Dentistry/SCD yang berpengalaman. Tim SCD terdiri
dari dokter anestesi, dokter anak, dokter gigi anak. Pilihan
teknik tertentu, obat penenang harus dibuat pada janji
konsultasi sebelumnya untuk menentukan kesesuaian anak
(dan orang tua mereka) untuk teknik tertentu. Dokter gigi
yang mempraktikkan sedasi harus mematuhi pedoman dan
undang-undang tentang sedasi di negara setempat mereka
dan menjalani pelatihan berkelanjutan dalam sedasi serta
keterampilan resusitasi tingkat lanjut.

6. Tingkatan Sedasi3,7
Terdapat beberapa tingkatan sedasi, yaitu sedasi
minimal, sedasi sedang atau dalam, dan General
Anestesia/GA atau anestesi umum.

Page | 43
1) Sedasi Minimal
Sedasi minimal (terminologi lama, 'anxiolysis')
adalah keadaan yang diinduksi obat di mana pasien
merespons perintah verbal secara normal. Meskipun fungsi
kognitif dan koordinasi terganggu, fungsi ventilasi dan
kardiovaskular tidak terpengaruh. Anak-anak yang telah
menerima sedasi minimal umumnya tidak memerlukan
lebih dari observasi dan penilaian intermiten tingkat sedasi
mereka. Beberapa anak akan menjadi cukup terbius
meskipun tingkat sedasi minimal, jika ini terjadi, maka
pedoman untuk sedasi sedang berlaku.

2) Sedasi Ringan3,7
Pasien dengan sedasi ringan dapat bekerjasama
secara aktif dalam perawatan misalnya membuka
mulutnya atas perintah dokter gigi dan pasien dapat secara
akurat mengatakan bagaimana keadaannya. Pengawasan
biasanya tidak lebih dari menanyakan pasien bagaimana
kondisinya.

Page | 44
3) Sedasi Sedang3,7
Sedasi sedang (istilah lama, sedasi sadar atau
sedasi/analgesia) adalah depresi kesadaran yang diinduksi
obat di mana pasien merespons perintah verbal atau setelah
stimulasi taktil ringan. Tidak ada intervensi yang
diperlukan untuk mempertahankan jalan napas paten, dan
ventilasi spontan cukup. Fungsi kardiovaskular biasanya
dipertahankan. Hilangnya kesadaran seharusnya tidak
ada, dan ini adalah aspek yang sangat penting dari definisi
sedasi sedang; obat-obatan dan teknik yang digunakan
harus memiliki batas keamanan yang cukup lebar untuk
membuat tidak terjadinya kehilangan kesadaran.
Sedasi sedang biasanya diperoleh dengan pemberian
N2O dengan Konsentrasi N2O 5-25%.
Tanda-tanda yang mungkin:
 Rasa semutan jari tangan, kaki, pipi, punggung, kepala,
dada
 Rasa rileks; rasa takut dan cemas hilang
 Meningkatnya ambang rasa sakit
 Pendengaran, penglihatan, kesadaran sedikit berkurang
 Pupil normal, kontraksi dengan rangsang cahaya.

Page | 45
4) Sedasi Dalam3,7
Sedasi yang dalam ditandai dengan depresi kesadaran
yang dapat dengan mudah berkembang ke titik di mana
kesadaran hilang dan pasien hanya merespons rangsangan
yang menyakitkan. Hal ini terkait dengan hilangnya
kemampuan untuk mempertahankan jalan napas pasien,
ventilasi spontan yang tidak memadai dan/atau gangguan
fungsi kardiovaskular, dan memiliki risiko serupa dengan
anestesi umum, yang membutuhkan tingkat perawatan dan
monitoring yang setara dengan anestesi umum.
Selama sedasi, respons anak lebih tidak terduga
daripada orang dewasa. Tubuh mereka yang secara
proporsional lebih kecil kurang toleran terhadap agen
sedatif dan mereka dapat dengan mudah terbius secara
berlebihan.
Sedasi yang dalam dapat diperoleh dengan
pemberian N2O dengan konsentrasi N2O 20-55%.
 Tanda-tanda yang dapat terjadi:
- Rasa “terpisah” dari lingkungan sekitarnya
- Rasa euforia, hangat, kadang telinga berdengung
- Rasa mengantuk & melayang
- Pengurangan refleks mengedipkan mata

Page | 46
- Mimpi, umumnya indah dan seringkali sesuai apa
yang dibicarakan operator
- Parestesia lebih jelas, lebih rileks
- Tetap sadar, tetap membuka mulut
- Setelah sadar, pasien mungkin amnesia (lupa apa
yang terjadi selama perawatan).

7. Macam Macam Sedasi Yang Dapat Digunakan


Untuk Disabilitas3,7,8,17
(1) Sedasi Inhalasi (IS)
Indikasi sedasi inhalasi pada anak <12 tahun:
a. Anak kooperatif terbatas di atas 5 tahun,
pencabutan tunggal gigi sulung
simptomatik/asimptomatik yang tidak dapat
direstorasi.
b. Anak cemas dan kooperatif terbatas di atas 5 tahun
yang membutuhkan perawatan restorative gigi
sulung, molar permanen simptomatik/asimto
matik.17
c. Remaja disabilitas, dengan fobia sedang dengan
ekstraksi gigi permanen.
d. Pasien dengan reflex muntah yang parah.

Page | 47
e. Pasien dengan disabilitas, medically compromised
yang memerlukan tindakan ekstraksi.
Kontra indikasi sedasi inhalasi pada adalah:7,8
a. Anak dengan gangguan psikiatri
b. Cystic Fibrosis
c. Adenoid yang besar
d. Kesulitasn berkomunikasi
e. Infeksi saluran pernafasan atas.
Keuntungan sedasi inhalasi adalah aman, manipulasi
relative mudah, pemulihan cepat, efek reversible.
Teknik sedasi inhalasi merupakan tehnik dengan
keamanan tinggi yang dapat mengelola kecemasan ringan
hingga sedang pada anak-anak dan orang dewasa.
Keberhasilan metode ini tergantung pada sugesti
semihipnotis, yang penggunaannya terbatas pada orang
yang memiliki pemahaman yang cukup untuk
mendengarkan, mau menggunakan masker yang menutupi
hidung mereka dan bisa bernapas dengan mulut tertutup.

(2) Sedasi Intravena (IV)3,7,8


Indikasi sedasi intravena adalah pada anak di atas
usia 8 tahun, ASA1, ASA II dan kooperatif. Sedangkan

Page | 48
keadaan dimana tidak bisa dilakukan sedasi intravena
adalah Anak anak dengan Cystic Fibrosis, asma yang tidak
terkontrol, adanya obese, epilepsi yang tidak terkontrol,
adanya dysphagia. Tehnik sedasi intravena ini dapat
dilakukan oleh dokter yang berkompeten dengan
melibatkan penempatan kanula di vena superfisial di
tangan atau fossa antecubital diikuti dengan titrasi
midazolam. Pasien disabilitas tidak semua bisa menerima
teknik sedasi ini. Pasien dengan disabilitas intelektual
dapat merasa kesulitan untuk tetap diam pada posisinya.
Pasien yang telah menjalani beberapa prosedur medis
mungkin memiliki akses vena yang buruk karena adanya
jaringan parut. Pada saat assesment, penting untuk
menanyakan tentang tes darah, sedasi IV sebelumnya
untuk prosedur gigi/medis dan menilai lokasi kanulasi
potensial di tangan dan fossa antecubital. Hal ini akan
memberikan indikasi dan kemudahan kanulasi.

(3) Sedasi Oral3,7,8


Sedasi oral memerlukan kerjasama dari pasien dan
merupakan alternatif bagi pasien dengan fobia jarum atau
pasien yang tidak dapat diam saat kanulasi. Midazolam

Page | 49
adalah obat pilihan yang aman dan efektif serta onset yang
cepat. Kadar puncak plasma umumnya dicapai dalam 30
menit sehingga perawatan gigi dapat dimulai 15-20 menit
setelah pemberian. Sebelumnya, sediaan IV dicampur
dengan teh atau squash, tetapi sekarang sediaan oral,
Amsed 2,5 mg/mL, sirup midazolam maleat bebas gula,
tersedia di Inggris. Dosis standar dewasa adalah 20 mg
(8ml), dan pasien harus didorong untuk meminum dengan
cepat kemudian dipantau dengan oksimeter.

(4) Sedasi Intranasal3,7,8


Teknik ini membutuhkan kerjasama yang lebih
minimal dan memiliki onset yang lebih cepat daripada
sedasi oral. Dosis biasa untuk orang dewasa adalah 0,25-
0,3mg/kg berat badan dan maksimal 10-12mg diberikan
sebagai dosis bolus.
Sedasi oral dan intranasal, dapat digunakan bersama
dengan sedasi intravena, dan dianggap sebagai teknik
lanjutan. Apabila akan dilakukan disarankan dilakukan
oleh tim sedasi gigi terlatih dan berpengalaman dalam
teknik sedasi yang digunakan dan kompeten dalam
penggunaan teknik sedasi intravena.

Page | 50
8. Tipe Manajemen Sedasi
• Inhalasi N2O dan O2 dalam konsentrasi terkontrol
melalui nasal mask.
• Penyuntikan obat anestesi secara intravena dengan
dosis terkontrol untuk menciptakan keadaan antara
tidur anestetik dan kesadaran total, membuat pasien
merasa ringan, tidak cemas dan mudah dirawat.
Obat-Obat Yang Digunakan Dalam Sedasi Adalah
• Nitrous oxide (N20)
• Narkotik
• Barbiturat
• Tranquilezers.

9. Persiapan Yang Harus Dilakukan Sebelum Sedasi3,7


Agar perawatan dental pada pasien disabilitas efektif,
sangat penting bagi seorang dokter gigi untuk mengetahui
kondisi kesehatan umum, kesehatan gigi mulut pasien,
memahami rencana perawatan yang tepat dan prosedur
pelaksanaan harus teliti. Pada persiapan pasien sebaiknya
sebelum perawatan tidak makan berat dulu/datang
perawatan dengan perut kosong. Hal ini berarti pasien
tidak makan dan minum (kecuali obat premedikasi) dari

Page | 51
malam sebelumnya dan perawatannya dilakukan pagi hari.
Hal ini juga dapat dilakukan pada pasien diabetes (tetapi
harus dikonsultasikan dulu pada tenaga ahli yang
menangani). Jika perjanjian siang hari batal, pasien
sebaiknya tidak makan siang dan hanya sarapan yang
ringan saja serta menghindari makanan atau minuman
yang mengandung susu.
Pasien sebaiknya memakai baju yang sederhana
dengan lengan baju yang pendek untuk akses injeksi.
Pasien sebaiknya ditemani oleh orang dewasa dan
direncanakan pulang ke rumah setelah perawatan
menggunakan kendaraan pribadi. Dokter gigi harus
menginformasikan pada pasien 1 minggu sebelum
perawatan tentang setiap perubahan reaksi tubuh yang
normal. Keputusan mengenai ditunda atau tidak nya
perawatan dapat dilakukan selanjutnya.

3.2 Anestesi Umum (General Anesthesia/GA)3,7,8,17,18


1. Pertimbangan Pemilihan Penggunaan Anestesi
Umum/GA Pada Penyandang Sindrom Down
Pada kasus pasien yang lebih kompleks, pasien yang
sangat cemas, komplexitas tata laksana dental, anastesi

Page | 52
umum digunakan apabila teknik sedasi tidak berhasil
ataupun kurang tepat. Keputusan untuk menggunakan
anestesi umum tidak boleh dianggap enteng, dan manfaat
dari perawatan harus selalu lebih besar daripada risiko
pemberian GA.
Ketika memutuskan untuk merawat pasien
penyandang Sindrom Down di bawah anestesi umum,
dokter gigi harus mempertimbangkan dan menilai seluruh
situasi.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:7,8
a. Bagaimana kondisi giginya?
• Apakah ada karies gigi atau trauma dentoalveolar?
• Apakah wajah anak mengalami pembengkakan?
• Apakah anak kesakitan?
• Apakah beralasan bagi anak untuk mengatasi
pengobatan yang diantisipasi?
b. Apakah perawatan itu mutlak diperlukan?
• Bisakah pasien dikelola lebih konservatif?
• Apakah anak telah mengalami masa pengenalan?
• Apakah ada riwayat trauma emosional yang
berhubungan dengan lingkungan gigi?

Page | 53
c. Situasi klinis tertentu secara otomatis menunjukkan
perlunya GA:
• Gigi dengan karies multipel dan abses di beberapa
kuadran pada anak-anak yang sangat muda.
• Selulitis wajah yang parah.
• Trauma wajah atau gigi kompleks.
• Anak-anak dengan kondisi medis tertentu (misalnya,
palsi serebral, gangguan spektrum autisme, gangguan
hiperaktif defisit perhatian) di mana perawatan di
kursi gigi tidak aman untuk anak dan staf.
d. Pengalaman dokter gigi
Perencanaan perawatan dental dibawah GA
membutuhkan pengalaman dan pertimbangan yang cermat
untuk menghindari kegagalan pengobatan atau
pengulangan GA. Oleh karena itu, perawatan GA di
kedokteran gigi anak idealnya hanya dilakukan oleh dokter
gigi yang berkompeten. Dengan kata lain, mempunyai
kompetensi dalam pendekatan perawatan, perencanaan
perawatan, bukan hanya melakukan restorasi atau
ekstraksi.
GA hanya tersedia di rumah sakit tidak di klinik
pribadi. Meskipun pasien lebih menyukai istilah 'tertidur'

Page | 54
dan memerlukan sedikit kerja sama, GA tidak memberikan
kondisi operasi yang ideal karena memberikan akses yang
kurang, hal ini karena lidah pasien yang tidak terkontrol
dan anestesi jalan napas. Selanjutnya, oklusi tidak dapat
diperiksa sampai pasien sembuh.
e. Penilaian preanestesi
Riwayat medis dan pemeriksaan oleh ahli anestesi
diperlukan sebelum prosedur. Jika pasien memiliki
masalah medis yang kompleks, penilaian anestesi pra
operasi mungkin diperlukan sebagai konsultasi terpisah
sebelum hari operasi.
Hal hal yang harus diketahui oleh dokter ahli anestesi
dan dokter gigi anak adalah sebagai berikut:
- Riwayat anestesi sebelumnya:
• Apakah ada kendala saat Anestesi umum sebelumnya.
• Setiap efek samping (misalnya, delirium kemunculan,
mual dan muntah pasca operasi, masalah dengan
induksi seperti ditahan, intubasi sulit).
- Riwayat medis masa lalu
• Masalah perilaku (mis, disabilitas, autisme,
keterlambatan perkembangan, kecemasan ekstrem, dan
fobia jarum).

Page | 55
• Kondisi Sindrom Down dan penyakit pansistemik
(misalnya, Sindrom Down, Sindrom velokardiofasial).
• Penyakit jantung, murmur jantung, operasi
sebelumnya untuk kelainan kongenital.
• Penyakit pernafasan (mis, asma).
• Masalah jalan napas (misalnya, riwayat inflamasi
laring, trachea/croup, celah langit-langit, mikrognatia,
trakeostomi sebelumnya, riwayat kesulitan intubasi
yang diketahui, sleep apnea).
• Penyakit neurologis (misalnya, epilepsi, cedera otak
sebelumnya, palsi serebral).
• Gangguan endokrin dan metabolisme (misalnya,
diabetes, gangguan metabolisme genetik).
• Masalah gastrointestinal (mis, refluks, kesulitan
menelan atau makan).
• Masalah hematologi (mis, hemofilia, trombositopenia,
hemoglobinopati).
• Gangguan neuromuskular (misalnya, distrofi otot).
• Alergi harus diperhatikan, termasuk alergi lateks,
makanan atau obat-obatan.

Page | 56
- Riwayat konsumsi obat obatan
Obat harus didokumentasikan, umumnya obat yang
dikonsumsi sebelumnya harus dilanjutkan sampai waktu
anestesi kecuali ada alasan yang jelas untuk menahan
(misalnya, dengan warfarin/antikoagulan atau insulin).
Konsultasi dengan pemberi resep asli harus dilakukan
sebelum warfarin atau aspirin dihentikan untuk menilai
risiko atau manfaat penghentian obat ini. Penatalaksanaan
pasien yang disertai diabetes akan memerlukan konsultasi
dengan ahli endokrinologi pasien.
- Infeksi saluran pernafasan atas
Jika seorang anak telah mengalami infeksi saluran
pernapasan atas dalam 2 minggu sebelumnya, mereka
berada pada peningkatan risiko laringospasme dan
bronkospasme (ada infeksi saluran pernapasan bawah).
Jika anak datang dengan infeksi saluran pernapasan atas
pada hari operasi dan secara sistemik tidak sehat, mungkin
tepat untuk menunda anestesi elektif selama 2 sampai 3
minggu. Keputusan ini dapat diseimbangkan dengan
masalah ekonomi dan sosial dan faktor kesabaran seperti
usia anak, urgensi pengobatan, tingkat keparahan infeksi
dan masalah medis lain yang mungkin dialami anak. Pada

Page | 57
akhirnya, keputusan untuk membatalkan atau melanjutkan
tergantung ahli anestesi.
- Puasa
Petunjuk puasa untuk usia anak lebih dari 6 bulan
adalah:
- 6 jam dari larutan
- 4 jam dari ASI
- 1 jam dari air putih
Untuk usia dibawah 6 bulan:
- 6 jam dari susu dan larutan
- 4 jam dari susu formula
- 3 jam dari ASI
- 1 jam dari air putih.

2. Anestesi Umum Dalam Kedokteran Gigi


Anak3,7,17,18
1. Indikasi Penggunaan Anestesi Umum General
Anaesthesi/GA Pada Perawatan Dental
Indikasi klinis untuk perawatan gigi di bawah GA
(Dental General Anaesthesia/DGA) pada pasien disabilitas
termasuk penyandang Sindrom Down terbatas pada
kondisi tertentu dan harus dipertimbangkan sebagai

Page | 58
metode pilihan terakhir setelah mempertimbangkan
modalitas lain yang tersedia dari manajemen pasien gigi.
Indikasi penggunaan DGA meliputi kurangnya kerja
sama antara pasien dan dokter gigi karena usia atau adanya
disabilitas, kasus gigi dimana teknik sedasi tidak berhasil,
fobia gigi parah, termasuk pada pasien fobia jarum yang
tidak dapat menerima perawatan gigi rutin; alergi yang
dikonfirmasi atau hipersensitivitas terhadap bahan dalam
preparat anestesi lokal dimana penggunaan anestesi lokal
dikontraindikasikan.15 Indikasi lainnya untuk perawatan
dental dengan anestesi umum adalah pasien berkebutuhan
khusus yang berat, pasien yang tidak dapat bekerjasama,
pasien dengan komorbid multipel dan pasien yang
memerlukan perawatan extensive. Selain pasien disabilitas
mental, pasien dengan disfungsi motorik dan tremor tidak
terkontrol seperti pada palsi serebral, epilepsy atau
gangguan otak lainnya juga merupakan indikasi
penggunaan anesthesia umum.18
Jika perawatan tidak dapat diberikan dengan anestesi
local (LA) dan sedasi sadar, maka pilihannya adalah
anestesi umum/general anaesthesia/GA. Pada dasarnya

Page | 59
kondisi gigi yang membutuhkan perawatan yang
mendorong keputusan ini.

Tabel 3. Indikasi dan justifikasi klinis untuk GA17


Kondisi yang mungkin Kondisi yang tidak selalu
memerlukan untuk GA memerlukan GA
 Bila tidak dapat dilakukan  Karies, gigi asimtomatik
anestesi local maupun sedasi tanpa tanda klinis atau
 Perawatan gigi yang radiologis dan infeksi
diperlukan untuk menjamin  Pencabutan ortodontik dari
kesehatan mulut dan gigi premolar permanen
kesejahteraan anak yang yang sehat pada anak yang
merupakan dari rencana sehat
perawatan jangka panjang  Preferensi
 Pencabutan gigi sulung pasien/pengasuh, kecuali
multipel dimana terdapat lebih jika teknik lain telah dicoba
dari satu ,adanya nyeri yang  Metode alternatif
signifikan atau infeksi/sepsis. pengendalian nyeri belum
 Pencabutan gigi geraham sepenuhnya dieksplorasi
permanen pertama yang
memiliki prognosis buruk
pada periode gigi campuran

Sebagian besar pasien berkebutuhan khusus yang


dirujuk untuk dilakukan GA untuk mengatasi rasa
sakit, infeksi,dan memerlukan pencabutan gigi yang
tidak dapat direstorasi, dll. Kadang kadang GA untuk
tujuan pemeriksaan gigi menyeluruh dapat dibenarkan
jika pasien dengan disabilitas tidak kooperatif
menunjukkan gejala odontogenik (nyeri/
pembengkakan) dan tidak dapat membantu diagnosis

Page | 60
dengan menunjukkan asal atau tingkat keparahan
masalah gigi mereka. Perawatan restorasi gigi dengan
prognosis jangka panjang yang buruk tidak boleh
dilakukan. Pasien disabilitas dengan kesulitan
komunikasi biasanya akan memberikan informasi yang
cukup melalui berbagai jenis ekspresi, misalnya dengan
menunjuk, berpegangan tangan, menggigit benda,
menolak makan, menghindari rangsangan
dingin/panas, menggertakkan atau mengatupkan gigi.
Beberapa prosedur restorasi gigi yang berpotensi dapat
dilakukan jika diperlukan untuk mengamankan
kesehatan mulut pasien; termasuk penggunaan stainless
steel crown (teknik Hall), pencetakan untuk gigi tiruan
segera (jarang), pemasangan gigi tiruan.
Sebaiknya pengulangan GA untuk tujuan
perawatan gigi harus dihindari dan tidak diinginkan
karena risiko morbiditas yang serius, potensi kematian
dan dampak pada anak, dan mungkin mencerminkan
kekurangan dalam manajemen pasien dan perencanaan
perawatan. Namun, bila pasien yang tidak patuh
dengan perawatan gigi rutin dengan anestesi lokal atau
sedasi sadar, dan yang memerlukan DGA berulang

Page | 61
secara berkala karena masalah gigi berulang yang berarti
ini adalah satu-satunya pilihan untuk menyediakan
perawatan gigi komprehensif kepada mereka.
Menurut pedoman saat ini, GA hanya boleh
dilakukan di lingkungan rumah sakit dan memerlukan
ahli anestesi terlatih yang didukung oleh asisten khusus.
Perawatan dental dengan GA dilakukan di ruang
operasi dengan dokter gigi yang berkompeten dengan
didampingi dokter anestesi.

Tabel 4. Pertimbangan untuk DGA pediatric17


 Kerjasama dan sikap anak
 Kecemasan yang dirasakan anak
 Kompleksitas rencana perawatan
 Status medis anak: ASA I dan II, mayoritas ASA III
 Usia, biasanya di atas 2 tahun, berat badan melebihi 10kg
 Tambahan dan peningkatan risiko dibandingkan dengan
teknik sedasi dan analgesia non-GA
 Perawatan di rumah sakit
 Luas karies: gigi tidak dapat diselamatkan, kemungkinan
menyebabkan nyeri/infeksi, berpotensi mempengaruhi gigi
permanen
 Pertimbangan ortodontik

Page | 62
2. Keterbatasan Penggunaan Anestesi Umum Pada
Pasien Disabilitas
Kasus klinis yang tidak cocok untuk DGA adalah:
pencabutan ortodontik sederhana, masalah gigi tanpa
gejala, pencabutan gigi sulung tunggal dimana
pengelupasan alami akan segera terjadi, pemeriksaan gigi
dasar, scaling dan pemolesan/debridement dimana tidak
ada perawatan lain yang direncanakan dan tidak ada bukti
infeksi odontogenik. Karena sifat kompleks dari prosedur
GA dan peningkatan risiko komplikasi, ada batasan yang
jelas untuk perawatan gigi di bawah GA.
Anestesi umum dapat dibatasi pada pasien yang
benar-benar tidak kooperatif dengan kebutuhan khusus
yang kompleks dan kesulitan yang diprediksi dengan
kanulasi, beberapa kelainan bentuk dan kelainan,
polifarmasi kompleks dan reaksi merugikan yang parah
terhadap obat-obatan tertentu yang diberikan secara
intravena.
Pembatasan dan kontraindikasi untuk perawatan
gigi di bawah GA tercantum dalam Tabel 5.

Page | 63
Tabel 5. Kontraindikasi untuk penyediaan perawatan gigi
dengan penggunaan GA
 Persetujuan yang tidak sah untuk prosedur GA
 Tidak ada indikasi, misalnya GA hanya digunakan untuk
pemeriksaan gigi rutin dan/atau kebersihan mulut pada
pasien tanpa fobia
 Masalah gigi yang ada tidak menyebabkan rasa sakit atau
ketidaknyamanan yang jelas, dll. (misalnya akar gigi yang
masih dapat dipertahankan, asimptomatik)
 Kurangnya fasilitas yang sesuai dan tidak adanya staf terlatih.
 Masalah gigi tunggal yang dapat diselesaikan dengan sukses
menggunakan teknik lain, anestesi lokal ataupun sedasi sadar
 Sejarah efek samping yang parah terkait dengan obat
penenang, termasuk reaksi anafilaksis yang dikonfirmasi
terhadap obat sedative
 Gangguan genetik yang mempengaruhi otot: hipertermia
ganas, gangguan metabolisme esterase asetilkolin, anemia sel
sabit
 Tidak adanya persetujuan orang tua/pendamping.

3. Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Dalam


Menentukan Jenis Pendekatan Perawatan Dental
Dengan Pendekatan Farmakologis
Beberapa faktor akan memengaruhi proses
pengambilan keputusan dimana harus
mempertimbangkan cara terbaik untuk memberikan
pendekatan perawatan gigi pada pasien berkebutuhan
khusus termasuk Sindrom Down.

Page | 64
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut;
(1) Kerja Sama
Kemampuan pasien disabilitas untuk kooperatif
dengan perawatan gigi sangat bervariasi antar individu
dengan individu lainnya. Pentingnya untuk mendapatkan
informasi dari pasien atau perawat untuk memahami
kebutuhan mereka. Pertanyaan dan penilaian sederhana
yang dapat membantu, seperti:
• Apakah pasien menyikat giginya sendiri? Jika tidak,
apakah pasien langsung menyikat gigi atau
menantang/tidak memungkinan bagi pengasuh?
• Apakah pasien dapat bekerjasama dalam tes darah?
• Dapatkah pemeriksaan gigi dilakukan dengan pasien
berbaring di kursi gigi?
• Apakah radiografi memungkinkan? Radiografi
intraoral atau hanya ekstraoral?
Hasil penilaian akan membantu menentukan
metode manajemen nyeri dan kecemasan. Semakin
kooperatif seseorang, semakin besar kemungkinan sedasi
akan menjadi pilihan pertama.

Page | 65
(2) Tingkat kompleksitas Tata laksana perawatan
Dental
Kompleksitas jenis pekerjaan dokter gigi yang
dibutuhkan akan mempengaruhi pengambilan keputusan.
Rencana perawatan yang mencakup perawatan bedah,
seperti ekstraksi bedah ganda, akan lebih baik diberikan di
bawah sedasi IntraVena/IV atau anestesi umum/GA. Hal
ini akan mengurangi stres pada pasien dan meminimalkan
ingatan mereka tentang bedah.
Dalam kasus di mana perawatan ekstensif
diperlukan dan waktu operasi yang substansial
diharapkan, single anestesi umum/GA lebih
menguntungkan pada pasien daripada beberapa
kunjungan. Implikasi biaya untuk pasien dan penyedia
harus dipertimbangkan, dan single anestesi umum
mungkin menjadi pilihan yang lebih disukai. Sebaliknya,
perawatan dengan beberapa kali pertemuan, memberikan
perawatan yang lebih baik, seperti perawatan periodontal,
oleh karena itu akan lebih baik dilakukan dibawah sedasi.
Adanya perilaku seperti menggigit atau
membenturkan kepala, mungkin memerlukan sedasi atau

Page | 66
GA untuk melakukan pemeriksaan guna membantu
menentukan apakah yang menjadi etiologinya.
Teknik kombinasi dapat membantu, seperti pada
pemeriksaan awal atau perawatan dibawah sedasi diikuti
dengan perawatan dibawah anestesi umum. Misalnya,
terapi saluran akar mungkin sulit dilakukan di bawah
anestesi umum dalam satu kunjungan, sehingga akses
kavitas awal dan panjang kerja dapat ditentukan pada
kunjungan sedasi, dan kemudian diselesaikan (jika sesuai)
dengan perawatan lain pada sesi GA berikutnya.

(3) Lokasi dan Logistik


Perjalanan bisa menjadi penghalang perawatan.
Misalnya, seseorang dengan disabilitas intelektual
mungkin menganggap transportasi umum menyusahkan,
atau pasien mungkin tinggal jauh dari penyedia layanan.
Dalam kasus seperti itu, hal terbaik yang dilakukan untuk
pasien adalah memberikan perawatan dengan pertemuan
yang sesedikit mungkin. Pasien yang tinggal di tempat
tinggal suportif atau di fasilitas perawatan mungkin ingin
didampingi anggota keluarga atau temannya yang

Page | 67
mungkin lokasinya berada sangat jauh. Hal ini
memelukan pendamping dan logoistik yang memadai.
Ketersediaan pendamping yang sesuai untuk
pengobatan di bawah sedasi intravena atau kasus GA
harian sangat penting. Pasien yang datang tanpa
pendamping yang sesuai ditawarkan perawatan dengan IS
yang tepat. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka
tindakan ke rumah sakit mungkin diperlukan.
Pendamping yang tepat
• Orangtua pasien
• Orang dewasa yang bertanggung jawab dan berbadan
sehat yang dikenal oleh pasien
• Dapat memastikan bahwa pasien meminum obat yang
diresepkan secara normal dan melakukan rutinitas
yang diperlukan untuk mengelola kondisi kesehatan
mereka
• Dapat membawa pasien pulang dan dapat tinggal
bersama pasien selama diperlukan
• Tidak akan diminta untuk merawat orang lain.

Page | 68
(4) Preferensi: Pasien, Keluarga Dan Pengasuh
Preferensi pasien dan keluarga atau wali mereka
harus dipertimbangkan saat merencanakan perawatan.
Jika tindakan perawatan demi kepentingan terbaik pada
pasien tidak sesuai dengan preferensi mereka, maka dapat
menyebabkan kesulitan komunikasi pada semua yang
terlibat.15
Selain itu, pengalaman positif dan negatif
sebelumnya dari pasien dan perawat akan berdampak
pada preferensi dan harapan mereka untuk perawatan
kedepannya.

(5) Riwayat Terdahulu


Keberhasilan dan kegagalan perawatan sebelumnya
harus selalu dipertimbangkan ketika merencanakan
perawatan.
Anak-anak disabilitas mungkin telah mengalami
beberapa pengalaman perawatan gigi di bawah GA pada
saat mereka mencapai usia dewasa. Sedasi intravena
kurang dapat diprediksi pada pasien di bawah usia 16
tahun, dan oleh karena itu GA mungkin menjadi
modalitas pengobatan yang dipilih. Saat pasien beralih ke

Page | 69
masa dewasa, pasien atau pengasuh mungkin memiliki
harapan bahwa semua pengobatan kedepannya akan
diselesaikan dengan cara yang sama. Sebagai orang
dewasa, komunikasi yang cermat diperlukan untuk
menjelaskan risiko dan manfaat perawatan dengan
menggunakan sedasi dan GA.

(6) Pertimbangan Medis3,6-8,17,18


Terdapat banyak pertimbangan medis saat
merencanakan perawatan gigi dengan sedasi atau GA,
beberapa di antaranya dipertimbangkan di sini.
a. Alergi
Pasien dengan alergi terhadap anestesi lokal,
terhadap agen sedatif. Hal ini akan menjadi indikasi untuk
pengobatan dengan GA. Pasien dengan alergi terhadap
agen sedatif intravena misalnya (benzodiazepin/
propofol/fentanil) meskipun jarang, dalam kasus ini,
perawatan menggunakan sedasi inhalasi akan menjadi
pilihan karena alergi terhadap nitrous oxide belum pernah
terdengar.

Page | 70
b. Pertimbangan Khusus3
- Diabetes
Konsultasi dengan dokterspesialis terkait disarankan
untuk pasien dengan diabetes. Dokter gigi harus mengenal
dosis unit, waktu pemberian, dan tipe insulin yang biasa
digunakan. Atas saran dari konsultan, bisa dilakukan
penentuan gula darah sebelum masukoperasi.
- Blood Dyscrasia
Jika riwayat pasien mengungkap kecenderungan
perdarahan pada pembedahan sebelumnya, harus
dilakukan konsultasi yang tepat atau pengujian untuk
menentukan derajat abnormalitas. Uji tromboplastin
parsial digunakan untuk screeningblood dyscrasia. Jika
hasilnya marjinal atau abnormal, biasanya dilakukan profil
perdarahan dan pembekuan.
- Penyakit Jantung
Pasien dengan riwayat jantung harus dilakukan
elektrokardiogram sebelum operasi. Monitoring juga
mungkin dilakukan selama tindakan, jika dokter gigi atau
ahli anestesi setuju. Jika terlihat ketidak teraturan pada
EKG, kaset rekaman harus dimasukkan dalam kartu

Page | 71
pasien dalam kamar operasi untuk ditinjau oleh ahli
anestesi.
- Penyakit Hati
Uji fungsi hati bisa dilakukan untuk menguji efisiensi
organ ini. Hasil abnormal harus ditinjau dengan ahli
anestesi sebelum pembedahan.
- Profilaksis Antibiotik Praoperasi
Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung,
diabetes, atau murmur jantung fungsional, harus diberikan
antibiotik praoperasi. Manajemen ini masih kontroversial,
dalam hal ini harus berkonsultasi dengan dokter spesialis
jantung.
c. Penyakit Psikologis Yang Parah
Pasien dengan penyakit psikologis yang parah dapat
merespon sedasi secara tak terduga dan perilaku mereka
yang seharusnya lebih santai dan kooperatif menjadi lebih
meragukan. Tingkat kehati-hatian harus diterapkan pada
pasien ini dan mungkin lebih aman dikelola dengan GA.17
d. Vena Yang Buruk
Pasien dengan vena yang buruk dengan penyakit
bawaan yang harus dipertimbangkan sebelum
menetapkan keputusan akhir. Pengobatan dengan sedasi

Page | 72
inhalasi/IS lebih ideal untuk pasien ini karena akses vena
tidak diperlukan, dan aman digunakan pada sebagian
besar pasien dengan gangguan medis.
e. Obesitas
Pada pasien dengan obesitas yang menggunaakan
sedasi atau GA dalam perawatannya, sangat penting
dilakukan penilaian jalan nafas. Manajemen jalan napas
untuk pasien obesitas berpotensi lebih rumit. Seorang
pasien dengan jalan napas yang sulit tidak boleh
menggunakan sedasi Intra Vena/IV dalam tata cara
perawatan primer. Sebaliknya, pengobatan dengan IS
merupakan teknik yang paling aman dan paling tepat.
Selanjutnya, mungkin terdapat juga kesulitan dalam
menentukan akses IV pada populasi obesitas. Jika GA
dipertimbangkan, pasien mungkin memerlukan
asessemen awal dengan spesialis anestesi jika BMI mereka
lebih dari 35.
f. Keterbatasan Pergerakan
Pasien yang menunjukkan gerakan tiba-tiba dan
tidak terkontrol terbukti sulit dirawat dengan anestesi
lokal saja. Sedasi IS atau IV yang dititrasi secara perlahan
dapat secara efektif memperlambat, atau sepenuhnya

Page | 73
menghentikan pergerakan, dan memungkinkan
penyelesaian pekerjaan dokter gigi.
g. Riwayat Nyeri
Pasien disabilitas dapat memiliki ambang rasa sakit
yang sangat tinggi. Bahkan jika pasien tidak tampak
kesakitan, mereka bisa saja mengalami pembengkakan
wajah. Ketika pasien kesakitan, mereka mungkin
menunjukkan respons yang tidak biasa terhadap rasa sakit
seperti tertawa, bersenandung, dan bernyanyi. Agitasi dan
perubahan perilaku juga dapat menjadi petunjuk bahwa
pasien sedang kesakitan. Mereka mungkin berhenti
makan dan mulai melukai diri sendiri, misalnya menggigit
tangan.
h. Persetujuan
Persetujuan yang sah dan diinformasikan
sepenuhnya adalah yang terpenting dan wajib, diperoleh
dari orang yang tepat yaitu orang tua, wali yangsah, orang
tua asuh dengan tanggung jawab orang tua.
Dokter gigi yang merawat perlu mempertimbangkan
semua pertanyaan berikut sebelum menentukan rencana
perawatan gigi yang memerlukan penggunaan sedasi
dalam dan anestesi umum:

Page | 74
1. Apakah dokter gigi yang merujuk menjelaskan
semua risiko GA?
2. Apakah kasus klinis cocok untuk GA dengan
mempertimbangkan kerja sama dan status
kesehatan umum?
3. Apakah pasien memenuhi kriteria untuk
perawatan gigi di bawah anastesi umum
4. Apakah pasien memiliki persyaratan khusus? (lift,
transportasi, kursi roda, dll.)
5. Apakah mungkin untuk menawarkan pilihan
alternatif untuk mengontrol rasa sakit dan
kecemasan? (sedasi sadar dengan IS, IV, TM)
6. Apakah fasilitas yang sesuai untuk perawatan gigi
dengan GA tersedia?
7. Apakah ada fasilitas pemulihan yang sesuai dan
apakah ada akses ke fasilitas perawatan kritis?
8. Apakah ahli anestesi berpengalaman dan tim gigi
GA menawarkan dukungan?
9. Apakah pra-pemeriksaan menyeluruh telah
dilakukan selama pertemuan terpisah?

Page | 75
10. Apakah persetujuan yang sah dan diinformasikan
untuk perawatan gigi di bawah GA telah
diberikan?
Pasien disabilitas berisiko terhadap komplikasi
anestesi yang lebih tinggi dari pasien normal. Penting
untuk dokter gigi mengetahui dan mengantisipasi
terjadinya risiko tersebut. Dokter gigi yang berkompeten
bertanggung jawab atas kesehatan mulut pasien harus
membuat keputusan yang seimbang mengenai perawatan
yang paling sesuai untuk pasien, dengan
mempertimbangkan kemampuan perilaku, fungsi kognitif,
dan kondisi medis mereka. Kepentingan terbaik pasien
harus tetap menjadi yang terdepan dalam proses
pengambilan keputusan.
Pemeriksaan riwayat medis secara rinci wajib
dilakukan, dan salinan surat rujukan harus disimpan
dalam catatan klinis pasien.

Page | 76
RINGKASAN

Dalam melakukan perawatan dental sering dokter


gigi menghadapi penyandang Sindrom Down yang gelisah,
tidak kooperatif, dan dapat mengganggu jalannya
perawatan. Di dalam buku ini dijelaskan pendekatan
perawatan dental dengan pendekatan farmakologis umtuk
mengatasinya. Pendekatan dengan tehnik farmakologis
adalah dengan menggunakan obat-obatan yaitu dapat
dilakukan baik dengan sedasi bahkan anestesi umum.
Tehnik sedasi digunakan apabila anak dapat berhubungan
baik, kooperatif, mampu berkomunikasi dengan dokter gigi
dan menuruti instruksi dokter gigi tetapi tidak bisa
dilakukan perawatan dental dengan pendekatan non
farmakologi. Sedangkan pendekatan dengan anestesi
umum dilakukan apabila tidak dapat dilakukan dengan
sedasi, pada anak dengan fobia yang sangat, dan nyeri yang
hebat.
Kerjasama yang erat antara pasien, dokter dan staf
medis yang terlibat dalam pengobatan dan perawatan
pasien sangat penting. Ini akan mencakup staf rumah sakit,
tim dokter gigi, tim anestesi, staf pemulihan, perawat

Page | 77
kamar. Umumnya tindakan pendekatan farmakologis
dengan anestesi umum dilakukan di rumah sakit. Tehnik
sedasi dapat dilakukan di unit Special Care Dentistry/SCD.
Pendekatan farmakologis bertujuan agar perawatan
dental dapat berhasil optimal, efektif, sehingga didapatkan
gigi, mulut yang sehat yg dapat menunjang dalam
peningkatkan kualitas hidup penyandang Sindrom Down.

Page | 78
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatric Dentistry.


Management of dental patients with special health care
needs. The Reference Manual of Pediatric Dentistry.
Chicago, Ill.: American Academy of Pediatric
Dentistry; 2021: 287-94.
2. Welbury; Paediatric Dentistry second edition 2001
Oxford p 391-6.
3. Nowak, A. J. Dentistry for the Handicapped Patient.
Michigan: Mosby. 1977. p 167-93.
4. Weddel. James A, Sanders Brian J, Jones James E;
Dental Problems of Children with Special Health Care
Needs dalam Mc Donald and Avery: Penyunting
Pediatric dentistry For Child and Adolescent 9th ed,
2011 Mosby Elsevier p. 460-80.
5. Smith and Wilson; The Child with Down’s Syndrome,
1973, WB Saunders.
6. Da Fonseca Maria A, Kratunova E; Management of
Medically Compromise paediatric patient (dalam
Cameron Aook Of Paediatric Dentistry) Elsevier Fifth
ed p 387.

Page | 79
7. Alcaino Eduardo A, Moran B; Pharmacological
behaviour management (dalam Cameron Aook Of
Paediatric Dentistry) Elsevier Fifth ed, p 37-42.
8. Carole A Boyle, Helen Lane Prim Dent J. 2020; 9(2):
56-61 Sedation or general anaesthetic for special care
patients?
9. Soewondo Willyanti. Penanganan Oral Secara Dini
pada Penyandang Sindrom Down. Drexa 2022.
10. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Lap. Nas
2013.
11. Nurwahidah Soewondo Willyanti Samita I; Prevalensi
Sindrom Down di Priangan Timur, Journal Of
Padjadjaran Dentistry 2017.
12. Kementerian Kesehatan RI. Laporan Provinsi Jawa
Barat, Riskesdas 2018.
13. Laksono SP, Qomariyah, Purwaningsih E. Persentase
Distribusi Penyakit Genetik dan Penyakit Yang Dapat
Disebabkan Oleh Faktor Genetik Di RSUD Serang.
PharmaMedika. 2011; 3(2): 267–271.
14. Mirawati M, Mundijo T, Arsyad K. Distribusi Jumlah
Anak Dengan Down Syndrome Pada Dua Kelompok
Usia Ibu Di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC)

Page | 80
Palembang Tahun 2012. Syifa’ Med J Kedokt dan
Kesehat. 2019; 3(2): 71.
15. Hidajat S, Garna H, Idjradinata P, Surjono A.
Pemeriksaan Dermatoglifik dan Penilaian Fenotip
Sindrom Down Sebagai Uji Diagnostik Kariotip
Aberasi Penuh Trisomi 21. Vol 7, No 2 (2005). Sari
Pediatri.
16. Laksono B, Rosyah NA, Parekrana Relisa, Soewondo
Willyanti: Maternal Age and Down Syndrome
Incidence In The West Java Area Indonesian.
Proceeding The Annual Meeting of Indonesiana
Society of Human Genetics. 2017.
17. Dziedzic A. The role of general anaesthesia in special care &
paediatric dentistry; criteria and clinical indications. SAAD
Dig. 2017 Jan 1; 33(1): 48-54.
18. Choi J, Doh R-M. Dental Treatment Under General
Anaethesia For Patients With Sever Disabilities.j.Dent
Anesth pain Med 2021 April; 21 (2); 87-98.

Page | 81
Page | 82
TENTANG PENULIS

Prof. Dr. Willyanti Soewondo


Sjarif, drg., Sp.KGA(K)
Lahir di Bandung 18 Desember 1954,
berprofesi sebagai dosen tetap sejak
tahun 1980 di Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Padjadjaran di bagian
Kedokteran Gigi Anak. Mengawali
pendidikan dokter gigi di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran pada tahun 1973 lulus tahun 1978.
Lulus sebagai Spesialis Ilmu Kedokteran Gigi Anak tahun
1995 dan lulus Program Pascasarjana Doktor (S3) pada
tahun 2009 di Universitas Padjadjaran. Jabatan Guru Besar
diperoleh sejak 1 Oktober 2014. Sebagai anggota
International Association Disability and Oral Health (IADH),
anggota PDGI dan IDGAI, serta duduk dalam
kepengurusan Indonesian Society for Special Care in Dentistry
(ISSCD).

Page | 83
Page | 84

Anda mungkin juga menyukai