Oleh :
Nama : Cindra
NIM : 2019.C.11a.1039
Mengetahui,
Pembimbing Akademik Ketua Program Studi Ners
KATA PENGANTAR
i
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, sehingga dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan
Dengan Gangguan “Pemenuhan Kebutuhan Distress Pada Tn. D Dengan Diagnosa Medis
Penyakit Paru Obstruksi (PPOK) Di Ruang Aster RSUD Dr.Doris Sylvanus Palangka Raya”
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Saya berharap laporan pendahuluan
penyakit ini dapat berguna dan menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai PPOK.
Menyadari sepenuhnya bahwa di dalam laporan pendahuluan penyakit ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna oleh sebab itu berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan laporan pendahuluan. Semoga laporan sederhana ini dapat dipahami
bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-katanyang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan.
Cindra
DAFTAR ISI
ii
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum...........................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus..........................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan..............................................................................4
1.4.1 Untuk Mahasiswa.....................................................................4
1.4.2 Untuk Klien dan Keluarganya..................................................4
1.4.3 Untuk Institusi..........................................................................4
1.4.4 Untuk IPTEK............................................................................4
iii
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN............................................................27
3.1 Pengkajian......................................................................................27
3.2 Diagnosa........................................................................................34
3.3 Intervensi.......................................................................................36
3.4 Implementasi .................................................................................39
3.5 Evaluasi..........................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................42
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
musik, menulis), koping tidak efektif, tidak berminat pada alam/literatur spiritual (SDKI,
2017).
Berdasarkan data diatas distress spiritual terjadi pada pasien Kanker, kehilangan bagian
tubuh, kemandulan, keguguran, retardasi mental, gangguan psikiatri, sudden infant death
syndrome (SIDS) dan penyakit kronis yang diantaranya yaitu Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK).
Penyakit Paru Obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu gangguan oksigenasi yang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan spiritual karna merupakan salah satu penyakit
kronik yang dapat menyebabkan perasaan cemas dan menyalahkan diri, orang lain bahkan
tuhan dalam proses perawatannya dapat menyebabkan hubungan pasien dan perawat tidak
baik karna tidak adanya kepercayaan atara perawat dan pasien (Fisher, 2018). Hal yang lebih-
lebih lagi dengan kepercayaan pasien terhadap penciptanya atau Tuhan. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan keenganan pasien untuk melakukan ibadah yang sesuai dengan
ajarannya.
Menurut World Health Organization (WHO) yang dituangkan dalam panduan Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2015, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversible. (WHO) melaporkan terdapat 600 juta orang
menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang hingga berat.
Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab utama kematian kelima di dunia dan diperkirakan
menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030. Dari angka kejadian
yang cukup tinggi, seharusnya pasien lebih menerima penyakit dan lebih meningkatkan
ibadahnya untuk mendukung keseimbangan dan ketenangan dalam menghadapi penyakitnya.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS, 2018) didapatkan prevalensi distress spiritual
di Indonesia hampir 73% dengan prevalensi terbanyak dan mayoritas beragama islam yaitu
Provinsi aceh, jawa barat dan Lampung.
Berdasarkan uraian dan keterangan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
memahami gangguan pemenuhan kebutuhan distress spiritual sehingga penulis mengambil
judul “Pemenuhan Kebutuhan Distress Pada Pasien Dengan Diagnosa Medis Penyakit Paru
Obstruksi (PPOK) Di Ruang Flamboyan RSUD Dr.Doris Sylvanus Palangka Raya” untuk
memenuhi tugas Praktik Praklinik Keperawatan I (PPK I) Pada Program Studi S-1
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.. Dengan harapan
pasien dapat memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya serta untuk mendapatkan
gambaran tentang asuhan keperawatan gangguan pemenuhan kebutuhan distress spiritual
pada pasien PPOK menggunakan proses keperawatan.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas bagaimana rencana keperawatan yang dapat dilakukan
pada pasien Dengan Pemenuhan Kebutuhan Distress Pada Tn. U Dengan Diagnosa Medis
Penyakit Paru Obstruksi (PPOK) Di Ruang Flamboyan RSUD Dr.Doris Sylvanus Palangka
Raya.
3
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dengan
menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
menempuh pendidikan di Program Studi S1 Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Klien dan Keluarga
Pasien dan keluarga dapat mengetahui gambaran umum tentang gangguan pemenuhan
kebutuhan distress spiritual pada pasien PPOK beserta penanganan yang benar, agar klien
mendapatkan perawatan yang tepat didalam keluarganya.
1.4.3 Bagi Institusi
3.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai referensi dan menambah koleksi sumber referensi di
perpustakaan dalam mengembangkan asuhan keperawatan dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan distress spiritual pada pasien PPOK.
3.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Dapat digunakan sebagai referensi dalam meningkatkan asuhan keperawatan
dengan gangguan pemenuhan kebutuhan distress spiritual pada pasien PPOK.
1.4.4 Bagi IPTEK
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat membantu
serta menunjang pelayanan perawatan yang berguna bagi status kesembuhan klien
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1.2 Anatomi Fisiologi Sistem Respirasi
Sistem respirasi adalah sistem yang memiliki fungsi utama untuk melakukan respirasi
dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida. Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk memastikan bahwa tubuh
mengekstrak oksigen dalam jumlah yang cukup untuk metabolisme sel dan melepaskan
karbondioksida (Peate and Nair, 2011).
Sumber : https://www.dosenpendidikan.co.id/sistem-respirasi-manusia/
Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan bawah.
Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem pernafasan
bawah terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate and Nair, 2011).
a. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama dalam
sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan bagian internal. Di
hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang berupa tulang dan hyaline
kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit. Struktur interior dari bagian
eksternal hidung memiliki tiga fungsi : (1) menghangatkan, melembabkan, dan
menyaring udara yang masuk; (2) mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau);
dan (3) modifikasi getaran suara yang melalui bilik resonansi yang besar dan
bergema. Rongga hidung sebagai bagian internal digambarkan sebagai ruang yang
besar pada anterior tengkorak (inferior pada tulang hidung; superior pada rongga
mulut); rongga hidung dibatasi dengan otot dan membrane mukosa (Tortorra and
Derrickson, 2014).
b. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13 cm.
Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane mukosa. Otot
6
rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap sedangkan apabila otot
rangka kontraksi maka sedang terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah sebagai
saluran untuk udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk suara saat
berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing)
(Tortorra and Derrickson, 2014).
c. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian
berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid, cuneiform,
dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan dimana jaringan
ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk
menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid,
epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi pita suara.
Epiglotis melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar
melewati esofagus (Peate and Nair, 2011).
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati udara
dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia
sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan didorong keatas
melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat dahak. Trakea dan bronkus
juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi batuk, memaksa partikel besar
yang masuk kembali keatas (Peate and Nair, 2011).
e. Bronkus
Sumber : https://www.dosenpendidikan.co.id/sistem-respirasi-manusia/
Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri,
yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Didalam
7
masing-masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit, pendek, dan
semakin banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada pohon. Cabang
terkecil dikenal dengan sebutan bronchiole (Sherwood, 2010). Pada pasien PPOK
sekresi mukus berlebih ke dalam cabang bronkus sehinga menyebabkan bronkitis
kronis.
f. Paru
Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus. Terdapat tiga lobus di
paru sebelah kanana dan dua lobus di paru sebelah kiri. Diantara kedua paru
terdapat ruang yang bernama cardiac notch yang merupakan tempat bagi jantung.
Masing-masing paru dibungkus oleh dua membran pelindung tipis yang disebut
parietal dan visceral pleura. Parietal pleura membatasi dinding toraks sedangkan
visceral pleura membatasi paru itu sendiri. Diantara kedua pleura terdapat lapisan
tipis cairan pelumas. Cairan ini mengurangi gesekan antar kedua pleura sehingga
kedua lapisan dapat bersinggungan satu sama lain saat bernafas. Cairan ini juga
membantu pleura visceral dan parietal melekat satu sama lain, seperti halnya dua
kaca yang melekat saat basah (Peate and Nair, 2011).
Sumber : https://www.dosenpendidikan.co.id/sistem-respirasi-manusia/
8
sel epitel dengan permukaan bebas yang mengandung mikrofili yang mensekresi
cairan alveolar. Cairan alveolar ini mengandung surfaktan sehingga dapat menjaga
permukaan antar sel tetap lembab dan menurunkan tekanan pada cairan alveolar.
Surfaktan merupakan campuran kompleks fosfolipid dan lipoprotein. Pertukaran
oksigen dan karbondioksida antara ruang udara dan darah terjadi secara difusi
melewati dinding alveolar dan kapiler, dimana keduanya membentuk membran
respiratori (Tortora dan Derrickson, 2014).
Respirasi mencakup dua proses yang berbeda namun tetap berhubungan yaitu
respirasi seluler dan respirasi eksternal. Respirasi seluler mengacu pada proses
metabolism intraseluler yang terjadi di mitokondria. Respirasi eksternal adalah
serangkaian proses yang terjadi saat pertukaran oksigen dan karbondioksida antara
lingkungan eksternal dan sel-sel tubuh (Sherwood, 2014). Terdapat empat proses
utama dalam proses respirasi ini yaitu:
Ventilasi pulmonar – bagaimana udara masuk dan keluar dari paru
Respirasi eksternal – bagaimana oksigen berdifusi dari paru ke sirkulasi darah
dan karbondioksida berdifusi dari darah ke paru
Transport gas – bagaimana oksigen dan karbondioksida dibawa dari paru ke
jaringan tubuh atau sebaliknya
Respirasi internal – bagaimana oksigen dikirim ke sel tubuh dan
karbondioksida diambil dari sel tubuh (Peate and Nair, 2011)
2.1.3 Etiologi
Menurut Ikawati, 2016 ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini,
yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadi PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar
pada perokok disbanding dengan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus
PPOK. Kurang dari 15- 20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK
terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok
yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK
adalah perokok. Kurang lebih 10% orang yang tidak merokok juga menderita PPOK.
Perokok pasif (tidak merokok tapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita
PPOK.
2. Pekerjaan
9
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar
debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, dan asbes,
mempunyai risiko yang lebih besar dari pada yang bekerja di tempat selain yang
disebutkan tadi diatas.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini biasa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, dll, maupun polusi yang berasal dari dalam rumah misalnya asap
dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neutrofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi
bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan
jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi dan percepatan penurunan fungsi paru,
yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Beberapa faktor risiko yang berasal dari host atau pasiennya antara lain adalah:
1. Usia
Semakin bertambah usia, semakin besar risiko menderita PPOK.
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan peningkatan pravalensi PPOK
pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok. Bukti-bukti klinis
menunjukan bahwa wanita dapat mengalami penurunan fungsi paru yang lebih besar
daripada pria dengan status merokok yang relative sama. Wanita juga akan mengalami
PPOK yang lebih parah daripada pria. Hal ini diduga karena ukuran paru-paru wanita
umumnya relative lebih kecil daripada pria, sehingga dengan paparan asap rokok yang
sama persentase paru yang terpapar pada wanita lebih besar daripada pria.
3. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK.
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih
besar sejalan dengan wanita daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih
berisiko terhadap perkembangan PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang
pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
4. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi 𝛼2 antritipsin (AAT)
10
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema yang disebabkan
oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru- paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada keadaan normal
faktor protrktif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusakan.
Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap
kerusakan paru.
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit paru ini berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) (2017) sebagai berikut :
1) Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis berupa batuk atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produks sputum.
Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Spirometri :FEV1/FVC < 70%,
FEV1 ≥ 80% .
2) Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis berupa batuk atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC
< 70%; 50% < FEV1 < 80%.
3) Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis berupa sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering
terjadi. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
4) Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30%
atau < 50%.
2.1.5 Patofisiologi
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi
utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang disebabkan perubahan saluran
nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim, dan vaskularisasi paru
dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan
struktural pada paru. Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah
ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peran besar
menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan
11
terhadap faktor pencetus Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu partikel noxius yang
terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran pernafasan dan mengendap dan
terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus sehingga menghambat aktivitas sillia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi
mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar
mukosa. Kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi
mukus yang akan berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta
menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan
terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang
produktif (Antariksa B dkk, 2011).
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding
alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian mengakibatkan
bersatunya alveolus satu dan yang lain membentuk abnormal large-space. Selain itu,
terjadinya modifikasi fungsi anti-protase pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk
menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus.
Seiring dengan terus terjadinya iritasi di saluran pernafasan makan lama-kelamaan akan
menyebabkan erosi epitel hingga terbentuknya jaringan parut pada saluran nafas. Selain itu
juga dapat menimbulkan metaplasia skuamosa (sel yang berada di permukaan dan lapisan
tengah kulit) dan penebalan lapisan skuamosa yang dapat menimbulkan stenosis dan
obstruksi irreversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak bergitu terlihat seperti pada
penderita penyakit asma, namun pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) juga dapat
terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan masalah gangguan
sirkulasi udara pada sisitem pernafasan (GOLD, 2017).
Pada bronkitis kronis akan terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi saluran pernafasan, hipertrofi otot polos serta distorsi yang diakibatkan
fibrosis. Sedangkan pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya
daya renggang elastisitas paru-paru. Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-
asimar. Pada jenis pan-asinar kerusakan pada asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan
proses penuaan serta pengurangan luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan
terjadi bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang banyak disebabkan oleh asap rokok
(SudoyoAW,2017.
12
Patofisiologi ( Pathway )
13
2.1.6
14
Menurut Ikawati, 2016 diagnosa PPOK ditegakan berdasarkan adanya gejala- gejala
meliputi:
1. Batuk kronis: terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari
(tidak seperti asma yang terdapat gejala batuk malam hari);
2. Produksi sputum secara kronis: semua pola produksi sputum dapat mengidentifikasi
adanya PPOK;
3. Bronchitis akut: terjadi secara berulang;
4. Sesak nafas (dyspnea): bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk
jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan;
5. Riwayat paparan terhadap faktor resiko: merokok, partikel dan senyawa kimia, asap
dapur;
6. Smoker’s cough, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin, kemudian
berkembang sepanjang tahun;
7. Sputum, biasanya banyak dan lengket, berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila
terjadi infeksi;
8. Dyspnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan;
9. Lelah dan lesu; dan
10. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah dan terengahengah).
Pada gejala berat dapat terjadi:
1. Sianosis, terjadi kegagalan respirasi;
2. Gagal jantung dan oedema perifer; dan
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang memerah yang
disebabkan polycythemia (erytrocytosis, jumlah eritrosit yang meningkat), hal ini
merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas pengangkutan 𝑂2 yang berlebih.
2.1.7 Komplikasi
a. Infeksi Saluran Nafas
Biasanya muncul pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Hal tersebut
sebagai akibat terganggunya mekanisme pertahanan normal paru dan penurunan imunitas.
Oleh karena status pernafasan sudah terganggu, infeksi biasanya akan mengakibatkan
gagal nafas akut dan harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit (Black, 2014).
b. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya belb (kantong udara dalam
alveoli) pada penderita emfisema. Pecahnya belb itu dapat menyebabkan pneumothoraks
tertutup dan membutuhkan pemasangan selang dada (chest tube) untuk membantu paru
mengembang kembali (Black, 20014).
15
c. Dypsnea
Seperti asma, bronchitis obstruktif kronis, dan emfisema dapat memburuk pada
malam hari. Pasien sering mengeluh sesak nafas yang bahkan muncul saat tidur (one set
dyspnea) dan mengakibatkan pasien sering terbangun dan susah tidur kembali di waktu
dini hari. Selama tidur terjadi penurunan tonus otot pernafasan sehingga menyebabkan
hipoventilasi dan resistensi jalan nafas meningkat, dan akhirnya pasien menjadi
hipoksemia (Black, 2014).
d. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tingkat PO2<55mmHg dengan nilai
saturasi O2<85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul gejala seperti sianosis
(Permatasari, 2016).
e. Asidosis Respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat peningkatan nilai PCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain, nyeri kepala, fatigue, letargi, dizziness, dan takipnea. Asidosis
respiratori yang tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan dypsnea, psikosis,
halusinasi, serta ketidaknormalan tingkah laku bahkan koma. Hiperkapnia yang
berlangsung lama atau kronik pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan
menyebabkan gangguan tidur, amnesia, perubahan tingkah laku, gangguan koordinasi dan
bahkan tremor (Hartono, 2013).
f. Kor Pulmonale
Kor pulmonale (yang disebut pula gagal jantung kanan) merupakan keadaan tarhadap
hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan, yang dapat terjadi akibat komplikasi sekunder
karena penyakit pada struktur atau fungsi paru-paru atau system pembuluh darah.
Keadaan ini bisa terjadi pada stadium akhir berbagai gangguan kronik yang mengenai
paruparu, pembuluh darah pulmoner, dinding dada dan pusat kendali pernafasan. Kor
pulmonale tidak terjadi pada gangguan yang berasal dari penyakit jantung kongenital atau
pada gangguan yang mengenai jantung sebelah kiri (Hartono, 2013).
16
b. Uji Faal Paru Dengan Spirometri dan Bronkodilator (postbronchodilator) : berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosis
pasien. Pemerikasaan ini penting untuk memperlihatkan secara objektif adanya obstruktif
saluran pernafasan dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal atau dapat disebut
forced vital capacity (FVC). Spirometri juga berfungsi untuk mengukur volume udara
yang dikeluarkan pada satu detik pertama atau disebut juga forced expiratory volueme in
1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering
digunakan untuk menilai fungsi paruparu. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai dari
rasio pengukuran FEV1/FVC pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel.
Pengujian ini dilakukan pada saat penderita atau pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) pada masa stabil atau tidak dalam masa ekserbasi akut. Dan hasil pemeriksaan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan
klasifikasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berdasarkan derajat obstruksinya.
c. TLC (Total Lung Capacity) : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asma,
menurun pada penderita emfisema (Soemantri, 2008).
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada penderita emfisema (Soemantri, 2008).
e. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO2 menurun dan PCO2 normal
meningkat (pada bronchitis kronis dan emfisema). Sering kali menurun pada asma dengan
pH normal atau asidosis, alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat terjadinya
hiperventilasi (emfisema sedang dan asma) (Soemantri, 2008).
f. Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps bronchial
pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
(Muttaqin, 2014).
g. Pemeriksaan Darah Lengkap : dapat menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin
(emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma) (Muttaqin, 2014).
h. Kimia Darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang kemungkinannya berkurang
pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
i. Sputum Kultur : pemeriksaan pada bakteriologi gram pada sputum pasien yang
diperlukan untuk mengetahui adanya pola kuman dan untuk menentukan jenis antibiotik
yang paling tepat. Infeksi saluran pernafasan yang berulang merupakan penyebab dari
ekserbasi akut pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Muttaqin, 2014).
j. Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan ECG (Elektro Kardio Graph) yang
difungsikan untuk mengetahui adanya komplikasi yang terjadi pada organ jantung yang
ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat
17
dilakukan namun jarang dilakukan yaitu uji latih kardiopulmoner, uji provokasi brunkus,
CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha 1-antitrypsin (Putra
PT dkk, 2013).
18
Semua pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mendapat keuntungan dengan
program olahraga, yaitu meningkatkan toleransi tubuh terhadap aktvitas, menurunnya
dypsnea dan kelelahan. Olahraga tidak memperbaiki fungsi paru, tetapi olahraga dapat
memperkuat otot pernafasan.
d. Meningkatkan kesehatan secara umum Cara lain adalah dengan memperbaiki pola hidup
pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu dengan menghindari rokok, debu,
dan bahan kimia akibat pekerjaan, serta polusi udara. Serta didukung dengan asupan
nutrisi yang adekuat.
Intervensi medis bertujuan untuk
a. Memelihara kepatenan jalan nafas dengan menurunkan spasme bronkus dan
membersihkan secret yang berlebih;
b. Memelihara keefektifan pertukaran gas;
c. Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernafasan;
d. Meningkatkan toleransi latihan;
e. Mencegah adanya komplikasi (gagal nafas akut);
f. Mencegah alergan/iritasi jalan nafas;
Manajemen medis yang diberikan berupa :
a. Pengobatan farmakologi.
1) Anti inflamasi (kortikostroid, natrium kromolin, danlain-lain);
2) Bronkodilator;
a) Adrenergic: efedirin, epineprin, dan beta adrenergic agosis selektif.
b) Non adrenergic: aminofilin, teofilin
3) Antihistamin;
4) Steroid;
5) Antibiotik;
6) Ekspetoran.
7) Oksigen digunakan 3x/menit dengan nasal kanul.
b. Hygiene paru
Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekresi paru, meningkatkan kerja silia, dan
menurunkan resiko infeksi. Dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, dan
postural drainase.
c. Menghindari bahan iritan
Penyebab iritan jalan nafas yang harus dihindari diantaranya asap rokok dan perlu
juga mencegah adanya allergen yang masuk tubuh.
d. Diet
19
Klien sering kali mengalami kesulitan makan karena adanya dyspnea. Pemberian
porsi yang kecil namun sering lebih baik daripada makan sekaligus banyak
Pengertian Spiritualitas
Spiritualitas merupakan konsep kompleks yang unik pada tiap individu, dan
tergantung pada budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan, dan ideide tentang
20
kehidupan seseorang (Mauk dan Schmidt, 2004 dalam Potter and Perry, 2010). Spiritual
memberikan individu energi yang dibutuhkan untuk menemukan diri mereka, untuk
beradaptasi dengan situasi yang sulit, dan untuk memelihara kesehatan. Energi yang berasal
dari spiritual membantu klien merasa sehat dan membantu membuat pilihan sepanjang
kehidupan (Chiu et al., 2004 dalam Potter and Perry, 2010).
Karakteristik Spiritualitas
Adapun karakteristik spiritual menurut Hamid (2009) meliputi :
Hubungan dengan diri sendiri (kekuatan dalam atau self-reliance) meliputi: pengetahuan
diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya) dan sikap (percaya pada diri sendiri,
percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan
dengan diri sendiri.
Hubungan dengan alam (harmoni) meliputi: mengetahui tentang tanaman, pohon,
margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam (bertanam, berjalan kaki),
mengabadikan dan melindungi alam.
Hubungan dengan orang lain (harmonis atau suportif) meliputi: berbagi waktu,
pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak, orang tua dan orang sakit,
serta menyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat dll), dikatakan tidak
harmonis apabila: konflik dengan orang lain, resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dan friksi.
Hubungan dengan ketuhanan (agamais atau tidak agamais) meliputi: sembahyang atau
berdoa atau meditasi, perlengkapan keagamaan dan bersatu dengan alam.
Kesehatan Spiritual
Kontinum sehat dan kesehatan mencakup enam dimensi sehat yang mempengaruhi
gerakan di sepanjang kontinum. Dimensi ini diuraikan sebagai berikut :
Sehat fisik adalah ukuran tubuh, ketajaman sensorik, kerentanan terhadap penyakit,
fungsi tubuh, kebugaran fisik, dan kemampuan sembuh.
Sehat intelektual adalah kemampuan untuk berfikir dengan jernih dan menganalisis secara
kritis untuk memenuhi tantangan hidup.
Sehat sosial adalah kemampuan untuk memiliki hubungan interpersonal dan interaksi
dengan orang lain yang memuaskan.
Sehat emosional adalah ekspresi yang sesuai dan control emosi; harga diri, rasa percaya
dan cinta.
Sehat lingkungan adalah penghargaan terhadap lingkungan eksternal dan peran yang
dimainkan seseorang dalam mempertahankan, melindungi, dan memperbaiki kondisi
lingkungan.
Sehat spiritual adalah keyakinan terhadap Tuhan atau cara hidup yang ditentukan oleh
agama; rasa terbimbing akan makna atau nilai kehidupan.
Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap
dimensi harus dipenui kebutuhannya. Seringkali permasalahan yang muncul pada klien ketika
mengalami suatu kondisi dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit fisik) mengakibatkan
22
terjadinya masalah psikososial dan spiritual. Ketika klien mengalami penyakit, kehilangan
dan stress, kekuatan spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan dan
terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan spiritual (Yusuf, 2016).
23
c) Penyakit Kronis : Banyak penyakit kronis yang mengancam kebebasan seseorang
menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan tekanan spiritual. Ketidakberdayaan dan
kehilangan pemahaman tujuan hidup mengganggu kemampuan untuk beradaptasi
dengan perubahan pada fungsi tubuh. Pasien yang memiliki pemahaman
kesejahteraan spiritual, merasakan hubungan dengan kekuatan tertinggi dan orang
lain, dan dapat menemukan arti dan tujuan hidup, akan dapat beradaptasi lebih baik
dengan penyakit kronis yang dimilikinya, di mana membantu mereka mencapai
potensi dan peningkatan kualitas hidup mereka (Adegbola, 2006 dalam Potter &
Perry, 2010).
d) Penyakit Terminal : Penyakit terminal biasanya menyebabkan ketakutan terhadap
nyeri fisik, isolasi, hal yang tak terduga, dan kematian. Penyakit terminal menciptakan
ketidakpastian tentang apa arti kematian dan membuat pasien rentan terhadap tekanan
spiritual.
e) Pengalaman Mendekati Kematian : Beberapa perawat akan merawat pasien yang
memiliki pengalaman mendekati kematian (Near-Death Experience [NDE]). Setelah
pasien selamat dari NDE, penting untuk tetap terbuka dan memberikan pasien
kesempatan untuk menggali apa yang telah terjadi. Berikan dukungan jika pasien
memutuskan untuk berbagi pengalaman dengan orang-orang terdekat (James, 2004
dalam Potter & Perry, 2010).
Kepercayaan Keagamaan Tentang Kesehatan : Setiap agama mempunyai beberapa
kepercayaan mengenai kesehatan baik secara pelayanan kesehatan, respon penyakit dan
penerapan kesehatan dalam keperawatan.
Jenis-Jenis Gangguan Spiritual : Menurut Carpenito (1999), ada 3 diagnosa keperawatan
yang termasuk dalam lingkup nilai/kepercayaan/spiritual, yaitu :
a) Resiko Distress Spiritual : Berisikio mengalami gangguan keyakinan atau sistem nilai
pada individu atau kelompok berupa kekuatan, harapan dan makna hidup.
b) Distress Spiritual : Gangguan pada keyakinan atau sistem nilai berupa kesulitan
merasakan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri, orang lain,
lingkungan atau Tuhan.
c) Kesejahteraa Spritual, Potensial Terhadap Perbaikan : Keberadaan individu yang
mengalami penguatan kehidupan dalam berhubungan dengan kekuasaan yang lebih
tinggi (setinggi yang ditetapkan individu), diri, komunitas dan lingkuingan yang
memelihara dan merayakan kesatuan.
2.3 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian Keperawatan
24
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses
pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien (Nursalam, 2009). Tahap pengkajian merupakan
dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu
(pasien). Oleh karena itu, pengkajian yang benar, akurat, lengkap dan sesuai dengan
kenyataan sangat penting sebagai data untuk merumuskan diagnosis keperawatan dan dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan respon individu yang sesuai dengan standar
praktik yang telah ditentukan oleh American Nurse Association (ANA).
Pada pengkajian terdapat dua tipe data, yaitu data subjektif dan data objektif. Data
subjektif adalah data yang didapatkan dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap suatu
situasi dan kejadian (lyer et al dalam Nursalam 2009). Data tersebut tidak dapat ditentukan
oleh perawat secara independen tetapi melalui suatu interaksi atau wawancara dengan pasien.
Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan termasuk persepsi pasien, perasaan, dan
ide tentang status kesehatannya. Sedangkan, data objektif adalah data yang dapat diobservasi
dan diukur oleh perawat (lyer et al dalam Nursalam 2009). Data ini diperoleh melalui
kepekaan perawat (senses) selama melakukan pemeriksaan fisik melalui 2S (sight, smell) dan
HT (hearing, touch/taste). Yang termasuk data objektif adalah frekuensi pernapasan, tekanan
darah, adanya edema dan berat badan. (Nursalam, 2009).
Pengkajian data ini meliputi riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan melalui
pemeriksaan diagnostik. Untuk memudahkan dalam pengkajian sebaiknya dilakukan secara
berurutan, terutama pada pemeriksaan fisik yang dimulai dari mata, hidung, mulut dan bibir,
vena leher, kulit, jari dan kuku, serta dada dan thoraks. (Andarmoyo, 2012).
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
27
Nama Mahasiswa :Cindra
Nim :2019.C.11a.1039
Ruang Praktek :Aster
Tanggal Praktek :30 Juni 2021
Tanggal & Jam Pengkajian : 30 Juni 2021 jam 08:00 WIB
3.1 Pengkajian
3.1 1 Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Umur : 20 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : Mahasiswa
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Jl.Kenari II
Tgl MRS 30: Juni 2021
Diagnosa Medis : Penyakit Paru Obstruksi Kronis (Ppok)
Identitas Penanggung Jawab
Nama Klien : Ny. S
TTL : Palangkaraya, 21 Juli 1999
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Suku : Dayak
Pendidikan : S-1
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl Kenari II
Hubungan keluarga : Saudara
3.1.2 Riwayat Kesehatan/Perawatan
1. Keluhan Utama :
Saudara Klien menagatakan Tn. D mengeluh batuk berdahak, dan sesak napas sejak 2
hari yang lalu di sertai sakit perut kembung.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
28
Tn. D mengeluh batuk berdahak, dan sesak napas sejak 2 hari yang lalu di sertai sakit
perut kembung. Dan sudah dibawa ke puskesmas tapi tidak ada perubahan.
3. Riwayat Penyakit Sebelumnya ( Riwayat Penyakit dan Riwayat Operasi )
Klien Mengatakan Belum pernah Sakit
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Klien Mengatakan Tidak ada penyakit dalam keluarganya
GENOGRAM KELUARGA
KETERANGAN:
= Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
Hubungan keluarga
= Menikah
= Tinggal serumah
= Pasien
31
1. Pola istirahat dan tidur:
Pasien tampak tidur dengan nyenyak dan nyaman.
Pola tidur malam: 10 – 11 jam (Sesudah sakit)
9 – 10 jam (Sebelum sakit)
Pola tidur siang: 3 – 4 jam (Sesudah sakit)
1 jam (Sebelum sakit)
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
2. Kognitif:
Pasien dan keluarga sudah mengetahui penyakitnya setelah diberikan penjelasan dari
dokter dan tenaga medis lainnya.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
3. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran):
Gambaran diri : pasien menyukai tubuhnya secara utuh
Ideal diri : Pasien berharap cepat sembuh
Identitas diri : pasien merupakan seorang anak
Harga diri : Pasien tidak malu dengan keadaan sekarang
Peran diri : pasien sebagai seorang anak
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
4. Aktivitas Sehari-hari
Sebelum sakit pasien dapat beraktivitas secara mandiri, namun sesudah sakit tidak dapat
melakukan aktivitasnya secara mandiri skala aktivitas tingkat 3
Masalah Keperawatan: Intoleransi Aktivitas
5. Koping-Toleransi terhadap stress
Pasien mengatakan jika ada masalah, Ia selalu menceritakan kepada keluarga.
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
6. Nilai Pola Keyakinan
Klien mengatakan tidak ada tindakan medis yang berhubungan dengan keyakinan yang
dianut
Masalah Keperawatan: Tidak Ada Masalah Keperawatan
34
susah keluar,sesak napas.
DO:
DS:
Tn D mengeluhkan perutnya
sakit dan terasa kembung.
P : di perut
Q : terasa di remas
R : Nyeri terlokalisir
S ; Skala 2
T : hilang timbul
Penumpukan gas di lambung Gangguan rasa
nyaman “nyeri”
DO:
DO:
36
3.3 RENCANA KEPERAWATAN
Nama Pasien : Tn. D
Ruang Rawat : Aster
Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
Bersihan jalan napas Setelah di lakukan 1. kaji ulang fungsi 7. membantu untuk
tidak efektif b.d tindakan pernapasan,iram kesimbangan
produksi sputum keperawatan 1x24 a, kecepatan, nutrisi
yang masih jam di harapkan bunyi napas. 8. mengetahui
produktif bersihan jalan napas 2. catat kebutuhan
sebagian teratasi kemampuan seimbangan nutrisi
DS:
dengan kriteria mengeluarkan 9. mengetahui nilai
hasil : secret dan batuk normal TTV
Tn D mengeluh
-klien mengatakan efektif. 10. membantu proses
batuk dahak susah
sudah sudah dapat 3. beri posisi semi penyembuhan
keluar,sesak napas.
mengeluarkan fowler
dahak. 4. lakukan teraphi
-klien mengatakan dada
DO:
batuk berkurang 5. ajarkan batuk
-batuk efektif dan efektif
-Klien nampak
mengeluarkan secret 6. berikan obat
pucat
-TTV : pengencer dahak
-TD : 130/100 TD :120/80-140/100
NADI :60-100x/mnt
-SUHU ; 36 SUHU : 36,5-37,5
RR : 18-22 x/mnt
-NADI : 88X/MNT
-RR : 25X/MNT
-Terpasang infus
asering 12 Tpm
Gangguan rasa Setelah dilakukan 1. lakukan 1. Respon klien dan
nyaman “nyeri” b.d tindakan pendekatan pada keluarga lebih
penumpukan gas di keperawatan selama klien dan terbuka dan
lambung 1x24jam gangguan keluarga menerima baik
rasa nyaman “nyeri’ jelaskan tentang penjelasan dari
berkurang dengan penyebab sakit perawat.
37
kriteria hasil : yang di alami. 2. mengurangi rasa
DS:
2. ajarkan pada nyeri yang di
-Klien mengatakan
keluarga klien rasakan klien.
Tn D mengeluhkan
nyeri berkurang.
agar ,memberi 3. mengetahui
perutnya sakit dan
kompres hangat perkembangan
terasa kembung. -Skala nyeri 2
pada daerah setiap harinya.
P : di perut -klien tidak perut yang sakit.
meringgis 3. berikan posisi
Q : terasa di remas
senyaman
TTV
mungkin.
R : Nyeri terlokalisir
TD 120/80-140/100
S ; Skala 2
NADI 60-
T : hilang timbul
100X/MNT
SUHU: 36,5-37,5
DO:
-Perut tampak
kembung
1. -Klien tampak
gelisah
38
yang tepat penyakit nya
yang di alaminya bertanya perawat
3. gambarkan
sekarang ini. menjelaskan terkait
tanda dan
penyakitnya, Respon
gejalan yang
klien merasa puasa
biasa muncul
atas apa yang
DO: pada penyakit
diinformasikan
dengan cara
-Klien sering terhadap perawat.
yang tepat
bertanya tentang
4. gambarkan
penyakitnya
proses penyakit
dengan cara
-Klien tampak
yang tepat,
kebingunan
sediakan bagi
keluarga
informasi
tentang
kemanjuan
pasien dengan
cara yang tepat.
39
asering 16 Tpm.
A: Masalah teratasi
sebagian
P: Kolaburasi dengan
pemberian nebul
combuvent 2.1/2 ml/ 8
jam dan pemberian
vextrim syrup 3x300
ml
Selasa, 9 Maret 2021 1. mengajarkan S : Tn D Mengatakan
keluarga klien nyeri di daerah perut
Jam 13.00 WIB
,memberi kompres sudah berkurang ,dan
hangat di daerah tidak merasa kembung
perut yang sakit. lagi.
2. mengajarkan tehnik O :Exspresi wajah
napas dalam ,untuk rileks,tidak meringis
mengurangi nyeri A :Masalah teratasi
perut sebagian
P :Kolaburasi dengan
pemberian obat
deuretik
Rabu, 10 Maret 2021 1. menjelaskan kepada S: Tn D dan keluarga
klien dan keluarga mengatakan sudah
Jam 09.00 WIB
tentang penyakit lebih mengerti tentang
yang di deritanya penyakit yang di
sekarang. deritanya sekarang.
2. menjelaskan akibat O: Klien dan keluarga
dari merokok merasa berterima kasih
dengan penyakitnya dengan info yang di
saat ini. berikan.
A: Masalah teratasi
sebagian
P: Berikan pamplet
lembar balik pada
klien dan keluarga agar
di baca.
40
BAB 4
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan antara teori dan kenyataan yaitu dengan cara meningkatkan kebutuhan
spiritualitas maka akan membuat seseorang dapat mencintai, memiliki kepercayaan dan
harapan, mencari arti dalam hidup, dan memelihara hubungannya dengan orang lain.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) atau Chronic Obstruktif Pulmonary Disease
(COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-
paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah asma bronkial, bronkitis kronis, dan emfisema paru-paru.
Sering juga penyakit ini disebut dengan Chronic Airflow Limitation (CAL) dan Chronic
Obstructive Lung Disease (COLD). Diagnosa yang utama pada penderita PPOK yaitu
Bersihan jalan napas tidak efektif b.d peningkatan produksi sputum.
4.2 Saran
Peran perawat sangat penting dalam proses penyembuhan pasien, oleh karena itu
untuk mencapai hasil keperawatan yang optimal, sebaiknya proses keperawatan
dilaksanakan secara berkesinambungan, mengingat angka penyakit paru obstruksi kronik
makin meningkat setiap tahunnya.
4.2.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan untuk menambah ilmu dan pengetahuan bagi mahasiswa dalam
mempelajari asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK Serta sebagai acuan atau
referensi mahasiswa dalam penulisan laporan pendahuluan selanjutnya.
4.2.2 Bagi Rumah sakit RSUD dr. Doris Sylvanus
Diharapkan RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya khususnya ruang (Flamboyan),
penulisan laporan pendahuluan ini di dapat sebagai referensi bagi perawat dalam melakukan
asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK, serta sebagai masukan untuk meningkatkan
mutu pelayanan yang lebih baik, khususnya pada pasien dengan PPOK.
4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan sebagai sumber bacaan di perpustakaan STIKes Eka Harap Palangka Raya
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan perawatan di masa yang akan datang serta
sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam penguasaan terhadap ilmu keperawatan
mulai dari proses keperawatan sampai pendokumentasiaan.
41
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.
Doenges, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut B Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam
Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD), (2011),Inc. Pocket Guide to
COPD Diagnosis, Management, and Prevention.http://www.goldcopd.com
Jackson, D. (2014).KeperawatanMedikalBedahedisi 1. Yogyakarta, RaphaPubising
Price, S.A dan Wilson. 2014. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC
Reeves, Charlene J. 2006.BukuSatuKeperawatanMedikalBedah. Jakarta
:SalembaMedika.
Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. 2006.Buku Ajar KeperawatanMedikalBedah Brunner
&Suddarth.Edisi 8 Volume 2.AlihBahasa H. Y. Kuncara, Monica Ester,
YasminAsih, Jakarta : EGC.
Wilkinson, W.(2013).KapitaSelektaPenyakit.Jakarta:EGC
Andina dan Yuni, 2017. Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktik
Keperawatan Profesipnal, Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Debora, 2013. Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan.
Jakarta: Trans Info Media
42