Anda di halaman 1dari 15

1.

Anatomi Simfisis Pubis


Simfisis pubis adalah sendi unik yang terdiri dari cakram fibrokartilago yang
bertumbuk antara permukaan artikuler tulang pelvis, ligamen pubis inferior dan
superior, yang sering disebut sebagai ligamentum arkuata pubis.1,2

Gambar 1. Anatomi simfisis pubis


Gambar (a) potongan koronal simfisis pubis yang memperlihatkan ligamen pubis
superior (SPL) dan inferior (IPL), bergabung di sentral dengan cakram fibrokartilago.
Cakram fibrokartilago dibungkus oleh kartilago hialin (warna putih). Gambar (b) dari
permukaan koronal yang memperlihatkan aponeurosis pada permukaan anterior. Rektus
abdominalis (RA), ligamen inguinal (IL), adduktor longus (AL) dan gracilis (G).
Dikutip dari Budak MJ1
2

Gambar 2. Potongan sagital tulang pelvik


Dikutip dari Cunningham FG2

Beberapa literatur menyatakan bahwa anterior simfisis pubis lebih lebar


dibanding posterior, lebih lebar pada anak-anak dibandingkan dewasa, lebih
lebar pada wanita hamil dan tergantung paritas. Secara umum lebar simfisis
pubis kurang dari 10 mm pada saat lahir, kurang dari 9 mm saat usia 3 tahun
dan kurang dari 7 mm pada usia 7 tahun, dan kurang dari 5 mm saat dewasa.1

2. Simfisis Pubis Selama Kehamilan


Selama kehamilan, hormon dalam sirkulasi seperti hormon relaksin
menginduksi resorpsi batas simfisis dan perubahan struktural pada cakram
fibrokartilago, meningkatkan/merelaksasi luas dan mobilitas simfisis.
Abramson et al (1934) meneliti bahwa relaksasi tersebut telah dimulai sejak
trimester pertama. Pada wanita yang tidak hamil jarak antara kedua tulang
pelvis 4-5 mm, saat hamil dapat bertambah 2-3 mm. Meskipun begitu lebar
sampai dengan 10 mm masih dianggap normal untuk wanita hamil. Bila jarak
simfisis pubis lebih dari 10 mm, hal tersebut sudah patologis. Setelah
melahirkan, secara alami simfisis pubis akan kembali normal dan kuat kembali
dalam waktu 3-5 bulan.2

3. Definisi Simfisiolisis
Simfisiolisis adalah kondisi yang jarang terjadi berupa pemisahan atau
pemutusan kedua tulang pelvis pada area simfisis pubis. Beberapa literatur
menyebutkan juga simfisiolisis sebagai symphysis pubis diastasis dan
separated symphysis pubis.3-5
4. Penyebab Simfisiolisis
a. Faktor Hormonal
Pada tahun 1926 , Frederick Hisaw pertama kali mendeteksi adanya relaksin
sebagai penyebab pemisahan simfisis pubis selama kehamilan pada beberapa
3

spesies hewan pengerat. Produksi relaksin yang dihasilkan pada wanita


selama kehamilan disimpan dalam korpus luteum, desidua dan korion.5
Relaksin memainkan beberapa peran penting dalam kehamilan. Pertama,
melemaskan jaringan ikat kolagen dengan mengatur biosintesis organ target.
Kerjanya untuk menurunkan viskositas dan meningkatkan kadar air, yang
memungkinkan untuk memperluas dan kehilangan kekakuan. Hal ini dapat
meningkatkan relaksasi miometrium dan dengan demikian membantu
mencegah persalinan prematur. Manfaat tambahan relaksin termasuk
membantu dalam implantasi, proliferasi jaringan ikat rahim memfasilitasi
pertumbuhan rahim dan distensibilitas selama kehamilan, pematangan
serviks sehubungan dengan produksi progesteron, dan penghambatan
persalinan spontan. Tingkat relaksin biasanya tinggi pada paruh pertama
kehamilan dan mengurang sampai akhir kehamilan.5
Tingkat relaksin ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada pasien
dengan simfisiolisis, dengan tingkat tertinggi ditemukan pada pasien dengan
gejala klinis yang paling parah. Hasil ini menunjukkan hubungan antara
tingkat relaksin tinggi dan simfisiolisis. Bukti lebih lanjut yang mendukung
hormon relaksin sebagai elemen penyebab simfisiolisis adalah eksaserbasi
gejala pada saat ovulasi pada wanita yang telah menderita simfisiolisis
setelah persalinan. Hormon relaksin bersama progesteron pada kehamilan
cenderung merelaksasi ligamen-ligamen dari tubuh dalam persiapan
kelahiran. Hormon tersebut membuat relaksasi dan melemaskan sendi-sendi
panggul sehingga persendian agak teregang, biasanya ukuran bertambah 3-4
mm.5
b. Faktor Biomekanik
Terjadi pemisahan secara paksa kedua bagian yang normalnya bergabung.
Definisi ini diterapkan pada pemisahan trauma simfisis selama persalinan
dan telah dikaitkan dengan partus presipitatus, ekstraksi forcep yang sulit,
disproporsi sefalopelvik, riwayat trauma, kelainan panggul sebelumnya atau
4

yang telah ada, multiparitas, persalinan yang sukar. Abduksio yang


berlebihan saat melahirkan, setiap keadaan yang dapat menimbulkan tekanan
mendadak yang berlebihan simfisis pubis (sendi simfisis), posisi litotomi
juga dianggap sebagai penyebab karena sendi kartilaginosa diregang
berlebihan atau robek. Reis et al (1932) mengulas 67 kasus simfisiolisis
terjadi pada 73% multipara, 39% dengan pelvik yang kaku dan 67% dengan
bayi besar. Kothe et al. menyatakan bahwa ruptur simfisis pubis pada
persalinan spontan disebabkan intensitas kontraksi uterus ditambah
persalinan yang berlangsung cepat dan kurangnya fleksibilitas panggul tanpa
adanya faktor predisposisi lain. Multiparitas, persalinan forceps, persalinan
sulit, distosia bahu dan kelainan kongenital juga meningkatkan risiko
terjadinya ruptur pada simfisis.3,5,6

5. Insiden
Insiden yang dilaporkan dalam literatur bervariasi dari 1:521-30.000 kelahiran.
Barnes menemukan relaksasi panggul selama kehamilan pada 50-60% kasus.
Dalam penelitian lain, insiden simfisiolisis patologis setelah persalinan
pervaginam antara 1 per 20.000 menurut Eastman dan Hellman (1966), 1 dari
600 menurut Taylor dan Sonson (1986). Angka kejadian semakin menurun
dewasa ini karena penanganan obstetri yang lebih baik dan meningkatnya
seksio sesaria.3,5,6
6. Gejala
Gejala simfisiolisis dapat terjadi sejak awal kehamilan dan sampai akhir
periode postpartum. Simfisiolisis awalnya asimtomatik pada pasien dan
kemudian muncul berbagai keluhan mulai dari nyeri supra-pubis hingga
ketidakmampuan untuk menanggung berat badan dan ketidakmampuan untuk
buang air kecil. Pasien hampir selalu merasakan sakit parah yang menjalar ke
paha dan kaki sehingga menyulitkan pasien untuk berdiri atau berjalan, 72%
melaporkan kesulitan seksual dan 53% memiliki eksaserbasi nyeri pada saat
5

ovulasi bulanan. Pada palpasi dapat dirasakan simfisis pubis terpisah disertai
edema atau hematom jaringan lunak. Pada vaginal toucher pemisahan simfisis
pubis teraba dan kadang-kadang disertai laserasi vagina.3,5,6
Penelitian Dietrichs dan Kogstad (1991) di Norwegia, dari 1.045 wanita
1,5-16% terindikasi simfisiolisis. Dari subyek yang didiagnosis dengan
simfisiolisis tersebut, 25% melaporkan nyeri baik sebelum persalinan atau saat
postpartum. Survei mengungkapkan bahwa 26,5% terus memiliki beberapa
derajat nyeri punggung panggul atau rendah pada 4 bulan setelah melahirkan.
Meskipun studi ini tidak dapat digeneralisasikan untuk populasi negara lain,
mereka membantu memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai akibat dari
simfisiolisis.5
Pada penelitian Hansen JH (1991), simfisiolisis menimbulkan rasa nyeri,
yang telah terjadi pada 63% wanita pada kehamilan pertamanya. 30% dari
wanita tersebut telah mulai merasa nyeri akibat simfisolisis pada trimester
pertama, 45% pada trimester kedua dan 25% pada trimester ketiga. Nyeri
dirasakan pada area simfisis pubis dan area lumbosakral. Setelah melahirkan
seluruh wanita tersebut mengeluhkan nyeri tetap berlanjut, dengan 24%
terlokalisir pada simfisis pubis, 22% di area lumbosakral dan 33% pada area
sakroiliaka.5
Simfisiolisis harus dicurigai jika pasien mengeluhkan nyeri post partum akut
dan persisten di daerah panggul. Secara klinis, pasien mengeluh nyeri, dengan
bengkak dan kadang-kadang deformitas muncul di daerah yang terlibat. Dalam
beberapa kasus mungkin terdengar suara klik ketika pasien berjalan. Terasa
nyeri ketika panggul diberikan tekanan ke arah antero-lateral dan antero-
posterior. Nyeri sepanjang saluran kemih juga dirasakan.3

7. Pemeriksaan
Untuk menegakkan diagnosis simfisiolisis dapat dilakukan dengan pemeriksaan
fisik, USG, foto radiologi pelvis dan MRI. Untuk foto radiologi pelvis lebih
6

membantu diagnosis bila dalam posisi flamingo (pasien berdiri dengan satu
kaki, sedangkan kaki yang lain dilipat/dibengkokkan), yang akan lebih jelas
memperlihatkan pergeseran vertikal dari simfisis pubis.4

Gambar 3. Gambaran USG pada simfisiolisis


Dikutip dari Lambert A. dan Topuz S.4,7

Gambar 4. Foto Radiologi Simfisiolisis


Kiri adalah foto radiologi pelvis posisi anterior posterior (AP), kanan adalah foto
radiologi pelvis posisi flamingo.
Dikutip dari Lambert A.4
7

Gambar 5. MRI Simfisiolisis


Simfisolisis ditunjukkan dengan tanda panah.
Dikutip dari Cunningham FG.2
Pada kasus ini pasien didiagnosis simfisiolisis dikarenakan adanya riwayat
didorong-dorong saat persalinan yang menyebabkan diastasis yaitu pemisahan
secara paksa kedua bagian yang normalnya bergabung (fraktur simfisis), anak lahir
dengan berat badan 4000 gram. Pada pemeriksaan fisik didapatkan gerakan pada
simfisis menyebabkan nyeri suprapubik, suprasimfisis teraba lembek, kedua os
simfisis teraba di lateral kanan dan kiri terpisah ± 6cm, dan nyeri tekan ada. Post
partum os sulit untuk mobilisasi, untuk duduk dan berjalan os dibantu. Os juga
nyeri setiap kali menggerakkan tungkai, os mengaku sulit BAK. Pada
pemeriksaan radiologi tampak simfisiolisis ukuran ± 6cm.

B. Bagaimana penatalaksanaan simfisiolisis pada pasien ini?


Simfisiolisis kurang dari 10 mm tidak memerlukan perawatan khusus. Untuk
simfisiolisis patologis penatalaksanaan bisa dilakukan secara konservatif atau
bedah yang dilanjutkan dengan fisioterapi. Banyak peneliti menyarankan
penanganan awal dengan konservatif, yaitu dengan berbaring dengan posisi lateral
dekubitus di tempat tidur dan pemasangan pelvic belt/wrap untuk memastikan
imobilisasi pasien. Tindakan bedah dilakukan jika metode konservatif gagal, pada
simfisolisis berat, malunion atau non union, atau gejala yang tidak berkurang.
Pada keadaan darurat dapat dilakukan pembedahan yang bertujuan untuk
8

mengurangi dan menstabilkan dislokasi, dapat dilakukan juga dengan fiksator


eksternal. Plate dapat dipasang dengan sekrup pada daerah panggul. Perangkat
lain, seperti wire, digunakan pada tahun 1951 oleh Prof. Carlo Marino Zuco di
Roma untuk mengurangi dan stabilisasi dislokasi dengan dua wire menyeberang
dan dikaitkan dengan simfisis pubis.6,8

1. Penatalaksanaan konservatif
Penanganan konservatif dapat dipertimbangkan dalam kondisi kemungkinan
untuk memperoleh manfaat dengan penanganan konservatif dan mengurangi
penanganan bedah, dengan cara sebagai berikut:
a. Tirah baring biasanya merupakan terapi yang adekuat untuk kebanyakan
pasien. Pasien tidur dengan posisi lateral dekubitus di tempat tidur yang
keras dan sedapat mungkin menyusui dengan miring pada salah satu sisi.
sabuk yang kuat dapat mengurangi nyeri.
b. Menggunakan pelvic belt/wrap untuk imobilisasi.
c. Injeksi analgesik lokal dapat menolong. pada kebanyakan kasus yang serius,
pasien harus tetap di tempat tidur dan memerlukan penggunaan penopang
pelvis mirip yang digunakan untuk pengobatan fraktur pelvis.
d. Kalau ruptur ringan ambulasi dini diperbolehkan, kalau keadaannya lebih
parah harus digunakan tongkat penolong (kruk). Pasien harus membatasi
dirinya dalam penggunaan tenaga.8
Brehm dan Weirauk (1928) menganjurkan pengobatan konservatif dengan
tirah baring dan pengikat selama 3-4 minggu jika pemisahan lebih besar dari 2
cm. Pada kebanyakan pasien perbaikan total dicapai dalam 6-8 minggu,
meskipun nyeri simfisis masih dirasakan hingga 6-8 bulan.3,6
9

Gambar 6. Pelvic belt/wrap


Dikutip dari Amazon UK9

Gambar 7. Foto radiologis pelvis dengan pelvic belt


Dikutip dari Culligan P.10

2. Penatalaksanaan Bedah
Pembedahan dengan pemasangan fiksasi internal (open reduction internal
fixation) dilakukan pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergeseran. Tindakan bedah dilakukan jika metode konservatif
10

gagal, pada simfisolisis berat, malunion atau non union, atau gejala yang tidak
berkurang.6,11
Intervensi bedah akan memberikan peluang stabilitas yang lebih besar,
namun dalam beberapa kasus dapat menyebabkan komplikasi seperti infeksi
saluran kemih. Selain itu, sintesis dengan plate dan sekrup akan menyebabkan
sulitnya persalinan pervaginam di persalinan berikutnya.11,12
Operasi dibuka dengan menggunakan insisi Pfannensteil, biasanya 7-12cm.
Pemasangan plate dapat tunggal atau ganda.11

Gambar 7. Operasi ORIF


Kiri & kanan atas: tindakan operasi bedah ORIF. Kiri bawah: dengan plat tunggal.
Kanan bawah: dengan plat ganda.
Dikutip dari Aggarwal S.11
3. Fisioterapi
11

Tujuan utama penatalaksanaan rehabilitasi pada perawatan pasca fraktur adalah


mengembalikan pasien tersebut dalam tingkat aktivitas normalnya. Modalitas
fisioterapi yang digunakan untuk penanganan pasca operasi fraktur simfisis
dengan terapi latihan.Terapi latihan adalah suatu usaha penyembuhan dalam
fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerakan tubuh, baik
secara aktif maupun pasif.13
Terapi latihan yang dapat dilakukan:
a. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk
mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan. Dengan gerakan ini
maka akan merangsang otot-otot untuk melakukan pumping action sehingga
aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran darah
baik maka edema dan nyeri dapat berkurang.
b. Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar
sedangkan otot penderita rileks (Priatna, 1985). Disini gerakan pasif
dilakukan dengan bantuan terapis.
c. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot
anggota tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktif meningkatkan
kekuatan otot. Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot sehingga
pengiriman oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah. Dengan
adanya oksigen dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada
tempat yang mengalami fraktur akan terpenuhi dengan baik dan dapat
mencegah adanya fibrotik.
d. Latihan jalan
Salah satu kemampuan fungsional yang sangat penting adalah berjalan.
Latihan jalan dilakukan apabila pasien telah mampu untuk berdiri dan
keseimbangan sudah baik.Latihan ini dilakukan secara bertahap dan bila
perlu dapat menggunakan walker. Selain itu dapat menggunakan kruk
tergantung dari kemampuan pasien. Pada waktu pertama kali latihan
12

biasanya menggunakan teknik non weight bearing (NWB) atau tanpa


menumpu berat badan. Bila keseimbangan sudah bagus dapat ditingkatkan
secara bertahap menggunakan partial weight bearing (PWB) dan full weight
bearing (FWB). Tujuan latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi
secara mandiri walaupun masih dengan alat bantu.13,14,15

Gambar 8. Latihan Fisioterapi


Dikutip dari Stuge B.14

Pemulihan lengkap bisa biasanya dicapai dalam 6-8 minggu. Beberapa


komplikasi yang mungkin terjadi adalah osteitis pubis, hematoma, laserasi vagina,
cedera uretra dan infeksi.3,6,12
Periode pemulihan bervariasi, tetapi jika keluhan dialami diawal periode
postpartum pemulihan lebih cepat. Pada akhir periode postpartum, pemulihan
tertunda. Dalam beberapa kasus, nyeri menetap sampai 6-8 bulan dan pasien tidak
mampu untuk melakukan tugas-tugas rutin.8
13

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan secara konservatif setelah pasien


dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan gerakan pada simfisis menyebabkan nyeri
suprapubik, suprasimfisis teraba lembek, kedua os simfisis teraba di lateral kanan
dan kiri terpisah ± 6 cm, dan nyeri tekan ada. Pada pemeriksaan radiologi tampak
simfisiolisis ukuran ± 6 cm. Pasien dikonsulkan ke bagian Bedah dan disarankan
untuk tirah baring total selama 2 minggu dengan pemasangan pelvic wrap untuk
imobilisasi.
Selama perawatan di bangsal Obstetri pasien juga dikonsulkan juga ke bagian
Rehabilitasi Medik dan disarankan mobilisasi bertahap. Setelah perawatan selama
2 minggu dilakukan pemeriksaan radiologi pelvik ulang dan didapatkan
simfisiolisis ukuran ± 2 cm.
Pasien diperbolehkan pulang dengan nasihat mobilisasi bertahap, 2 minggu
hanya boleh duduk dan belum boleh berjalan/berdiri, vulva higiene pagi dan sore,
serta rencana kontrol ulang ke RS 1 minggu kemudian.

I. KESIMPULAN
1. Simfisiolisis adalah pemisahan atau pemutusan simfisis pubis baik karena adanya
relaksasi simfisis pada saat kehamilan, persalinan maupun karena pemisahan
dengan keras atau robek akibat trauma. Bila jarak simfisis pubis lebih dari
10mm, hal tersebut sudah patologis.
2. Menegakkan Diagnosis simfisiolisis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
USG, foto radiologi pelvis dan MRI. Untuk foto radiologi pelvis lebih
membantu diagnosis bila dalam posisi flamingo, yang lebih jelas memperlihatkan
pergeseran vertikal dari simfisis pubis.
3. Penatalaksanaan simfisiolisis bisa dilakukan secara konservatif atau pembedahan
ORIF yang dilanjutkan dengan fisioterapi.

II. RUJUKAN
14

1. Budak MJ, Oliver TB. There’s hole in my symphysis – A review of disorders causing widening,
erosion, and destruction of the symphysis pubis. Clin Radiol. 2013;68:173-80.

2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics.
23rd ed. New York, NY: McGraw Hill. 2010:29-30,130.

3. Demirkale I, tecimel O, Bozkurt N, Bozkurt M. Separation of the symphysis pubis in a


spontaneous vaginal labour. Injury Extra. 2008;39:59-61.

4. Lambert A. Pelvic Dysfunction Information. National Childbirth Trust UK specialist Worker for
SPD/DSP. URL http://www.spd-uk.org. Accessed on Dec 12, 2013.

5. Davidson MR. Examining Separated Symphysis Pubis. Journal of Nurse-Midwifery. 1996;41(3);


259-63.

6. Seth S, Das B, Salhan S. Case Report: A severe case of pubic symphysis diastasis in pregnancy.
Eur J Obstet Gynecol and Reprod Biol. 2003;106:230-2.

7. Topuz S, Citil I, Iyibozkurt AC, Dursun M, Akhana SE, Hasa R, Berkmana S. Pubic symphysis
diastasis: imaging and clinical feature. Eur J Radiol Extra. 2006; 59:127-29.

8. Pedrazzini A, Bisaschi R, Borzoni R, Simonini D, Guardoli A.. Post partum diastasis of the pubic
symphysis: a case report. Acta Bio Med, 2005; 76: 49-52.

9. Amazon UK. Pregnancy Back and Bump support/Belt. URL http://www.amazon.co.uk/


Pregnancy-support-during-pregnancy-X-Large/dp/B003XUMWDC. Accessed on Dec 16, 2013.

10. Culligan P, Hill S, Heit M. Rupture of the symphysis pubis during vaginal delivery followed by
two subsequent uneventful pregnancies. Am J Obstet Gynecol. 2002;100(5):1114-7.

11. Aggarwal S, Bali K, Khrisnan V, Kumar V, Meena D, Sen RK.. Management outcomes in pubic
diastasis: our experience with 19 patients. J Orthop Surg and Res. 2011: 6:21.

12. Lebel DE, Levy A, Holcberg G, Sheiner E. Symphysiolysis as an independent risk factor for
cesarean delivery. J Mat Fet and Neon Med. 2010; 23(5): 417-20.

13. Schoellner C, Szoke N, Siegburg K.. Pregnancy-associated symphysis damage from the
orthopedic viewpoint--studies of changes of the pubic symphysis in pregnancy, labor and post
partum. Z Orthop Ihre Grenzgeb. 2001;139(5): 458-62.

14. Stuge B, Holm I, Vollestad N. To treat or not to treat postpartum pelvic girdle pain with
stabilizing exercises? Manual Therapy. 2006;11: 337-43.

15. Damen L, Spoor CW, Snijders CJ, Stam HJ. Does a pelvic belt influence sacroiliac laxity? Clin
Biomech. 2002; 17:495-8.
15

Anda mungkin juga menyukai