Refrat Sonia-1
Refrat Sonia-1
Oleh
dr.Sonia Hardianti
i
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................ v
ii
2.4.4 Disfungsi Mitokondria dan Peradangan Saraf .................................... 14
iii
DAFTAR SINGKATAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
World Health Organization (WHO)
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
Pervasive Developmental Disorder (PDD)
Autism and Developmental Disabilities Monitoring Network (ADDMN)
Center of Disease Control (CDC)
Congenital Rubella Syndrome (CRS)
Anterior Cingulate Cortex (ACC)
Gamma Aminobutyric Acid (GABA)
Glutathione (GSH)
N-Asetilaspartat (NAA)
S -adenosyl-L-methionine (SAM)
S -adenosyl-L-homocysteine (SAH)
Childhood Disintegrative Disorder (CDD)
American Academy of Pediatrics (AAP)
Modified Checklist for Autism in Toddlers, Revised, with Follow-up (M-CHAT-
R/F)
Survey of Wellbeing of Young Children (SWYC)
American College of Medical Genetics and Genomics (ACMGG)
Social Communication Questionnaire (SCQ)
Social Responsiveness Scale (SRS)
Autism Spectrum Screening Questionnaire (ASSQ)
Intellectual Disability (ID)
Randomized Controlled Trial (RCT)
The Research Units on Pediatric Psychopharmacology (RUPP)
Cognitive behavioral therapy (CBT)
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang lebih dikenal dengan autism
merupakan suatu gangguan neurodevelopmental kompleks dimana orang dengan
gangguan ini menunjukkan karakteristik berupa abnormalitas dalam tingkah laku
sosial, kemampuan berbahasa dan kemampuan berkomunikasi.1 Gangguan ini
biasanya sudah terlihat pada anak-anak usia prasekolah. Autism spectrum disorder
merupakan gangguan perkembangan pada anak yang cukup berat karena
mengganggu kemampuan sosial, kemampuan berbahasa, dan kognitif anak.2
Kasus-kasus autism pada anak sekarang ini cenderung meningkat,
umumnya keluhan yang disampaikan orang tuanya adalah keterlambatan bicara,
perilaku yang aneh dan acuh tak acuh. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO) memperkirakan prevalensi dunia untuk ASD adalah sebesar
0,76% namun, angka ini hanya menyumbang 16% dari populasi anak global.3
Variasi yang luas dalam keparahan gejala di seluruh kelompok gangguan
membuat sulitnya untuk membedakan satu gangguan dari yang lain secara efektif.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM V) bergeser dari
pengelompokan gangguan di bawah payung pervasive developmental disorder
(PDD) untuk membuat konsep kategori yang lebih luas yang dikenal sebagai autism
spectrum disorder (ASD).4,5 Dengan revisi ini, kriteria diagnostik juga berubah.
Jumlah defisit domain inti dikurangi menjadi dua (komunikasi sosial dan perilaku
berulang). Berdasarkan kriteria baru ini, ASD didiagnosis ketika seorang pasien
menunjukkan setidaknya tiga gejala dalam domain komunikasi sosial dan
setidaknya dua gejala minat terbatas/perilaku berulang, termasuk perilaku
tambahan hiper atau hipo-reaktivitas terhadap masukan sensorik atau minat.6,7
Tujuan penatalaksanaan ASD adalah mendorong anak menuju kemandirian,
memaksimalkan fungsi dan meningkatkan kualitas hidup. Hal ini dapat dicapai
dengan terapi non farmakologi seperti intervensi edukasional dan perilaku
terstruktur, intervensi untuk komunikasi dan integrasi sensori serta terapi
farmakologis seperti pemberian obat antipsikotik dan antidepresan.8,9 Dalam
penatalaksanaan ASD sebaiknya melibatkan tim multidisiplin yang terdiri dari
1
dokter anak, psikiater, neuropediatri, psikolog klinis, pendidik anak berkebutuhan
khusus, ahli terapi okupasional, dan ahli terapi wicara.10
1.2 Tujuan
Refrat ini bertujuan untk menambah wawasan tentang autism spectrum
disorder (ASD) yang dimulai dari penjelasan Anatomi dan patofisiologi,
penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan terhadap ASD tersebut. Penulisan ini
juga merupakan salah satu persyaratan dalam menjalani Pendidikan Program
Dokter Spesialis (PPDS) Saraf di FK Unand.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
efek dari perubahan ini. Kriteria DSM-V mengidentifikasi 91% anak dengan
diagnosis klinis DSM-IV PDD. Namun, tinjauan sistematis menunjukkan hanya
50% hingga 75% individu yang mempertahankan diagnosis, dan penelitian lain
juga menyarankan penurunan tingkat diagnosis individu ASD di bawah kriteria
DSM-V. Seringkali mereka yang tidak memenuhi persyaratan sebelumnya
diklasifikasikan memiliki sindrom Asperger dan PDD-NOS. Secara keseluruhan,
sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa DSM-V memberikan peningkatan
spesifisitas dan penurunan sensitivitas dibandingkan dengan DSM-IV.6
2.2 Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
memperkirakan prevalensi dunia untuk ASD adalah sebesar 0,76%; namun, angka
ini hanya menyumbang 16% dari populasi anak global. Center of Disease Control
(CDC) memperkirakan sekitar 1,68% anak di Amerika Serikat (AS) berusia 8 tahun
(1 dari 59 anak) didiagnosis dengan ASD. Di AS sendiri, diagnosis ASD yang
dilaporkan oleh orang tua pada tahun 2016 memiliki rerata lebih tinggi yakni
sebesar 2,5%. Prevalensi ASD di AS meningkat lebih dari dua kali lipat antara
2000-2002 dan 2010-2012, menurut perkiraan Autism and Developmental
Disabilities Monitoring Network (ADDM). Di AS, prevalensi ASD stabil tanpa
peningkatan yang signifikan secara statistik dari tahun 2014 hingga 2016.3
ASD lebih umum pada laki-laki, tetapi dalam sebuah meta-analisis, rasio
laki-laki dan perempuan yang sebenarnya lebih dekat ke 3:1 dibandingkan 4:1 yang
dilaporkan sebelumnya. Namun, penelitian ini tidak dilakukan dengan
menggunakan kriteria DSM-V. Studi ini juga menunjukkan bahwa anak perempuan
yang memenuhi kriteria ASD berisiko lebih tinggi untuk tidak menerima diagnosis
klinis.14
Beberapa diagnosis genetik memiliki peningkatan ASD yang terjadi
bersamaan dibandingkan dengan populasi rata-rata, termasuk tuberous sclerosis,
sindrom Down, sindrom Rett. Meskipun demikian, kelainan genetik yang diketahui
ini hanya menyebabkan jumlah minimal dari keseluruhan kasus ASD. Studi anak
dengan aneuploid kromosom seks menggambarkan profil fungsi sosial spesifik
pada laki-laki lebih rentan terhadap autisme. Faktor risiko lain untuk ASD termasuk
4
peningkatan usia orang tua dan prematuritas. Hal ini disebabkan oleh teori bahwa
orang yang lebih tua memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk membawa mutasi
yang dapat mengakibatkan komplikasi obstetrik tambahan, termasuk
prematuritas.12,13
5
2.3.1 Komplikasi Kehamilan
Sebagian penderita ASD dan kondisi terkait diidentifikasi mengalami
peristiwa yang tidak diinginkan pada periode prenatal, antenatal dan selama
posnatal. Tidak jelas apakah komplikasi kehamilan menyebabkan ASD atau apakah
ASD dan komplikasi kehamilan diakibatkan oleh lingkungan atau masalah lainnya.
Selama periode perinatal, faktor yang berhubungan dengan risiko ASD adalah
hipertensi atau diabetes pada ibu, risiko aborsi, perdarahan antepartum, persalinan
caesar, usia kehamilan ≤ 36 minggu, paritas ≥ 4, persalinan spontan, persalinan
induksi, persalinan macet, presentasi sungsang, preeklampsia, dan gawat janin.
Selama periode postnatal, faktor yang berhubungan dengan risiko ASD adalah berat
badan lahir rendah, perdarahan postpartum, jenis kelamin laki-laki, dan anomali
otak.16,17
Dalam sebuah penelitian besar di Denmark, penggunaan valproate oleh ibu
selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko ASD yang signifikan pada
keturunannya. Obat ini sudah tidak direkomendasikan untuk digunakan pada wanita
hamil karena risiko kelainan bawaan dan kemungkinan hubungannya dengan
kecerdasan yang rendah pada anak yang terpapar selama kehamilan. Analisis
menunjukkan bahwa anak yang terpapar valproate memiliki peningkatan risiko
ASD 3 kali lipat dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar, bahkan setelah
disesuaikan dengan penyakit kejiwaan dan epilepsi orang tua.16,17
Hipotiroksinemia ibu hamil yang berat dikaitkan dengan peningkatan risiko
memiliki anak dengan ASD, menurut sebuah penelitian yang melibatkan 5.100
wanita dan 4.039 anak mereka. Hipotiroksinemia ibu yang berat di awal kehamilan
meningkatkan kemungkinan memiliki anak dengan ASD hampir 4 kali lipat. Pada
usia 6 tahun, anak dari ibu dengan hipotiroksinemia berat memiliki skor gejala autis
yang lebih tinggi.16,17
2.3.2 Infeksi
Beberapa kasus ASD dilaporkan oleh sejumlah besar anak dengan ASD
yang lahir dari wanita yang tertular rubella selama kehamilan. Temuan ini
mendukung hipotesis bahwa infeksi rubella memicu kerentanan terhadap
perkembangan ASD pada janin. Rubella adalah infeksi virus sistemik yang
6
biasanya ringan. Namun, dapat menyebabkan cacat lahir yang dikenal sebagai
sindrom rubella kongenital (Congenital Rubella Syndrome/CRS) ketika infeksi
terjadi pada awal kehamilan.18
Sekitar 8%–13% anak dengan CRS menyebabkan autisme selama epidemi
rubella tahun 1960-an. Infeksi Rubella dan CRS sekarang jarang terjadi karena
vaksinasi yang meluas. Namun, tingkat autisme telah meningkat secara dramatis
dalam beberapa dekade terakhir menjadi sekitar 3%, dengan banyak kasus muncul
setelah periode perkembangan normal ('autisme regresif').18,19
7
TSC1 Tuberous sclerosis Pleomorphic, autosomal dominant,
complex hypopigmented macules, CNS hamartomas and
tumors, epilepsy
TSC2 Tuberous sclerosis Similar to TSC1; however, can be more severe
complex on average tahan TSC1
UBE3A Angelman syndrome Postnatal microbrachycephaly, characteristic
facial appearance, absence of expressive
language, hypotonia, polymyoctonus, epilepsy
DHCR7 Smith-Lemi-Opitz Global developmental impairment, dysmorphic
appearance, small stature, sypogonadism
NF1 Neurofibromatosis Highly variable clinical manifestations, ausomal
type 1 dominant, café au lait spots, learning disabilities
dup 15q11-13 15q duplication Hypotonia, dysmorphic appreance
syndrome
del 16p11.2 16p11.2 syndrome Obesity, macrocephaly
Nonsyndromic
Gene Chromosome Function
NLGN4x Xp22.33 Formation and remodelling of centralnervous
system synapses
RELN 7q22 Regulator of neuronal migration
SLC6A4 17q11.1-q12 Encodes a neurotransmitter transporter
GABRB3 15q11-13 Encodes a GABA receptor subunit
NLGN3 Xq13.1 Formation and remodelling of central nervous
system synapses
CNTNAP2 7q35 Encodes a protein involved in cell adhesion
OXTR 3p25 Encodes the oxytocin receptor
8
lebih mungkin terpapar polusi udara tingkat tinggi, terutama racun styrene dan
chromium, selama kehamilan dan 2 tahun pertama kehidupan daripada anak tanpa
gangguan tersebut. Sianida, metilen klorida, metanol, dan arsenik juga dikaitkan
dengan peningkatan risiko ASD.23
2.3.6 Vaksinasi
Beberapa anak mengalami ASD setelah imunisasi, termasuk vaksinasi
campak, gondok, dan rubella. Namun, beberapa studi populasi menunjukkan tidak
ada hubungan antara imunisasi anak dan perkembangan ASD dan kondisi terkait.
Thompson dkk. mendeteksi tidak ada hubungan kausal antara paparan vaksin yang
mengandung defisit thimerosal dan neuropsikologis pada usia 7-10 tahun. Orang
tua dapat mengizinkan imunisasi anak yang direkomendasikan tanpa takut
menyebabkan ASD dan kondisi terkait. Kepatuhan terhadap jadwal imunisasi yang
dianjurkan, termasuk imunisasi campak, gondongan, dan rubella, sangat
dianjurkan.26,27
2.4 Patofisiologi
Teori kognitif telah diusulkan untuk mendasari manifestasi perilaku dan
perkembangan autisme, meskipun keunggulan dan konsensus tentang potensial
teori ini telah menurun dalam dekade terakhir. Teori-teori ini berkisar dari teori
'sosial pertama', seperti teori pikiran dan teori defisit motivasi sosial, hingga teori
defisit pemrosesan global, termasuk kontrol atensi, disfungsi eksekutif dan
9
koherensi pusat yang lemah atau teori pemrosesan perseptual yang
ditingkatkan.26,27
Selama dekade terakhir, studi yang lebih baru telah menggunakan sistem
model untuk merekapitulasi apa yang disebut gen tunggal (atau monogenik) versi
autisme, seperti sindrom fragile X dan kompleks tuberous sclerosis, diperkirakan
secara kumulatif menyumbang <10% dari kasus klinis autisme. Selain itu,
penelitian telah memodelkan efek mutasi langka de novo yang diidentifikasi pada
autisme idiopatik. Meskipun studi tentang gen risiko autisme dalam sistem model
telah mengungkapkan banyak hal tetapi bagaimana temuan ini berhubungan dengan
patofisiologi autisme masih kurang jelas.28
Secara umum, gen risiko autisme memiliki peran dalam banyak fungsi di
banyak wilayah otak yang berkembang secara spatiotemporal. Akibatnya, gen
tunggal dalam sistem model dapat menyebabkan fenotip yang menarik, termasuk
fenotipe perilaku sosial dalam organisme yang jauh secara evolusioner. Beberapa
teori lainnya mengenai mekanisme patofisiologi dijelaskan dalam sub-sub bab
berikut.29
10
bahwa penyimpangan otak pada ASD mungkin terjadi sebelum kelahiran. Lesi
neuron abnormal ditemukan di lobus frontal dan temporal, daerah yang terlibat
dalam fungsi sosial, emosional, komunikasi, dan bahasa. Para peneliti percaya
bahwa pengobatan dini dapat memperbaiki otak dan memperbaiki gejala ASD.
Pada pemindaian MRI, otak anak dengan ASD menunjukkan mielinisasi yang lebih
besar di korteks frontal medial bilateral dan lebih sedikit mielinisasi di
persimpangan temporoparietal kiri. Demikian pula, perbedaan spesifik wilayah
dalam konsentrasi gray matter, yang terdiri dari badan sel saraf, dendrit, akson
tanpa mielin, dan sel glial, juga ditemukan di otak orang dengan autisme.30,31
11
seperti lobus frontotemporal, korteks frontoparietal, amigdala, hipokampus, ganglia
basal, dan anterior cingulate cortex (ACC). Misalnya, kelainan pada (1) gyrus
frontal inferior (IFG, area Broca), sulkus temporal superior (STS), dan area
Wernicke mungkin terkait dengan cacat dalam pemrosesan bahasa sosial dan
perhatian sosial, (2) lobus frontal, superior korteks temporal, korteks parietal, dan
amigdala mungkin memediasi gangguan perilaku sosial dan (3) korteks
orbitofrontal (OFC) dan nukleus caudal telah dikaitkan dengan restricted repetitive
behaviors pada ASD. Meskipun defisit di daerah ini tampak umum pada ASD,
beberapa temuan menyatakan bahwa kelainan di daerah otak ini tidak khas untuk
ASD dan tampaknya umum terjadi pada gangguan lain seperti gangguan obsesif-
kompulsif, gangguan kecemasan umum, dan skizofrenia.35
Boedhoe dkk. mengukur ketebalan kortikal di berbagai bagian otak ASD
dan melaporkan percepatan penipisan kortikal pada individu dengan ASD berusia
3~39 tahun dalam studi longitudinal. Temuan dari studi menunjukkan bahwa
individu dengan ASD cenderung memiliki korteks yang lebih tipis dan area
permukaan yang berkurang karena efek yang berkaitan dengan usia.33,34
Daerah Kortikal
Beberapa studi neuroimaging telah memeriksa aspek lain dari korteks
serebral, seperti bentuk kortikal dan pola sulkus. Temuan menunjukkan bahwa ada
gyrifikasi lobus frontal yang sangat membesar pada anak-anak dan remaja dengan
ASD. Lipatan kortikal regional meningkat di daerah otak posterior bilateral pada
individu dengan ASD selama masa remaja awal dan dewasa. Sedangkan, penurunan
gyrifikasi lokal telah dilaporkan pada korteks parieto-oksipital inferior frontal dan
medial kanan pada anak dengan ASD dan pada girus supramarginal kiri pada
individu dengan ASD berusia 8-40 tahun. 33,34
12
GABA sensorimotor diamati dengan spektroskopi resonansi magnetik (MRS) pada
peserta dengan ASD. Perilaku berkorelasi dengan pengurangan konsentrasi GABA
sensorimotor.36
Pada anak laki-laki dengan ASD rasio GABA/kreatin pada MRS dikaitkan
dengan gejala ASD. Spesimen postmortem dari otak orang dengan ASD
menunjukkan pengurangan reseptor gamma-aminobutyric acid-B (GABAB) di
korteks cingulate, wilayah kunci untuk evaluasi hubungan sosial, emosi, dan
kognisi, dan di girus fusiform, yang penting daerah untuk mengevaluasi wajah dan
ekspresi wajah. Temuan ini memberikan dasar untuk penyelidikan lebih lanjut
tentang autisme dan gangguan perkembangan pervasif lainnya.36,37
Glutathione (GSH) antioksidan otak utama dapat berperan dalam
perkembangan ASD. ASD diduga disebabkan oleh stres oksidatif. MRS
menunjukkan pengurangan GSH, Cr, dan myoinositol (MI) di dorsal anterior
cingulate cortex (dACC) peserta dengan ASD berbeda dengan kontrol.28,29
Aktivitas saraf yang berkurang ditunjukkan oleh pengurangan NAA di lobus
frontal, parietal, dan temporal, amigdala, hippocampus, dan talamus anak dengan
ASD diamati pada MRS. MRS juga menunjukkan berkurangnya konsentrasi kreatin
(Cr) dan fosfokreatin (PCr) di korteks dan white matter orang dengan ASD,
menunjukkan penurunan metabolisme oksidatif seluler.28
13
komplemen C4B dalam plasma. Kelainan itu mungkin menjadi sumber peningkatan
kerentanan terhadap infeksi yang terlihat pada beberapa orang dengan ASD. Diet
adalah aspek ASD yang kontroversial. Perhatian terbesar diberikan pada diet bebas
gluten dan kasein; informasi menunjukkan bahwa diet ini membantu beberapa anak
dengan ASD. Temuan tes menunjukkan bahwa anak dengan ASD yang berfungsi
rendah mungkin memiliki gangguan dalam metabolisme amina fenolik. Oleh
karena itu, gejala ASD kemungkinan diperparah dengan konsumsi produk susu,
cokelat, jagung, gula, apel, dan pisang; namun, tidak ada penelitian populasi besar
yang mengkonfirmasi hal ini.16,28
Stres oksidatif dapat berperan dalam patogenesis dan patofisiologi ASD.
Dibandingkan dengan anak normal, anak ASD mengalami penurunan sebagai
berikut:29
Tingkat plasma sistein, glutathione, dan metionin
Rasio S -adenosyl-L-methionine (SAM) ke S -adenosyl-L-homocysteine
(SAH)
Rasio glutathione tereduksi menjadi teroksidasi
Beberapa anak dengan ASD menunjukkan hyperlacticacidemia serta
bukti gangguan mitokondria termasuk defisiensi karnitin. Kelainan ini
mungkin mencerminkan metabolisme energi saraf yang terganggu.
14
2.5 Evaluasi dan Diagnosis
2.5.1. Skrining dan Diagnosis ASD berdasarkan DSM
American Psychiatric Association telah melakukan perubahan DSM-IV-TR
menjadi Diagnostic Manual of Mental Disorder-V (DSM-V). Istilah yang
digunakan sekarang adalah ASD. Berdasarkan DSM-V gejala ASD hanya dibagi
menjadi 2 yaitu: gangguan komunikasi sosial atau interaksi sosial; adanya perilaku
restriksi (terbatas) dan repetitive (berulang-ulang). Gangguan spektrum autisme
tidak lagi dibagi menjadi subtipe. Anak yang telah didiagnosis dengan DSM IV-TR
dengan Sindrom Asperger atau Gangguan autistik apabila didiagnosis dengan
menggunakan DSM-V akan tetap memberikan hasil yang positif untuk ASD,
namun perubahan diagnosis tidak perlu dilakukan.36
Anak yang didiagnosis dengan PDD-NOS perlu dilakukan diagnosis lain
yang lebih spesifik. Diagnostic Manual of Mental Disorder-V (DSM-V) memiliki
kategori diagnostik baru untuk gangguan sosial komunikasi yang tidak disebabkan
oleh keterlambatan kognisi dan gangguan bahasa lain. Kriteria diagnostik dibuat
ketika dijumpai perilaku, kegemaran, atau aktivitas yang restriktif, repetitif yang
jelas terjadi pada masa anak atau pada suatu saat di masa lampau, meskipun gejala
saat ini sudah tidak didapatkan.36
15
Tabel 2. 2 Perbedaan Kriteria Diagnosis Autism Spectrum Disorder antara DSM-IV-TR dan DSM-V1
DSM-5 DSM-IV-TR
Klasifikasi Diagnosis Autism Spectrum Disorder (ASD) Pervasive Developmental Disorders Kunci Perbedaan
(PDD)
Sub Kategori Diagnosis Tidak ada. (Namun, individu yang telah 1. Autistic Disorder Dalam DSM-V: Tidak terdapat perbedaan sub
didiagnosis autistic disorder, asperger’s 2.Asperger’s Disorder kategori diagnosis.
disorder atau PDD-NOS pada DSM-IV- 3. Pervasive Developmental Disorder, Not
TR harus diberikan diagnosis ASD). Otherwise Specified (PDDNOS)
4. Rett’s Disorder
5. Childhood Disintegrative Disorder
(CDD)
Diagnosis ASD dapat Harus memenuhi tiga kriteria perilaku Harus memenuhi setidaknya enam kriteria Dalam DSM-V: Kriteria perilaku untuk dapat
Ditegakkan Apabila dalam kategori A dan minimal dua kriteria perilaku, dengan setidaknya dua dari menegakkan diagnosis dapat dipenuhi dari
dalam kategori B. kategori A.1, satu dari kategori A.2, dan pernah terjadinya perilaku tersebut (historical
satu dari A.3. report).
Komunikasi Sosial & Interaksi Sosial Interaksi Sosial (Kategori A.1)
(Kategori A)
Kriteria Perilaku Spesifik: A. Defisit terus-menerus dalam A.1. Keterbatasan dalam interaksi sosial, Dalam DSM-5: Komunikasi dan interaksi sosial
Social (Sosial) komunikasi sosial dan interaksi sosial di yang ditunjukkan pada setidaknya dua dari digabungkan dalam satu kategori.
beberapa konteks, seperti yang dituturkan beberapa hal berikut:
oleh ketiga hal berikut, saat ini atau a. Gangguan ditandai dalam penggunaan
sebelumnya: beberapa perilaku nonverbal, seperti
1. Defisit dalam timbal balik sosial- kontak mata, ekspresi wajah, postur
emosional dimulai. tubuh, dan gestur untuk meregulasi
2. Defisit dalam komunikasi nonverbal interaksi sosial.
sebagai perilaku yang digunakan untuk b. Ketidakmampuan untuk melakukan
interaksi sosial, dimulai. sosial atau emosional reciprocity.
3. Defisit dalam pekembangan, c. Ketidakmampuan untuk membagi
pemeliharaan, dan pemahaman mengenai enjoyment, interests, atau achievements
hubungan. kepada orang lain.
d. Ketidakmampuan untuk membentuk
peer relationship yang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak.
16
N/A Komunikasi (Kategori A.2)
Kriteria Perilaku Spesifik: Gejala di daerah ini sekarang dimasukkan Keterlambatan atau kurangnya Dalam DSM-V:
Language/ Communication dalam Kategori A (Sosial) dan B perkembangan bahasa lisan. Kecacatan berbahasa
(Bahasa/ Komunikasi (Aktivitas yang Terbatas). Ketidakmampuan untuk mempertahankan (a) Tidak dimasukkan sebagai kriteria diagnosis,
percakapan dengan orang lain. namun sebagai specifier.
Pengulangan penggunaan bahasa. Kecacatan dalam percakapan
Kurangnya variasi permainan make - (b) dipertimbangkan sebagai aspek
believe atau permaianan sosial imitative socialemotional reciprocity (A.1).
yang sesuai dengan perkembangan. Stereotyped language
(c) dipertimbangkan sebagai aspek restricted/
repetitive behavior (B.1).
Keterbatasan dan Pengulangan Pola Tingkah Laku yang Terbatas,
Tingkah Laku, Minat, dan Aktivitas Berulang, dan Stereotype (Kategori
(Kategori B) A.3)
Kriteria Perilaku Spesifik: B. Keterbatasan, pola berulang dari Keterpakuan pada satu atau lebih pola Dalam DSM-V: Gangguan sensoris dimasukkan
Restricted/ Repetitive perilaku, peminatan, atau aktivitas, seperti interest tertentu yang menunjukkan ke dalam behavioral symptom (B.4).
Activities (Keterbatasan/ yang dituturkan oleh setidaknya dua dari ketidaknormalan dalam intensitasnya
Pengulangan Aktivitas) hal berikut, saat ini atau sebelumnya. maupun fokus yang ditampilkan Tidak
1. Gerakan motor stereotip atau berulang- fleksibel terhadap perubahan
ulang, penggunaan benda, atau ucapan (kebertahanan) akan rutinitas atau ritual
2. Keinginan pada kesamaan, tidak spesifik Gerakan motorik tertentu yang
fleksibel terhadap rutinitas, atau pola berulang (misalnya membuka dan
perilaku berulang atau perilaku nonverbal menutup tangan atau jari berulang kali).
verbal Keterpakuan pada suatu bagian atau suatu
3. Sangat terbatas, peminatan terpaku objek tertentu.
pada hal yang abnormal terhadap
intensitas atau fokus
4. Hyper- atau hyporeactivity untuk input
sensorik atau peminatan yang tidak biasa
dalam aspek sensorik pada lingkungan
Usia Onset C. Simtom harus muncul pada periode B. Keterlambatan atau fungsi abnormal Dalam DSM-V: gejala tidak harus muncul
early developmental (namun mungkin pada setidaknya satu dari tiga sebelum usia 3 tahun.
tidak termanifestasi seutuhnya hingga
muncul tuntutan sosial yang melebihi
17
kapasitas yang terbatas atau mungkin behavioral criteria muncul sebelum usia3
dapat ditutupi melalui strategi belajar di tahun.
masa dewasa).
Level Impairment D. Gejala harus mengakibatkan gangguan - Dalam DSM-V:
yang signifikan pada area sosial, ● Gangguan fungsional harus muncul untuk
pekerjaan, dan area lainnya yang penting ditegakkannya diagnosis.
untuk keberfungsian seseorang
● Severity levels untuk behavioral criteria Adan
B dispesifikasikan sebagai:
❏ Level 3: Requiring very substantial support.
❏ Level 2: Requiring substantial support.
❏ Level 1: Requiring support.
Rule-Outs E. Gangguan tidak lebih baik didiagnosis C. Gangguan tidak lebih baik didiagnosis Dalam DSM-V: Social (Pragmatic)
sebagai intellectual disability (intellectual sebagai pervasive developmental disorder Communication Disorder (SCD) dimunculkan
developmental disorder) atau global lainnya. sebagai diagnosis alternatif untuk individu
developmental delay. dengan defisit pada komunikasi sosial, namun
simtom lainnya tidak memenuhi kriteria
diagnosis untuk ASD.
Komorbiditas Specifiers yang perlu diikutsertakan: Stereotyped movement disorder tidak bisa Dalam DSM-V: Komorbiditas dengan kondisi
● Dengan atau tanpa intellectual didiagnosis bersamaan dengan autistic lain dapat dikenali; specifiers digunakan untuk
impairment. disorder. mendeskripsikan gejala secara lebih mendalam.
● Dengan atau tanpa language
impairment.
● Terasosiasi dengan kondisi medis atau
kondisi genetik atau faktor lingkungan.
● Terasosiasi dengan gangguan neuro
developmental, mental, atau gangguan
tingkah laku lain.
● Dengan katatonia.
18
2.5.2. Evaluasi Klinis
Konsep diagnosis ASD dalam DSM-V menggabungkan diagnosis pervasive
developmental disorder (PDD), antara lain: gangguan autistik, gangguan Asperger,
gangguan disintegrasi masa kanak-kanak, dan pervasive developmental disorder
not otherwise specified (PDD-NOS). Karena kompleksitas, tingkat keparahan dan
tumpang tindih gejala ASD dengan gangguan kejiwaan lainnya, penting untuk
menggunakan instrumen dan skala yang tepat untuk mendiagnosis ASD dengan
benar dalam meningkatkan manajemen klinis pasien ASD.3
Instrumen asesmen meliputi wawancara orang tua/pengasuh, wawancara
pasien, observasi langsung pasien, dan asesmen klinis terperinci yang mencakup
tinjauan menyeluruh riwayat keluarga untuk ASD atau gangguan perkembangan
saraf lainnya. Evaluasi ASD dimulai dengan skrining populasi pediatrik umum
untuk mengidentifikasi anak yang berisiko atau menunjukkan tanda-tanda sugestif
ASD, setelah itu evaluasi diagnostik direkomendasikan.1,10
Pedoman American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan
pengawasan perkembangan pada 9, 15 dan 30 bulan dan skrining khusus autisme
pada 18 bulan dan pada 24 atau 30 bulan. Tanda bahaya awal untuk ASD termasuk
kontak mata yang buruk, respons yang buruk terhadap nama, tidak ada gerakan
pada usia 12 bulan, dan kehilangan keterampilan bahasa atau sosial. Alat skrining
untuk ASD dalam populasi ini termasuk dalam Modified Checklist for Autism in
Toddlers, Revised, with Follow-up (M-CHAT-R/F) dan Survey of Wellbeing of
Young Children (SWYC). Tanda bahaya pada anak prasekolah mungkin termasuk
permainan pura-pura yang terbatas, minat yang aneh atau sangat terfokus, dan
kekakuan.2,4,10
Tabel 2. 3. Level keparahan ASD37
Level
Komunikasi sosial Minat berkurang & Perilaku Berulang
Keparahan ASD
Level 3 Defisit yang parah dalam Perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan yang
‘Membutuhkan komunikasi verbal dan non berat dalam mengatasi perubahan atau
dukungan yang verbal yang menyebabkan perilaku yang terbatas/berulang lainnya yang
sangat besar’ gangguan parah dalam fungsi, sangat mengganggu keseluruhan fungsi.
interaksi sosial yang sangat Kesulitan yang sangat besar dalam mengubah
terbatas, dan respon minimal fokus atau tindakan
terhadap tawaran interaksi
sosial dari orang lain.
19
Level 2 Defisit dalam komunikasi Perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan yang
‘Membutuhkan sosial baik verbal maupun non dalam mengatasi perubahan atau perilaku
dukungan besar’ verbal, gangguan sosial yang yang terbatas/berulang lainnya yag cukup
jelas bahkan dengan dukungan sering muncul dan mengganggu fungsi dalam
ditempat, inisiasi dalam berbagai konteks. Kesulitan dalam mengubah
interaksi sosial yang terbatas fokus atau tindakan.
dan berkurang atau tanggapan
yang abnormal terhadap
tawaran interaksi sosial dari
orang lain, misal : berbicara
kalimat sederhana dengan
interaksi yang terbatas pada
minat khusus yang sempit dan
memiliki komunikasi nin
verbal yang aneh.
Level 1 Tanpa dukungan ditempat, Perilaku yang tidak fleksibel yang
‘Membutuhkan terdapat defisit dalam menyebabkan gangguan fungi yang
dukungan’ komunikasi sosial. Kesulitan signifikan dalam satu atau lebih konteks.
memulai interaksi sosial, Kesulitan beralih antar kegiatan, masalah
menurunnya minat dalam organisasi dan perencanaan yang
interaksi sosial. Sebagai menghambat kemandirian
contoh, seseorang yang
mampu berbicara dalam
kalimat penuh dan terlibat
dalam komunikasi tetapi
dengan pembicaraan yang
tidak jelas dan usaha untuk
berteman dan biasanya tidak
berhasil
20
terlihat sebelum anak berumur 3 tahun. Mengingat bahwa tiga aspek gangguan
perkembangan di atas terwujud dalam berbagai bentuk yang berbeda, dapat
disimpulkan bahwa autisme sesungguhnya adalah sekumpulan gejala/ciri yang
melatar-belakangi berbagai faktor yang sangat bervariasi, berkaitan satu sama lain
dan unik karena tidak sama untuk masing-masing anak.35
Anak usia sekolah mungkin menunjukkan pemikiran yang konkret,
kesulitan memahami emosi, dan bahkan mungkin menunjukkan minat pada teman
sebaya tetapi kurang memiliki keterampilan percakapan atau pendekatan sosial
yang sesuai. Jika ada kecurigaan ASD pada kelompok ini, alat skrining yang
tersedia antara lain Social Communication Questionnaire (SCQ), Social
Responsiveness Scale (SRS), dan Autism Spectrum Screening Questionnaire
(ASSQ).1,10
Penilaian komprehensif harus mencakup pemeriksaan fisik lengkap,
termasuk penilaian fitur dismorfik, pemeriksaan neurologis lengkap dengan lingkar
kepala, dan pemeriksaan lampu Wood pada kulit. Wawancara orang tua,
pengumpulan pengamatan informan luar, dan pengamatan dokter langsung
terhadap fungsi kognitif, bahasa, dan adaptif anak saat ini oleh dokter yang
berpengalaman dengan ASD harus menjadi komponen penilaian komprehensif. 1,10
Menurut studi pengawasan terhadap lebih dari 2.000 anak dengan ASD,
83% memiliki diagnosis perkembangan tambahan, 10% memiliki setidaknya satu
diagnosis psikiatrik, dan 16% setidaknya memiliki satu diagnosis neurologis. Di
masa lalu, tingkat kecacatan intelektual komorbid (Intellectual Disability/ID) pada
pasien dengan ASD dilaporkan dari 50% menjadi 70%, dengan perkiraan CDC
terbaru dilaporkan sebesar 31,0% (26,7% menjadi 39,4%) dengan ID didefinisikan
sebagai kecerdasan intelektual (IQ) ≤70.36
Kondisi perilaku atau kejiwaan lain yang terjadi bersamaan ASD termasuk
kecemasan, ADHD, gangguan obsesif-kompulsif (OCD), gangguan mood atau
gangguan perilaku mengganggu lainnya. Tingkat kejadian ADHD yang terjadi
bersamaan dilaporkan berkisar antara 25% hingga 81%.1,10
Ahli neurologi harus menentukan kejadian dan karakteristik fenomena
paroksismal yang menunjukkan adanya kejang serta mengidentifikasi adanya
regresi perkembangan akut atau subakut. Pemeriksaan lengkap mengenai riwayat
21
keluarga seperti kosanguinitas, gangguan perkembangan, keterlambatan atau
gangguan bahasa, ASD atau kondisi serupa seperti sindrom Asperger, gangguan
perkembangan pervasif, isolasi sosial atau gangguan integrasi sensorik atau proses
sensorik juga harus dinilai.38
22
(kelenturan, hipotonia berat, temuan unilateral). Pasien dengan dugaan kejang harus
menjalani pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Jika dapat diakses, mungkin
tepat untuk segera merujuk anak yang memiliki kekhawatiran akan kondisi genetik,
metabolik, atau neurologis lebih lanjut ke spesialis yang dapat memperoleh dan
menginterpretasikan pengujian tersebut. 38
2.6 Tatalaksana
Pilihan pengobatan saat ini untuk ASD termasuk intervensi farmakologis
dan non-farmakologis. Meskipun 70% anak dengan ASD menerima obat-obatan,
hanya ada sedikit bukti bahwa efek yang menguntungkan lebih besar daripada efek
sampingnya. Tidak ada agen farmakologis yang efektif dalam mengobati
manifestasi perilaku inti dari ASD, tetapi pemberian obat mungkin efektif dalam
mengobati masalah perilaku terkait dan gangguan komorbiditas. Intervensi
farmakologis dari golongan obat yang berbeda termasuk psikostimulan, obat
antipsikotik atipikal, antidepresan, agonis reseptor alfa-2 adrenergik, penghambat
kolinesterase, antagonis reseptor NMDA, dan penstabil mood antiepilepsi.9,11
2.6.1 Psikostimulan
Adanya komorbiditas tinggi antara ASD dan ADHD, pengobatan dengan
obat psikostimulan ADHD tradisional seperti methylphenidate dan amfetamin
tampaknya bermanfaat dalam mengelola gejala ADHD pada pasien ASD. Sebuah
sturi Randomized Controlled Trial (RCT) crossover double-blind menyarankan
bahwa methylphenidate kemungkinan berguna dalam mengobati hiperaktif pada
anak ASD. Namun, studi lainnya telah melaporkan peningkatan efek samping
seperti penarikan sosial dan lekas marah. RCT crossover yang lebih besar yang
dilakukan oleh The Research Units on Pediatric Psychopharmacology (RUPP)
Autism Network melaporkan bahwa methylphenidate secara efektif mengurangi
hiperaktif dan impulsif pada 50% dari 72 anak dengan ASD (usia 5-14 tahun) yang
juga mengalami hiperaktif. Meskipun demikian, perbaikan ini tetap lebih rendah
dari 70%-80% perbaikan gejala setelah pengobatan dengan methylphenidate pada
anak dengan ADHD saja. Selain itu, dosis methylphenidate yang lebih rendah
23
digunakan karena pasien ASD tidak dapat mentolerir dosis yang lebih tinggi yang
biasa digunakan pada pasien ADHD.11,12
Uji coba lain pada anak usia prasekolah juga melaporkan penurunan
hiperaktif dan impulsif sebesar 50% pada dosis methylphenidate dua kali sehari
(kisaran 2,5–10 mg atau 0,14–0,58 mg/kg untuk dosis pagi dan siang); dosis yang
lebih tinggi dikaitkan dengan insiden efek samping yang lebih tinggi termasuk lekas
marah dan perilaku stereotip, masalah gastrointestinal dan tidur. Perlu dicatat
bahwa psikostimulan terutama efektif dalam meningkatkan hiperaktivitas dan
impulsif komorbiditas pada pasien ASD tanpa manfaat pada gejala lain seperti lekas
marah, penarikan sosial, perilaku berulang, atau gangguan bicara.9,11
Methylphenidate memblokir reuptake dua neurotransmiter, yaitu
norepinefrin (NE) dan dopamine di neuron presinaptik. Lebih khusus lagi, obat ini
menghambat transporter neurotransmiter tersebut, meningkatkan konsentrasi
dopamin dan NE di celah sinaptik. Methylphenidate menciptakan efek stimulan
klasiknya di dalam sistem saraf pusat (SSP), terutama di korteks prefrontal.
Methylphenidate secara kimia berasal dari phenethylamine dan benzylpiperazine
yang mengalami metabolisme oleh hati menjadi asam ritalinat melalui proses yang
disebut de-esterifikasi melalui karboksilesterase CES1A1.38
Peningkatan kadar dopamine menyebabkan perlindungan saraf. Efek ini
terjadi tidak hanya melalui penghambatan langsung dari transporter dopamine,
tetapi juga melalui regulasi tidak langsung dari transporter monoamine vesikular 2.
Interaksi gabungan methylphenidate pada kedua transporter ini mengurangi jumlah
dopamin yang terakumulasi dalam sitoplasma pada pasien dengan kondisi ini,
sehingga demikian mencegah pembentukan spesies oksigen reaktif yang jika tidak
akan menjadi racun yang berbahaya bagi otak.38
Penggunaan methylphenidate jangka pendek ditemukan dapat
meningkatkan gejala hiperaktif dan kemungkinan deficit atensi pada anak dengan
ASD yang toleran terhadap pengobatan. Tidak ada bukti bahwa methylphenidate
memiliki dampak negatif pada gejala inti ASD, atau meningkatkan interaksi sosial,
perilaku stereotip, atau ASD secara keseluruhan. Bukti efek samping memiliki
kualitas yang sangat rendah karena uji coba singkat dan mengecualikan anak-anak
yang tidak toleran terhadap metilfenidat dalam fase dosis uji.39,40
24
2.6.2 Obat Antipsikotik Atipikal
Obat antipsikotik atipikal menargetkan dopamin, serotonin, dan subtipe
reseptor neurotransmitter lainnya dengan afinitas variabel dan telah banyak
digunakan untuk pengobatan skizofrenia dan gangguan psikotik. Obat antipsikotik
atipikal yang biasa diresepkan untuk pasien ASD adalah risperidone, aripirazole,
quetiapine, ziprasidone, dan pada tingkat yang lebih rendah olanzapine.9,11
25
keterampilan perawatan diri, lembar kerja yang sangat terstruktur, dan alat bantu
visual. Teknik dan protokol CBT yang dimodifikasi telah dikembangkan untuk
pasien ASD untuk mengatasi gejala dan kesulitan yang timbul dari gangguan
mereka yang juga akan mengganggu penerapan CBT standar seperti masalah
mereka dalam mengenali dan memahami pikiran dan perasaan mereka sendiri dan
orang lain.1,2,11
CBT pada pasien ASD muda dapat diberikan secara individual, dapat
melibatkan kehadiran anggota keluarga, atau dapat dilakukan dalam pengaturan
kelompok yang lebih besar. Perawatan individu mungkin lebih efektif karena
fleksibilitas dan personalisasi yang meningkat untuk keterampilan dan kebutuhan
khusus pasien. Namun demikian, ada juga keuntungan yang berbeda untuk
menggunakan kelompok CBT untuk pasien ASD. Kelompok CBT memungkinkan
peningkatan interaksi sosial, berbagi pengalaman, promosi penerimaan diri, dan
peningkatan wawasan tentang kekuatan dan kelemahan yang terkait dengan ASD.
38
26
BAB III
RINGKASAN
27
DAFTAR PUSTAKA
28
11. Hyman SL, Levy SE, Myers SM. Identification, Evaluation, and Management of
Children With Autism Spectrum Disorder. Pediatrics. 2020 Jan;145(1).
12. Cook J, Hull L, Crane L, Mandy W. Camouflaging in autism: A systematic review.
Clinical psychology review. 2021 Nov;89:102080.
13. Hobson R. Autism and the Development of Mind. Routledge. 2019;
14. Lyall K, Croen L, Daniels J, Fallin MD, Ladd-Acosta C, Lee BK, et al. The
changing epidemiology of autism spectrum disorders. Annu Rev Public Health.
2017;38:81–102.
15. Taylor MJ, Rosenqvist MA, Larsson H, Gillberg C, D’Onofrio BM, Lichtenstein P,
et al. Etiology of Autism Spectrum Disorders and Autistic Traits Over Time. JAMA
psychiatry. 2020 Sep;77(9):936–43.
16. Hoirisch-Clapauch S, Nardi AE. Autism spectrum disorders: let’s talk about
glucose? Translational psychiatry. 2019 Jan;9(1):51.
17. Ornoy A, Weinstein-Fudim L, Ergaz Z. Prenatal factors associated with autism
spectrum disorder (ASD). Reproductive toxicology (Elmsford, NY). 2015
Aug;56:155–69.
18. Jiang HY, Xu LL, Shao L, Xia RM, Yu ZH, Ling ZX, et al. Maternal infection
during pregnancy and risk of autism spectrum disorders: A systematic review and
meta-analysis. Brain, behavior, and immunity. 2016 Nov;58:165–72.
19. Zerbo O, Qian Y, Yoshida C, Grether JK, Van de Water J, Croen LA. Maternal
Infection During Pregnancy and Autism Spectrum Disorders. Journal of autism and
developmental disorders. 2015 Dec;45(12):4015–25.
20. Vorstman JAS, Parr JR, Moreno-De-Luca D, Anney RJL, Nurnberger JIJ,
Hallmayer JF. Autism genetics: opportunities and challenges for clinical
translation. Nature reviews Genetics. 2017 Jun;18(6):362–76.
21. Woodbury-Smith M, Scherer SW. Progress in the genetics of autism spectrum
disorder. Developmental medicine and child neurology. 2018 May;60(5):445–51.
22. Schaefer GB. Clinical Genetic Aspects of ASD Spectrum Disorders. International
journal of molecular sciences. 2016 Jan;17(2).
23. Shiani A, Sharafi K, Omer AK, Kiani A, Karamimatin B, Massahi T, et al. A
systematic literature review on the association between exposures to toxic elements
29
and an autism spectrum disorder. The Science of the total environment. 2023
Jan;857(Pt 2):159246.
24. Sandin S, Schendel D, Magnusson P, Hultman C, Surén P, Susser E, et al. Autism
risk associated with parental age and with increasing difference in age between the
parents. Molecular psychiatry. 2016 May;21(5):693–700.
25. Wu S, Wu F, Ding Y, Hou J, Bi J, Zhang Z. Advanced parental age and autism risk
in children: a systematic review and meta-analysis. Acta psychiatrica
Scandinavica. 2017 Jan;135(1):29–41.
26. Hviid A, Hansen JV, Frisch M, Melbye M. Measles, Mumps, Rubella Vaccination
and Autism: A Nationwide Cohort Study. Annals of internal medicine. 2019
Apr;170(8):513–20.
27. Jones - Jang M, Mckeever B, Mckeever R, Kim J. From Social Media to
Mainstream News: The Information Flow of the Vaccine-Autism Controversy in
the US, Canada, and the UK. Health Communication. 2019 Jan 13;
28. Yenkoyan K, Grigoryan A, Fereshetyan K, Yepremyan D. Advances in
understanding the pathophysiology of autism spectrum disorders. Behavioural
brain research. 2017 Jul;331:92–101.
29. Carpita B, Muti D, Dell’Osso L. Oxidative Stress, Maternal Diabetes, and Autism
Spectrum Disorders. Oxidative medicine and cellular longevity.
2018;2018:3717215.
30. Wolf JM, Barton M, Jou R. Autism Spectrum Disorder. Neuropsychological
Conditions across the Lifespan. 2018;(October):45–60.
31. Sugiarmin M. Individu dengan Gangguan Autisme. 1943;
32. Donovan APA, Basson MA. The neuroanatomy of autism - a developmental
perspective. Journal of anatomy. 2017 Jan;230(1):4–15.
33. Haar S, Berman S, Behrmann M, Dinstein I. Anatomical Abnormalities in Autism?
Cerebral cortex (New York, NY : 1991). 2016 Apr;26(4):1440–52.
34. Ropper A, Samuel M, Klein J. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 11th
ed. Mc Graw Hill Companies Inc; 2019.
35. des Portes V. Intellectual disability. Handbook of clinical neurology.
2020;174:113–26.
30
36. Bale JF, Bonkowsky JL, Filoux FM, Hedlund GL, Larsen PD, Morita DC. Autism
spectrum disorder and related conditions. In: Pediatric Neurology. 2nd ed. CRC
Press; 2017. p. 93–8.
37. Muhartomo H. Aspek Neurologik Autisme Infantil. In: Buku Ajar Neurologi Anak.
1st ed. Sumedang: Unpad Press; 2019. p. 51–66.
38. Ilieva IP, Hook CJ, Farah MJ. Prescription Stimulants’ Effects on Healthy
Inhibitory Control, Working Memory, and Episodic Memory: A Meta-analysis.
Journal of cognitive neuroscience. 2015 Jun;27(6):1069–89.
39. Sturman N, Deckx L, van Driel ML. Methylphenidate for children and adolescents
with autism spectrum disorder. The Cochrane database of systematic reviews. 2017
Nov;11(11):CD011144.
40. Ventura P, de Giambattista C, Spagnoletta L, Trerotoli P, Cavone M, Di Gioia A,
et al. Methylphenidate in Autism Spectrum Disorder: A Long-Term Follow up
Naturalistic Study. Journal of clinical medicine. 2020 Aug;9(8).
31