Anda di halaman 1dari 10

KONTEKSTUALISASI DOKTRIN AL-QURAN

TARISHA ARININDYA LAKSONO 2206078230


HANIFAH DHIYA KAHLA 2206038082
FATYARASTRI RASINDREA GANTARI 2206035925

MAKALAH TUGAS BAB DUA


MPK AGAMA

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an merupakan kitab suci agama Islam yang menjadi landasan bagi
kehidupan Muslim. Sebagai pedoman hidup masyarakat Islam, peranan al-Qur’an
digolongkan menjadi dua, yaitu al-Qur’an sebagai Kalamullah (ibadah) dan al-Qur’an
sebagai Kitabullah (sumber ajaran utama). Meskipun banyak ayat yang tujuannya
tertulis secara jelas, tak sedikit pula ayat-ayat yang dianggap tak memiliki konteks
yang absolut, misalnya berbentuk metafora atau amanatnya tersampaikan secara tidak
tertulis. Maka dari itu, para ahli agama mencoba untuk menafsirkan dan memaknai
ayat-ayat tersebut sehingga konteksnya dapat diaplikasikan di berbagai macam situasi.
Hal ini membuat penafsiran al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama juga bervariasi
akibat adanya perbedaan sumber dan latar belakang historis mengenai turunnya
ayat-ayat al-Qur’an, terlebih bila ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat
kecakapan para mufassir (penafsir al-Qur’an) dalam memaknai al-Qur’an.
Selain itu, Al-Qur’an memiliki kaitan yang erat terhadap perubahan sosial.
Melalui Q.S Al-Ra'd ayat 11, Allah menjelaskan bahwa ia menghendaki dua macam
perubahan, yaitu perubahan yang didasari oleh hukum alam dan perubahan yang
disebabkan oleh manusia, yang biasa disebut sebagai perubahan sosial. Menurut
Macionis (Macionis, 2015:648), perubahan sosial adalah transformasi budaya dan
struktur sosial yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Dalam bukunya yang
berjudul Sosiologi Islam, Agus Ahmad Safei berpendapat bahwa perubahan
merupakan respon dari doktrinasi dan internalisasi nilai-nilai al-Qur’an serta
penyesuaian diri terhadap peraturan-peraturan historis (Agus Ahmad Safei, 2017).
Pada makalah ini, para penulis akan memaparkan kajian mengenai doktrinasi
ayat-ayat al-Qur’an melalui berbagai macam penafsiran serta signifikansinya terhadap
kehidupan masyarakat Muslim, termasuk dalam perubahan sosial.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan Cara Pandang terhadap Al-Qur’an


Dalam sejarah, Al-Qur’an dijelaskan tidak diturunkan sekaligus, melainkan secara
berangsur-angsur. Secara detailnya, Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
yang mulai menerima wahyu sejak usia 40 tahun atau pada tahun 611 M. Turunnya
Al-Qur’an ini diperantarai oleh Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu selama 22 tahun 2
bulan 22 hari kepada Rasul baik di Mekkah maupun di Madinah. Cara tersebut menunjukkan
adanya keterkaitan antara firman Allah yang bersifat universal dengan kondisi masyarakat
saat itu yang dihadapi rasulullah saw sepanjang masa pewahyuan. Dalam ayat-ayat
Al-Qur’an, disebutkan beberapa nama-nama orang yang hidup di masa itu. Namun, tak
jarang juga dalam beberapa ayat ditemukan nama-nama Nabi atau orang terdahulu yang telah
hadir sebelum Rasulullah SAW. Di samping menyebutkan nama-nama orang yang benar
adanya dalam rekap sejarah, ayat Al-Qur’an juga turun untuk merespons situasi yang terjadi
pada masa itu, seperti berperang pada bulan haram (al-Baqarah/2: 217), khamer dan judi
(al-Baqarah/2: 219), anak-anak yatim (al-Baqarah/2: 220), dan sebagainya. Keterkaitan
antara Al-Qur’an dengan realitas sosial dalam masyarakat secara tidak langsung memberi
petunjuk atau solusi atas cerminan masalah yang terjadi dan dihadapi Rasulullah SAW saat
itu. Di lain sisi, turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memiliki tujuan untuk
menanamkan pesan Allah secara kokoh di dalam hati. Pewahyuan bertahap membuatnya
lebih mudah untuk dipahami dan diingat ajaran di dalamnya untuk memantapkan hati.
Sejak dulu, Al-Qur’an turun sebagai firman Allah sehingga tidak ada sepatah kata pun
dari Nabi yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, saat Al-Qur’an diturunkan, Nabi
melarang untuk mencatat, menghafal, atau menulis ucapannya. Beliau hanya mengajukan
untuk menghafal dan menuliskan Al-Qur’an semata-mata untuk menjaga kemurnian firman
Allah SWT. Al-Qur’an dikumpulkan dalam Mushaf yang sejak masa turunnya dihafalkan dan
ditulis oleh para sahabat dan kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf yang seluruhnya
berisi 6.666 ayat dan 114 surat dan 30 juz. Isinya dimulai dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat Al-Nas. Ini mengandung arti bahwa susunan surat dan ayat Al-Qur’an
bersifat tetap sejak diturunkannya sampai akhir zaman. Oleh karena itu, sejak diturunkannya
sampai sekarang yang telah berusia hampir lima belas abad, Al-Qur’an yang ada di tangan
umat Islam di berbagai penjuru dunia isi, susunan surat, ayat dan bacaannya sama, tidak ada
dan tidak akan pernah ada versi yang lain.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai dalam Al-Qur’an terbagi
menjadi dua, yaitu nilai yang universal dan kontekstual. Oleh karena itu, perlu dibedakan
antara memaknai ayat yang bernilai universal dan yang bernilai kontekstual. Ayat yang
bernilai universal dapat dimaknai secara tekstual mengingat sifatnya yang berlaku dalam
segala kondisi, waktu, dan tempat.
Akan tetapi, untuk ayat yang bernilai kontekstual tidak bisa dimaknai secara literal.
Kita harus memahami sejarah kondisi di mana ayat tersebut diturunkan. Misal, ayat yang
membahas perbudakan. Ayat-ayat yang mengulas perbudakan merupakan ayat yang bersifat
kontekstual karena begitulah kondisi sosial di mana Rasul hidup. Namun, perbudakan sudah
sirna dalam mayoritas sistem sosial di dunia. Oleh karena itu, ayat yang berbicara menjadi
tidak relevan jika dibahas dalam konteks zaman modern sekarang. Yang bisa dilakukan ialah
mengidentifikasi nilai universal di dalam ayat tersebut, seperti nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan, tetapi tidak dapat dimaknai dalam kehidupan zaman modern.
Kesalahpahaman mengenai dua konsep ini menjadi salah satu alasan mengapa kita
seringkali melihat suatu permasalahan mengatasnamakan Al-Qur’an. Mereka yang
mengatasnamakan Al-Qur’an tidak tahu bahwa mereka sebenarnya sedang menggunakan
ayat yang tidak ada relevansinya dengan kehidupan sekarang.
Selain itu, latar belakang seseorang juga mempengaruhi bagaimana manusia
memaknai ayat Al-Qur’an. Latar belakang pengetahuan, politik, ekonomi, gender, dan lain
sebagainya dapat mempengaruhi persepsi seseorang ketika memaknai suatu ayat. Sebagai
contoh, ayat yang membahas tentang bumi akan dimaknai dengan berbeda oleh orang dengan
latar belakang sastra dan orang dengan latar belakang geografi. Begitu pula dengan ayat yang
membahas tentang pemimpin. Orang dengan latar belakang pro-pemerintah dengan orang
berlatar belakang oposisi dari pemerintah akan memiliki persepsi yang berbeda.
Hal ini tidak dapat dihindari mengingat Allah SWT, pihak yang menciptakan ayat
dalam Al-Qur’an, merupakan mahluk yang Mahatahu, Mahabenar, dst. Sementara itu,
manusia merupakan manusia yang berkebalikan dari hal tersebut. Oleh karena itu, manusia
tidak dapat mendapatkan pemahaman Al-Qur’an yang “paling murni”, hanya bisa mendekati.
Ketidaksempurnaan manusia juga menjadi pembatas dalam memahami Al-Qur’an
secara mutlak. Seseorang tidak bisa mengaitkan seluruh 6000 lebih ayat dalam Al-Qur’an. Ia
hanya bisa menggunakan ayat yang relevan dengan topic yang ingin dibahas. Oleh karena itu,
jika ada orang yang memaknai Al-Qur’an dan berujung pada kemalaratan, kesalahan berada
pada pihak orang yang memaknainya bukan Al-Qur’annya.
Perlu diingat, Al-Qur’an memimpikan kondisi yang penuh kedamaian bagi manusia.
Dengan kata lain, ia memimpikan kemaslahatan bagi umat manusia. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa Al-Qur’an memiliki misi yang sama bagi Islam, yaitu membawa rahmat
bagi semesta. Dalam Al-Qur’an, untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, terdapat
dua cara, yaitu mencegah keburukan dan mewujudkan kebaikan. Oleh karena itu, jika
manusia dihadapi dalam kondisi yang dapat mewujudkan keburukan dan kebaikan, manusia
harus fokus pada mencegah keburukan itu terjadi. Dapat dikatakan, Al-Qur’an
mengutamakan pendekatan yang bersifat utilitarian, yaitu yang membawa kesejahteraan
terbaik untuk jumlah yang terbesar.

2.2 Al-Qur’an dan Perubahan Sosial


Perubahan sosial merupakan hal yang pasti terjadi di lingkaran kehidupan manusia.
Hal ini karena masyarakat tidak mungkin bergerak secara statis, melainkan mereka bergerak
secara dinamis sehingga menghasilkan perubahan, perkembangan, pembaruan, dan lain-lain.
Menurut Wilbert Moore, seorang sosiolog asal Amerika, perubahan sosial diartikan sebagai
suatu perubahan signifikan yang terjadi dalam keseluruhan struktur sosial, pola-pola perilaku
dan sistem interaksi sosial, termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai, dan fenomena
kultural.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial menurut Soerjono
Soekanto terbagi menjadi faktor internal (datang dari dalam masyarakat) dan faktor eksternal
(datang dari luar masyarakat). Faktor internal mencakup penemuan yang baru ditemukan,
perubahan demografi penduduk, pecahnya konflik dalam masyarakat, dan terjadinya revolusi.
Sementara itu, faktor eksternal mencakup faktor perang, bencana alam, dan kebudayaan dari
luar masyarakat yang tidak dapat dihindari pengaruhnya.
Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini, termasuk perubahan sosial,
sesungguhnya merupakan kehendak Allah Yang Maha Esa. Perubahan sosial merupakan
fenomena yang telah tertulis di dalam kitab suci. Allah SWT bersabda dalam Al-Qur’an pada
surat Ar-Ra'd ayat 11, yang berbunyi:
۟ ‫ت ِّم ۢن بَيْن يَ َد ْي ِه َو ِم ْن خ َْلفِِۦه يَحْ فَظُونَ ۥهُ ِم ْن َأ ْمر ٱهَّلل ِ ۗ َّن ٱهَّلل َ اَل يُ َغيِّ ُر ما بقَوْ ٍم َحتَّ ٰى يُ َغيِّر‬
‫ُوا َما بَِأنفُ ِس ِه ْم ۗ وَِإ َذٓا َأ َرا َد‬ ٌ َ‫لَ ۥهُ ُم َعقِّ ٰب‬
ِ َ ‫ِإ‬ ِ ِ
‫ال‬ٍ ‫ٱهَّلل ُ بِقَوْ ٍم س ُٓو ًءا فَاَل َم َر َّد لَ ۥهُ ۚ َو َما لَهُم ِّمن دُونِِۦه ِمن َو‬
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari
depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.”
Ayat ini menjelaskan hukum ketetapan perubahan sosial yang terjadi di dunia.
Menurut ayat tersebut, perubahan sosial dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan apa yang
menetapkannya, yaitu perubahan sosial yang berdasarkan sunnatullah atau hukum
kemasyarakatan dan perubahan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Selain apa yang
menetapkannya, hal yang membedakan dua perubahan ini terletak pada bagaimana perubahan
tersebut terjadi. Pada perubahan yang berdasarkan sunnatullah, perubahan terjadi karena
didasari hukum alam, di mana tidak mungkin kehidupan sosial itu bersifat tetap. Dapat
dikatakan bahwa perubahan ini adalah perubahan yang mutlak terjadi. Di sisi lain, perubahan
yang dilakukan oleh manusia terjadi atas dasar niat dan keinginan manusia itu sendiri, sesuai
dengan ayat ke-11 surat Ar Ra'd, “..Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu
bangsa sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri.”
Dengan berbagai dampak yang datang sebagai akibat dari adanya perubahan sosial,
para umat muslim sesungguhnya harus mengetahui bagaimana menyikapi perubahan sosial
menurut Al - Qur’an. Islam bukanlah agama yang melarang perubahan, apalagi perubahan ke
hal yang lebih baik lagi. Namun, seringkali ada miskonsepsi dalam agama yang membuat
Islam seolah memberikan doktrin yang kaku dan menyebabkan ekstremisme. Padahal, di
dalam Islam ada suatu konsep yaitu Khalifah fil Ardh. Khalifah berarti pemimpin, sedangkan
Ardh berarti bumi.
Supaya manusia menjadi Khalifah fil Ardh adalah tujuan utama diciptakannya
manusia itu sendiri. Dalam konteks masyarakat, tugas khalifah adalah amar ma’ruf nahi
munkar atau melakukan perbaikan moral masyarakat dengan upaya-upaya transformasi dan
humanisasi). Upaya - upaya tersebut dapat dilakukan dengan menginisiasikan perubahan dari
sesuatu yang buruk ke sesuatu yang lebih baik. Contohnya adalah pembangunan sekolah di
kawasan yang terpencil dengan tujuan mengubah keadaan masyarakat yang kesulitan dengan
akses pendidikan menjadi masyarakat yang cerdas dan berpendidikan.
Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan sesungguhnya memiliki
tempat di dalam Islam, terutama ketika perubahan tersebut membawa kemaslahatan bagi
umat manusia. Meskipun tentu terdapat perubahan yang dianggap kurang menguntungkan
manusia, perlu diingat oleh manusia bahwa Allah SWT mengetahui apa yang tidak kita
ketahui. Umat muslim sudah seharusnya melakukan yang terbaik dalam perannya sebagai
pemimpin di bumi.
Memahami ajaran agama Islam dengan baik dan benar menjadi penting untuk
menghadapi perubahan sosial di era modern ini. Pesatnya arus informasi dan perkembangan
media digital membuat umat muslim terkadang tersesat dalam mencari sumber ajaran Islam
yang dapat menjadi dasar tindakan sehari-hari. Oleh karena itu, umat muslim perlu mengingat
bahwa segala sesuatu sesungguhnya kembali lagi pada pedoman utama umat Islam, Al -
Qur’an, hadits dan sunnah, serta para Ulil Amri atau pakar di bidang masing-masing.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat muslim yang bersifat universal, artinya berlaku
untuk seluruh masyarakat. Selain itu, Al-Qur’an juga bersifat lintas waktu sehingga isinya
dapat diaplikasikan sepanjang masa. Meskipun begitu, manusia yang terbatas kemampuannya
tidak bisa sembarang menerjemahkan isi dari Al-Qur’an begitu saja. Penafsiran Al-Qur'an
merupakan hal yang wajib dilakukan untuk memahami isi Al - Qur’an, tetapi tidak semua
orang dapat melakukan hal ini. Tafsir Al-Qur’an dilakukan oleh para ahli tafsir yang
memenuhi kriteria demi menjaga ajaran Islam yang sesungguhnya.

2.3 Penafsiran al-Qur’an


Sebagai umat Muslim, sudah sepantasnya kita menghayati nilai-nilai yang terkandung
dalam al-Qur’an. Namun, tidak semua orang memiliki intelektualitas yang cukup tinggi
hingga bisa menafsirkan al-Qur’an sendiri. Mufassir, atau para penafsir al-Quran, bertugas
untuk menafsirkan makna dari suatu ayat sehingga konteksnya dapat diaplikasikan ke dalam
situasi kontemporer. Penafsiran al-Qur’an dikategorikan ke dalam beberapa macam, yaitu
penafsiran berdasarkan sumber, isi, dan metode.
a. Penafsiran al-Qur’an Berdasarkan Sumber Menurut M. A. K. Hasan
Menurut Hasan, penafsiran berdasarkan sumber dibagi menjadi dua, yaitu Tafsir
Al-Ma’tsur dan Tafsir Ar-Ra’yi. Tafsir Al-Ma’tsur adalah bentuk pemaknaan al-Qur’an yang
sumber kajiannya adalah riwayat penafsiran Nabi, sahabat-sahabat Nabi, serta para Tabi’in.
Sementara itu, Tafsir Ar-Ra’yi merupakan bentuk pemaknaan al-Qur’an yang bersumber pada
akal–atau, dengan kata lain, tingkat intelektualitas para mufassir itu sendiri, contohnya adalah
Nasikh dan Mansukh, serta Asbabun Nuzul. Kajian penafsiran Ar-Ra’yi terbagi lagi menjadi
dua jenis, yaitu kajian mamduh atau terpuji, serta madzmum atau tercela (Hasan, 2015).
b. Penafsiran al-Qur’an Berdasarkan Isi Menurut Hadi Yasin
Menurut Yasin, penafsiran al-Qur’an berdasarkan isinya dibagi menjadi dua, yaitu
Tafsir Ahkam dan Tafsir Isyari. Tafsir Ahkam adalah bentuk pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an
yang, bila ditinjau dari segi bahasanya, telah memiliki makna tertulis yang jelas, sedangkan
Tafsir Isyari berbentuk kiasan atau metafora, sehingga ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan
intensi atau konteks yang absolut. (Yasin, 2020)
c. Penafsiran al-Qur’an Berdasarkan Metode Menurut Hadi Yasin
Tafsir, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keterangan atau penjelasan
tentang ayat-ayat Al-Qur'an agar maksudnya lebih mudah dipahami (KBBI, n.d.). Terdapat
beberapa metode penafsiran al-Qur’an menurut Hadi Yasin (Yasin, 2020), yaitu sebagai
berikut:
1. Tafsir al-Ijmali
Penafsiran al-Qur’an secara al-Ijmali dilakukan dalam bahasa, simbol,
dan gaya dakwah yang telah mendunia atau bersifat global dengan
sesederhana mungkin. Penafsiran dengan metode ini mudah dimengerti
dan dibuat semirip mungkin dengan al-Qur’an supaya pembaca tetap
nyaman dalam mempelajarinya. Metode penafsiran al-Ijmali tidak
membandingkan ayat al-Qur’an dengan ayat lainnya.
2. Tafsir al-Tahlili
Penafsiran al-Qur’an secara al-Tahlili dilakukan secara menyeluruh.
Pemaknaan terhadap al-Quran tidak hanya menginternalisasi hal-hal
yang jelas tertera dalam al-Qur’an, namun juga mengkaji ulang segala
sesuatu yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut (selain ayat-ayat
al-Qur’an yang lain), misalnya mengenai makna-makna tersembunyi
yang terkandung, atau bahkan Asbabun Nuzul.
3. Tafsir Muqaran
Penafsiran al-Qur’an secara Muqaran dilakukan secara komparatif,
artinya membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan sumber-sumber
lainnya yang sama-sama kredibel, misalnya dengan ayat-ayat lain,
hadist Nabi, serta riwayat perkataan sahabat maupun Tabi’in.
4. Tafsir Mawdhu’iy
Penafsiran al-Qur’an secara Mawdhu’iy dilakukan berdasarkan topik
atau isu tertentu yang ingin dikupas tuntas. Caranya adalah dengan
mengumpulkan semua ayat yang konteksnya berkaitan dengan
permasalahan yang ingin dikaji, lalu dianalisis dan dimengerti secara
menyeluruh. Biasanya, metode ini juga mengikutsertakan Asbabun
Nuzul serta Nasikh dan Mansukh dalam pengaplikasiannya.
BAB III
KESIMPULAN

Al-Qur’an pada dasarnya memiliki misi yang sama dengan Islam. Oleh karena itu, misi
tersebut harus selalu menjadi rujukan dalam memaknai ayat Al-Qur’an. Dalam memaknai
ayat Al-Qur’an, dapat dilakukan dengan cara penafsiran. Namun, melalui cara ini diperlukan
beberapa syarat untuk menjadi Mufassir dan metode agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
mengartikannya.
Selain itu, Al-Qur’an juga harus dipahami dalam sejarahnya. Al-Qur’an turun selain
sebagai pemandu manusia sampai kiamat nanti, juga menuntun Rasul beserta pengikutnya
sehingga perlu dipahami konteks sejarah di mana Rasul hidup. Oleh karena itu, nilai dalam
Al-Qur’an terbagi menjadi dua sifat, yaitu universal dan kontekstual. Nilai universal
merupakan nilai yang berlaku dalam segala situasi, sedangkan nilai kontekstual merupakan
nilai yang berlaku pada konteks tertentu. Hal ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi
kesalahan fatal dalam memaknai ayat Al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dalam menjalankan hidupnya
dan mewujudkan misi Islam, yaitu membawa rahmat bagi semesta. Akan tetapi, manusia
dengan segala keterbatasannya tidak dapat memaknai Al-Qur’an secara sempurna. Manusia
perlu memahami lebih jauh lagi mengenai nilai-nilai yang ada di dalam Al-Qur’an. Selain itu,
ketidaksempurnaan manusia perlu diperhatikan dalam memaknai ayat Al-Qur’an. Manusia
dengan berbagai latar belakang dan keterbatasan fisik menyebabkan kesulitan bagi seseorang
dalam memahami Al-Qur’an sebagai satu kesatuan penuh. Ini penting untuk dipahami agar
ketika seseorang memahami suatu Al-Qur’an dan berujung pada keburukan, kita paham
bahwa manusia tersebutlah yang perlu dikritik bukan Al-Qur’an itu sendiri.
SUMBER REFERENSI

El Zastrouw, Ngatawi. dkk. (2020). Materi Pembelajaran Mata Kuliah Agama Islam. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Goa, L. (2017). Perubahan Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat. SAPA, 2(2), 53-67.

Hasan, M. A. K. (2015). Metode Penafsiran al-Qur'an. Pengenalan Dasar al-Qur'an, 9.

Imran, A. (2012). Dakwah dan Perubahan Sosial. HIKMAH, 6(1), 68-86.

Macionis, J. J. (2017). Sociology. Pearson.

Mubarak, K. H. Z. (2022, 6 Agustus). Al-Quran Dan Perubahan Sosial. jabar.nu.or.id.


Diambil dari https://jabar.nu.or.id/taushiyah/al-quran-dan-perubahan-sosial-6DPSm

Mulia, M. (2021, 2 Juni). Manusia sebagai Khalifah fil Ardh. muslimahreformis.org. Diambil
dari https://muslimahreformis.org/beranda/manusia-sebagai-khalifah-fil-ardh/

Rofiah, Nur. (2020). Video: Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup, Diakses dari
https://www.youtube.com/watch?v=CaYMtW_HSM4&t=8s&ab_channel=KuliahAga
maIslamUI16 September 2021 pukul 17.15.

Sulton. (2014). Islam dan Perubahan Sosial. Jurnal Aristo, 2(2), 67-76.

Safei, A. A. (2017). Sosiologi Islam: Transformasi Sosial Berbasis Tauhid. Simbiosa


Rekatama Media.
Tafsir. (n.d.). KBBI Daring. Retrieved December 9, 2022, from
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/tafsir
Yasin, H. (2020). Mengenal Metode Penafsiran al-Qur'an. 20.

Anda mungkin juga menyukai